Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I M P I A N 2

Matahari yang selalu bersinar, semoga lekas menerbitkan cahaya nya...di tunggu kisanak coretan mu yang indah
 


BAGIAN 30
YANG PERTAMA DAN YANG TERAKHIR





Pop Denok



Denok


“Kaulah yang pertama, memberi arti cinta bagiku ini.

Janganlah berakhir.

Oh, kaulah yang pertama, membuatku terlena.

Dan tak ingin lagi seorang pria selain dirimu.”




Ahhh. Mungkin hanya lagu ini yang bisa mengungkapkan semua isi hatiku saat ini. Hatiku yang berbunga – bunga dan hanya seorang laki - laki yang bisa membuatku seperti ini.

Mas Jo. Seorang pria yang mampu menaklukan hatiku dan membuat hidupku jauh lebih berwarna. Perhatiannya, kasih sayangnya dan segala tentang dirinya, membuatku mengerti apa itu cinta. Cinta yang selalu menghadirkan tawa, sayang yang selalu membuatku melayang, dan rindu yang selalu menggebu, padahal sering bertemu.

Mas Jo. Seorang pria yang sederhana, tapi mempunyai cinta yang luar biasa. Kata – katanya tidak pernah puitis, tapi bukan berarti dia tidak bisa romantis. Romantisnya Mas Jo pun, berbeda dari pria pada umumnya. Romantisnya itu kadang membuatku geregetan, jengkel, gemes, sebel, tapi ngangenin baget. Bingung gak.? Gak usah ikut bingung deh, entar kalian jatuh cinta juga sama Mas Jo ku. Hihihihi.

Mas Jo. Dandanan slengean, perkataannya pun asal – asalan. Usianya lebih muda dari aku, tapi pemikirannya kadang – kadang lebih dewasa. Apa adanya, mandiri, suka bekerja keras, pantang menyerah, dan yang pasti dia mempunyai impian serta cita – cita yang harus didapatkan.

Orangnya cuek, masa bodoh dan gak mau tau dengan urusan orang lain. Tapi kalau dengan aku, sikapnya itu jelasnya berbanding terbalik.

Itulah Mas Jo. Mas Jo ku tersayang. Kalau harus aku tulis semua tentangnya, tidak akan habis kata – kata untuk memujinya. Aku benar – benar dibuatnya jatuh love, love selove – love nya. Gila.

“Nok.” Panggil Pak Danang yang mengejutkanku dari lamunan.

“Eh iya Pak.” Ucapku sambil membenarkan kacamataku.

“Ngelamun aja.” Ucap Pak Danang lalu melangkah ke arah ruangannya.

“Enggak kok Pak.” Jawabku berbohong sambil melihat kearah Pak Danang yang baru melewati aku.

“Kalau jatuh cinta itu, kadang buat orang gila Nok. Jadi jangan sering –sering, cukup sekali saja.” Ucap Pak Danang yang tiba - tiba menoleh kearahku sambil mengedipkan mata kirinya, setelah itu masuk kedalam ruangannya dengan cuek.

Iiihhh. Jadi malu aku sama Pak Danang. Padahal jujur, aku masih jengkel kepada beliau. Semenjak Mas Jo dan Mas Gilang dipecat tanpa ada masalah sama sekali, aku jarang berbicara kepada Pak Danang, kecuali ada masalah kerjaan saja.

Memang sih, yang memecat Mas Jo dan Mas Gilang itu Pak Jarot. Tapi sebagai direktur dikantor ini, kenapa Pak Danang tidak mencegahnya atau paling tidak mencari tau duduk permasalahannya.? Pak Danang justru diam saja dan seolah merestui tindakan Pak Jarot yang terkesan semena – mena itu.

Pak Danang sepertinya sadar dengan perubahan sikapku ini dan semenjak kejadian pemecatan itu, beliau mencoba untuk mendinginkan suasana dengan sedikit menggoda, merayu ataupun mengajakku bercanda. Tapi aku hanya bersikap dingin kepadanya. Sedangkan dengan Pak Jarot, aku lebih acuh lagi. Aku berbicara seadanya masalah pekerjaan dan tidak pernah bersenda gurau seperti dulu lagi. Aku tidak pernah dekat lagi dengan Pak Jarot, padahal dulu aku sempat mengagumi sosoknya yang seperti seorang Ayah bagiku.

Sebenarnya aku mau keluar dari kantor ini, tapi Mas Jo selalu melarangku. Dia ingin aku bersikap profesional dikantor, karena Mas Jo menganggap masalah pemecatannya itu dinamika dalam pekerjaan, bukan masalah pribadi.

Dan untuk hari ini, aku merasa ada yang berbeda dengan sikap Pak Danang. Biasanya beliau menggoda atau mengajakku bercanda dengan hal – hal yang garing banget. Tapi tadi aku melihat kedipan mata dan caranya berbicara, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya dari aku. Entah apa itu, tapi menurutku mungkin Pak Danang menyesal telah memecat Mas Jo dan Mas Gilang.

Pak Danang pasti tau kalau aku punya hubungan dengan Mas Jo. Jadi mungkin saja beliau sengaja menggodaku seperti itu, agar aku kembali bersikap biasa kepadanya. Mungkin setelah aku bersikap seperti biasa, dia mau meminta bantuanku agar membujuk Mas Jo dan Mas Gilang untuk bergabung dikantor ini lagi. Mungkin seperti itu kesimpulanku.

Ah, kalau benar apa yang aku simpulkan ini, gak mungkinlah aku merayu Mas Jo dan Mas Gilang untuk bergabung dikantor ini lagi. Walaupun sebenarnya aku tidak terima dengan pemecatan itu dan aku juga senang kalau Mas Jo dan Mas Gilang kembali kekantor ini, tapi aku tidak akan merayu mereka kembali.

Aku hanya ingin mengambil hikmah atas pemecatan mereka berdua. Mas Jo dan Mas Gilang sekarang jadi punya perusahaan konsultan sendiri dan sudah punya proyek pertama dari Mas Jago, teman dari Mas Candra. Aku yakin mereka akan berhasil dengan perusahaan yang mereka dirikan itu. Aku juga yakin mereka tidak mungkin mau kembali kekantor ini lagi.

Oh iya, aku sudah cukup lama mengenal Mas Candra. Aku mengenalnya jauh sebelum mengenal Mas Jo, karena Mas Candra sering ikut tender lewat perusahaan lainnya. Sedangkan Mas Jago aku hanya sebatas mengenal, karena dia sering bersama Mas Candra.

Sudahlah, cukup sudah membahas masalah itu. Lebih baik sekarang aku berkonsentrasi saja dengan pekerjaanku, sambil mencari celah untuk keluar kantor ini. Semakin lama aku bosan bekerja dikantor ini.

Hiuuffttt, huuuu.

Aku pun mulai membuka beberapa dokumen dan akan segera mengcopynya. Sore nanti aku akan dijemput Mas Jo ku tersayang. Aku tidak ingin Mas Jo menungguku terlalu lama, karena aku belum menyelesaikan pekerjaanku.

Lalu dengan membawa beberapa tumpuk dokumen, aku berjalan kearah ruang sebelah untuk mengcopy semua dokumen yang akan digunakan untuk tender bulan depan ini.

Dan pada saat aku mulai mengcopy dokumen – dokumen ini, Pak Jarot dan Pak Jaka lewat depan ruangan ini dengan terburu – buru.

“Pak, itu ada Mba Denok.” Samar – samar aku mendengar suara Pak Jaka dari luar ruangan sana dan mereka sudah tidak terlihat dari arahku berdiri ini.

Terdengar langkah kaki yang berjalan dan langkah itu terhenti didepan ruangan ini. Aku lalu melirik kearah orang itu, sambil tetap mengerjakan pekerjaanku.

Rupanya yang berdiri itu Pak Jarot dan dibelakangnya ada Pak Jaka yang melihat kearahku. Aku tidak menghiraukan kedatangan Pak Jarot, karena aku malas berbicara kepadanya.

“Mba Denok.” Panggil Pak Jarot.

“Ya.” Jawabku singkat sambil melihat kearahnya, lalu melanjutkan kegiatanku lagi.

“Saya dan Pak Jaka mau ke Desa Sumber Banyu.” Ucap Pak Jarot dan langsung membuatku terkejut.

Ada apa sih mereka mau ke desanya Mas Jo.? Terus kenapa juga harus laporan kepadaku.? Mau mencairkan suasana denganku, supaya aku bersikap biasa aja gitu.? Maaf ya, aku sudah terlanjur kecewa dengan anda.

“Ohh.” Jawabku dengan malasnya dan dengan kata – kata yang sangat singkat sekali.

“Bapak dan Ibunya Joko, baru saja meninggal dunia.” Ucap Pak Jarot dan aku langsung menghentikan kegiatanku.

Aku menunduk sejenak, lalu melihat kearah Pak Jarot.

“Gak lucu bercandanya.” Ucapku yang tidak percaya dengan ucapan Pak Jarot, karena baru tadi aku dan Mas Jo makan siang bareng.

Gila orang satu ini. Apa tujuannya bercanda seperti itu.? Apa dia mau membuatku benar – benar membencinya dan menjauhinya.? Oke kalau itu maunya. Aku akan dengan senang hati melakukannya.

Aku menatap Pak Jarot dengan tatapan yang penuh kebencian dan dia hanya terdiam menatapku. Wajahnya terlihat terkejut dan takut, melihat ekspresi wajahku ini.

“Mba Denok. Ini bukan candaan. Silahkan tanya dengan Candra yang ada didepan kantor. Dia bersama Jago menunggu kami, untuk menyusul Mas Joko yang baru saja berangkat ke Desa Sumber Banyu bersama Mas Gilang.” Ucap Pak Jaka meyakinkan aku.

Akupun langsung terdiam, karena Pak Jaka terlihat sangat serius dan juga terlihat sangat sedih sekali.

Dadaku tiba – tiba sesak dan seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya. Dokumen yang aku pegang ini terjatuh dilantai dan butiran air mataku mulai keluar dari kelopak mataku.

“Enggak, Denok gak percaya.” Ucapku sambil menggelengkan kepala dan deraian air mata yang membasahi pipiku.

“Mbak.” Ucap Pak Jaka dengan suara yang bergetar.

“Kalian Bohong.” Ucapku lalu aku berlari keluar ruangan, untuk mencari Mas Jago dan Mas Candra diluar kantor.

Aku ingin memastikan lagi kabar yang sangat menyedihkan ini kepada Mas Jago dan Mas Candra.

Aku berlari melewati Pak Jarot yang masih berdiri mematung didepan ruangan ini dan aku menuju kearah luar kantor.

Diluar kantor tampak Mas Candra, Mas Jago dan satu orang lagi yang tidak aku kenal. Mereka melihat kearahku dengan tatapan yang menyedihkan dan mereka seolah mengasihani aku.

Aku terdiam dan bibirku terkunci dengan kuatnya. Aku tidak mampu bertanya tentang kabar yang sangat menyedihkan ini. Tatapan mereka bertiga seolah menjelaskan semuanya dan air matakupun semakin deras mengalir.

“Hiks, hiks, hiks.” Aku menangis sejadi – jadinya dan tubuhku langsung lemas seketika. Aku menyandarkan pundakku di pintu kantor, sambil menutupi wajahku.

Mas Jo. Siang tadi wajahnya terlihat sangat senang dan bahagia, tapi sekarang dia pasti sangat terpukul sekali. Kabar ini pasti baru diketahuinya dan aku tidak bisa membayangkan kesedihan orang yang sangat aku cintai itu.

“Hiks, hiks, hiks,” Aku terus menangis sesenggukan dan ketiga orang itu langsung mendekat kearahku.

“Mba Denok.” Ucap Mas Candra yang coba menenangkan aku, tapi tidak berani menyentuhku.

Kesedihan dan rasa kehilangan Mas Jo, sangat aku rasakan sekali. Walaupun apa yang aku rasakan saat ini, pasti tidak ada apa – apanya dibandingkan dengan apa yang dirasakan Mas Jo.

Gejolak emosi yang menguasai seluruh ruang isi kepalaku, tidak mampu aku luapkan dengan kata – kata. Aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis saja.

Lalu tiba – tiba aku merasa pundakku sedang disentuh seseorang dari arah belakangku. Sentuhan itu perlahan naik ke kepala belakangku, lalu membelai rambut panjangku.

Belaiannya sangat lembut dan mampu mendinginkan gejolak emosi dikepalaku. Belaiannya yang sangat lembut ini, seperti belaian seorang Ayah kepada putrinya. Belum pernah aku merasakan belaian seperti ini, walaupun dengan Ayahku sendiri. Bukannya Ayahku tidak menyayangi aku, bukan seperti itu. Ayahku sangat menyayangi aku, tapi kenapa aku belum pernah merasakan belaian seperti ini dari beliau.?

Aku lalu mengangkat wajahku, sambil melepaskan kedua tanganku yang menutupi wajahku. Aku membalikan tubuhku perlahan, dengan air mata yang terus mengalir dipipiku. Belaian orang itu terlepas dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat orang yang membelai rambutku barusan.

Dia adalah Pak Jarot, orang yang sangat aku benci.

Pak Jarot menatapku sangat dalam sekali. Tatapannya itu seperti meneduhkanku dan perlahan menghapus semua kebencianku kepadanya.

Gila. Kenapa bisa kebencian didalam hatiku ini hilang, hanya dengan tatapan matanya yang meneduhkan ini.? Dan kenapa bisa belaiannya yang lembut, terasa lebih menenangkan daripada belaian Ayahku sendiri.? Kenapa.?

Lalu entah mendapatkan dorongan darimana, tiba – tiba aku memeluk tubuh Pak Jarot dengan sangat eratnya. Aku memeluk orang yang tadinya aku benci ini, dengan perasaan yang tak menentu dari dalam hatiku.

Dan ternyata bukan hanya tatapan serta belaiannya yang aku butuhkan saat ini, tapi aku juga membutuhkan pelukannya.

Kenapa bisa aku seperti ini, disaat aku sangat – sangat sedih begini.? Kenapa.?

Tiba – tiba perasaanku menjadi tenang, damai dan bahagia, ketika aku mendekap tubuh laki – laki setengah baya ini. Aku merasakan gejolak yang sangat luar biasa, apalagi dia mulai membalas pelukanku dengan sangat lembutnya. Dan perlahan aku merasakan ikatan batin yang sangat kuat, kepada laki – laki yang aku peluk ini. Air mataku pun berhenti mengalir dan laki – laki ini kembali membelai rambutku perlahan.

Saat ini yang paling kurasa, aku seperti seorang putri yang telah lama berpisah dengan Ayah kandungnya. Gila gak.?

“Kalau ingin kerumah Joko, ikutlah bersama kami.” Ucap Pak Jarot dengan suara yang sedikit bergetar. Dia seperti sedang menahan sesuatu, tapi entah apa itu.

Akupun tersadar, karena Pak Jarot menyebut nama Mas Jo. Aku sebenarnya ingin merasakan pelukan ini lebih lama lagi, tapi aku harus segera bertemu Mas Jo dan mendampinginya disaat – saat terberat didalam hidupnya ini.

Akupun mulai mengendurkan pelukanku, tapi belum melepaskannya.

“Sabar ya nak.” Ucap Pak Jarot lagi, dengan suara yang sangat pelan.

Ha.? Dia menyebutku dengan sebutan apa.? Nak.? Gak salah dengar nih.? Maksudnya apa ya.? Apa karena dia merasa aku nyaman berada dipelukannya, jadi dia menyebutku dengan sebutan nak.? Kok enak sekali sih.? Apa haknya dia menyebutku dengan sebutan kata – kata seperti itu.?

Nak.? Sebuah kata yang tiba – tiba membuat amarah dan kebencian yang sangat luar biasa didalam diriku, bangkit seketika. Kata – kata itu membuat seluruh ruang yang ada didalam tubuhku bergemuruh, lalu terguncang dengan hebatnya. Guncangan yang begitu hebatnya itu meluluh lantakan hatiku yang baru saja terasa damai, tenang dan bahagia ini.

Entah kenapa aku sangat marah sekali mendengar kata – kata itu keluar dari mulutnya. Harusnya aku bersikap biasa saja, karena mungkin dia lagi teringat dengan putrinya yang ada dirumahnya. Tapi kenapa aku justru bersikap berlebihan seperti ini.? Apa mungkin dia Ayahku.? Enggak mungkin, itu enggak mungkin sekali.

Aku lalu melepaskan pelukanku ditubuhnya, sambil melangkah mundur dan menatapnya dengan amarah yang menggila.

“Jangan panggil aku nak, karena aku tidak sudi menjadi anakmu.” Ucapku dengan suara yang bergetar, sambil menunjuk kearah wajahnya.

Pak Jarot terdiam dengan wajah yang terlihat menyedihkan dan mata yang berkaca – kaca.

Hey. Ada apa ini.? Apa benar dia Ayah kandungku.? Tapi bagaimana mungkin.? Apa jangan – jangan dia bermain gila dengan Ibuku.? Jangan, jangan sampai pikiran burukku ini benar – benar terjadi.

Dengan tatapan yang penuh kebencian dan kemarahan yang sangat luar biasa, aku pergi dan meninggalkan Pak Jarot menuju ruanganku. Aku berjalan melewati dia tanpa melihat kearahnya sama sekali.

“Kalau kau marah denganku, silahkan saja. Tapi aku mohon kepadamu, kalau kau berangkat ke Desa Sumber Banyu, ikutlah bersama kami.” Ucap Pak Jarot ketika aku sudah beberapa langkah dibelakangnya.

“Gak usah sok perhatian. Aku bisa berangkat sendiri.” Ucapku tanpa melihat kearahnya, sambil terus berjalan kearah ruanganku.

Ihhhh.. Kenapa aku bisa seperti ini sih.? Kenapa pikiranku jadi kacau dan aku gak bisa mengendalikannya.? Apa salahnya dia memanggilku dengan sebutan nak.? Kenapa aku harus marah dan benci.? Kenapa juga aku harus menolak ajakannya.? Kalau aku bersamanya, paling tidak aku akan merasa aman karena kami tidak berdua saja. Ada Pak Jaka dan yang lain diperjalanan kami nanti. Jadi alasan apa yang membuatku begini.?

Aku lalu masuk kedalam ruanganku dengan jengkelnya, setelah itu aku melepas kacamataku dan duduk dikursiku dengan emosinya. Aku lipatkan kedua tanganku dimeja, setelah itu aku menjatuhkan keningku dilipatan tanganku dan menangis sejadi – jadinya.

Hiks, hiks, hiks, hiks.

Ya Tuhan. Ada apa dengan diriku ini.? kenapa aku jadi seperti ini ya Tuhan.? Gejolak apa yang ada dibatinku ini.?

Hiks, hiks, hiks, hiks.

Aku mengeluarkan semua unek – unekku lewat tangisanku ini, karena hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini.

Aku itu type wanita yang gampang menangis dan tidak bisa menahan gejolak emosi. Akupun sebenarnya sangat manja sekali. Jadi ketika ada masalah, aku hanya menangis dan menangis saja.

Sudah Nok, sudah. Tenangkan dirimu. Lebih baik sekarang kamu bersiap – siap untuk balik kekosan dan pergi ke Desa Sumber Banyu. Pati Mas Jo sekarang membutuhkanmu. Lupakan semua ganjalan yang ada dihatimu saat ini, karena ada yang lebih penting untuk dipikirkan.

Perlahan aku merasa rambutku dibelai seseorang dan aku langsung menepis tangan itu, sambil menegakkan kepalaku yang menunduk.

Tap.

“Jangan sentuh aku lagi.” Ucapku dengan emosinya dan aku langsung melihat kearah orang yang membelai rambutku barusan.

“Ma, maaf Nok. Aku hanya ingin menenangkanmu yang lagi bersedih.” Ucap Pak Danang dan aku terkejut dibuatnya.

“Oh, iya Pak.” Ucapku sambil membersihkan sisa air mataku yang mengalir.

“Ma, maaf. Denok gak tau kalau Bapak yang barusan belai rambutnya Denok.” Ucapku yang merasa gak enak, karena tepisanku tadi lumayan keras.

“Gak apa – apa Nok. Wajar aja kamu melakukan itu, karena aku terlalu kurang ajar menyentuh rambutmu. Mungkin kamu mengiranya, aku memanfaatkan kesedihanmu. Tapi bukan itu maksudku. Maaf ya.” Ucap Pak Danang dan aku makin tidak enak dengan sikap Pak Danang yang terlihat sangat tulus ini.

“Bukan begitu Pak. Denok tadi hanya kaget.” Ucapku lalu aku menghentikan ucapanku sejenak.

“Oh iya Pak, Denok pamit pulang cepat ya Pak.” Ucapku untuk mengalihkan pembicaraan.

“Iya. Pulanglah dulu dan tenangkan pikiranmu, supaya besok bisa bekerja dengan baik.” Jawab Pak Danang, lalu beliau tersenyum kepadaku.

“Saya bukan hanya pulang cepat Pak, tapi saya juga cuti beberapa hari.” Ucapku.

“Mau kemana kamu Nok.?” Tanya Pak Danang.

“Saya mau ke Desa Sumber Banyu Pak. Kedua orang tua Mas Joko, baru saja meninggal.” Jawabku.

“Oh iya.? Kamu sama siapa kesana.?” Tanya Pak Danang dengan nada yang terkejut.

“Saya sendiri saja Pak.” Jawabku.

“Kalau begitu kita sama – sama aja ke Desa Sumber Banyu.” Ucap Pak Danang lalu beliau membalikkan tubuhnya, setelah itu melangkah kearah ruangannya.

“Tapi Pak.” Ucapku terpotong karena Pak Danang menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku.

“Enggak ada tapi – tapian. Sekarang kamu pulang kekosanmu dan ambil segala perlengkapan yang kamu butuhkan. Kamu akan diantar sopirku, setelah itu kekantor ini lagi untuk menjemputku.” Ucap Pak Danang lalu melangkah lagi kearah ruangannya.

Duh. Gimana ini ya.? Kalau aku tetap menolak, urusannya akan semakin panjang dan aku akan semakin telat kerumah Mas Jo. Apa lebih baik aku terima saja tawaran Pak Danang ini.? Aku kan belum pernah ke Desa Sumber Banyu. Paling tidak kalau aku bersama Pak Danang, perjalananku akan sedikit aman.

Akupun langsung berkemas dan bersiap untuk balik kekosanku.

“Nok, Panggilkan Kumis.” Ucap Pak Danang dari dalam ruangannya.

“Iya Pak.” Sahutku, lalu aku berdiri sambil mengenakan kacamataku.

Aku langsung keluar ruangan dan mencari Pak Kumis, sopir dari Pak Danang.

Tampak diluar kantor sana, mobil Pak Jarot baru saja pergi meninggalkan kantor ini.

“Pak Kumis, dipanggil Pak Danang.” Ucapku kepada Pak Kumis yang sedang asyik merokok diruang tamu kantor.

“Oh iya Mba.” Jawab pak Kumis lalu dia mematikan rokoknya, setelah itu berdiri dan berjalan kearah ruangan Pak Danang.

Aku mengikuti Pak Kumis berjalan dibelakangnya, untuk mengambil beberapa barang dimejaku dan bersiap untuk pulang kekosan.

Beberapa saat kemudian,

“Nok, kamu sama Pak Kumis ya.” Ucap Pak Danang yang keluar dari ruangannya, bersama Pak Kumis.

“Iya Pak.” Jawabku dan kali ini aku tidak menolak tawaran Pak Danang.

“Setelah dari kosan Denok, jemput aku.” Ucap Pak Danang ke Pak Kumis yang berdiri disebelahnya.

“Siap Pak.” Jawab Pak Kumis.

“Denok kekosan dulu ya Pak.” Pamitku ke Pak Danang dan beliau menganggukan kepalanya

Aku lalu diantar Pak Kumis kekosan dan kami berdua tidak banyak bicara selama diperjalanan. Lebih tepatnya sih aku yang banyak diam.

Bayangan dua orang laki – laki silih berganti bermain dipikiranku. Mas Jo yang kusayangi dan sedang dalam kedukaan, lalu Pak Jarot dengan pelukan dan belaiannya yang mengobrak – abrik perasaanku.

Aku sudah memfokuskan pikiranku ke Mas Jo, tapi bayangan Pak Jarot terus saja mengganggunya. Lama – kelamaan, aku merasa ikatan batin dengan Pak Jarot semakin menguat saja. Apa benar dia Ayahku.? Tapi bagaimana bisa.? Apa Ibuku dan Pak Jarot beneran main gila dibelakang Ayahku.? Ihhhhhh. Semoga saja pikiranku ini tidak benar.

Dan tidak terasa akhirnya mobil ini sampai dikosanku. Akupun bergegas masuk kedalam kosan untuk mengangganti pakaian dan tidak lupa aku membawa beberapa pakaian ganti yang aku masukan kedalam tasku.

Setelah semua beres, aku keluar kosan dan Pak Kumis menungguku didalam mobil.

Mobilpun meninggalkan kosan dan anehnya, mobil ini tidak memutar arah kekantorku lagi. Seharusnya mobil ini menjemput Pak Danang yang menunggu dikantor, tapi Pak Kumis malah mengarahkan kepinggiran kota. Arah jalannya pun bukan menuju jalan ke daerah kota dimana Mas Jo tinggal. Jadi kira – kira Pak Kumis mau membawaku ke mana ya.?

“Kita ini mau kemana ya Pak.?” Tanyaku ke Pak Kumis yang duduk didepan bagian kanan, sementara aku duduk dikursi belakang bagian kiri.

“Kita jemput Pak Danang dulu Mba.” Ucap Pak Kumis dengan sopannya, lalu menambah kecepatan mobil yang kami tumpangi ini.

“Bukannya Pak Danang menunggu kita dikantor ya.?” Tanyaku yang curiga dengan gelagat Pak Kumis ini, apalagi mobil ini mengarah ke daerah perbatasan kota yang sangat sepi.

“Tadi Pak Danang pesan, beliau mau menemui kliennya sebentar. Ini kita mau kesana.” Ucap Pak Kumis dan dia tidak mengurangi kecepatan mobilnya sama sekali.

Kok jadi seperti ini sih.? Pak Danang tadi gak ada membicarakan tentang jadwalnya bertemu klien. Dan kalau Pak Danang ada janji bertemu dengan klien, aku pasti tau jadwal itu. Tapi kenapa sekarang tidak terjadwal olehku.? Ahhhh. Bikin suasana jadi gak enak aja loh. Kalau tau seperti ini, lebih baik aku naik bis aja tadi.

“Beneran kita mau ke Pak Danang ya pak.?” Tanyaku untuk memastikan sekali lagi.

“Iya Mba.” Jawab Pak Kumis singkat tanpa melihat kearahku.

Lalu tiba – tiba perasaan takut menyelimuti tubuhku, ketika mobil ini berbelok ke jalan yang menuju pantai diselatan kota ini. Jalanan ini sangat sepi dan melewati hutan yang sangat menakutkan. Jalanan ini juga terkenal dengan begal dan perampok, yang menghadang setiap orang yang akan melewatinya. Tidak ada desa sama sekali, kecuali didekat pantai sana dan itu jaraknya sangat jauh.

Apa mungkin Pak Danang menemui klien didaerah pantai sana.? Klien apa.? Apa klien yang berhubungan dengan pengerjaan bendungan yang ada dikabupaten sebelah.? Tapi kenapa harus membawaku.? Pak Danang kan tau kalau aku mau kerumah Mas Jo yang sedang berduka. Tapi kenapa malah membawaku kemari.? Atau jangan – jangan ini akal – akalan Pak Kumis saja.?

“Pak.” Panggilku ke Pak Kumis dengan suara yang bergetar dan ketakutan.

“Jangan banyak tanya ya Mba. Saya bisa turunkan Mba disini loh.” Ucap Pak Kumis yang langsung membuatku terkejut dan semakin ketakutan.

Ya ampun. Kalau sampai aku diturunkan didaerah ini, tidak mungkin aku bisa kembali kekota. Daerah ini sangat sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat, apalagi matahari sudah mulai terbenam seperti ini. Para begal dan perampok, pasti sudah bersiap menyambutku kalau aku diturunkan ditengah jalan.

Tubuhku tiba - tiba merinding dan air mataku perlahan mulai menetes. Aku yang ketakutan ini, tidak berani mengajak Pak Kumis berbicara lagi.

Lampu mobil mulai dinyalakan dan mobil semakin melaju dijalanan yang sangat sepi ini. Pak Kumis terlihat memainkan lampu jauh mobil sebanyak tiga kali, ketika melewati jalanan yang lurus. Itu tidak sekali tapi berkali – kali. Entah apa maksudnya, tapi aku melihat ada bayangan sepeda motor dipinggir jalan dan mereka hanya diam saja. Gila.

Aku semakin ketakutan dan air mataku tidak berhenti menetes.

Lalu perlahan Pak Kumis mengurangi kecepatan mobil, setelah itu membelokan mobil kearah kanan. Jalan yang kami lewati ini mulai menyempit dan hanya bisa dilewati satu mobil saja.

Beberapa saat kemudian, tampak terlihat sebuah rumah tua didepan sana. Mobil ini pun semakin melambat dan berhenti tepat didepan rumah tua itu.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangisku pun akhirnya mulai bersuara.

“Kalau kamu gak bisa diam, aku bawa mobil ini ketengah hutan tadi dan kuturunkan kamu disana.” Ucap Pak Kumis sambil menoleh kearahku.

Tatapan Pak Kumis terlihat sangat bengis dan kata – katanya terdengar sangat menakutkan. Sosok Pak Kumis tidak terlihat seperti yang selama ini aku kenal, ramah dan murah senyum. Malam ini dia seperti seorang penjahat dan dia seperti ingin menerkamku saja.

Akupun akhirnya terdiam, sambil membersihkan air mataku yang terus mengalir.

“Turun.” Ucap Pak Kumis, sambil membuka pintu mobil bagian kanan dan dia turun lebih dulu.

Aku yang ketakutan ini pun, tidak bisa menggerakkan kedua tanganku. Tubuhku bergetar dan nafasku memburu.

BRAKKK.

Pak Kumis memukul atap mobil sambil memasukan kepalanya lewat jendela depan.

“TURUN.!!!” Bentak Pak Kumis dengan kerasnya.

Kedua tanganku dengan refleknya membuka pintu bagian kiri, lalu dengan kaki yang bergetar aku turun dari mobil ini. Bentakan Pak Kumis ini bisa membuat seluruh tubuhku bergerak, walaupun dengan ketakutan yang sangat luar biasa.

Bagaimana aku tidak ketakutan. Seumur hidupku belum pernah ada orang yang bersuara keras, apalagi membentak diriku seperti ini. Jangankan dibentak, melihat orang yang melotot saja aku sudah sangat ketakutan. Apalagi ditengah hutan dan situasi yang seperti ini.? Jantungku terasa seperti berhenti berdetak.

Ada dengan Pak Kumis.? Aku tidak pernah berbuat salah kepada dia dan aku selalu bersikap sopan kepadanya. Aku gak tau apa yang dia inginkan dari diriku dan aku juga gak tau kenapa dia setega ini kepadaku. Jadi kenapa tiba – tiba dia berubah jahat seperti ini.?

Aku lalu menutup pintu mobil pelan dan Pak Kumis langsung membakar rokoknya.

“Huuuu.” Pak Kumis mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.

“Kita Masuk.” Ucap Pak Kumis, lalu dia melangkah ke arah pintu rumah tua itu.

Dengan menundukan kepala dan kaki yang bergetar, akupun mengikuti langkah Pak Kumis. Air matakupun kembali menetes disetiap langkahku.

Aku melangkah pelan kearah rumah tua yang terlihat sangat sepi ini. Tidak ada terlihat kendaraan terparkir dihalaman, kecuali mobil yang kami tumpangi barusan. Apa aku hanya berdua saja dengan Pak Kumis dirumah tua ini.? Terus apa yang akan dilakukannya kepadaku.? Apa dia mau..? Jangan, jangan sampai hal itu terjadi. Aku tidak ingin menyerahkan kehormatanku kepada orang jahat ini. Aku hanya ingin menyerahkannya kepada orang yang kusayangi, Mas Jo. Itupun setelah hubungan kami telah disahkan.

Terus apa yang harus aku lakukan kalau Pak Kumis memaksa dan mengancamku.? Apa aku berani melawan.? Apa aku lari saja sekarang.? Tapi kalau kejadian yang lebih buruk menimpaku diluar sana bagaimana.?

Ya Tuhan. Tolong lah Denok. Hiks, hiks, hiks.

“Cepat jalanmu.” Ucap Pak Kumis kepadaku dan dia sudah berdiri didepan pintu, sambil memegang gagang pintu.

Mas Jo, Maafkanlah Denok yang tidak bisa menemanimu disaat – saat seperti ini Mas. Maafkanlah juga, kalau seandainya terjadi sesuatu kepada diri Denok. Denok gak tau harus berbuat apa dalam kondisi seperti ini. Kalau seandainya sesuatu yang buruk terjadi kepada Denok, Denok tidak akan mampu bertatap muka dengan Mas Jo lagi.

Dengan ketakutan dan kesedihan yang luar biasa, aku melangkahkan kedua kakiku menuju pintu rumah tua yang seakan menjadi pintu neraka kehidupanku.

Ini situasi terburuk yang pernah aku alami dan tidak pernah aku membayangkannya seumur hidupku. Dipaksa masuk kedalam rumah tua yang berada ditengah hutan belantara, pastinya ada sesuatu rencana jahat yang sudah dipersiapkan untukku. Entah rencana jahat apa itu. Hiks, hiks, hiks.

“Halo Denok.” Ucap seseorang yang menyambutku diruang tengah, ketika aku sudah berdiri didepan pintu rumah ini.

Orang itu adalah Pak Danang. Orang yang menjadi pimpinan dikantorku dan orang yang sempat membuatku kagum, karena gayanya dalam memimpin.

Orang itu tampak duduk sambil menikmati segelas minuman dan dia dikelilingi belasan orang yang berwajah seram. Mereka semua menatapku dari ujung kaki sampai ujung rambutku. Tatapan mereka itu seolah ingin menelanjangi aku dan menerkam tubuhku bersama – sama.

Keringat yang deras langsung mengucur dari keningku dan aroma minuman keras diruangan ini, semakin membuatku takut setengah mati.

“Berdiri disitu atau orang – orangku ini yang akan menyeretmu beramai – ramai.” Ucap Pak Danang dengan santainya, sambil menunjuk kearah tengah ruangan ini.

Pak Danang. Kok Bapak jadi seperti ini sih.? Ada apa denganmu Pak.? Kenapa kamu seperti ini sama aku.? Aku telah membuat kesalahan apa, sampai kau membawaku ketempat ini dan memperlakukan aku seperti ini.?

“Majulah. Kamu mau aku yang seretkah.?” Ucap Pak Kumis yang sangat mengejutkanku.

“MAJU.!!!” Tiba – tiba Pak Kumis berteriak dan itu semakin mengejutkanku. Akupun sampai memejamkan kedua mataku dan seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya.

“Jangan terlalu kasar begitu Mis.” Ucap Pak Danang ke Pak Kumis.

Nafasku memburu dan aku sangat, sangat, sangat ketakutan sekali.

Aku lalu melangkah dan lagi – lagi dengan kaki yang bergetar.

Pak Danang yang melihatku ketakutan seperti ini, langsung meletakkan gelasnya dan berdiri perlahan. Dia lalu berjalan mendekati aku, sambil menghisap rokoknya dengan tangan kanannya.

Aku sekarang sudah berdiri ditengah ruangan dan Pak Danang juga sudah berdiri dihadapanku.

Lalu tiba – tiba.

TAP.

Tangan kirinya langsung memegang buah dadaku bagian kanan dan dia hanya meletakkannya, tanpa meremasnya sama sekali. Aku yang terkejut dan ketakutan ini, hanya terdiam dengan nafas yang semakin memburu.

“Santai saja sayang. Santai.” Ucap Pak Danang dan dia mulai meremas buah dadaku pelan.

Aku tidak berani menepis atau menghindari remasan tangan Pak Danang dibuah dadaku. Aku hanya diam dengan air mata yang semakin deras mengalir dipipiku.

“Kalau kamu menurut seperti ini, kamu akan mendapatkan kenikmatan yang sangat luar biasa. Tapi kalau sekali saja kamu menolak atau berteriak, kamu akan merasakan bagaimana rasanya diperkosa ramai – ramai.” Ucap Pak Danang sambil terus meremas dadaku dengan lembutnya.

Ucapan Pak Danang ini langsung membuat dadaku sesak dan seperti menghantam gendang telingaku. Sakit dan sangat sakit sekali aku mendengarkannya. Bahaya yang sangat besar sudah menungguku didepan dan aku tidak bisa berlari atau menghindarinya. Apa aku hanya diam dengan kepasarahanku.? Ya Tuhan.

Aku langsung memejamkan kedua mataku dan air mataku tidak bisa berhenti mengalir.

“Nikmati ya.” Ucap Pak Danang lalu dia menurunkan telapak tangan kirinya kearah perutku, dan dengan cepatnya memasukan telapak tangannya kedalam kaosku.

Mataku langsung terbuka, karena kaosku terangkat keatas perutku dan memperlihatkan kulit perutku yang putih ini. Lalu dengan kasarnya dia memasukan telapak tangannya kedalam bra ku yang sempit ini dan meremas buah dadaku dengan kasarnya.

“IIHHHHHHH.” Aku meringis kesakitan karena Pak Danang memencet puttingku dengan kuatnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangisku kembali terdengar dan aku langsung memejamkan kedua mataku lagi.

Belum pernah aku dilecehkan seperti ini didepan umum dan belum pernah ada laki – laki yang sekurang ajar ini kepadaku. Mas Jo pernah meremas buah dadaku tapi dia izin dulu denganku. Itupun dia melakukannya dari luar kaosku, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Pak Danang saat ini.

Ada apa denganku hari ini.? Kenapa aku harus mendapatkan hal yang tidak pantas seperti ini.? Apa dosa dan kesalahan yang pernah aku lakukan.? Apa Tuhan.? Apa.?

Bayangan wajah Mas Jo yang melihatku dengan keadaan seperti ini, langsung terbayang dikepalaku.

Maafkan Denok Mas Jo, maafkan Denok. Hiks, hiks, hiks.

“Kamu pasti bingung kenapa harus berada ditempat seperti ini kan.?” Tanya Pak Danang dan aku langsung membuka mataku.

Pak Danang yang melihatku menangis dan ketakutan seperti ini, bukannya iba tapi dia makin bersemangat meremas buah dadaku. Semua laki – laki yang ada diruangan inipun, hanya berani memandang sambil menelan ludah mereka.

Aku menatap mata Pak Danang dengan wajah yang sangat – sangat memelas sekali dan aku berharap dia menghentikan kegilaan ini.

“Yang pertama, karena kamu itu cantik. Aku sudah menunggu waktu seperti ini sejak pertama kali kamu masuk dikantorku.” Ucap Pak Danang tanpa menghiraukan tatapan memelasku ini.

“Yang kedua.” Ucapnya terpotong dan dia mengeluarkan tangannya dari dalam braku, lalu merapikan kaosku lagi.

Pak Danang lalu merangkul pundakku dan mengajakku berjalan kearah ruang belakang.

“Aku ingin membalas dendam.” Bisik Pak Danang dan aku langsung menghentikan langkahku, lalu melihat kearah Pak Danang.

“Aku gak menyuruhmu berhenti. Kamu mau jadi santapan mereka semua.?” Ucap Pak Danang dan kembali aku melangkahkan kakiku, mengikuti rangkulan Pak Danang.

CUUPPP.

Tiba – tiba Pak Danang mengecup pipiku, lalu dia tersenyum sambil terus melangkahkan kakinya.

Kecupan dan senyuman Pak Danang ini langsung menghancurkan hatiku dan membuatku seperti wanita yang sudah tidak punya harga diri lagi.

Kami berdua terus berjalan kearah ruang belakang rumah tua ini dan meninggalkan belasan orang – orang yang berwajah sangar diruang tengah.

Setelah sampai diruang belakang, Pak Danang yang masih merangkulku membelokan langkahnya kesebuah kamar.

Air mataku semakin deras mengalir, ketika kami berdua sudah berada didalam kamar dan Pak Danang langsung mengunci pintu kamar ini.

Pak Danang mengarahkan aku untuk berdiri didepan lemari, yang ada kacanya seukuran tubuhku. Aku bisa melihat ujung kakiku sampai ujung rambutku dari kaca ini dan aku juga bisa melihat Pak Danang yang berdiri dibelakangku.

Pak Danang melepaskan kacamataku dan meletakannya dimeja sebelah.

“Hemmm. Aku suka aroma tubuhmu Nok.” Ucap Pak Danang sambil mencium leher bagian kananku.

Tubuhku pun langsung merinding dibuatnya dan aku menangis sesenggukan.

“Hiks, hiks, hiks.” Aku menangis sambil menundukan kepalaku dan Pak Danang langsung mengangkat daguku, agar aku menegakkan kepalaku.

“Hentikan suara tangismu dan jangan sampai kamu memejamkan mata, apalagi sampai menundukan kepalamu.” Ucap Pak Danang yang wajahnya berada dibahu kananku.

“Hep, hep, hep.” Aku menarik nafasku, sambil menahan tangisku.

“Kamu boleh mengeluarkan air matamu tapi jangan bersuara, atau kamu akan merasakan kesakitan yang sangat luar biasa. Kamu juga akan merasakan, bagaimana rasanya kemaluanmu ini digilir oleh semua anak buahku.” Ancam Pak Danang sambil mencolek kemaluanku dari luar celana levisku yang ketat.

Aku yang terkejut, langsung memundurkan pinggulku dan bokongku langsung menyentuh kemaluan Pak Danang yang ada dibelakangku.

“Uhhhh. Bokongmu ini nakal banget sih.” Ucap Pak Danang dan tangan kanannya, meremas bokongku agak kuat.

“Hiuuffttttt.” Aku menarik nafasku dalam – dalam.

Pak Danang terlihat tersenyum dengan senangnya dan sekarang kedua tangannya, langsung hinggap dikedua buah dadaku lagi.

“Aku tau kamu tidak suka dikasari, karena kamu itu type wanita yang suka diperlakukan dengan lembut dan manja. Ya kan.?” Tanya Pak Danang dan aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Aku akan memperlakukanmu seperti tuan putri dan aku harap kamu jangan sekali – kali berontak. Ingat, aku bisa berbuat kasar sekali.” Ucap Pak Danang dan perlahan kedua tangannya mulai meremas kedua buah dadaku dengan lembutnya.

Pikiranku berkecamuk saat ini. Takut, marah, benci, gelisah, muak dan tentunya sangat sakit sekali hati ini. Aku hanya bisa pasrah tanpa bisa berani melawan ataupun menolak setiap apapun yang dilakukan Pak Danang terhadap diriku.

Ancamannya membuatku bertekuk lutut dan aku berada dititik nadir ketakutan didalam hidupku. Aku sadar dengan keadaanku sekarang ini, aku pasti akan kehilangan kehormatan yang aku jaga selama ini. Aku tidak bisa berbuat apa – apa, karena aku hanya wanita cengeng, lemah dan tidak berdaya.

“Pa, Pa, Pak.” Ucapku terbata.

“Kenapa sayang.?” Tanya Pak Danang dan dia tidak menghentikan remasannya didadaku.

“Bo, bo, boleh saya tanya.?” Tanyaku dengan sangat ketakutan sekali.

“Boleh.” Ucap Pak Danang singkat dan perlahan kedua tangannya turun kebawah, lalu menyelinap dibalik kaosku.

Perutku yang rata ini dirabanya dengan lembut dan tubuhku merinding dibuatnya. Rabaannya terus merambat naik sampai menyentuh bagian bawah braku, lalu perlahan merambat kesamping sampai melewati kedua ketiakku dan sekarang berada dikulit punggungku.

“Ke, ke, kenapa, Bapak mau balas dendam kepada Denok.? A, a, apa salah Denok Pak.?” Tanyaku dan aku menguatkan hatiku yang ketakutan ini.

Akupun bersiap seandainya dia marah dan memperlakukan aku dengan kasar.

Jujur aku ingin tau, ada apa dengan semua ini. Kenapa dia ingin balas dendam dan ingin menikmati tubuhku, padahal selama ini dia tidak pernah menampakan gelagat mencurigakan ataupun mengungkapkan ketertarikannya kepadaku. Kalau seandainya dia pernah menyatakan isi hatinya dan aku menolaknya lalu menghinanya, wajar dia marah dan dendam kepadaku. Tapi ini tidak sama sekali. Jadi masalah apa yang membuatnya dendam kepadaku.?

Klik.

Pak Danang membuka kaitan bra dipunggungku dan dengan refleknya, aku langsung memejamkan kedua mataku.

“Aku bilang jangan pejamkan matamu.” Ucap Pak Danang dengan sedikit emosi dan kedua tangannya langsung mengarah kedepan, lalu meremas kedua buah dadaku dari dalam kaosku dengan kuatnya.

“Ihhhhhhhh, sakit. Hiks, hiks, hiks,” Ucapku lalu aku menangis.

“Kamu mau buat aku marah beneran ya.?” Ucap Pak Danang dan sekarang dia mencubit kedua putingku dengan sangat kasar sekali.

“Enggak Pak, enggak. Ampun. Hup.” Ucapku yang ketakutan dan aku langsung menahan nafasku.

Akupun berusaha menahan suara tangisku, karena itu pasti akan membahayakan diriku.

Lebih baik aku mati, dari pada harus melayani semua anak buah Pak Danang diluar sana. Tapi apa berani aku bunuh diri.? Bagaimana caranya.? Apa itu tidak semakin menyakitkan.? Terus aku harus bagaimana sekarang.? Apa aku diam saja, menikmati apa yang akan dilakukan Pak Danang.?

Hiks, hiks, hiks.

Akupun hanya bisa menangis dan menjerit dari dalam hatiku.

“Aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepadamu. Ikuti aturan main yang sudah aku ucapkan tadi.” Ucap Pak Danang dan sekarang dia meremas buah dadaku dengan lembut lagi.

“Oh iya, kamu tadi tanya apa.?” Tanya Pak Danang, sambil melepaskan remasannya di buah dadaku, lalu mengeluarkan kedua tangannya dari dalam kaosku.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafasku dan ada sedikit perasaan lega, karena remasan Pak Danang terlepas dari dadaku. Tapi sedikit kelegaanku itu rupanya hanya sesaat, karena Pak Danang langsung mengangkat kaosku keatas dan membukanya. Kembali aku hanya bisa pasrah dan menjerit dari dalam hati, apalagi braku yang telah terlepas kaitannya ini diloloskan dari tubuhku.

Aku bertelanjang dada didepan kaca dan Pak Danang tersenyum senang dibelakangku.

“Ke, ke, kenapa Bapak dendam sama Denok.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Oh itu ya.?” Ucap Pak Danang, lalu.

Tap.

Kedua telapak tangannya berada digundukan buah dadaku, sementara jempol dan jari tengahnya memelintir putingku dengan lembut.

Walaupun aku benci, muak dan tidak suka dengan perlakukan Pak Danang ini, tapi permainannya diputingku membuat nafasku memberat dan nafsu ikut bermain dikepalaku.

Aku belum pernah bertelanjang dada didepan laki – laki manapun, apalagi putting dan buah dadaku dipermainkan seperti ini. Tidak pernah sama sekali.

Hal inipun membuat nafsu dan sakit hatiku bergelut, sehingga membuat keringat keluar dari keningku.

“Dendamku kepada Jarot.” Ucap Pak Danang dan aku langsung terkejut dibuatnya.

Aku menoleh kearah Pak Danang perlahan dan Pak Danang langsung menyambutku dengan mengulum bibirku.

CUUPPP.

Bibir bawahku dihisapnya dan aku diam tidak membalasnya. Hisapannya pun perlahan diikuti dengan permainan lidahnya yang menggesek bibir bawahku. Tangan kirinya meremas buah dada bagian kiriku dengan lembut, sedangkan tangan kanannya terus memainkan putting kananku pelan.

CUPPP, CUPPP, CUPPP, MUAACCHHH.

Kulumannya dilepaskan, lalu dilanjutkan dengan menjilat leher bagian kananku sampai naik kebelakang telingaku.

“Hemmm.” Aku menahan desahanku, karena jilatan dibelakang telingaku ini adalah titik terlemahku. Jangankan dijilat, dipegang saja sudah membuat nafsuku naik perlahan.

“Huuuuu.” Pak Danang meniup lubang telingaku pelan dan membuat tubuhku bergetar.

Getaran ditubuhku perlahan menjadi nafsu, ketika lidah Pak Danang masuk kedalam lubang telinga bagian kananku.

Slurrpppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

Bunyi sapuan lidahnya membuatku memiringkan kepalaku kesebelah kiri, tapi Pak Danang terus mengejarnya dan makin bernafsu menyapu telingaku dengan lidahnya.

Slurrpppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

Pergolakan batinku semakin menjadi dan aku melihat wajahku dikaca, sudah sangat memerah.

Slurrpppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

Jilatannya membuat telingaku basah dan sekarang kedua tangannya turun meraba perutku, lalu berhenti dikancing celanaku.

Dia membuka kancing celanaku pelan, lalu menurunkan resleting celanaku perlahan.

Slurrpppp, slurrppp, slurrppp, slurrppp.

“Uhhhhhh.” Akhirnya desahanku keluar, karena Pak Danang menjilat belakang telingaku lagi.

Kancing celanaku terlepas dan resleting celanaku sudah terturun. Tangan kanannya lalu meraba perutku, kemudian turun kebagian bawah dan mengusap tepat diatas kemaluanku. Rabaannya pelan dan seperti terus memancing nafsuku.

Maafkan Denok Mas Jo. Maafkan wanitamu yang hanya diam dan seolah malah menikmati kebiadaban Pak Danang ini.

“Ternyata sudah basah, huuuuu.” Ucap Pak Danang yang tangannya sudah berada dibelahan kemaluanku, lalu diakhiri dengan tiupan dilubang telingaku lagi. Dia lalu tersenyum dengan wajah yang penuh nafsu.

Gila. Ternyata jari Pak Danang telah berada dibelahan kemaluanku dan aku baru menyadarinya.

Jari tangan kanan Pak Danang terus menggesek kemaluanku dan membuat tubuhku menggelinjang. Sementara tangan kirinya meremas buah dadaku sebelah kiri.

Gesekan jemari Pak Danang perlahan mulai masuk sedikit dan menyentuh daging mungil; yang ada didalam kemaluanku. Pak Danang memainkan daging mungil itu dan membuat kedua lulutku bergetar, serta nafasku memburu. Tangan kirinya terus memainkan putingku, sehingga membuatku tersiksa dengan kenikmatan ini.

“Hu, hu, hu, hu.”

“Uhhhhhh.” Nafas panjangku aku keluarkan sambil mengapit jemari Pak Danang, dengan merapatkan kedua pahaku.

Aku merasakan getaran yang sangat luar biasa di kemaluanku dan cairan mulai merembes keluar.

“Ahhhhhhh.” Desahku sambil mendangakkan kepalaku keatas dan bertumpu pada pundak Pak Danang.

Permainan jemari Pak Danang mulai agak cepat dikemaluanku dan itu menambah kenikmatan yang semakin menggila.

Aku lalu mencengkram tangan Pak Danang, supaya dia menghentikan permainan ini.

“Hubungan dendam dengan Pak Jarot, dan Bapak melampiaskannya kepada Denok apa Pak.?” Tanyaku untuk mengalihkan nafsuku, karena kemaluanku telah benar – benar basah.

Aku yang harusnya marah dan meronta ini, justru harus menerima kenyataan kalau perlahan aku mulai menikmati permainan gila ini.

Entah setan apa yang merasuki aku, tapi yang jelas hembusan nafasnya ditelingaku tadi, seolah menutup kesadaran pikiranku. Aku seperti terhipnotis dan nafsu mulai menguasai kepalaku.

Pak Danang mengangkat jarinya yang ada dikemaluanku dan yang ada dibuah dadaku. Dia memundurkan tubuhnya dan itu membuatku sedikit kecewa.

Gila, kenapa aku bisa seperti ini.? Harusnya aku senang karena dia menghentikannya, tapi kenapa aku bisa kecewa.? Apa Pak Danang sudah bisa menguasai diriku.?

“Aku akan melanjutkan, tapi minumlah dulu.” Ucap Pak Danang sambil menyerahkan sebotol minuman kepadaku.

“Apa Bapak mau menyentuhku lagi.?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.

“Oooo. Rupanya kamu sudah menikmatinya ya.?” Tanya Pak Danang dan langsung membuatku malu.

“Maksud Bapak.?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Hahahaha. Maksudku tadi itu, mau melanjutkan ceritaku. Tapi berhubung kamu sudah bernafsu, kita tunda aja obrolannya ya. Hahahaha.” Ucap Pak Danang, lalu tertawa mengejekku.

Aku yang terpojok ini, langsung mengambil botol minuman ditangan Pak Danang dan meminumnya.

Cairan yang masuk kedalam tenggorakanku yang kering ini, membuatku sangat lega sekali. Aku sangat kehausan, karena kejadian – kejadian yang aku alami tadi. Pak Danang yang melihatku meminum cairan yang diberikannya itu, kembali tersenyum dengan penuh nafsunya.

Aku lalu berjalan kearah meja yang ada didekatku, untuk meletakan botol minuman ini. Dan tiba - tiba, perlahan tubuhku mulai diselimuti gairah sampai membuatku menggigil. Buah dada dan puttingku terasa mengeras, diikuti keringat dingin yang keluar dari seluruh tubuhku.

Aku mencoba menguasai tubuhku yang dikuasai hawa nafsu ini, dengan berdiri tegak dan memegang ujung meja. Aku merapatkan kedua pahaku, sambil menggesekkan antara paha kanan dan paha kiriku. Kemaluanku tiba – tiba berkedut dan kedutan itu semakin lama semakin menjadi. Kedutan itu di iringi cairan yang menumpuk dikemaluanku dan siap untuk membanjiri lantai ini.

Gila, kenapa aku bisa seperti ini.? Apa minuman tadi sudah dicampuri sesuatu, atau aku saja yang terlalu menikmati permainan gila Pak Danang tadi.? Apa aku ingin disentuhnya lagi dan merasakan kenikmatan yang lebih dalam.? Tapi bagaimana bisa seperti ini.? Nggak mungkin aku bisa menikmati seperti ini, kalau Pak Danang tidak berbuat sesuatu kepadaku. Ini pasti gara - gara hembusan nafas Pak Danang ditelingaku tadi, lalu ditambah cairan yang baru aku minum barusan. Gila.

“Uhhhhh.” Aku meliuk – liukan tubuhku karena kemaluanku berkedut dengan kencangnya.

Cukup, cukup, cukup.

Aku tidak boleh larut terlalu dalam lagi dan aku harus menguatkan hatiku. Ada cinta yang tidak boleh aku kecewakan dan dia yang lebih pantas untuk mendapatkan kehormatanku ini.

Aku berusaha mengontrol pikiranku sekuat tenaga dan tidak larut dengan getaran – getaran hawa nafsu yang menguasai diriku.

“Ahhhhhh.” Tangan kananku memegang bagian tengah kemaluanku yang masih tertutup celana ini, sementara tangan kiriku memegang ujung meja dan aku buat tumpuan untuk berdiri.

“Uhhhhh.” Desahku sambil meremas kemaluanku dengan tangan kananku dan kedua pahaku aku rapatkan dengan kuat.

Tujuanku sebenarnya ingin menahan agar cairan dikemaluanku tidak keluar. Tapi kenapa justru aku meremasnya dan aku malah menikmati remasanku sendiri.

Gila. Gairahku semakin memanas, nafsuku semakin menggila dan pikiranku semakin liar.

Aku ingin disentuh lagi, aku ingin dijamah lagi, aku ingin dipeluk lagi dan aku ingin ada jemari yang menjelajahi seluruh tubuhku.

Sret, sret, sret, sret, sret.

“Uh, uh, uh, uh, uh, uh.” Tubuhku mengejang dan cairan yang ada didalam kemaluanku, akhirnya keluar dengan deras dan membasahi celana serta cdku.

“AHHHHHHH.” Desahku.

Aku mendangakan kepalaku dan menikmati semua cairan yang keluar dari kemaluanku. Nikmat ini sangat luar biasa dan aku hanyut di dalamnya.

“Keluarkan sayang, keluarkan semua.” Bisik Pak Danang yang berdiri dibelakangku, lalu dia melingkarkan kedua tangannya didadaku.

“Enggak, aku gak mau Pak. Aku mencintai Mas Joko.” Ucapku yang memberanikan diri menolak perintah Pak Danang.

Aku tegakkan kepalaku dan Pak Danang merapatkan dadanya dipunggungku.

“Kamu cantik, seksi dan menggairahkan sekali.” Bisik Pak Danang ditelinga kananku dan kedua tangannya meremas buah dadaku dengan sangat lembutnya.

Dia terus menggodaku dengan kata – kata yang manis dan remasannya semakin membuatku melayang.

“Ahhhhhh.” Kembali desahanku keluar dan perlahan aku menyandarkan kepala belakangku di bahu kirinya.

Pak Danang pun menyambutnya dengan memainkan kedua putingku.

“Jangan Pak, jangan.” Ucapku dengan suara yang bergetar dan aku tetap menahan gejolak nafsu dihatiku.

“Huuuuu.” Kembali Pak Danang meniup lubang telingaku pelan dan membuat tubuhku bergetar dengan hebatnya.

“Puttingmu ini indah banget sayang.” Bisik Pak Danang sambil terus memainkan puttingku.

“Ahhhhhh.” Desahanku semakin menjadi dan Pak Danang langsung mencium leher bagian kananku.

CUUPPPP.

Lalu dijilitnya leherku sampai didekat daun telingaku.

Sluurrpppp.

Aku memejamkan kedua mataku karena aku sudah tidak kuat lagi. Terserah Pak Danang akan menyakiti aku lagi atau bagaimana, aku sudah pasrah dengan semuanya.

“Kamu mau kenikmatan yang lebih dalam lagi sayang.?” Tiba – tiba suara Mas Jo terdengar ditelingaku dan aku langsung membuka kedua mataku.

Akupun menoleh kearah samping dan Mas Jo langsung menyambutku dengan senyumannya.

“Mas Jo.” Ucapku yang terkejut dengan kehadiran orang yang sangat aku cintai dan aku langsung membalikkan tubuhku kearahnya.

“Kamu mau melakukannya denganku kan sayang.?” Ucap Mas Jo sambil membelai pipiku.

Aku mengangguk pelan, dan.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Bibir kami langsung saling melumat dengan penuh hawa nafsu. Tangan Mas Jo melingkar dipinggangku dan tanganku melingkar dilehernya.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Aku mencintai laki – laki ini dan aku sangat merindukan pelukan hangatnya.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Bibir kami saling menghisap, lalu lidah kami saling bergantian menjelajah didalam mulut kami.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Ciuman yang panas ini benar – benar membakar birahiku dan rangkulanku dilehernya langsung kulepaskan. Kedua tanganku menyentuh bagian atas kancing kemeja yang dikenakannya, lalu aku melepaskan satu persatu kancing itu dengan tetap saling berciuman.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Aku melepaskan ciuman kami ini, lalu aku membuka kemejanya dengan cepat. Senyuman bahagia dibibir Mas Jo, membuatku semakin bersemangat.

CUP, CUP, CUP, CUP.

Aku mengecup bibir, dagu, lalu turun kedada dan perut Mas Jo yang terbuka ini.

Entah siapa yang menuntunku melakukan ini, karena aku belum pernah melakukannya dengan siapapun.

Mungkin karena cintaku yang terlalu besar dengan Mas Jo dan aku ingin menyerahkan kehormatanku kepadanya, jadi aku bisa melakukan hal yang gila ini.

Aku menurunkan kedua lututku dilantai dan posisiku sekarang, berlutut dihadapan Mas Jo. Aku langsung memegang kancing celananya, lalu membukanya dan menurunkan resletingnya pelan.

Dengan tangan yang bergetar dan nafsu yang semakin menggelora, aku menurunkan celana dan cd Mas Jo bersamaan, sampai sebatas pahanya.

Sreetttt.

Kemaluan Mas Jo keluar dan berdiri tegak dihadapanku dengan perkasanya.

Gila. Baru pertama kali ini aku melihat kemaluan seorang pria dan ini sangat jelas sekali. Kemaluan ini besar, berurat dan berwarna coklat tua.

Waw. Apa cukup kemaluan ini masuk kedalam kemaluanku.? Apa tidak robek dan sakit kemaluanku nantinya.? Tapi kenapa kata orang, yang besar ini yang nikmat.? Arrgghhh. Pikiranku semakin ngelantur dan dipenuhi dengan hal – hal yang erostis.

Dengan tangan yang bergetar, aku mulai memegang kemaluan Mas Jo dan kemaluan ini semakin terlihat besar dilingkaran tanganku.

“Di isap dong yang.” Ucap Mas Jo sambil membelai rambutku.

“Maksudnya.?” Tanyaku kepada Mas Jo, sambil mendangakkan kepalaku dan melihat kearah Mas Jo.

“Masukan kedalam mulutmu sayang.” Ucap Mas Jo sambil membungkukan sedikit tubuhnya dan menyentuh bibirku dengan lembutnya.

“Apa cukup yang.?” Tanyaku yang terkejut, sambil terus menggenggam kemaluannya yang benar – benar keras ini.

“Kepalanya aja yang, gak usah sama batangnya.” Ucap Mas Jo, sambil mendorong pinggulnya dan kepala kemaluan Mas Jo mendekat kearah bibirku.

“Denok belum pernah yang.” Ucapku dan Mas Jo membelai rambutku pelan.

“Kamu pasti bisa.” Ucap Mas Jo sambil mendorong lagi pinggulnya dan ujung kemaluan Mas Jo, langsung menempel dibibirku.

Aku membuka pelan bibirku, lalu aku memasukan ujung kemaluan itu didalam mulutku dan menghisapnya dengan kuat.

“AWWW.. Pelan – pelan Nok, jangan kena gigi. Sakit tau.” Ucap Mas Jo dan kata – katanya tidak lembut lagi.

“Ma, ma, maaf Mas.” Ucapku terbata.

“Sudah. Jangan dihisap lagi. Mending kamu jilat aja, seperti menjilat es krim.” Ucap Mas Jo dan aku mengangguk pelan.

Sluurrppp.

Aku menjilat ujung kemaluan Mas Jo perlahan, supaya Mas Jo menikmati dan tidak kesakitan. Aku tidak ingin Mas Jo marah lagi kepadaku.

“Uhhhhh. Begitu yang, iya begitu.” Ucap Mas Jo dan sekarang kata – katanya menjadi lembut lagi.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Akupun bersemangat menjilat ujung kemaluan Mas Jo, karena dia terlihat senang dan menikmati sentuhan lidahku ini.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Ujung kemaluan dan seluruh kepala kemaluan yang berbentuk seperti helm ini, tidak luput dari sapuan lidahku.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

“Ah, ah, ah, ah, ah.” Desah Mas Jo, lalu dia menjambak rambutku dengan kasarnya.

Aku terkejut dengan jambakan Mas Jo ini, tapi aku tetap bersemangat menjilat kemaluannya. Mungkin Mas Jo sangat menikmati dan aku tidak perduli dengan sikap kasarnya ini.

“Sambil kocok batangnya yang, ahhhhhhh.” Perintah Mas Jo kepadaku.

“Gini ya yang.?” Ucapku sambil menggerakan genggaman tanganku di batang kemaluan Mas Jo.

“Iya, terus jilatin lagi.” Ucap Mas Jo.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

Aku menjilati kepala kemaluan Mas Jo, lalu lidahku berhenti dibelahan ujungnya dan menjilati dibagian itu agak lama. Sementara batang kemaluan Mas Jo aku kocok dengan agak cepat.

“AHHHHHHH.” Mas Jo mendesah dengan kerasnya dan jambakannya semakin kuat dirambutku.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

“Ahhhhhhh, uuhhhhhh.” Desah Mas Jo lagi.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

“Cukup, cukup, cukup.” Ucap Mas Jo sambil menarik rambutku kebelakang.

Aku mendangakan kepalaku lagi dan melepaskan genggamanku dibatang kemalaunnya.

Mas Jo menurunkan celana dan cdnya sampai terlepas, lalu membuangnya kesamping kasur. Mas Jo pun sudah bertelanjang bulat dihadapannku yang masih berlutut ini.

Perlahan ditariknya aku sampai berdiri, lalu gantian celana dan cdku yang dilepaskannya.

Waw. Kami berdua sudah bertelanjang bulat dan aku sudah sangat siap, untuk menyerahkan kehormatanku kepada Mas Jo.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Kembali Mas Jo melumat bibirku sambil mendekap tubuhku dengan sangat erat. Kaki Mas Jo melangkah kedepan dan aku melangkah mundur.

CUUUPPPP, CUUUPPPP, CUUUPPPP, MUACCHHHHH.

Mas Jo terus melumat bibirku, lalu melepaskannya dan mendorong dadaku sampai aku terjatuh kebelakang.

Buhhggg.

Aku terjatuh dikasur yang ada dibelakangku, dengan posisi kedua kaki yang menjuntai kelantai.

Diangkatnya kedua kakiku keatas, sampai telapak kakiku berpijak pada kasur. Kedua lututku direnggangkan agak lebar dan aku mengangkan dihadapan Mas Jo.

Mas Jo melihat kearah kemaluanku, lalu dia membungkukan tubuhnya. Dan,

Sluurrppp.

Mas Jo menjilat belahan kemaluanku dan aku langsung mengejang dibuatnya.

“AHHHHH.” Desahku sambil meremas kasur dengan kuat.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Mas Jo menjilati kemaluanku dan lidahnya sedikit masuk kedalam belahan kemaluanku.

“Ahhhh, ahhhhh, ahhhhh.” Desahku sambil menoleh kekanan dan kekiri.

“Mekimu indah Nok, indah banget. Pasti meki ini sempit dan menggigit.” Ucap Mas Jo dengan kata – kata yang kasar dan jorok banget.

Sluurrppp.

Mas Jo menjilat kemaluanku lagi dan sekarang dibagian daging mungil yang terpampang jelas dihadapannya.

“Ahhhhhh.” Desahku.

Gila. Ini nikmat banget dan membuat tubuhku semakin mengejang.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Mas Jo menjilati daging mungil itu dengan cepat dan gesekan lidahnya itu, menambah sensasi yang begitu nikmatnya.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

Jari tengahnya digesekan dibelahan kemaluanku dan lidahnya terus menjilati daging mungil itu.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

Basah dan becek, sangat terasa dikemaluanku.

“Ahhhhhh, Ahhhhhh.” Desahku dan aku membuka kedua mataku.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

“Enak Mas, enak banget. Aahhhhh.” Rengekku dengan manja dan Mas Jo terus menyiksaku dengan kenikmatan ini.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

Dan beberapa saat kemudian, aku merasa ada cairan yang mau menyembur lagi dari kemaluanku.

Aku menahannya dengan kuat, karena aku tidak ingin membasahi wajah Mas jo dengan pipisku.

Sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp, sluurrppp.

Clok, clok, clok, clok, clok, clok.

Jilatan dan kocokan Mas Jo dikemaluanku, akhirnya membuat pertahananku jebol.

Dan tiba - tiba.

Srettt, srettt, srettt, srettt, srettt, srettt, srettt.

Cairan yang deras dan sangat banyak sekali, keluar dari kemaluanku. Cairan ini bukan pipisku, karena terasa sangat berbeda. Cairan ini keluarnya begitu nikmat dan membuatku melayang tinggi ke angkasa.

Tubuhku mengejang, kedua tanganku meremas kain sprei dengan kuat dan kedua pahaku merapat, menikmati sensasi yang luar biasa ini.

“AHHHHHHHH.” Desahku sambil memejamkan kedua mataku lagi.

Kenikmatan ini seolah merenggangkan semua sendi – sendi yang ada ditubuhku dan membuat tubuhku lemas sekatika.

Gila. Baru permainan lidah Mas Jo saja, sudah membuatku seperti ini. Apalagi lagi nanti kalau kemaluan yang besar itu yang bermain, apa aku ga semakin melayang tinggi.

“Uh, uh, uh, uh, uh, uh, uh.” Nafasku cepat dan memburu.

Kedua kakiku pun terturun dilantai lagi dan tubuhku sangat lemas, selemas lemasnya.

“Uh, uh, uh, uh, uh, uh, uh.” Aku mengatur nafasku dan menikmati sisa – sisa kenikmatan yang masih terasa.

Kedua kakiku diangkat keatas lagi dan kali ini pahaku dibuka dengan lebarnya.

“Mas Jo, sabar dulu Mas. Denok istirahat sebentar. Huuuuu.” Ucapku pelan dan aku meminta waktu untuk beristirahat sejenak.

Mas Jo tidak memperdulikan ucapanku dan aku merasa sebuah benda tumpul menggesek bagian tengah kemaluanku.

“Mas.” Ucapku dengan melasnya dan aku tetap memejamkan kedua mataku.

Aku sudah sangat lelah, sampai membuka kedua mataku saja sangat berat sekali.

Gesekan itu terasa semakin dalam dan ujung kemaluan Mas Jo, sudah sedikit masuk didalam kemaluanku.

“Mas Jo.” Rengekku dengan manja, karena gesekan itu terasa sangat geli dan nikmat.

“JAROT. TERIMALAH DENDAMKU INI. ANAKMU SEKARANG SUDAH BERADA DIBAWAH PENGARUHKU DAN AKU AKAN MERENGGUT KEHORMATANNYA SEKARANG JUGA.” Terdengar teriakan Pak Danang yang mengejutkanku dan aku langsung membuka kedua mataku.

Pak Danang sudah bersiap memasukan batangnya di kemaluanku dan tidak ada Mas Jo dihadapanku. Kemana Mas Jo ku.? Kemana dia.?

Aku lalu menoleh kekanan dan kekiri, tapi tidak ada Mas Jo didalam kamar ini. Yang ada hanya Pak Danang dengan wajah yang menakutkan itu.

Gila. Apa dari tadi aku melakukannya dengan Pak Danang.? Bagaimana bisa.? Apa Pak Danang tadi mempengaruhi pikiranku, jadi aku mengkhayal bermain dengan Mas Jo.?

Gila, ini gila banget.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tiba – tiba tangisku pecah dan aku merasa sangat berdosa sekali dengan Mas Jo.

Dan kesedihanku semakin menjadi, karena Pak Danang menyebutku sebagai anak Pak Jarot. Dia membalas dendam kepadaku, karena menurutnya aku anak Pak Jarot. Aku tidak tau kesalahan apa yang telah diperbuat Pak Jarot, sampai harus aku yang menanggung dosanya ini.

“HIks, hiks, hiks, hiks.” Aku terus menangis, sambil memalingkan pandanganku kearah yang lain.

PLAKKK.

Pak Danang menampar pipiku dengan kerasnya, sampai wajahku tertoleh kearahnya.

“Pak. Hiks.” Ucapku yang kesakitan dengan tangis yang tertahan, sambil memegang pipiku yang baru ditamparnya.

“Aku bilang jangan ada suara tangis, masih saja terdengar tangismu itu.” Ucap Pak Danang dengan emosinya, lalu dia mendorong pinggulnya sampai batangnya yang besar itu membelah kemaluanku.

Perih dan sakit sekali terasa kemaluanku, karena Pak Danang memasukkannya dengan paksa.

“Arrrgghhhh.” Aku melotot dan kepalaku aku angkat, sambil mencoba mendorong dada Pak Danang dengan sisa – sisa tenagaku.

Kedua tanganku dipegangnya, lalu diletakan disamping kepalaku dan dia menekannya dengan sangat kuat sekali.

“Jangan berontak atau aku akan lebih kasar lagi sama kamu. Kamu mau aku seret keluar sana.?” Ancam Pak Danang dengan mata yang melotot.

“Ja, ja, jangan Pak.” Ucapku terbata.

“Oke. Nikmati semua ini dan jangan pejamkan matamu.” Ucap Pak Danang, sambil mendorong pinggulnya lagi.

“Iiiiiiiiiii.” Ucapku pelan dan air mataku meleleh, karena kemaluanku semakin perih terasa.

Aku menitikkan air mata, tapi tidak ada suara tangis yang keluar dari mulutku.

Sakit dikemaluanku terasa begitu menyiksa, karena Pak Danang terus memaksa kemaluannya yang besar itu, masuk kedalam kemaluanku. Kemaluannya itupun seakan merobek – robek kemaluanku.

Sakit dikemaluanku terasa sampai didalam hatiku. Hatiku seperti diris – iris karena aku tidak mampu menjaga kehormatanku ini, untuk orang yang sangat mencintai aku dan aku juga mencintainya.

Bret, bret, bret.

Kemaluan Pak Danang semakin dalam tertanam dan terasa telah merobek selaput perawanku.

“Arrgghhhhh.” Rintihku yang kesakitan dan Pak Danang tersenyum dengan puasnya.

Sobekan diselaput perawanku, langsung meluluh lantakan hidupku dan menghancurkan semua impianku. Aku menjadi manusia yang paling berdosa dan aku sudah tidak punya harga diri lagi.

Perih, nyeri dan sakit yang aku rasakan ini, sangat dalam sekali. Air mataku tiba – tiba berhenti mengalir dan aku menatap mata Pak Danang, dengan tatapan yang begitu melasnya.

“Kamu tau Nok. Aku sengaja memancing birahimu dengan bisikan – bisikanku dan aku juga sengaja mencampuri obat untuk minumanmu tadi.” Ucap Pak Danang dan tusukan kemaluannya terasa sangat dalam, sampai terasa didinding rahimku.

Diapun sudah tidak mendorong lagi, karena kemaluannya sudah tertananam seutuhnya dikemaluanku.

Sakit ini benar – benar membuatku terdiam dan aku tidak sanggup lagi untuk mengungkapkan bagaimana perih yang aku rasakan.

“Aku juga sengaja menyuruhmu untuk tetap membuka matamu, agar aku bisa melihat kesedihan dan rasa sakit dimatamu. Kamu tau kenapa.?” Ucap Pak Danang dan tatapan matanya berubah menjadi menyeramkan.

Aku menggeleng pelan dan sangat ketakutan.

“Karena kamu anak si penjahat kelamin, Jarot.” Ucap Pak Danang dan butiran air mataku kembali menetes.

Ya Tuhan. Ternyata aku benar anak dari Pak Jarot. Aku anaknya dan aku harus menerima kenyataan pahit ini, disaat hidupku hancur lebur seperti ini. Hancurnya kehidupanku ini pun, semua karena dia dan aku harus menerima balas dendam dari Pak Danang.

Entah dosa apa yang telah diperbuat laki – laki tidak bertanggung jawab itu, sampai Pak Danang yang kukenal baik hati bisa murka dan sadis seperti ini.

Sekarang yang aku rasakan hanya kesedihan yang tidak terbatas dan kesakitan yang tidak pernah terbayangkan didalam hidupku. Bukan hanya fisikku yang sakit, tapi seluruh hatiku juga terasa perih sekali.

“Jarot telah berani main gila dengan istriku dan Dani itu hasil kegilaan dari mereka. Kamu itu saudara Dani satu Ayah, tapi berbeda Ibu. Jadi kamu pahamkan kenapa dendamku ini kulampiaskan kepadamu.?” Ucap Pak Danang dan aku hanya menggelengkan kepala, karena tidak percaya dengan kelakuan bejat Ayah kandungku sendiri.

“Jarot harus tersiksa dan dia harus melihatmu menderita seumur hidupnya Nok. Dia harus merasakan kepedihan yang aku rasakan, karena putrinya sudah aku tiduri.” Ucap Pak Danang sambil mendekatkan wajahnya kearahku, lalu dia melumat bibir bawahku dengan kasarnya.

“IHHHGGGGGG.” Jeritanku tertahan, karena Pak Jarot menggigit bibir bawahku dengan kuatnya dan dia mulai menggoyangkan pinggulnya dengan sangat kasar sekali.

“HIIIIIIIII.” Suara Pak Danang terdengar geram dan dia terus menggigit bibirku dengan sekuat tenaganya.

Bibir dan kemaluanku terasa sangat perih dan hanya butiran air mata saja, yang bisa mewakili sakit yang aku rasakan.

“Ahhhhhh.” Ucap Pak Danang yang melepaskan gigitannya dibibirku, dan terlihat darah segar digigi serta dari mulutnya yang dipamerkan kepadaku.

Darah itu rupanya dari bibir bawahku dan itu bekas gigitannya yang buas tadi.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Belum sempat aku merasakan sakit dari bibirku yang terluka ini, Pak Danang menggoyang pinggulnya dengan kasar dan sekarang kedua tangannya menjambak rambutku dengan kuatnya.

“Sa, sa, sakit Pak.” Rintihku yang tersiksa sambil memegang memegang kedua tangan Pak Danang.

“Apa.? Sakit.?” Ucap Pak Danang dan dia menekan pinggulnya kedalam dan mataku langsung melotot dibuatnya.

“ARRGGHHHHHH.” Aku kesakitan tapi aku tidak bisa menggerakkan kepalaku, karena tertahan jambakan tangan Pak Danang.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

Pak Danang menarik keluar batang kemaluannya dan menekannya kedalam dengan kuat. Dia melakukannya berulang – ulang dan aku semakin meringis kesakitan.

“Sakitmu kesenanganku, deritamu bahagiaku dan air matamu membangkitkan nafsuku.” Ucap Pak Danang sambil menguatkan jambakannya, lalu terus menggoyangkan pinggulnya dengan cepat dan kasar.

Plok, plok, plok, plok, plok, plok, plok.

“Uhhhhhhh.” Ucapku dan aku sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit ini.

“Hu, hu, hu, hu. Sempit banget mekimu Nok, sempit banget.” Racau Pak Danang.

“Iiihhhhhhh.” Rintihan demi rintihanku, membuat Pak Danang semakin bersemangat memperkosa aku.

“JAROT.!!! MEKI PUTRIMU ENAK BANGET. HAHAHAHA.” Teriak Pak Danang, lalu dia tertawa dengan senangnya.

Pandanganku mulai meredup dan ketika aku akan memejamkan kedua mataku, Pak Danang melepaskan jambakannya, sambil menekan pinggulnya kedalam. Aku tidak bisa merasakan sakitnya kemaluanku, dan tiba – tiba.

PLAK, PLAK, PLAK, PLAK, PLAK, PLAK.

Dia menamparku dengan kuat, lalu tiba – tiba.

Gelap.

Dan beberapa saat kemudian,

Byurr.

Kepalaku basah oleh siraman air dan aku langsung membuka kedua mataku perlahan. Pandangan mataku kabur dan aku memejamkan kedua mataku lagi. Aku tergolek lemah dan seluruh tubuhku terasa sangat sakit sekali.

Gila. Apa yang terjadi dengan diriku.? Kenapa tubuhku terasa sakit dan pandangan mataku kabur.? Apa aku baru saja kecelakaan.? Atau aku bermimpi sangat buruk sekali.?

Uhhhhh.

Rintihku yang kesakitan, sambil mencoba menggerakan tubuhku yang terasa remuk redam ini.

Gila, sakit dan sangat sakit sekali sekujur tubuhku.

Aku lalu membuka kedua mataku lagi dan perlahan pandanganku mulai menerang. Aku lalu melihat sekelilingku dan terlihat Pak Danang berdiri, tanpa mengenakan pakaian sama sekali. Dia berdiri melihat ke arahku, sambil memegang kemeja dan celananya.

Ya Tuhan. Rupanya aku tidak sedang bermimpi buruk atau kecelakaan. Aku baru saja diperkosa oleh manusia biadab itu, karena dia melampiaskan dendamnya kepadaku. Kesalahan yang telah diperbuat oleh orang lain, tapi aku yang harus menanggungnya seperti ini.

“Sebenarnya aku mau membalas dendamku kepada Jarot, dengan lebih kasar lagi kepada dirimu. Tapi jujur, aku sangat menyayangimu Nok. Dendamku seolah runtuh, ketika aku bisa menikmati tubuhmu seutuhnya.” Ucap Pak Danang sambil mengenakan celananya, lalu memakai kemejanya.

Gila. Bisa – bisanya dia mengucapkan rasa sayangnya kepadaku, setelah dia menyakiti aku seperti ini. Manusia yang tercipta dari apa Pak Danang ini.?

“Tunggu sebentar ya. aku masih ingin menikmati tubuh mulusmu lagi. Aku mau keluar sebentar.” Ucap Pak Danang, lalu dia meninggalkan aku dengan terburu – buru.

Aku terdiam dengan posisi masih tertidur diranjang yang penuh dosa ini. Pandanganku mengarah kelangit – langit kamar dan tertuju pada lampu gantung yang ada diatas sana. Sinar lampu itu terlihat meredup dan hiasan dipinggirnya terlihat berdebu.

Hiuffttt, huuuu.

Aku sudah tidak suci lagi Tuhan. Aku sudah kotor dan aku sudah tidak pantas berada didunia yang kau ciptakan ini. Mungkin sakitku ini tidak begitu terasa, dibandingkan dengan sakit yang akan dialami Mas Jo, setelah tau semua ini.

Dia telah kehilangan kedua orang tuanya dan dia juga pasti merasa terpukul dengan apa yang aku alami saat ini. Aku tidak sanggup melihat wajah Mas Jo ketika itu terjadi Tuhan. Jangankan melihatnya, membayangkannya saja aku sudah tak kuasa.

Selain tubuhku yang sudah kotor, ternyata kehidupanku juga sudah lama kotor sekali. Aku dilahirkan dari hasil yang menjijikan, dari hubungan Ibuku dan selingkuhannya. Orang yang selama ini bekerja denganku dikantor dan dulunya aku sangat dekat dengannya, ternyata dia Ayah kandungku. Pak Jarot.

Cukup sudah aku berada didunia ini dan sekarang saatnya aku akan mengakhiri semuanya. Bukannya aku menyerah dengan keadaan Tuhan, tapi keadaan yang akhirnya membuatku mengambil keputusan.

Ijinkan aku mengakhiri semua ini Tuhan. Ijinkanlah.

Hiuffttt, huuuu.

Dengan sisa – sisa tenagaku, aku duduk dengan bersusah payah. Darah begitu banyak tercecer disprei yang berwarna putih ini dan itu darah yang keluar dari kemaluanku.

Kedua kakiku aku turunkan kelantai, lalu dengan sekuat tenaga aku berdiri dan berjalan sempoyongan. Aku ingin mencari tali dan menggantungkannya dilampu hias diatas sana.

Dan ketika aku berdiri didepan kaca, terlihat wajahku begitu menyedihkan. Rambutku acak – acakkan, bibirku berdarah akibat gigitan Pak Danang tadi, kedua pipiku membiru dan mataku terlihat sangat sembab.

Tidak terlihat bekas – bekas kecantikanku lagi, dipantulan kaca itu. Hanya wajah yang kotor dan penuh dosa yang terlihat disana.

Kalau sudah begini, apa yang mau aku tunjukan dihadapan Mas Jo ku tersayang.? Engga ada, engga ada sama sekali.

Aku mengelus wajahku sejenak dan tidak ada rasa sakit sama sekali yang terasa di pipiku yang membiru, ataupun bibirku yang terluka. Sakit yang kurasakan justru dari dalam hatiku yang terdalam.

Akupun tidak sanggup memandang wajahku yang kotor dan hina ini terlalu lama lagi.

Aku lalu membuang pandanganku kesekeliling ruangan kamar ini, untuk mencari tali.

Karena tidak ada tali yang kutemukan dan hanya terlihat asbak yang berada diatas meja, aku pun berjalan kearah asbak itu dan mengambilnya. Aku lalu berjalan mendekat kearah kaca itu lagi.

Dan.

PRANGGGG.

Aku melemparkan asbak itu sekuat tenagaku, sampai kaca dihadapanku pecah berantakan. Aku membungkukan tubuhku dan mengambil salah satu pecahan kaca, setelah itu aku berdiri lagi sambil menempelkan bagian tajam kaca ke urat nadi dipergelangan tangan kiriku.

Maafkan Denok Mas Jo, Maafkan Denok. Aku tidak bisa mendampingi disisa hidupmu, tapi cintaku akan abadi selamanya untukmu.

BRUAKKKK.

Pintu kamar ini didobrak dan aku langsung melihat kearah pintu kamar yang terbuka itu. Seorang laki – laki berdiri menatapku, dan.

Sreetttttt.

Aku goreskan pecahan kaca ini ke lenganku dan aku menekannya sangat kuat sekali.





#Cuukkk. Aku hanya menatapnya dan aku tidak mengucapkan sepatah katapun. Aku sudah lelah di dunia ini dan cukup sudah rasa yang kualami. Rasa cinta untuk yang pertama dan yang terakhir, rasa sakit yang juga untuk pertama dan yang terakhir. Selamat tinggal untuk semua.
Cok kegowo banget emosine ... sangar seng nulis
 
Selamat sore Om dan Tante.

Selamat menikmati kisah yang seharusnya aku ikutkan LKTCP 2021.

Tapi berhubung tidak sempat, ya aku posting disini saja.

Semoga kisah ini masih bisa dinikmati dan semoga tidak bosan membaca coretan yang menggathelkan ini.

Mohon maaf atas segala kekurangan dan terimakasih masih mengikuti cerita yang tidak tau kapan akan berakhirnya ini.

Oh iya, mohon maaf kalau tidak ada adegan enak - enaknya ya.

Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
:beer::beer::beer:



Pulau Seberang, 14 November 2021.
Kisanak87.
Apakah sudah tamat suhu @Kisanak87 ?
Cakra itu suhu @Hiukali bukan ya? Ora umum :p:Peace:

Cerita yang luar biasa, tapi ada menggantung dengan zaky dan Joko. Apakah ada kelanjutannya? impian 3?

Abimanyu kembali ke Indonesia mengusung trah-nya Gilang untuk menghentikan "om-nya" (Joko)?

Terimakasih, banyak pelajaran dari cerita ini. Gendhis, Bu Har, bu Atika, Bu Nyoto, Sarah.. hmm :genit::victory:

keren suhu
 

BAGIAN 42
I M P I A N



Pop Gilang.

“Huaaammm, nyam, nyam, nyam, nyam.”

Aku bangun dari tidurku dan istriku masih tertidur disebelahku dengan nyeyaknya. Wajahnya terlihat sangat keletihan, karena aktifitas yang sangat padat beberapa minggu ini.

Kami berdua disibukkan dengan tugas akhir dan belum lagi dia merawatku karena sakit yang kuderita ini semakin menjadi.

Wajah cantik istriku terlihat agak memucat dan aku membelai rambutnya perlahan. Aku dekatkan wajahku dikeningnya, lalu aku kecup dengan sangat lembutnya.

Cuuppp.

“Hemmmm.” Gumam istriku, lalu dia menggeliatkan tubuhnya dan matanya tetap terpejam.

Ratna tetap tertidur dan dengkuran halusnya, menandakan kalau dia benar – benar sangat letih sekali.

Aku benarkan letak selimut ditubuhnya, setelah itu aku bangun dan berjalan ke arah jendela kamarku.

Aku buka jendela kamarku dan udara pagi langsung masuk kedalam kamarku. Dingin dan sangat segar aroma yang aku hirup. Aku memandang ke arah timur dan mentari pagi masih malu – malu untuk memancarkan sinarnya.

Aku lalu berjalan ke arah lemari, setelah itu aku bercermin disana.

Dikeremangan cahaya pagi ini, aku melihat pantulan wajah dan tubuhku dicermin.

Tubuhku mengurus dan terlihat sangat menyedihkan sekali. Daging dan lemak yang berada diseluruh tubuhku hilang entah kemana, meninggalkan tulang – tulang yang terbungkus kulitku.

Aku sering kali mual, lalu memuntahkan apa saja yang ada didalam perutku. Tidak ada nafsu makan sama sekali, bahkan meminum air saja aku jarang melakukannya.

Bola mataku menguning dan disekitar area mataku cekung kedalam. Pipiku kempes dan kulit wajahku terlihat agak keriput.

Gila. Empat puluh hari sudah aku mengetahui penyakitku dan selama itu perubahan drastis terjadi pada tubuh ini.

Hilang sudah tubuhku yang tegap dan digantikan dengan tubuh yang kering kerontang. Hilang sudah kepalan tanganku yang kuat dan digantikan dengan tulang – tulang yang sangat lemah. Hilang sudah kesegaran diwajahku dan digantikan dengan wajah yang sayu dan memucat.

Waktu yang sangat singkat untuk mengubah diriku seperti ini dan aku tidak mampu berjuang melawannya. Ternyata aku sangat lemah dan tidak ada apa – apanya.

Aku tidak menyesali semua ini, bahkan aku tidak meratapi nasibku. Aku hanya terenyuh ketika orang lain menatapku dengan tatapan kesedihan. Mereka mencoba menyembunyikan dari aku, tapi perasaanku terlalu dalam menyambutnya. Mereka mencoba menutupi dari aku, tapi hatiku terlalu tanggap menerimanya. Mereka mencoba membohongi aku, tapi pikiranku terlalu peka melihatnya.

Hiuufftt, huuuu.

Sudahlah. Hatiku pasti akan menjerit kalau harus membahas itu. Aku tau mereka melakukan itu karena besarnya sayang dan perhatian mereka kepadaku. Lebih baik aku berpura – pura buta dan tuli, sama seperti yang mereka lakukan. Bukan karena tidak perduli, tapi karena besarnya rasa sayang dan perhatian yang juga aku miliki.

Aku lalu melihat ke arah istriku dan dia tetap tertidur dengan nyenyaknya. Akupun langsung berjalan ke arah dapur, untuk membuatkan teh yang biasanya dia minum setiap pagi. Dia biasa membuat sendiri dan dia juga membuatkan aku minuman. Tapi untuk hari ini, aku ingin dia yang beristirahat dan aku yang akan melayaninya, seperti dia melayani aku setiap harinya.

Belum ada aktifitas dikosanku yang juga befungsi sebagai kantor kami ini. Joko, Mas Candra dan Mas Jago, masih beristirahat dikamar masing – masing. Mereka bertiga semalam lembur, mengerjakan laporan proyek – proyek yang sedang berjalan. Sebenarnya aku ingin membantu, tapi sekali lagi kondisiku tidak mendukung dan mereka bertiga beserta istriku melarang keras aku untuk memikirkan masalah kantor.

Oh iya. Untuk masalah tugas akhir, kami bertiga sudah menyelesaikannya. Beberapa hari yang lalu aku, Joko dan Ratna sudah melaksanakan sidang kompre atau sidang hasil, untuk skripsi kami. Hari ini rencananya kami bertiga akan mengikuti sidang yudisium, lalu bulan depan kami akan diwisuda.

Tugas akhir kami ini tergolong cepat dan kami mampu menyelesaikannya tepat waktu. Bukan karena rasa iba dari para dosen pembimbing dan juga dosen penguji kepadaku, tapi karena aku benar – benar menguasai skripsi yang aku buat.

Seluruh isi didalam skripsiku sangat aku kuasai dan aku mampu menjelaskan kepada dosen pembimbing pada saat penyusunan sikripsi, maupun kepada dosen penguji pada saat seminar hasil. Ya walaupun ada beberapa revisi, tapi tidak terlalu banyak dan aku bisa menyelesaikannya.

Dan sekarang kita kembali lagi diaktifitasku dipagi buta ini.

Aku menyalakan kompor untuk memasak air, setelah itu aku menyiapkan beberapa gelas untuk minuman. Satu gelas teh untuk Ratna, tiga gelas kopi untuk Mas Jago, Mas Candra dan juga Joko. Sedangkan untuk aku, aku hanya mencicip sedikit teh yang diminum Ratna, seperti biasanya. Lambungku sudah tidak bisa menerima segelas teh, apalagi segelas kopi.

Klinting, klinting, klinting.

Aku menuangkan air yang mendidih, lalu mengaduk teh dan kopi bergantian.

“Sayang.” Ucap Ratna yang tiba – tiba muncul di dapur sambil mengikat rambut panjangnya kebelakang.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku dan Ratna langsung berjalan mendekat ke arahku dengan terburu – buru.

“Kenapa buat teh sendiri.? Kenapa gak bangunin Ratna.? Sayang gak boleh capek – capek loh.” Ratna mengomel kepadaku dan dia langsung merebut sendok ditanganku, lalu melanjutkan mengaduk teh yang tadi aku lakukan.

Wajah istriku terlihat marah, khawatir dan juga jengkel, yang dibungkus dengan penyesalan yang sangat luar biasa.

Klinting, klinting, klinting.

Adukannya sangat cepat, padahal warnanya sudah kecoklatan dan rasanya pasti sudah tercampur antara gula, air dan juga teh. Tapi istriku terus mengaduknya dengan emosi yang tertahan.

Aku lalu memeluk tubuh istriku dari belakang dan posisi wajahku diatas pundak kanannya, lalu aku mengecup pipi kanannya dengan lembut.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku lagi dan aku mengulangi kata – kataku tadi.

Ratna mengehentikan adukannya, lalu dia menundukkan kepalanya sejenak. Dadanya sedikit bergetar dan dia seperti menahan tangisnya. Ratna lalu menarik nafasnya dalam – dalam, setelah itu dia mengeluarkannya pelan.

“Hiuffttt, huuuu.”

Perlahan dia memutar tubuhnya sampai menghadap ke arahku dan matanya terlihat berkaca – kaca.

“Maaf Mas, Ratna ketiduran.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar dan aku langsung membelai pipinya dengan lembut.

“Selamat pagi cinta.” Ucapku lagi dan kata – kata ini, selalu aku ucapkan ketika dipagi hari kepada istriku.

Hiuuuffftt. Huuuu.

Ratna menarik nafasnya dalam – dalam, sambil menatap mataku.

“Se, se, selamat pagi sayang.” Akhirnya Ratna menjawab seperti biasa dan itu langsung membuat bibirku tersenyum.

CUPPP.

Aku mengecup keningnya, setelah itu aku menatap matanya lagi.

“Sayang sudah melakukan banyak hal yang terbaik untukku dan sebagai ucapan terimakasihku, aku sengaja bangun pagi ini, untuk membuatkan sayang teh hangat.” Ucapku sambil membelai pipinya.

“Maaf, hanya itu yang bisa aku lakukan untukmu saat ini.” Ucapku, lalu kembali aku tersenyum kepadanya.

“Sayang ini ngomong apa sih.? Sayang itu segalanya bagi Ratna dan sayang juga sudah melakukan banyak hal, bagi hidup Ratna. Jadi kenapa sayang harus mengeluarkan ucapan seperti itu.?” Ucap Ratna dengan suara yang terus bergetar dan tatapan mata yang sayu.

“Sayang itu mataharinya Ratna, yang bersinar terang disiang hari. Sayang itu bulannya Ratna, yang menuntun jalan digelapnya malam. Sayang itu pegangan hidup dan sayang itu penunjuk jalan kehidupan bagi Ratna.”

“Sayang itu cintanya Ratna dan tak akan tergantikan selamanya.” Ucap Ratna lagi dan aku terus membelai pipinya.

“Aku itu bukan siapa – siapa tanpa dirimu yang.” Ucapku sambil menatap mata Ratna.

“Jangankan menjadi matahari yang bersinar terang, menjadi bulan yang cahayanya meredup, akupun tidak sanggup.”

“Aku tidak memiliki apa - apa dan hanya cintamu yang membuatku memiliki segalanya.” Ucapku dan aku akhiri dengan kecupan dibibir Ratna.

Cuuppp.

Aku lalu menatap kembali mata Ratna yang berkaca – kaca.

“Aku adalah.” Ucapku terpotong.

Cuuppp.

Ratna melumat bibirku dan kedua tangannya langsung merangkul leherku.

Cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp.

Air mata Ratna perlahan turun disela lumatan kami, lalu mengalir dengan derasnya dan ikut bermain dilumatan bibir kami ini.

Cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp, cuuppp.

“Muacchhh.” Aku melepaskan kuluman kami, karena aku tidak sanggup melihat Ratna menangis seperti ini dan aku lebih tidak sanggup merasakan air matanya dibibirku.

“Kenapa yang.? Kenapa.? Sayang sudah berjanji tidak akan menangis dihadapanku, tapi kenapa sekarang air mata ini menetes lagi.?” Tanyaku sambil membersihkan air matanya yang terus mengalir.

“Maaf yang, maaf. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna dan dia mencoba menahan, agar air matanya tidak mengalir semakin deras .

“Ratna terlalu rapuh dan Ratna perempuan lemah. Hiks, hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna dan ternyata dia tidak mampu menahan air matanya.

“Enggak yang, enggak. Kamu wanita yang sangat luar biasa dan kamu wanita yang sangat kuat. Kalau kamu wanita yang lemah, kamu tidak akan berdiri disini bersamaku.” Ucapku dan Ratna langsung memelukku dengan erat.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Ratna semakin menjadi dan itu membuat dadaku terasa sesak sekali.

“Jangan menangis yang, jangan menangis.” Ucapku sambil mengelus punggungnya.

Cok. Kenapa aku melarang Ratna untuk mengeluarkan air matanya.? Kenapa.? Sudah kodratnya sebagai manusia itu bisa tertawa, menangis, bersedih dan berbahagia. Terus apa hakku untuk melarangnya.?

Tertawalah, jika memang harus tertawa. Menangislah, jika memang harus menangis.

Manusia itu mempunyai nafsu, gairah, ambisi, emosi dan lain sebagainya. Manusia mempunyai berbagai cara untuk meluapkan apa yang dirasakannya dan tidak ada satupun manusia lain yang boleh melarangnya.

Apa orang yang ingin menangis harus disuruh tertawa.? Atau orang yang ingin tertawa disuruh menangis.? Atau malah disuruh diam.? Jangan, jangan lakukan itu.

Silahkan menghibur ketika orang sedang bersedih dan silahkan ikut tertawa ketika dia berbahagia. Tapi jangan pernah melarang orang yang ingin mengeluarkan apa yang sedang dirasakannya, atau orang itu akan menggila dan membungkam congkaknya dunia. Bajingan.

“Hiks, hiks, hiks, hiks.” Tangis Ratna semakin menjadi dan sekarang aku hanya mendengarkannya, sambil membelai rambutnya pelan.

Joko terlihat memunculkan wajahnya, karena tangis Ratna yang mungkin membangunkannya. Dia tidak berani mendekat dan dia hanya melihatku sebentar, setelah itu dia membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkan kami.

Kaos bagian dadaku telah basah oleh air mata Ratna, tapi aku tetap membiarkannya, meluapkan tangisnya dipelukanku.

Ratna menarik nafasnya dalam – dalam dan dadanya terasa bergetar dengan hebatnya. Aku terus membelai rambutnya dan sesekali bagian punggungnya.

Perlahan tangisnya mulai mereda dan sekarang berganti dengan isakan – isakan yang jujur sangat menggores hatiku.

“Hup.” Ucap Ratna menahan nafasnya sesaat, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Te, te, terimakasih sudah membiarkan Ratna menangis di dada ini sayang.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar.

“Kenapa harus mengucapkan kata terimakasih, ketika kamu sudah selesai meneteskan air mata.? Dan kenapa ketika kamu selesai tertawa bahagia, kamu hanya mengakhirinya dengan memeletkan lidahmu kepadaku.?” Tanyaku dan Ratna langsung mengangkat wajahnya dari dadaku, lalu menatap mataku sambil mengerutkan kedua alis matanya. Rupanya pertanyaanku tadi berhasil menghentikan tangisnya.

“Kamu gak adil. Padahal tangis dan tawa itu jaraknya dekat, sedekat bibir atas dan bibir bawahmu, ketika akan mengulum bibirku.” Ucapku dengan asalnya.

“Apasih yang.? Kok ga nyambung gitu.” Ucap Ratna, sambil membersihkan sisa air matanya.

“Aku itu nyambungnya, kalau sudah mengecup bibir atas dan bibir bawahmu.” Ucapku, lalu aku mengecup bibir Ratna pelan.

CUUPPP.

“Djiancok.!!!” Terdengar Joko memaki dari ruang tengah.

“Kari ngecupp ae, omongane nggatheli.” (Tinggal mengecup aja, ucapannya menjengkelkan.) Sahut Mas Jago dan mereka berdua tidak terlihat dari posisi kami yang masih sedang berpelukan ini.

“Asyik, asyik josss.” Ucap Mas Candra yang ikut bersuara.

“Sayang sih. Kenapa pakai acara kedapur.?” Ucap Ratna dan wajahnya sudah tidak sesedih tadi.

“Untung didapur, jadi mereka cuman dengar suara kecupan aja. Coba kalau kita diruang tengah, mereka bertiga malah bisa lihat kita kecupan.” Jawabku dan Ratna langsung memencet hidungku pelan.

“Iihhhhh. Ada aja jawabannya.” Ucap Ratna, lalu dia membalikan tubuhnya.

“Mau sarapan apa ini.?” Tanya Ratna.

“Cukup sarapan kecupan aja, aku sudah kenyang banget.” Jawabku sambil merapat ke arah tubuhnya dan memeluknya dari belakang lagi.

“Yang.” Ucap Ratna dan aku hanya tersenyum saja.

Aku lalu mendekatkan wajahku ke arah samping wajah Ratna, lalu ketika aku akan mengecupnya, Ratna langsung menghindari kecupanku.

“Sayang jangan mulai lagi ya. Entar mereka dengar lagi loh.” Ucap Ratna pelan.

“Gak apa – apa. Telinga mereka sudah kebal kok.” Jawabku dan aku memajukan bibirku lagi.

“Sayang ah.” Ucap Ratna, sambil teus menghindari ciumanku.

“Ancene asuuu’og” (Memang anjing kok.) Ucap Joko.

“Tuhkan, assunya bersuara.” Ucap Ratna lalu dia menutup mulutnya, karena dia reflek dan tidak sadar mengucapkan itu.

“Apa Rat.?” Tanya Joko.

“Maaf mas, maaf. Maksud Ratna itu, Mas Joko yang bersuara.” Jawab Ratna dengan rasa bersalah.

“Mas Joko juga gitu, kenapa pakai acara memaki sih.? Ratna kan jadi keceplosan.” Ucap Ratna lagi.

“Ancene sak bojone podo - podo nggathelli.” (Memang seperti suaminya sama - sama menjengkelkan.) Gerutu Joko.

“Jenggongngo Jok, jenggongo. Uu, aa, uu, aa.” (Menggonggonglah Jok, menggonggonglah. Uu, aa, uu, aa.) Ucap Mas Jago.

“Iku suarane kete’ Mas, duduk asu. Bajingan.” (Itu suara monyet Mas, bukan anjing. Bajingan.) Sahut Joko.

“Hahahaha.” Mas Jago dan Mas Candra tertawa dengan kerasnya.

“Mandi sana Mas. Kita mau kekampus loh.” Ucap Ratna dan aku langsung melepaskan pelukanku ditubuh Ratna.

“Kita sarapan diluar aja kalau begitu.” Ucapku.

“Jangan ah. Ratna mau buat nasi goreng aja. Nasi semalam masih banyak, sayang kalau pagi ini gak dimakan.” Jawab Ratna.

“Oke deh.” Ucapku dan aku langsung berjalan ke arah ruang tengah, dengan kepala yang sedikit bergoyang.

Cok. Kenapa kepalaku tiba – tiba pusing ya.? Sudahlah. Mungkin karena belum sarapan, kepalaku jadi pusing seperti ini.

Aku terus berjalan dan aku menguatkan pijakanku, agar jalanku tidak sempoyongan.

Diruang tengah, ketiga sahabatku sedang duduk dan tidak ada yang merokok satupun. Semenjak aku sakit seperti ini, mereka merokoknya pasti diluar pagar kosan. Apalagi semenjak kedatangan Ratna, mereka jadi semakin segan untuk merokok dilingkungan kosan kami.

Hiuufftt, huuuu.

Ketiga sahabatku yang sedang duduk santai itu, langsung melihat ke arahku. Mereka melihat dari ujung kaki, sampai ujung rambut atasku. Tatapan yang tadinya terlihat biasa, perlahan terlihat sayu dan mereka bertiga seperti mengkasihani kondisiku yang semakin kurus ini.

“Apa rencananya hari ini.?” Tanyaku dan aku berdiri sambil menyandarkan pundakku didinding, agar tidak terlalu terlihat kalalu tubuhku sedikit bergoyang karena kepalaku yang pusing.

Akupun sengaja menatap mereka satu persatu dan mereka langsung memalingkan wajahnya. Mereka tidak mungkin berani menatapku terlalu lama, kalau aku melihat mata mereka.

“Kami berdua mau kekampus teknik kita, untuk melihat kalian bertiga sidang yudisium.” Jawab Mas Candra, lalu dia melihat ke arah lain.

“Iya.” Sahut Mas Jago dan bertepatan dengan Ratna yang datang, sambil membawa nampan yang berisi tiga gelas kopi.

“Tumben buat kopi Rat.? Biasanya buat teh.” Ucap Joko dan dia tidak berani melihat ke arahku lagi.

“Kopi ini special buatan Mas Gilang, untuk Mas – Mas.” Ucap Ratna sambil meletakkan nampan diatas meja, setelah itu Ratna berjalan ke arah dapur lagi.

Ketiga sahabatku ini langsung melihat ke arahku dan tatapan mereka terlihat semakin sayu saja.

“Minum kopinya, biar ga ngantuk.” Ucapku lalu aku berjalan ke arah kamarku dan mereka bertiga langsung terunduk satu persatu.

Dadaku perlahan berdenyut dengan pelan dan itu biasanya pertanda penyakitku akan kambuh. Aku mempercepat langkahku, agar ketika sakit ini datang, tidak ada yang mengetahuinya.

NYUTTT.

Bagian hatiku terasa diremas dengan kuat, ketika aku sampai didalam kamarku dan aku langsung menutup pintu kamarku.

Aku sandarkan punggungku dipintu kamar dan kepalaku aku dangakkan, agar memudahkan aku untuk menarik nafas.

“Uh, uh, uh, uh.” Nafasku berat dan jantungku terasa berhenti berdetak.

Aku langsung meremas dadaku, agar sakitnya tidak terlalu menyiksaku. Tujuan lainku meremas dadaku, untuk memompa jantungku agar berdetak seperti biasa.

Apa itu berpengaruh.? Tidak, itu tidak berpengaruh sama sekali. Sakit didadaku terasa semakin perih dan air mataku sampai menetes dibuatnya. Jantungku semakin berdetak lemah dan aliran darahku juga seperti melambat.

“Uh, uh, uh, uh.” Aku berusaha menarik nafasku, tapi sangat sulit sekali.

Paru – paruku seperti tertutup dan tidak ada udara sama sekali didalam sana.

“Hu, hu, hu, hu, hup.” Aku berusaha menarik nafasku lagi dengan sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bisa.

Djiancok. Apa aku akan mati hari ini.? Jangan, jangan dulu. Aku belum menggapai impianku dan aku harus tetap berjuang agar bisa bernafas seperti biasa.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Aku berhasil menarik nafas pendekku dan aku keluarkan pendek juga.

Pandanganku tiba – tiba berbayang dan tertuju pada sebuah botol yang ada diatas meja. Botol ramuan yang isinya masih penuh dan baru kemarin dikirim kekosanku.

Aku berjalan tertatih – tatih ke arah meja, sambil terus meremas dadaku.

“Hup, uh, hup, uh, hup, uh.” Nafas pendek kembali aku lakukan, tapi nyeri didadaku justru semakin sakit.

Tap.

Akhirnya aku bisa memegang botol ramuan itu, tapi seluruh tubuhku bergetar dengan hebatnya. Aku berusaha membuka tutup botol, tapi sangat kesulitan. Selain tanganku yang gemetaran, tiba – tiba seluruh jemariku kaku dan sulit aku tekuk.

Aku berusaha membuka penutup botol sekuat tenagaku dan akhirnya usahaku tidak sia – sia.

Aku pegang botol ramuan dengan kedua telapak tanganku yang terbuka, lalu aku arahkan kemulutku.

Kedua lututku bergetar dan tubuhku langsung terasa lemas, sebelum ramuan itu sampai kemulutku.

Dan tiba – tiba.

BUHGGG.

Tubuhku lunglai dan aku langsung terjatuh dilantai kamarku. Botol ramuan yang telah terbuka, membuat isinya tertumpah ditubuhku dan aku tergelak dengan bermandikan ramuan.

“DJIANCOK.!!!” Terdengar makian dari luar kamarku dan,

BRUAKKKK.

Pintu kamarku didobrak, lalu terdengar teriakan histeris dari Ratna dan juga teman – temanku.”

“MAS GILANG.!!!”

“GILANG.!!!”


Pop Joko.

Djiancok. Kondisi tubuh Gilang yang semakin kurus, membuatku tidak tega berada didekatnya. Ingin sekali aku pergi, tapi hati ini selalu menahannya.

Aku selalu menangis didalam hati, apalagi ketika mendengar tarikan nafasnya yang berat. Aku tidak bisa melakukan apa – apa, walaupun sekedar berobat. Uang tabungan hasil dari proyek – proyek kami cukup banyak. Tapi untuk apa uang yang banyak, kalau tidak bisa membeli kesehatan.? Untuk apa uang banyak, kalau tidak bisa membeli nafas.? Untuk apa uang banyak, kalau tidak bisa makan.? Untuk apa semua itu.? Djiancok.

Ternyata uang bukan segalanya didunia ini. Coba bayangkan. Uangmu sangat banyak dan bisa membeli makanan yang sangat lezat, tapi kamu tidak punya nafsu makan dan kamu tidak bisa memakannya, walau sesuap saja. Percuma kan.? Itu yang dialami Gilang saat ini.

Setiap hari aku selalu membelikan dia makanan yang enak – enak yang dulu kami tidak mampu membelinya, tapi saat ini justru dia tidak bisa memakannya. Aku ingin dia makan yang banyak, agar tubuhnya menjadi kekar seperti dulu. Tapi jangankan sesuap, satu butir nasipun dia tidak sanggup untuk memakannya. Meminum air putihpun, dia sangat kesusahan, apalagi mengunyah makanan. Asuuu, asuuu.

Hiuuftt, huuuu.

Dan pagi buta ini, aku terbangun dari tidur ketika mendengar tangisan Ratna yang sangat menyedihkan. Bukan hanya aku saja yang terbangun, tapi juga Mas Candra dan Mas Jago yang sudah duduk diruang tengah.

Sebenarnya kami sudah terbiasa mendengar tangis Ratna dan juga melihat wajah sedihnya, ketika penyakit Gilang kumat. Tapi bukannya dia menunjukan tangisnya itu ataupun memamerkan kesedihannya loh ya, bukan seperti itu. Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya itu dari kami maupun dari Gilang, tapi kami sering memergokinya dengan tidak sengaja.

Dan untuk akhir – akhir ini, tangis Ratna terdengar semakin menyedihkan dan itu membuat kami semua terjaga. Kondisi Gilang yang semakin parah, membuat kami semua khawatir dan was – was dengan keadaannya.

Hiuffttt, huuuu.

Saat ini tiga gelas cangkir kopi tersaji dihadapan kami dan itu membuat dadaku bergetar. Air mataku berkumpul dikelopak mataku dan siap untuk tertumpah. Aku menahan sekuat tenaga agar air mata ini tidak menetes, karena Gilang berdiri tidak jauh dihadapanku. Gilang itu tidak suka dikasihani, apalagi ditangisi karena keadaannya.

Akupun sengaja tidak melihat ke arahnya, karena aku tau dia mencoba kuat dihadapan kami. Ingin rasanya aku merangkul dia dan menjadikan tubuhku sebagai tumpuannya, agar dia semakin tegak berdiri. Tapi apa bisa itu aku lakukan.? Tidak mungkin, karena Gilang pasti akan menolaknya dengan alasan tidak ingin merepotkanku. Assuuu.

“Minum kopinya, biar ga ngantuk.” Ucap Gilang yang mengejutkanku dan dia langsung berjalan ke arah kamarnya.

Jalannya sempoyongan dan aku langsung berdiri dengan cepat, ketika dia sudah melewati kami. Aku ingin membantunya dan menuntunnya, masuk kedalam kamar.

Mas Candra dan Mas Jago langsung mengkodeku, agar aku tetap disini.

Akupun hanya melihat punggung Gilang dan ketika dia sudah masuk kedalam kamarnya, aku langsung terduduk dengan lemasnya.

“Percuma kamu membantunya berjalan. Dia pasti akan menolaknya dan ujung – ujungnya kamu hanya bisa menangis.” Ucap Mas Candra pelan.

“Iya cok. Kalau saja Gilang mau dibantu, aku sendiri yang gendong dia kedalam kamarnya.” Ucap Mas Jago dengan emosi yang tertahan dan aku tetap diam sambil melihat ke arah kopi yang dibuat oleh Gilang.

“Sudahlah, lebih baik kita nikmati saja kopi buatan Gilang ini. Dia pasti sudah bersusah payah membuatnya untuk kita.” Ucap Mas Candra sambil mengambil segelas kopi, lalu dia meminumnya perlahan.

“Kalau saja Gilang gak sakit, kopi ini pasti semakin nikmat dengan isapan sebatang rokok.” Ucap Mas Jago yang juga mengambil segelas kopi.

Kembali aku menarik nafasku dalam – dalam, lalu setelah itu aku ambil kopi bagianku dan aku tidak langsung meminumnya. Aku dekatkan gelas kopi ke hidungku dan aku lansung menghirup aromanya.

“Hemmmm.”

Aroma kopi buatan sahabatku ini sangat wangi sekali, tapi tidak sewangi jalan takdir hidupnya.

“Sruupppp.”

Aku sruput kopi ini dan rasa nikmatnya, langsung membuat air mataku menetes. Air yang digunakan untuk kopi ini pasti direbus dengan cinta, lalu diaduk dengan sayang dan diseduhkan dengan persaudaraan.

Rasa pahit dari kopi ini pasti dari keras kepalanya dan rasa manis kopi ini dari semangatnya yang tidak pernah padam.

“Ahhhhh.”

Hembusan nafasku aku keluarkan, setelah cairan kopi ini melewati tenggorokanku.

“Mas Gilang dimana.?” Tanya Ratna yang muncul dari ruang dapur.

“Dikamar.” Jawabku dengan gelas kopi yang aku pegang.

“Kok kamarnya ditutup.?” Ucap Ratna dengan wajah yang terlihat sangat khawatir dan kami semua langsung melihat ke arah pintu kamar.

BUHGGG.

PRANGG.

Terdengar suara seseorang terjatuh dari dalam kamar Gilang dan gelas yang ada ditanganku langsung terlepas dari gengamanku. Gelasnya pecah dan pecahannya terhambur dilantai.

“DJIANCOK.!!!” Makiku dan aku langsung berdiri.

Aku lalu berlari ke arah kamar Gilang dan ketika aku sudah berada beberapa langkah dari pintu kamar, aku langsung meloncat dan mengarahkan injakan kakiku kepintu kamar.

BRUAKKKK.

Pintu kamar terbuka dan Gilang tergeletak dilantai, dengan tubuh yang dipenuhi ramuan yang biasa diminumnya.

“MAS GILANG.!!!” Teriak Ratna dengan histerisnya.

“GILANG.!!!” Aku, Mas Jago dan Mas Candra juga berteriak, lalu kami semua berlari ke arah Gilang.

Aku bersimpuh disebelah Gilang dan kepalanya langsung aku letakan dipahaku.

“Hup, hu, hup, hu, hup, hu, hup, hu.” Gilang berusaha bernafas dengan dadanya yang terasa bergetar. Wajahnya memucat, mulutnya menganga dan matanya melotot. Aku sangat panik dan aku sangat ketakutan sekali.

“Kita kerumah sakit sekarang, kita kerumah sakit sekarang.” Ucapku dengan paniknya.

“Hiks, hiks, hiks.” Dan Ratna menangis sesenggukan.

“Huppp, huuu, huppp, huuu.” Nafas Gilang sudah agak panjang dan dia melakukannya sambil menggelengkan kepala.

Dia menolak ajakanku kerumah sakit dan itu membuat emosi langsung menguasai kepalaku.

“Kita kerumah sakit aja Lang.” Ucap Mas Candra yang coba merayu Gilang dan Gilang tetap menggelengkan kepalanya pelan.

“Huppp, huuu, huppp, huuu.” Nafas Gilang mulai gak cepat dan Ratna langsung menggenggam tangannya.

“Mas.” Ucap Ratna dan kembali Gilang menggelengkan kepalanya.

“A, a, aku gak apa – apa. Huuuu.” Ucap Gilang terbata, lalu dia menghela nafas panjangnya.

“Gak apa – apa bagaimana.?” Tanyaku sambil menahan emosiku dan Mas Candra langsung menepuk pundakku pelan.

“Huupppp, huuuuu. Huupppp, huuuuu.” Gilang menarik nafas panjangnya, lalu dia menutup matanya sejenak, setelah itu dia membukanya kembali.

“Aku sudah baikan, huuuu.” Ucap Gilang, lalu dia berusaha duduk.

“Lang, jangan keras kepala kamu.” Ucapku dan aku hanya bisa menahan punggungnya, lalu aku membantunya untuk duduk.

Posisi wajahku dekat dengan wajah sampingnya dan Gilang langsung menoleh ke arahku.

“Awakmu durung sikatan yo.? Mambune cok, cok.” (Kamu belum sikatan ya.? baunya cok, cok.) Ucap Gilang dan aku langsung melotot ke arahnya

“Djiancok. Cek sempete awakmu ngomong ngono.? Bajingan.” (Djiancok. Sempat – sempatnya kamu bicara seperti itu.? Bajingan.) Ucapku dan sekarang aku tidak bisa menahan emosiku lagi.

Aku bukan emosi karena ucapannya, tapi karena dia mencoba mengalihkan pembicaraan, agar tidak dibawa kerumah sakit. Assuuu.

“Ancene nggtheli arek iku.” (Memang menjengkalkan anak ini.) Ucap Mas Jago.

Gilang hanya tersenyum dan wajahnya semakin terlihat menjengkelkan sekali.

“Mas. kita kerumah sakit ya.” Ucap Ratna dengan suara yang bergetar dan tangannya meremas tangan Gilang dengan kuat.

“Hiuffttttt, huuuuu.” Gilang menarik dalam – dalam nafasnya, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Aku gak apa – apa yang. Lebih baik sekarang kita siap – siap pergi kekampus.” Ucap Gilang, lalu dia berdiri dengan bersusah payah dan Ratna hanya bisa menarik nafas panjangnya.

“Awakmu iku gendeng ta piye.? Lapo nang kampus cok.” (Kamu itu gila atau bagaimana.? Kenapa kekampus cok.?) Ucapku dan aku tidak bisa mencegah Gilang untuk berdiri.

Kami semua membantunya berdiri, walau hati sebenarnya sangat – sangat tidak ikhlas.

“Yang gila itu kamu cok.” Ucap Gilang kepadaku dan aku langsung mengerutkan kedua alis mataku.

“Huuuuu.” Gilang mengeluarkan nafas panjangnya lagi.

“Pelaksanaan sidang yudisium itu, detik – detik yang sudah lama kita tunggu. Di sidang yudisium nanti, impian kita ada didepan mata. Disanalah penentuan kita lulus atau tidak dari kampus teknik kita. Kalau lulus berarti impian sudah kita genggam, kalau tidak lulus, impian kita akan terbang menjauh. Jadi kita harus datang hari ini.”

“Kalau wisuda, itu hanya seremonial saja. sama seperti pernikahan. Yudisium itu ibarat ijab kabul dan resepsi itu ibarat wisuda. Kamu pahamkan.?” Ucap Gilang.

“Aku paham cok. tapi kondisimu gak memungkinkan untuk kekampus.” Ucapku yang mencoba menahannya dan Gilang langsung menunduk.

“Lapo sikilmu getien cok.?” (Kenapa kakimu berdarah cok.?) Tanya Gilang dan lagi – lagi dia mengalihkan pembicaraan.

“Djiancok.” Makiku dan aku langsung memalingkan wajahku, untuk meredakan emosi yang masih bermain dikepalaku.

Bajingan Gilang ini. Bisa – bisanya dia mengalihkan pembicaraan, dengan mengatakan kakiku berdarah. Bercandanya gak lucu dan gak masuk akal. Assuuu, assuu.

Pandanganku tertuju pada pintu kamar yang baru aku dobrak tadi dan terlihat bercak darah yang membentuk telapak kaki. Bercak darah berbentuk kaki itu tidak hanya menempel dipintu, tapi juga menapak dilantai dan mengarah ke arahku.

Aku lalu mengangkat kedua kakiku bergantian dan terlihat darah keluar dari telapak kakiku. Perlahan kakiku mulai terasa nyeri dan aku langsung menahan rasa sakitnya..

Bajingan. Jadi kakiku beneran berdarah.? Berdarah karena apa ya.?

Cok. Ini pasti karena aku menginjak pecahan gelas kopi yang aku jatuhkan tadi dan aku tidak merasakannya, karena panik dengan keadaan Gilang. Asuu, asuu.

“Gak po – po ta awakmu cok.?” (Gak apa – apakah kamu cok.?”) Tanya Gilang kepadaku.

“Gak po – po.” (Gak apa – apa.) Jawabku sambil melihat ke arahnya.

“Ndang diobati kono.” (Cepat diobati sana.) Ucap Gilang seperti tidak merasa berdosa, padahal dia sendiri paling susah disuruh berobat. Saat ini penyakitnya sedang kambuh saja, dia tidak mau kerumah sakit. Apa gak menjacokan sekali kalau bergitu.?

“Ini gak seberapa. Kamu yang seharusnya dibawa kerumah sakit, biar cepat ditangani.” Ucapku.

“Obati selagi masih bisa diobati. Gak usah cari alasan yang lain.” Ucap Gilang sambil menatapku dengan tajam.

Dan ditatapan tatapan tajam matanya yang berwarna agak kekuningan itu, tersirat sebuah perintah yang tidak bisa dibantah.

“Cok.” makiku pelan dan aku langsung keluar kamar dengan agak tertatih.

Sakit ditelapak kakiku mulai terasa, tapi tidak sesakit perasaanku melihat sahabatku yang berjuang melawan penyakitnya.

Ditelapak kakiku terasa ada pecahan gelas yang menusuk kedalam kulit, tapi rasanya tidak menyiksa. Yang tersiksa itu justru didalam hatiku dan seperti ada belati yang menusuknya, ketika melihat Gilang masih bisa tersenyum dibalik rasa sakitnya yang pasti menyiksa.

Aku tidak tau harus berbuat apa saat ini dan aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh sekali, karena aku tidak bisa berbuat sesuatu untuknya.

Aku hanya bisa diam ketika melihatnya tersiksa, aku hanya bisa menangis ketika dia merintih dan aku hanya bisa menatapnya ketika dia tersenyum ditengah penderitaanya.

Hiuuffftt, huuuu.

Tumpahan kopi dan pecahan beling masih tercecer di dekat meja ruang tengah.

Dan ketika aku akan membersihkannya, Mas Candra sudah membawa sapu dan serok dari arah dapur.

“Obati dulu kakimu.” Ucap Mas Jago, sambil membawa kotak P3K dan diserahkannya kepadaku.

“Terimakasih Mas.” Ucapku sambil mengambil kotak P3K ditangan Mas Jago, setelah itu aku duduk dikursi.

Aku angkat kaki kiriku, lalu aku letakkan diatas paha kananku, agar aku bisa melihat lukaku yang menggores.

Ada beberapa luka sobek dikakiku dan masih mengeluarkan darah. Dan dibeberapa lukaku yang sobek, ada pecahan gelas kaca yang kecil didalamnya. Aku keluarkan semua pecahan gelas kaca itu, lalu aku membersihkannya dengan alcohol.

Setelah beberapa saat kedua telapak kakiku aku bersihkan dan aku beri obat, Gilang dan Ratna keluar dari kamar dengan menggunakan pakaian yang sangat rapi.

Gilang menggunakan stelan jas berwarna hitam dan Ratna menggunakan setelan blazer yang juga berwarna hitam. Jas yang pernah digunakan Gilang bulan lalu itu, terlihat kebesaran untuk tubuhnya yang sangat kurus sekali. Padahal pada waktu baru dibeli bulan lalu, jas itu sangat pas dan Gilang terlihat gagah sekali memakainya.

Assuuu. Rupanya tekad Gilang sangat besar, untuk menghadiri sidang yudisum hari ini. Senyum terlihat diwajahnya yang memucat dan dia terlihat sangat bersemangat sekali.

Terus kalau sudah begini bagaimana.? Apa aku akan memaksanya untuk tetap dikosan.? Tidak, tidak mungkin aku melakukan itu, karena itu pasti akan menyisakan kekecewaan yang mendalam bagi Gilang.

Jadi.? Ya mau tidak mau, aku akan berangkat bersama Gilang kekampus. Dia pasti akan bahagia dan semoga itu menjadikan semangat baru untuknya.

“Awakmu gak siap – siap Jok.?” (Kamu gak siap – siap Jok.?) Tanya Gilang.

“Yo.” Jawabku singkat, lalu aku berdiri dan berjalan ke arah kamarku sambil menahan rasa sakit ditelapak kakiku.

Aku lalu berganti pakaian dengan pakaian yang sama digunakan Gilang. Kemeja putih yang dilapisi jas berwarna hitam dan celana kain berwarna hitam.

Bercak darah dari telapak kakiku, terlihat dilantai kamarku dan aku tidak memperdulikannya. Akupun langsung mengambil sepatu dan kaos kakiku, lalu mengenakannya. Kaos kaki yang berwarna putih langsung memerah dibagian telapaknya, karena lukaku terus mengeluarkan darah.

Hiuuffftt, huuuu.

Tiba – tiba bau kembang melati memenuhi kamarku dan langsung membuat tubuhku merinding.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak dengan cepat dan pikiran menjadi gelisah. Aku merasa ada sesosok makhluk yang hadir disekitarku, tapi makhluk itu tidak terlihat.

Aku memutarkan tubuhku kekanan dan kekiri. Aku melihat kebawah meja, atas lemari dan sudut – sudut kamarku, tapi tetap saja aku tidak menemukannya.

Aku membuka lemariku dan didalam sana hanya ada pakaianku yang terlipat.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak semakin cepat dan aku merasa makhluk itu berada sangat dekat denganku.

Bajingan. Makhluk apa yang hadir dikosanku dan kenapa auranya semakin lama terasa semakin menyeramkan.?

Ooo. Kelihatannya ada yang mau main – main sama anak sumber banyu, bajingan. Kalau sampai makhluk itu berani macam – macam, apa lagi sampai mencederai salah satu penghuni kosan ini, akan aku bantai makhluk itu.

Aku gak perduli makhluk itu dari mana asalnya atau bagaimana bentuknya. Aku pasti akan memburunya, sampai keneraka sekalipun.

Aku lalu menutup kembali pintu lemariku dan betapa terkejutnya aku, ketika melihat bayangan seseorang dikaca yang menempel dipintu lemariku. Bayangan itu berdiri dibelakangku dan dia adalah Gilang, Gilang Adi Pratama.

Wajah sahabatku itu terlihat sangat pucat dan tidak ada ekspresi sama sekali yang diperlihatkannya. Gilang hanya menatapku lewat kaca dan aku belum membalikan tubuhku.

Aku terpaku menatap wajah sahabatku itu, karena dia tidak kurus dan seperti tidak menderita suatu penyakit. Walapun wajahnya memucat, wajahnya kembali seperti Gilang yang dulu.

DAG, DAG, DUG, DAG, DUG, DAG.

Dadaku berdetak semakin cepat dan perlahan aku membalikan tubuhku, untuk memastikannya secara langsung.

Dan ketika aku sudah membalikan tubuhku, sosok Gilang menghilang dan dia tidak ada dikamarku ini.

Djiancok. Apa benar tadi itu Gilang atau makhluk lain yang menyerupai Gilang.? Atau jangan – jangan itu hanya halusinasiku saja, karena pikiranku terlalu focus kepada dia.? Atau itu ruh Gilang dan dia datang ingin berpamitan denganku.?

Enggak, enggak. Aku gak boleh berpikiran seperti itu.

Aku lalu berjalan ke arah pintu kamarku dengan terburu – buru dan aku langsung membuka pintu kamarku.

Mas Jago dan Mas Candra terlihat sudah bersiap, karena mereka berdua mau menemani kami di sidang yudisium.

“Gilang mana Mas.?” Tanyaku karena pintu kamar Gilang tertutup.

“Kenapa kamu pucat Jok.?” Tanya Mas Candra.

“Gak apa – apa Mas, mana Gilang Mas.?” Tanyaku lagi.

“Itu diruang depan.” Mas Jago yang menjawab pertanyaanku, sambil menunjuk ke arah ruang depan. Mas Candra terus menatapku dan bingung melihat sikapku ini.

Aku lalu berjalan ke arah ruang depan dan kembali aku terkejut, ketika melihat sesosok makhluk berjubah hitam, berdiri dibelakang kursi tempat Gilang duduk bersama Ratna.

Makhluk itu terlihat menyeramkan dan auranya sangat mengerikan. Dia menggunakan jubah sampai menutup kepalanya dan wajahnya tidak terlihat. Tangan kirinya memegang senjata berbentuk celurit yang besar dan gagangnya panjang sampai menyentuh lantai. Telapak tangan kanannya berada diatas kepala Gilang dan seperti ingin menyedot sesuatu diubun – ubun kepala sahabatku itu.

Cok. Apakah makhluk itu malaikat pencabut nyawa.? Apakah dia sedang menjalankan tugasnya untuk membawa Gilang pergi .?

Jangan Tuhan, jangan. Aku mohon jangan ambil Gilang sekarang. Berikan dia kesempatan untuk meraih impiannya hari ini. Berikan dia kesempatan untuk menikmati kebahagiannya dengan keluarga yang baru dibinanya. Berikan dia kesempatan untuk mempunyai anak dan anaknya bisa melihat senyumannya. Aku mohon Tuhan, aku mohon.

Dan sebagai gantinya, ambil saja nyawaku ini Tuhan. Aku ikhlas dan aku rela dengan sepenuh hatiku.

Hidupku sudah tidak berarti lagi, seandainya Gilang Kau ambil sekarang Tuhan. Aku mohon Tuhan, aku mohon.

“Koen gak po – po ta cok.?” (Kamu gak apa – apa kah cok.?) Tanya Gilang yang mengejutkanku dan aku langsung melihat ke arahnya.

“Ha.? Aku ga po – po.” (Ha.? Aku gak apa – apa.) Jawabku, lalu aku melihat ke arah makhluk itu berdiri dan dia sudah menghilang.

Hiuufftt, huuuu.

Aku menarik nafas panjangku, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Raimu kok pucet cok.?” (Wajahmu kok pucat cok.?) Tanya Gilang dengan suara yang pelan dan agak bergetar, lalu dia berdiri perlahan dan Ratna langsung membantunya.

“Mambengi mari lembur.” (Tadi malam habis lembur.) Jawabku singkat.

“Ooo. Yo wes lah, ayo budal. Engko telat loh.” (Ooo. Ya sudahlah, ayo berangkat. Nanti telat loh.) Ucap Gilang, lalu dia berjalan pelan dan Ratna langsung menggandengnya.

Terlihat jalannya tertatih dan dia berusaha untuk menguatkan langkahnya.

Akupun langsung berjalan cepat kesebelah kanannya, karena Ratna berjalan disebelah kirinya.

Sengaja aku disebelah kanannya, untuk jaga – jaga kalau tubuhnya tidak seimbang. Tapi sebenarnya bukan itu tujuan utamaku. Tujuanku itu untuk menjaga Gilang, kalau seandainya makhluk berjubah hitam tadi datang lagi.

Hiuufft, huuuu.

Kami bertiga terus berjalan ke arah mobil, yang sudah dipersiapkan Mas Jago dan juga Mas Candra didepan kosan.

“Kita foto – foto dulu.” Ucap Mas Jago sambil mengeluarkan tustel dari dalam tas kecil yang dibawanya.

Mas Jago akhir – akhir ini sering memfoto kegiatan kami. Mulai dari kegiatan penyusunan tugas akhir waktu dikosan, sidang judul dan juga sidang hasil dikampus waktu itu.

“Ayolah.” Jawab Mas Candra.

Kami berlima lalu berfoto didepan kosan, setelah itu kami semua bersiap masuk kedalam mobil.

Mas Candra membuka pintu mobil bagian tengah dan aku langsung membantu Gilang yang agak kesusahan naik kemobil. Dia aku posisikan duduk ditengah, Ratna duduk disebelah kirinya, sementara aku duduk disebelah kanannya.

“Maaf kalau Ratna gak bisa menahan Mas gilang untuk kekampus.” Bisik Ratna ketika aku akan masuk kedalam mobil dan Ratna masih berada diluar mobil.

Aku hanya mengangguk, sambil melihat ke arah Gilang yang duduk sambil menyandarkan kepala belakangnya disandaran kursi mobil.

“Mas. Ratna mohon Mas Joko tidak menampakkan wajah sedih ketika dihadapan Mas Gilang. Mas Gilang jadi merasa sangat bersalah sekali kalau seperti itu.” Bisik Ratna lagi dan aku langsung melihat ke arah Ratna.

Mata Ratna terlihat berkaca – kaca dan dia seperti sedang menahan tangisnya. Akupun langsung merasa bersalah kepadanya, karena aku tidak mampu menyembunyikan kesedihanku.

Aku sadar selama ini, kalau Ratna selalu menyembunyikan kesedihannya dan dia selalu berusaha tegar dihadapan Gilang.

Harus kuakui, kehadiran Ratna sangat penting dikehidupan Gilang. Dia menjadi penyemangat baru dan dia selalu tau apa yang dibutuhkan Gilang. Kehadiran Ratna dikosan inipun, juga tidak kalah penting. Kami semua jadi terbantu dalam segala hal. Memasak, bersih – bersih sampai merawat seorang Gilang, kami lakukan bersama – sama.

“Dibelakang mobil, ada kursi roda baru.” Bisik Mas Jago kepada kami berdua.

“Untuk apa Mas.?” Tanya Ratna dengan suara yang pelan.

“Siapa tau nanti dibutuhkan Gilang.” Jawab Mas Jago.

“Gak mungkin Gilang mau naik kursi roda Mas. Aku jamin itu.” Ucapku dan dari posisiku berdiri ini, terlihat Gilang sedang memejamkan kedua matanya. Dengkuran halusnya, mengisyratkan kalau dia sedang tertidur pulas.

Kondisinya saat ini membuatnya sulit sekali tertidur dimalam hari. Dan biasanya disiang hari, dia akan tertidur sendiri dengan berbagai posisi. Duduk diruang tamu, duduk di meja makan bahkan ketika buang air besar dikamar mandi.

“Gak apa – apa Mas. Untuk berjaga – jaga, apa salahnya. Terimakasih ya Mas Jago.” Ucap Ratna sambil melihat ke arahku, lalu melihat ke arah Mas Jago.

“Apasih Rat. Gitu aja pakai terimakasih.” Ucap Mas Jago, lalu dia berjalan ke arah pintu mobil sebelah kiri depan.

Ratna melihat ke arahku sebentar, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah sebelah kiri juga.

Kami semua lalu naik kemobil dan mobil mulai berjalan pelan.

Kembali pikiranku terasa gelisah dan aku langsung melihat ke arah belakang mobil. Aku takut kalau makhluk berjubah hitam itu muncul tiba – tiba dari arah belakang kami.

“Kamu itu kenapa sih Jok.? Kok gelisah banget.?” Tanya Mas Jago pelan, karena takut membangunkan Gilang.

“Gak ada apa – apa Mas.” Jawabku dan Mas Candra yang sedang memegang setir, hanya melirikku dari spion tengah mobil.

“Aneh kamu itu.” Ucap Mas Jago dan kami semua langsung terdiam.

Gilang masih tertidur pulas dan perjalanan kami sudah sampai digerbang kampus teknik kita.

“Parkir dimana kita Jok.?” Tanya Mas Candra.

“Ya diparkiran mobil lah.” Jawab Mas Jago.

“Kejauhan kalau parkir disana Mas. Kita parkir dibelakang aula utama aja.” Jawabku, sambil menunjuk ke arah belakang aula utama.

“Apa gak tambah jauh, kalau mau masuk ke aula.?” Tanya Mas Candra, sambil mengarahkan mobil ke belakang aula.

“Kita gak usah lewat pintu depan. Kita lewat pintu belakang.” Jawabku dan beberapa saat kemudian, mobil sudah sampai dibelakang aula.

“Parkir disini.?” Tanya Mas Jago dan aku hanya mengangguk pelan.

“Kalau nanti ada yang marah bagaimana.?” Tanya Mas Jago lagi.

“Kuganjalkan kepalanya diban mobil ini.” Jawabku.

“Cok.” Maki Mas jago dan juga Mas Candra.

“Huaaaaa.” Gilang terbangun dari tidurnya, lalu melihat ke arah sekeliling.

“Dimana kita ini.?” Tanya Gilang dan wajahnya terlihat kebingungan.

“Guyon ae koen cok.” (Bercanda aja kamu cok.) Ucapku dan Gilang langsung melihat ke arahku.

“Klambimu koyok wong tenan ae cok.” (Pakaianmu kayak orang beneran aja cok.) Ucap Gilang dengan tatapan yang sangat heran kepadaku.

Aku yang melihat sikap aneh Gilang ini, langsung mengerutkan kedua alis mataku. Gilangpun langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ratna yang duduk disebelah kirinya.

“Loh yang, kok sayang juga pakai pakaian seperti ini sih.?” Tanya Gilang.

“Sayang, kita kan mau menguikuti sidang yudisium hari ini.” Ucap Ratna sambil membelai pipi Gilang.

“Jangan bercanda ah yang. semalam kan aku baru ngerjain bab tiga tentang analisa pembebanan, kok sekarang sudah sidang yudisium aja sih.?” Ucap Gilang dan Ratna langsung melihat ke arahku sejenak, lalu melihat ke arah Gilang lagi.

“Yang. Masa aku kelihatan bercanda sih.” Ucap Ratna dan suaranya sangat lembut sekali.

“Dengarin ya yang. Masih banyak lagi tahapan yang harus aku lalui untuk ke sidang yudisium. Aku harus menyelesaikan bab tiga, terus bab empat tentang perencanaan pondasi, lanjut bab lima tentang kesimpulan dan saran. Setelah skripsiku jadi, aku harus sidang hasil dulu, baru bisa sidang yudisium. Gimana sih sayang ini.?” Ucap Gilang dengan seriusnya.

Ratna yang mendengarkan penjelasan Gilang ini, langsung terdiam dan tidak sanggup lagi mengucapkan sepatah katapun.

Cok. Apakah Gilang mulai hilang ingatan jangka pendeknya.? Kenapa bisa seperti itu.? Pertanda apakah ini.? Bajingan.

“Terus ini apa.?” Ucap Mas Jago sambil menyerahkan sebuah album foto kepada Gilang dan Gilang langsung menerimanya.

Gilang membuka album foto satu persatu dan matanya langsung terlihat berkaca – kaca. Difoto itu terlihat kegiatan kami selama dikosan dan juga kegiatan kami bertiga waktu mengikuti sidang hasil.

“Kok aku jadi pikun begini ya.?” Ucap Gilang dengan suara yang bergetar, sambil membersihkan air matanya yang sudah memenuhi kelopak matanya.

“Siapa bilang suamiku ini pikun.?” Tanya Ratna dan Gilang langsung melihat ke arah Ratna.

“Suamiku ini masih muda, masih tampan dan masih mengingat banyak hal. Suamiku ini hanya lelah dan suamiku ini laki – laki yang sangat luar biasa.” Ucap Ratna sambil membelai kedua pipi Gilang, lalu diakhiri dengan kecupan yang lembut dikening Gilang.

CUUPPP.

Aku, Mas Jago dan juga Mas Candra yang melihat pemandangan mengharukan itu, langsung memalingkan wajah dengan mata yang berkaca – kaca.

“Sekarang kita turun dari mobil dan masuk kedalam aula. Acara yudisiumnya sebentar lagi akan dimulai.” Terdengar suara Ratna dari arah sampingku dan kembali aku menoleh ke arah mereka berdua.

“Iya Lang. kita turun sekarang.” Ucapku sambil menepuk pundak Gilang pelan.

Gilangpun mengangguk dan aku langsung turun dari mobil. Aku lalu membantu Gilang turun dan Gilang berdiri dengan agak sempoyongan.

“Mau pakai kursi roda.?” Tanya Mas Jago.

“Untuk siapa.?” Gilang bertanya balik.

“Untuk kamu Lang.” Jawab Mas Jago.

“Memangnya aku kenapa Mas, kok harus pakai kursi roda.?” Tanya Gilang lagi dan Mas Jago hanya tersenyum mendengar jawaban Gilang.

“Ya sudah Mas, kita masuk sekarang yuk.” Ucap Ratna sambil menggenggam tangan kiri Gilang.

Kami berlima lalu berjalan ke arah pintu aula bagian belakang dan kami harus melewati beberapa anak tangga untuk masuk kedalam aula sana.

Dan ketika sampai di anak tangga pertama, Gilang langsung memegang erat tangan kanan Ratna menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang pundak kiriku.

“Gilang Adi Pratama.” Panggil seseorang dari arah belakang kami dan kami semua langsung melihat ke arah suara itu.

Ternyata yang memanggil Gilang itu adalah Rendi dan dia datang bersama Mery.

“Rendi Van Gerrit.” Ucap Gilang lalu dia tersenyum ke arah Rendi sambil melepaskan pegangannya ditangan Ratna dan juga pundakku.

“Selamat ya. Akhirnya impianmu tercapai.” Ucap Rendi sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah Gilang dan dari tatapan matanya, dia seperti sedang menahan kesedihan, melihat kondisi Gilang saat ini.

“Kamu gak ikut yudisium.?” Tanya Gilang sambil menjabat tangan Rendi.

“Cok.” Gumam Rendi lalu tiba – tiba dia memeluk Gilang dengan eratnya.

“Oh iya. Salam dari Mas Pandu, Mas Arief dan Mas Adam. Mereka bertiga tidak kesini, karena lagi diluar kota.” Ucap Rendi sambil melihat ke arah wajah Gilang, tapi tidak melepaskan pelukannya.

“Iya.” Jawab Gilang singkat, lalu dia tersenyum.

Ahhh. Kenapa harus membicarakan mereka bertiga sih.? Bikin suasana gak enak aja.

Jujur aku masih menyimpan dendam dengan ketiga orang itu, terutama kepada Mas Pandu. Kalau saja tidak ada Gilang dihari itu, mungkin aku akan berduel dengan Mas Pandu.

Aku sangat tidak suka sekali dengan sikapnya yang sok preman. Sudah banyak kejadian tentang kebringasannya yang aku dengar dan aku lihat sendiri. Dan yang terakhir tentu saja kasus Zaky.

Aku tau teman – teman Zaky salah, tapi Zaky sudah berjanji kepadaku kalau dia sendiri yang akan menghukum teman – temannya itu. Tapi Mas Pandu, Mas Arief dan Mas Adam malah menghajar Zaky beserta teman - temannya.

Aku tidak mempermasalahkan Mas Pandu membantai Teman – teman Zaky, yang aku permasalahkan itu kenapa Zaky dibantainya juga.? Padahal sudah sangat jelas sekali, kalau Zaky datang bersamaku dan itu berarti Zaky tidak terlibat dalam penculikan Gilang. Bajingan.

“Selamat Lang, selamat.” Ucap Rendi dengan suara yang bergetar dan matanya langsung berkaca – kaca, sambil memeluk lagi tubuh Gilang dengan erat.

“Kamu pasti bisa lulus juga Ren. Percaya sama aku.” Ucap Gilang sambil membalas pelukan Rendi.

“Tapi sebelum itu, selesaikan dulu tugasmu sebagai panglima pondok merah.” Ucap Gilang sambil mengelus punggung Rendi pelan.

“Kamu itu ngomong apa.?” Tanya Rendi sambil melepaskan pelukannya dan dia langsung menatap wajah Gilang.

“Ngomong yang memang harus aku omongin Ren.” Jawab Gilang, sambil menepuk pundak Rendi.

“Sudahlah, aku datang kemari karena aku kangen sama kamu.” Ucap Rendi, lalu dia mengalihkan pandangannya, karena mungkin dia tidak tega melihat tubuh kurus Gilang.

“Kalau kangen itu main kekosan.” Jawab Gilang dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang.

Rendi melirik ke arah Ratna dan Mery yang ada disebelah Rendi, juga melirik ke arah Ratna sejenak. Dari tatapan mereka bertiga seperti menyimpan suatu permasalahan, tapi entah apa itu.

“Kita masuk yuk. Sebentar lagi acara yudisumnya mau dimulai loh.” Ucap Ratna sambil memegang tangan Gilang, lalu dia membalikan tubuhnya.

“Yang.” Ucap Gilang sambil menahan tangan Ratna.

Rendi dan Mery yang melihat hal itu hanya diam dan tidak mengucapkan sepatah katapun.

“Aku gak tau ada masalah apa dengan kalian, tapi aku mohon, bisakah aku melihat kalian berdamai hari ini.?” Ucap Gilang dan kami semua terkejut mendengar Gilang mengucapkan hal itu.

“Tidak ada masalah diantara kami Lang.” Ucap Rendi dan Gilang langsung melihat ke arah Rendi.

“Kalau tidak ada masalah, kenapa kalian berdua tidak masuk kerumah Pak Tomo, ketika aku dan Ratna menikah waktu itu.?” Tanya Gilang dengan suara yang pelan dan nafasnya agak berat.

Rendi, Ratna dan juga Mery langsung terkejut dan mereka bertiga saling memandang lagi.

“Terus kenapa juga kalian berdua tidak pernah datang kekosanku, selama Ratna menjadi istriku.?” Tanya Gilang lagi dan mereka bertiga langsung tertunduk.

“Aku tau kalian berdua ada didekat rumah Pak Tomo, ketika aku datang bersama keluargaku.” Ucap Gilang lagi.

“Awalnya aku tidak curiga, karena aku berpikir kalian tidak berani masuk tanpa undangan. Tapi setelah aku tau Papah Ratna bernama Van Gerrit dibelakangnya, kecurigaanku mulai timbul. Apalagi Ratna tidak mau membahas masalah hubungan persaudaraan diantara kalian.”

“Jujur selama ini aku sangat sedih, melihat kalian bertiga seperti tidak saling mengenal. Rendi dan Ratna hanya berbicara seperlunya, sedangkan Mery tidak sama sekali. Ada apa dengan kalian bertiga.? Didarah kalian sama – sama mengalir darah Van Gerrit dan kalian seperti tidak merasakan hal itu.” Ucap Gilang dan itu langsung mengejutkan aku.

Cok. Mery juga keturunan Van Gerrit.? Jadi dia itu adiknya Rendi dong.? Tapi kenapa mereka mengaku sebagai sepasang kekasih.? Arrgghh. Keluarga yang aneh.

“Ratna sekarang menjadi istriku dan kalian berdua menjadi keluargaku. Tapi keluarga yang seperti apa.?” Tanya Gilang dengan bergetar.

“Aku sangat sedih. Sedih sekali.” Ucap Gilang dan suaranya sekarang terdengar pelan.

Mery dan Ratna langsung mengangkat wajah mereka masing – masing, dengan diiringi tetesan air mata yang mengalir dipipi mereka. Sedangkan Rendi, Rendi hanya tetap menunduk.

“Maaf Mas.” Ucap Ratna dan Mery bersamaan.

“Kalian jangan meminta maaf kepadaku, tapi harusnya kalian berdua yang saling memaafkan.” Ucap Gilang dengan sedihnya.

Ratna dan Mery langsung saling melihat, dengan air mata yang semakin deras mengalir.

“Mba Ratna. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Mery.

“Mey.” Ucap Ratna yang memanggil Mery dengan sebutan Mey.

Ratna langsung merentangkan tangannya ke arah Mery dan Mery langsung memeluk tubuh Ratna dengan eratnya.

“Hiks, hiks, hiks.” Tangis mereka bersahut – sahutan, ditengah pelukan yang mengharukan itu.

“Maaf Mba, maaf. Bukannya Mey merebut sayangnya Oma dari Mba Ratna waktu itu. Mey gak ada niatan seperti itu. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Mery dan punggungnya langsung dibelai Rendi.

“Enggak Mey, enggak. Kamu gak salah. Harusnya aku yang meminta maaf, karena aku yang terlalu bodoh saat itu. Kamu yang baru saja kehilangan Om Jefry dan Tante Irene, memang seharusnya mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang lebih dari Oma.”

“Tapi aku malah cemburu dan marah kepadamu. Hiks, hik,s hiks.” Ucap Ratna dan punggung Ratna dibelai oleh Gilang.

“Mba Ratna. Hiks, hiks, hiks.” Sahut Mery dengan tangisnya yang semakin menjadi.

Cok. Sebenarnya ada masalah apasih ini.? Kenapa masalah keluarga, jadi terbawa ke tempat ini.? Argghhh.

“Mer, Rat.” Ucap Rendi sambil mengelus punggung Mery dan Gilang hanya menatap kedua wanita itu.

Mery dan Ratna seperti tersadar dengan kondisi yang ada disektar mereka, dan mereka berdua langsung melepaskan pelukan mereka itu.

“Mas Gilang.” Ucap Mery dan Ratna bersamaan dan Gilang langsung merangkul mereka berdua bersamaan.

“Keluarga tetaplah keluarga. Apapun yang terjadi, jangan pernah memutuskan tali kekeluargaan.” Ucap Gilang sambil mengelus pundak kedua wanita itu.

Kedua wanita itu hanya mengangguk pelan dan mereka berdua seperti ingin meledakan tangis mereka lagi.

“Sudah – sudah. Sekarang waktunya kita masuk ke aula.” Ucapku agar kesedihan ini tidak berlarut lagi.

“Iya, masuklah dulu kedalam. kami akan menunggu disini.” Ucap Rendi yang seperti paham maksudku.

“Iya, kami juga akan menunggu disini.” Ucap Mas jago dan juga Mas Candra.

“Tunggu disini ya. jangan ada yang pulang, sebelum acara ini selesai.” Ucap Ratna dan Gilang langsung melepaskan rangkulannya kepada kedua wanita itu.

“I, I, iya Mba.” Jawab Mery terbata.

Kami bertiga langsung membalikan tubuh, dengan posisi aku dan Ratna mengapit Gilang ditengah.

Kembali Gilang memegang erat tangan kanan Ratna menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang pundak kiriku.

“Hup.” Gilang menarik nafasnya, lalu dia mengangkat kaki kanannya dan menapakkannya di anak tangga.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafasnya terdengar berat, seberat kakinya ketika diangkatnya tadi.

Gilang beristirahat sebentar, sambil mengangkat kaki kirinya yang masih berada dibawah.

“Mau kugendong.?” Tanyaku dan masih ada empat anak tangga lagi yang akan kami lewati.

“Koyo aku arek cilik ae. Hiuufft.” (Kaya aku anak kecil aja.) Jawab Gilang, lalu dia menarik nafasnya, setelah itu dia mengangkat kaki kanannya dan ditapakkan dianak tangga selanjutnya.

Akupun hanya menggelengkan kepala, melihat sikap keras kepala sahabatku ini.

Satu persatu anak tangga kami lewati dengan penuh kesabaran dan keringat Gilang sudah mengucur deras dikeningnya. Ratna pun langsung membersihkan keringat itu dengan sapu tangan yang dibawanya.

Dan ketika sudah sampai dipintu ruangan, dia menoleh ke arah orang – orang yang ada dibelakang kami. Gilang lalu tersenyum sambil melihat ke arah Rendi, Mery, Mas Jago dan juga Mas Candra. Senyum yang tidak seperti biasa dan itu seperti senyum perpisahan. Bajingan.

Kami lalu melanjutkan berjalan lagi dan kami harus melewati satu pintu lagi, untuk masuk ke aula utama.

Dan ketika sampai di aula utama, tampak ratusan mahasiswa teknik kita yang akan mengikuti yudisum, sudah duduk ditengah aula.

“Kelihatannya kita harus absen dipintu depan sana.” Ucap Ratna sambil menunjuk pintu depan aula, yang jaraknya lumayan jauh untuk seorang Gilang dalam kondisi seperti ini.

“Kamu aja yang absen, sekalian absenin Gilang juga. Biar aku yang antarkan Gilang ke kursinya.” Ucapku ke Ratna.

Sengaja aku mengucapkan itu, agar aku selalu berada didekat Gilang. Aku ingin menjaga Gilang dari mahkluk berjubah hitam tadi, kalau seandainya dia kembali.

“Iya deh. Ratna tinggal dulu ya Mas.” Pamit Ratna kepadaku dan juga Gilang.

“Sekalian absenin aku ya Rat.” Ucapku ketika Ratna akan melangkah.

“Memangnya bisa Mas.? Kita kan beda jurusan.” Ucap Ratna.

“Bisa. Kalau gak bisa, kubalik meja disana.” Jawabku dan Gilang hanya melihatku.

“Mas ini loh.” Ucap Ratna lalu dia berjalan ke arah meja didepan pintu aula sana.

Akupun melihat ke arah sekeliling ruangan dan aku baru tersadar, kalau semua peserta yudisum ini duduknya sesuai dengan nama yang menempel dikursi.

Cok. Berarti, duduk kami berjauhan dong.? Kalau nanti makhluk berjubah hitam itu datang lagi bagaimana.? Bajingan.

“Aku mau duduk Jok.” Ucap Gilang kepadaku.

“Oh iya. kita cari kursimu dulu.” Ucapku kepada Gilang dan kami berdua langsung melangkah ketengah ruangan.

Semua mata yang ada diruangan ini langsung tertuju ke arah kami. Sebagian kecil menatap kami cukup lama, dengan pandangan yang seperti mengasihani Gilang. Sebagian lainnya langsung memalingkan wajahnya dan seperti tidak tega melihat kondisi Gilang.

“Kursi Gilang disebelah situ.” Ucap seorang peserta sidang yudisum kepada kami..

“Oh iya Mas. Terimakasih.” Ucapku sambil berjalan ke arah kursi yang ditunjuknya.

Gilang langsung duduk dikursi yang ada tertera namanya, sedangkan kursi Ratna berada tepat didepan kursi Gilang. Dan sesuai nomor urut, Gilang mendapatkan kursi diurutan belakang.

Gilang tidak banyak bicara dan dia hanya menatap lurus, ke arah tulisan yang ada didepan dinding sana. Dan tulisan itu tentang acara kegiatan yudisium hari ini.

Ratna yang telah mengisi absen berjalan ke arah kami .

“Sudah Mas. tinggal aja ke kursi sampean.” Ucap Ratna kepadaku.

“Enggak ah. aku disini aja.” Jawabku sambil memperhatikan sekeliling, untuk melihat keadaan. Aku ingin memastikan kalau makhluk berjubah hitam itu tidak ada diruangan ini.

“Gak bisa begitu Mas. Sampean harus duduk dikursi sampean sendiri.” Ucap Ratna.

“Gak apa – apa.” Jawabku.

“Gak apa – apa bagaimana.? Tadi aja seharusnya aku gak bisa isi absen sampean dan Mas Gilang. Kalau Om Tomo tadi gak ada disitu, bisa – bisa sampean berdua dinyatakan gak hadir dan itu berarti sampean berdua gak lulus.” Ucap Ratna dan sebenarnya aku paham akan aturan itu.

“Terus Dimana Pak Tomo sekarang.?” Tanyaku.

“Pak Tomo gak masuk keruangan ini, karena mau rapat dengan Pak Rektor. Lagian yang mengumumkan kelulusan kita bukan Pak Tomo, tapi Pak Dekan.” Jawab Ratna.

“Cok.” Makiku pelan.

Padahal kalau ada Pak Tomo disini, aku bisa duduk didekat Gilang.

“Sudahlah Mas. Sampean kekursi sampean aja, kita kan masih disatu ruangan ini juga. Jadi kalau ada apa – apa, sampean bisa lihat.” Ucap Ratna dan aku langsung melihat ke arah Gilang yang tetap diam dari tadi. Kalau tadi dia menatap ke arah tulisan depan sana, sekarang dia terlihat melamun dan tatapan matanya terlihat kosong

“Sampean gak boleh keluar dari ruangan ini, sebelum acara sidang yudisum selesai. Dan pada saat nama sampean disebutkan, sampean harus berdiri. Kalau sampean tidak berdiri, sampean dinyatakan tidak hadir.” Ucap Ratna dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.

Cok. aneh – aneh saja aturannya.

“Aku tinggal dulu ya Lang.” Pamitku kepada Gilang dan dia tetap diam, tidak menjawab pamitku.

Lalu dengan berat hati, akhirnya aku mencari kursi tempat aku duduk.

Beberapa saat kemudian, setelah aku mendapatkan kursiku, aku duduk sambil melihat ke arah Gilang. Jarak tempat dudukku dengan kursi Gilang, lumayan jauh. Kami terpisah sekitar delapan baris kursi.

Acara sidang yudisiumpun, akhirnya dimulai. Pandanganku tidak focus kedepan, tapi ke arah Gilang.

Satu persatu acara dimulai dan tiba saatnya diumumkan hasil sidang yudisium ini.

Satu persatu nama mahasiswa mulai disebutkan dan itu mulai dari jurusan teknik sipil.

Satu persatu mahasiswa yang namanya disebut, berdiri lalu setelah itu duduk kembali.

Giliran nama Ratna disebutkan dan Gilang yang ada dibelakangnya langsung tersenyum menatap istrinya yang sedang berdiri itu.

“Gilang Adi Pratama, judul skripsi Studi Perencanaan pondasi tiang pancang beton Hotel Sunan Kuning. Lulus dengan hasil sangat memuaskan.” Ucap Pak Dekan menyebut nama gilang, ketika Ratna sudah duduk kembali.

Gilang tetap duduk ditempatnya dan dia tidak bergerak. Tatapannya lurus kedepan dan sekarang tidak ada ekspresi sedikitpun yang terlihat diwajahnya.

Seluruh orang yang ada didalam ruangan ini menatap ke arah Gilang dan Gilang seperti tidak menyadari itu.

Pak Dekan tidak melanjutkan membaca nama – nama mahasiswa yang lain, tapi beliau melihat ke arah Gilang juga.

Aku langsung berdiri dan ketika akan melangkah ke arah Gilang, Ratna yang ada dihadapannya juga berdiri, lalu dia membalikan tubuhnya dan berjalan ke arah Gilang. Dia merangkul pundak Gilang, lalu membisikan sesuatu ditelinganya.

Perlahan Gilang mulai berdiri dan dibantu oleh Ratna. Akupun hanya diam terpaku, melihat sahabatku yang berdiri dengan sempoyongan dan tubuhnya dirangkul oleh Ratna.

Tubuhnya yang dulu gagah perkasa, sekarang terlihat seperti kakek – kakek tua yang renta. Sangat menyedihkan.

Prok, prok, prok, prok, prok, prok, prok.

Aku bertepuk tangan dengan suara yang pelan, karena aku salut dengan perjuangan dan pergorbanan Gilang, sampai dia bisa berdiri ditempat ini.

Aku yang mendampinginya mulai dari nol, sampai gelar sarjana bisa digenggamnya.

Aku yang menjadi saksi dengan mata kepalaku sendiri, bagaimana kerasnya perjuangan seorang Gilang dalam mengarungi kerasnya dunia.

Aku yang berjuang bersamanya mulai dari jalanan, sampai kebangku kuliahan.

Keringat dan darah dikeluarkannya selama perjalanan ini.

Cacian dan hinaan menjadi pelecut, asap knalpot dan suara deru mesin dijalanan menjadi penyemangat, gendang dan gitar sebagai kendaraan perjalanan, tangis dan tawa sebagai pelepas dahaga.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama. Seseorang yang menjadi panutan bagi siapapun yang pernah mengenalnya dan seseorang yang bisa dijadikan teladan bagi yang sempat berkawan dengannya.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama. Keras kepalanya sekeras aspal dijalanan, nekat dan tekatnya tak tertandingi, kemauannya kuat dan tidak bisa dipatahkan.

Dialah Gilang, Gilang Adi Pratama.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Satu persatu peserta sidang yudisium ikut berdiri dan mereka semua bertepuk tangan dengan kerasnya.

“SEMONGKO.!!!” Teriakku dengan semangatnya, sambil mengepalkan tangan kiri keudara.

“SEMANGAT NGANTI BONGKO.!!!.” (Semangat sampai mampus.) sambut seluruh peserta dan tangan kiri mereka juga terkepal keudara.

Karena semua peserta berdiri, posisi Gilang pun tidak terlihat olehku.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Tepuk tangan semakin riuh terdengar dan aku langsung memiringkan tubuhku, untuk melihat Gilang.

Ditengah suasana yang sangat ramai ini, sosok makhluk berjubah hitam itu tiba – tiba muncul dan dia berdiri dibelakang Gilang. Makhluk itu mengangkat telapak tangannya diatas kepala Gilang dan tubuh Gilang seperti akan terjatuh.

“GILANG.!!!” Teriakku dan aku langsung berlari ke arahnya.

PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK, PROK.

Tepuk tangan dari seluruh peserta tidak berhenti dan Ratna baru menyadari kalau Gilang akan roboh. Dipeluknya tubuh Gilang dengan wajah yang sangat panic dan aku itu membuat lariku semakin mengencang.

Aku langsung menangkap tubuh Gilang, ketika aku sudah berada didekatnya. Matanya terpejam dan nafasnya terdengar memberat.

“TANGIO COK. TANGIO.!!!” (Bangunlah cok, bangunlah.) Ucapku berteriak sambil menepuk pipinya agak keras dan kedua mata Gilang tetap tertutup.

Suasana ruangan ini langsung hening seketika dan yang terdengar hanya rintih tangisan Ratna yang sangat menyedihkan.

“GILANG, GILANG, GILAAANG.” Teriakku dengan emosinya.

Aku langsung membopong tubuh Gilang dengan kedua tanganku. Beberapa orang ingin membantu tapi aku langsung menolaknya, karena bagiku semakin banyak orang yang menggendong Gilang, maka itu akan memperlambat gerakanku.

Aku berlari ke arah pintu belakang aula dan Ratna mengikuti dibelakangku sambil terus menangis.

Rendi muncul dipintu belakang dan wajahnya terlihat tegang sekali.

“Mas Gilang. Hiks, hiks, hiks.” Mery menyambut dengan tangisannya, ketika melihat aku didepan pintu.

“Jangan ada yang ikut masuk.” Ucap Rendi kepada orang – orang yang ada dibelakangku, ketika aku dan Ratna sudah masuk kedalam ruang belakang ini.

Brak.

Rendi menutup pintu dan bertepatan dengan mata Gilang yang terbuka perlahan.

“Jo, Jo, Joko.” Ucap Gilang terbata dan itu membuatku sedikit lega.

“Jangan banyak bicara kamu cok. Kita kerumah sakit sekarang.” Ucapku dan Aku langsung menghentikan langkahku, sambil membenarkan posisi Gilang yang aku bopong dengan kedua tanganku.

“A, a, aku mau duduk sebentar.” Ucapnya dengan tatapan yang memalas dan wajah yang sangat pucat sekali.

“Tapi.” Ucapku terpotong.

“Jok.” Ucap Gilang dan tatapan matanya, membuatku tidak bisa menolak permintaannya.

Aku langsung mendudukan Gilang dikursi dan Ratna langsung berdiri disebelah Gilang, sambil memegang pundaknya. Mery terus menangis, sementara Rendi, Mas Jago dan Mas Candra, hanya melihat Gilang dengan mata yang berkaca – kaca.

Gilang menyandarkan punggungnya dikursi, lalu dia mendangakkan kepalanya.

Dadanya bergetar, tarikan nafasnya sangat dalam dan wajahnya semakin memucat. Lalu tiba – tiba.

“HUEKKKK.” Darah kental berwarna merah kehitaman dan gumpalan seperti daging yang berwarna hitam, menyembur dari mulutnya.

“GILANG.!!!” Teriakku, Rendi, Mas Jago dan juga Mas Candra.

“MASSS.!!!” Ratna dan Mery berteriak dengan histerisnya.

“Hu, hu, hu, hu.” Nafas Gilang memberat dan perlahan dia membungkukan tubuhnya, sambil menundukan kepalanya.

Aku langsung mengarahkan tangan kiriku dibagian bawah pahanya dan tangan kananku punggungnya. Aku ingin membopongnya dan segera membawa Gilang kerumah sakit.

Tangan kanan Gilang langsung menahanku dan dia menggelengkan kepalanya pelan sambil tetap menunduk. Darah terus menetes dari mulutnya dan nafasnya semakin memberat.

“Ayo kita kerumah sakit Mas, hiks, hiks, hiks hiks.” Ucap Ratna sambil membungkukan tubuhnya disebelah kanan Gilang.

“Mas. Kerumah sakit ya.” Ucap Mery yang juga merayu Gilang dan dia membungkukan tubuhnya dihadapan Gilang.

Gilang mengangkat wajahnya pelan dan terlihat wajah Mery dihadapannya.

“Hu,hu, hu, hu.” Nafasnya terdengar serak dan jujur aku sangat ngilu mendengarnya.

“Ka, ka, kamu siapa.?” Tanya Gilang ke Mery dengan suara pelan dan berat sekali.

Mery terkejut mendengar pertanyaan Gilang itu dan dia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Gilang.” Ucap Rendi dengan suara yang bergetar dan Gilang langsung melihat ke arah Rendi.

“Kamu juga siapa.?” Tanya Gilang dan Rendi langsung menelan air liurnya dengan sangat berat sekali.

“Glek.”

Mery dan Rendi sama – sama tidak menjawab pertanyaan Gilang. Mereka berdua terlihat sangat terpukul dan sangat sedih sekali.

“Hu, hu, hu. Mereka ini siapa Jok.? Hu, hu, hu.” Tanya Gilang kepadaku.

Aku langsung melihat ke arah Mery dan Rendi bergantian, setelah itu aku melihat ke arah Gilang.

“Hu, hu, hu. Kenapa mereka seperti mengenalku dekat sekali.? Hu, hu, hu.” Tanya Gilang lagi. Lalu,

“HUEKKKK.” Gilang memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman lagi.

“Gilang.” Ucapku dan tanpa banyak bicara lagi, aku langsung menggotongnya tanpa persetujuan dia lagi.

“Hup.” Aku menahan nafasku, ketika mengangkat tubuh Gilang.

“Mas Candra. Siapkan mobilnya.” Ucapku dengan paniknya.

“I, I, iya.” Jawab Mas Candra, lalu keluar dari ruangan ini.

Mas Jago langsung berjaga didepan pintu dan aku melangkahkan kakiku dengan cepat.

“Kami mengikuti dibelakang mobilmu.” Ucap Rendi dan aku tidak menyahutnya, karena aku berkonsentrasi dengan anak tangga yang aku turuni.

Mas Candra membuka pintu mobil dan aku langsung mendudukan Gilang dibagian tengah seperti tadi.

“Hu, hu, hu.” Nafas Gilang agak cepat dan aku langsung menutup pintu mobil.

Gilang menyandarkan kepalanya lagi dikursi mobil, dengan mata yang berusaha tetap dibukanya.

“Terus kita harus kemana ini Lang.?” Tanya Mas Candra yang terlihat kebingungan dan mesin mobil sudah menyala.

“Kita kerumah sakit.” Jawabku sambil melihat ke arah Ratna dan Ratna menganggukan kepalanya pelan, sambil menyeka air matanya.

Mas Candra langsung menjalankan Mobilnya menuju gerbang kampus teknik kita.

“Jok. Hu, hu, hu.” Ucap Gilang sambil mendangakan kepalanya dan dia tidak melihat ke arahku.

“Kenapa Lang.?” Tanyaku sambil mendekatkan wajahku ke arahnya.

“Ah, ah. ah. Aku mau pulang Jok, aku mau pulang.” Racau Gilang dan matanya merem melek.

Cok. Kenapa kata ‘pulang’ yang diucapkan Gilang, terdengar agak berbeda ya.? Apa jangan – jangan maksudnya Gilang ini, pulang ke alam kebadian.? Bajingan.

“Iya, nanti kita pulang kerumahmu. Tapi kita kerumah sakit dulu.” Ucapku sambil menatap ke arah Ratna dan dia seperti mengerti apa yang diucapkan Gilang tadi.

“Enggak Jok. Ah, ah, ah. Aku mau pulang sekarang, aku capek.” Ucap Gilang dan Ratna langsung menggelengkan kepalanya, sambil menitikkan air matanya lagi.

“Iya. kita nanti pasti kerumahmu. Tapi kita kerumah sakit dulu ya.” Ucapku.

“Hiuufft, huuuu.” Gilang menarik nafasnya agak panjang, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Jok. Aku sudah capek banget dan aku mau langsung kerumahku.” Ucap Gilang.

“Bertahanlah Mas, bertahanlah. Mas pasti kuat demi calon bayi kita ini. Hiks, hiks, hiks.” Ucap Ratna sambil memegang punggung tangan kiri Gilang dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengusap perutnya sendiri.

Akupun langsung terkejut dan aku melihat ke arah Ratna.

CITTTT.

Mas Candra menghentikan mobilnya dipinggir jalan, lalu dia dan Mas Jago menoleh ke arah Ratna dengan air mata yang mulai jatuh dipipi mereka.

“Ka, ka, kamu hamil Rat.?” Tanyaku terbata dan Ratna hanya mengangguk pelan.

Tes, tes, tes, tes.

Butiran air mataku langsung turun dengan bangsatnya dan aku langsung menarik nafasku dengan tubuh yang bergetar.

Entah aku harus sedih atau bahagia dengan keadaan yang sangat menjacokan ini.

Gilang terlihat sedang sekarat, tapi dilain pihak dia akan mempunyai anak dari Ratna. Gilang terlihat sudah lelah dan dia akan menyerah, tapi dilain pihak ada kehidupan baru diperut Ratna. Gilang seperti sedang menanti ajalnya, sementara ada nyawa yang sudah siap ditiupkan dirahim Ratna.

Bagaimana bisa semesta berbuat seperti ini.? Bagaimana.? Bajingan.

“Ka, kamu siapa.?” Tanya Gilang sambil menoleh ke Ratna dan itu membuat air mataku semakin deras mengalir.

“Ma, Ma, Mas Gilang.” Ucap Ratna terbata dan dia seperti tidak percaya dengan apa yang diucapkan Gilang barusan.

“Maaf Mba, saya gak kenal Mba.” Ucap Gilang sambil menggeser tangan kirinya yang dipegang oleh Ratna.

Ratna langsung menarik tangan kanannya dan mengepalkan didada, dengan diiringi deraian air matanya.

Gilang langsung menegakkan tubuhnya, lalu melihat ke arah Mas Jago dan juga Mas Candra.

“Huuuuuu.” Gilang menghela nafas panjangnya.

“Mohon maaf Mas. bisa antarkan saya ke Desa Sumber Banyu.?” Tanya Gilang.

“I, I, iya Lang.” jawab Mas Candra terbata.

“Mohon maaf sekali lagi. Saya juga gak kenal dengan Mas berdua, tapi saya sudah berani merepotkan. Saya tidak bisa membalas kebaikan Mas berdua dan saya hanya bisa mendoakan, semoga Mas berdua selalu dalam lindunganNya.” Ucap Gilang dengan suara yang pelan.

Mas Candra dan Mas Jago langsung menoleh ke arah depan, sambil menghapus air matanya. Mereka berdua seperti tidak tega melihat perubahan Gilang yang sedrastis ini.

“Jok.” Panggil Mas Candra, tapi tidak menoleh ke arahku.

Aku lalu menoleh ke arah Ratna dan dia hanya mengangguk pelan.

“Kita ke Desa Sumber Banyu Mas.” Ucapku dan Mas Candra langsung menjalankan mobilnya.

Gilang kembali menyandarkan punggungnya dikursi mobil dan suasana langsung hening seketika. Kami semua diam dan larut dengan kesedihan masing – masing.

Mas Jago tiba – tiba menyalakan radio ditape mobil dan langsung terdengar sebuah lagu yang membuat kami semua merinding.






“Impian yang paling terindah itu, bisa pulang kerumah dan meluapkan kerinduan yang terpendam.” Gumam Gilang pelan, sambil memejamkan kedua matanya.

“Jangan pernah takut untuk pulang kerumah, karena disitulah tujuan akhir kaki melangkah.” Gumam Gilang lagi dan kami semua hanya terdiam mendengarnya

“Seindah apapun kehidupan diluar sana, hanya rumah tempat yang paling nyaman untuk beristirahat.” Ucap Gilang lagi dan entah pada siapa dia berbicara seperti itu.

“Hiuffttt, huuuu.” Nafasnya terdengar parau, lalu diam dan tidak bersuara lagi.

Aku dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang. Dadanya terlihat naik turun, hembusan nafasnya pelan, dengkurannya halus dan dia terlihat tertidur dengan pulas.

Aku tidak sanggup lagi mengungkapkan bagaimana suasana sedih didalam mobil ini dan sudah berapa banyak air mata yang tertumpah. Aku hanya bisa diam dan merenungi nasibku yang sangat menyedihkan ini.

Mobil melaju keluar dari jalan tol dan sebentar lagi akan memasuki perbatasan kotaku.

“Sebelum pulang kerumah, aku mau mandi dulu disungai.” Gumam Gilang dan Mas Candra langsung melihat ke arah spion.

Aku pun mengangguk pelan dan Mas Candra melihat ke arah depan lagi.

Setelah beberapa jam perjalanan yang sangat menguras emosi ini, akhirnya mobil kami sudah memasuki Desa Sumber Banyu. Mobil inipun tidak mengarah ke rumah Gilang, melainkan ke sungai yang ada dipinggiran desa.

Dan setelah mobil sampai di jalan masuk ke arah sungai, Gilang masih tertidur pulas. Mobil diparkirkan dipinggir jalan dan kami tidak ada yang berani membangunkan Gilang.

“Rat.” Panggilku ke Ratna.

“Ya Mas.” Jawab Ratna dan matanya terlihat bengkak, karena terlalu banyak air mata yang dikeluarkannya.

“Kalau aku kesungai bersama Gilang, tolong kamu panggil Bapak dan Ibu dirumah ya.” Ucapku.

“Tapi Mas.” Ucap Ratna terpotong, karena Gilang menarik nafasnya dalam – dalam.

“Kelihatannya Gilang sudah hilang ingatannya, untuk beberapa tahun terakhir. Dia tidak mengenalmu, Mas Candra dan juga Mas Jago. Jadi kalau dia bangun nanti, dia pasti hanya ingin berdua saja denganku kesungai sana.” Ucapku dan Ratna langsung melihat ke arah Gilang, sambil membelai pipi suaminya yang sudah tidak mengenalnya itu.

“Baiklah Mas.” Jawab Ratna dengan pasrahnya.

Kami semua lalu terdiam lagi dan menunggu Gilang terbangun.

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa.” Gumam Gilang dan matanya tetap terpejam.

“Aku bukan setitik embun dipagi hari, apalagi rintik hujan yang membasahi bumi.”

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa.”

“Aku bukan sebuah cerita, apalagi sejarah dikehidupan dunia yang fana.”

“Aku adalah aku dan aku bukan siapa – siapa. Huuuu.” Racau Gilang dan diakhiri dengan hembusan nafasnya yang agak panjang.

Kami berempat hanya melihat kearah wajah Gilang, lalu saling memandang.

Hiuuffft, huuuu.

Setelah hampir dua jam kami menunggu dan matahari sudah condong ke barat, akhirnya Gilang terbangun.

Gilang lalu melihat ke arah kami berempat bergantian, dengan wajah yang terlihat bingung.

“Jok. Dimana kita ini.? Terus siapa mereka.?” Tanya Gilang sambil melihat ke arah Ratna, Mas Candra dan Mas jago.

“Kita sudah didekat sungai desa kita.” Jawabku dan aku tidak menjawab pertanyaannya, tentang Ratna, Mas Candra dan juga Mas Jago.

“Ooo. Dapat berapa tadi mengamennya.?” Tanya Gilang dan aku langsung menarik nafasku dalam – dalam.

“Lumayan.” Jawabku sekenanya.

“Bisa buat bayar SPP sekolah kita.?” Tanya Gilang yang ngelantur entah kemana.

“Bi, bi, bisa.” Jawabku.

“Ini sudah sore ya.?” Tanya Gilang sambil melirik ke arah jendela kaca disebelah kananku yang sengaja aku buka dari tadi.

“Iya.” Jawabku singkat.

“Cok. Aku belum cari rumput untuk makan sapinya Pak Nyoto.” Ucap Gilang sambil menegakkan tubuhnya.

“Iya nanti kita cari sama – sama.” Jawabku.

“Ya sudah. Kalau begitu kita kesungai aja dulu.” Ucap Gilang lalu melihat ke arah Mas Jago, Mas Candra dan juga Ratna.

“Mereka ini siapa ya Jok.? Kok mereka ada didesa kita.?” Tanya Gilang.

“Sudah, gak usah dibahas. Sekarang kita kesungai aja.” Ucapku.

“Oh iya, kita mau kesungai ya.” Ucap Gilang.

Akupun langsung mengangguk, setelah itu aku membuka pintu mobil. Aku turun terlebih dahulu, setelah itu aku membantu Gilang untuk keluar.

Gilang terlihat sangat lemas sekali, sehinga agak kesulitan untuk keluar dari mobil. Aku lalu memposisikan Gilang duduk dipinggir kursi mobil, dengan kakinya menjuntai ke arah luar.

“Kamu kugendong aja.” Ucapku sambil memunggungi Gilang dan aku langsung membungkukan tubuhku.

Gilang menganggukan kepalanya, setelah itu dia merangkul leherku dari belakang. Aku lalu mengapitkan kedua pahanya dengan kedua lenganku, setelah itu aku berdiri perlahan.

“HUP, UHHH.” Ucapku dan sekarang aku sudah berdiri tegak.

Ratna, Mas Jago dan Mas Candra yang berada didalam mobil, hanya diam sambil menyeka air mata mereka masing – masing.

Akupun langsung berjalan sambil menguatkan pegangan tanganku dipaha Gilang.

Dada Gilang menempel erat dipunggungku dan itu membuat aku merasakan detak jantung Gilang yang sangat terasa sekali.

“Huuuu.” Hembusan nafas Gilang terasa didekat telingaku, karena dagunya sekarang berada dipundakku.

“Kalau sudah lulus STM nanti, kamu mau lanjut kemana Jok.?” Tanya Gilang kepadaku, ketika langkahku sudah sampai dijalan setepak dipinggiran sawah yang menguning.

“Ngarit.” (Cari rumput.) Jawabku singkat, dengan suara yang bergetar.

“Kamu gak mau ikut aku ke Kota Pendidikan.?” Tanya Gilang dan itu langsung membuat mataku berkaca – kaca.

“Aku jaga kandang aja. Kalau kita berdua pergi dari desa ini barengan, siapa yang jaga Desa Sumber Banyu.” Jawabku dan jawaban ini pernah aku ucapkan kepada Gilang, ketika dulu dia mengajakku ke Kota Pendidikan.

“Kamu tega ya, kalau aku sendirian di Kota Pendidikan.?” Tanya Gilang dan bertepatan kami sudah sampai didekat sungai.

Aku lalu berdiri didekat batu yang biasa tempat kami bersantai dan aku tetap menggendong Gilang, sambil menatap ke arah sungai.

Tes, tes, tes, tes.

Air mataku kembali menetes dengan bangsatnya, karena aku mengingat masa – masa indah dulu, ketika kami berdua bermain dan berenang disungai ini.

Seandainya waktu bisa berputar kembali, aku akan menolak ajakan Gilang untuk kuliah ke Kota Pendidikan. Bukan hanya menolak, tapi aku juga akan melarangnya pergi, apapun yang akan terjadi.

Kalau seandainya hari itu kami tidak berangkat, mungkin kejadian - kejadian yang sangat membangsatkan didalam hidupku tidak akan terjadi.

Aku tidak akan kehilangan orang tuaku, aku tidak akan mengenal serta jatuh cinta pada Denok, dan yang paling aku harapkan lagi, Gilang tidak akan menderita penyakit yang sangat parah ini.

Hidupku mungkin akan lebih damai di desa ini dan aku tidak akan menghadapi masalah – masalah yang sangat menggathelkan ini.

Walaupun dengan uang yang sedikit hasil dari mengamen, aku dan Gilang pasti masih bisa tertawa lepas.

Percuma banyak uang, tapi kami tidak bisa berbahagia dan hidup dengan tenang.

Kalau seandainya waktu bisa berputar, Aku akan sangat berbahagia sekali.

“Bukan aku yang tega membiarkanmu ke Kota pendidikan, tapi kamu yang tega meninggalkan aku sendirian disini.” Ucapku dengan linangan air mataku yang terus mengalir.

“Kalau begitu kamu ikut aku aja, bagaimana.?” Ucap Gilang dan aku langsung menurunkan dia diatas batu yang ada didekatku.

Aku lalu membersihkan air mataku yang menetes dipipi, setelah itu aku membalikan tubuhku dan melihat ke arah Gilang.

“Tapi kamu gak usah ikut deh. Kalau kamu ikut aku, gak ada yang jaga Desa Sumber Banyu.” Ucap Gilang sambil membuka sepatu yang dipakainya, lalu dilanjut dengan melepaskan jas yang dikenakannya.

“Hiuffttt, huuuu.” Aku menarik nafas panjangku, lalu aku mengeluarkannya perlahan.

Aku lalu duduk dibatu yang ada dibelahku, setelah itu aku membuka sepatuku juga.

Kaos kakiku yang putih ini, tampak terlihat berwarna merah kecoklatan. Darah yang keluar dari telapak kakiku itu terlihat mulai mengering, tapi lukaku masih sangat basah.

Aku lalu membuka jas yang kupakai, setelah itu aku juga melepaskan kemeja serta celana hitam yang melekat ditubuhku, sampai meninggalkan celana dalamku saja.

Aku lalu berjalan ke arah Gilang dan telapak kakiku terasa sangat perih, karena tanah yang kupijak ini ada yang masuk kedalam luka ditelapak kakiku. Aku tidak menghiraukan rasa sakit dikakiku, karena rasa sedih dihatiku terasa lebih menyakitkan.

Aku buka kancing kemeja Gilang satu persatu, setelah itu aku melepaskannya. Aku lalu menurunkan celana hitamnya, sampai menyisakan celana dalamnya.

Air mataku kembali menetes, setelah aku melihat tubuh kurus Gilang dari dekat. Seluruh tulang – tulangnya hanya ditutupi kulit tubuhnya yang mulai keriput. Tubuhnya tidak setegap dulu dan ototnya tidak sekekar waktu itu.

Aku lalu menunduk agar Gilang tidak melihat tangisku ini.

“Kenapa kita pakai pakaian ini ya Jok.? Seperti orang kaya aja kita pakai jas.” Ucap Gilang.

“Kita habis ikut karnaval, hari jadi kota kita.” Jawabku sambil membersihkan air mataku, lalu aku berdiri dan duduk disebelahnya.

“Oooo.” Ucap Gilang sambil menganggukan kepalanya.

“Kita mandi yo.” Ucap Gilang lagi.

“Ayo.” Ucapku dan aku langsung berdiri, sambil memapah tubuh kurus Gilang.

Kami berdua masuk kedalam sungai dan rasa perih dari luka dikakiku, semakin terasa karena tersentuh oleh air.

Gilang yang aku papah ini langsung berendam didalam sungai dan aku tidak melepaskan rangkulanku.

Kami berdua mandi bersama tapi tidak lama, karena sebentar lagi matahari akan terbenam.

“Itu sapi siapa ya.?” Tanya Gilang sambil menujuk ke arah puluhan sapi yang berada tidak jauh dari kami.

“Itu sapi mbahku.” Jawabku.

Sebenarnya seluruh sapi itu milikku dan aku baru membelinya sebanyak dua puluh ekor, untuk menggantikan sapi Mbahku, yang aku jual untuk mendaftar kuliah waktu itu.

Sapi – sapi itu rencananya akan aku serahkan kepada Mbahku, ketika aku selesai wisuda nanti. Dan rencananya lagi, aku akan mengajak Gilang untuk menyaksikannya. Tapi entah niatku itu terwujud atau tidak, karena kondisi Gilang yang sudah sangat lemah ini.

“Percaya aku Jok. Mbahmu kan memang juragan sapi yang paling kaya di desa ini.” Ucap Gilang dan aku langsung membantunya memakai pakaiannya.

Setelah Gilang selesai memakai pakaiannya, akupun mengenakan pakaianku.

“Jok.” Panggil Gilang ketika aku sudah memakai pakaianku.

“Apa.?” Tanyaku sambil membalikan tubuhku, lalu menghadap kearahnya.

Gilang langsung tersenyum kepadaku dan senyumannya membuat seluruh tubuhku merinding.

“Aku pulang ya.” Ucap Gilang sambil merapikan rambutnya yang basah, dengan jari – jarinya yang tertekuk.

Aku langsung ketakutan, melihat sikap Gilang yang sangat aneh ini.

“Pu, pu, pulang kemana.?” Tanyaku terbata.

“Hiuufffttt, huuuuu.” Gilang menarik nafasnya dengan sangat berat sekali, lalu mengeluarkannya perlahan.

“Kerumah.” Jawab Gilang, sambil meremas dada bagian kirinya.

“Aku antarkan sekarang.” Ucapku dengan paniknya dan Gilang langsung menggelengkan kepalanya pelan.

Tiba – tiba dari arah belakang Gilang, sebuah tangan terlihat berada diatas kepalanya. Pandanganku terhalang oleh wajah Gilang, sehingga aku tidak tau siapa yang ada dibelakangnya.

Perlahan aku memiringkan kepalaku kearah kanan, untuk melihat pemilik tangan itu.

DAG, DUG, DAG, DUG, DAG, DUG.

Bunyi jantungku yang berdetak cepat, ketika aku melihat sosok dibelakang Gilang,

Sosok yang membuatku sangat ketakutan dan kehadirannya sangat tidak aku harapkan. Makhluk berjubah hitam. Makhluk itu ternyata datang lagi dan langsung membuat seluruh tubuhku merinding dibuatnya.

“Ka, ka, kamu.” Ucapku terbata dan tubuhku menjadi kaku seketika.

Aku ingin menggendong tubuh Gilang lagi dan aku ingin membawanya lari menjuah dari makhluk keparat ini, Tapi kedua tanganku tidak bisa aku gerakkan dan kedua kakipun tidak bisa aku langkahkan.

Aku lalu melihat ke arah Gilang dan kembali dia tersenyum kepadaku.

Tangan makhluk itu perlahan menempel dikepala Gilang bagian atas, lalu melakukan gerakan seperti meremas sesuatu, setelah itu dia menariknya keatas dengan cepat.

WUUTT.

“Ibu.” Ucap Gilang dan matanya langsung melotot, setelah itu tubuhnya lunglai dan roboh ke arahku, bersamaan dengan hilangnya makhluk berjubah hitam tadi.

“GILANGGG.” Teriak beberapa orang dari arah belakangku.

Kedua tangan ku tiba – tiba bisa aku gerakan dan aku langsung memeluk tubuh Gilang, dengan tatapan mata yang kosong.

Mulutku tidak bisa mengucapkan sepatah katapun dan aku hanya terdiam sambil memeluk tubuh Gilang yang sudah tidak bergerak lagi.

Beberapa orang langsung berdiri mengelilingi aku, dengan tangis yang sangat histeris. Mereka semua memegang tubuh Gilang dan melepaskan dari pelukanku.

Aku tetap terdiam sambil terus menatap ke arah Gilang, yang sekarang sudah terbujur dipangkaun Ibunya.

Cok. Apa yang sedang terjadi ini.? Apa penyakit Gilang kambuh dan dia tidak sadarkan diri.? Tapi kenapa semua orang histeris seperti ini.? Apa jangan – jangan Gilang sudah pergi selamanya.? Tapi kenapa aku tidak meneteskan air mata lagi dan tidak sehisteris orang - orang yang ada disekelilingku.? Ada apa denganku ini.? Apa aku benar – benar sudah ikhlas dengan kepergian Gilang, sampai air mataku tidak keluar walau setetes.? Atau jangan – jangan sekarang aku sudah mati rasa dan aku sudah tidak memiliki perasaan sedikitpun.?

Pandanganku langsung tertuju kepada Gilang yang berada dipangkuan Ibunya. Wajahnya terlihat segar dan tidak selesu tadi. Sahabatku itu seperti sedang tertidur dengan nyenyak dan bibirnya terlihat tersenyum.

“Gilang. Hiks, hiks, hiks.” Ibunya Gilang menangis sambil membelai rambut putra kesayangannya itu, sedangkan Bapaknya hanya menatapnya dengan mata yang berkaca – kaca.

“MAS GILANG. HIKS, HIKS, HIKS.” Teriak Lintang dan Damar dengan kencangnya.

“HIKS, HIKS, HIKS.” Ratna menangis, lalu tiba – tiba dia roboh dan tidak sadarkan diri. Mas Jago dan Mas Candra yang ada didekat Ratna, langsung menangkap tubuh Ratna.

Mery dan Rendy yang juga hadir ditempat ini, berpelukan dengan tangis kesedihannya. Sedangkan aku, aku tetap berdiri mematung. Perlahan pandanganku mengarah kepada matahari yang mulai terbenam dan langit yang perlahan mulai gelap.

Jiwaku ikut terbenam, bersama hilangnya senja. Hatiku perlahan mati, bersama perginya Gilang. Hidupku sekarang gelap, seperti malam tanpa bintang dan rembulan.

Kalau sudah begini, untuk apa aku hidup.? Mau aku apakan impian yang sudah kuperjuangkan bersama Gilang.? Apakah impian yang sudah aku genggam ini bisa membanggakan mereka – mereka yang sudah tidak ada.? Terus apa untungnya bagiku kalau mereka bangga.? Apa aku bisa bahagia.? Tidak, aku tidak akan bisa bahagia. Aku tidak butuh semua itu dan aku sudah tidak memiliki tujuan hidup.

CLAP, CLAP, CLAP.

Kilatan petir tiba – tiba terlihat dari langit yang gelap diatas hutan terlarang dan aku langsung menoleh kearah sana.

“Datanglah kemari anakku, datanglah kemari. Disinilah rumahmu dan kamu akan menemukan apa yang kamu cari.” Terdengar bisikan suara dari arah hutan terlarang dan aku langsung menegakkan pandanganku, serta membusungkan dadaku.

Hiufft, huuuu.



Pop Orang Ketiga.

Tujuh tahun kemudian.

Seorang anak kecil duduk diantara dua makam yang berdampingan. Anak kecil itu berdoa dengan sangat khidmat dan wajah lugunya terlihat sangat tenang sekali. Mulutnya bergumam memanjatkan do’a, sambil melihat ke arah salah satu batu nisan.

Dibelakang anak itu berdiri seorang laki – laki setengah baya dan memperhatikan anak kecil itu dengan seksama.

Beberapa saat kemudian, anak kecil itu mengelus dua batu nisan bergantian, lalu dia berdiri perlahan dan membalikan tubuhnya pelan.

“Opah, Abimanyu anak pintarkan.?” Tanya anak kecil yang bernama Abimanyu dan laki – laki itu hanya mengangguk pelan.

“Abimanyu gak cengengkan.?” Tanya Abimanyu lagi dan kembali laki – laki itu menganggukan kepalanya.

Abimanyu mendekat ke arah laki – laki setengah baya itu dan laki – laki itupun langsung berlutut. Dipeluknya tubuh mungil Abimanyu dan Abimanyu membalasnya dengan pelukan yang sangat erat.

Dada Abimanyu bergetar hebat dan kelopak matanya sudah dipenuhi air mata yang siap tertumpah. Tapi anak itu berusaha agar air matanya tidak keluar walau setetes.

“Abimanyu anak hebat, Abimanyu anak pintar, Abimanyu anak kuat.” Ucap Laki – laki setengah baya itu dan dibalik kacamata hitam yang dikenakannya, matanya berkaca – kaca.

“Kejarlah impianmu dan raihlah mimpimu. Papah dan Mamahmu diatas sana, pasti bangga memiliki putra sepertimu.” Ucap laki – laki setengah baya itu dan air matanya yang mulai menetes.

“Tapi ingat nak. Ketika kamu mengejar impianmu, gunakanlah hatimu dan jangan gunakan nafsumu.” Ucap laki – laki itu lagi dan Abimanyu hanya mendengarkannya, sambil tetap memeluk erat laki – laki setengah baya itu.

Entah Abimanyu mengerti atau tidak dengan nasehat laki – laki setengah baya tadi, tapi yang jelas anak sekecil itu sudah dipaksa dewasa oleh keadaan.

Hiuuffftt, huuuu.





#Cuukkk. Manusia terlahir dengan segudang impian dan berjuta – juta mimpi. Semesta hanya memberi petujuk dan semua tergantung dari manusia itu sendiri, bagaimana cara dia meraihnya. Mau mengikuti kata hati atau mau diperbudak oleh nafsu. Sekian saja kisah yang singkat ini, selamat malam dan selamat meraih impainmu.
So sad.. akhirnya ratna pun meninggal setelah melahirkan.. thx suhu untuk cerita yg menjancokan ini 😭
 
Anarupes suhu @Kisanak87 ...
Ayas wes moco teko cerito awal n baru iki ayas komen...
Sampean mbois ilakes..
Masio mbrebes mili..
Asuuu kog

SASAJI SAM
 
Mau nanya suhu musuh irawan yg di kuasai makhluk bermata bening itu siapa ya suhu soal nya penasaran saya gak perna di cerita perjalanan irawan dan lawan2 nya
 
INI SEMUA GARA2 JOKO...POKOKNYA JOKO LAH YG SALAH..LAGI2 JOKO LAH POKOKNYA...WKWKWKW

OHH YANTI...Croooott 💦
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd