Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT I LOVE YOU HANDSOME part II : REBELION [by Arczre]

Status
Please reply by conversation.
BAB DUA

8dc7dc431455533.jpg

Ilustrasi Bianca

"Urusan apa sih tante?" tanya Ryuji yang kembali menyupiri Bianca.

"Urusan akuntansi, kamu nggak bakal ngerti kalau aku ceritain," jawab Bianca.

"Ya deh, ya deh, nyerah. Tapi heran aja siapa sih si Mustafa ini?"

"Dia ini dulu temanku ama teman Arci di SMA. Hanya saja dasar si Arci kurang gaul mungkin nggak begitu kenal dengan Mustafa. Yah, baru tahu saja kalau dia ternyata punya usaha yang besar. Mustafa ini pemilik meubel dan produknya sudah masuk pasaran ekspor. Dia juga punya saham di PT Evolus, tapi tak begitu besar. Jangan remehkan dia lho. Dia ini termasuk keturunan Habib."

"Oh ya? Apa itu habib?"

"Semacam orang suci begitu."

Rio hanya manggut-manggut. Dia sibuk menghindari beberapa mobil yang menghalangi jalannya.

"Kamu sendiri kenapa koq ikut pamanmu kerja ama Arci, kamu tahu sendiri bosmu itu seperti apa."

"Dia pamanku satu-satunya. Aku tak punya alasan untuk menolaknya. Tante sendiri? Kenapa mau bekerja kepada bosku? Tante sendiri tahu bagaimana bosku."

"Yee, malah dibalik."

"Tapi bener kan tan? Tante sendiri kenapa malah bekerja ama bosku?"

Bianca tersenyum, "Karena....bosmu melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain."

"Hah? Maksudnya?"

"Ada sesuau di masa lalu yang membuatku sangat berhutang budi kepadanya. Maka dari itulah aku bekerja kepadanya. Aku sangat percaya kepada Arci, aku sangat percaya kepadanya. Bahkan kalau saja ia tak menolongku saat itu, aku tak akan ada di sini."

"wah, jangan-jangan tante suka ama bosku?"

"Hahahaha, nggaklah. Dulu memang ada sedikit rasa suka. Tapi setelah itu nggak. Kamu sendiri kapan punya pacar Ryuji? Padahal kamu itu ganteng seperti seorang model."

"Ganteng? Model? Dari mana tan?"

"Dibilangin nggak percaya."

"Aku sih biasa aja nggak nganggap diri seperti itu."

"Habis ini bisa mampir dulu di Hotel Atria?"

"Heh? Ngapain di sana?"

"Just do it!"


oOo


"Wahhh, ini vilanya?" tanya Diva.

"Iya, suka?" tanya Miller.

"Bangeeettt!" ujar Diva senang.

"Di dalam sudah ada Mustafa," kata Miller.

Diva dan Miller pun kemudian masuk ke dalam vila. Di dalam vila sudah ada seseorang dengan wajah arab. Mustafa sedang duduk di sofa memainkan ponselnya ketika mereka berdua masuk. Melihat Diva dan Miller masuk dia langsung menyambut keduanya.

"Masuk, masuk, selamat datang!" kata Mustafa.

"Hai Om?!" sapa Diva. Diva menjabat tangan Mustafa. Mustafa langsung tertarik dengan Diva. Ya, dia cantik, bajunya juga seksi. Bahkan tak pernah terbesit bahwa dia adalah seorang WP.

"Pakai saja kamar di atas!" ujar Mustafa.

"OK Om."

Diva segera menaiki anak tangga untuk pergi ke atas. Miller dan Mustafa melihat pantat Diva yang bergerak kiri dan kanan.

"Gile bener, emang ajib ini cewek," ujar Mustafa.

"Aku setuju," angguk Miller.

"Jadi untuk sementara bagaimana rencanamu?"

"Rencanaku, tetap seperti semula. Kamu harus tahu siapa saja orang-orang terdekat Arci, setelah itu habisi satu persatu. Like the old times."

"Tapi bukannya itu nanti terlalu mencolok, kita akan ketahuan nanti."

"Tenang aja, kartu yang akan kita mainkan sudah ada tinggal kita gerakkan saja."

"Maksudnya?"

"Kamu bakal mengerti nanti apa yang aku maksudkan."

"Oh baiklah. Asalkan itu bisa memuluskan rencana kita untuk menguasai kota ini. Semuanya akan aku terima."

Sementara itu Diva menguping pembicaraan mereka. Diva tak begitu mengerti tapi dia sangat iseng, ya iseng untuk merekam pembicaraan mereka. Dan ia memang berniat seperti itu. Segala hal yang ia lakukan di villa itu akan dia rekam. Ia memang punya kebiasaan buruk untuk merekam segala hal yang ia lakukan, hanya saja kebiasaannya ini akan berakibat buruk.


oOo


Mustafa mencium Diva. Mereka melakukan french kiss. Diva hanya memakai bra dan lingerie. Sementara itu Miller masih meneguk botol birnya yang tersisa. Suasana kamar mereka makin panas ketika suara kecipakan bibir beradu. Lidah kedua insan lawan jenis ini menari-nari saling menghisap mencari kenikmatan pembakar birahi. Mustafa meraba-raba tubuh Diva, terutama pantatnya. Kolornya sudah tak mampu lagi menahan batang perkasa miliknya. Mustafa pun mulai mengarahkan kedua tangannya ke dua bongkahan bukit kembar yang empuk dan kenyal.

Diva didorong hingga rebah di atas ranjang. Mustafa mulai menyapukan bibirnya ke leher Diva yang jenjang, kemudian ke bawah. Wajah Mustafa dibenamkan di tengah jepitan buah dada Diva. Mustafa menghirup harumnya bau sabun yang tadi dipakai Diva ketika mandi. Sebuah cuilan kecil membuat penutup bra-nya lepas. Seolah-olah seperti terpenjara selamanya, dua buah bukit kembar itu langsung melompat keluar. Mustafa dengan rakus menghisap kedua puting Diva kiri dan kanan. Diva pun mulai terbakar birahinya.

Sebagai seorang WP yang profesional, sudah sepantasnya bagi dirinya untuk memberikan kepuasan bagi pelanggannya. Maka dari itulah ia sangat menjaga diri agar pelanggannya puas terhadap service yang diberikannya. Mustafa terus memperlakukan buah dada Diva dengan penuh nafsu. Bibir Mustafa terus meluncur ke bawah, menikmati perut dan pusar Diva. Kemudian sampai dia di sebuah lingerie berwarna abu-abu, dengan sebuah tarikan kasar terlepaslah lingerie itu menampakkan isinya, sebuah tempat privat yang bersih tercukur rapi.

Tanpa banyak cingcong Mustafa dengan lahap mulai mengunyah belahan daging berwarna kemerahan yang ada di hadapannya.

"Aaaahhkkk!" Diva menggelinjang ketika bibir dengan kumis timis Mustafa melahap klitorisnya. Dia membuka lebar-lebar pahanya mempersilakan Mustafa untuk menikmati surga dunia yang tersaji di hadapannya.

Sementara itu Miller mulai terangsang. Ia sudah melepaskan seluruh pakaiannya dan mengocok kemaluannya yang mulai menegang seperti buah terong. Dia menghampiri Diva dan menyerahkan kepala penisnya ke mulut Diva. Diva pun tanggap, ia tahu ini adalah permainan tiga orang, maka dia langsung memasukkan penis Miller yang cukup besar itu mulutnya. Segera mulut vakumnya menyedot-nyedot penis monster itu dengan lahap, membuat mata Miller memutih. Pinggul Miller sampai maju mundur menikmati sedotan profesional sang WP, tangannya pun mulai mengelus-elus kepala Diva dengan lembut.

Mustafa terus memberikan rangsangan kepada Diva. Sampai kedua kaki Diva menegang dan mengapit kepalanya. Penis Miller pun terlepas dari mulutnya.

"Aooohhhh! Uuuuhhhhfff! Terus om..... aku nyampe om! AAAAAAHHHKK!" tubuh Diva melengking menyemburkan cairan kewanitaannya yang langsung disedot hingga habis oleh Mustafa.

Seolah tak diberikan waktu istirahat Miller pun kembali menjejali mulut Diva dengan penisnya. Mustafa melepaskan kolor yang ia pakai. Penisnya juga sudah menegang. Diarahkannya penis itu ke mulut Diva. Diva pun menservis dua penis di depan mulutnya. Dia menjilat kiri kanan sambil mengocok keduanya. Miller pun mulai mengerjai Diva dengan memasukkan jarinya ke liang senggama Diva. Kembali Diva terangsang dengan ulah jari Miller.

"OK, aku dulu ya?" tanya Mustafa

"OK!" Miller setuju.

Diva kemudian disuruh untuk menungging. Mustafa berada di belakangnya. Sedangkan di depannya ada Miller dengan senjatanya yang sudah menegang. Mustafa pun memegang penisnya dan mengarahkannya ke liang senggama sang WP. Perlahan-lahan liang senggama itu dimasuki dan separuh penis Mustafa telah masuk di dalam rongga kemaluan Diva.

Diva melenguh, tapi karena mulutnya penuh dengan penis Miller ia hanya seperti bergumam saja. Mustafa mulai memaju mundurkan batangnya di dalam kemaluan Diva. Cairan pelumas mulai membanjiri kemaluan Diva. Sudah banyak penis yang masuk ke dalam liang senggamanya. Dan dia cukup puas karena sekarang penis yang masuk cukup bisa memenuhi liang senggamanya.

"Sempit... uuffhhh... kau luar biasa, pantas hargamu mahal," ujar Mustafa.

"Ayo cepat, gantian sobat!" ujar Miller.

"Bodo amat, aku masih belum puas koq."

Mustafa meremas-remas buah dada Diva dan pinggulnya mengebor pantat sang WP. Diva melenguh dengan mulut tersumpal penuh batang penis milik Miller. Diva diserang depan dan belakang. Miller menyudahi permainannya dan membiarkan si Mustafa menikmati tubuh Diva dulu. Diva meremas sprei tempat tidur sambil wajahnya menampakkan kenikmatan. Ia meringis.

"Penuh banget.... uuuhhhhfff.... ahhhkkk! Kontolmu penuh banget Om!"

"Iya dong!"

Mustafa kemudian menarik tubuh Diva hingga Diva berlutut dengan pantat sedikit terangkat tapi masih disodok oleh Mustafa. Kedua tangannya ditahan oleh Mustafa agar si WP ini tidak jatuh. Lehernya menjadi sasaran Mustafa. Buah dada Diva mengangguk-angguk naik turun membuat pemandangannya sangat erotis. Kemudian Mustafa menekan kuat-kuat penisnya hingga menyentuh rahim Diva. Dia tersentak, lalu ambruk lemas di atas ranjang. Mustafa membalikkan tubuh Diva hingga telentang, tapi pinggangnya dimiringkan sehingga Diva seolah-olah tidur miring tapi badannya telentang.

Mustafa tersenyum kepada Diva yang merasa lemas karena perlakuannya barusan. Dengan posisi masih berlutut, Mustafa lalu memasukkan penisnya ke memek sang WP. Diva kembali tersentak ketika benda asing itu kembali menyodoknya. Diva meremas sprei tempat tidur sepertinya ia akan kembali dibor dengan kecepatan penuh. Dan benar saja, Mustafa kembali mengebornya.

Kali ini rasanya Mustafa akan orgasme, kepala penisnya berkedut-kedut. Rasanya sudah mentok ingin keluar. Dia meremas-remas buah dada Diva hingga gerakannya makin cepat. Kedua bukit kembar itu naik turun, sebuah pemandangan erotis, di mana Diva dengan wajah cantiknya memejamkan mata menggigit bibir bawahnya.

"Ahhhh..... omm..... nyampe lagi omm....Auuuuhhhffff!" jerit Diva.

"Wah, wah, jangan lemes dulu. Masih ada temenku tuh!" kata Mustafa.

"Aduuhh...oomm.... pasrah deh....ahhh...ahhh...enak ommm.... AAAHHHKK!" Diva mengerang dengan gemetar. Cairannya pun membasahi batang kemaluan Mustafa. Mustafa menghentikan aktifitasnya sejenak membiarkan Diva selesai menikmati orgasmenya.

"Aku hampir sampai," ujar Mustafa. Dia melebarkan kedua kaki Diva kemudian ditindihnya tubuh seksi Diva sambil dipeluknya erat. Bibirnya pun mulai menjelajah mulut Diva. Keduanya melakukan French Kiss. Penis Mustafa perlahan-lahan masuk lagi. Kini dengan bernafsu Mustafa menggenjot Diva.

"Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh... Ahh...!" Diva menjerit-jerit sambil memeluk erat Mustafa.

"Aahh.... peret, perek! Ahhh.... aku keluar.... SHIIT! J****C********KKKK!" Mustafa menekan sedalam-dalamnya. Spermanya muncrat berkali-kali di dalam rahim Diva. Diva pun orgasme lagi untuk ketiga kalinya. Rahimnya disiram sperma hangat Mustafa. Ia tak khawatir karena ia sudah ada persiapan untuk tidak hamil dari hubungan hari ini.

"Ahh...hasshh... haiisshh... hhaasshh! Enak Om, mantab....!" ujar Diva.

"Hei, ingat aku belum lho!" ujar Miller.

Mustafa mencabut penisnya dan menyingkir. Spermanya meleleh dari lubang kemaluan Diva. Diva tersenyum kepada Miller.

"Ayo deh Om, berapa ronde pun aku ladenin!" ujar Diva.

"Bener kata orang, kamu memang luar biasa," ujar Miller.


oOo


Diva lemas setelah pertempuran dengan Mustafa dan Miller. Dia digarap berkali-kali oleh mereka berdua. Terlebih dengan Miller, dia digarap sekalipun dalam keadaan tidur. Tidak. Lebih tepatnya pingsan. Miller tetap memasang penisnya di liang senggama Diva, seolah-olah tak ingin wanita ini lepas begitu saja. Dia digendong kemana saja, waktu makan, nonton tv dengan penis terus menancap. Hari berikutnya giliran Mustafa yang melakukan hal yang serupa. Entah berapa kali mereka bercinta dan bercinta hingga ngilu.

Pada hari ketiga Mustafa dan Miller sudah lelah. Mereka tidur di ranjang, satunya di sofa. Mustafa terakhir kali menggarap Diva. Hari masih tengah malam saat itu. Alarm ponsel Diva berbunyi. Segera ia mengangkatnya. Sebuah reminder yang membuatnya sedikit terlupa.

"Happy Birthday" itulah yang tertulis di layar ponselnya.

"Celaka! Aku lupa!" serunya.

Segera Diva pergi ke kamar mandi. Walaupun tengah malam tetap ia harus mandi. Ia tak mau bertemu dengan orang yang sangat spesial bagi dirinya dalam keadaan seperti itu. Dia mandi, sampai bersih dengan sebuah heater yang terpasang di kamar mandi. Air hangat itu seolah-olah mengembalikan seluruh tenaganya yang sudah terbuang.

Mendengar Diva bangun dan langsung mandi membuat Mustafa terbangun. Ia melihat jam dinding. Masih malam. Tak lama kemudian Diva keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk. Ia mengeringkan rambutnya.

"Lho, bukannya kita seminggu di sini?" tanya Mustafa.

"Waduh Om, maaf ya. Hari ini ada ulang tahun adikku. Aku lupa sama sekali. Aku balikin deh uangnya separuh. Maaf ya Om, ini penting soalnya," jawab Diva.

"Oh, kalau itu alasannya sih nggak apa-apa. Tunggu aku kalau begitu ya, aku antar," kata Mustafa.

"Wah, beneran nih om? Nggak apa-apa?" tanya Diva lagi.

"Iya, nggak apa-apa. Biar Miller nanti aku kasih tahu."

Mustafa pun kemudian gantian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.


oOo


"Emangnya ngapain kita ke hotel?" tanya Ryuji.

Bianca tak menjawab. Agaknya dia tak mungkin lagi menyembunyikan maksud dari dirinya pergi ke hotel ini. Segera setelah memesan kamar dia pergi ke kamar yang dimaksud. Ryuji hanya ikut saja tanpa banyak tanya. Bianca menaruh seluruh berkas-berkasnya di meja kamar.

"Ada hal penting yang harus aku lakukan hari ini," ujar Bianca.

"Apaan?" tanya Ryuji.

Belum sempat Ryuji bertanya lagi, Bianca sudah memeluknya dan menciumi bibir Ryuji. Ryuji pun gelagapan. Tidak, ini terlalu cepat. Ryuji mencoba mendorong Bianca.

"Tante, ini nggak boleh!" kata Ryuji.

"Sudahlah, tante sudah kepengen ini sejak lama," kata Bianca.

"Tapi, nanti suami tante gimana?"

"Fuck you! Kita sedang ingin indehoy dan kamu malah ngingetin aku. Persetan. Sudahlah!" Bianca melepaskan blazernya, kemudian satu persatu kancing kemejanya dilepas dan dilempar begitu saja kemejanya. Sebuah bra berwarna coklat menahan dua buah payudara sekal, padat, kencang dan bulat sempurna.

Ryuji sedikit pusing, tapi lelaki manapun melihat kemulusan kulit Bianca pasti ingin merasakan lebih. Dan benar saja ia langsung membenamkan wajahnya dijepitan toket biadab Bianca. Mereka berdua pun akhirnya terlibat sebuah hubungan singkat dan cepat.

Ryuji dan Bianca dalam hitungan kurang dari satu menit sudah telanjang. Dengan pose yang erotis, pemuda ini duduk di pinggir ranjang sambil batang kemaluannya diservis oleh Bianca dengan mulut mautnya. Ryuji yang baru pertama kali bercinta tentu saja amatir, belum sempat apa-apa dia sudah keluar.

"Aaaarrgghhh! Tante...uuuhhhhh!" teriak Ryuji.

"Kamu?? Masih perjaka ya? Diginiin aja langsung keluar?" tanya Bianca.

Ryuji mengangguk. Ia lemas sekali apalagi ketika spermanya yang keluar dijilati sampai bersih oleh Bianca. Wanita ini menghabiskan seluruh sperma Ryuji yang meleleh di pipi dan mulutnya. Tapi karena perjaka, penis Ryuji masih sedikit menegang walaupun tidak penuh.

Bianca berinisiatif untuk naik ke pangkuan Ryuji. Ryuji sepertinya lebih tertarik dengan buah dada Bianca, hingga akhirnya Bianca membiarkan pemuda ini mengenyoti puting susunya. Seolah baru saja mendapatkan tenaga lebih, Ryuji sekarang menjadi raja yang berkuasa. Dia sekarang membelai rambut Bianca. Kedua mata mereka bertemu.

"Tante, kenapa melakukan ini?"

Bianca tersenyum kepadanya. "Kau kira kenapa?"

"Aku tak tahu, mungkin setelah ini hubungan kita akan berubah. Aku sayang kamu tante."

"Aku juga Ryuji"

Keduanya berpagutan. Lumatan demi lumatan kemudian menghantarkan mereka kepada sebuah hubungan intim yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Ryuji memasangka batang pionnya ke liang senggama Bianca. Ia meleset, berkali-kali. Bianca faham, Ryuji belum pernah. Bianca mengangkat pantatnya sedikit, memposisikan agar kepala pion itu pas, kemudian dalam satu gerakan.

SLLEEEBB! Masuklah batang itu meluncur dengan licinnya ke dalam rongga berlendir.

"Ohh.... tante Bianca,.... gini ya rasanya ngentot?" rancau Ryuji.

"Hhhhmmmhh... aahh... Ryuji....ohhh!"

Bianca pun mulai menari-nari di atas paha Ryuji. Ia bergerak naik turun. Ryuji hanya bisa memeluk wanita yang dihormatinya itu. Kemaluan Bianca serasa diaduk-aduk, mereka kembali berpagutan. Baru kali ini Ryuji merasakan kulit beradu kulit, kehangatan langsung menggelora di tubuh mereka, menghantarkan mereka kepada kenikmatan dunia yang belum pernah dirasakan oleh Ryuji sebelumnya.

Ryuji kemudian memutar tubuhnya, sehingga Bianca kini berada di atas ranjang. Mengerti Ryuji ingin berkuasa atas tubuhnya, ia pun berbaring, kedua kakinya mengapit pinggul Ryuji. Pemuda ini pun segera melakukan tugasnya, menggenjot tubuh Bianca yang sudah pasrah dibakar birahi.

"Ohh...Ryuji... sayang...!"

"Tante... nikmat sekali Tan...."

"Ahhk....terus...teruss! Yang kencang Ryu....! Yang kencaaaanngg!"

"Iya tan, ini kencang! Oh... ohh.... Ohhh.....!"

Ryuji dengan cepat menggenjot tubuh wanita yang ada di bawahnya ini. Dia sudah ingin orgasme lagi. Bianca pun rasanya sudah ingin sampai ke puncak. Ia membantu Ryuji dengan meliukliukkan pinggangnya malah hal itu membuat dia juga semakin akan sampai orgasme. Bianca menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu Ryuji pun merasakan hal yang sama.

"Aaahhhhh! Taanteee....oooohhhkk! KELLLUUUAAAARRR!" jerit Ryuji.

Crooott! Crooott! Crooott! Crooott! Crooott!

Keluarlah pejuh kental yang memncar dari penis Ryuji ke dalam rahim Bianca. Bianca pun sama-sama memancarkan cairan bening milikya. Keduanya kini berpandangan aneh. Kedua nafas mereka memburu seakan-akan baru saja lari marathon. Ryuji rasanya tak ingin mencabut penisnya walaupun kedua kaki Bianca sudah melonggar.

"Tan, tante harus tanggung jawab nih kalau aku jadi suka ama tante," kata Ryuji.

"Wah? Koq gitu?" tanya Bianca.

"Aku.... ah entahlah"

"Hahahahaha," Bianca mencubit hidung Ryuji. "Sudahlah, anggap ini bonus karena kamu telah mengantarkanku kemana-mana" Didorongnya tubuh Ryuji. Cowok keturunan Jepang itu berguling menjauh. Bianca melihat sebuah tatto di punggung Ryuji. Tatto seekor naga yang sedang melingkar menampakkan cakarnya. Bianca baru mengerti kalau di tubuh pemuda ini ada tatto.

"Kira-kira... itu bisa ...," Ryuji tak meneruskan.

"Bisa apa? Hamil?" tanya Bianca.

Ryuji mengangguk.

"Iya, bisa dong!"

"Aduh! Trus??"

"Udaahh... nggak usah dipikirin"

"Serius nih tante, masa' pemuda berusia dua puluh tahun sepertiku sudah jadi ayah??"

"Hahahahahah, serius amat. Tenang saja. Aku selalu minum pil kontrasepsi. Aku ama suamiku belum punya rencana punya anak lagi. Nggak perlu panik gitu lah!"

Ryuji lega setelah mendengarnya. Bianca tertawa lagi, "Dasar cowok, memang sukanya enaknya. Kalau mau tanggung jawab lari."

"Eh, bukan begitu maksudnya tante!" bela Ryuji.

"Trus? Kalau misalnya aku hamil, kamu mau tanggung jawab?" tantang Bianca.

"Itu...."

"Naah, kan? Berarti bener, kepengen enaknya aja."

"Nggak, bukan begitu. Aku mau koq tanggung jawab."

"Beneer?"

Ryuji mengangguk. "Serius."

Bianca mencium bibir Ryuji lagi. Mereka kembali melakukan french Kiss. Setelah itu Bianca berkata, "Keep your feeling to me boy. OK?"

Ryuji mengangguk. Baginya hari ini adalah hari teraneh baginya. Dalam waktu sekejap hubungannya dengan Bianca sudah lebih dari sekedar pengawal pribadi.


o0o


TUK! TUK! TUK! Terdengar suara dari Jendela seperti dilempar oleh kerikil. Asyifa yang saat itu sedang tidur terbangun. Dia melihat kaca jendela kamarnya dilempari batu, hal itu membuat dia segera menuju ke jendela. Dia melongok keluar saat melihat seorang yang dia kenal ada di luar.

"Mbak Diva???"


o o bersambung o o
 
Terakhir diubah:
Maester wis updatee.. sikk comment dulu baru baca
 
Baru ngeh ada part 2 nya langsung ngebut bacanya.

Penasaran sama Asyifa.. Juga konflik antar geng dan sebuah dendam..
 
Emang suhu mantap! Jadi keinget arci pas awal awal jadi karyawan andini skrg udh jadi bos banyak musuh haha
 
manteppp.. semua tokoh yg diceritain langsung keliatan sangkutannya

ijin :baca: lagi dari atas
 
BAB TIGA

2e4660431455527.jpg

Ilustrasi Diva

"Mbak Diva? Ada apa? Ngapain malam-malam ke sini?" tanya Asyifa.

Diva beringsut mendekat ke jendela. Dia memberikan sebuah kotak kado kecil kepada Asyifa. "Selamat Ulang Tahun adikku. Nih, buatmu."

"Apaan ini? Kalau ketahuan ama Bapak atau Ibu Asuh bisa berabe lho"

"Halah, biarin aja. Masa' ama adiknya sendiri nggak boleh ketemu?"

Asyifa tersenyum. Dia kemudian membuka kotak kado itu. Terlihatlah sebuah jam tangan cantik di dalamnya. Asyifa terkejut meliha arloji itu.

"Ya Ampun mbak? Ini mahal pasti," ujar Asyifa.

"Nggak usah dipikirin harganya. Mbak sudah janji tak akan melupakan hari ulang tahunmu. Pakailah, tenang aja mbak nggak beli itu dari uang haram."

Asyifa menghela nafas, "Mbak nggak perlu seperti ini. Kenapa mbak nggak berhenti saja sih? Tinggal bersamaku"

Diva mengetuk kepala Asyifa, "Kamu ini, sejak kapan jadi alim? Mau nyeramahin mbak? Udah, urus saja dirimu sendiri."

"Tapi mbak, cuma mbak keluarga yang aku punya. Aku nggak mau kehilangan mbak."

"Sudah, jangan khawatirkan mbak. Selama mbak hidup, nggak bakal mbak biarkan orang lain menyakitimu. Katanya kamu barusan ditabrak orang? Tahu siapa yang nabrak? Biar mbak gambar orangnya."

Asyifa menggeleng. "Nggak mbak, lagian dia pakai motor. Larinya cepat."

Tampak raut wajah kecewa terpancar dari Diva. "Kamu perlu mbak beliin sepeda motor?"

"Nggak usah mbak, nggak usah. Lagian aku nggak bisa nyetir sepeda motor"

"Yeee, ya belajarlah!"

"Nggak deh mbak. Aku masih suka naik sepedaku."

"Dasar culun lo! Dikasih enak nggak pernah mau. Ya udah deh. Oh ya, ingat kamu jangan sembarangan pacaran. Aku melarangmu pacaran. Kalau sampai aku mergokin kamu pacaran awas. Aku nggak mau nemui kamu lagi."

"Nggak koq mbak, nggak bakal. Aku sudah janji ama mbak."

"Ya udah. Mbak mau pergi."

"Mbak?!"

"Apa?"

"Peluk Syifa dong! Syifa kangen ama mbak."

Diva tersenyum. Ia pun segera memeluk adik satu-satunya itu. Dipuk-puk punggung adik yang sangat dicintainya itu. Ia sudah bersumpah akan menjaga adiknya ini, apapun yang terjadi. Setelah beberapa saat mereka berpelukan Diva melepaskan pelukannya.

"Oh ya, kamu bisa bawa ponselnya mbak? Nanti bakal mbak ambil lagi deh."

"Lho, trus nomornya mbak ganti?"

"Nggak, masih koq. Cuma mau ganti ponsel aja. Soalnya kepengen punya ponsel baru."

"Oke deh."

Diva menyerahkan ponselnya ke Asyifa. Asyifa juga heran, ponsel kakaknya ini sebenarnya sudah yang paling bagus. IPhone 4. Tapi kenapa koq kakaknya ingin punya ponsel baru lagi? Ah entahlah. Ia juga tak begitu faham tentang gadget. Asyifa memegang ponsel kakaknya. Diva kemudian berbalik meninggalkan Asyifa. Sang adik melambaikan tangannya dan sang kakak memberikan kiss bye.

Asyifa menutup kembali jendelanya. Dia kemudian meletakkan ponsel kakaknya di dalam laci, setelah itu kembali tidur melanjutkan mimpi-mimpinya di pulau kapuk.


oOo


Bagong, seorang preman pasar yang kesehariannya bertugas sebagai juru parkir dan menarik uang keamanan di lapak-lapak orang yang ada di Velodrome sedang bermain kartu remi bersama rekan-rekannya. Velodrome serasa gelap dan sepi ketika malam hari, tentu saja. Mereka bermain remi di salah satu sudut yang diterangi lampu. Yang mana tempat itu adalah tempat jual beli buku-buku bekas. Permainan cukup seru bagi mereka karena uang pun menjadi taruhan. Bagong sedikit sial memang karena sudah dua puluh giliran uangnya makin menipis. Ia takut kalau-kalau istrinya di rumah marah lagi karena pulang tak membawa uang sepeser pun.

"Gong, udahan?" tanya Supri, temannya yang kali ini lebih beruntung dari pada dirinya.

Bagong berdiri dan meninggalkan teman-temannya. Uangnya sudah menipis. "Purik ah, nggak mau ikutan lagi. Ludes duitku."

"Hahahaha, ya sudah lain kali ya, Gong?!" ujar Supri.

"Yaah, lain kali!" ujar Bagong.

Dengan langkah gontai Bagong pergi meninggalkan kumpulan rekan-rekannya. Bakalan kena semprot istri lagi deh, pikirnya. Dia mungkin mengira tak ada makhluk apapun yang ia takuti. Genderuwo, kuntilanak, bahkan alien dari Planet Mars pun tak ia takuti kecuali satu makhluk yaitu istrinya. Kalau istrinya ngambek, kalau istrinya marah. Ia bisa tidak dapat jatah, ya jatah makan, jatah tidur dan jatah ehm-ehm. Padahal ia sangat sayang kepada istrinya. Istrinya sangat semok, bahenol, empot-empot ayamnya luar biasa, dan sejak pacaran sampai punya dua anak, Bagong sangat suka dengan perlakuan istrinya itu.

Bagong pulang jalan kaki seperti biasa. Hanya saja, ada satu yang tidak biasa. Kalau tiap hari ia biasa bawa pisau belati sebagai jaga diri, mungkin karena merasa aman dia tidak membawanya kali ini. Satu hal yang menjadi alasan, keadaan terlalu damai.

Keadaan yang terlalu damai membuat semua orang lengah. Seperti Bagong ini. Sudah hampir satu dekade ia tak pernah menghajar orang. Keadaan yang seperti ini membuat dia lengah ketika sebuah kayu besar menghantam kepalanya.

BUK! BUK! BUK!

Berkali-kali kayu itu dihantamkan ke kepala Bagong hingga preman bertumbuh besar itu pun tak sadarkan diri tergeletak di sana. Bagong tidak pulang malam itu. Istrinya sangat khawatir. Pagi harinya Bagong ditemukan oleh seorang petugas kebersihan. Bagong tidak selamat hari itu. Dia tewas di tangan orang misterius. Dari sinilah awal semuanya bermula.


oOo


Asyifa memandangi arloji yang dia pakai. Hadiah dari kakaknya. Jam KW mungkin, mana mungkin kakaknya punya uang untuk membelikan dia lebih dari pada ini. Nggak mungkin kakaknya punya uang yang banyak untuk beli arloji seperti ini. Punya banyak, tapi yang benar-benar dikatakannya "Halal" itu lain soal. Asyifa memang tak pernah melihat kakaknya bekerja dengan cara yang benar, tapi ia yakin kakaknya tak pernah membohonginya sampai sekarang.

"Cieehhh, jam tangan baru?" tanya Leli.

"Yup, hadiah dari mbakku," jawab Asyifa.

"Mbakmu? Ngasih hadiah? Ah iya, kamu ultah ya? Aduh aku sampai lupa. Selamat yaah!" Leli segera memeluk sahabatnya itu.

"Hehehe, makasih Lel," ujar Asyifa.

"Tumben kakakmu baik."

"Dia selalu baik koq. Cuma ia menghindar saja dari aku. Tapi ia berjanji akan selalu memberiku hadiah kalau sedang ulang tahun. Kemarin saja sampai ngetok jendela kamarku. Kamu tahu sendiri kan Ibu Asuh paling sebel kalau lihat Mbak Diva."

"Aku mengerti koq. Tak banyak orang yang bisa menerima kakakmu."

"Sebentar lagi kelulusan nih, sudah siap?"

"Entahlah Fa, enak kamu pinter. Aku pas-pasan."

"Nggak boleh begitu, semua punya kesempatan yang sama koq. Aku yakin kamu bisa lulus Lel, kita kan selalu sama-sama."

Leli tersenyum mendengar penjelasan sahabatnya itu. Agaknya kekhawatirannya sedikit hilang. Mereka sudah berteman sejak lama, semenjak mereka berdua masih berada di bangku Sekolah Dasar. Asyifa periang, cerdas dan pandai bergaul. Berbeda dengan Leli, sekalipun sama-sama periangnya dan pandai bergaul, dalam hal pelajaran dia selalu dibantu oleh Asyifa. Meskipun begitu mereka kompak dan menjadi sahabat sejati.

Murid-murid SMA sedang mempersiapkan diri mereka untuk menempuh Ujian Akhir Nasional yang akan diikuti oleh mereka beberapa minggu lagi. Berbagai macam cara dilakukan, mulai kursus, les bahkan sejak dari awal mereka sudah deg-deg-an apakah bakal berhasil atau tidak. Ada yang melakukannya dengan cara positif tentunya dengan belajar atau melakukan hal-hal yang wajar. Namun ada yang melakukannya dengan cara yang tidak wajar, seperti minta ke orang pintar atau dukun, atau bahkan minta ke batu dan pohon dengan cara mereka masing-masing. Ada juga yang minta dikasih susuk di kepalanya biar cerdas.

Asyifa menghabiskan waktunya untuk belajar bersama dengan Leli, terkadang Leli yang pergi ke Panti Asuhan tempat Asyifa tinggal terkadang Asyifa yang pergi ke rumah Leli.

"Eh, nanti ke rumahku yah?!" kata Leli.

"Hmm?? Nggak apa-apa? Ntar ganggu mamamu," kata Asyifa.

"Tenang aja, nggak bakal koq. Mama masih sibuk seperti biasa. Paling juga di rumah jagain Deni."

"Eh iya, kamu punya adik tiri yah? Gimana kabar Deni?"

"Ya begitulah, makin nakal. Maklum dia kan sudah masuk SD sekarang. Tapi kadang sebel juga sih ama mama tiriku ini."

"Kenapa?"

"Soalnya jarang di rumah. Papa juga jarang di rumah, sering keluar untuk urusan bisnis."

"Yeee... nggak boleh gitu dong. Mereka juga kan orang tuamu."

"Semenjak mamaku meninggal memang aku kesepian Fa, tahu sendiri kan aku sangat dekat ama mamaku. Aku sempat berpikir kalau kehadiran mama baru ini akan mengubah kehidupanku. Tapi ternyata ya tidak semudah itu. Aku juga berpikir kalau dengan adanya seorang adik aku jadi lebih bisa hidup lagi, tapi ternyata ya tidak juga."

"Kamu nggak boleh begitu lho Lel, aku saja sangat ingin punya keluarga. Koq kamu gitu?"

"Hehehehe, maaf ya Fa. Jadi kebawa kamunya."

Asyifa menggeleng. "Aku ngerti koq. Kamu cuma butuh komunikasi aja sama mereka. Mungkin lebih bisa dikatakan frekuensi ketemuannya kalian ditambah gitu."

"Aku sih sudah berusah Fa, tapi ya begitulah. Susah, aku cuma bertemu mereka di hari Minggu itu pun kalau papa nggak keluar kota."

"Kamu deket dengan mama tirimu?"

"Nggak juga sih."

"Coba aja deket dengan dia. Masa' sudah delapan tahun bersama koq nggak deket?"

"Bukan gitu Fa, aku pasti canggung kalau deket dengan dia. Tahu sendiri kan dia itu punya wibawa. Tatapan mata tajam, dia juga cantik seperti bintang film Hollywood Rosamund Pike itu, tapi.... ah, pokoknya susah deh."

"Mungkin kamu sendiri yang tidak membuka diri Lel, bukankah untuk bisa dekat dengan seseorang kamu harus membuka diri?"

Leli menatap langit-langit kelas. "Ah, entahlah Fa. Mungkin kamu benar."

"Oke deh, ntar aku main ke rumahmu."

"Thank's ya Fa."

Setelah sekolah hari itu selesai Asyifa membonceng Leli sampai ke rumah sahabatnya itu. Rumahnya lumayan jauh, tapi karena jalanan yang menurun hal itu tak terasa. Tanpa dikayuh sepedanya pun meluncur turun. Keduanya sambil bercanda melewati siang hari yang terik itu sampai ke sebuah perumahan yang ada disalah satu sudut kota Malang. Sebuah tanah lapang dengan dua buah gawang berwarna putih yang biasanya digunakan oleh anak-anak remaja untuk bermain bola di sore hari terbentang di tengah perumahan.

Rumah yang dibangun dengan model Eropa itu terlihat lebih mentereng daripada rumah-rumah yang lain. Di halaman rumah tampak sebuah mobil Mercedes Benz Type S berwarna putih sedang terparkir. Mamanya ada di rumah, pikir Leli.

Leli dan Asyifa pun bergegas masuk ke rumah.

"Aku pulaangg!" seru Leli.

Dia membuka pintu rumah dan mendapati seorang pemuda ada di sana. Asyifa sepertinya pernah bertemu dengan lelaki ini. Tampak Bianca ada di ruang tamu menemani pemuda tersebut.

"Oh, ada kak Ryuji?!" sapa Leli.

"Hai Lel, apa kabar?" sapa Ryuji.

"Sudah pulang Lel?" tanya Bianca.

"Tumben mama sudah ada di rumah," kata Leli.

"Iya, urusannya sudah selesai. Sekalian tadi diantar oleh Ryuji karena mobil mama belum beres di bengkel"

"Oh begitu. Yuk Fa, ke kamar yuk!?" Leli menggandeng Asyifa. Ryuji mengamati Asyifa.

Bianca dan Ryuji mengamati Asyifa dan Leli pergi ke kamar Leli yang ada di lantai dua. Setelah itu Bianca menoleh ke arah Ryuji yang masih mengamati dua gadis itu masuk ke kamar.

"Hush, awas kalau macam-macam ama anakku!" ancam Bianca.

"Nggak tan, nggak berani," kata Ryuji.

"Hehehehe, ingat lho ya. Kamu boleh pacaran ama siapapun. Aku tak memaksamu, apalagi hubungan kita anggap aja TTM-an."

Ryuji tersenyum. "Yang begini ini, bikin aku nggak kuat. Udah ah, aku akan kembali besok. Jam berapa?"

"Besok jam delapan anterin ke bengkel. Aku mau lihat mobilku sudah selesai atau belum," pinta Bianca.

"Baiklah, sampai besok," Ryuji berdiri. Bianca pun berdiri. Keduanya berpelukan sambil berciuman mesra sesaat, setelah itu Ryuji segera pergi dari rumah Bianca.

Bianca menghela nafas ketika pemuda itu keluar dari rumahnya. Hubungan yang sangat aneh. Padahal selama ini ia tak pernah mengira akan bercinta dengan pemuda keturunan Jepang itu. Bianca pergi ke kamar anaknya yang paling kecil, Deni. Di sana dilihatnya dia sedang bermain Playstation 3.

"Sudah makan, Deni?" tanya Bianca.

"Sudah ma," jawab Deni.

"Jangan main terus! Ingat, belajar juga!"

"Iya ma, iyaa."

Sementara itu di dalam kamar Leli, Asyifa dan Leli tampak sedang bergurau sambil membuka buku pelajaran. Asyifa menuntun Leli dengan mata pelajaran yang sulit dia mengerti. Mereka berdua sibuk untuk belajar. Tapi Asyifa masih teringat dengan Ryuji. Orang yang pernah bertemu dengan dirinya di Panti Asuhan beberapa hari yang lalu.


oOo


"Put, Putri!?" panggil ibunya.

"Ya bu?" sahut Putri.

"Kamu sudah siap? Jangan lupa sarapan!"

"Iya, sudah koq bu. Sudah, sudah kenyang," jawabnya.

Hari ini dia memakai baju hitam putih. Karena hari ini dia akan melakukan sidang Tugas Akhir. Akhirnya setelah sekian lama dia akan melakukannya hari ini. Sempat tiga tahun tidak kuliah karena masalah pekerjaan, dia akhirnya kuliah juga. Putri sebagai adik dari Arci memang termasuk anak yang workaholic, terlebih setelah tahu cara bekerja online. Membuat kuliahnya terbengkalai cukup lama. Arci sempat marah karena dia tidak lulus-lulus.

"Awas lho ya, kalau sampai kakakmu marah lagi," kata Lian.

"Iya, ngerti."

"Ngerti koq masih lihat-lihat ponsel???"

"Bentar, ini lho ada yang pesen buku"

Putri pun dijewer. "Anak iniiii!"

"Adudududuh! Iya bu, iya ditutup!" Putri segera menyimpan ponselnya.

"Nanti kakakmu bakal datang ke kampus," ujar Lian.

"Hah? Ngapain? Mau nakutin dosen?"

"Nggaklah, kamu kan adik satu-satunya. Sudah pasti dia khawatir dan ingin melihat adiknya bisa lulus dengan nilai terbaik, jadi sarjana."

Putri tersenyum. Ia menghela nafas, tak terasa ia sudah lulus kuliah sekarang. Mungkin sudah saatnya ia ingin membalas jasa kakaknya selama ini. Karena selama ini kakaknyalah yang mengurus semua kebutuhannya. Baginya Arci sudah menjadi seorang ayah bagi dirinya. Walaupun dia tak tahu siapa ayah kandungnya tapi, rasanya Arci lebih dari seorang kakak bagi dirinya. Sosoknya berwibawa, tampan dan gagah. Idaman semua wanita.

"Ya udah, aku berangkat dulu," kata Putri.

"Hati-hati!" ujar Lian.

Putri keluar dari rumahnya dengan membawa ransel dan beberapa tas plastik berisi bahan-bahannya untuk presentasi nanti. Seorang sopir membuka pintu untuknya. Putri duduk di belakang. Kakaknya memang memperkerjakan seorang sopir yang siap dipanggil kapan saja dengan mobilnya. Tak berapa lama kemudian meluncurlah mobil itu meninggalkan rumah menuju ke kampus.


oOo


Kenji menyerahkan sebuah tas berisi uang kepada seorang wanita yang sedang menangis di hadapan sesosok tubuh gempal yang sekarang kaku dengan ditutup kain kafan. Dia adalah Bagong yang tewas secara misterius. Polisi masih menyelidiki siapa pelaku dari penyerangan itu. Kenji membungkukkan badannya.

"Saya mewakili Arczre mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Bagong," kata Kenji.

"Terima kasih kepada Pak Arci, sampaikan terima kasih saya," kata sang istri.

"Pasti akan saya sampaikan. Dan Pak Arci berjanji akan menangkap pelakunya," kata Kenji.

Setelah itu Kenji undur diri bersama beberapa orang yang mengawalnya. Tampak kerumunan orang sedang bersiap untuk mengurus jenazah itu agar segera dikebumikan. Kenji mengamati dari kejauhan sebuah mobil Mercedes Benz warna putih terparkir dan seorang pemuda bersandar di pintu dengan memakai kacamata hitam. Kenji menghampiri keponakannya yang sepertinya baru saja hadir.

"Kemana saja kamu?" tanya Kenji.

"Mengantar Tante Bianca, disuruh oleh Big Boss," jawab Ryuji.

"Ada yang ingin bermain api dengan kita. Kamu bisa menyelidikinya?" tanya Kenji.

"Siapa dia?" tanya Ryuji.

"Bagong, selama ini yang menjaga daerah Velodrome dan sekitarnya. Dia dibunuh dengan sadis oleh seseorang yang tidak dikenal. Kamu ada pandangan siapa yang membunuhnya?"

Ryuji berpikir sejenak. "Entahlah, Big Boss punya banyak musuh. Siapa saja bisa melakukannya."

"Big Boss mengatakan ini siaga satu. Kemungkinan akan ada lagi korban, dilihat dari kondisi Bagong, sepertinya pelaku punya dendam dengannya. Ryuji, kutugaskan kamu untuk menyelidikinya."

"Siap!"

Setelah itu Kenji menuju ke arah lain. Dia masuk ke mobil SUV berwarna hitam bersama dengan anak buahnya yang lain. Tak berapa lama kemudian mobil pun pergi meninggalkan Ryuji yang masih melihat kerumunan orang yang sekarang mengangkat keranda mayat. Ryuji kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Agaknya sedikit demi sedikit musuh-musuh Arci mulai memunculkan taringnya.

Ryuji mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Aku butuh bantuanmu," kata Ryuji.

"..."

"Ya, temui aku setelah ini."

o o Bersambung o o
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Wow.. ada yg mirip rosamund pikee 😍😍😍😍 #sayasukaa
 
eh udah ada kelanjutan cerita si arci, apakah bakal segelap dan kelam kayak sebelumnya? :papi:


ghea kemana om arci? milf idaman tante ghea :kangen:
 
BAB EMPAT

e74a0d431457132.jpg



Tanaka Yoshida sudah lebih dari empat dekade berada di Indonesia. Salah satu keluarga Yakuza yang hidup di kota Malang. Dia sebenarnya lebih terkenal dari keluarga Zenedine. Hubungan dia dengan keluarga Zenedine boleh dibilang sangat erat. Namun semenjak Tommy memporak-porandakan keluarga Zenedine akhirnya hubungan keduanya renggang. Terlebih semenjak kematian Archer, Tanaka tidak pernah bertemu lagi dengan keluarga Zenedine hingga kekuasaan beralih kepada Arci.

Cerita ini berawal ketika Tanaka terkejut ketika melihat kota Malang penuh lautan darah. Malang Riot & Chaos. Tanaka hadir dan menyaksikan kerusuhan itu dari kejauhan. Keluarga Yakuza yang ada di kota ini diwanti-wanti untuk tidak ikut dalam pertarungan antar preman itu. Tanaka tidak mengetahui seluk beluk yang terjadi kenapa sampai ada peperangan seperti ini. Hingga kemudian setelah beberapa waktu Arci dipenjara dia pun menemui Bu Susiati.

Saat itu mertua Arci tampak sedang bersedih. Dia ditemui oleh Boss Tanaka di rumahnya. Kedatangan Tanaka di rumahnya tentunya membuat Bu Susiati terkejut.

"Konchiwa Susiati-san," sapa Tanaka.

"Oh, Tanaka-san. Terima kasih telah datang," kata Bu Susiati ketika membuka pintu rumahnya. "Masuklah!"

"Aku turut berduka atas kematian anakmu," ujar Tanaka.

"Terima kasih"

Tanaka memberi aba-aba agar anak buahnya tidak ikut bersama dia. Bos Tanaka kemudian duduk di ruang tamu bersama Bu Susiati.

"Jelaskan kepadaku, siapa Arci ini? Kudengar kamu yang akan membelanya nanti di pengadilan?" tanya Tanaka.

"Iya, benar," jawab Bu Susiati.

"Lalu, apa yang mendorongmu melakukannya? Padahal kami semua keluarga Yoshida tidak aku ijinkan untuk ikut campur dalam masalah ini."

Bu Susiati menyeka air matanya dengan tissue. Dia menarik nafas panjang lalu mulai bicara, "Orang yang aku bela adalah menantuku. Dan dia melakukan itu semua karena dikhianati oleh salah satu anggota keluarganya. Lebih lagi anakku menjadi korban. Dia hanya membela diri untuk melindungi anakku yang tak lain adalah istrinya."

"Jadi ini urusan dendam pribadi?"

"Lebih dari itu. Tommy Zenedine ingin menguasai kota ini, maka dari itulah dia berusaha menyingkirkan Arci. Arci pun kemudian mencari bantuan ke Raja Preman."

"Tak mungkin, Yuswo orang yang netral. Sampai mau menolong Arci???"

"Iya, begitulah. Dia yang bercerita semuanya kepadaku."

"Aku ingin menemuinya."

"Dia ada di rumah tahanan. Kamu bisa menemuinya denganku."

Segera saja tanpa banyak bicara hari itu juga Tanaka Yoshida dan Bu Susiati bersama-sama menemui Arci yang saat itu sedang meringkuk di rumah tahanan. Pengadilan belum diputuskan tapi dia sudah pasti akan mendapatkan hukuman atas hal yang dilakukannya. Tanaka Yoshida sedikit berpikir keras terhadap apa yang terjadi dengan Arci. Bagaimana mungkin Yuswo yang begitu keras bisa dilunakkan bahkan membantunya?

Agaknya ketika di rumah tahanan, Bu Susiati diberikan waktu yang sangat luang untuk menemui kliennya. Dengan didampingi oleh Tanaka Yoshida, Bu Susiati melihat kondisi Arci yang sangat mengenaskan. Tatapan matanya kosong. Dia benar-benar terpukul atas kematian Andini.

"Arci, ini ada tuan Tanaka Yoshida, dia ingin bicara denganmu," kata Bu Susiati.

Arci menoleh ke arah Tanaka. Wajah keriput Tanaka menyiratkan sinar rasa kekaguman. Seorang pemuda yang berjuang sendiri hingga mampu menggerakkan massa untuk menggempur kekuatan yang tidak pernah ia sangka-sangka sebelumnya. Tanaka masih penasaran bagaimana Arci melakukannya.

"Arci, aku ingin tahu apa yang kamu berikan kepada Yuswo hingga dia mau membantumu padahal dia terkenal sebagai orang yang netral?" tanya Tanaka.

Arci tak menjawab. Dia menundukkan wajahnya.

"Arci jawablah! Karena ini sangat penting!" kata Tanaka.

"Seberapa penting? Kepentinganku di dunia ini hanyalah Andini. Aku kehilangan dia. Kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku sudah tak mempedulikan diriku lagi."

"Arci, kamu tak boleh begitu. Sebagai ibunya aku juga kehilangan Andini!" kata Bu Susiati.

Arci tersenyum. "Aku yang menyebabkan Andini pergi. Marahlah kepadaku Bu, marahlah! Aku pantas untuk dimarahi. Seharusnya aku tak bertemu dengan dia dulu. Aku sangat mencintainya....." Arci kemudian menangis. Hatinya rapuh.

"Arci, jelaskan kepadaku!" desak Tanaka.

"Buat apa aku harus menjelaskannya?"

"Kamu tidak pernah mengerti tentang hal ini. Tapi ketahuilah, Archer dan aku terikat dengan sebuah perjanjian. Dan kami tak akan pernah melupakan perjanjian itu seumur hidup kami."

Arci menoleh ke arah Tanaka. Mata Tanaka menyiratkan perasaannya, perasaan yang sepertinya memiliki rasa kehilangan. Perasaan ketika seseorang kehilangan seorang sahabat.

"Aku dan ayahmu adalah dua orang sahabat. Kami terikat antara satu sama lain. Ketika ayahmu meninggal, hubunganku dengan keluarga Zenedine buruk, lebih buruk lagi karena perbuatan Tommy. Aku dan ayahmu berniat untuk menjadi penguasa kota ini sejak dulu, tapi hal itu terhalangi oleh Yuswo. Bahkan aku menghadiahkan kepadanya sebuah katana yang dibuat oleh Masamune agar Yuswo bisa bergabung bersamaku, tapi sepertinya Yuswo tidak tertarik. Hingga akhirnya aku dan Archer membuat sebuah keputusan, barangsiapa yang bisa menarik Yuswo menjadi sekutunya, maka dia berhak menjadi pemimpin. Itulah janji Archer dan aku. Lalu apa yang kamu berikan kepada Yuswo sampai dia mau bekerja sama denganmu?"

Penjelasan Tanaka itu membuat Arci tertawa. "Hahahaha, perjanjian yang bodoh. Sebegitu pentingnyakah hal itu?"

"Tentu saja penting! Yuswo menguasai seluruh preman yang ada di kota ini. Ini aset terbesar yang tak pernah kami punyai."

"Jadi ini semua hanya karena kekuasaan?"

"Lebih daripada itu. Sejak dulu kota ini dikuasai oleh Yuswo, ketika bermunculan orang-orang seperti kami, dia pun memilih netral dari peperangan yang terjadi antar kelompok. Dia sudah punya lapak sendiri dan tak ada satupun yang berani mengusik ketenangannya. Itulah sebabnya Yuswo menjadi seseorang yang harus kami rangkul."

"Aku merangkul siapa saja yang bisa aku rangkul. Jangan salah faham tuan Tanaka. Aku sebenarnya juga tidak ingin terjun ke dunia ini, tapi sepertinya aku terjun terlalu jauh. Lihatlah besok sudah keputusan pengadilan. Aku pasti akan dihukum berat. Tak ada lagi kekuasaan yang aku butuhkan."

"Ceritakan saja kepadaku, apa yang kamu berikan kepada Yuswo sehingga dia mau memberikan kekuasaannya kepadamu?"

Arci menghela nafas. "Aku berikan semua kekayaan keluarga Zenedine kepadanya dan aku rela menjadi pewarisnya."

Tanaka terhenyak. "Kamu sadar apa yang kamu ucapkan?!"

"Aku sadar. Dan dia setuju dengan itu."

"Itu artinya kamu akan melepaskan statusmu sebagai keluarga Zenedine?"

"Aku sudah siap. Dari awal aku bukan bagian keluarga ini kalau toh nanti aku pergi, aku tak akan mengambilnya lagi."

"Kamu gila, kamu bodoh"

"Aku memang gila Tuan Tanaka, aku memang gila. Aku masih belum menghabisi Tommy. Aku ingin sekali mengunyah dagingnya, DIA SUDAH BERANI MENGHANCURKAN HIDUP ISTRIKU! BRENGSEK!"

BRAK! BRAK! BRAK!BRAK! BRAK! BRAK!

Berkali-kali Arci menggebrak meja dan menghantam-hantamkan jidat kepalanya ke meja. Dua orang polisi langsung masuk dan mencoba menenangkan Arci yang menggila. Arci bahkan sampai menggigit meja, sebelum sang polisi mendorong kepala Arci agar tetap tegak.

"Hidupku tak ada gunanya lagi. Aku sudah kehilangan semuanya, aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin nyawa Tommy. Berikan dia kepadaku, aku ingin memakannya hidup-hidup!"

"Arci, tenanglah! Kamu harus tenang!" ujar Bu Susiati.

"Andini....hikss....Andiniii.....," jeritan Arci sangat pilu.

"Aku akan berikan Tommy kepadamu. Aku berjanji. Aku akan mencari dia. Mulai sekarang, keluarga Yoshida akan bergabung denganmu," kata Tanaka. Tanaka kemudian membungkuk kepada Arci. "Kita adalah saudara, sebagaimana Archer menganggapku saudara, maka mulai sekarang kamu adalah bagian dari kami."

"Andiniiiii!....," Arci meronta-ronta. Kedua polisi itu berusaha menenangkan Arci.

"Arci, aku harus pergi, tolong jaga dia ya pak!?" kata Bu Susiati.

Kedua polisi itu mengangguk. Tanaka dan Bu Susiati pun meninggalkan Arci yang sedang rapuh. Ketika keluar ruangan mereka bertemu dengan Ghea. Tanaka Yoshida membungkuk kepada Ghea. Ghea pun membalasnya. Setelah itu mereka berpisah.


oOo


Tommy Zenedine menghabiskan waktunya menjadi seorang pelukis. Dia kabur, dia lari dan mengubah penampilan wajahnya. Dia perlu mengoperasi plastik di bagian pipi dan hidungnya agar bisa mengelabui mata setiap orang, baik mata polisi maupun mata anak buah Ghea yang sedang mengejarnya. Bakatnya melukis merupakan bakat yang membuatnya bisa bertahan hidup hingga saat ini.

Memang di antara keluarga Zenedine, hanya dia yang punya jiwa seni. Menggambar dan melukis merupakan keahlian yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Hal itu yang mendasari dirinya mencari nafkah dengan cara ini. Hidup low profile selama bertahun-tahun di sebuah apartemen ... sebut saja rumah susun di pinggiran kota Malang, membuatnya tidak banyak dikenal. Apalagi hidup di sini dia berbaur dengan orang-orang untuk menghilangkan kecurigaan. Tommy bahkan meninggalkan logatnya seperti orang luar, ia lebih berusaha untuk bicara medok agar terlihat sebagai orang pribumi.

Malang mulai berbenah setelah kejadian Chaos tersebut. Para preman yang terlibat banyak yang dipenjara. Setiap hari Tommy update berita di media massa. Dia selalu mengikuti perkembangan kasus Arci sampai diputuskan Arci bersalah dan harus disembuhkan dulu di Rumah Sakit Jiwa. Ketika Arci sudah sembuh bahkan sampai masuk penjara pun dia update beritanya. Arci bagi dunia bawah dianggap sebagai pahlawan tidak bagi pihak kepolisian. Dia dianggap sebagai sampah masyarakat. Hukuman penjara tak membuatnya jera tentu saja.

Tommy berangkat agak siang sambil menenteng beberapa kanvas yang masih kosong. Ia meman menerima pesanan lukisan. Kadangkala juga ada orang yang minta dilukiskan di tempat. Low profile, bukan kehidupan yang buruk menurut Tommy. Ia hanya bisa memandang PT Evolus dari jauh. Perusahaan yang seharusnya ia kendalikan itu kini sudah terlepas begitu saja. Dia beberapa kali memeriksa tentang DPO, dan sepertinya foto dan namanya masih terpampang di sana. Sebuah kasus akan dihapus kalau sudah 20 tahun lewat. Ia menunggu saat itu sebenarnya. Tommy tak tahu nasibnya, sudah pasti begitu.

Dia mendapatkan sepeda motor butut GL-MAX ini dari uangnya yang tersisa. Berangkat menuju ke alun-alun untuk kemudian membuka lapak di sana. Memang terkadang ia harus kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Itu pun kalau ketahuan. Selama tak ketahuan ia tetap melukis. Sebab dari mana lagi dia dapatkan uang? Kebanyakan lukisannya juga adalah pemandangan, lukisan manusia dan lukisan hewan. Lukisan itu terkadang terjual dengan harga Rp. 100.000,- atau bahkan bisa sampai Rp. 1juta. Tergantung dari keindahan, bentuk dan nilai seninya.

Menjual dengan harga murah terkadang memang harus dilakukan oleh Tommy untuk menyambung hidup. Ia sekarang lebih menjadi orang yang ketakutan daripada beberapa waktu yang lalu ketika dia masih berkuasa. Sekarang ia khawatir kalau-kalau besok bertemu dengan Arci. Karena itulah ia jarang menyapa orang lain, jarang pula bicara kalau tidak ada perlunya dan jarang keluar rumah. Bagi seorang Tommy hal ini tentu saja sangat memalukan.

"Lukisannya bagus," celetuk seseorang setelah Tommy menggelar lapak.

Tommy hanya tersenyum. Anak muda ini sepertinya tertarik dengan lukisan yang digarap oleh Tommy.

"Tertarik?" tanya Tommy.

"Boleh deh, berapa Om?" tanya cowok ini.

"Terserah kamu aja mampu bayarnya berapa," jawab Tommy sambil tersenyum.

"Wah, beneran?"

Tommy mengangguk. Anak muda itu segera menyerahkan selembar uang seratus ribu kepada Tommy dan mengambil lukisan itu. Tommy menerima begitu saja uang itu. Paling tidak hari itu lukisannya laku satu daripada tidak laku sama sekali. Pikiran sederhana. Tommy telah mengesampingkan semua pikiran buruknya selama ini, ia hanya ingin menikmati hidup. Itu saja. Walaupun mungkin terkadang ada rasa kekhawatiran pada dirinya.

Total hari itu lukisannya terjual dua buah. Hal itu sudah cukup baginya. Kembali ke rumah susun, menjalani hidup yang berputar seperti sekarang ini. Rasanya sudah cukup damai. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Arci pikirnya, ketika dulu belum mengenal yang namanya keluarga Zenedine. Secara tak langsung ketidaksukaannya kepada Archer menyebabkan banyak petaka. Ia sendiri yang membuat orang-orang membencinya. Ah, andai saja ia tak salah jalan.

Sore hari itu ia makan nasi goreng yang berada di warung dekat dengan rumah susun. Warung Nasi Goreng yang sudah menjadi langganannya bertahun-tahun ini tahu apa selera Tommy, nasi goreng tanpa tambahan saos tomat. Tommy makan dengan lahap malam itu, besok lagi-lagi ia harus mempersiapkan diri untuk melukis. Setelah kenyang ia menata kanvas-kanvasnya yang berwarna putih. Dia memaku sendiri, menyiapkan kainnya sendiri dan mengecat dengan warna putih sendiri. Rutinitas yang terus ia lakukan tanpa mengenal lelah. Orang bilang kalau ingin hidup normal, maka inilah yang harus ia lakukan.


oOo

BYURR!

"HHmmmmhhfff!" mulut Tommy tak bisa terbuka, matanya tertutup. Dia diguyur air. Ia ingin berteriak tapi sekali lagi tak ada yang bisa dia lakukan. Tangannya terikat, kakinya terikat.

BUK! DESS! BUK! Pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah, dada dan perutnya. Sebelum ia mengerti apa yang terjadi dia dihajar berkali-kali hingga kepalanya pusing. Inilah saat-saat yang ia takutkan. Saat-saat yang sangat ia benci.

"Buka penutup wajahnya!" perintah sebuah suara.

Akhirnya wajahnya yang terbungkus kain itu pun dibuka. Tampaklah wajah Tommy yang babak belur, pelipisnya berdarah, darah segar keluar dari hidungnya yang patah. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Dia melihat seseorang yang berada di hadapannya. Seseorang berjas hitam, kemeja putih duduk di atas kursi sambil menatapnya. Dia hampir tak mengenali orang itu. Di sebelahnya seseorang berwajah Asia berdiri sambil bersandar pada sebuah tongkat. Dia adalah Tanaka Yoshida.

"Aku sudah penuhi janjiku, dia berhasil ditemukan," ujar Tanaka.

"Aku berterima kasih kepada Anda, Tanaka-san," kata Arci. Dialah pria yang duduk di kursi sambil menatap Tommy.

"Memang kalau kita tidak jeli, maka seumur hidup tak akan tahu di mana keberadaannya. Untunglah kawan Ryuji membeli sebuah lukisan yang aku yakin Tommy pernah melukis lukisan itu. Seketika itu aku cocokkan sidik jari yang ada di kanvas itu. Akhirnya ketahuan siapa sang seniman ini," kata Tanaka.

"Tommy, apa kabar?" sapa Arci.

"Hmmmfffhhh! Hmmffffhh!" Tommy tak bisa bicara. Ia ketakutan setengah mati. Seolah-olah sekarang kematin sudah diambang pintu.

"Sssshhhh! Tenang, aku tidak merindukanmu Tom. Aku bukan orang yang kurang ajar harus membunuh pamanku sendiri. Ada orang yang lebih menginginkan kematianmu daripada aku."

"Arci, mulai sekarang... sesuai dengan janjiku Tanaka Yoshida dengan ini bergabung denganmu."

Arci berdiri lalu keduanya membungkuk. "Arigatou Tanaka-san."

Tommy benar-benar sial. Dia mengumpat kepada dirinya sendiri. Ia meronta-ronta agar dibebaskan, tapi ia sama sekali tak punya kesempatan. Bahkan ketika diseret sampai ke pemakaman pun dia tak punya kuasa. Dia berhadapan dengan Singgih, suami Rahma yang sudah tidak punya kaki dan lengan. Tommy tahu bahwa Rahma tewas akibat anak buahnya, sebenarnya kalau ingin dendam maka Arci-lah yang sangat dendam kepada Tommy, tapi sepertinya Arci memberikan kesempatan kepada Singgih untuk menghabisi Tommy.

Bagaimana perasaan Tommy ketika Singgih menekan tombol remote control itu? Ah, tak perlu ditanyakan, yang jelas tubuhnya sudah tercerai berai. Bahkan separuh kepalanya berpisah di tempat yang berbeda. Ketika semuanya pergi dan Singgih keluar dari pemakaman bola mata Tommy masih bergerak-gerak menandakan ia tak terima dengan kematian itu. Seekor burung gagak hingga di atas kepalanya kemudian mematuk bola mata itu dan membawanya pergi.

o o bersambung o o

Talk to much, let's dance.

:papi:
 
Terakhir diubah:
bnr-tebakan-ane-sempurna-gan-updatenya-monggo-istrht-dl-gan.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd