Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
Cerita yang mantap,walau agak sulit mencernanya, tapi salut untuk suhu yg ini begitu epik dalam pengemasan ceritanya,cuma emang agak sulit sih menempatkan yang mana karakter utamanya, karena semua mempunyai porsi yg sebanding, over all mantap lanjutkan..
 
Terimakasih atas update ceritanya suhu @Nicefor999 ..
Gile dari awal ceritanya susah ditebak ini..
Udah kaget Dinda anggota Mafia, eh ini punya anak sama Hans..
Incestnya Denta udah lengkap neh, kirain ga mau sama Dinda, karena udah tahu klo adik tirinya, eh disikat jg.. hahaha..
Ini jd bingung mana yg musuh mana yg bukan, hahaha..
Ditunggu update cerita berikutnya suhu..
 
PART 12

Denta Pov

Hari berjalan begitu cepat seolah tak ada jeda untuk sekadar menarik nafas dalam-dalam. Setelah mendapat informasi tentang keberadaan Schwerin von Krosigk, aku dan Dinda beserta beberapa anak buahnya sudah mengudara menuju Bali. Sejak take off sampai satu jam di udara, Dinda menjadi sering menatapku dengan arti tatapan yang tak bisa kutebak, sering tersenyum sendiri dan menjadi misterius.

“Jangan menatapku dengan tatapan memuja seperti itu.” Kataku sambil menoel hidungnya. Dinda tersenyum menanggapi banyolanku.

“Kakakku ganteng sih ...” Katanya membalas candaanku. Dinda memperlihatkan sikap manjanya yang imut dan menggemaskan.

“He he he ... Baru nyadar kalau punya kakak ganteng ...” Aku rangkul bahunya. Dinda meletakkan kepalanya di bahuku dan nafasnya terasa di leherku.

“Kang ... Apa akang punya keinginan untuk menjadi gembong mafia?” Dinda bertanya dengan suara pelan dan intonasi datar, nyaris tenggelam oleh suara obrolan penumpang pesawat yang terdengar riuh rendah.

“Gak ...” Jawabku pasti.

“Kenapa?” Tanya Dinda lagi sambil mengurai rangkulanku. Wajahnya dihadapkan padaku. Keningnya mengkerut pertanda ada pertanyaan di dalam kepalanya.

“Menjadi pentolan mafia ... Hidup gak akan tenang ... Dunia mafia itu sangat menyeramkan ... Mungkin banyak kejutan yang menyenangkan, tapi akan lebih banyak kejutan yang menegangkan ... Aku gak pengen hidup dengan tekanan seperti itu ... Aku hanya ingin hidup senang dan bebas ...” Jawabku sambil menyenderkan punggung di sandaran kursi.

“Hhhmm ... Kita berlainan dalam masalah itu ... Aku ingin sekali berkuasa ... Aku ingin menjadi gembong mafia yang disegani ...” Katanya yang membuatku menoleh dengan mimik tak percaya dengan apa yang diutarakan adikku itu.

“Hidup memang pilihan ... Tapi pilihlah yang membuat hidup kita aman ... Terlalu banyak resiko yang harus ditanggung jika memilih hidup seperti itu ...” Aku coba memberinya masukan.

“Ya, memang ... Hidup adalah pilihan, tapi bila kita memilih hidup tanpa tantangan ... Rasanya hidup kita gak berwarna ... Membosankan ... Gitu-gitu saja ...” Sanggah Dinda sambil tersenyum.

Aku balas senyumnya tanpa berniat meneruskan obrolan. Kembali aku sandarkan punggung lalu memejamkan mata. Perjalanan masih satu jam lagi, lebih baik aku tidur sejenak. Tak lama aku pun terlelap. Tanpa menyadari waktu berlalu, tiba-tiba aku terbangun karena sebuah goyangan tangan. Tidurku seakan sekejap dan tak terasa sama sekali.

“Kita sudah sampai ...” Ternyata Dinda yang membangunkan aku dari tidur.

Bersama dengan para penumpang lain, aku dan Dinda turun dari pesawat lalu mengantri bagasi di conveyor belt. Setelah lumayan lama menunggu, koper kami datang juga. Kami pun berjalan keluar dari ruangan kedatangan. Dinda memberikan pengarahan kepada empat anak buahnya dan tak lama mereka pun berpencar. Lalu aku dan Dinda menaiki taksi dan memberi tahu alamat ke tempat yang kami tuju.

Hanya memerlukan waktu kurang dari setengah jam, kami sampai di sebuah resort yang nampak mewah dan elegan. Tatanan yang begitu simple namun bisa menegaskan lekuk kemewahannya. View yang luar biasa pun dijajarkan di sekelilingnya. Penataan interior dan eksteriornya pun nampak begitu mengagumkan. Tak lama, aku dan Dinda berjalan menyusuri sebuah jalan setapak yang berada di atas sebuah kolam bening yang berisikan beberapa ikan mas cantik sebagai hiasannya.

Di pintu masuk resort, kami pun disambut beberapa pelayan cantik yang menunjukkan kamar kami. Aku dan Dinda pun menuju sebuah kamar dan masuk ke dalamnya. Isi kamar itu begitu luar biasa. Nampak sejuk dengan suguhan pintu kaca yang langsung menyajikan pandangan indah di depan mata. Terdapat juga kolam renang di balik pintu kaca itu. Tempat tidur berukuran ‘King’ yang nampak begitu empuk hingga membuat aku langsung terbuai untuk merebahkan seluruh tubuhku di ranjang itu.

"Resort yang sangat indah ya, kang ..." Kata Dinda yang tidak kusahut karena aku lebih memilih menikmati kasur empuk dan menutup mata. “Akang ... Iiikkhh ...!” Seru Dinda yang terdengar kesal.

“Iya ... Indah ...” Kataku sambil bangkit dari posisi terlentangku lalu duduk di pinggir tempat tidur. Kurentangkan tangan dan pundak yang terasa sedikit kaku.

“Berenang yuk, kang ...!” Ajak Dinda. Belum sempat aku menjawab ajakannya, tiba-tiba saja Dinda membuka bajunya di depanku. Mau tidak mau mataku pasti melihat apa yang sedang Dinda lakukan.

Ketika pakaiannya jatuh satu per satu, tanpa sadar aku mengagumi tubuhnya yang seksi. Wanita itu kini hanya menyisakan bra dan celana dalam saja di tubuhnya. Dinda dianugerahi kaki jenjang berkat tinggi tubuhnya yang mencapai tidak kurang dari 160 cm. Nilai kecantikan wajahnya sudah tidak diragukan lagi ditunjang oleh bentuk tubuh yang seksi, membuatku sejenak lupa kalau wanita itu adalah adikku. Aku sempat menelan ludah saat melihat payudaranya menyerupai buah melon yang terlihat bulat sempurna di segala sisi. Benda cantik itu rasanya tidak butuh bra untuk menyangganya, karena secara alami bentuknya sudah bagus.

“Hei ...! Malah bengong ...?!” Dinda berkata dengan nada kesal. Aku tahu, dia tidak benar-benar kesal.

“Eh ... Ayo ...!” Kataku agak tersentak karena ia mengagetkanku.

Aku pun menanggalkan pakaian hingga tinggal mengenakan boxer saja. Kami berjalan bergandengan tangan ke arah kolam renang. Udara sore masih lumayan panas berganti segar tatkala tubuhku terendam oleh air kolam. Setelah Dinda masuk ke dalam kolam renang dan dengan lihainya dia pun berenang dengan menggunakan bermacam gaya renang yang sangat membuat aku takjub. Aku pun berenang dengan gaya bebas dari sisi kolam renang ke sisi sebelahnya beberapa kali balikan.

Setelah selesai berenang beberapa putaran, aku menepi dan merasakan otakku seperti di-laundry. Segala pikiran dan masalahku seakan lenyap digantikan perasaan yang sangat nyaman dan segar. Aku duduk di pinggir kolam sambil menikmati view yang sangat indah di kawasan ini. Kolam renang yang langsung berhadapan dengan laut lepas membuatku harus mengakui kalau tempat ini sungguh sangat menyenangkan. Tiba-tiba lamunanku buyar ketika aku merasakan cipratan air mengenai wajahku. Aku menoleh dan melihat Dinda sudah berada di depanku. Ia terus mencipratkan air kolam ke wajahku sambil terkikik geli.

“Ngelamun sendirian di kolam ... Hati-hati kesambet ..." Kata Dinda lalu keluar dari kolam dan duduk di sampingku. Ternyata pemandangan alam tak seberapa menarik bila dibandingkan pemandangan tubuh seksi Dinda yang membuat mata ini tak ingin lepas menikmatinya.

“Aku sedang menikmati pemandangan yang luar biasa.” Kataku sembari tersenyum dan dengan nakalnya mataku terus memandangi dua buah bukit kembarnya yang montok itu terlihat seperti sudah tidak sabar ingin mencelat keluar dari balik branya.

“Memang ... Di sini sangat indah ... Gak nyangka ada tempat seindah ini ...” Kata Dinda dengan senyumnya yang lagi-lagi aku harus mengakui betapa cantiknya wanita di sampingku ini. Sejenak aku merasa terharu. Dinda memang wanita yang sempurna. Andai ia tahu betapa aku sangat memujanya.

“Dinda ... Kamu belum cerita sama akang ... Kenapa kamu bisa berada di komplotan Hans ...?” Tiba-tiba saja aku ingin kembali menanyakan sebuah pertanyaan yang belum sempat wanita itu jawab. Dinda pun menoleh padaku dengan senyum yang masih saja menghiasi wajahnya.

“Itu terjadi tiga tahun yang lalu ... Aku deket dengan seorang dosen di kampusku ... Dia yang membawaku ke Hans dan sejak saat itu aku berkeinginan bergabung dengannya ...” Jawab Dinda santai.

“Apa motivasi kamu sehingga ingin bergabung dengan Hans?” Tanyaku berlanjut sambil menggeser tubuhku. Tanganku melingkari pinggang Dinda lalu menariknya, hingga tubuh kami saling menempel.

“Sama seperti akang ... Aku ingin hidup enak dengan berlimpah uang ... Dan itu aku sudah dapatkan ...” Jawabnya sembari membalas pelukanku dengan menjatuhkan kepalanya ke bahuku.

“Hhhmm ... Bahkan kamu bisa menjadi orang kepercayaan Hans ...” Kataku setengah berbisik. Gelenyar rasa nikmat saat telapak tanganku menyentuh kulit perutnya yang halus dan terawat.

“Aku dapatkan karena aku sering membongkar kebusukan anak buahnya yang pura-pura loyal tapi bermain di belakang ... Anak buahnya yang korup seperti Irwan ...” Ucap Dinda dengan nada yang terdengar kesal.

“Irwan??? Ada apa dengan dia ???” Tanyaku yang kini sangat terkejut.

“Ya begitu ... Dia orangnya korup ... Suka bermain sendiri, menjual narkoba milik Hans tanpa sepengetahuan Hans dan hasilnya dimakan sendiri ... Kalau saja dia bukan orang sedaerah, pasti sudah aku laporkan ...” Kesal Dinda tambah kentara.

“Oh ... Begitu ya ...?” Responku heran. Kalau memang Irwan seperti itu, ia dalam posisi yang sangat berbahaya. Ibarat kata, sepandai-pandainya tupai meloncat sekali waktu akan jatuh juga.

Hari pun semakin sore dan menjelang gelap. Kami pun menyudahi acara happy-happy kami dan kami segera masuk ke dalam kamar yang kami sewa. Aku duluan yang membersihkan badan di kamar mandi lalu disusul oleh Dinda. Aku hanya bercelana kolor tanpa atasan berbaring di atas kasur sambil menyaksikan acara televisi yang masih saja didominasi oleh berita kriminalitas.

Beberapa menit berselang, Dinda keluar dari kamar mandi dengan hanya handuk dililit di tubuhnya. Sekilas aku mencuri pandang ke arah dadanya yang tidak tertutup sempurna dan sebagian pahanya yang mulus dan montok. Tiba-tiba aku harus meneguk ludah dan langsung terangsang melihat Dinda menjatuhkan handuk yang membalut tubuhnya yang seksi begitu saja di dekatku. Posisinya membelakangiku sehingga yang tampak adalah bongkahan pantatnya yang bulat sempurna dan sangat kencang.

“Wow ...!” Tanpa sadar aku bergumam.

“Wow apaan?” Tanya Dinda yang sedang memakai celana dalam berwarna putih.

Aku yang kelepasan hanya tersenyum melihat Dinda meneruskan ritual mengenakan baju tanpa menyadari bahwa aku memandanginya dari belakang dengan sangat ‘lapar’. Mulai dari mengenakan celana dalam, beha sampai dengan berpakaian lengkap. Peristiwa itu membuat kepalaku langsung pening, birahiku memuncak seperti berkumpul di kepala. Selain parasnya yang cantik, Dinda juga memiliki tubuh langsing yang ideal.

“Aku keluar dulu kang ...” Ucap Dinda setelah siap dengan pakaiannya yang ringkas tanpa make-up di wajahnya. Tatanan rambutnya disisir rapi ke belakang dengan kesan sedikit basah.

“Eh, mau kemana?” Tanyaku kaget lalu bangkit dari tempat tidur menghampiri koperku.

“Mau ngecek keadaan ... Apakah target kita sudah bisa dideteksi oleh anak buahku ...” Jelasnya sambil berlalu begitu saja keluar dari cottage kami.

Awalnya aku berniat ingin keluar bareng dengannya, namun setelah kupikir-pikir lebih baik aku keluar sendiri saja. Biarkan Dinda bekerja terlebih dahulu sementara aku akan bersenang-senang di tempat ini. Setelah berpakaian rapi, aku keluar dari cottage untuk berjalan-jalan di pantai yang terletak tak jauh dari resort tempatku menginap. Aku berjalan kaki sambil melihat-lihat pemandangan di sekitarku. Hembusan angin segar menerpaku saat aku tepat sampai di gerbang keluar resort.

Sesaat mataku melihat sesuatu yang cukup menarik. Kira-kira lima langkah di depanku, seseorang berjalan tergesa-gesa, seakan tak ada lain waktu untuknya. Wajahnya tidak terlihat santai, aku bisa menangkapnya, meskipun saat ini wajahnya tertutup rapat oleh kacamata bening dan masker, namun gestur tubuhnya mampu melukiskan gambaran itu semua. Belum lagi topi yang agak dikebawahkan seperti sengaja untuk menyembunyikan wajahnya.

Saat orang misterius itu melewatiku, tiba-tiba sesuatu jatuh dari saku celananya dan mendarat tepat di kakiku. Sebuah flashdisk kecil berwarna biru. Perlahan aku pungut flashdisk itu lalu menengok si pemilik yang sudah berjarak agak jauh. Aku panggil orang tersebut dengan panggilan ‘pak’ beberapa kali, namun ia seperti tidak mendengar bahkan terkesan mempercepat laju jalannya.

“Semprul ... Kayaknya dia gak butuh benda ini ...” Gerutuku pelan. Terus terang aku enggan menyusul orang itu. Akhirnya aku masukan flashdisk ke dalam saku lalu melanjutkan jalanku ke arah jalan raya.

DORRR ... DORRR ... DORRR ...

Aku tersentak oleh suara tembakan begitu memekakkan telinga. Saking terkejutnya, secara reflek badanku berbalik ke belakang dan sesosok tubuh telah terkapar di koridor dengan darah yang keluar dari beberapa bagian tubuhnya. Mendengar suara tembakan yang hanya berlangsung dalam hitungan detik, beberapa orang berlarian mendekat sosok yang tergeletak itu, termasuk para petugas resort. Aku pun mengikuti mereka mendekat dan ternyata korban adalah si pemilik flashdisk yang aku ambil beberapa saat lalu.

“Ambulan ... Ambulan ...!” Teriak seorang petugas resort sangat panik.

“Dia sudah mati, pak ...” Ucap seseorang yang ikut mengerubuti si korban.

Aku dapat melihat dengan sangat jelas ada beberapa peluru bersarang di badan kekar seorang ‘bule’ dengan detail tato burung elang tepat di dadanya. Orang-orang yang ada akhirnya hanya bisa menunggu aparat kepolisian dengan menutupi mayat si korban dengan selimut. Tak lama berselang, polisi pun datang dan langsung melakukan olah TKP. Aku yang kebetulan berada di tempat kejadian harus menjawab beberapa pertanyaan dari polisi sesuai dengan apa yang aku ketahui, kecuali perihal flashdisk yang aku temukan.

Polisi pun membawa mayat si korban penembakan dan aku segera kembali ke cottage. Di sana aku menemukan Dinda yang sedang jalan mondar mandir di depan cottage. Tampak wajahnya begitu kecewa, sesekali menghempaskan nafas kasarnya. Sesaat setelah aku sampai di depannya, Dinda menatapku sambil geleng-geleng kepala. Dan sepertinya aku tahu, apa yang sedang ia pikirkan. Aku rangkul pundaknya lalu membawa Dinda masuk ke dalam cottage.

“Apakah orang yang terbunuh itu adalah orang yang kita cari?” Tanyaku sambil melangkah memasuki cottage. Aku menggoyangkan bahu Dinda agar ia tak begitu larut dengan kekecewaannya.

“Iya ... Kita keduluan oleh orang lain ...” Jawabnya pelan.

“Keduluan??? Kenapa kamu menyebut keduluan? Dia kan dibunuh???” Tanyaku beruntun sambil mendudukan Dinda di pinggir tempat tidur, kemudian aku pun duduk di sampingnya.

“Orang itu ... Selain banyak yang ingin merekrutnya, banyak juga yang ingin melenyapkannya ... Bandar-bandar narkoba lah yang ingin melenyapkan Krosigk karena produk mereka kalah bersaing ...” Jelas Dinda sambil menatapku sayu.

“Hhhmm ... Pantas saja kalau begitu ceritanya ...” Kataku yang baru saja mengerti situasinya. “Tapi, aku belum mengerti ... Apa keunggulan narkoba punya Krosigk dibanding dengan yang lain?” Tanyaku lagi ingin kejelasan.

“Narkoba yang dihasilkan Krosigk berkualitas tinggi tapi harganya murah.” Jawab Dinda singkat dan masuk akal.

“Hhhmm ...” Aku bergumam sambil berfikir. Aku sangat berharap flashdisk yang aku temukan adalah ‘resep rahasia’ milik Krosigk. Tiba-tiba saja aku mengurungkan niat untuk memberitahukan penemuanku ini pada Dinda.

Dinda bangkit dari duduknya untuk meraih smartphone yang diletakkan cukup jauh dari tempatnya. Tak lama terdengar obrolan wanita itu dengan Hans. Aku menyimak setiap perkataan Dinda yang mengatakan kalau buruannya mati terbunuh sebelum ia sempat bergerak. Setelah sekitar lima menit, perbincangan mereka pun selesai. Dinda meletakkan lagi smartphone-nya di meja kecil berbentuk bundar itu. Ia menatapku lekat, lalu perlahan senyumannya mulai mengembang.

“Bagaimana?” Tanyaku penasaran. Dinda berjalan mendekat lalu duduk di sampingku.

“Semua baik-baik saja ... Kasus ditutup dan semua kembali normal ...” Jawabnya santai. Aku merangkul bahunya, lalu mengecupi pipinya dengan perlahan. “Ihk ... Akang ...!” Protesnya namun tak sedikit pun ada gerakan penolakan.

“Aku gemes ...!” Kataku sambil menyudahi kecupan di pipinya.

“Idih ...!” Ucapnya dengan suara terdengar sebel. “Kang ... Aku kok belum denger, kalau akan punya pacar ... Atau jangan-jangan udah punya tapi disembunyiin ...” Lanjut Dinda sambil menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangannya melingkari pinggangku.

“Aku gak tertarik pacaran ... Aku gak ingin terikat, masih pengen bebas ...” Jawabku. “Nah ... Kamu sendiri gimana? Akang juga gak pernah denger kamu puca pacar ...” Kataku kemudian.

“Aku sih beberapa kali punya cowok ... Tapi ... Gak ada yang memuaskan ...” Jawab Dinda yang nadanya agak genit.

“Tidak memuaskan bagaimana?” Tanyaku heran.

“Aku ingin punya cowok yang perkasa ... Em, perkasa di luar dan di atas ranjang ...” Jawabnya. Kontan saja aku terkejut mendengar penuturannya yang begitu vulgar. Jujur, dengan keadaan seperti ini sebenarnya cukup menggodaku, terutama menggoda pikiran nakalku.

“Itu mah ... Aku banget dong ...” Mulai aku menebar jaring. Aku ingin tahu reaksinya jika kugoda. Dinda menghela napasnya, ia mengeratkan pelukannya di pinggangku.

“Aku ini seperti perempuan gak normal, kang ... Aku sulit menikmati hubungan intim ... Aku orangnya sulit orgasme, jadi belum ada cowok yang bisa memberikan aku nikmatnya bercinta ...” Ucapnya blak-blakan yang membuatku sedikit terkejut. Pada saat yang sama otakku semakin keruh tatkala ada keinginan untuk membuktikan kalau aku bisa jadi apa yang ia inginkan.

“Mau coba denganku?” Tanyaku pelan dan sangat hati-hati.

Dinda mengurai pelukannya, ia menatapku dengan mata yang memancarkan kehausan. Dinda kini tersenyum, jari jemarinya bergerak perlahan melepaskan kancing bajunya. Satu persatu pakaiannya lepas dari tubuhnya, ia hanya menyisakan celana dalamnya saja. Seribu sumpah serapah keluar dalam batinku mengagumi keindahan tubuh seksinya. Tanpa berkedip dan nafas tidak beraturan, aku melihat pemandangan indah di depanku. Dan itu membuat kepalaku langsung pening, birahiku segera saja memuncak seperti berkumpul di kepala. Detak jantungku semakin memacu keinginan yang seharusnya tak boleh terlintas sedikit pun di otakku.

“Kenapa menatapku seperti itu?” Tanya Dinda menggoda sambil bergerak naik ke atas pangkuanku. Tepat di mukaku, sebuah gunung kembar menjulang dengan penuh gairah.

“Aku terpesona ...” Jawabku sembari terus menelisik kedua gunung kembar yang bentuknya begitu sempurna. Kedua payudaranya begitu bulat dan menonjol tampak naik turun seiring nafasnya.

“Kenapa tidak dinikmati?” Pertanyaan menantang yang ‘menggelitik’ naluri kelelakianku. Ditambah lagi suara mendesahnya seakan menyuruhku untuk berbuat atas tubuhnya.

“Baiklah ...” Kataku. Tanganku secara lihai menunjukkan eksistensinya sebagai pria sejati. Perlahan namun pasti, tanganku mulai mendekati puting kecil berwarna merah kecoklatan itu. Terdengar gumaman lirih saat kusentuh putingnya.

“Akang ...” Desah Dinda. Wanita cantik itu memindahkan kedua tangan mulusnya, memeluk leherku.

Aku mulai mengintimidasi bibir Dinda. Bibirku memangut bibir tipis Dinda, menyesap anugerah Tuhan yang tercetak indah itu. Tangan kananku memeluk pinggang ramping makhluk cantik yang kini takluk olehku, sedangkan tangan kiriku menyentuh ujung dagu mungil Dinda. Mendapat akses lebih untuk mengeksploitasi kenikmatan tiap Inchi bibirnya. Tanpa basa basi lidahku menjelajah setiap sudut mulut manis Dinda. Kami berciuman begitu lama. Kalau saja paru-paru kami tidak berteriak meminta supply udara, mungkin kami berdua tidak akan menghentikan kenikmatan itu.

"Kang … Jangan terburu-buru ya …!" Dinda menundukkan kepalanya, menantang wajahku dengan penuh harap.

“Iya, sayang ...” Jawabku enteng.

BRUKK …!

Aku memonopoli tubuh Dinda. Kurungan badanku di atas tubuhnya, membuat wanita itu tidak dapat berbuat apa-apa. Sudut demi sudut leher jenjang Dinda tidak luput dari serangan bibirku. Rima getaran urat-urat syaraf yang menyebar, menabuh geloraku, merasakan setiap denyutan birahi begitu terasa menguasai tubuhku.

"Aaahh … Kaaangh …" Dinda menggeliat mendapat serangan menghanyutkan dariku. Gerakan tanpa arah itu, membuat dua buah benda besar kebanggaan setiap kaum hawa ikut bergoyang.

Bibirku berpindah ke area benda besar nan kenyal milik Dinda. Menciumi setiap bagian, bukan hanya bibirku yang bekerja keras, tetapi kedua tanganku juga. Tangan kanan, aku gunakan untuk memijat lembut bagian kanan, sedangkan tangan kiri, memiliki tugas lain pada bagian kiri. Pucuk coklat kemerahan pada kedua dada Dinda, semakin memerah serta menegak akibat perbuatanku di atasnya.

"Kaaangh … Aaaahhh …" Desahan Dinda semakin terdengar seksi. Kedua tangan wanita itu memeluk sambil membelai punggung dan kepalaku.

Tanganku kini beralih fungsi, memegangi pinggul Dinda, dan mulutku kembali bekerja menyebar stempel di sekitar perut ramping wanita di bawahku ini. Lidahku turut ambil andil dalam aktifitasnya kini. Daging tak bertulang milikku menyapu lembut bulatan kecil pada tengah-tengah perutnya. Merasakan sensasi nikmat pada guratan-guratan kecil pada bagian itu, Dinda melenguh nafsu dan menjambaki rambutku dengan lembut. Tak lama, tanganku berpindah tempat ke bagian sangat sensitif Dinda. Disusul dengan lidahku yang mulai menyentuh bagian tersebut. Mencicipi manis milik wanita itu.

"Aaahhh … Aaahhh … Kaaangghh ..." Dinda makin menggeliat liar. Sensasi bagian yang sedang dimanjaku membuat keadaan di sana mulai lembab. Aku bisa melihat garis vertikal transparan tercetak jelas di celana dalamnya, ludahku membasahi celana dalam itu membuat cetak garis vaginanya terlihat dengan sangat jelas. Selanjutnya kedua tanganku bergerak mengeksplorasi celana dalamnya. Menyentuh cetak garis vaginanya, terus menggoda beberapa jembut miliknya yang menyelinap keluar dari balik celana dalamnya. Penisku sesak, dia semakin menegang ketika merasakan pasangannya memiliki bentuk sempurna.

"Enggghhhh ... Ugh ...!"

Tanganku kemudian menarik asal penutup bagian paling nikmat itu. Lidahku kembali bergerak dengan tempo lebih menggebu, menyapu setiap liang tanpa terkecuali. Dinda hanya bisa mendesah dan mendesah diserang oleh lidahku. Tangan Dinda menekan-nekan kepalaku, membuat mukaku semakin menekan vaginanya. Beberapa menit mendapat intimidasi lidahku, vaginanya terasa semakin lembab. Semakin lama lidahku terasa asin, karena cairan vaginanya semakin banyak keluar.

Beberapa saat kemudian, aku pun bangkit sambil menatap mata Dinda yang sayu. Melihat mata sayunya itu, bukan berarti aku akan iba dan menghentikan aktifitasku. Tatapan seperti itu malah menambah kadar libidoku ke level yang lebih tinggi. Aku melepas atribut yang masih melekat di badan. Terakhir, aku melempar kolorku begitu saja ke sembarang tempat. Aku pun menindihnya, tanganku sibuk memposisikan kaki jenjang Dinda agar akses kejantananku lebih mudah. Tangan Dinda memeluk erat leherku dan bibirnya sedikit bekerja melumat bibirku.

"Dinda …" Aku memposisikan penisku di antara dua bibir vaginanya. Terlihat Dinda hanya bisa pasrah, mengetahui apa yang selanjutnya akan terjadi. "Sssshhh …" Desisku pelan, saat diriku berhasil memasuki lorong di bawah. Menikmati tiap gesekan dan kedutan yang aku dapat.

Aku mulai menarik mundur senjataku, perlahan-lahan. Dinda melumat bibirku, kudorong maju lagi, mundur, maju, semuanya dengan perlahan-lahan. Kedua tangan Dinda pun tak tinggal diam, berkeliaran di belakang tubuhku. Ia melepaskan lumatannya pada bibirku dengan nafas terengah-engah, dan sesaat kemudian telah berubah menjadi desah dan rintihan. Aku menekan penisku semakin erat, menyodorkan pinggulku semakin cepat, sampai membuat garis pembukaan vaginanya terseret-terbuka oleh kulit penisku. Senjata pusakaku begitu perkasa, meregangkan seluruh otot-otot di tubuhnya untuk bertempur dengan gegap gempita, mendesak, menerjang kesana kemari.

Pinggul Dinda kini bergerak perlahan, mulai bereaksi. Gerakan semakin cepat dan tidak beraturan aku lakukan. Kedua tanganku memegang pinggung Dinda agar tidak bergerak sembarangan. Erangan dan desahan lirih meluncur indah dari bibir Dinda. Gerakan di bawah sana terkadang menyentuh ujung kenikmatannya. Aku pun melantunkan erangan pelan, ketika aku merasakan jepitan vaginanya yang semakin kencang.

Hampir setengah jam kami saling memberi kenikmatan bercinta. Dinda semakin larut dalam kenikmatannya, bagian belakang tubuhku mulai dari punggung hingga pantat habis diremas-remasnya. Ia kemudian menaikkan kedua kakinya melingkari pinggangku, kedua tumitnya saling mengait, mengunci tubuhku, kedua tangannya menarik dan menekan pantatku, pinggulnya naik bergerak ke atas menyambut setiap gerak turun tubuhku, seolah ingin membantu menghujamkan penisku lebih dalam lagi ke dasar liang kenikmatannya.

Keringat mulai mengucur di seluruh tubuhku jatuh dan bercampur dengan keringat tubuhnya. Tubuh kami bagaikan dihempas gelombang badai, terbanting-banting di tempat tidur, tulang pubik kami secara ritmis saling bertabrakan, menerbitkan pekikan-pekikan lirih dari mulutnya. Wajah Dinda kian memerah, kedua alisnya semakin mengernyit, kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin lama semakin menghimpit, otot-otot di dalamnya semakin terasa meremas-remas.

“Ah ... Ah ... Ah ... Ah ... Ah ...” Erang Dinda setiap kali kejantananku menembusi vaginanya.

Kulihat kedua matanya sudah setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dengan lidah mengambang di tengah-tengahnya. Dinda rupanya sudah bisa menikmati permainan birahi ini. Dinda memekik lirih, kugerakkan pinggulku maju mundur dengan ritme konstan, sambil menekan tulang pubiknya dengan bertenaga, kudekap dengan erat bongkahan pantatnya, kontraksi itu semakin berkelanjutan, seiring dengan gerakan pinggulku, dibarengi oleh pekikan-pekikan lirih Dinda.

“Wow ... Amazing ...” Bisik wanita di bawahku lirih sambil tersenyum. Sementara itu, penisku masih terus bekerja keras menggeliat-geliat di dalam benaman rongga kenikmatannya.

“Kamu menikmatinya ...?” Tanyaku dengan suara mendesah. Gerakan hujaman aku perlambat.

“Iya ...” Sahutnya dan kemudian mulai mengecup dan melumat bibirku.

Sesaat kemudian aku mulai bergerak cepat lagi, memompakan kenikmatan bagi kami berdua, yang semakin lama semakin memuncak, desah dan rintihannya kembali menggema memenuhi ruangan ini, seiring dengan gelinjang dan geliatan tubuhnya, pinggulnya menari-nari mengimbangi setiap ayunan tubuhku. Kurasakan dinding-dinding rongga kenikmatannya semakin sensitif, hampir dalam setiap gerakan tubuhku disambutnya dengan remasan-remasan, otot-ototnya mencengkeram dan melepas bergantian, seiring dengan keluar masuknya penisku, mencengkeram di saat ia hendak keluar, dan melepaskannya ketika masuk. Begitu nikmat, dan kenikmatan itu begitu terasa menguasai seluruh urat syarafku, nyaris membobolkan pertahananku. Namun Dinda tak membiarkannya, ia menekan pinggulku untuk berhenti bergerak, dan terdiam beberapa saat untuk mengendorkan serbuan rasa nikmat yang menguasai diriku, hingga aku mampu mengontrol kembali diriku, dan bergerak lagi, menabuh irama birahi bersamanya, dan menarikan tarian nafsu birahi, menggelinjang, menggeliat, merintih, mendesah, mengerang, silih berganti, dan menghentikannya di saat aku mulai kehilangan kendali, demikian seterusnya.

Entah sudah berapa kali aku terhenti untuk mengendalikan diriku, terkadang aku sendiri mampu mengontrolnya namun tak jarang pula Dinda dengan piawainya mengetahui dan menghentikan irama percintaan kami. Dinda benar-benar mengendalikan diriku, yang ditunggangi untuk mengantar dirinya ke puncak kenikmatannya. Namun, kenikmatan yang kurasakan juga benar-benar membuai diriku, begitu lama, begitu panjang, membuatku lupa akan dunia nyata, lupa waktu, lupa berada di mana, yang ada hanya diriku dan dirinya. Tubuhku dan tubuhnya sudah bersimbah peluh hasil olah permainan cinta kami, namun semua itu tidak kami pedulikan, kami terus bergerak dan bergerak. Bercinta begitu lama.

Dinda kemudian berbisik di telingaku meminta untuk berada di atas ketika dilihatnya kedua tanganku yang menopang tubuhku tak kusadari sudah gemetaran. Dengan serta merta kuangkat tubuhnya untuk duduk di pangkuanku. Dinda membalas dengan memeluk erat tubuhku, kemudian dengan berhati-hati kuputar posisi tubuhku dan perlahan-lahan rebah bersandar menggantikan tempat Dinda, tanpa melepaskan sedikit pun pertautan tubuh kami.

Dinda kemudian mulai menggerakkan pinggulnya, kedua tangannya bertumpu pada dadaku, sesekali tubuhnya membungkuk mendekat dan kemudian bibirnya melumat bibirku. Lidahnya terkadang menyelinap masuk dan memilin lidahku, dan jika tubuhnya menjauh dengan serta merta kuciumi buah dadanya, kuhisap puting susunya, membuatnya semakin mengerang-erang nikmat. Kedua tanganku tak henti-henti menjalari seluruh tubuhnya, punggungnya, pinggulnya, kedua bukit pantatnya, dan meremas-remas di sana, menyentuh dan meraba rectumnya, tubuhnya semakin hebat menggelinjang dan menggeliat, dan serta merta pula kurasakan remasan-remasan pada sekujur batanganku semakin menjadi-jadi.

Harus aku akui kalau Dinda adalah wanita yang sulit mendapatkan orgasme. Setelah selama ini, wanita itu belum juga mencapai puncak kenikmatannya. Jika saja dengan wanita lain, sudah barang tentu waktu selama ini akan membuat wanita tersebut tergeletak lemas karena kenikmatannya. Aku juga tak tahan sebenarnya, tetapi jelas aku tak ingin kalah. Aku rela tak mendapatkan klimaks demi reputasi.

Kami terus saling menyerang. Kami bagaikan sepasang pendaki yang sedang menjelajahi rimba asmara, bergegas, berpacu, mengerahkan seluruh tenaga, untuk bersama-sama menuju ke puncak kenikmatan. Terkadang salah satu di antara kami tertinggal, maka yang lain menunggu dan menggapai untuk kembali berpacu bersama. Saling memacu, saling menunggu, seolah ada kata sepakat yang tak diucapkan, hasrat yang tak tersirat, yaitu ingin meraih puncak itu secara bersama-sama.

Upaya itu akhirnya tak sia-sia ketika Dinda melihatku meregang menahan nikmat dan kurasakan pula kontraksi liang kenikmatannya mulai terasa. Dengan satu jeritan lirih ia menghujamkan pantatnya ke bawah sejauh-jauhnya, penisku melesak masuk hingga ke akar-akarnya. Dinda kemudian merebahkan tubuhnya menindih tubuhku, ia memeluk dan membenamkan wajahnya di samping wajahku. Kupeluk dengan erat punggungnya, kedua kakinya tak lama kemudian merapat, dinding rongga kenikmatannya semakin hebat menghimpit seluruh kemaluanku, kemudian ia menggerakkan pinggulnya naik turun dengan hanya mengkontraksikan otot yang ada di pantat dan pinggulnya, mengocok dan meremas batang penisku. Perlahan-lahan, denyut-denyut di sekujur tubuh kemaluanku bagaikan saling sahut menyahut dengan kontraksi liang kenikmatannya, semakin lama semakin intens.

Dinda mengerahkan segala kemampuannya untuk menggiring gelora kenikmatan kami selama mungkin, tak sekalipun ia mempercepat gerakan pinggulnya, tetap perlahan-lahan, meremas, mengocok, rintihan dari mulutnya semakin menjadi-jadi, silih berganti dengan namaku yang disebut-sebutnya. Tubuhku dan tubuhnya semakin meregang, otot-otot di seluruh tubuhku seakan dibetot keluar secara perlahan-lahan, semakin lama pelukan kami semakin menggila. Kami berdua terengah-engah berusaha menarik nafas yang semakin lama semakin sulit, seiring dengan kenikmatan yang sudah di ambang batas puncaknya. Sejengkal demi sejengkal, langkah demi langkah, berusaha meraih puncak kenikmatan, kutahan nafasku, dan mungkin juga sudah tak mampu bernapas lagi, dan …

UAAAAHHGGGH ...!!!

Tergapailah puncak kenikmatan itu. Gelombang demi gelombang kenikmatan menerpa tubuh kami berdua. Dinda menjerit-jerit histeris, saling memeluk dan merengkuh dengan diriku, seakan hendak meluluh-lantakkan masing-masing tubuh kami. Gelombang itu tak surut-surutnya melempar-lemparkan kedua tubuh kami ke dalam samudera kenikmatan. Bagaikan pusaran air, menghisap dan menelan tubuh kami ke dalamnya, hingga akhirnya kurasakan mataku berkunang-kunang, pikiranku melayang-layang, sekelilingku serasa buram, samar-samar, yang ada hanya nikmat yang kurasakan menggedor-gedor seluruh jiwaku. Tak kusadari lagi semua yang ada di luar diriku, bahkan tubuhku sendiri sudah tak terasa lagi, entah ada entah tiada. Entah berapa lama aku dalam keadaan tak sadar seperti itu, hingga akhirnya perlahan-lahan kurasakan sakit pada bahuku seiring dengan kesadaranku yang kembali pulih. Saat itulah kusadari ternyata aku masih menahan nafasku dan serta merta dengan tersengal-sengal kutarik nafas sebanyak-banyaknya.

“Akang hebat sekali ... Baru kali ini aku bisa menikmati bercinta ...” Ucap Dinda sambil tangannya mengusapi wajahku yang berkeringat.

“Aku juga ... Baru kali ini merasa seenak ini ...” Kataku jujur. Dan memang kenikmatan yang aku dapat dari persetubuhan ini berlipat-lipat.

“Akang adalah laki-laki pertama yang bisa membuatku orgasme ... Sejak saat ini, akang adalah kekasihku ...” Ucapnya agak sedikit memaksa.

“Kalau rela menjadi kekasih yang ke dua belas ...” Candaku sembari tersenyum.

“Ihk kok ... Jadikan aku yang pertama dong ...” Protesnya dengan nada manja.

“Oh ... Iya ... Tapi, gak apa-apa kalau di belakangmu banyak wanita-wanita lain yang menjadi sainganmu?” Candaku lagi sekedar mengingatkan kalau aku tidak mau terikat oleh sebuah komitmen.

“Iya ...” Jawabnya sembari mencium bibirku.

Malam ini menjadi malam yang panjang buat kami berdua. Aku dan Dinda bersetubuh seperti remaja yang baru mengenal seks. Tanpa bosan kami terus menumpahkan cairan nikmat kami. Pada satu titik di mana tenaga kami habis terkuras, kesadaran kami seakan enggan beranjak dari tidur. Mata kami terkatup dengan sempurna, alam semesta ada dalam bentuk kegelapan, tidak terasa, tanpa tanda, tidak dapat dipahami pikiran, sepenuhnya gelap dalam tidur yang dalam.​

-----ooo-----

Tiga Hari Kemudian ...

Berita terbunuhnya Schwerin von Krosigk menjadi berita besar yang terus diberitakan hampir setiap hari. Pagi ini aku menyempatkan diri untuk menonton berita kasus pembunuhan tersebut. Pembunuhan seperti hal yang sudah direncanakan, kematian korban memang dikehendaki. Muncul spekulasi-spekulasi siapa pelaku pembunuhan tersebut. Disebut-sebut beberapa mafia menjadi tersangkanya.

Tiba-tiba, smartphone-ku berbunyi tanda ada telepon. Aku mengambil smartphone-ku dan menatap layarnya yang bertuliskan ‘Irwan’. Aku segera mengangkat teleponnya.

“Ya, Wan ...” Sapaku padanya di seberang sana.

“Syukurlah ... Aku bisa mendengar suaramu ...” Terdengar suara lega dari Irwan yang membuat keningku mengernyit.

“Emangnya ada apa, Wan?” Tanyaku menjadi penasaran.

“Sebuah serangan yang tidak pernah kita duga ... Ada ledakan di markas utama ...” Jawab Irwan. Seketika itu juga, aku pun meloncat dari posisi dudukku.

"Apa??? Bagaimana bisa???" Tanyaku agak memekik. Prosedur keamanan di markas utama pasti berlapis. Jelas bukan kesalahan teknis.

“Kemungkinan besar serangan mafia ... Kamu harus ke sini, tapi pastikan tidak sampai diketahui orang lain ... Sudah mulai banyak media yang datang ...” Ungkap Irwan.

“Siap ...!” Kataku lalu memutuskan hubungan telepon.

Aku berlari ke garasi dan naik ke dalam mobil di belakang kemudi. Aku menginjak pedal gas, melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Perasaanku sangat tidak enak, pikirannya tertuju pada Dinda. Setelah satu jam lebih di jalanan, aku sampai juga di markas utama. Aku memarkirkan mobil di belakang gedung. Irwan sudah menungguku. Wajahnya kotor dengan debu dan bau ledakan masih menempel.

“Kerusakan paling parah tepat berada di ruangan Hans. Seseorang sengaja menjatuhkan sebuah granat setelah memecahkan kacanya.” Ungkap Irwan.

“Bagaimana keadaan Hans?” Tanyaku.

“Dia baik-baik saja ... Pada saat ledakan ... Dia sedang berada di ruang lain ...” Jawab Irwan sambil berjalan di sampingku.

"Ada korban?" Tanyaku lagi. Irwan mempercepat langkahnya agar cepat sampai di lokasi kejadian.

"Kemungkinan lebih dari lima orang ... Tapi tidak ada korban tewas ..." Jawab Irwan. "Kebanyakan luka di kepala, tapi dokter sudah memastikan tidak sampai mengalami gegar otak atau kelainan di otak." Lanjut Irwan.

Sewaktu sampai di ruangan pimpinan, aku melihat dinding kokoh ruangan hancur. Kayu-kayu dan mateial bangunan lainnya berserakan. Irwan mendampingiku, juga sudah bersiap beberapa anak buah Hans berpakaian hitam berjaga di sekitar tempat itu.

"Bagaimana cara mereka membuat kekacauan? Apakah bom bunuh diri?" Tiba-tiba Hans datang dan semua orang yang berada di ruangan itu membungkukan badan memberi hormat atas kedatangan pimpinan, termasuk juga aku.

"Tidak ... Awalnya terdapat beberapa tembakan yang menghancurkan kaca lalu disusul lemparan granat ..." Ungkap salah seorang anak buah Hans yang berada di lantai ini saat kejadian. Kemudian ia menceritakan secara jelas rentetan kejadiannya. Sebuah tembakan jarak jauh yang membombardir lapisan kaca pelindung kemudian disusul suara keras adanya ledakan. Itu semua terjadi dalam hitungan menit. "Kemungkinan mereka mengincar anda, Tuan.” Pungkasnya.

"Jangan menimbulkan kepanikan untuk orang sipil ... Aku akan menemui kepala kepolisian, meminta agar penyelidikan dilakukan dengan rapi. Media belum menyorot terlalu jauh, kita masih bisa untuk mengendalikan mereka ... Kurasa aku tahu siapa yang melakukan hal ini." Kata Hans dengan tenangnya.​

-----ooo-----

Author Pov

Seorang bocah berusia 9 tahun sedang memainkan kubik enam sisi sewaktu dia berada di ruang tunggu penjemputan. Biasanya selagi menunggu mamanya, bocah itu selalu ditemani oleh penjaga sekolah. Namun kali ini mamanya terlambat menjemput. Sebuah berita yang menayangkan adanya pengeboman membuat pegawai yang bertugas menjaga di ruang penitipan terlalu fokus ke layar televisi.

"Mike ... Bukankah itu gedung milik ayahmu?" Sang penjaga sekolah bertanya pada bocah itu.

Bocah keturunan Hans itu menoleh. Permainan kubiknya tergeletak begitu saja. Ia memang jarang dibawa ayahnya ke tempat kerjanya. Namun dia sangat mengenal lambang burung elang di gedung itu. Itu tempat ayahnya bekerja. "Papa?" Bisiknya menyentuh layar. Kerusakannya sama persis dengan yang ia lihat di film-film Hero ketika musuh melancarkan serangannya.

"Oh, ya Tuhan ... Ini musibah ... Perusahaan papamu mengalami insiden mengerikan ..." Komentar pegawai itu menancap pada Mike.

Si pegawai belum menyadari bola mata bocah di sebelahnya sudah berkaca-kaca. Mike memang masih kecil, namun dia tahu rasa empati. Mike khawatir kalau papanya terluka. Si pegawai sekolah berencana untuk menenangkan Mike, namun sekelebat si pegawai sekolah melihat Mike sudah berlari ke luar ruangan. Mike sendiri langsung berlari ketika dia melihat sosok yang mirip mamanya. Bila mamanya sudah datang, apakah itu berarti papanya baik-baik saja?

"Mama ...!" Teriak Mike, namun sosok ‘mamanya’ tidak berhenti berjalan. Mike mengikuti sambil berlari. Bocah itu menyeberangi jalan, menengok ke kanan dan ke kiri. Namun sosok serupa mamanya sudah tidak ada. Hanya ada sebuah mobil hitam yang terparkir tidak jauh darinya.

"Mencari mama, nak?" Suara wanita terdengar dari arah belakang bocah itu.

Mike berjengit kaget ketika seseorang menepuk pundak belakangnya. Seorang wanita bermata biru dan berambut biru menunduk tepat di depan matanya. Sekilas mirip mamanya, namun senyum mamanya tidak semenakutkan ini.

"Kau bukan mama ...!" Mike reflek berjalan mundur. Wanita di depannya tertawa mengejek. Ia menarik rambutnya birunya hingga muncul rambut asli berwarna pirang.

Tangannya gemetaran. Mike melihat sekelilingnya lagi. Ada dua orang di dalam mobil, mereka dilengkapi senjata di masing-masing tangannya. Sekali berteriak, sudah pasti peluru lebih dulu mengenainya. Mirip dengan video game yang dia mainkan antara penjahat dan pahlawan. Namun ini versi sungguhannya. Si wanita menyeringai melihat anak kecil di depannya ketakutan. Sungguh pemandangan yang menyenangkan bisa membuat bocah kecil ini pucat pasi.

Come to mama ...

Sebuah benda langsung membekap setengah dari wajah Mike. Bau menyengat yang sengaja diberikan membuat putra pertama dan satu-satunya dari Hans itu sempoyongan sebelum ambruk pingsan. Si wanita tersenyum. Mudah sekali mendapatkan Mike. Tugasnya menculik Mike berhasil.​

-----ooo-----

Di Tempat Lain ...

Sedari tadi perasaan Dinda resah. Tangannya tidak pernah berhenti untuk saling meremat. Perasaanya jauh dari ketenangan. Rasa gelisah ini berhubungan dengan anaknya. Dia menatap jam tangan, mobilnya terjebak kemacetan.

"Risma ... Bisakah kau percepat?” Ucap Dinda sekedar untuk membuang kegelisahannya. Risma adalah supir pribadi Dinda yang juga orang kepercayaan Hans.

Wanita bermata sipit yang mengemudikan mobil melihat raut cemas dari wanita yang dipercayakan Bos Hans padanya. Di depan mereka ada antrian kendaraan dan beberapa polisi. Risma tahu ada pemeriksaan, tetapi ia tidak tahu untuk apa.

"Tentu nyonya ... Tapi nampaknya ada pemeriksaan ... Kita bisa mencari jalan memutar ... Tapi ..." Belum usai ucapan Risma sebuah bunyi 'pip' masuk pada sambungan earphone-nya. Itu adalah panggilan darurat. Risma segera meresponnya.

Dinda tidak bisa mendengar, raut wajahnya menjadi tegang ketika secara mendadak Risma mengubah arah mobil dan melewati pos pemeriksaan hanya dengan menunjukkan sebuah plat kartu. Polisi yang berjaga melihat lalu saling mengangguk, tanpa ada pemeriksaan terlebih dahulu mereka membiarkan mobil Risma lewat.

"Nyonya ... Setelah menjemput tuan muda Mike, saya harus membawa kalian pada Bos." Ungkap Risma sangat serius.

"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" Tanya Dinda heran.

Risma tidak langsung menjawab. Ia semakin menambah kecepatan hingga speedometer menunjuk di angka 100. Salah satu tangannya menyingsing kemeja hitam, memastikan sebuah senjata Revolver tak lupa ia bawa. Namun perjalanan mereka terhenti ketika Dinda berteriak keras. "BERHENTI!" Membuat Risma menekan kuat-kuat pedal rem. Setirnya diputar keras hingga gesekan antara ban dengan aspal menghasilkan asap. Tapi Risma cukup terampil dalam mengendarai mobil berkecepatan setan.

"Nyonya, ada apa?" Tanya Risma panik.

Tangan Dinda nampak memegangi perutnya, wajahnya pucat. Pupil matanya membesar, itu efek shock dalam waktu singkat. Sebuah telepon pintar berada di telapak tangannya. Hanya sebuah pesan singkat, namun seolah sudah berhasil menarik nyawa Dinda. Risma merebut smartphone milik Dinda. Melihat isi pesan singkat itu dan tertera nomer yang tidak dikenal.

Kemarilah ...! Ke alamat yang kuberikan ... Putramu berada di sini bersamaku ... Datang sendiri atau aku tak menjamin tulang tengkorak anakmu bisa menahan peluruku ... Jalan Sastrowidagdo Nomor 3A Kayu Manis ...” Begitulah isi pesan singkat yang ditujukan untuk Dinda. Jelas, situasinya sudah menjadi lebih rumit.

"Nyonya ... Kau harus tenang ... Kita menunggu Bos Hans terlebih dahulu ... Bos Hans mengatakan berada di perjalanan menyusul kita." Kata Risma berusaha menenangkan Dinda. Namun semuanya tidak mampu Dinda pahami secara benar. Anaknya diculik. Seluruh pikirannya buntu.

“Risma ...!” Tangan Dinda mencengkram lengan supirnya. "Cepat ...! Segera ke sana .... A-anakku membutuhkanku." Perintah Dinda sangat memaksa.

"Tidak nyonya ... Mereka bisa saja mengirim berita palsu untuk menjebak anda ..." Risma coba bertahan.

"APANYA YANG PALSU ...?! BAHKAN MEREKA MEMBERIKAN FOTO MIKE YANG DISEKAP ... ANAKKU KETAKUTAN, RISMA!" Emosi Dinda benar-benar meledak. Sebuah foto yang baru saja dikirim oleh nomer yang sama semakin membuat kepala Dinda berputar kencang. "Kita harus cepat menyelamatkan anakku." Nafas Dinda tersenggal. "Bila kau tidak bisa mengantarku sekarang juga ... Minggir ...! Biar aku sendiri yang mengendarainya." Kata Dinda sambil menahan emosi.

"TIDAK ..! Tugasku adalah melindungi nyonya ..." Bukannya Risma merasa takut, namun bila kejadian ini benar-benar sudah sangat sistematis, bukannya tidak mungkin musuh yang akan mereka hadapi telah memiliki persiapan yang matang. Dirinya hanya memegang satu senjata kelas menengah dan dia harus menjaga wanita kesayangan Bos-nya. Risma tahu keputusannya ini bisa membuatnya dengan cepat kehilangan pekerjaanya. Tapi dia juga telah berjanji akan melindungi Dinda dan Mike apapun yang terjadi. Dia sudah mengucapkan sumpah setia pada Hans.

"Baiklah ... Kita akan menyelamatkan tuan muda dulu ... Tapi saya mohon, nyonya harus tenang ... Bos akan marah bila nyonya terluka ..." Kata Risma pasrah. Mengambil keputusan tanpa meminta ijin terlebih dahulu pada Hans adalah pelanggaran. Dia siap bila nanti mendapatkan ganjaran berupa hukuman. Tapi, di situasi sesulit ini, dia tidak bisa mengabaikan keselamatan Mike.

Risma mengaktifkan GPS dalam mobilnya, memberikan data berupa posisi dan mengirimkannya pada Hans agar Bosnya tahu keberadaan ia dan Dinda. Sedangkan Dinda yang duduk di belakang terlihat terpuruk. Wanita itu nampak sangat menyedihkan dengan wajah penuh air mata. Hatinya hancur, melihat terus ke foto Mike. Putranya diikat, di sekelilingnya nampak bangunan yang berantakan. Ada bekas memar di pipinya. Dinda kembali menangis, hal ini sudah mampu membuatnya menyalahkan diri sendiri. Dia telah gagal menjaga anaknya sendiri. Bila terjadi sesuatu yang buruk pada Mike, maka Dinda tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Sayang tunggu sebentar ... Mama akan menyelamatkanmu ...” Batin Dinda memelas.

Singkat cerita, perjalanan Dinda dan Risma terhenti di suatu tempat yang terpencil. Terdapat bangunan tua besar di depan mereka. Risma sudah menyiapkan senjatanya meski tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Awalnya dia menyuruh Dinda agar tetap di mobil, namun Dinda malah tetap keras kepala ingin ikut.

"Bukankah sudah kubilang untuk datang sendiri?"

Dugaan Risma tepat, yang menculik Mike tidak hanya satu dua orang melainkan sepuluh orang. Bisa bertambah bila sisanya sedang bersembunyi. Dinda menatap nanar pria tampan berambut pirang di hadapannya. Dinda ingin melangkah mendekat namun Risma dengan sigap menariknya agar tetap berada di belakangnya.

"Jangan mendekat ...!" Risma mengacungkan senjata sebagai bentuk perlindungan. Musuhnya ikut melakukan hal yang sama, menempatkan senapan dalam posisi siap menembak ke arah Risma. "Dimana anak itu?" Tanya Risma kemudian dengan sikap waspada.

"Bocah itu awalnya sangat berisik karena terus menangis, tapi akhirnya sekarang dia tenang juga." Jawab pria tampan berambut pirang itu sangat tenang.

"KAU APAKAN ANAKKU ...!" Dinda berseru lantang walau kekuatannya tidak mampu menjangkau Mike. Kepalan tangannya menguat. Dia membenci orang yang telah melukai anaknya.

"Dia di sini ... Dalam keadaan utuh ... Bila kau tidak macam-macam ..." Ucap si pria dan tak lama seseorang membawa Mike yang tertidur karena obat bius. "Maaf aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak melukainya ... Dia terlalu mirip dengan Hans ..." Kekehan si pria membuat Dinda mendelik. Putranya diperlakukan tidak manusiawi. Apalagi melihat dengan jelas beberapa lebam di wajah putranya. Tubuhnya mengigil marah. Mike masilah berumur sangat muda namun dia sudah mengalami hal seburuk ini.

"Lepaskan anakku, maka kuanggap kita tidak ada masalah ... Hans tidak akan memburumu ..." Kata Dinda setengah mengancam. Si pria pun malah tertawa keras, terpingkal hingga dia meremat sebelah wajahnya. Pemikiran naif Dinda sungguh membuatnya semakin berhasrat untuk segera memboyong wanita itu bersamanya.

"Kita barter ... Aku serahkan anakmu namun kau harus menyerahkan dirimu ... Karena kau pasti tahu apa yang paling kuinginkan, bukan?" Lengannya meraih Dinda, namun Dinda langsung mundur. Matanya menyorot melecehkan kepada Dinda. Si pria berada di atas angin, tinggal sedikit provokasi maka Dinda akan datang kepadanya. "Jadi ... Bisakah kau ikut denganku tanpa paksaan? Bila kau menurut, akanku serahkan anakmu dengan baik-baik pula ... Dan suruh pengawalmu untuk tidak mengarahkan senjatanya padaku ... Itu sangat mengganggu ..." Pandangannya menajam, Dinda tahu dia sedang diancam.

"Jangan biarkan orang ini mempengaruhimu, nyonya ..." Risma telah mengokang pistolnya, tinggal menarik pelatuk maka pelurunya bisa menjangkau bagian vital si pria, terutama dahi. Namun sebuah tangan menahannya. Dinda gemetaran, dia menggeleng, menyuruh Risma agar tidak melawan. Bola mata itu memandang ke arah Mike lalu selanjutnya kembali ditarik ke arah Risma.

"Kau cukup memastikan bahwa anakku harus berada di rumah dengan selamat ... Katakan pada Hans untuk merawatnya dengan benar ... A-aku tahu ini bodoh, ta-tapi aku hanya seorang ibu ... Tugasku adalah memastikan Mike tidak terluka lebih dari ini ..." Ucap Dinda lesu. Pandangan Dinda mengabur karena beberapa butir air mata menetes keluar. Tapi Dinda buru-buru menyekanya.

“Nyo ....” Ucapan Risma terputus oleh Dinda.

“Ssssttt ... Katakan pada putraku nanti bahwa aku ingin meminta maaf karena tidak dapat menjaganya. Kau maukan? Ini perintah ... Kau harus menuruti ...!" Kata Dinda tegas. Risma menekan kuat-kuat rahangnya. Ia berada di posisi sulit. Ada dua nyawa yang terancam dan dia harus memilih salah satu. "Risma ...!" Dinda yang memanggilnya membuat Risma tidak fokus. Perlahan dia menurunkan senjata. Tatapan Dinda membuat Risma ikut meratap. "Tolong, jangan membuat anakku lebih lama lagi di tempat mengerikan ini." Pinta Dinda memohon.

Dinda maju mendekat pada si pria sedangkan si pria memerintahkan anak buahnya untuk membawa Mike kepada pengawal Dinda. Kelemahan terbesar Dinda yakni Mike. Si pria menyeringai mendapati rencananya berhasil sangat baik. Pandangan Dinda tidak lepas dari Mike. Ia ingin menyentuhnya, memastikan secara langsung namun terhalang oleh anak buah si pria. Ini pilihannya, keselamatan Mike menjadi prioritas utama.

"Ayo masuk ke mobil ... Kita harus pergi dari tempat ini ..." Ucap si pria sambil memaksa Dinda masuk ke dalam mobil sedan hitamnya.

DOR ...!

DOR ...!

Sewaktu si pria mendorong Dinda masuk, Risma langsung melepaskan beberapa tembakan. Dua diantaranya mengenai masing-masing dada dan kepala dua pengawal si pria. Si pria menggeram, seharusnya dia tahu bahwa wanita pengawal itu tidak mudah untuk mengalah.

"Bunuh dia ... Bunuh apapun yang menghalangiku!" Perintah si pria geram.

"Hentikan ...! Kau sudah berjanji tidak akan melukai siapa pun ..." Dinda memberontak. Dari balik jendela dia melihat Risma menghindar ke belakang mobil dengan Mike yang berada di dekapannya.

“Cepat berangkat ... Jangan membuang waktu terlalu lama di sini ...!" Perintah si pria pada anak buahnya. Dan mobil pun segera melaju kencang meninggalkan lokasi.

Sementara itu, Risma masih berusaha mempertahankan diri dari serangan jarak jauh anak buah si pria. Musuh yang tersisa berduel dengan Risma. Dia mendapat hantaman kayu di kening tapi Risma mampu untuk menembuskan pelurunya tepat di jantung musuh. Kemudian, beberapa lontaran timah panasnya terarah ke mobil yang membawa Dinda namun tak satu pun yang mengena. Risma terpaksa menghentikan aksi menembaknya karena harus berlindung dari rentetan peluru yang diarahkan padanya. Dan satu buah timah panas mengenai bahunya, ditambah lagi pelurunya telah habis. Dinda pun berhasil dibawa kabur.

“SIAALLL ...!” Maki Risma setelah suara tembakan berhenti. Kegagalan menjaga orang terpenting bagi Hans sudah gagal dilaksanakan. Risma menyeret kakinya ke mobil. Ia bernfpas lega, setidaknya Mike tidak terluka parah.

Dan tidak lama setelah itu Hans dan beberapa anak buahnya datang. Matanya mengobarkan kemarahan. Wujudnya berubah mengerikan dengan langkah besar dan aura menyesakkan.

"Maaf Bos ... Mereka telah berhasil membawa nyonya ..." Ucap Risma pasrah.

Hans melihat ceceran darah merembesi kemeja Risma. Tangannya mengepal. Dia merasa marah, namun bukan pada Risma melainkan pada dirinya sendiri. Netranya melihat sosok di dalam mobil yang meringkuk. Hans cepat meraihnya, menggendong Mike dan dia lebih dari marah melihat putranya memiliki bekas kekerasan. Dia bersumpah akan memberikan balasan yang lebih buruk setelah apa yang mereka lakukan pada keluarganya. Bahkan mengingat wanita kesayangannya berhasil diculik merupakan pukulan keras untuk dirinya.​

-----ooo-----

Denta Pov

Aku hanya mondar-mandir sambil sesekali duduk atau berdiri bersandar pada tembok. Pikiranku terus terbayang-bayang oleh keadaan Dinda yang sangat mengkhawatirkan. Penculikan terhadap dirinya membuatku sangat cemas. Di balik mejanya, Irwan terus memandangiku dengan wajah datar. Aku sebenarnya merasa aneh, kenapa temanku itu menampakan sikap seolah tidak terjadi apa-apa.

“Tolong carikan aku info ... Siapa yang menculik Dinda?” Tanyaku bernada kesal. Aku mengepalkan tanganku di sisi meja.

“Tenanglah dulu ... Tunggu saja ... Sebentar lagi akan kita ketahui, siapa yang menculik adikmu ...” Jawab Irwan yang masih saja menyikapi kejadian besar ini dengan santai.

“Bagaimana aku bisa tenang ... Nyawanya dalam bahaya ...!!!” Aku agak memekik geram. Ingin sekali aku marah dengan situasi seperti ini.

Irwan tidak merespon kekesalanku, ia malah menyalakan rokok yang sejak tadi sudah tersemat di bibirnya. Ia terlihat santai diantara kepulan-kepulan asap rokoknya. Aku mendesah sambil duduk di kursi depan meja kerjanya. Aku mengambil bungkusan rokok milik Irwan yang tergeletak di atas meja, mengambil salah satu batang yang sedikit menyembul ke luar, kemudian membakarnya. Aku berharap dengan merokok dapat mengurangi ketegangan.

“Bos ...” Tiba-tiba seorang anak buah Irwan masuk ke ruangan dengan membawa selembar kertas dan ia berikan kepada Irwan. “Surat perintah untuk melakukan operasi delta dari pimpinan.” Lanjut orang tersebut.

“Hhhhmm ... Sudah ada kabar, alasan penculikan Dinda?” Tanya Irwan pada anak buahnya sambil membaca selembar kertas yang telah beralih tangan.

“Mereka menginginkan formula Krosigk, Bos ... Dinda sebagai alat tukarnya ...” Jawab sang anak buah. Sontak saja hatiku menjadi lega. Paling tidak Dinda masih dalam keadaan bernyawa karena wanita itu akan dijadikan alat tukar.

“Wow ... Tapi apakah Hans mempunyai formula itu?” Tanya Irwan sedikit terperangah.

“Kalau itu ... Saya tidak tahu bos ...” Jawab si anak buah.

“Ya sudah ... Lanjutkan bekerja ...” Kata Irwan. Orang tersebut kemudian keluar ruangan Irwan.

“Bagaimana bisa mereka menyangka kalau Hans memiliki formula itu?” Tanyaku yang merasa heran dengan pola pikir si penculik yang sangat dengan yakin kalau Hans memegang formula yang mereka inginkan.

“Iya juga ya ... Kok mereka yakin kalau formula itu ada pada Hans? Aku sendiri bahkan tidak yakin kalau itu ada padanya ...” Ujar Irwan sambil menatapku.

“Mungkin kamu melewati sesuatu ...” Kataku.

“Bisa jadi ... Sepengetahuanku, formula itu berada di tangan polisi ... Saat terjadi pembunuhan, polisi menyita semua barang-barang milik Krosigk ... Kemungkinan besar, formula itu ikut terbawa oleh mereka ...” Irwan mengungkapkan pendapatnya.

“Emangnya ... Seberapa penting formula itu? Sampai-sampai ada mafia yang menginginkannya?” Tanyaku lagi sambil membuang abu rokok yang telah panjang di lantai.

“Hampir semua produsen narkoba menginginkannya ... Formula yang dibuat Krosigk menghasilkan sabu dengan biaya produksi sangat murah tetapi hasilnya premium ...” Jelas Irwan hampir senada dengan informasi yang aku dapat dari Dinda.

“Terus ... Apa itu operasi delta?” Tanyaku berlanjut.

“Pembantaian ... Kita akan mengadakan tukar sandera dengan formula ... Tapi hanya tipuan belaka ... Kita akan mempersiapkan pasukan terbaik untuk menghabisi si penculik ...” Jelas Irwan.

“Masukan aku sebagai pasukan ... Aku ingin ikut ...” Kataku tanpa ragu.

“Baiklah ... Kamu akan berada di bawah komandoku ...” Irwan menyetujui permintaanku.

Aku dan Irwan mendiskusikan operasi delta yang akan dilakukan besok malam. Aku sangat bersyukur karena Irwan menempatkan aku di posisi sebagai wakilnya. Ada beberapa kelompok yang dibentuk Hans. Kelompok Irwan adalah sebagai negosiator. Berarti aku dan Irwan juga beberapa anak buahnya akan bertemu dan bertatap muka langsung dengan si penculik. Suatu tugas yang sangat berbahaya tapi bagiku sangat menantang. Hari itu juga, Irwan mengadakan rapat dengan beberapa anak buahnya yang terpercaya. Aku ikut menyimak rapat itu. Rapat berjalan lancar dan hanya satu jam rapat selesai.

“Aku mau pulang ... Istirahat ...” Kataku sambil berlalu begitu saja meninggalkan kantor Irwan.

Tak lama, aku masuk ke dalam mobil lalu melajukannya pelan. Kulirik jam di dashboard mobil menunjukkan pukul 17.30 sore. Waktunya bermacet-macet dan aku sudah siap menjalaninya. Benar saja, jalanan begitu padat, kendaraan berturut-turut bergerak perlahan, harus bersabar. Satu demi satu melintas karena kondisi jalan yang padat. Dengan kesabaran ekstra tinggi, akhirnya aku sampai di rumah sekitar pukul 20.00 malam. Rencanaku malam ini adalah segera mandi lalu istirahat.

Mataku menyipit ketika mobilku masuk ke halaman rumah dan melihat seseorang yang sangat familiar sedang duduk di teras. Seorang pria bertato tersenyum padaku. Pria itu berdiri seakan menyambut kedatangan diriku. Aku keluar dari mobil dan menatap heran pria itu.

“Kang Burhan ...” Sapaku sambil membalas senyumnya. Tak ada kabar berita, ujug-ujug Burhan sudah berada di rumahku. Pasti, pria itu bisa sampai ke rumahku karena aku pernah memberinya kartu nama.

“Aku bisa menemukan rumahmu juga ... Gak sulit ternyata alamat rumah ini ...” Ujarnya dengan senyuman yang lebar.

“Kenapa gak telpon dulu ...?” Tanyaku sembari membawa Burhan masuk ke dalam rumah.

“Surprise saja ... Ha ha ha ...” Burhan tertawa terbahak-bahak. “Lagian, aku ke Jakarta memang ada keperluan.” Lanjutnya sambil mengikuti langkahku menuju dapur.

“Bisniskah?” Tanyaku ingin tahu kepentingan apa yang membawa Burhan ke kota metropolitan ini.

“Ada seseorang yang menyuruhku membuat racikan sabu ...” Jawabnya yang sukses membuat aku terperangah.

“Hhhhmm ... Kang Burhan bisa meracik sabu rupanya ...” Kataku ingin yakin.

“Dulu ... Saat aku bergabung dengan Hans ... Aku belajar banyak tentang sabu dan opium ... Sampai aku bisa meraciknya ...” Ungkap Burhan sambil duduk di kursi meja makan.

“Aku buat kopi dulu ...” Kataku lagi dan segera membuat kopi buat kami berdua.

“Rumahmu, enak juga ya ... Nyaman sekali ...” Ucap Burhan sambil menyalakan rokok yang tengah di pegangnya tersebut.

“Lumayan lah ... Cukup untuk tempat berteduh dan istirahat ...” Responku merendah sembari meletakkan dua gelas kopi di meja makan. “Ngomong-ngomong ... Siapa yang menyuruh akang untuk meracik sabu?” Tanyaku lagi yang benar-benar penasaran dengan sosok pria di depanku ini.

“Pimpinan dari kelompok utara ... Saingan dan seteru abadi Hans ... Dia punya formula sabu milik Krosigk ... Aku disuruh membuat sabu dari formula itu ...” Jawab Burhan dan lagi-lagi aku harus terhenyak.

“Kelompok utara??? Punya formula Krosigk??? Ah, gak mungkin ...” Kataku lirih dengan menggelengkan kepala.

“Entahlah ... Aku juga sama sepertimu ... Gak percaya ... Tapi, aku penasaran, apakah mereka benar-benar memilikinya ...” Ungkap Burhan lalu menyeruput kopi buatanku.

“Aku pernah dengar dari Irwan kalau formula Krosigk banyak diburu para mafia seluruh dunia ...” Kataku.

“Memang ... Siapa saja yang memiliki formula tersebut, pasti akan kaya mendadak ... Karena sabu hasil karya Krosigk dibuat dengan biaya murah tapi kualitas nomor satu ... Laku keras di pasaran dengan harga sangat mahal ...” Aku mendengar lagi kalimat itu untuk yang ketiga kalinya.

“Kapan akang akan ke tempat kelompok utara?” Tanyaku.

“Besok malam ... Aku janji ketemuan dengan mereka ...” Jawab Burhan.

Kami pun lanjut ngobrol sampai berjam-jam. Dari obrolan itu, aku sangat yakin kalau Burhan memiliki kemampuan meracik berbagai jenis narkotika. Burhan ditempa oleh pengalaman dan tantangan dari waktu ke waktu hingga menjadi matang dan berkelas di bidangnya. Sampai akhirnya kami menyudahi obrolan dan beristirahat. Burhan aku suruh tidur di kamar yang memang dikhususkan untuk tamu.

Aku memasuki kamarku sendiri kemudian membuka laci meja kerja. Setumpuk kertas aku keluarkan dari dalamnya. Aku hanya bisa menatap isi kertas hasil print-out dari flashdisk milik Krosigk yang kutemukan di Bali beberapa hari yang lalu, tanpa mengerti sedikit pun apa yang tertera di sana. Ada terlalu banyak rumus kimia yang sulit untuk diingat dan dimengerti. Namun aku sangat yakin, inilah formula narkotika yang sedang diperebutkan oleh mafia-mafia sedunia. Aku masukkan lagi tumpukan kertas itu ke dalam laci. Segera saja aku rebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tak terasa mataku mulai terpejam. Terpejam bukan untuk melamun, tapi terpejam untuk tidur yang lelap.

Bersambung
Biar ga kejauhan nyari bagi yg belum baca.

Sekarang waktunya komex:
Keren nyaris tak terpikirkan. Harus benar benar dibayangkan bulak balik sama cerita sebelum sebelumnya.

Bakal seru nih apalagi kalau semua adik dan emak berebut kontol. Dimana para emak sebelumnya punya konflik.

Dan Denta pun punya rencana sendiri utk menyingkirkan Hans.
Walaupun konfliknya belum memuncak tapi setiap update bikin penasaran dengan konflik yg baru.

Keren gan otaknya...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd