Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 6



Denta Pov

Aroma udara pagi begitu menyengat dan terasa begitu tenang. Hembusan-hembusan udara dingin bercampur dengan cahaya hangat sang matahari. Burung-burung penyambut pagi melantunkan syair yang begitu merdu. Syair yang seakan-akan terdengar seperti nyanyian keberuntungan. Berharap hari ini akan lebih baik dari hari kemarin. Seberkas cahaya matahari mulai menerobos masuk ke dalam ruang-ruang di setiap rumah. Mencoba menyentuh sang pemilik untuk segera menyapanya balik.

Aku menggeliat tak nyaman di balik selimut. Menggerakkan tangan kanan untuk melindungi mata dari cahaya matahari yang terlalu terang bagiku. Mataku perlahan-lahan terbuka, mencoba membiasakan diri dengan cahaya di sekitar. Perlahan-lahan aku memberikan sedikit tenaga pada engsel-engsel tubuh untuk bergerak bangkit. Mataku menyipit mencoba memperhatikan jam di sebelahku dengan seksama. Aku menghela napas lelah saat melihat jam itu menunjukkan pukul tujuh pagi. Kakiku mencoba melangkah keluar kamar menuju pancuran di belakang rumah untuk membersihkan diri.

Aku melewati nenek yang sedang memasak di tungku. Terlihat nenek geleng-geleng kepala melihat aku yang bangun kesiangan, tapi aku tak menanggapinya dan langsung saja menuju pancuran dan melaksanakan niatku semula. Setelah merasa bersih dan harum, aku pun kembali ke dalam kamar lalu berpakaian dan berdandan. Sekali lagi aku melihat penampilanku di depan cermin, kemudian keluar kamar dan menghampiri kakekku di ruang depan.

“Kamu kapan mau mendaftar jadi polisi?” Kakek bertanya dengan nada sangat serius sesaat aku duduk di depannya. Mata kakek mencorong penuh kekuatan, tajam menusuk seperti hendak menembus dada orang lain untuk menjenguk isi hatinya.

“Em ... Hari minggu aku pulang, kek ...” Jawabku yang tidak boleh main-main jika kakek sudah bersikap demikian. Jawabanku harus tegas dan terukur.

“Bagus ... Persiapkan dirimu sebaik-baiknya ... Supaya tidak gagal tes ...” Respon kakek terdengar senang dengan keputusanku.

“Siap, kek ... Aku pasti akan mempersiapkan diri ...” Kataku sambil tersenyum. Aku ambil sebuah cangkir seng lawas yang berisi teh tubruk. Seruput pertama teh tubruk aku nikmati, rasanya panas sekali, ingin aku mencoba lagi, sayang mulutku tak tahan oleh panasnya teh ini.

“Oh iya ... Hari ini kakek panen cengkeh ... Bawa cengkeh kakek ke kota kabupaten ... Tolong jual ke toko ABC, bilang saja cengkeh punya kakek ... Mereka pasti menerimanya ...” Kata Kakek sambil menunjuk dua buah karung besar yang sudah berada di teras rumah.

“Berapa harganya?” Tanyaku yang kurang mengerti tentang harga cengkeh.

“Si penjual sudah tahu ... Kamu tinggal bilang saja kalau cengkeh ini punya kakek ...” Jawab kakek sangat ringan. Kalau sudah begitu jangan pernah aku bertanya dengan pertanyaan yang sama lagi.

“Baiklah ...” Jawabku.

Aku sedikit ngobrol sejenak dengan kakek sebelum keluar rumah dan membawa dua karung cengkeh ke dalam mobilku. Ritual memanaskan mesin mobil sudah menjadi kebiasaanku. Setelahnya, aku pun meluncur ke kota kabupaten untuk menjual hasil panen kakek. Aku memacu mobilku ke arah kota kabupaten, aku setel musik keras agar tidak bosan selama perjalanan. Sekitar sejam perjalanan akhirnya aku sampai di depan toko yang ditunjuk kakek. Aku pun melakukan transaksi tanpa harus adu tawar terlebih dahulu dan setelah itu rasanya aku harus mengisi perutku yang sudah minta diisi.

Di seberang jalan toko ABC terlihat sebuah restoran yang cukup ramai pengunjung. Biasanya kalau sebuah restoran yang banyak pengunjungnya dapat dipastikan makanannya enak. Aku menyeberang dan masuk ke dalam restoran. Mataku langsung menemukan meja kosong agak diujung gedung restoran. Aku pun akhirnya mengisi meja itu.

“Mau pesan apa kang?” Baru saja aku duduk langsung seorang pelayan wanita sudah menyodorkan daftar menu kepadaku.

“Hhhhmm ... Saya pesan menu andalan di sini ...” Kataku sambil mengembalikan daftar menu yang sama sekali tidak aku baca. Aku ingin si pelayan memberikan makanan unggulan di restoran ini.

“Oh ... I..iya ... Tunggu sebentar ...” Jawab sang pelayan terdengar gugup sampai-sampai aku menoleh ke arahnya yang masih tetap berdiri di tempatnya.

“Ada masalah, teh?” Tanyaku heran sebab si pelayan seperti mematung. Dia seperti sedang menyelidik dan mencari sesuatu.

“Oh ... I..ya ...” Katanya lalu pergi meninggalkan meja. Aku tentu saja merasa heran melihat tingkah pelayan itu. Dia seperti terkejut melihatku.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. Tak menyangka, sepagi ini restoran sudah dipadati pembeli. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada suatu pemandangan yang tak kusangka-sangka. Seorang wanita yang memakai blouse berwarna pink dengan rambut lurus sebahu terlihat menyamping dariku. Wanita yang kulihat adalah Tari. Ia memandang arah keluar jendela, seperti sedang menunggu seseorang.

“Ini makanan pembukanya, kang ...” Tiba-tiba si pelayan datang lalu menyodorkan makanan dan minuman di mejaku. Tentu saja aku heran yang kedua kalinya. Makanan yang ia sodorkan adalah makanan pembuka. “Untuk menu andalannya baru ada satu orang ... Itu yang pakai pakaian warna pink, namanya Tari, dia janda satu anak ... Akang terlalu pagi datangnya ...” Ungkap si pelayan. Aku terperanjat hebat saat mendengar penuturan si pelayan. Tapi, aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku dengan memberinya senyum.

“Aku ambil menu utamanya ...” Kataku dengan perasaan yang sangat penasaran.

“Baiklah ... Tunggu sebentar ...” Ucap si pelayan sambil berlalu.

Aku mulai memakan hidangan itu dengan hati-hati, elegan adalah prioritas utamaku. Tak lama, aku melihat sang pelayan berbincang-bincang dengan Tari dan sesaat setelahnya Tari pun menengok ke arahku. Mata Tari membulat sejenak dan sejurus kemudian ia pun tersenyum lalu aku senyumannya sambil mengangkat gelas. Tari berjalan menghampiriku dan duduk di kursi depan meja berhadapan denganku.

“Gak nyangka kalau kamu yang memesanku.” Ucapnya dengan senyum paling manis yang mungkin ia punya. Rasanya kadar adrenalinku meningkat pada saat itu.

“Pantesan rame restoran ini ... Hidangan andalannya seorang wanita cantik ...” Aku coba memujinya agar suasana langsung mencair.

“Hi hi hi ... Sekarang tahu deh pekerjaanku ...” Ucapnya genit tanpa rasa sungkan sedikit pun. Namun dengan begitu aku semakin ingin ‘mencicipi’ hidangan andalan ini.

Kami pun ngobrol sambil menyantap makanan yang aku pesan. Tari pun makan bersama setelah aku pesan makanan untuknya. Dari obrolan ini, baru aku mengetahui kalau aku telah mengatakan ‘password’ untuk memesan wanita yang mangkal di restoran ini. Tidak banyak yang mengetahui ‘password’ tersebut hanya kalangan tertentu yang telah dikoordinir oleh pemilik restoran. Sementara aku mengatakannya secara tak sengaja.

“Sudah berapa lama kamu melakukan ini?” Tanyaku dengan mengganti sebutan karena Tari tidak mau disebut ‘tante’ olehku.

“Udah lama sih ... Hampir lima tahunan ...” Ucapnya seraya meletakan sendok dan garpu secara tertutup pertanda makanannya telah habis.

“Lama juga ya ...” Kataku dengan mengangguk-anggukan kepala.

“Ya ... Ini juga terpaksa ... Karena susah cari kerjaan ... Apalagi aku yang lulusan SMP ...” Katanya setengah mengeluh. “Apa kamu masih mau di sini?” Tiba-tiba Tari bertanya sambil memandangku penuh arti.

“Oh tentu tidak ... Aku ingin segera memakan hidangan andalanku ...” Kataku sambil bangkit dari kursi.

Aku pun membayar makanan yang tadi kusantap ke kasir. Setelah beres aku menghampiri Tari untuk melanjutkan acaraku dengannya. Seperti yang sudah-sudah, aku sangat bersemangat jika bersama dengan mantan istri ayah. Ada sensasi tersendiri bila bisa ‘menggaulinya’. Tanpa banyak berpikir, aku bawa Tari ke sebuah hotel yang tak jauh dari lokasi restoran. Hanya beberapa menit saja aku sudah sampai di hotel bintang dua yang kamarnya lumayan bersih.

“Berapa tarifmu sekali kencan?” Bisikku sambil merangkul pinggangnya sementara tangan Tari sudah melingkari leherku. Kurasakan payudaranya yang besar menempel erat di dadaku.

“Hhhhmm ... Aku minta bayaran seperti bayaranmu pada Reni ...” Lirihnya mesra sekali.

“He he he ... Aku lipatkan jadi dua ... Asal kamu memberikan service terbaikmu ...” Kataku sedikit menantangnya.

“Wow ... Baiklah ... Aku jamin, kamu akan ketagihan ...” Tari mendesah sangat seksi sambil semakin merapatkan tubuhnya.

Segera kukecup bibirnya dengan sangat cepat dan bergairah ia membalasnya dan memaksaku untuk mendekapnya erat. Lagi-lagi aku merasakan payudaranya yang kenyal menekan dadaku. Awalnya hanya kecupan-kecupan ringan, sampai akhirnya ketika lidah kami mulai saling melilit ciuman itu berubah menjadi ciuman penuh nafsu yang ganas. Sambil berpelukan dan berciuman, tangan kananku bergantian meremas dada kiri dan kanan Tari dari balik blousenya dengan intens. Dengan sukarela ia membiarkan tanganku merajalela merasakan kekenyalan payudaranya yang menimbulkan rasa sensasi luar biasa dalam diriku. Arus birahi kami mulai saling mengalir, meluluhkan rasa malu yang ada dalam nurani. Dan akhirnya, pakaian kami terlucuti dan gelora nafsu kami pun semakin membara.

Kami jatuh berpelukan di atas ranjang hotel, sambil terus berciuman. Kulit tubuh telanjang kami saling bergesekan, menambah sensasi yang seakan baru sama sekali. Tubuh Tari begitu hangat bersentuhan dengan tubuhku. Kami bergulingan di atas ranjang tersebut. Kaki wanita itu yang panjang memeluk pinggangku, serta tangannya memelukku dengan kuat, seakan ingin membenamkan tubuhnya ke dalam tubuhku. Aku pun membalasnya, kupegang kepalanya sambil sesekali kubelai, dan kujilati lehernya yang jenjang. Ia mendengus keras seakan belum pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.

Aku terus menjilat turun ke bawah, dan ketika wajahku berpapasan dengan payudara indahnya, aku memandang sebentar ke arah matanya, ia hanya melirik sayu ke arahku, dadanya naik turun mengatur nafas, tiada kata-kata yang terlontar dari mulut kami. Hingga secara sangat mendadak kulumat puting kanannya dengan cepat, kuhisap sambil kumainkan lidahku pada permukaannya. Sontak tubuhnya menegang, dadanya dibusungkan seolah ingin memberikan lebih kepadaku. Jemari kiriku bermain dengan sangat lincah di atas puting kirinya, ia memeluk kepalaku, dan aku berhenti. Kembali kutatap matanya, ia tersenyum nakal, kugeser wajahku dari payudara kanannya, perlahan sekali, kusentuhkan daguku sedikit pada permukaan kulit dadanya, kucium lembut belahan dadanya, perlahan sekali, dan wajahku berhenti pada payudara kirinya. Kujulurkan lidahku menyentuh puting kirinya, perlahan sekali, bahkan seperti hampir tidak menyentuh. Tubuhnya terkejut-kejut menerima perlakuanku. Kupandang kembali matanya sambil kujilat sebentar-sebentar putingnya. Semakin lebar senyumnya. Dan semakin keras kejutan pada tubuhnya. Kukulum puting itu sebentar dan segera kulepaskan kembali sambil kuhisap cepat.

"Aaaahhh!" Tari menjerit kecil. Pinggulnya bergerak-gerak naik turun di bawah sana seakan ingin mendesakkan tubuhnya ke arah tubuhku. Aku tersenyum kecil, dan kusentuhkan batang kejantananku pada lipatan pahanya, dan kugeser perlahan sekali. Langsung kakinya memeluk pinggangku kembali dan pinggulnya bergerak-gerak mencari kejantananku untuk segera disentuhkan pada kewanitaannya. Aku menghindar, dan ketika ia sibuk mencari-cari, kembali kudaratkan mulutku pada putingnya dengan cepat, dan langsung menjilat di dalam dengan gerakan memutar dan menekan-nekan.

"Aaaaahhh ...! Aaah ... Ooow ...!" Jeritnya sambil berusaha untuk melepaskan kulumanku. Tampaknya ia sangat kegelian, dan ketika kulepaskan, kembali ia membusungkan dadanya memintaku untuk mengulanginya, dan memang kuulangi lagi, kembali ia berusaha melepaskan kulumanku, begitu seterusnya.

"Aaah! Gila kamu! Diapain sih? Aaah!" Tari menjerit-jerit keenakan.

Aku terus melakukan kegiatanku, sambil kubelai-belai rambutnya, wajahnya berpaling ke kiri dan kanan, mencari-cari jemariku. Setelah kusodorkan jemari tangan kananku, segera ia melumatnya, dan dikulumnya dengan hisapan yang sangat kuat. Kehangatan dalam mulutnya sangat merangsangku, kulirik ke atas, kulihat ia sedang melakukan blowjob dengan jari tengahku. Tangannya sibuk mencari pantatku, dan ketika ia berhasil

meraihnya, langsung ditekannya ke arah pinggulnya.

"Ssshh ... Sebentar sayang ... Sebentaar ..." Sahutku.

Tari berhenti sambil berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, tidak terasa nafasku pun sudah mendengus-dengus menahan birahi. Dengan tergesa kuselipkan tanganku di antara tubuh kami, terus ke selangkanganku, memegang kejantananku, dan mendesakkannya ke dalam kewanitaannya. Ia membantunya dengan menopangkan tangannya pada pundakku, dan mengangkat tubuhnya sedikit sehingga aku bisa melesakkan kejantananku dengan lebih mudah. Kutekan kejantananku melesak ke dalam kewanitaannya, ketika bagian kepala kejantananku mulai terjepit kuat oleh kewanitaannya, perlahan kudorong pinggulku untuk semakin mengamblaskannya. Dan ketika kejantananku amblas semua, ia mendesah lirih panjang dengan mulut setengah terbuka, wajahnya berpaling ke samping, dengan matanya menatap kosong ke depan.

"Memekmu ketat sekali ...!" Kataku sambil tersenyum menyadari jepitan dirinya padaku yang begitu kuat.

"Ini bisa membuat kamu ketagihan ..." Jawabnya dengan nada seperti orang yang sedang menahan sesuatu. Sekali lagi kutekan kejantananku ke dalam tubuhnya, hingga kurasakan gelombang tenaga aneh yang menyebar dari antara kedua kemaluan kami ke dalam tubuhku.

"Enak ya?" Katanya lagi setengah berbisik. Aku hanya menganggukkan kepala sambil memejamkan mataku, berusaha untuk tidak melewati sensasi nikmat ini.

Setelah tenang, kutatap matanya dalam, ia membalasnya dengan senyum terindahnya, senyum lugu seorang wanita yang merasa bahagia. Kukecup dahinya, turun ke hidungnya, kami adukan hidung kami berdua, dan kudaratkan bibirku di atas bibirnya. Bibir kami tidak terbuka dan hanya saling bersentuhan, kugesekkan permukaan bibirku pada bibirnya, ia membalasnya, sementara kedutan demi kedutan semakin gencar di bawah sana.

Dan akhirnya perlahan, kutarik kejantananku keluar sedikit dengan gerakan yang sangat perlahan. Menyalurkan perasaan nikmat di setiap gesekan dua kelamin yang kami ciptakan. Responnya luar biasa! Wajah Tari mendongak ke atas, mulutnya setengah terbuka, matanya setengah menutup. Kembali kudorong dengan sangat perlahan kejantananku ke dalam kewanitaannya. Terasa sangat licin, lembab, halus, hangat, dan sangat lembut menggesek permukaan kulit kejantananku. Ketika kutarik kembali, terasa bibir-bibir kemaluannya agak terbetot keluar, karena ia sedang berusaha untuk mencengkram kejantananku. Pegangan tangannya pada punggungku terasa sangat keras.

Aku mulai memompa dengan pelan. Nikmat sekali, memek Tari begitu menjepit. Kurasakan nikmat luar biasa ketika penisku terasa seperti diurut oleh denyutan dinding kemaluan wanita ini. Penisku timbul tenggelam dibekap lubang memeknya yang menjepit dan hangat. Liang senggamanya memang luar biasa nikmatnya. Kelamin kami terus bergesekan, kami saling mencari kenikmatan masing-masing. Desahan dan erangan menjadi alunan lagu pembangkit gairah yang semakin membuat kami menggila.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Tari mendesah-desah ketika kejantananku menusuk-nusuk memeknya yang semakin basah. Tari tampak mengernyit sambil merintih saat benda besar di selangkanganku memompai belahan memeknya dengan gerakan yang teratur.

"Ooohh, saayyaangghh … Aahhhh ... Mmhhhh ..."

Tari semakin rajin mendesah saat memeknya terkubur oleh rasa nikmat. Sepertinya gairah Tari meledak dengan dahsyat, ia mengangkat-angkat memeknya ke atas menyambut sodokan-sodokan batang penisku, mulut Tari sampai tidak bisa tertutup karena terus mendesah saat batang penisku menggenjot-genjot memeknya. Lelehan keringat yang membanjiri tubuh kami berdua membuat persetubuhan ini semakin memanas, suara rintihan lirih disambung oleh suara rengekan-rengekan kecil Tari saat tubuhnya yang mulus terguncang hebat dihantam oleh batang penisku.

"Aaakkhhhhh … Saayyaangh ... Ja-jangan berhentii ahh …" Desah Tari kenikmatan.

Tubuh Tari bergetar-getar di bawah tindihan tubuhku, telapak tanganku membelai pipi wanita itu. Berkali-kali bibirku mencium dan menghisap bibir mungil Tari yang merintih menahan denyut-denyut kenikmatan. Nafas Tari terengah seperti orang yang habis berlari, denyutan kuat itu perlahan-lahan melemah meninggalkan jejak-jejak kenikmatan. Tari mendesis keras saat aku menarik penisku hingga terlepas dari jepitan liang memeknya. Tanpa membuang waktu aku membalikkan posisi tubuh Tari. Aku menarik pinggul Tari agar buah pantat wanita itu menungging.

"Aaaarrgghh….!" Tari menjerit saat tubuhnya tersungkur ke depan. Wanita ini memekik saat merasakan sodokan-sodokan susulan dari kejantanan milikku yang membuat tubuh Tari tersungkur ke depan. Batang penisku merayap masuk ke dalam belahan memeknya senti demi senti.

"Uuhhh ... Uunnhhhh …. Akhh ... Aakhhh ... Aakhhhhh ..."

Tubuh Tari terayun maju-mundur dengan kuat saat penisku terus menumbuki memeknya dari belakang. Aku begitu bersemangat memacu batang penisku, nafasku memburu keras di sela suara pekikan-pekikan dan rengekan wanita cantik ini. Setelah sekian lama penisku menggeseki belahan memek Tari, tubuh wanita itu akhirnya gemetar menahan sesuatu.

"Mhhh … Mhhh … Aaaahhh ..."

Aku tahu dengan pasti apa yang sedang dipertahankan oleh Tari. Aku menghentak-hentakkan batang penisku dengan lebih liar, dihentakkan dan disodokkan dengan sekuat tenaga merojoki liang memek Tari. Wajah Tari memerah, tubuhnya semakin goyah dan rapuh saat rekahan memeknya ditumbuk berkali-kali oleh penisku yang besar dan panjang. Penisku bergerak begitu kasar dan liar,maju-mundur menghentaki memeknya.

"Nghhh …. Sa-saayyaannggh ….. Aaaahhhh ..." Tari mendesah, setengah menjerit ketika merasakan orgasme. Mulut Tari terbuka lebar ketika batang penisku meluluh lantakkan benteng pertahanannya. Kejantananku menggarap memek Tari hingga wanita itu mengalami beberapa kali kenikmatan orgasme. Telapak tanganku mengusapi punggung Tari yang basah oleh butiran keringat.

“Aaahh ... Kamu memang perkasa ...” Lirih Tari yang mulai kehabisan tenaga.

“Memekmu nikmat sekali ... Tari ...” Kataku sambil kedua tanganku meremas pantat Tari, batang penisku mengocok-ngocok belahan memek Tari yang memar kemerahan akibat disodok-sodok dengan kasar olehku.

"Uuhhh ... Saayyannggh …. Akhh ... Aakhhh ... Aakhhhhh ..." Tari terus merintih.

Rintihan Tari membuatku semakin liar mengayunkan batang penisku. Tari tampak kelelahan melayani nafsuku dengan penis besarku. Aku bercinta dengannya seakan tidak pernah puas, aku terus mereguk kenikmatan dari tubuh Tari yang sudah kelelahan. Tari mendesah saat batang penisku mengocoki pelan memeknya dan kembali memekik-mekik keras saat batang penisku menyentak dan menghentaki belahan memeknya dengan brutal.

"Ngh …. Tari kau sungguh menggairahkan ..." Kataku dengan kedua tangan memeluk erat tubuh Tari seakan sedang berusaha meremas tubuh mulusnya.

Tiba-tiba saja aku merasakan merinding dan darahku mendesir hebat. Aku merasakan semakin nikmatnya persetubuhan ini. Aku merasakan spermaku sudah teraduk dari kelenjarnya. Aku menghadapi klimaksku dengan hasrat nikmat yang sangat hebat. Nikmat ini harus kukejar dan selesaikan hingga puncak syahwatku itu tumbang. Dan akhirnya aku berteriak tertahan sambil mataku terbeliak menyisakan warna putihnya.

“Aaaaaakkhhh ...” Aku memekik kecil sembari menyemburkan cairan kenikmatanku.

"Aaaakkhh ....!" Tari menjerit ketika merasakan cairan hangat menyemprot dalam memeknya. Rupanya Tari bisa merasakan spermaku menyembur mengisi memeknya.

Tubuh Tari lemas seketika saat aku melepaskan dekapanku. Tari mendesah lemah kemudian terkulai di ranjang. Badannya yang basah oleh keringat tertelengkup. Aku pun berbaring di sampingnya sambil menikmati sisa-sisa klimaksku. Beberapa saat kemudian, aku bangkit dan turun dari atas tempat tidur. Kemudian menuju kamar mandi hendak membersihkan diri.​

----ooo----

Author Pov

Tari menggeliat kecil, lalu mengerjapkan matanya. Tari menggerutu pelan ketika selangkangannya terasa agak ngilu. Laki-laki itu memang liar di ranjang, Tari diam-diam harus mengakuinya. Tari sampai kehabisan nafas di buatnya, tapi entah kenapa rasanya nikmat sekali. Tari benci mengakuinya, tetapi memang rasanya sangat nikmat. Tari belum pernah merasakan perasaan senikmat ini selain dengan dia.

Akhirnya wanita itu bangkit. Telinganya mendengar gemercik air di kamar mandi, sementara matanya melihat dompet kulit yang agak keluar dari saku celana laki-laki itu. Dompet itu tampak tebal dan pasti isinya sangat banyak. Perlahan Tari menggapai celana yang tergeletak di lantai samping tempat tidur. Wanita itu lalu mengambil dompet kulit tersebut. Ia hanya ingin melihat isi dompet yang terlihat sangat tebal dan berniat akan mengambil ‘sedikit’ uang dari dalamnya.

DEUGH!!!

Matanya membulat sempurna dengan jantung yang berdebar-debar, ketika melihat sebuah foto di muka dompet. Foto yang terlihat masih baru itu menampakkan sosok orang tua yang sangat ia kenal. Bahkan berkali-kali Tari bergumam dalam hati menyebut nama orang tua tersebut. Tak lama kemudian, Tari mencari kartu identitas si pemilik dompet. Lagi-lagi ia harus terkejut saat mengetahui nama asli si pemilik dompet. Tari tertegun sejenak, menatap SIM milik Denta.

Hhhhmm ... Ternyata dia ... Baiklah ...” Gumam Tari dalam hati.

Sambil tersenyum sendiri, Tari mengembalikan SIM ke dalam dompet dan mengembalikan dompet kulit tersebut ke tempatnya semula. Ia pun mengambil bra dan celana dalamnya kemudian melekatkan kedua benda itu di tubuhnya. Wanita itu duduk di sisi ranjang menunggu Denta yang belum selesai mandi. Selang dua menit, pintu kamar mandi terbuka. Denta yang hanya bercelana dalam menghampiri Tari sambil tersenyum senang.​

----ooo----

Denta Pov

Tari duduk di sisi ranjang seolah sedang menunjukkan lekuk tubuhnya yang mengundang syahwatku. Aku berdiri di depannya, kusentuh lembut permukaan bra dan payudaranya yang lembut. Ia tersenyum manis sambil membalas perlakuanku dengan mengusap-usap penisku yang telah tertutup celana dalam. Kejantananku mulai bereaksi ketika tangannya menyusup ke bawah pahaku. Pelan tapi pasti kejantananku mulai membesar lagi sehingga terasa mengganjal.

“Kenapa harus buru-buru? Masih siang kok!” Ucap Tari sangat mesra dan genit. Kini tangannya malah meremas-remas kejantananku yang sudah tegak dan keras.

“He he he ... Aku hanya ingin membilas badan saja ... Biar lebih segar ...” Kilahku yang tadinya memang aku hendak menyelesaikan urusanku dengan Tari. Tetapi rasanya aku harus berpikir ulang dan kayaknya aku akan mengulanginya sekali lagi.

“Duduk dulu di sini sayang ... Ada yang ingin aku bicarakan ...” Kata Tari sembari menarik tanganku sehingga tubuhku terduduk di sisi ranjang di sampingnya.

“Ada apa?” Tanyaku sedikit heran bercampur penasaran.

“Tadi aku iseng membuka dompetmu ... Habisnya tebel banget ...” Katanya sambil senyum tersipu. Aku langsung menaikan alis pertanda kaget. “Pas dibuka ... Ada fotomu dan kakekmu ...” Tari seperti menahan ucapannya namun cukup membuatku terkejut untuk kesekian kalinya. Ya, aku terkejut karena identitasku rasanya telah terbongkar.

“Jadi ...” Aku tak mampu meneruskan ucapanku. Lidahku seperti kelu. Kerongkongku tersekat-sekat untuk menelan air liur. Tapi tiba-tiba saja otakku seperti mendapat lampu pijar.

“Kok kamu tau kalau itu kakekku?” Kulontarkan pertanyaan pengalihan yang bermaksud untuk membuat Tari menyangka kalau aku tidak mengetahui asal-usulnya.

“Aku tau kalau itu kakekmu, karena aku pernah menjadi menantunya.” Jawab wanita itu yang masih mempertahankan senyum di wajahnya. Seketika itu juga aku pura-pura terkejut. Aku buat mimik tak percaya.

“Oh ... Jadi ...?” Terus aku bersandiwara seolah aku baru tahu dengan situasi ini.

“Hi hi hi ... Aku ternyata diewe sama anak tiriku sendiri ... Tapi enak kok rasanya ...” Tari terkekeh dan melontarkan kata-kata vulgar yang membuatku ingin tertawa juga.

“Jadi kamu gak marah ...” Kataku pelan sedikit lega.

“Hi hi hi ... Gak ... Malah pengen nambah ...” Kata Tari sambil mendorong tubuhku hingga terlentang. “Aku akan memberi service terbaikku.” Lanjutnya dan kini ia melepas celana dalamku.

Tari melepas celana dalamnya sebelum menaiki tubuhku. Tari duduk di antara kedua pahaku, kemudian ia bergeser memajukan bokongnya, sehingga kini penisku tepat berhadap-hadapan dengan memeknya. Tari lalu menggenggam penisku kemudian digesekkannya di sepanjang celah memeknya. Saat kedua kelamin kami bersentuhan dapat kurasakan bahwa Tari benar-benar telah terangsang, dan lubang memeknya pun telah merekah dan menganga. Meskipun demikian Tari masih terus menggesekkan penisku di sepanjang celah organ nikmatnya, terkadang kepala penisku ini disentuhkan ke klitorisnya yang membuat Tari pun mendesah saat kepala penisku bertemu dengan ujung klitorisnya.

Tak lama, Tari perlahan menegakkan penisku hingga sejajar dengan posisi lubang pembukaan liang senggamanya. Lalu Tari berusaha menuntun kepala penisku hingga tepat di mulut lubang memeknya, dan setelah dirasakan posisinya tepat perlahan Tari pun mulai menurunkan pantatnya. Perlahan tapi pasti Tari pun berhasil menduduki penisku, dan dapat kulihat memeknya sedikit demi sedikit mulai menelan penisku yang tegang maksimal ini. Kurasakan rasa hangat dan menjepit yang menyelimuti seluruh penisku seperti terjepit sesuatu yang lembut, namun basah, serta berdenyut-denyut, rasa ini mendorongku untuk berusaha agar penisku tidak terlepas dari lubang peranakannya.

“Kamu akan kubuat tak akan melupakan ini, Denta ...” Ucap Tari dengan angkuh sambil menyeringai seperti hendak menerkam. Aku tersenyum menanggapinya.

Aku pun harus mengakui kalau kali ini memek Tari mencengkram lebih kuat dari yang tadi. Aku yang memang sangat terobsesi dengan buah dada yang besar, tanganku sudah berada di payudaranya langsung meremas dada kenyal tersebut. Nafsu benar-benar sudah menguasai otakku. Kata-kata kotor yang Tari bisikan membuatku semakin bernafsu. Tari mengocok penisku begitu liar, semua rangsangan yang ia berikan mampu mencapai titik puncak kenikmatan dalam tempo yang tidak terlalu lama. Sampai pada akhirnya, aku melumat bibirnya dan kami pun melanjutkan hubungan intim ini untuk ronde yang ketiga.

Entah ilmu apa yang ia keluarkan hingga aku merasa sangat puas bersenggama dengan Tari. Badanku sangat lemas. Kami kelelahan. Aku terlentang dan ia meletakkan kepalanya di dadaku. Kucium rambutnya yang harum sampo jeruk. Benar apa yang tadi ia ucapkan, kalau diriku kini memang tak akan mudah melupakan kenikmatan yang Tari berikan.

“Kamu lelah?” Tanya Tari sambil mengangkat kepalanya. Wanita itu memandangku dengan tatapan teduhnya.

“He he he ... Siapa pun akan merasa kelelahan Jika main tiga ronde tanpa istirahat ...” Jawabku.

“Hi hi hi ... Tapi kamu menikmatinya kan?” Kata Tari sambil cekikikan.

“Tentu saja ... Rasanya aku akan ketagihan dengan permainanmu ...” Kataku sambil mengelus kepala Tari yang berbaring di dadaku.

“Kalau begitu ... Kamu akan sering-sering mengunjungiku ... Hi hi hi ...” Ucap Tari yang diakhiri cekikikannya senang.

“Kalau perlu setiap malam ...” Candaku.

“Denta ...” Tiba-tiba Tari menghadapkan lagi wajahnya dan kali ini mimik mukanya begitu serius.

“Ada apa?” Tanyaku sedikit terkejut.

“Apakah kamu selalu mengaku Iwan pada semua wanita yang kamu tiduri?” Pertanyaan Tari itu membuatku kaget sesaat.

“Kenapa kamu bertanya begitu?” Tanyaku dengan perasaan yang mulai tidak enak.

“Jawab saja ...!” Pintanya semakin serius.

“Em ...” Aku hanya bergumam dan enggan menjawab pertanyaan Tari.

“Apakah kamu pernah main dengan wanita Gang Buntu?” Tanya Tari lagi yang membuatku terhenyak. “Dan kamu mengaku Iwan padanya?” Lanjutnya yang sukses membuat firasatku memburuk. Ada ganjal hati yang mengekang dadaku. Hatiku berkecamuk tak karuan.

“Kok ... Ka..kamu ...?” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku, hanya mata yang ingin bicara. Aku menatapnya sangat dalam.

“Aku melihat fotomu dengan wanita Gang Buntu itu dari handphone-nya ... Aku sangat dekat dengan wanita Gang Buntumu itu ... Kami sudah seperti saudara dan selalu saling curhat tentang apa saja ... Wanita Gang Buntumu itu sekarang sedang kasmaran ... Dan orang itu adalah kamu ... Hi hi hi ...” Jelas Tika yang diakhiri dengan tawanya seakan ada hal yang membuatnya lucu.

“Mak-maksud kamu ... Tika ...” Kataku pelan dengan hati yang tak karuan.

“Iya ... Dia orangnya ...” Jawab Tari sembari bergerak menindihku. Memek panasnya tepat berada di atas penisku yang setengah layu. “Kamu ingin tau, siapa dia?” Goda Tari sembari menggesek-gesekkan belahan memeknya pada penisku.

“Iya ... Emangnya siapa dia?” Tanyaku yang sangat penasaran.

“Tapi janji ... Jangan terkejut ya ... Atur nafas dulu ... Biar agak rileks ...” Tari sepertinya sedang menggodaku. Boro-boro aku bisa rileks karena perasaan penasaranku kini membuncah.

“Sebutkan saja ... Emangnya Tika itu siapa?” Tanyaku agak meninggikan tensi suara. Tari pun mendekatkan mulutnya ke telingaku.

“Dia ... Ibumu ...” Bisiknya yang sontak jantungku seperti berhenti berdetak. Aku rasakan darahku seakan naik ke kepalaku dengan kecepatan tinggi. Aku rasakan benar-benar akan pingsan dan mati seketika. “Denta ... Hei ...!” Terasa tangan Tari menepuk-nepuk pipiku.

“I..iya ...” Kataku dengan mata berkunang-kunang. Aku benar-benar tidak menyangka Tari akan mengatakan itu semua. Sungguh, jika bisa aku ingin memutar waktu untuk menghapus semua pertemuanku dengan wanita yang bernama Tika.

“Hei ...! Sudahlah jangan disesali ... Lebih baik kamu nikmati saja tubuh ibumu ... Dia memang wanita yang sangat menggairahkan ... Hi hi hi ...” Ucap Tari tanpa beban membuatku menatapnya tajam. “Percayalah padaku ... Ibumu tak akan apa-apa kalau mengetahui anaknya telah menidurinya ...” Lanjut Tari dengan nada serius lalu mengecup bibirku sekilas.

“Kenapa bisa seyakin itu?” Tanyaku heran.

“Karena dia sudah punya felling kalau kamu adalah anaknya ... Felling ibu itu kuat loh ... Hi hi hi ...” Ucapan Tari sangat membuatku semakin terkejut. Namun setelahnya aku agak merasa lega.

“Kalau dia sudah punya felling seperti itu ... Kenapa membiarkan dirinya aku gagahi?” Tanyaku berlanjut.

“Karena dia ingin membahagiakanmu ... Dia ingin menebus kesalahannya dengan membuatmu bahagia ... Makanya, dari sekarang sayangi ibumu ...” Terang Tari lalu kembali ia mendekatkan mulutnya ke telingaku. “Bahkan dia ingin melakukannya lagi sama kamu ... Kalau bisa setiap hari ...” Bisiknya dan kini bibirku bisa tersenyum.

Aku pun berpikir, bagaimana pengorbanan ibu saking inginnya berbaikan denganku. Rasanya aku harus menghargai pengorbanannya dan akan aku buang rasa benciku. Ya, lebih baik aku berbaikan dengannya dan bercinta setiap saat. Lagi pula, tidak baik menyimpan rasa dendam terus menerus, perasaan mendendam membuatku malah tidak tenang. Dan benar kata Tari, kalau aku harus menyayangi ibuku dengan caraku sendiri.

“Baiklah ... Bisakah kamu mempertemukan aku dengan ibumu?” Pintaku pada Tari.

“Gampang ... Tinggal telepon ... Pasti dia datang untukmu ...” Jawab Tari sambil tersenyum dan membelai-belai wajahku.

“Kalau begitu ... Sekarang sekarang telepon ...” Pintaku agak memaksa.

“Hi hi hi ... Jangan dong sayang ... Bagaimana kalau ketemuan di rumahku saja ...?” Ungkap Tari sambil mencubit hidungku.

“Ok ... Siap ...” Jawabku.

Setelah membersihkan diri dan berdandan rapi, kami segera turun, keluar dari hotel dan menuju ke rumah Tari. Sepanjang perjalanan Tari menceritakan kedekatannya dengan Tika yang bernama asli Atikah. Kedekatan mereka sudah seperti kakak dan adik yang saling menyayangi satu sama lain, saling bantu dalam kesusahan dan berbagi dalam sukacita, karena merasa senasib sepenanggungan.

“Kami semua seperti ini, gara-gara ayahmu yang menjual kami ke mucikari di Gang Buntu.” Keluh Tari saat aku tanya kenapa harus terjun ke profesi seperti yang ia lakukan saat ini.

“Memang biadab si Budi ... Dia memang anjink ...!” Kataku sangat geram dengan kelakuan ayahku.

“Ayahmu itu kecanduan judi ... Kalau kalah banyak, dia gak segan-segan menjual istrinya ke Gang Buntu.” Lanjut Tari walau tersenyum namun terlihat getir. “Aku yakin, sebentar lagi istrinya yang sekarang menjadi penghuni Gang Buntu ...” Lanjut Tari.

“Apakah si Budi selalu begitu kepada setiap istrinya?” Tanyaku.

“Iya ... Pertama ibumu yang akhirnya tidak bisa lepas dari Gang Buntu ... Kedua Dewi yang juga dijual ayahmu tapi dia agak beruntung karena ada orang kaya yang mau menikahinya ... Ketiga aku, walau bisa keluar dari Gang Buntu, tapi aku tetap menjalankan profesi ini tapi terselubung ...” Papar Tari lagi.

“Aku jadi benar-benar ingin melenyapkan si Budi anjink ...” Kataku sangat marah seperti bom yang siap meledak.

“Hi hi hi ... Kamu sama seperti ibumu ... Kalian akan menjadi pasangan yang serasi ...” Tari mulai mencandaiku lagi dan aku tersenyum sambil merangkul bahunya.

“Bagaimana kalau kalian berdua kujadikan selir-selirku?” Kataku setengah serius kali ini.

“Hi hi hi ... Mau aja sih ... Tapi aku ingin istananya ...” Terdengar seperti bercanda namun sarat dengan keinginan yang nyata.

“Aku akan buatkan untukmu dan Tika ... Ha ha ha ...” Aku tertawa senang tak menyangka begitu indah hidupku karena mempunyai ‘selir’ seperti raja saja.

Tak terasa aku pun sampai di rumah Tari. Kami masuk ke dalam rumah yang memang kosong. Kami duduk berpangkuan di sofa ruang tamu dan Tari mulai menghubungi Tika. Aku dengar percakapan mereka dan Tari rupanya langsung memberitahukan identitasku yang sebenarnya pada Tika. Tari pun tersenyum sambil mencubit hidungku dan mengatakan kalau Tika akan segera datang.

“Dia tidak ingin dipanggil ibu dan tidak ingin ia kamu anggap sebagai ibu ... Tika akan menganggapmu sebagai Iwan ... Hi hi hi ...” Genit Tari sembari menempelkan payudara besarnya ke pipi sebelah kiriku. Tangan kanan wanita seksi ini melingkar ke belakang leherku.

“He he he ... Emang aku juga ingin seperti itu ... Punya dua wanita cantik yang rela aku tiduri ... Ini sungguh luar biasa ...” Kataku lalu mencium susu Tari yang terus menempel di pipiku.

“Hi hi hi ... Kamu harus sanggup loh ... Ngasih nafkah lahir dan batin kami ...” Canda Tari yang semakin erat memeluk kepalaku.

“Tenang saja ... Aku pasti bisa ... Kalian akan bahagia bersamaku ...” Kataku penuh keyakinan sedikit menyombongkan diri.

Kami berbincang-bincang dengan gerakan badan saling menggoda. Perbincangan terkadang diselingi ciuman panas dan gerayangan tangan ke tubuh-tubuh kami yang sensitif. Jika saja aku tidak menunggu Tika, sangat dipastikan aku telah ‘menghajarnya’ lagi. Entahlah, hari ini hasratku terus menggebu-gebu. Ada sesuatu yang kuat mendorongku untuk melakukannya lagi dan lagi. Mungkin juga disebabkan tingkah Tari yang selalu menggoda hasrat kelelakianku.

Beberapa saat berselang, terdengar derit pintu gerbang rumah. Tari segera bangkit dari atas tubuhku lalu berjalan ke arah pintu rumahnya. Kulihat wajah Tari tersenyum menyambut seseorang yang baru saja naik ke atas teras rumah.

“Ayo masuk ... Sang pangeran sudah menunggumu ...” Ucap Tari dengan candaannya. Aku pun berdiri dari duduk bersiap-siap menyambut kedatangan Tika.

Wanita itu pun melangkah masuk dan matanya langsung menatapku dengan agak berkaca-kaca. Langkahnya pun terhenti seperti sedang menahan sesuatu dalam hatinya. Tari yang tahu keadaan langsung menggandeng tangan Tika mendekatiku. Dan akhirnya aku dan Tika saling berhadapan dengan jarak hanya setengah jengkal saja. Tiba-tiba tangan Tika menangkup mukaku. Terasa sekali tangannya dingin dan tremor menandakan kalau dia menahan perasaannya.

“Denta ... Sayangku ...” Lirihnya bergetar.

“Ibu ...” Balasku namun langsung saja kedua jempolnya menutupi mulutku.

“Jangan panggil aku dengan sebutan itu ... Aku tak layak menyandangnya ... Sebut saja nama atau yang lain ...” Ungkap Tika masih dengan suara bergetarnya bahkan kini menetes air mata dari pelupuk matanya.

Aku usap lelehan air mata Tika dengan jari-jariku dan akhirnya wanita di hadapanku memelukku sangat erat. Dia menumpahkan tangisnya di dadaku. Aku pun melingkarkan tanganku ke punggungnya. Kuciumi pucuk kepalanya menyalurkan kekuatan agar Tika tak bersedih lama. Aku dekap Tika dalam pelukanku untuk menyalurkan ketenangan baginya.

“Sudah ... Ah ... Melow-melownya ... Kita jangan lemah ... Kita harus kuat ...” Terdengar suara Tari yang membuat kami saling mengurai pelukan. Kami pun saling pandang sejenak dan kulihat Tika mulai tersenyum.

“Dasar anak nakal ... Bisa-bisanya naekin ibunya sendiri ...” Ucap Tika yang mendadak ceria sambil mencubit hidungku sangat keras dan menggoyang-goyangkannya.

“He he he ...” Aku hanya bisa tersenyum dan memang pernyataan Tika tak perlu aku balas. Aku sambar bibirnya yang merangsang itu. Mendapat ciuman tersebut Tika hanya tersenyum dan membalas lumatanku dengan beradu lidah di sana.

“Hei ... Hei ... Ingat ...! Ada aku di sini ...” Tari memperingati kami dan langsung saja memposisikan dirinya di tengah-tengah kami setelah kedua tangan Tari mendorong tubuhku dan Tika berlawanan.

“Hi hi hi ... Aku kangen dengan pejantanku ...” Seloroh Tika tanpa sungkan sambil mencubit bokong Tari.

“Aaww ... Nanti ada waktunya ... Sabar ...! Sekarang kita rayakan dulu hari bersejarah ini ...” Ucap Tari sembari menarik tanganku dan Tika memasuki dapurnya.

Aku duduk di kursi meja makan bersebelahan dengan Tika sementara Tari mendekati kulkasnya. Tak lama Tari kembali dengan membawa dua botol whisky. Aku pun tersenyum saat dua botol minuman beralkohol itu sudah tersaji di depanku. Tanpa berlama-lama, kami pun akhirnya berpesta kecil-kecilan dengan sajian yang ada. Sepanjang waktu ini, kami bercanda ria menghabiskan waktu bersama. Aku merasa bisa menerima Tika dan melupakan semua permasalahan hatiku terhadapnya. Ya, benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Dan tanpa sadar juga aura kecanggungan runtuh secara perlahan. Kami pun bersepakat kalau hubungan kami mengalir saja tanpa beban dan aku benar-benar bisa menerimanya tanpa keterpaksaan. Ya, aku lakukan itu karena aku menginginkan moment ini menjadi yang terindah dalam hidupku.

Kami bertiga begitu larut dalam pesta kecil-kecilan ini. Bahkan kami telah berpindah tempat lagi ke ruang tamu. Aku duduk di antara dua wanita cantik yang selalu menggoda kelelakianku, Tari di sisi kiri, dan Tika di sisi kanan. Kedua tanganku seperti tak pernah puas bermain di buah dada mereka. Diam-diam aku makin larut dalam gairahku, apalagi ketika kami bertiga sudah lepas kendali karena pengaruh alkohol yang kami minum. Tari tersenyum melihal aku dan Tika yang tampak mesra.

"Kalian romantis sekali seperti pasangan kekasih saja ... Aku jadi iri ..." Ucap Tari sambil mengambil wajahku yang selalu berciuman dengan Tika.

"Kalau kamu mau ... Kamu juga akan mendapatkannya ..." Ujarku pada Tari.

"Ya aku akan mendapatkannya, tapi nanti saat di atas ranjang ... Hi hi hi ..." Jawab genit Tari.

Aku dan Tika tersenyum mendengar ucapan Tari. Sudah pasti hari ini kami akan bermain bersama itu karena aku tidak akan pernah melewatkan hari tanpa menyentuh salah satu selirku ini. Aku mencium bibir Tari dengan lama dan lembut. Ciuman kami pun terputus saat Tika menarik tubuhku.

"Kalau begitu ... Kenapa tidak ke kamar saja sekarang, dan aku akan memanjakan kalian berdua ...” Kataku karena aku kini menjadi bahan rebutan kedua wanitaku.

"Ide bagus ayo kita ke kamar ..." Jawab Tari. Dia terlihat tidak sabar untuk merasakan surga dunia yang penuh dosa.

Aku masuk ke dalam kamar bersama dua wanita cantik gelora birahi yang menyala-nyala. Batang keperkasaanku sudah sangat siap bertempur, sangat tegak dan sesak di balik celanaku. Celana kain membuat tonjolan itu memberikan bentuk di selangkanganku. Darahku semakin mendesir tatkala kedua wanita cantik itu mulai meloloskan pakaiannya satu persatu dengan gerakan seksi. Aku pun segera saja melucuti pakaianku sendiri hingga pada akhirnya kami bertiga sudah tidak berpakaian lagi.

Tika dan Tari mulai menaiki ranjang dengan gaya genitnya sambil cekikikan. Mereka menungging bersebelahan sambil menggoyang-goyangkan bokongnya masih dengan cekikikan genit mereka. Tampak pemandangan yang luar biasa, dua buah pantat menungging menantang dengan bibir memek yang sudah merekah. Aku pun mendekat pada mereka lalu berdiri dengan lutut, mengarahkan keperkasaanku ke lubang nikmat milik Tika. Tanpa banyak bicara lagi segera aku benamkan penisku pada liang senggamanya.

“Zleeebbbb ...!” Kutanamkan dalam-dalam penisku pada memek Tika.

“Aaaahhh ...” Desis nikmat pemilik vagina yang aku masuki.

Penisku terasa terjepit dan cengkraman otot memeknya sangat kuat sekali. Setelah itu mulailah aku gerakan maju mundur penisku didalam memek Tika. Aku yang sudah bernafsu langsung menggenjot memeknya dengan cepat. Tika meringis dan merengek. Tangannya mencengkeram seprei yang sudah berantakan. Buah dadanya berguncang-guncang akibat dorongan dari pantatku. Sementara Tari dalam posisi menungging tangannya kebelakang dan mengusap memeknya sendiri. Aku pun tidak tinggal diam, jari tangan kiriku mulai dimasukkan ke dalam lubang kemaluannya. Jariku bermain sambil ibu jari kadang-kadang mengelus lubang anusnya. Desahan kedua wanita itu bagaikan irama simfoni yang saling bersahutan.

“Plakkkkk … Plakkkkk … Plakkkkk … Plakkkkk … Plakkkkk… ” Suara kulitku yang bertemu pantat Tika ketika aku memaju mundurkan penisku dengan cepat dan kuat.

“Eughhhhh … Oughhh … Oughhhh …” Tari terlihat menikmati dengan permainan seksku.

Saat itu aku menyodok vagina Tika dengan keras dan cepat. Seiring dengan sodokan itu, payudara Tika yang montok dan besar itu bergoyang goyang seiring kuhempaskan penisku di dalam liang senggamanya. Sayang sekali rasanya jika didiamkan. Sembari terus menyodok aku agak membungkukan tubuhku lalu aku raih payudaranya dan aku remas dengan tangan kananku.

“Aaaahhh ...” Tak kuasa aku menahan erangan karena batang penisku merasakan gigitan vagina Tika.

Aku kini merasakan betapa dinding-dinding vagina Tika sangat mencengkeram dan menghambat setiap senti batang penisku untuk bergerak maju menembus lubangnya. Aku merasakan betapa cengkeraman dinding vaginanya itu membuahkan nikmat syahwat yang tak terhingga. Saraf-saraf peka yang menebar di seluruh permukaan dinding itu melakukan interaktif dan menjemput nikmat dengan remasan-remasannya.

Aku melajukan pantatku maju mundur, dan terasa memek Tari semakin licin, sehingga aku semakin leluasa menggerakkan penisku semakin cepat. Terasa memeknya berdenyut-denyut seperti memijat penisku, dan tidak mau lepas ketika kutarik. Sungguh luar biasa nikmatnya. Aku semakin mempercepat gerakanku dan kurasakan memeknya semakin becek. Demikian juga Tari, mulai mengimbangi gerakanku. Pantatnya sesekali bergerak ke kiri dan ke kanan sehingga penisku seperti terpelintir rasanya.

Kami terus berpacu untuk mencapai puncak kenikmatan sampai keringat membasahi tubuh bugil kami yang sangat erotis. Sementara itu aku peluk Tari sambil menyusu di buah dadanya. Sesekali kumainkan jariku di memeknya. Memek Tari pun terasa basah ingin segera dimasuki. Dan akhirnya setelah lima belas menit berselang, Tika mulai bergerak agak liar dan jepitannya semakin kuat.

"Aku mau keluar ... sudah tak tahann ... Aaaahh ...!" Tika melenguh panjang sambil mendongak ke atas sambil menekan pantatnya keras-keras. Tiba-tiba tubuh Tika terasa sangat mengejang dan pada saat yang bersamaan kejantananku terasa di siram oleh cairan hangat di dalam sana. Kemudian dia terkulai lemas menelengkup bantal. Tika tampak lemas dan tidak kuat untuk menungging karena kakinya sudah lemas.

Saat itu juga, Tari tersenyum senang dan langsung menarik tubuhku hingga penisku keluar dari memek Tika. Tari mendorongku hingga aku terduduk dan langsung saja Tari menaiki dan duduk di pahaku sambil berhadapan. Pada saat itu, Tari dengan sengaja membimbing senjataku ke liang wanitanya dan dia pun duduk di atas pahaku sehingga senjataku tertanam di memek Tari, wanita itu langsung melenguh panjang.

“Oooohhh ...” Lenguhnya penuh kenikmatan.

Tari memelukku sambil menggoyangkan pinggulnya sambil naik turun sehingga senjataku selalu menyodok memeknya. Batang penisku terjepit kuat, otot liang vaginanya seperti menjerat penisku. Ayunan Tari yang semakin liar, ditambah oleh lendir pelicin yang mengalir dari liang memeknya seperti menjadi tambahan energi baginya untuk menghempaskanku ke pusaran badai kenikmatannya. Hampir limabelas menit Tari terus menusuk hingga dengan mata melotot, Tari pun berteriak keras.

“Aaaaccchhh .... Aaaaccchhh ...” Jerit Tari dengan tubuh mengejang kuat.

Bersamaan dengan itu, aku merasakan lubang senggama Tari mengeluarkan cairan hangat yang sangat banyak, menyembur dari dalam rahim hingga membuat penisku jadi terasa basah. Tari menjerit kecil saat meraih puncak kenikmatannya. Perlahan goyangannya pun mengendur dan kepalanya tertunduk ke bawah. Tubuh Tari langsung lunglai menggelosor ambruk ke tempat tidur.

Aku yang masih merasa jauh sekali mendorong tubuh Tari lalu menerkam Tika yang sudah siap menerimaku. Aku tindih tubuh Tika dan langsung membenamkan kejantananku ke dalam memeknya. Aku langsung menggenjot liang cintanya yang sudah agak memelar. Genjotanku membuat Tika menggigiti bibir. Dengan rintihan tertahan ia mulai menikmati denyutan penisku di dalam lubang cintanya yang kian membasah dan membanjir parah. Terasa hangat dan licin hingga membuat gerakan keluar masuk penisku sangat lancar.

Aku terus menarik-dorong penisku hingga sebatas kepala helm, lalu menekannya lagi kuat-kuat hingga semakin lama penis aku pun semakin tenggelam di dalam liang vagina Tika. Benda sempit yang selalu terawat itu memang rapet dan legit, membuatku merasa penisku seperti dipelintir-pelintir oleh otot-otot halus yang terus berdenyut-denyut kencang.

Perpaduan alat kelamin kami makin lama kian membuat tegang dan basah. Aku terus memaju-mundurkan pinggulku tanpa henti, aku menghentakkannya kuat-kuat dengan napas terengah-engah. Penis besarku terus menusuk-nusuk, mencari celah serta lorong terdalam dari vagina sempit Tika. Sementara Tika mengimbangi dengan menggoyang berlawanan arah dari bawah. Gesekan serta himpitan alat kelamin kami benar-benar menimbulkan sensasi tersendiri bagiku. Aku dengan gencar terus mengocok penisku. Batang kejantananku yang besar seakan ingin merobek liang peranakan yang pernah mengeluarkanku dari sana, sementara kedutan penisku yang begitu keras membuat dinding vagina Tika secara elastis ikut berdenyut-denyut meremas.

”Ouuuuh … Aaghh …” Aku dibuat mengerang oleh cengkeraman vagina Tika yang berdenyut denyut nikmat.

Beberapa menit berselang, aku merasakan tubuh Tika mulai bergejolak aneh, memeknya mulai berkedut-kedut bergelora menandakan gelombang orgasme akan segera menghantamnya. Pada saat yang sama, aku juga sudah hapir klimaks. Aku merasakan seluruh tubuhku merinding menahan nikmat cengkraman vagina Tika, semakin kugenjot penisku pada vaginanya, semakin terasa olehku desiran nikmat tersebut mulai berkumpul di penisku.

“Crroott ... Crroott ... Crroott ... Crroott ...!” Spermaku menyembur dengan deras berkali-kali dengan rasa nikmat yang tidak berkesudahan.

Kami berdua pun orgasme bersamaan dan terkulai lemas di ranjang. Tari sudah tidak terlihat di dalam kamar. Aku peluk tubuh Tika yang tampak sekali kelelahan. Aku seka keringatnya pelan-pelan. Sumpah, jujur sejujurnya aku baru kali ini merasakan getaran aneh yang dahsyat kepada Tika. Namun getaran itu tidak dapat aku definisikan karena terlalu rumit untuk kugambarkan.

“Kamu memang pejantan tangguh ... Sayang ...” Ucap Tika sesaat setelah membuka matanya. Tangan lembutnya mengusapi wajahku.

“Kenapa kamu membiarkan aku menidurimu? Padahal kamu tahu kalau aku adalah anakmu.” Tanyaku ingin keyakinan.

“Karena aku sangat menyayangimu, sayang ...” Jawabnya yang belum masuk logikaku. “Kamu gak usah menanyakan itu lagi ... Nikmati saja ...” Ucap Tika dengan senyumnya yang sangat manis.

“Sejak kapan kamu mengetahui kalau aku adalah anakmu?” Tanyaku yang masih penasaran.

“Hhhhmm ... Sejak aku melihatmu di Gang Buntu ...” Jawabnya semakin melebarkan senyumnya.

Akhirnya aku dan Tika berbincang-bincang tentang apa saja yang terlintas di otak. Perbincangan semakin seru ketika Tari ikut bergabung di atas ranjang. Dan tak terasa hari menjelang malam, aku harus kembali ke rumah kakek. Waktu jugalah yang harus membuatku segera kembali ke Desa Sukamukti. Tapi yang jelas hari ini adalah hari sangat bersejarah bagiku. Hari yang membuatku semakin lebih hidup. Kehadiran dua wanita cantik yang menurutku sangat spesial itu semakin membangkitkan semangatku untuk membahagiakan mereka.​

----ooo----

Author Pov

Dewi berbaring di atas tempat tidurnya, selimut tebal menutupi tubuhnya sebatas dagu, seluruh tubuhnya juga terasa sakit, sepertinya dia memang sedang sakit. Sudah pukul 9 malam, tetapi matanya enggan terpejam, pikirannya jauh merawang pada kejadian beberapa hari ke belakang. Perasaan menyesal menyeruak begitu saja, semua ingatannya berputar seperti film di kepalanya. Ingatan bagaimana ia menyuruh seseorang untuk membunuh suaminya sendiri. Selain itu, Dewi pun merasa tertipu, ia sangat menyesal telah termakan rayuan Jaja, mantan kekasihnya. Sedangkan Jaja telah pergi menghilang entah kemana.

"Oh ... Ternyata aku sakit ..." Dewi menyentuh keningnya yang terasa panas, hidup seorang diri di rumah sebesar itu membuat Dewi begitu kesulitan, terutama jika dia sedang sakit, tidak ada yang membantunya walau hanya mengambilkan air minum untuk dirinya.

Dengan terpaksa Dewi mengambil air minum di dapur yang berada di lantai bawah, kepalanya terasa berdenyut, saat kedua kakinya yang berbalut sandal kelinci itu berjalan, selain itu tubuhnya juga terasa kedinginan karena memakai piyama tipis. Setelah mengambil air minum, Dewi bermaksud untuk meminum obatnya, tapi tiba-tiba smartphone barunya bergetar, Dewi yang duduk di tepi ranjang segera mengambil smartphone-nya yang berada di nakas.

"Hallo, Dinda? Ada apa?" Dewi segera menjawab setelah mengetahui bahwa anak gadisnya yang menghubunginya.

Mama sedang apa?” Tanya Dinda di seberang sana. “Cepat nyalakan televisi di chanel 2!” Lanjut Dinda terdengar panik dan seperti memerintah ibunya.

Dengan segera Dewi menyalakan televisi seperti yang dikatakan Dinda. Dewi membulatkan matanya, wanita itu terkejut, chanel tersebut sedang menayangkan konfrensi pers yang sedang di lakukan kepolisian daerah. Suara seorang perwira polisi mulai terdengar di televisi. Dewi mengalihkan tatapannya, polisi itu terlihat begitu tenang, pria itu duduk di kursi di depanya ada sebuah meja dengan banyak microfon yang berada di atasnya, beberapa lampu kamera terus menyala dari para wartawan yang sedang meliput, beberapa dari mereka juga mulai bertanya.

Sang polisi membeberkan kronologis kejadian pembunuhan seorang hartawan. Sangat jelas di telinganya kalau si istrilah yang menjadi Tersangka. Dewi menghela nafas sangat keras. Rasanya tak terlukiskan. Kemudian ketika dirinya muncul dalam permainan, ia merasa tidak bisa menghindar lagi. Hidupnya terasa begitu berat dan bayangan kedukaan yang sangat besar sudah mengisi hatinya. Di saat hati tak sanggup lagi menanggung beban, air mata lah yang mampu menjadi teman. Akhirnya Dewi pun menangis dengan keputus-asaan yang menakutkan.

Dewi pun merasakan kesendirian dan terasing. Kesendirian menikam jiwa dengan kesunyiannya. Padahal ia sangat membutuhkan teman untuk mengungkapkan kesedihan dan kegelisahannya. Dewi merasa kesepian dan tidak ada yang bisa diajak bicara atau sekedar bertukar pikiran. Namun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Dengan langkah gontai, Dewi kembali ke kamarnya lalu mengambil smartphone dan menghubungi seseorang yang berharap bisa menemaninya.

Hallo ... Dengan siapa ini?” Tanya seorang laki-laki di seberang sana.

“Denta ... Aku Dewi ... Hiks ... Aku takut ...” Ujar Dewi sambil tersedu-sedu.

Oh ... Ibu Dewi ... Sekarang di mana posisi?” Tanya Denta dengan mengurangi volume suaranya.

“A..aku ... Ada di ... Ci..cikupa ...” Jawab Dewi setengah ragu. “Bi..bisakah ... Kamu ke sini?” Tanya Dewi kemudian.

Ibu ... Kirim saja alamat lengkapnya ke saya ... Saya langsung ke sana ...” Ujar Denta yang merasa sangat prihatin.

“Baiklah ...” Jawab Dewi lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Lantas Dewi mengetik alamat rumah besar ini dan mengirimnya kepada Denta. Hanya laki-laki itu yang ia percaya. Berharap ia bisa menemani dan menenangkan hatinya. Dewi pun merebahkan badannya di kasur sambil menunggu Denta datang. Dalam hatinya, ia membutuhkan teman untuk dijadikan tempat merenung dan bercerita. Dan ia pun sangat yakin kalau Denta adalah orang yang bisa menolong dirinya dari kemelut ini.

Bersambung

Sambungannya ada di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd