Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
UPDATE...

260245476dfafe32c52a5d993b335d53aa66dc3e.jpg

Magda de Vries

26024551732b915707cb7f7801fee444ddd631ad.jpg

Adriaan de Vries

26024552e793485eead4da59e9bfdb14459676f8.jpg

Zuster Eisinga


Perpisahan Pertama

Langit cerah hanya dihiasi beberapa berkas awan sirus nun jauh tinggi di atas sana, birunya memantul pada luasnya laut yang seakan tak bertepi. Sebuah kapal uap melintas perlahan di permukaannya tanpa layar, ia bergerak menantang angin dan memecah gelombang. Daratan memang belum terlihat di cakrawala, namun dahan-dahan kayu yang terapung-apung dan pekik berisik burung-burung camar yang bersahutan memberi isyarat ada daratan tak jauh dari situ. Terik matahari tropis yang membakar menandakan bahwa kini kapal telah jauh dari tempatnya berangkat di Rotterdam yang dingin di tepian Laut Utara. Setelah berminggu-minggu mengarungi lautan dan singgah di banyak pelabuhan, lepas dari pelabuhan Singapura, kini kapal itu telah sampai di selatan khatulistiwa di tengah selat Karimata yang menjadi bagian perairan penghubung kepulauan Hindia Belanda. Hindia, nama salah kaprah yang disematkan orang-orang kulit putih pada seluruh tanah di Timur sungai Indus sejak zaman Alexandros Megas raja Makedon sang penakluk, termasuk seluruh kepulauan manikam yang terhampar antara dua benua dan dua samudera itu. Kepulauan itu semula terdiri dari banyak negeri mungil yang berbeda bahasa dan budaya, saling berniaga bahkan saling berperang satu sama lain. Kesemuanya ditaklukkan oleh orang-orang tinggi berkulit pucat dari negeri mungil di tepi Laut Utara yang dingin, baik dengan kekerasan, tipu daya atau sukarela. Bahkan si negeri penakluk tak segan-segan menyandangkan namanya pada sebutan kepulauan itu, seakan menegaskan bahwa kepulauan itu telah menjadi miliknya, hamba yang harus menuruti kemauan tuannya dan tidak punya hak atas hartanya sendiri. Si tuan memberikan nama Nederlandsch Indie, yang kemudian dalam bahasa Melayu yang dijadikan para penghuni kepulauan itu sebagai lingua franca diterjemahkan sebagai Hindia Belanda.


Di atas geladak kapal itu banyak orang berdiri, laki-laki dan perempuan dari berbagai ras dan bangsa, menikmati aroma segar yang dibawa hembusan angin laut. Di antara manusia-manusia tersebut berdiri santai seorang pemuda. Lengan kirinya bertelekan pagar besi pembatas geladak, lengan kanannya didudukkan di atas punggung tangan kirinya sambil menopang dagunya. Wajahnya tampan, kulitnya zaitun terang, hidungnya mancung namun tak terlampau lancip, garis wajahnya tegas namun tak keras. Matanya menampakkan kesan sedikit tarikan garis Asia beriris biru gelap. Dagunya sedikit membulat, titik-titik hitam sisa rambut wajah yang dicukur mengelilingi bibir merah segarnya berkesan jantan. Rambutnya coklat tua sedikit ikal tersisir rapi ke belakang hingga pertengahan tengkuk, terlicinkan oleh minyak Macassar. Kepala bagian atasnya tertutup topi bundar dari jerami yang dianyam rapi. Ia mengenakan setelan jas dan celana panjang warna khaki yang membungkus kemeja putih yang dibuka dua kancing atasnya. Tak dipakainya dasi maupun rompinya, pengalaman beberapa hari terakhir terpanggang teriknya matahari tropis mengajarkannya untuk tak perlu memakai terlalu banyak lapis pakaian. Sepatu kulit lembunya berwarna hitam kusam tanda telah bertahun-tahun menemaninya melangkah.


Kedua mata pemuda itu menatap jauh lurus ke depan, jauh melampaui tepian pandang garis ufuk hingga ke masa lalunya. Tetes air mata mengumpul di sudut matanya dan mulai mengalir turun membasahi kedua pipinya.

Ik mis je, Moeder. (Aku rindu padamu, Mama.) Ma, apa kabarmu di sana?” bisiknya lirih dalam bahasa Belanda.

“Kini aku pergi jauh dari rumah kita demi hidup yang lebih baik. Doakan aku berhasil, ya Ma…” batinnya.

Terkenang pemuda itu pada ibunya. Sosok cantik dan pengasih, yang menyayangi buah hatinya sepenuh hati, walaupun didera derita sepanjang hidupnya. Sang ibu tidak lain dan tidak bukan adalah Magda si penjaja kehangatan, dan pemuda itu adalah bayi merah mungil dalam fragmen kisah sebelumnya. Kini pemuda itu telah menjelma menjadi seorang lelaki dewasa, Adriaan Pier Maria de Vries namanya, pemberian sang ibu dan bibi angkatnya Zuster Eisinga. Bibi angkatnya memberikan nama Adriaan, nama Paus berdarah Belanda satu-satunya, ibunya memberi nama Pier sesuai nama sang kakek, dan Maria sesuai nama sang nenek dan nama baptis Zuster Eisinga. Adriaan tak pernah tahu siapa ayahnya, puluhan lelaki menggauli ibunya dalam kitaran waktu tiga puluh tujuh minggu sebelum kelahirannya. Sebagian di antara mereka menumpahkan air mani dalam liang kenikmatan ibunya. Namun banyak orang yang berpengalaman, berdasarkan garis wajah Adriaan, menduga bahwa dirinya adalah seorang Indo yang memiliki darah campuran darah Eropa dan Hindia. Siapa pun ayah Adriaan, hal itu tidak mengurangi kecintaan Magda terhadap anaknya. Sering kali Adriaan harus berpisah dengan ibunya, yang terpaksa bekerja keras menghidupi mereka berdua. Magda tak mau Adriaan memergokinya bercinta dengan pelanggannya. Setiap ia hendak bertemu pelanggannya, Magda selalu menitipkan anaknya terlebih dulu pada Zuster Eisinga. Adriaan disekolahkan di sekolah sederhana milik keuskupan, walau Magda dibesarkan sebagai seorang penganut Protestan, ia memercayakan pendidikan anaknya pada Zuster Eisinga yang sudah dianggap seperti kakak kandungnya sendiri.

26024602ee2b003e2efed4f50281fa9edbfbc2e2.jpg


Kembali pada sosok Adriaan di atas geladak, ia merogoh kantung celananya, ditariknya keluar sehelai kain merah jambu bersulam, dibawanya kain itu ke depan hidungnya. Lamat-lamat menguar aroma manis lavender yang segera dihirupnya. Teringat Adriaan pada satu peristiwa yang membuatnya tahu siapa ibunya sesungguhnya. Semula Adriaan tak tahu rahasia besar ibunya. Serapat-rapatnya Magda menyembunyikan aibnya dari anaknya, akhirnya kebenaran yang pahit pun terungkap juga. Pada suatu hari, Adriaan sudah berusia sepuluh tahun, seperti biasa ia pulang dari sekolah. Namun hari itu bukan hari biasa. Sekolahnya tak jauh dari penginapan tempatnya tinggal bersama ibunya. Lima ratus meter saja jauhnya yang cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Adriaan kecil berjalan cepat sambil berlompatan di atas trotoar, kawan sekolahnya telah pamit berpisah satu blok sebelumnya. Tak takut jatuh ia, walaupun trotoar yang ditutup pecahan-pecahan batu pipih itu sedikit basah oleh gerimis musim semi. Tiang-tiang lampu penerang jalan yang bersembulan pun tak mampu menghadang laju jalannya. Ringkik dan derap kuda-kuda penghela kereta yang berderak-derak hilir mudik di jalan, gumam ramai orang-orang di trotoar, denting lonceng kereta, pengantar surat dan pengayuh perahu di kanal bawah jembatan yang baru dilaluinya tak sanggup memecah perhatiannya akan satu misi. Misi memberi kejutan pada hari ulang tahun ibunya. Tanpa menyempatkan diri mampir ke panti asuhan Zuster Eisinga, Adriaan bergegas naik tangga penginapan menuju kamar ibunya. Tangan kanannya membawa bungkusan kertas berisi sapu tangan merah jambu bersulamkan nama ibunya yang hendak dihadiahkan untuk sang bunda. Ketika Adriaan berjalan di lorong dalam penginapan, terdengar suara desahan yang cukup keras dari kamar ibunya. Adriaan melangkah lebih cepat bahkan setengah berlari, takut sesuatu yang buruk menimpa ibunya.

Sesampainya di depan pintu Adriaan tertegun. Pintu kamar ibunya tidak tertutup rapat. Melalui celah pintu itu terlihat ibunya terbaring terlentang di ranjang dalam keadaan bugil mengangkang, dengan seorang pria hitam tinggi besar yang sama bugilnya sedang mengerakkan pinggulnya maju mundur sambil melenguh di antara kedua paha ibunya. Kulit keduanya mengilap basah oleh peluh yang mengalir deras, walaupun udara terasa sejuk pada puncak musim semi itu. Adriaan ragu, apakah dia harus masuk atau menunggu di luar, ibunya tampak terengah-engah dan mendesah keras, namun raut wajahnya menunjukkan bahwa ibunya menikmati aktivitas tersebut. Magda menggigit bibir bawahnya berselang-seling dengan desisan, kedua matanya terpejam, keningnya berkerut, berucap nikmat di sela-sela desahannya. Adrian memutuskan untuk tetap berdiri di luar pintu, adalah tidak sopan menyela aktivitas orang yang lebih tua pikirnya. Tidak lama Adriaan menonton pertunjukan cabul itu. Hanya beberapa saat kemudian kedua insan yang polos tanpa sehelai kain penutup tubuh itu pun mengerang keras bersamaan mengakhiri pendakian mereka mencapai puncak kenikmatan. Laki-laki berkulit hitam itu menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Magda memunggungi Adriaan, kepalanya diselipkan di atas bahu di sisi kanan kepala Magda. Magda membuka matanya, tiba-tiba pandangannya bertemu dengan pandangan Adriaan dari luar celah pintu. Magda tampak kaget melihat Adriaan, tentu dia menduga anaknya telah melihatnya berbuat mesum bersama seorang pelanggannya itu. Sekejap Magda terdiam, pikirannya kusut, bingung untuk berbuat apa pun. Kali ini kebodohannya tak termaafkan. Selama ini ia membuat janji bertukar lendir di tempat lain, tetapi kali ini ia mengiyakan saja tawaran calon pelanggannya untuk menyambanginya di tempat Magda tinggal. Ini kali pertama, dan langsung tepergok seperti rusa terkena sorot lampu. Namun tak lama Magda hanyut dalam pikiran kusutnya, segera ia mengumpulkan kesadarannya. Sambil memaksakan diri untuk tersenyum Magda mengibaskan tangan kirinya ke arah anaknya mengisyaratkan agar Adriaan meninggalkan lorong di luar kamar lebih dulu. Benak Adriaan penuh pertanyaan tentang apa yang telah dilakukan ibunya. Sebagai seorang anak yang patuh dan sangat sayang pada ibunya, Adriaan segera melaksanakan perintah ibunya sambil mengesampingkan rasa penasarannya. Dengan langkah gontai ia tinggalkan penginapan itu.

Adriaan pergi ke panti asuhan di sebelah penginapan untuk mencari Zuster Eisinga. Namun orang yang dicari sedang tidak ada di tempat. Adriaan memutuskan untuk ke ruang perpustakaan, dan menghabiskan waktunya membaca di sana. Tak banyak koleksi buku di perpustakaan sederhana milik panti asuhan itu, namun untuk anak berumur sepuluh tahun koleksi perpustakaan yang didominasi buku-buku cerita dongeng dan kisah-kisah teladan sudah cukup memuaskan dahaga pikirannya. Tanpa sadar Adriaan tenggelam dalam kegiatan membacanya hingga makin lama kedua kelopak matanya memberat, tanda serangan kantuk melanda. Adriaan pun tertidur pulas dalam duduknya, kepalanya beralaskan buku yang dibacanya. Lama ia tertidur tak terukur oleh Adriaan yang mungkin telah larut dalam mimpinya. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu ruangan.

“Tok…tok…tok…”

Terbangun Adriaan dari lelapnya, kantuk yang masih menggelayut berusaha diusirnya dengan menggosok-gosok kelopak matanya memakai punggung tangan. Mata Adrian mengerjap-ngerjap menghilangkan rasa lengket di kelopak matanya. Ditengoknya ke luar jendela, langit mulai menggelap berpendar lembayung tanda senja telah tiba. Ketukan masih terus terdengar.

“Tok…tok…tok…”

Ja, kom binnen, alsjeblieft.(Ya, silakan masuk.)” sahutnya.

“Kriet…”

Pintu pun dibuka perlahan. Tampak Magda dan Zuster Eisinga beranjak masuk ke dalam ruangan.

Goedenavond, Adriaan. (Selamat petang, Adriaan. ).” ujar Zuster Eisinga sambil tersenyum.

Goedenavond, Mama en Tante. (Selamat petang, Mama dan Bibi.)” jawab Adriaan.

"Ayo kita pulang!” ajak Magda ke anaknya dalam bahasa Belanda.

“Terima kasih sudah menjaganya, Kak.” ucap Magda pada Zuster Eisinga.

Graag gedaan, Mag. (Sama-sama, Mag.)” jawab Zuster Eisinga.

Magda menarik tangan anaknya yang terlihat masih mengantuk dan dengan ogah-ogahan Adriaan mengikuti ibunya.

Sesampainya di kamar mereka, Adriaan duduk di kursi menghadap meja kayu persegi berukuran kecil yang berfungsi juga sebagai meja makan mereka selama ini. Magda segera menghangatkan hutspot dalam belanga. Setelah cukup hangat, ia sajikan di atas kedua piring yang tersedia di atas meja, di atas tiap piring ditaruhnya potongan ikan makerel asap dan keju gouda. Di dalam ceret dimasukkannya rajangan daun teh hitam kering, lalu diseduhnya dengan air panas yang telah dijerang sebelumnya. Setelah siap seluruhnya, Magda ikut duduk berhadapan dengan anaknya.

Eerst bidden! (Ayo berdoa dulu!)” Magda memulai.

Keduanya berpegangan tangan dan berdoa dalam hati.

Laten we eten! (Mari kita makan!)” lanjutnya kemudian.

Adriaan yang masih memikirkan kejadian siang sebelumnya, malah melamun sambil mengaduk-aduk bolak-balik makanannya, aroma ikan asap dan keju yang menggoda seakan tak mampu membuatnya berselera. Magda melirik kelakuan anaknya, sedikit kesal ia melihat anaknya seakan mempermainkan makanan yang sudah capai-capai ia siapkan.

“Jangan main-main dengan makananmu. Itu Mama masak khusus untukmu.”, ujar Magda dalam bahasa Belanda dengan suara sedikit tinggi, sambil berusaha tersenyum mencoba menyabarkan dirinya sendiri.

Adriaan pun mulai menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Perlahan-lahan ia mengunyah dengan tidak semangat, pikirannya masih melayang-layang.

Wat dacht je van school? (Bagaimana di sekolah?)” tanya Magda.

“Hmmmm…” jawab malas Adriaan sambil mengunyah.

Wat dacht je van de maaltijd? Is het goed? (Bagaimana makanannya? Enak?)” Magda kembali bertanya.

“……” sejurus Adriaan memandang ibunya, lalu menunduk kembali dan melanjutkan aktivitas menyuap dan mengunyahnya.

“Kok, kamu diam saja, tidak seperti biasa?” lanjut Magda sedikit jengkel dalam bahasa Belanda.

Memang tidak biasanya Adriaan terdiam saat makan bersama ibunya. Biasanya ia tak henti berkicau bercerita mengenai semua yang ia alami di sekolah pada ibunya.

Setelah menit-menit kesunyian yang terasa bagai berabad-abad, akhirnya Adriaan tak tahan juga menyimpan rasa penasaran. Ia beranikan dirinya bertanya pada ibunya.

Ma, mag ik je vragen? (Ma, boleh aku bertanya?)” Adriaan mulai bicara.

Wat wil je vragen, zoon? (Mau tanya apa, nak?)” sahut Magda dengan berdebar.

Wajahnya memucat, menduga Adriaan pasti akan menanyakan aktivitas mesumnya tadi siang.

“Bunda, apa yang Bunda lakukan tadi siang?” tanya Adriaan penasaran dalam bahasa Belanda.

Panggilan Mama tiba-tiba ia gantikan dengan panggilan formal Moeder yang dalam bahasa Melayu dapat dipadankan dengan kata Bunda. Apa yang ditakutkan Magda menjadi kenyataan.

Wwa…wat bbe...bedoelt u? (Apa maksudmu?)” Magda tergagap bingung mencari jawaban pertanyaan anaknya.

“Aku bertanya apa yang Mama lakukan dengan Paman Hitam itu?” tanya Adriaan lagi dalam bahasa Belanda sambil menatap ibunya.

Tatapannya menyiratkan kepolosan dalam rasa ingin tahunya.

Oh, dat… (Oh, yang itu...)” ucap Magda gelisah.

Dahinya mulai berkeringat, kedua matanya menatap ke bawah ke piring makannya yang kini telah licin tandas. Beberapa saat terpaku, mencari jawaban yang tepat bagi pertanyaan anaknya. Ia tak ingin menambah kebohongan lagi. Selama ini anaknya kerap menanyakan mengapa dirinya tak sama dengan anak-anak lain yang memiliki orang tua yang lengkap, ayah dan ibu. Magda terpaksa berbohong dengan mengatakan ayah anaknya itu telah lama meninggal saat Adriaan dalam kandungan. Akhirnya ia memutuskan bahwa Adriaan berhak tahu asal usulnya dan pekerjaan ibunya, namun nanti saat Adriaan sudah cukup umur untuk mengerti kerasnya kehidupan. Lalu Magda menghela napas dalam. Setelah merasa dirinya cukup kuat melanjutkan pembicaraan, Magda pun kembali bersuara.

Je bent te jong om het te weten, lieve zoon. Ik zal het je op een dag vertellen. (Kamu masih terlalu kecil untuk memahami itu, anakku sayang. Suatu saat nanti pasti Mama ceritakan.)” Magda mengakhiri sambil tersenyum dan membelai kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

Malam itu ditutup dengan kesenyapan kedua anak manusia yang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

Manusia boleh berencana, tapi akhirnya Tuhan jua yang memutuskan. Magda berencana menua menyaksikan anaknya beranjak dewasa, melupakan masa mudanya yang penuh derita, menjemput bahagia di usia senja. Namun garis hidupnya berkata lain. Satu tahun kemudian petaka itu datang, pekerjaan Magda yang terkadang tak mengenal waktu, akhirnya meminta korban kesehatannya. Batuk-batuk yang tak kunjung sembuh disertai mengurusnya tubuh Magda yang dahulu sintal berisi, mengisyaratkan tering yang dulu dicurigai merenggut nyawa ibunya, menghampirinya tanpa belas kasihan. Masa itu, bahkan para dokter masih berdebat mengenai penyebabnya, apakah karena diturunkan atau ditularkan. Apa pun sebabnya, Magda sedikit beruntung bertempat tinggal di Belanda. Negeri dingin itu tercakup dalam Eropa yang sedang berada di titik puncak peradabannya. Telah ada sanatorium untuk tempat orang-orang yang senasib dengan Magda memulihkan kesehatannya. Magda memutuskan masuk ke sanatorium yang direkomendasikan Zuster Eisinga, setidaknya biaya perawatannya ditanggung sebagian oleh pemerintah. Sisa tabungannya ia titipkan pada biarawati yang telah dianggap seperti kakaknya sendiri itu, untuk membiayai kebutuhan anak semata wayangnya, yang juga ikut ia titipkan. Air mata mengiringi perpisahan dengan anaknya, yang kedua ibu beranak itu harapkan hanya untuk sementara.

Harapan tinggal harapan, tubuh Magda semakin habis hingga tinggal tulang terbungkus kulit, mendekati enam bulan kemudian ia merasa perjalanannya di dunia hampir berakhir, dimintanya dua orang terkasihnya untuk datang menjenguk. Magda minta ia diberikan kesempatan berdua anaknya. Tubuhnya kurus, kulitnya pucat keriput membungkus tulang-tulangnya yang menonjol, pipinya kempot dan matanya cekung dengan raut wajah kuyu, hanya rambut pirang panjangnya terurai menandakan sisa kecantikan masa belianya. Bibir pucatnya yang kering bergetar, dengan sisa tenaganya ia mulai bicara.

Uhh…huk…uhhukk…Adriaan, mijn zoon, het spijt me echt. (Adriaan anakku, Mama mohon maaf.)” sambil terbatuk-batuk Magda mengawali.

Ik zal je alles vertellen…… Er was eens een jong, onschuldig meisje… (Mama akan ceritakan semuanya…….Pada suatu waktu ada seorang gadis muda yang lugu…)”

Bagai kesurupan Magda terus bercerita. Patah demi patah kata keluar dari celah bibirnya. Dia ceritakan seluruh kisah hidupnya dan rahasia terdalamnya. Akhirnya Adriaan mendapat jawaban dari semua pertanyaannya. Tentang dirinya, tentang siapa ayahnya, tentang pekerjaan ibunya. Penglihatan Adriaan terasa kabur, kornea beningnya tersapu luapan air mata. Dadanya terasa sesak terhimpit oleh beratnya kenyataan pahit yang tak tersangkalkan. Bayangan indahnya tentang keluarga yang sempurna tiba-tiba pecah berkeping-keping. Mendidih emosi Adriaan, seakan tak peduli keberadaannya di sanatorium yang butuh ketenangan, ia berteriak marah.

Nee ... nee ... Waarom ... waarom, Ma? (Tidaaak…tidaaak…Mengapa…mengapa, Ma?) Kau adalah ibu terburuk yang pernah kuimpikan.” maki Adriaan sambil menangis.

Ia berlari keluar kamar dalam tangisannya. Tepat di depan pintu, tangan Zuster Eisinga menyambar tubuhnya. Ditariknya Adriaan ke pelukannya. Sambil dielus-elusnya kepala anak muda yang sudah dianggap sebagai kemenakannya itu, Zuster Eisinga memberi nasehat.

Zoon, vergeef je moeder alsjeblieft. (Nak, tolong maafkan ibumu.)” bujuknya.

Adriaan terus sesenggukan di pelukan Zuster Eisinga. Zuster Eisinga pun melanjutkan.

“Ibumu melakukannya karena terpaksa. Ia tak punya pilihan lain. Mungkin ia seorang pelacur di luar sana, tapi di dalam ia selalu seorang malaikat. Ia menyayangimu dengan tulus. Bahkan ia rela menukar kebahagiaannya demi kebahagiaanmu, nak.”

Maar... Tante. (Tapi..Bi.)” Adriaan coba membantah.

Zuster Eisinga melepaskan dekapannya pada Adriaan. Dipegangnya kedua pipi Adriaan, sambil menatap tajam mata Adriaan dan tersenyum hangat sang biarawati melanjutkan.

Maar, jij bent haar zoon. (Tapi, kau anaknya.) Tugasmulah memastikan ibumu beristirahat dengan tenang. Kumohon, maafkan dia, nak.”

Zuster Eisinga segera merangkul Adriaan. Dituntunnya anak itu masuk kembali ke kamar ibunya. Setelah sampai di samping ranjang Magda, dibimbingnya tangan Adriaan ke tangan kurus ibunya.

Kom Adriaan, hou je moeders hand vast. (Ayo, Adriaan, genggam tangan ibumu.)” ajak Zuster Eisinga.

Tangis Adriaan tak tertahankan, matanya menatap sedih pada ibunya. Mata Magda yang cekung berkaca-kaca, senyum kebahagiaan terulas di bibirnya.

Dengan tersedu-sedu, Adriaan mulai bicara, “Ma, ik hou echt van je. (Ma, aku sungguh sayang padamu.) Kau tak ada salah apapun padaku. Tolong jangan tinggalkan aku, Ma. Segeralah sehat kembali, Ma. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Aku janji, aku tak kan nakal lagi, aku akan jadi anak yang baik…Aku janji…Aku janji, Ma.”

Mata Magda berkaca-kaca, bukan sedih yang merasuki benaknya, melainkan perasaan bahagia dan terharu. Digenggam erat kedua tangan anaknya dengan kuat.

Dipanggilnya nama anaknya, “Adriaan...Adriaan, mijn zoon ... mijn lieve zoon ... mijn enige zoon. (Adriaan...Adriaan anakku...anakku sayang…anakku satu-satunya.) Akhirnya kau maafkan aku. Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan menjagamu dari atas sana (sambil matanya melirik ke atas). Aku akan jadi malaikat penjagamu, anakku sayang. Kau masih punya Bibi Maria, bibi-bibi yang lain dan saudari-saudarimu yang akan menemanimu.”

Adriaan hanya memejamkan mata, air mata masih mengalir deras dari sudut-sudut kedua matanya, hidungnya memerah penuh ingus, mulutnya membuka mengeluarkan suara tangis yang putus-putus. Tak sanggup ia membayangkan perpisahan yang telah sampai pada mukadimahnya.

Magda mencoba memberikan petuah terakhirnya, menutup tugasnya sebagai seorang ibu, “Adriaan mijn zoon. Beloof me, je zult een goede man zijn. (Adriaan anakku. Berjanjilah padaku, jadilah seorang lelaki yang baik.) Jadilah orang yang berguna. Jadilah suami yang baik bagi istrimu dan ayah yang baik bagi anak-anakmu. Berbuat baiklah selalu pada orang lain, terutama mereka yang membutuhkan dan jangan pernah mengambil yang bukan hakmu. Ingatlah Tuhan selalu.)”

Lalu Magda menoleh lemah ke arah Zuster Eisinga, bibirnya kembali bergetar, lidah kelunya mencoba bicara, “Mijn zus, mijn zus Maria, bedankt dat je me hebt geholpen in moeilijke tijden. (Kakakku, kakakku Maria, terima kasih telah menolongku selama ini.) Maafkan aku, aku minta tolong sekali lagi. Kumohon, jagalah anakku satu-satunya. Bantu dia menjadi orang baik. Aku sayang padamu, Kak.”

Mata Zuster Eisinga berlinang air mata. Ia tahu setiap manusia pasti akan berpisah dengan dunia fana ini dan berangkat menuju alam keabadian. Namun menyongsong perpisahan dengan orang yang amat disayanginya seperti adik kandungnya sendiri itu meruntuhkan pertahanan emosinya. Dipegangnya kedua pipi kempot Magda, diciumnya kening adik angkatnya itu. Dikuatkan dirinya menjawab permintaan Magda.

Ik hou ook van jou, mijn kleine zusje. (Aku juga sayang padamu, adik kecilku.) Jangan khawatirkan Adriaan, aku berjanji, akan kujaga dia. Kan kupastikan ia memenuhi harapanmu.” jawabnya.

Magda lega, anaknya sudah memaafkannya. Adriaan, hartanya yang paling berharga, sudah ia titipkan pada orang yang ia percaya. Namun resahnya belum jua usai. Magda teringat pekerjaannya menjual tubuhnya sendiri, ia berzina untuk mencari makan, dosa besar ia lakukan setiap hari.

Hoe kon ik mijn God ontmoeten? Ik heb zoveel zonden gedaan, zus. (Bagaimana aku dapat bertemu Tuhanku? Dosaku sudah terlalu banyak, Kak.)” keluh Magda sedih.

Vraag om Zijn vergeving. Zijn vergeving is veel groter dan zijn woede. Geloof Hem, Mag. (Mohon ampunlah pada-Nya. Ampunan-Nya jauh melebihi amarah-Nya. Percayalah pada-Nya, Mag.)” jawab Zuster Eisinga mencoba menyejukkan pikiran Magda yang gerah.

Pikiran Magda akhirnya melapang, anaknya telah memaafkan kesundalannya, kakak angkatnya telah meyakinkannya akan ampunan Tuhan. Ia sadar akhir hidupnya sudah dekat, ia ikhlas menemui Penciptanya.

Magda bergumam dalam dialog terakhirnya di alam fana dengan Sang Pencipta, “Godedankt dat je me een lief kind hebt gegeven. Ik heb zo goed mogelijk voor hem gezorgd. (Terima kasih, Tuhan, Kau titipkan aku seorang anak yang manis. Kupelihara ia semampuku.) Tapi sekarang kami harus berpisah. Tolong pelihara ia dalam tangan-Mu. Sungguh banyak dosa yang kulakukan. Kumohon ampunan-Mu, ya Tuhan. Ampuni aku, ya Tuhan…ampuni aku. Kumohon terimalah aku kembali ke Kerajaan-Mu, ya Tuhan.”

Tak lama berselang, Magda menghembuskan napas pamungkasnya dalam bimbingan Zuster Eisinga, diiringi ratapan pilu Adriaan yang sungguh kehilangan ibunya.

Tanpa menunggu lama Magda segera dimakamkan di pemakaman milik keuskupan, suatu keistimewaan saat seorang Protestan menjadi penghuni pemakaman Katolik. Magda lebih beruntung daripada ibunya, jasad kurus keringnya dirias cantik dibungkus gaun terbaiknya, satin putih panjang berwiru di bawah pinggang, berenda-renda di ujung-ujungnya, menyuluhi kembali sisa-sisa kemolekan masa mudanya. Bukan hanya pakaiannya yang cantik, peti matinya pun cukup bagus, dari kayu pohon tusam yang dipernis mengilap, tak memalukan, walau tak semewah keranda ratu-ratu Mesir. Biarpun untuk sementara makamnya ditandai kayu salib belaka, pihak panti asuhan memesan nisan batu granit sebagai pemberian terakhir Zuster Eisinga dan kawan-kawannya untuk sahabat mereka. Dua hari itu, hari saat Magda berpisah dari orang-orang yang disayanginya dan hari saat jasadnya diantar ke peraduan terakhirnya, adalah hari terkelabu dalam masa muda Adriaan. Ia, dalam usia sebelia itu, dengan bekal benak kanak-kanaknya ditinggalkan seorang diri oleh sandaran jiwa dan pelita hidupnya, gamang gemetar merabai jalan hidup dalam kegelapan. Namun akankah dunia Adriaan terus diteduhi awan gelap? Ataukah sebaliknya sang mendung terusir surya harapan yang bersinar terang? Adriaan tak perlu waktu lama menunggu jawabannya, saat dua hari kemudian orang itu datang.


To be continued...
____________############_____________

Noh, updatenya, suhu sekalian. Tipis2 pelan2 kayak ngolesin selai ovomaltine atau nuttela, dihemat2...:galau:

Mohon saran dan kripiknya ya suhu...:ampun:
 
Terakhir diubah:
GLOSSARIUM
Awan sirus:
awan berbentuk garis-garis yang terdiri dari kristal es biasanya terletak tinggi pada ketinggian 5000-14000 m dari permukaan bumi.
Sungai Indus: Nama sungai besar di barat laut anak benua India.
Alexandros Megas: Iskandar yang Agung
Lingua franca: Bahasa pengantar umum yang digunakan di antara mereka yang bahasa ibunya berbeda-beda.
Selat Karimata: Selat yang memisahkan Sumatra dan Kalimantan.
Macassar oil/minyak Macassar: Minyak rambut pria yang ngetrend pada paruh kedua abad ke-19 di Eropa, diisukan disuling di pulau Sulawesi.
Khaki: Warna coklat sangat muda, hampir putih.
Hutspot: Makanan khas Belanda yang terdiri dari potongan kecil-kecil kentang, wortel dan bawang bombay yang direbus.
Sanatorium: Fasilitas medis untuk merawat para penderita penyakit menahun, paling sering dikaitkan dengan penderita penyakit TBC (tuberkulosis).
Pohon tusam: pohon pinus
 
Terakhir diubah:
Keren Hu... :adek:
Cerita seperti layak utk ditunggu...
:baris:
Boleh ditinggal koq, hu. Sembari ceritanya diracik...:)
aseeeek dah update.....
langsung serbu bacaaaa... :ngacir::ngacir:
Ampun, hu...:ngacir:
Diksinya istimewa, rapi.

Gaya bertuturnya juga enak.Tidak terlalu mendayu-dayu.

Background TS yg tdk jauh dari bidang akademis & penulisan ilmiah yg kental dg riset mendalam terbukti sgt berguna bagi TS dlm membangun suasana.

Disadari atau tidak oleh pembaca, namun TS bisa meletakkan informasi sejarah dalam runtutan cerita shg memperkaya cita rasanya.

Pengetahuan TS ttg sejarah juga sgt membantu pembaca, terutama percakapan dg bahasa belanda.

Scr isi cerita, mengalir. Ane bs merasakan kesedihan Adriaan. Meskipun jujur saja, Magda terlalu cepat dikebumikan. Penggambaran kehidupan Magda yg pelacur terlalu klise. Masih banyak sisi Magda yg di eksplore terutama sisi erotisnya. Intinya kurang berani bermain-main dg nurani Magda lebih detail lagi. Kegetiran hidup seorang pelacur yg memiliki anak tunggal.

Satu lagi yg agak mengganjal. Yakni si kulit hitam yg bercinta dg magda.
Ane berharap TS menceritakn lebih detil lagi ttg si kulit hitam. Apakah dia budak atau pedagang dAri afrika. Kalau budak/pedagang, ane berharap scene SS nya cenderung kasar .

Atau justru dia salah satu dari 3ribu orang Afrika yg d rekrut menjadi tentara kerajaan hindia belanda untuk d tempatkan di daerah kolonial hindia belanda. Zwarte Hollander atau belanda hitam sebutannya.


Namun, apapun itu. Itu hak TS untuk mengakhiri kisah Magda.


Oia, satu lagi nih. Mmg hal keputusan TS utk pakai fitur LIKE utk membuka cerita. Namun sayang, fitur ini membuat font jadi italic semua dan agak kurang nyaman dimata. Krn isi cerita yg menarik, yg menahan mata saya untk ttp menelisik cerita hingga selesai.

Dan spasinya masih jarang, sehingga terlalu rapat dan melelahkan. Coba ketika penulisan ditambahkan spasi untk memisahkan antar paragraf dan juga antar dialog. Lega di mata.

Ini karya yg luar biasa di semprot bung. Sangat berkelas temanya. Kisah hidup Adrian sangat potensial utk d eksplore lebih jauh. Krn bagaimanapun juga dia org Belanda yg bs mempunyai banyak tujuan k negara2 jajahan hindia belanda.

Salah satunya Indonesia.

Tentu Menarik melihat petualangan Adriiian di batavia atau buitenzorg. Lalu berkenalan dg gadis pribumi nan eksotis dg karakter kuat seperti nyi ontosoroh-nya Pramoedya Anata Toer dalm tetralogi Bumi Manusia.

:pandaketawa:

bedankt

dat je geweldig bent

:beer:
Graag gedaan, Meneer Serpanth...:beer:
Ane sebenarnya emang jatuh hati sama Magda, cuma gak tega bikin Adriaan ena2 bareng ibunya takut ketularan STD di usia muda, nanti keburu mokat sebelum nyicip IGO... :Peace:

Si Oom item kayaknya pedagang minyak sawit tajir dari Nigeria, hu, makanya maennya alus gaya orang menak...:malu:
Terima kasih, hu. Kritik ente yang super membangun jadi bahan belajar ane yg nubie recehan ini. ..:ampun:
 
Pertamax.
Makasih updatenya om.
Ijin :baca:dulu.
Sami2, mang...:beer:
Mang, ane kangen Sae, mang. Yuk kronik Sawer-nya dilanjut...:semangat:
asyiik nih...... rasa bule crootnya..... :tegang::semangat:
Rasa keju, hu....:cim:
Mantab mantab mantab banget ceritanya berrrrrrmutuuu pake banget suhu :beer:

Setelah beratus2 tahun berselancar di semprot baru kali ini nemuin cerita novel sejarah

Ijin pasang tenda dimari yak :cendol:

:mantap:
Makasih, hu. Ah, ane cuma nubie retjehan koq. Mudah2an sesuai selera suhu. :malu:
Ternyata suhu penjelajah waktu kayak Eki yak? Menjelajahnya beratus tahun...:bata:
Dapet banget feelnya..
Semangat suhu
Makasih, hu....ane ngetiknya sampai berurai air mata, keingetan almarhumah ibunda...:galau:
 
Mohon maaf para pembaca yang budiman, bukan maksud saya menggantung cerita, tapi memang saya sukar menyelesaikan update berikut. Urusan RL sedang sibuk2nya. Maklum banyak klien hendak berlibur saat ramadan. Semalam ada upaya mengetik mencoba menyelesaikan, tapi sayang, kantuk menyerang, isi cerita pun jadi centang perenang...terpaksa update diundur sampai waktu yg belum ditentukan....maaf, maaf banget:ampun:

Titip juga pesan...
#PRAY4TERRORISTS...semoga kalian kekal di jahanam, aamiin...
 
Lanjut lgi gan, btw gk jadi inces ama maghda dong, jgn jgn incesnya si adrian udh beristri lagi nanti main ama anaknya

Iya, gak jadi, hehe. Mungkin adegan sedarah masih lama ya. Ane pencinta sedarah, tapi ane gak mau terburu2 mengumbar SS sedarah dengan mengorbankan alur. Cerita ini ane buat sebagai manifestasi khayalan ane, yg tidak semuanya bersifat seksual.

Izin gelar tenda, sebungkus rokok dan se ember kopi...
Sambil menanti kelanjutannya...
Semangat om...

Silakan, hu. Nanti ane sediain smoking room...hehehe

Btw, RL sy kali ini lebih sibuk dari biasanya, ane mendadak ditunjuk jadi pembicara mewakili tempat kerja ane. Jadi agak kurang fokus buat cerbung. Yang jelas selama ramadhan ane gak posting SS. Mohon maaf sebesar2nya, suhu sekalian...:ampun:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd