Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN SATU

"Mat Sobari mati! Mat Sobari telah mati!!! Mat Sobari telah mati!!", sorak lantang seorang warga dengan raut riang keluar dari dalam hutan menjelang Maghrib. Ia tergopoh-gopoh mendatangi kerumunan warga yang menengok heran. Bila kematian menyisakan sedih, tidak bagi warga dusun Bambu. Mereka terperangah, tertegun mendapati kabar Mat Sobari telah mati. Mereka lantas berkumpul memeriksa kebenaran berita yang terlontar.

"Jangan bohong kau? Dia itu susah mati! Mulutmu sembarangan bicara! Bisa-bisa kau yang dibikin mati oleh Mat Sobari!", ujar seorang lelaki sedang membopong putranya berusia 4 tahun.

"Serius! Saya tidak bohong! Ayo ikut saya... Saya tunjukkan mayatnya yang tersungkur di dasar jurang!"

"Ah bohong! Setahu saya Mat Sobari sedang menepi, bersemedi menambah sakti keilmuannya! Mana mungkin dia justru mati sia-sia?!"

"Daripada kita berdebat di sini, ayo ikut saya memeriksanya", desak saksi yang telah menemukan jenazah Mat Sobari. Dia terengah-engah menghampiri warga-warga yang menyambanginya. Ia sungguh-sungguh mau membuktikan bahwa yang diucapkannya adalah benar.

"Awas kau bohong! Mengada-ngada pasti!"

"Lihat dulu!"

“Ayo kita lihat……”

"Jangan semua ikut, anak-anak pulang!", perintah seorang lelaki yang kerap berjaga malam di Dusun Bambu.

"Pak, kamu enggak usah ikut-ikut! Sudah Maghrib, besok pagi saja.... apa faedahmu melihat jasad manusia banyak dosa itu?! Tidak untungnya!", bujuk seorang istri kepada suaminya.

Asap rokok disulut. Mereka kaum pria bergegas bersama-sama ke lokasi di mana Mat Sobari tergeletak mati. Seorang bapak yang hendak berangkat menyusul, mengantarkan sang putra ke pangkuan istrinya. Ia berpamitan hendak mencari tahu kebenaran. Adapula yang mencegah kawanan anak-anak agar tak mengekor dari belakang. Sebagiannya mengambil senter, mempersiapkan obor api karena mereka akan menerjang kegelapan, melawan rasa takut. Setelah semua beres, mereka masuk ke belantara hutan yang masih perawan lewat jalan setapak yang biasa digunakan oleh warga Dusun Bambu mencari kayu bakar, pergi ke ladang, atau sekedar mengunjungi kota. Lampu penerang jalan pun sudah lama mati.

Harapan jalan setapak tanah segera diaspal hanyalah mimpi bagi warga Dusun Bambu. Janji tinggalah janji karena pejabat daerah setempat menjelang tahun politik hampir selalu bertandang, mengungkapkan perbaikan Dusun Bambu. Samahalnya dengan mereka yang mencari popularitas demi dipilih oleh warga Dusun Bambu sebagai pemimpin atau wakil rakyat. Warga Dusun Bambu sudah lama dibuai janji. Mereka lebih tertarik dengan "amplop" yang disebarluaskan.

"Apa benar kau tak salah lihat? Benar ini jalan yang kau tempuh tadi?"

"Benar... kita hampir sampai....", ucap saksi bersama warga pria menyusuri hutan, menginjak dedaunan kering, melalui semak belukar, melintasi pohon rindang seperti mahoni dan meranti yang menyelubungi cahaya senja matahari yang telah ditutupi awan kelabu. Gerimis turun malu-malu. Kelelawar yang berteduh mulai berseliweran mencari makan.

"Kita sudah mendekati hutan larangan, jangan ngawur kau! Wey!"

"Kita tidak akan masuk, cukup melihat jasad Mat Sobari dari atas saja. Kelihatan!"

"Mana?! Daritadi belum juga sampai"

"Sebentar lagi...."

"Daerah ini sering dilewati macan dan celeng kalau malam, jangan berlama-lama..." seorang warga memperingati, menyorotkan senternya ke sekeliling pepohonan yang basah. Hujan turun.

"Kalau tak salah di dekat sini ada sebuah gua. Mungkin gua tersebut biasa digunakan oleh Mat Sobari untuk bertapa"

"Kita balik saja, hujan!"

"Ini sudah sampai...."

"Lalu di mana?! Di mana jasad Mat Sobari yang kau lihat tadi?!"

"NAH ITU DIA! ITU DIA!!! SOROT KE SANA!!! SOROT KE SANA!", saksi menunjuk ke dasar jurang. Kaum pria dengan jumlah kurang lebih 7 orang gemetaran saat senter asal-asalan diarahkan. Ditambah mereka mencium bau bangkai manusia. Beberapa berpegangan takut terperosok ke jurang. Ada juga yang merinding. Kepala mereka berusaha menengok-nengok ke arah telunjuk si saksi.

JEDAAAAR!!!!!|Petir tiba-tiba menjedar-jedar. Kilat salip menyalip. Kaum pria terkejut, dada berdebar-debar.

"ASTAGHFIRULLAH... ASTAGHFIRULLAH..... ASTAGHFIRULLAHALAZIM MENGENASKAN SEKALI!", kaum pria bersahutan terkaget setelah sama-sama melihat jasad Mat Sobari. Mereka tercengap, menganga, menutup hidung. Lainnya menutup mata, mual hendak muntah, berlindung di balik punggung pria yang lain. Jasad Mat Sobari tergeletak tak bernyawa, dengan isi perut terburai-burai. Lehernya nyaris putus. Kepalanya hampir terpisah dari badan. Darahnya membekas membasahi tanah. Anjing hutan mengepung, mengelilingi, memakan dengan rakis daging bangkai Mat Sobari yang konon telah membusuk. Mereka menggigiti, mencerabik tubuh Mat Sobari. Bahkan ada yang mengerkah kepala Mat Sobari. Hendak ditarik-tarik agar putus kepala dari badan.

"KENA AZAB DIA!"

"ALHAMDULILLAH...."

"HUSSSH.... KOK ALHAMDULILLAH?!! INI MENGERIKAN! AYO KITA ANGKAT JASADNYA?!"

"AH TIDAK USAH, SEBAIKNYA KITA BURU-BURU PERGI DARI SINI! BINATANG ITU JUGA SEDANG BERPESTA!"

"BAGAIMANAPUN DIA WARGA DUSUN KITA JUGA! HARUS KITA KUBURKAN SECARA WAJAR"

"ITU KARMA BUATNYA KARENA MEMPUNYAI ILMU HITAM! SUDAH BIARKAN SAJA!"

"Lebih baik kita adukan ke anak buahnya saja, supaya mereka yang mengurus...."

"Ah, apa mau?!"

"SUDAHLAH.... SEBAIKNYA KITA SEGERA PERGI DARI SINI... ATAU KITA YANG JUSTRU GILIRAN DIMAKAN OLEH ANJING-ANJING ITU"

"Siapa peduli?! Aku mau pulang saja!"

"Aku ikut!!! Mengerikan di sini!!"

"Perlu kita laporkan ke Pak Camat?!"

"Jangan!! Sudah diam saja! Tak ada guna mengurus manusia iblis tersebut! Yang terpenting desa kita sekarang bisa tenang...."

"Ayo kita pulang!!!"

"Baik... Ayooooo!!!!"

"HIIIIHHHH TAKUTTTTT"

Kaum pria melangkah cepat meninggalkan hutan usai memastikan benar Mat Sobari telah mati. Kematian yang seharusnya memberi kabar menyilukan malah kabar gembira bagi Dusun Bambu. Mereka tak peduli dengan mati naas si dukun sakti tersebut. Mereka bakal menggelar syukuran. Bangkainya dibiarkan begitu, habis dimakan Anjing Hutan. Yang mereka masih sangat heran adalah apakah penyebab matinya Mat Sobari yang sangat memilukan dan menyedihkan tersebut? Padahal, dia dikenal sakti mandraguna, konon pula bersekutu dengan Ratu Kidul Pantai Selatan sehingga niat jahatnya hampir selalu mulus. Kemudian suatu waktu dia tiba-tiba menghilang, dianggap bersemedi, justru ditemukan mati tragis. Apakah karena dosa yang ditanggungnya terlampau banyak? Atau kiriman teluh dari dukun lain? Mustahil. Dia dikenal paling sakti oleh warga sekitar. Kematiannya menjadi tanda tanya besar, menghebohkan sekaligus menggegerkan sejagad Dusun Bambu.

"Perlu kita kabarkan ke Pak Kades?"

"Harus, selama ini dia tersandera oleh Mat Sobari, Kades Lama penguasa dusun ini"

"Keluarga Kyai Akhyar?"

"Itu apalagi... mereka harus diutamakan, terutama Anshil. Dia pasti senang sekali mendengar kabar kematian Mat Sobari"

"Tentu, dia tak pandai bersilat, belajar bela diri saja tak mau. Jadi ia tak perlu bersusah payah lagi memikirkan bagaimana membikin Mat Sobari mati!"

"HAHAHAHAHAHAHA....."

"Saya yakin setelah mendengar berita ini Pak Kades akan mengumpulkan kita semua di Balai Desa.....

"Untuk apa? Syukuran maksudmu?! Syukuran atas matinya Mat Sobari?!"

"Tumpengan!"

"HAHAAAHAHAHAHAHAHHA"

=Y=​

POV ANSHIL

BEBERAPA TAHUN YANG LALU........


"Niat banget lu yeee ambil kuliah sejarah..."

"Hitung-hitung bisa belajar apa yang kita sukain, mengapa enggak? Ya kan?", jawabku menanggapi pernyataan sindiran Arvin. Dia adalah teman baikku di kampus. Kami menekuni jurusan ilmu ekonomi di kampus bergengsi ini. Berbeda dengan yang lain, juga dengan Arvin, bila teman-teman sejurusanku banyak yang mengambil mata kuliah lintas fakultas dengan studi yang mendukung fokus riset mereka, Aku justru memilih salah satu mata kuliah yang memang aku sukai, yakni sejarah dan arkeologi, karena ibuku adalah seorang pegawai di sebuah museum negara.

Hampir buku-buku di perpustakaan pribadi di rumah didominasi oleh koleksi ibuku, berisikan buku-buku mengenai sejarah, arkeologi, politik, dan ekonomi. Sementara Ayah adalah seorang manajer di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Dia berbeda dengan ibu. Ayah lebih menyukai buku-buku yang berkaitan dengan sains, juga agama. Ayahku adalah seseorang yang alim, turun-temurun dari kakek yang juga merupakan kyai tersohor di kampung halaman. Dari ayah aku banyak belajar mengenai ilmu agama dan logika berpikir. Dari ibu aku yang agaknya kalem ini banyak belajar mengenai ilmu sosial dan cara bersosialisasi.

Seandai tidak dilarang karena dianggap tak memiliki masa depan yang cemerlang, mungkin aku akan mengikuti jejak ibu. Sebaliknya Ayah dan ibu berkenan memintaku mengambil jurusan lain yang kiranya mampu mendukung perkembangan karierku seiring perubahan zaman. Alhasil, berkuliahlah aku di fakultas ekonomi.

"Shil, liburan semester ini lu punya agenda ke mana?", tanya Arvin setelah kelar kuliah.

"Belum ada rencana sejauh ini, mengapa? Lu mau ngajakin gue ke mana emang?"

"Kirain, gue enggak ada rencana mau ngajak lu ke mana-mana, ahahahaha..... gue kayaknya di rumah aja. Ya persiapin KKN semester depan"

"Hoooh, ngebosenin banget liburan di rumah doang luh..."

"Bodook!"

"Eh iya, lu lagi deketin Dira anak Sejarah yak?"

"Kata siapa?! Enggak ah...."

"Enggak usah bohonglah Shil, pakai acara bohong lu sama gua, informan gue di mana-manah. Hahahahaha.... jangan-jangan lu ambil kuliah di sana karena cuman pengen deketin Dira doang yak, hahaha..."

"Enggaklah.... lu mau ke mana?", Arvin hendak meninggalkan kelas lebih dulu.

"Kantin, laper banget gua... yuk..."

"Enggak ah, gue mau balik, ke rumah.... lagian habis ini gue sudah enggak jadwal kuliah lagi..."

"Cupu luh, kuliah pulang meluluk...."

"Enggak cupu-cupu amat, gue masih gabung organisasi jurusan..."

"Kalau itu gue jugaaa kaleeee.... yaudah gue duluan yapp...."

"Iyaaaa..."

Ruang kelas telah kosong. Aku memasukkan perangkat laptop ke ransel. Sebelum beranjak meninggalkan kampus, aku mau menghampiri mushola fakultas, menunaikan sholat dhuha sebagaimana aku biasa melakukannya. Teman-teman di jurusan mengira aku anak baik-baik yang sholeh, dikira pula bagian dari aktivis dakwah kampus. Padahal, bergabung atau mengikuti kegiatan saja tidak pernah. Dari gaya berpakaian dan penampilan pun tidak sama sekali. Aku lebih sering mengikuti pengajian-pengajian di beberapa masjid di luar kampus karena itu adalah rutinitas yang telah dilakukan sebagaimana Ayah mengajarkannya padaku. Kendati kadang rekan-rekan dari lembaga dakwah kampus mengajakku untuk menghadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh mereka untuk sekadar meramaikan.

Percakapan Whatsapp
Menjelang Siang Pukul 10.30

Tante Dita: kamu lagi di mana, Shil?
Aku: masih di kampus, kenapa Tante?
Tante Dita: kata Ibu kamu, kamu liburan mau ke rumah Kakek ya?
Aku: baru rencana sih. Kenapa?
Tante Dita: Tante juga rencana mau ke sana. Barengan yuk, Shil.
Aku: boleh. Tante. Sama siapa aja?
Tante Dita: kayaknya Tante sendirian. Justru Tante pengen bareng sama kamu, supaya enggak berduaan sama Pak Supir.
Aku: ohhhh. Boleh Tante... diatur aja kapan mau jalannya.
Tante Dita: kamu libur kuliah kapan?
Aku: minggu depan Tante.
Tante Dita: kalau Sabtu besok, bagaimana?
Aku: Emm.... nanti aku tanya ayah dan ibu dulu.
Tante Dita: tolong dikabarin ya Shil....
Aku: Iya Tante, nanti segera aku kabarin.

Tante Dita adalah adik kandung ibu. Ia berusia 38 tahun. Sementara ibuku berusia 43 tahun. Tante Dita adalah seorang karyawati sebuah perusahaan periklanan. Suaminya, Om Franky adalah karyawan swasta sebuah perusahaan tekstil di Utara Jakarta. Mereka telah menikah kurang lebih 7 tahun yang lalu, namun belum dikaruniai seorang anak. Menurut ayah dan ibu, desas-desusnya Tante Dita mandul. Akan tetapi, kata ibu, Om Franky sebagai suami tetap menerima kondisi Tante Dita apa adanya. Mereka hidup berkecukupan karena Om Franky dan Tante Dita memiliki warisan usaha perkebunan dari Orang Tua Om Franky.

Baik Om Franky dan Tante Dita adalah pasangan yang serasi. Aku tidak pernah mendengar kabar miring rumah tangga mereka berdua walaupun sebetulnya aku juga tak terlalu tahu karena kami dekat sebatas hubungan keluarga dari pihak ibu. Sebab Tante Dita dan Om Franky tergolong jarang berkunjung ke rumahku.

"Anshil....."

"eh iya kenapa?" [Aku bertemu dengan Risa di depan Mushola, seorang teman wanita berhijab monokrom. Dia adalah mahasiswi jurusan Manajemen. Kami berhubungan dekat karena sama-sama menyukai membaca novel atau cerpen, terkadang mendialogkan sebuah isu konspirasi]

"kapan-kapan kita diskusinya di Cafe, kamu mau gak?"

"hehehe... males keluarin duit", jawabku melepas kaos kaki.

"aku yang traktir, bagaimana?"

"boleh aja sih. Siapa ajah yang bakal ikut?"

"kamu rencana mau ngajak siapa?"

"aku... emmm.... Ismed, bagaimana? Dia suka baca juga"

"boleh.....", Risa mengangguk ragu.

"kalau kamu mau ngajak siapa?"

"belum tahu"

"kalau bertiga aja gapapa?", tanyaku hendak masuk ke dalam mushola.

"kalau berdua aja gimana?"

"Ismed jadi setan dong. Hehehehe...."

"iiihhh gitu banget...."

Risa adalah perempuan berhijab cantik jelita. Badannya semok meski dia dikenal seorang mahasiswi yang sholihah. Dia hampir sering mengenakan baju-baju yang memperlihatkan bentuk postur tubuhnya. Sedangkan menurut teman sewaktu sekolah menengahnya yang sefakultas dengan kami, Risa dahulu adalah perempuan yang lurus sekali. Dianggap cerminan panutan bagi perempuan sholihah di sekolahnya. Sayangnya, semenjak orang tuanya bercerai, perikaku Risa berubah total. Sungguh sangat disayangkan. Seandai Risa berpegang teguh dengan jalannya sebagai muslimah, mungkin tak perlu aku menaruh hati pada Dira.

Aku tahu Risa sedang berupaya mendekatiku. Untungnya saja dia belum tahu bahwa aku tidak memiliki rasa padanya. Apabila Risa mengajak bertemu. Aku selalu menyangkal tak bisa. Aku menghindari Risa memendam harapan. Lagipula Ismed yang jatuh hati pada Risa, namun Risa mengabaikannya karena Ismed bukan tipikal pria idaman Risa. Risa menyukai pria yang suka membaca, sedangkan Ismed lebih menyenangi olahraga.

Risa meninggalkan Mushola. Aku masuk ke dalam mengambil air wudhu. Aku adalah pemuda yang nakalnya diam-diam sehingga banyak kawan mengira aku anak alim dan baik-baik. Semua itu karena didikan Ayah yang ingin aku memiliki fondasi beragama yang kokoh sehingga terbawa hingga hari ini. Ayah adalah pemimpin rumah tangga istiqomah berkat didikan kakekku yang merupakan seorang kyai di kampung. Aku salut padanya. Hanya saja dia terlampau kaku karena pemahamannya yang begitu saklek. Dia berjanggut dan sering menghadiri kajian kajian keislaman. Sebaliknya Ibu masih belum berhijab, tetapi mereka masih saling menghargai satu sama lain. Ayah yang tak lelah mengajak ibu berhijab. Ibu yang mau mengerti prinsip yang Ayah jalani. Karena perpaduan keduanya, aku tumbuh berkembang sebagai seorang anak yang bisa menerima perbedaan di masyarakat, menjunjung toleransi. Namun, tetap memiliki tanggung jawab sebagai individu yang beragama.

"Shil, buku lu ketinggalan nih..."

"Buku titipan dari Dira.... katanya lu disuruh baca, cieee...."

"Duh, kenapa mesti Dira punya temen deket satu sekolah yang satu jurusan dengan gue yak...."

"Ah gaya banget law.... udah aahhh gue balik lagi ke kantin...."

"Niat banget lu nyamperin ke sini", ucapku ke teman dekat Dira yang satu jurusan denganku.

"Ya gue niat karena males banget megang buku tebel ini lama-lama...."

"Emang buku apaan sih...."

"Kata Dira berhubungan dengan isu yang lu tertarik?"

"Ooohhhh... pemberontakan petani.... terima kasih ya", jawabku menerima buku titipan dari Dira.

"Sama-sama. Lu jangan lama-lama deketin Diranya. Keburu disamber cowok lain duluan..."

"Ya gue gak mau terlalu ngebet banget. Kalau memang dia jatuh hatinya ke yang lain, masa gue paksain?"

"Udah aahh, gue balik lagi ke kantin"

"Tenkyu yaaaa...."

Aku mengira Dira memberi buku ini karena aku tertarik dengan pembahasan mengenai konsep Ratu Adil di tengah masyarakat selama mengikut kuliah sejarah di fakultasnya. Konsep Ratu Adil adalah sebuah anggapan bahwa ada seseorang penyelamat yang akan mensejahterakan masyarakat, membawa masyarakat keluar dari penderitaan dan kesengsaraan. Buku pemberontakan petani ini disinggung oleh Dira karena mempunyai kaitan dengan konsep Ratu Adil tersebut. Aku akan membacanya setelah sholat Dhuha nanti sekaligus dalam perjalanan pulang ke rumah. Bukan tidak mungkin liburanku akan menghabiskan bacaan mengenai buku ini juga.

=Y=​

Ketika masa liburan itu tiba, Anshil berpamitan dengan Ayah dan ibunya. Keduanya berpesan agar Anshil benar-benar memperlakukan hari libur dengan hal-hal yang bermanfaat. Ayah dan ibunya juga tak lupa berpesan agar Anshil selalu mengerjakan ibadah selama di rumah sang kakek. Walaupun Ayah Anshil tidak tampak khawatir karena ia sangat yakin selama di kampung Anshil akan digembleng oleh ayahnya, Kyai Akhyar.

Kepergian Anshil juga tak seorang diri. Ia ditemani oleh Tante Dita yang ingin rehat dari pekerjaan sementara atas usul dari kakaknya, Ibu Anshil. Lagipula Dusun Bambu sebagai tempat yang dituju merupakan desa yang masih asri dengan udara yang sejuk diliputi perbukitan yang hijau juga kabut yang dingin. Mereka pergi bertiga ditemani oleh seorang supir bernama Gito [47 tahun]. Ia seorang duda yang mengadu nasib di Jakarta merupakan kenalan dari Om Franky. Gito telah bercerai dari istrinya karena sang istri kurang menyukai perangai buruk Gito yang acap bermain judi, sedangkan pekerjaannya saja tak jelas, menumpang hidup pada istrinya. Gito telah bekerja untuk Om Franky sebagai supir kurang lebih dua tahun.

"Om Franky kenapa enggak ikut sekalian Tante?", tanya Anshil duduk di kursi baris kedua dalam mobil keluarga.

"Om lagi sibuk-sibuknya, Shil. Kalaupun dia libur, tante juga lagi sibuk-sibuknya. Susah ketemu untuk liburan bareng"

"Owhhh...."

"ini kamu yang ke berapa main ke rumah kakek kamu?"

"ke berapa yaah... kayaknya yang keempat. Tante pertama ya?"

"iyaaaa.... hehehe.... penasaran. Kata ibu kamu tempatnya bagus. Makanya Tante kepengen tahu".

"Enggak akan kesasar kan nih kita? Hehehe...."

"kamu emang enggak hafal jalan?"

"Sekalinya inget, jadi lupa karena jarang berkunjung", jawab Anshil memerhatikan perawakan Tante Dita yang mengenakan sweater rajut dengan dalaman seperti kaos atau tanktop berwarna biru. Dia bisa memahami karena keluarga ibunya yang liberal tidak seperti keluarga ayahnya.

"Ibunya sudah memberikan lokasinya kok tadi", timpal Gito.

"Baguslah.... jadi kita tinggal ikutin google map ajah, iya kan Pak?"

"Yaaaa, enggak perlu banyak tanya juga sepanjang jalan"

Perjalanan pun berlangsung lancar melalui akses tol. Mereka menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam. Anshil yang tak melulu meladeni pembicaraan Tante dan Supirnya mengalihkan perhatian dengan membuka hape dan lebih banyak membaca sebuah buku yang dibawa dari rumah. Ia tak jadi membawa buku pinjaman dari Dira, melainkan buku koleksi sang Ayah mengenai Sains. Anshil ingin mengasah logikanya selama berlibur di rumah sang kakek.

Karena perjalanan yang cukup panjang, Anshil sampai mengantuk-ngantuk. Dia secara nyaris sadar menguping bahwasanya kepergian Tantenya ke kampung halamanya bukan hanya ingin berlibur, tetapi juga terapi ketenangan jiwa dengan sang kakek yang dikenal sebagai ulama.

"Katanya sih enggak diruqyah", tutur Tante Dita kepada Gito.

"Pengalaman saya loh ya Mba. Ya dengan kyai enggak jauh-jauh dari situ juga. Palingan minum air putih dibaca-baca. Disuruh ngaji, sholat..."

"Semoga aja kalaupun gitu bisa menenangkan batin saya ya pak gito"

"Moga-moga mba. Namanya juga kita usaha. Kalau boleh tahu masalahnya masih yang dulu itu?"

"Iyaaa Pak, haduh, mau bagaimana lagi ya? Cukup stres saya"

"Sudah Mba peringatkan yang bersangkutan?"

"Sudah... sudah berulang kali, tetapi yang namanya perempuan gatel, ya nemplok terus"

"Mungkin perempuan yang menggoda Mas Franky, pakai susuk sehingga pengaruhnya kuat"

"Ada kemungkinan, tetapi ilmu saya enggak sampai situ Pak. Enggak paham. Makanya saya mau ke tempat mertuanya kakak saya ingin mendalami yang sebenarnya. Barangkali dia tahu sesuatu yang saya tidak tahu"

"Iyaaa, yaaaa... bisa tangkap saya maksud Mba"

Anshil tak berminat untuk mengetahui lebih lanjut. Dia bersikap masa bodoh dan tak mau mencampuri problema rumah tangga Tantenya. Dia mengambil earphone dari ransel, menyumbat telinga, menyaksikan tayangan podcast lewat ponsel. Tante Dita
yang sedang berbicara dengan Gito sepanjang perjalanan diluputkan oleh Anshil.

Kemudian hampir sesampainya di rumah sang kakek, mobil yang dikemudikan oleh Gito dicegat oleh preman yang menagih pungli. Gito keras kepala, mencoba menggertak karena dia merasa benar dan memiliki nyali besar. Preman tersebut tak mau berdebat panjang. Mereka membolehkan mobil yang ditumpangi oleh Anshil memasuki wilayah Dusun Bambu. Sayangnya perjalanan yang dikira bakal mulus, kembali dicegat oleh seseorang berbadan besar, bertubuh tegap, tingginya kira-kira 186. Dia berwajah menyerupai Limbad dengan rambut gondrong, kumis panjang, jenggot brewok urakan. Berpakaian rompi hitam nan rapi seolah-olah ia adalah orang yang layak dihormati. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Mat Sobari! Perjalanan Anshil kembali terhadang. Pria tersebut ingin kami keluar dari mobil.

"Sok jagoan betul dia...", kesal Gito. Dia lekas keluar dari mobil seakan ingin menantang, unjuk kekuatan. Anshil dan Tante Dita sudah berupaya menahan. Namun Gito hendak menunjukkan siapa dirinya yang bukan pengecut. Dia membanting pintu kencang-kencang. Sebaliknya yang terjadi kemudian adalah Gito yang terbanting ke tanah. Dengan satu pukulan keras yang mengenai perut, Gito sempoyongan, tubuhnya terpelanting ke semak-semak, kepalanya nyaris terbentur batu.

BBBBBRAAAAAAAAKKKK!!!!

"MODAL OTOT SAJA TAK AKAN CUKUP KALAU OTAKMU KOSONG, TOLOL!", Mat Sobari menghina Gito. Kembali Gito berupaya melawan, menyerang Mat Sobari, hendak meninju. Namun dikira bakal menghindar, Mat Sobari memberikan badannya untuk dipukul oleh Gito sepuas-puasnya.

BUGH! BUGH! BUGH! BUGH! BUGH! BUGH!

HAHAHAHAHAHAHAH, TAK BERASA PUKULANMU, CONGEK!

SREEEEEKKKKK...|Rambut Gito dijambak kuat-kuat oleh Mat Sobari. Pria kekar itu lalu mengadu kepalanya dengan Kepala Gito. Dahi mereka saling bertemu.

BBBLLLAAAAAAKKKK!!!!

HIYAAAAAAAHHHH!!!!.....|Gito tak sadarkan diri. Badannya rubuh di hadapan Mat Sobari. Anshil dan Tante Dita panik ketakutan.

BERSAMBUNG...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd