Chapter 42
“Makasih banyak, Bang. Alasan gua kenapa nyaman ngobrol sama lu. Karena lu gak pernah ngehardik ataupun ngomong buruk tentang gua. Dikala Mama dan Papa, sering marahin gua. Dan sering bilang hal negatif tentang gua,” ujar Andri yang keliatan lebih lega.
Gua harus mengakui sebuah fakta menyedihkan, Nyokap gua sering banget diskriminasi Andrian. Kalo Bokap dia jarang diskriminasi sebelum Nyokap meninggal. Dia memang rada bandel, sering main game dan sumpah serapah di kamarnya. Pokoknya rada-rada introvertlah.
Beda sama gua yang kerjaannya malah main mulu. Andrian jarang punya temen, bahkan dia sering jadi korban pembullyan. Gua selalu berusaha belain dia, tapi Bokap selalu marahin Andrian kalo dia dibully. Bokap sering kasih saran yang menurut gua kurang pas ke Andrian.
Andrian disuruh untuk hajar kalo perlu bunuh orang yang bully dia. Sementara Nyokap kaya sering melakukan pewajaran atas pembullyan yang dialamin Andri. Kaya wajar aja Andri dibully pendek, dia aja males gerak dan olahraga. Kurang lebih gitulah yang diomongin Nyokap.
Nyokap selalu bilang, pembullyan yang terjadi ke Andrian. Semuanya terjadi karena tingkah Andrian sendiri. Males gerak, kerjaannya main game sampai matanya bermasalah, terlalu manja, dan Nyokap sering menganggap Andrian itu payah dan gak punya masa depan.
Iyaa Andrian itu memang suka ngelawan Bokap dan Nyokap. Tapi dia gak pernah bantah perkataan gua, kalo omongan Nyokap gak didenger. Biasanya Nyokap minta tolong gua buat nasehatin Andrian. Tapi cara gua nasehatin gak mengintimidasi atau menyerang dia.
Lebih ke arah bercanda, guyonan bareng dan diselipin nasehat-nasehat yang dititipin Nyokap ke gua. Dan setelah gua nasehatin dengan cara itu, Andri mau denger perkataan gua. Dan dia lakuin apa yang gua nasehatin ke dia, dulu gua sama Andri seharmonis itu.
Di mata gua Andrian anak yang baik, manis, dan penurut. Nyokap sering bilang wajahnya jelek dan kulitnya hitam. Tapi menurut gua Andrian itu hitam manis. Dia juga hatinya lembut, itu kelebihan dia yang gak gua punya. Kalo gua lebih ke bodo amatan dan gak peduli.
Sayangnya perhatian dan kelembutan Andri, sering disalah artikan oleh Bokap dan Nyokap. Dan juga oleh saudara-saudara gua yang lain. Seolah semua tindakan Andrian itu serba salah dan gak ada benernya. Bahkan Andrian sering dibandingin terus sama gua.
Sampai Andrian berkali-kali bilang, dia ingin jadi kaya gua. Sumpah gua sedih banget dengernya, gak ada orang yang bisa menerima Andri apa adanya. Sampai Andri punya tekad untuk bersifat dan berperilaku kaya gua. Andri yang gua lawan sekarang, dia adalah Andri.
Yang sedang bersikap seperti gua. Gua orangnya pendendam parah, suka nyerang orang lain, emosian, dan kadang-kadang suka cari masalah. Apa yang Andrian lakuin sekarang, semuanya adalah yang sering gua lakuin waktu sekolah, kuliah, dan awal-awal kerja.
Cuma masalahnya sifat dan perilaku gua ini, gak banyak keluarga gua yang tau. Karena lebih gua tunjukin di luar rumah, dan sesekali Andri ngeliat tingkah gua yang blangsatan. Andri yang gua kenal gak pendendam kaya gini, dia juga gak punya keinginan menyakiti orang lain.
Justru semua yang dilakukan Andrian sekarang, dia bener-bener berubah menjadi gua seutuhnya. Semua sikap dan sifat buruk gua, diambil dan dimasukin ke diri dia. Bahkan gua ngeliat cerminan diri gua yang bener-bener jelas, di tatapan dan perilaku Andrian.
***
Sesampainya di rumah duka Riska, di sana udah banyak orang yang duduk dan nungguin jenazah Riska dateng. Gua belum ngeliat ada tanda-tanda kedatangan Andrian, para CPO saat itu berdiskusi. Mereka semua pakai vest bulletproof, ada yang jelas pakainya di depan baju.
Ada yang vest dimasukin ke dalam pakaian mereka. Sarah saat itu juga dipakaikan vest bullet proof. “Kak Sarah pakai vest yaa, nanti setelah berkunjung ke rumah duka. Kak Sarah langsung masuk ke dalam mobil. Kak Sarah lagi hamil, kami harus lebih hati-hati ke Kakak.”
Sarah mengangguk dan menuruti perkataan Diana kala itu. Bross akhirnya melakukan briefing kepada kedelapan CPO lainnya. “Kita akan pecah kelompok jadi dua bagian. Yang pakai vest di dalam baju, kalian berkeliaranlah jadi orang biasa. Berbaur sama orang-orang.”
“Yang vestnya dipakai di luar, kalian standby di posisi di mana mobil Andrian dan para CPOnya akan dateng. Jangan melakukan tembakan, sebelum gua perintahkan untuk menembak. Dia akan parkirin mobil di 30 meter di sisi barat. Kalian bersembunyi di sana.”
“Pastikan posisi kalian yang pakai vest gak keliatan. Gua sama Diana akan ngawal Bos Sarah dan Angga. 4 orang yang vestnya dipakai di luar, berjaga di posisi masing-masing. 3 orang yang vestnya di dalem, berkeliling dan pantau kondisi. Usahakan jangan jauh dari Angga juga.”
Selesai briefing, akhirnya mereka masuk berjaga di posisi masing-masing. Fariska, Hanzel, dan Julia yang pakai vest di dalam baju. Mereka bergerak sebagai penduduk biasa, mereka bahkan ikut masuk ke rumah duka. Dan ikut mendoakan kepergian Riska agar tenang.
Gua sama Sarah saat itu berdiri di samping jenazah Riska. Gua termenung mengingat semua jasa baiknya Riska, dan setelah 5 menit gua berdiri di samping jenazahnya Riska. Andrian akhirnya dateng, dia dateng dikawal sama Rizal dan satu orang body guard yang gak gua kenal.
Andrian cipika cipiki sama kedua orang tuanya Riska. Dia juga memeluk kedua orang tua Riska, seolah-olah dia ikut sedih dan larut dalam kematian Riska. Rizal saat itu udah ngeliat gua dan Sarah, karena Andrian udah masuk ke dalem rumah duka. Sarah akhirnya dibawa keluar.
Diana bawa keluar Sarah untuk kembali ke mobil. Dan sekarang di dalem rumah duka tersisa gua, Bross, Fariska, Julia, dan Hanzel. Setelah mereka cipika cipiki, Andrian dengan sengaja berdiri di samping gua. Dia buka kain penutup jenazah Riska, dan ngelus kepalanya Riska.
Sementara Rizal dan satu body guardnya lagi berdiri di belakang gua persis. Jarak gua sama Andrian, bahkan gak ada 30 cm. Setelah beberapa bulan, akhirnya gua sama dia bisa ketemu sampai sedekat ini. “Sayang yaa, dia harus meninggal secepat ini. Dia lagi hamil pula.”
“Iyaa, sangat disayangkan. Apalagi ternyata orang yang ngebunuh dia, ternyata laki-laki yang paling dia percaya. Orang yang selama ini dia kenal baik, dan juga berhati lembut. Bukankah begitu, Andrian?” jawab gua sambil nyindir dia telak.
Andrian berdiri menghadap gua, dia tersenyum dan kemudian menyapa gua dengan sok ramah. “Aahh? Benarkah? Siapa kira-kira orang yang paling dia cintai dan membunuh dia? Apakah jangan-jangan orang yang berdiri di depan gua ini? Sekarang lu keliatan lebih kuat.”
Gua ngepalin tangan sekuat tenaga, belum waktunya untuk gua mukul dia di sini. “Iyaa gua sekarang lebih kuat, cukup kuat untuk bikin lu masuk rumah sakit. Lu selama ini nyari keberadaan gua kan? Ayoo, sekarang gua ada di depan lu. Lu mau apain gua? Hah?”
Gua melangkah deketin Andrian, gua tempelin dada gua tepat di depan kepala dia. “Sabar, jangan terlalu buru-buru untuk disiksa dong. Untunglah di sini jauh dari rumah, kita bisa ngelakuin banyak hal menyenangkan di sini. Seperti yang sering kita lakuin sebelumnya.”
Rizal dan satu orang body guardnya Andrian semakin nempelin gua dari belakang. Dan tiba-tiba dari belakang, Bross dengan entengnya narik tubuh mereka berdua. “Heey… Heeyy… Heeyy… Gak baik ikut campur dalam urusan adik kakak bukan? Gimana kalo kita coba ngopi sebentar?”
Bross ngerangkul Rizal dan body guard satunya pakai kedua tangannya. Dia keliatan berani dan santai banget, mentalnya Bross bener-bener udah terlatih. Andrian yang ngeliat ada Bross di belakang, muka dia langsung keliatan kaget dan agak pucet. Iyaa dia pasti gak nyangka.
“Ohh? Lu gak dateng sendirian ke sini ternyata. Sekarang lu punya satu orang body guard? Punya uang juga lu untuk bayar satu CPO?” tanya Andrian yang kagetnya cuma sebentar. Jika perkataan Shifa benar, Andrian bawa 8 orang CPO. Jumlah kami seimbang di sini.
Tapi yang menguntungkan bagi gua, Andrian sama sekali gak tau seberapa banyak kekuatan di belakang gua. Rizal dan satu body guard Andrian, dia langsung nyerang Bross pakai sikut. Bross saat itu cuma diem gak ngelawan, dan setelahnya dia ketawa terbahak-bahak.
“Bhahahaa… Aduhh, gua baru kelar makan udah disikut kaya gini. Gimana kalo nanti gua muntah? Dan keluarnya tepat di muka kalian berdua? Hahaha nanti rumah duka ini jadi kotor karena muka kalian. Hahahahaha.” Anjiingg, Bross malah bersenang-senang di sini, hahaha.
