Guru Bahasa Indonesiaku
Bu Niken
Hampir tidak ada yang menarik selama masa orientasi siswa. Yang kurasa, aku cuma diperkenalkan oleh kakak senior mengenai seluruh ruangan, sudut demi sudut, fasilitas demi fasilitas, yang ada di sekolah bertingkat 3 ini. Selebihnya, kami dibimbing sekaligus diperkenalkan oleh guru-guru yang akan mengajarkan kami di kelas 10 SMA, dahulu kelas 1 sma. Salah seorang dari mereka pula yang sudah memberi jadwal pelajaran. Maka, tak pelak, suasana dalam kelas baruku ini begitu hambar, sehingga angin diketinggian lantai 3 ini tak lagi dirasa berhembus, kalah oleh niat seluruh siswa dalam kelas yang lebih menginginkan pulang ke rumah ketimbang berlama-lama menjalani masa orientasi ini.
Tidak hanya mereka yang jenuh, begitu juga aku. Apalagi teman baru yang duduk di sebelahku, selalu bicara tentang masalah agama, yang tak terlalu kumengerti. Namanya, Syarifuddin, dipanggil udin. Dia duduk satu meja denganku, di baris kedua, dari meja depan. Andai saja kakek masih hidup, akan kupertemukan kakek dan si udin ini, tampaknya obrolan mereka bakal nyambung.
"Yan, lo tahu gak, yang namanya tahlilan sama maulid itu gak boleh, bid'ah yan. Soalnya, gak ada hadist yang sahih yang ngebahas masalah itu. Kebanyakan hadistnya maudu alias palsu, yan", Udin terus mengutarakan isi otaknya yang nyaris aku tak pahami.
"Hmmm gitu...", aku cuma mendengarkan dengan baik supaya dia tidak tersinggung.
Rezky teman pertamaku, lebih memilih duduk dengan kawan satu sekolahnya. Pikirku, barangkali rezky tidak mau duduk dekat denganku karena mulai sadar akan aibku ini, gigi tonggos. Yang mungkin menurut rezky, gigiku ini bisa membawa sial baginya.
Beruntung, dan sungguh beruntung, di kelas baru ini, Dilla satu kelas denganku. Kini, Ia sedang duduk sembari mengobrol dengan seorang kawan perempuan, yang cantiknya berimbang dengan dilla. Entahlah apa yang mereka obrolkan. Begitu jauh jaraknya denganku. Lagipula telingaku bukan telinga kelelawar.
"Hmm aneh", pola duduk di kelas baru ini, kebanyakan duduk mengelompok, macam tinggal di sebuah perkampungan. Yang ganteng kumpul sama yang ganteng, yang cantik kumpul sama yang cantik, yang yang pinter kumpul sama yang pinter"
"lalu, aku?", aku mungkin tergabung dalam kelompok yang sesat, dibilang jelek juga tidak, dibilang pintar juga tidak. Lihat saja teman sebelahku ini, si udin.
"Yan, lo dengerin gue ngomong gak, sih?", protes udin, mulai menyadari bahwasanya aku pura-pura menyimak apa yang ia katakan.
"Dengerin kok, dengerin...", jawabku ke pria yang berasal dari sekolah menengah pertama Islam Terpadu ini. Ketika aku berkata demikian kepada udin, dari pintu masuk nan keluar kelasku muncul seorang guru wanita, yang auranya berhasil menyita perhatian kebanyakan kaum pria di kelas ini. Bukan batik yang ia kenakan sepertinya yang membuat kami sontak terdiam. Tetapi, wajahnya yang ayu.
"ini kelas 10 b 'kan?", begitulah yang ia tanyakan pada seorang temanku yang duduk di baris depan sembari berjalan terburu-buru menuju meja guru, membawa sebuah buku, sekaligus menebar pesona kecantikannya.
"Ih cantik banget itu guru...sekssiii gilaaakkk......", begitulah sayup-sayup yang terdengar kala guru wanita yang belum memperkenalkan dirinya ini tiba di kelasku. Serentak kaum pria heboh, macam tak pernah lihat pose wanita di majalah dewasa.
"Din, istighfar din. Jaga pandangan...", sentilku kepada udin, sifat lelaki normalnya keluar. Dibuat terbengong-bengong ia yang daritadi bicara agama denganku.
"Siaangg semua,.....", guru wanita tersebut menyapa, selanjutnya mengambil jeda sejenak, masih memgatur pola nafasnya yang belum teratur. Ia memandang kami, siswa baru di sekolah ini.
"Udah pada kenal saya?", ia melempar senyuman manis, seakan memancing kami untuk merayu.
Serentak siswa menyahut, "belumm......"
Ketika berteriak "belum", tampak udin paling bersemangat kulihat.
"Oke, nama saya Niken Ayu. Kalian bisa panggil saya bu niken. Saya di sekolah ini udah setahun mengajar bahasa Indonesia. Kalian nanti saya yang mengajari.... ada yang ingin ditanyakan?", hemat kata sekali guru bahasa Indonesiaku ini, yang rambut hitamnya terurai panjang nan berkilauan bak model iklan shampo, sampai-sampai ia ingin ditanyakan oleh siswanya. Alhasil, keributan pun memyeruak. Kaum pria ramai-ramai menyusun pertanyaan.
"Bu, udah nikah?", sambil cengengesan temanku yang duduk di barisan belakang melempar pertanyaan guyonan, membuat kami yang lain kompak menertawakan.
"Hmmm, belum. Tapi, saya kebetulan seminggu yang lalu baru aja dilamar", sang guru tersenyum. Lekas disambut sorakan, "Yaaahhhhhhh......" Serentak para pria dibuat patah hati massal. Harapan yang baru dibuat, lantas sirna seketika. akan tetapi, sepatutnya mereka tenang. Beberapa kaum hawa bereaksi tersenyum seakan mau bilang, "aku lagi kosong, kok..."
"Ada lagi....?", si ibu niken memancing kami untuk bertanya lagi. Para pria yang masih belum bertanya, mulai tampilkan gelagatnya. "Buu, saya!", suara lantangnya dibarengi dengan acungan jari telunjuk tinggi-tinggi, ia adalah salah seorang pria yang duduk di dekat kawannya yang baru saja bertanya guyon.
"Ukuran.....mmmm", mendadak ia diam, kulihat ia cengengesan bersama teman di sebelahnya. "Gak jadi deh bu...", mendadak batal bertanya dia karena sekilas kudengar dari belakang ia mau bertanya ukuran bra bu niken. Lantas tidak jadinya pertanyaan tersebut disambut sorakan kami, "huuuuuu....".
"Yaudah kita langsung mulai belajar aja, ya?", bu niken lantas duduk sembari membuka buku yang tak aku tahu judulnya. Ajakannya tersebut tentu langsung ditolak oleh kami yang benar-benar masih baru di sekolah ini. Lagipula masih masa orientasi, masih mengenakan seragam putih-biru pula.
"Tenang aja kita belajarnya gak lama kok. Jadinya nyantai aja.. Saya di sini 'kan juga belum kenal kalian satu per satu. Saya juga mau bahas tentang novel. Ada yang tahu apa itu novel?", bu niken mengajukan sebuah pertanyaan sekaligus ingin mengetahui nama kami satu per satu.
"Saya tahunya Novel Fitsa Hatss, bu....", celetuk salah seorang siswa yang tampaknya rajin memyaksikan berita di televisi. Namun, celetukan dirinya diabaikan oleh bu niken.
"Ada yang tahu gak?", bu niken coba perhatikan satu per satu wajah kami. Kiranya ada yang mau menjawab pertanyaannya.
"Saya bu. Nama saya faradilla zuchrina, nama panggilan saya dilla. Kalau menurut saya, novel itu
sebuah cerita yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku dalam cerita", Dilla, gadis yang pujaanku itu menjelaskannya begitu lengkap, seakan ia tahu banyak.
"Saya bu, nama saya Bagas Mahardika, nama panggilan saya bagas. Menurut saya novel itu
cerita fiktif", ucap kawanku yang paling tampan di kelas, bernama bagas, yang jawabannya amat singkat ketimbang jawaban dilla.
Satu demi satu kawanku menyatakan pendapatnya mengenai pengertian novel. Sementara aku malah asyik mendengarkannya. Beginilah nasib yang harus kuterima kala masa smp-ku begitu kelam, macam orang bodoh. Aku cuma bisa menjadi penyaksi saat teman-temanku mengutarakan pendapatnya. "Benar-benar telah sesatlah aku ini..."
....................
"Iya bener, jawaban kalian bener semua. Jadi, novel itu merupakan cerita panjang yang menceritakan atau menggambarkan tentang kehidupan manusia yang berinteraksi dengan lingkungan dan juga sesamanya"
"Di dalam sebuah novel, biasanya pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan arahan kepada pembaca untuk mengetahui pesan tersembunyi seperti gambaran realita kehidupan melalui sebuah cerita yang terkandung di dalam novel tersebut", sempurna penjelasan bu niken tentang novel sekaligus menutup dan memberikan kesimpulan dari pendapat kami.
"Ada pertanyaan?", setelah menerangkan dengan panjang lebar pengertian novel, lagi bu niken melemparkan pertanyaan kepada kami yang mulai jenuh. Tak heran, saat pertanyaan tersebut diutarakannya, suasana berubah hening.
"Oke, kalian mau cepet selesai apa gak belajarnya?", bu niken melemparkan tawaran menggiurkan bagi siswa-siswa yang mulai diselimuti aura malas, termasuk aku.
"mau bu!", kompak kami semua menjawab.
"yaudah, saya kasih kalian tugas buat minggu depan...", ucapan bu niken barusan langsung menghentakkan kami.
"yaahhhh", lantas disambutlah dengan kecewa kami
"gampang kok tugasnya, siapin sebual novel Indonesia, kalian baca, terus nanti pas kita ketemu lagi, saya tanyain kalian tentang novel yang kalian baca itu, oke ya?"
"temanya bebas 'kan novelnya, bu...?", tanya salah seorang teman wanitaku yang duduk di baris depan.
"Iya bebas. Intinya novel Indonesia....", balas bu niken kepada siswa yang bertanya.
"Jadi, inget ya minggu depan, pas pelajaran bahasa Indonesia, kalian bawa juga aja novel yang kalian baca, nanti ibu tanyain", bu niken coba mengingatkan sekali lagi kepada siswa-siswanya.
Hmm baru menjadi siswa putih abu-abu, aku sudah mendapatkan tugas. Tugas baca novel lagi. Sesuatu yang jarang aku lakukan. Lagipula novel aku tak punya. Merepotkan sekali guru bahasa Indonesiaku ini. Kulirik si udin yang daritadi cenderung diam macam aku yang sedang tersesat ini. Sepertinya dia tenang-tenang saja menyikapi tugas dari bu niken.
"Din, tugas dari bu niken lo bagaimana?", tanyaku kepada udin yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Ohh itu. gue itu mah udah dapet referensi novelnya", jawab udin tak menoleh ke arahku, lebih penting ke layar ponselnya. Menurutku, udin benar-benar sudah menemukan referensi novel yang akan ia baca.
"Judulnya apaan, din?", tanyaku penasaran dengan novel yang akan udin baca.
"Ayat-Ayat Cinta", jawabnya begitu singkat, seakan sedang tak mau diajak bicara olehku. Lihat saja, lagi dia menjawab tak melihat lawan bicaranya.
Si udin saja sudah punya referensi novel yang akan ia baca, sedangkan aku belum sama sekali. Bagaimana dengan yang lain "Adduhh" Sepertinya aku harus membeli novel demi tugas ini. Kalau tidak, pupus sudah keinginan sungguh-sungguhku untuk berubah, keluar dari belenggu kegelapan ini. Yang ada nanti, aibku ini kembali menjadi bahan hinaan kawan-kawan kepadaku. Kalau kata bapak dan ibu, aku harus isi otakku jikalau tidak mau dihina orang. Lagipula, kalau aku berada di sekolah ini hanya jadi bahan hinaan, tak bedanya dengan di smp dulu. Bakalan musnah pula cintaku yang belum tersampaikan ini kepada Dilla. Apa dilla mau dengan orang bodoh?
Namun, aku teringat akan sesuatu.
"Ohh ya, almarhum kakek 'kan punya lemari buku! Masa gak ada novel di dalamnya..."
"Tapi, setidaknya aku usahan minta dibelikan novel dulu sama ibu".
###