Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG G I W A N G

BAB 22


Rojak tidak percaya saat melihat wajah Dirga yang terlihat jelas di layar handphonenya. Karena masih tidak percaya, dia mengecek semua data-data yang dikirim kepadanya.

Dia lemas ketika mengetahui bahwa Target Nomor Satunya benar-benar Dirga. Itu berarti Azka yang notabennya anak asuh dari istrinya akan menjadi musuhnya mulai saat ini.

Dia harus melindungi target nomor satunya dari segala marabahaya dari para musuh-musuhnya.

"Kenapa Pak Dirga bisa bergabung dengan Cahaya Bumi?" Rojak merasa geram memikirkan hal itu.

“Kenapa harus Azka yang menjadi musuhku?” Ucapnya lemas.

Rojak bergegas menggunakan handphone-nya untuk menghubungi Tuan Naga Tujuh.

"Halo!" Sapa Tuan Naga Tujuh di seberang sana.

"Bagaimana caranya untuk membatalkan perintah? Aku baru saja mendapat email dari pusat, diminta untuk menjaga orang yang aku tidak suka dan tidak layak ku jaga!" Tanya Rojak dengan geram.

Naga Tujuh tertawa di seberang sana.

"Bukannya kamu sudah paham? Kalau dalam penjagaan tidak boleh mencampur adukkan dengan urusan pribadi? Siapapun yang menjadi Target Nomor Satu, meskipun itu musuhmu sendiri, kamu harus tetap menjaganya dan bersiap mengorbankan nyawa untuknya" Tegas Naga Tujuh

Seperti halnya aku saat ini, yang terpaksa harus menjaga anak bau kencur itu! Mendiang ayahnya yang mengundurkan diri dari Organisasi Cahaya Bumi hampir saja merenggut nyawaku! Aku dianggap tidak becus membuat Pak Santanu percaya pada Kelompok Naga, padahal alasannya bukan karena itu! Dan sekarang anaknya sudah berulah! Dia banyak musuh di mana-mana!"

"Loh! Jangan salahkan anaknya!!" Geram Rojak tak terima.

"Kalau begitu kenapa anda menyalahkan Organisasi Cahaya Bumi? Hanya karena memilihmu untuk menjaga Target Nomor Satumu yang kamu sendiri tidak suka!” Balas Naga Tujuh.

Rojak mendengus kasar mendengarnya, argumennya di putar balik oleh Naga Tujuh.

"Kalau seandainya aku mengundurkan diri, apa yang kira-kira bakal terjadi?" Tanya Rojak yang sebenarnya sudah tau akan jawabannya.

"Bukannya kamu sudah tahu? Bahwa siapa saja yang berkhianat, akan dihapus dari keanggotaan Cahaya Bumi. Dan bukan hanya keanggotaannya saja yang dihapuskan, tapi jejak-jejaknya juga. Itu artinya kamu harus siap untuk dilenyapkan!”

Rojak langsung mematikan handphone-nya lalu membantingnya ke kasur.

-----------------------------------

Azka yang hendak berangkat kuliah tiba-tiba mendapat telepon dari Marwan. Dia berhenti melangkah menuju motor vespanya lalu mengangkat telepon dari anak buahnya itu.

"Halo!" Jawab Azka.

"Saya sudah menemukan sejumlah tempat terbaik untuk membuka warung sembako dan juga sejumlah becak yang Abang minta" Lapor Marwan di seberang sana.

"Data tempat dan harga sewanya per bulan sudah saya catat dan sudah saya kirimkan ke email, Abang” Lanjutnya.

Azka senang mendapatkan kabar itu.

"Apa menurutmu harga sewanya terlalu mahal?" Tanya Azka memastikan.

"Menurut saya tidak terlalu mahal, Bang. Setelah saya tanya ke warung-warung yang sudah lama beroperasi, kata mereka harga segitu sudah standar”.

"Bagus!" Ucap Azka.

"Sekarang juga kamu atur penyewaan semua tempat itu dan suruh Nugi untuk membayar uang sewanya."

"Apa gak sebaiknya sama Abang juga? Nanti kalo saya
salah gimana, Bang?" Tanya Marwan khawatir.

"Aku percaya denganmu, Juki dan Nugi" ucap Azka tanpa keraguan.

“Terimakasih, Bang!” Jawab Marwan dengan terharu.

"Menurut perhitungan kita kemarin, di kas masih ada lima puluh juta, kan? Minta setengahnya pada Nugi untuk membeli satu unit mobil bak second untuk operasional pengantaran srmbako yang akan dijual di warung-warung nanti, biar aku langsung menghubungi Supliernya untuk menyediakan semuanya."

"Siap, Bang!"

Azka menyimpan handphone-nya dengan lega. Setelah itu dia memakai helm lalu naik ke motornya untuk berangkat kuliah.

Dan selama dua minggu lebih, akhirnya dua puluh lima warung sembako dan lima puluh warung sembako berjalan telah berhasil beroperasi di tempat-tempat strategis.

Saat ini Azka berada di markas yang terlihat sunyi, tak lagi didapati anak buahnya yang berleha-leha. Kini mereka semua telah memiliki pekerjaan baru, ada yang menjaga warung sembako, ada pula yang berjualan sembako keliling. Hanya saat hari menjelang petang sajalah mereka semua akan balik ke markas.

Saat mata Azka menyapu ruangan markas yang terasa sunyi itu, teleponnya berdering. Sambil merogoh isi dalam saku celananya, dia juga menjatuhkan sepuntung rokok yang dijepitnya lalu menginjaknya hingga padam.

Azka menjawab telponnya, ternyata panggilan itu dari Juki. Juki melaporkan, bahwa tempat-tempat parkir yang selama ini menjadi kekuasaan mereka, kini telah di isi oleh anak buah Penguasa Kuda Hitam yang tinggal di wilayah-wilayah mereka.

"Biarkan saja!" Jawab Azka.

Juki mengernyit heran dari seberang sana, "Mereka merebut wilayah kekuasan kita, Bang!”

"Tapi kita sudah memiliki warung sembako itu sebagai gantinya" Sahut Azka

"Lagipula yang mengisi tempat-tempat parkiran itu tinggal di daerah yang dekat dengan wilayah parkirannya. Jika kita mengusir mereka, sama saja seperti mengusir warga setempat. Yang penting Penguasa Kuda Hitam tidak membuat kekacauan di wilayah kita. Jika mereka berani membuat kekacauan, baru kalian bertindak."

"Siap, Bang!" Juki menutup telponnya.

Kemudian Azka menghubungi Marwan.

"Bagaimana dengan para anggota yang berjualan, apa ada masalah?" Tanya Azka memastikan setelah seminggu beroperasi.

"Mereka sudah paham semuanya, Bang. Sampai sekarang belum ada laporan apa-apa yang berarti, ya walaupun awalnya mereka malu dan kaku" Jawab Marwan.

Saat pembincangan telpon itu, panggilan yang lain masuk dengan status layar Juki memanggil.

“Juki? Apa ada masalah yang lain?” Gumam Azka menatap layar handphone nya.

“Bang… Hallo, Bang!” Seru Marwan.

“Ya sudah jika tidak ada masalah yang berarti, matikan saja telponnya!” Kata Azka yang langsung di iyakan oleh Marwan meski dia merasa bingung.

Lalu Azka menjawab panggilan Juki.

"Maaf, Bang!" Pekik Juki.

"Ada apa lagi?" Azka menjauhkan sedikit handphone nya karena kupingnya terasa berdengung.

"Barusan ada anggota kita yang berjualan keliling dengan menggunakan becak, melaporkan bahwa anak buah Pak Dirga sudah mulai bergerak lagi untuk membujuk para warga agar mau menandatangani penjualan rumah dan tanah di wilayah kita!” Papar Juki.

Azka geram mendengar itu, "Kerahkan anak buah yang berjualan keliling di daerah sana untuk berjaga. Perintahkan pada mereka jangan sampai ada warga yang mau menandatanganinya! Tapi ingat, jangan berusaha menghalangi warga dengan kekerasan”

“Biarkan saja anak buah Pak Dirga berkeliaran menemui warga, tapi kalian tetap awasi para warga. Jika mendapati para warga mendapatkan pemaksaan dan kekerasan. Kita akan siap siap berperang dengan mereka.”

"Siap, Bang!"

Azka keluar dari Markas lalu menuju Vespa orangenya yang terparkir di luar.

Hingga tengah malam barulah Juki kembali melaporkan.

“Bagaimana?” Tanya Azka penasaran.

"Semuanya aman, Bang! Tidak ada kekerasan dan seluruh warga sudah menolak menandatangani" Jawab Juki dari seberang telpon.

Azka lega mendengar itu.

"Untuk malam ini perintahkan pada anggota yang berjaga di sana untuk tidak kembali ke markas, mereka harus tetap berjaga disana, aku khawatir Pak Dirga kembali menyuruh anak buahnya untuk menggunakan cara lain”

“Beritahu pada Nugi, untuk menyediakan keperluan para anggota yang berjaga di sana, jangan sampai mereka kelaparan!”.

“Baik, Bang!”.

-------------------------------------

Dirga menggebrak meja di ruang kerja rumahnya saat mendapatkan laporan dari anak buahnya yang gagal membujuk para warga untuk menandatangani surat persetujuan.

"Ini pasti ulah Penguasa Macan Kumbang!" Teriak Dirga sambil mengamuk.

"Sepertinya begitu, Pak. Saat kami ke sana, banyak preman yang berjaga di perkampungan itu.

Mendengar itu, Dirga mengeratkan giginya, "Malam ini juga kamu kerahkan anak buah terbaik kita untuk membakar perkampungan itu!"

"Tapi, Pak..." Protesnya.

"Tidak ada tapi-tapi! Kamu harus mencari cara agar kebakaran di sana bukan karena unsur kesengajaan, buat alibi seolah keteledoran itu dilakukan oleh warga!" Perintah Dirga.

"Nanti kalau ada yang curiga bagaimana, Pak?"

"Curiga bagaimana? Kalau bukti sudah ada bahwa kebakaran di sana terjadi karena keteledoran warganya, tidak akan ada yang curiga dengan kita, bodoh!”

“Mereka juga tidak akan bisa menuntut! Karena kita sudah mendapatkan izin dari pemerintah setempat dengan syarat mendapatkan persetujuan warga!”

“Sekarang kita belum mendapatkan persetujuan itu! Kalau semuanya sudah terbakar habis, para warga tidak akan memiliki uang lagi untuk membangun rumah, mau tidak mau mereka harus menjual tanah mereka. Kita akan beli semua. Dengan begitu kita akan mendapatkan tanah di kawasan itu secara sah!" Papar Dirga.

"Baik, Pak." Jawabnya dan kemudian pergi.

Dirga meraih handphonenya dan menghubungi Nasution yang sebagai Manager di kantornya.

"Halo" Jawab Nasution di seberang sana.

"Bagaimana? Apa Kelompok Naga sudah aktif menjaga kita?" Tanya Dirga.

"Maaf, Pak. Saat ini masih belum aktif" Jawab Nasution.

"Sepertinya harus menunggu” Lanjutnya.

Dirga marah, "Kita sudah terdaftar di Organisasi Cahaya Bumi! Harusnya sekarang mereka sudah aktif menjaga kita!"

"Mungkin ada kendala di dalam organisasinya, Pak. Saya sudah bertanya namun belum mendapatkan jawaban" Jawab Nasution.

"Kita sudah membayar mahal untuk mendaftar!" Geram Dirga.

"Pokoknya kamu desak terus mereka! Proyek apartemen sudah mulai berjalan! Jangan sampai ini semua kacau gara-gara Kelompok Naga belum bersama kita!"

"Siap, Pak!"

Dirga menyimpan handphone sambil menarik napas berat.

“Tunggu saja kau penguasa macan kumbang, tak lama lagi aku akan tahu siapa kamu sebenarnya. Saat itu datang, kau akan kubuat lenyap bersama seluruh anak buahmu!” Dirga mengepalkan tinjunya.

----------------------------------

Azka tak bisa tidur, sejak tadi mondar mandir berjalan di dalam ruang kerja cafe nya, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar-debar. Dia seakan merasakan firasat buruk.

Di jam dua tengah malam itu, handphonennya berdering.

Azka menyambar handphonenya yang tergeletak di meja.

"Halo!" Jawab Azka seketika.

"Lo di mana?" Tanya Sifa di seberang sana.

Azka mengernyit saat jantungnya sedang berdebar.

“Gue pikir siapa! Ada apa tengah malam gini nelpon dan nanyain ada dimana!” Kesal Azka.

"Kok lo yang kesel sih? Harusnya gue yang kesel! Udah satu jam nunggu lo di depan kosan sampai digigitin nyamuk tapi lo gak pulang-pulang!"

Dengan mendengus Azka balik bertanya, "Ngapain nungguin gue di situ malam-malam begini?"

"Gue abis pulang shooting! Kebetulan tadi gue mampir di warung sate langganan gue. Gue keinget lo yang sibuk ngurusin cafe dan warung sembako buat anak buah lo. Berhubung lo sibuknya bukan soal berantem lagi, tapi hal yang positif, jadi gue kepikiran deh buat beliin lo!” Terang Syifa menjelaskan.

Azka menghela napas.

"Gue gak pulang malam ini."

"Emang lo di mana? Di markas anak buah lo? Apa dimarkas itu, ya? Biar gue susul kesana, sayang ini sate kalo gak dimakan! Bila perlu gue beliin lagi buat semua para anak buah lo yang ada di sana."

"Suruh Bodyguard lo aja yang makan."

"Bodyguard gue udah pada kenyang!"

"Kasih tahu gue, lo di mana?" Desak Syifa.

"Gue di cafe!" Jawab Azka pada akhirnya.

"Hah? Ngapain masih dicafe? Lo ubah jadwal tutupnya?”

“Gak, masih tetep jam satu udah tutup!”

“Lah… terus ngapain juga masih disitu?”

"Lagi pengen tidur di sini aja" Jawab Azka yang mulai pusing dengan ocehan Syifa.

"Yaudah jangan kemana-mana! Tunggu gue ke sana!" Azka pun menyimpan handphone-nya dengan kesal.

Tak berapa lama, kemudian datanglah Syifa bersama Bodyguardnya. Dia membiarkan Bodyguardnya menunggu di mobil. Syifa pun mengetuk pintu ruangan kerja Azka.

Azka membuka pintu ruangan dari dalam, Syifa langsung masuk sambil membawa dua kantong berisi sate dan segala macam vitamin. Dia duduk lalu mengeluarkan sebungkus sate dan sebotol minuman mineral dan meletakkannya di hadapan Azka.

"Makan dulu!" Pinta Syifa dengan menopang dagunya dengan tangan diatas meja, menatap Azka dengan tersenyum.

Azka yang sudah duduk di hadapannya, terpaksa memakannya. Tak lama kemudian Syifa mendekatkan kantong berisi segala macam vitamin.

"Ini juga wajib lo minum sebagai suplemen kesehatan” Ucap Syifa.

Azka mengernyit, "Banyak amat?"

"Ini penting buat kesehatan lo! Kegiatan lo sekarang banyak! Pagi harus kuliah, siang harus kerja di Cafe dan pulangnya urus anak-anak buah lo! Kapan lo punya waktu buat nyenengin diri sendiri? Gue khawatirnya lo tumbang. Kalo lo tumbang, gak ada yang bisa gantiin elo ngebantu gue di cafe."

Azka terdiam. Kini dia sudah tidak lagi seperti dulu yang sering mendebat omongannya.

Bukan karena Azka mengalah dan membiarkan Syifa bersikap berlebihan padanya. Dia hanya sedikit mengeluarkan energi untuk tidak mempersalahkan hal-hal yang tidak penting.

Tiba-tiba terdengar suara pekikan Juki dari luar cafe.

“Ketua Besar! Ketua Besar!!”

Keduanya saling memandang saat mendengar seseorang berteriak, Azka yang mengenali suara orang yang berteriak tadi segera keluar menuju sumber suara.

Didapati Juki tengah ditemani kedua satpam yang juga bagian dari anggota macan kumbang.

“Ada apa? Apa yang sudah terjadi?”

“Itu bang… itu… perkampungan yang kami jaga tiba-tiba terbakar!” Juki menjelaskan dengan panik

“Sekarang semuanya lagi berusaha memadamkan api!" Lanjutnya.

Azka terbelalak, sementara Syifa yang berada disampingnya mengerutkan dahi karena belum mengerti. Dia hanya diam sedari tadi mendengarkan saja. Rasa penasarannya membuat Syifa akhirnya bertanya tapi tidak ditanggapi.

"Kita ke sana bantu warga!" Ucap Azka yang langsung berlari bersama Juki menuju mobil.

Syifa ikutan berlari mengejar mereka.

"Tunggu! Gue ikut!"

Azka dan Juki yang hendak masuk kedalam mobil terpaksa berhenti dan menoleh ke arah Syifa.

"Lo pulang aja! Bahaya kalau ikut!” Azka mrnyarankan.

"Gue mau ikut! Gue mau bantu warga madamin api!” Syifa ngeyel dan menyelinap masuk kedalam mobil membuat Azka memendam kesal.

Melihat ratunya pergi dengan mobil lain, dua bodyguardnya pun terpaksa ikut membuntuti.

Sesampainya mereka di sana, Azka melihat para warga dan para anak buahnya sedang bergotong royong memadamkan api.

"Sudah menghubungi pemadam kebakaran?" Tanya Azka dengan panik pada Marwan yang sedang membantu warga menyiram api.

"Sudah, Bang. Kayaknya lagi menuju kemari."

Azka dan kedua bodyguard Syifa turut membantu yang lainnya untuk memadamkan api hingga mereka berhasil mencegah api menjalar ke rumah-rumah lainnya.

Syifa menjingjing seember air penuh di tangannya lalu menyerahkan pada warga, dia melakukannya berulang kali membuat nafasnya tersengal, dahinya tampak berkilat karena keringat.

Hingga akhirnya, si jago merah berhasil dipadamkan berkat para warga yang dibantu anggota macan kumbang sehingga tak banyak rumah warga yang terbakar hanya satu rumah warga yang habis dilalap api.

Syifa tampak duduk kelelahan bersama warga ditemani dua bodyguardnya. Para warga yang masih panik, tidak menyadari jika ada sosok artis yang sering mereka lihat sinetronnya di televisi.

Azka lega telah menyuruh anak buahnya untuk berjaga. Jika tidak, mungkin kebakaran yang terjadi malam ini akan menghabiskan seluruh rumah-rumah penduduk di perkampungan itu.

Dirinya terduduk lelah dengan keringat mengucur di dahinya. Hingga menjelang Shubuh ternyata pemadam kebaran belum juga datang. Azka curiga ada yang menghalangi pemadam kebaran untuk tiba di sana. Untung saja mereka sudah memadamkan api duluan.

Azka yakin kejadian ini ulah Dirga, firasat yang tadi dia rasakan memang terbukti.

Terlihat satu keluarga yang wajahnya kuyu, menyiratkan kesedihan mendalam, matanya tertuju pada rumah miliknya yang terbakar habis.

Pak RT yang berada di sebelahnya berkata dengan bijak, “ Jakarta memang keras, tapi ingat! Jangan sampai hatimu ikutan mengeras nanti hatimu mati, kalau hatimu sudah mati kamu sudah tidak peduli lagi dengan istri dan anakmu. Kamu lihat pohon mati disana itu? Hujan tidak akan berguna lagi untuk menumbuhkan pohon yang telah mati.”

“Terimakasih pak rt, saya ikhlas menerima cobaan ini dan akan terus berjuang untuk istri dan anak.”

Pak RT melempar senyum padanya, “Aku akan menggalang dana dengan para warga yang lain untuk bisa mendirikan rumah baru untukmu tapi maaf mungkin ala kadarnya”.

“Terimakasih kasih, Pak RT” Jawabnya sesegukan sambil dirangkul oleh istri dan anaknya yang sedari tadi menangis.

Pak RT kembali berkata, “Oh ya, Pak Beni. Tadi ada Mbak Cantik turut membantu memadamkan. Dia bilang akan menyumbangkan seratus lima puluh juta untuk bangun ulang rumamhmu dan katanya siang nanti uangnya akan diantarkan, sekalian uang penggalangan dana dari warga juga. Kamu bisa ambil uangnya nanti siang dirumahku”.

“Alhamdulillah…” Ucap Beni bersyukur.

Azka yang mendengar perbincangan itu menoleh pada Syifa. Dan Syifa yang ditatap dalam oleh Azka hanya mengendikan alisnya naik turun sambil memeletkan lidahnya.

“Ayo kita pulang!” Azka berdiri sambil mengibas celananya.

Tapi sebelum itu, Azka meminta Juki untuk memerintahkan anggotanya agar tetap berjaga. Dan tidak usah mengantarnya pulang.

Beberapa langkah berjalan, Azka sadar berjalan sendiri dan menengok kebelakang.

“Ayo pulang!” Serunya.

Syifa masih terdiam, kedua bodyguardnya sejak tadi mengajaknya pulang tapi tetap saja bermalasan duduk.

“Kenapa?” Azka mendekati Syifa lagi.

Gadis itu terlihat kumal dan rambutnya tampak berantakan. Syifa berkata dengan lesu, “Capeee….”

"Gue bilang apa? Lo gak usah ikut ke sini!"

“Nyebelin banget!” Gerutu Syifa karena Azka tidak peka.

"Kayaknya gue udah gak kuat jalan deh! Gegara ikut lari-lari ngangkut air tadi!” Syifa beralasan.

“Salah siapa?" Sahut Azka.

"Pinjem punggung lo lagi dong! Kayak waktu itu lo bawa gue ke dokter" Pinta Syifa bernada manja.

Azka melihat masih banyak kermunan warga.

"Kagak!" Jawab Azka lalu melangkah meninggalkannya.

“Tunggu!!” Pekik Syifa yang bergegas menyusulnya, membuat dua bodyguardnya saling menatap melihat tingkah ratunya yang tiba-tiba berlari.

----------------------------------

Dirga tampak geram mendengar kabar bahwa anak buahnya tidak berhasil membakar perkampungan itu. Dia pun melempar handphone-nya ke kasur hingga istrinya terbangun dengan terkejut. Tak lama kemudian handphone-nya berbunyi lagi. Dirga langsung meraihnya dan heran melihat Basar si Ketua Kuda Hitam menghubunginya lagi.

"Kenapa kamu subuh-subuh begini menelponku?" Tanya Dirga

"Apakah uang yang mau kamu kembalikan sudah terkumpul?" Lanjutnya.

Basar terdengar tertawa di seberang sana.

"Kalo sekarang aku beritahu anda siapa Penguasa Macan Kumbang, apa masih berlaku bonus uang yang anda tawarkan? Berikut uang yang anda sudah berikan tidak perlu aku kembalikan lagi?”

“Aku tau, anda sudah gagal total untuk mendapatkan kawasan perkampungan itu. Mungkin dengan anda tau siapa sosok penguasa macan kumbang akan memuluskannya kembali."

Dirga beranjak keluar kamar lalu berbicara kembali dengan Basar dengan penasaran.

"Memangnya kamu sudah tahu siapa penguasa itu? Cepat katakan!!”

“Bagaimana dengan uangnya?” Basar tertawa.

“Baik, akan kutransfer uangnya dua kali lipat dan uang yang aku suruh kembalikan akan kubatalkan! Puas kamu?!!”

Basar tertawa senang.

"Kalau begitu, akan ku kirimkan segera fotonya!”

Dirga menurunkan handphone-nya. Tak lama kemudian notifikasi pesan masuk terdengar. Dia bergegas membuka isi pesannya. Matanya terbelalak ketika melihat wajah Azka di foto yang dikirimkan oleh Basar barusan.

"Dia lagi?!" Wajah Dirga memerah.

---------------------------------

Pagi sekali, sebelum berangkat kuliah, Azka menyempatkan diri melatih tubuhnya dengan latihan push up di dalam kamar kosnya. Keringat membasahi dahi dan dadanya. Dia bertelanjang dada dan mengenakan celana kolor.

Handphone-nya yang diletakkan di atas lantai tiba-tiba berbunyi. Azka berhenti lalu duduk sambil mengatur napasnya, kemudian meraih handphone-nya.

"Halo, siapa nih?" Tanya Azka pada nomor yang tidak ia kenali.

"Apa kabarmu anak muda?"

Azka mengernyit, karena suara yang di dengarnya itu seolah ia merasa familier.

"Siapa anda?" Tanya Azka sekali lagi.

Si penelpon tampak tertawa di seberang sana.

"Masa kamu tidak kenal dengan pemilik Universitas Nusantara Arjawinangun, tempat kamu belajar?"

Kini Azka tahu bahwa yang menghubunginya itu adalah Dirga.

"lya, Pak. Ada apa menghubungiku?" Tanya Azka ramah yang seolah tidak tahu atas dalang pembakaran semalam.

"Kamu pikir aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya?"

Azka kian heran, "Maksud anda, Pak?"

"Jangan berpura-pura bodoh, wahai Ketua Penguasa Macan Kumbang!" Ucap Dirga di seberang sana.

Azka terkejut karena jati dirinya dikenali. Darimana Dirga tahu kebenaran itu? Azka berpikir Dirga hanya menebak saja karena selama ini pamannya itu memang sangat penasaran dengannya.

"Ketua? Macan Kumbang? Siapa mereka, Pak? Aku tak ada urusan dengannya dan aku tidak mengenali kelompok mereka!”

Dirga kembali tertawa di seberang sana.

"Kamu pikir aku bodoh? Ketua Penguasa Kuda Hitam sudah mendapatkan identitasmu. Katanya, dia tahu dari anak buahmu sendiri! Hahaha….”

Azka mengepalkan tinjunya, siapa diantara anak buahnya yang telah berkhianat?

"Kalau memang aku sebagai ketuanya, lalu masalahnya apa dengan anda?” Balas Azka dengan tegas.

"Bangsat!! Kamu telah mengacaukan rencanaku, Bocah!" Bentak Dirga

"Kamu tidak berterima kasih kepadaku yang telah memberimu beasiswa penuh di kampusku? Harusnya kamu mendukungku bukannya menghambat!”

“Aku membeli bangunan dan tanah warga dua kali lipat harganya dari harga biasa. Para warga akan disediakan rumah susun lalu sisanya bisa digunakan sebagai modal untuk usaha! Apa itu tidak cukup?!"

“Rumah Susun untuk warga?” Azka mengulang dengan sinis.

“Dan anda menjualnya dengan harga tinggi? Kenapa anda tidak mengatakan saja itu adalah Apartemen? Warga akan kecewa pada akhirnya dan setelah itu anda tidak peduli lagi”

“Oh aku lupa, bukankah jika mengatakan sebenarnya para warga pasti akan menolak?” Sindir Azka dengan tertawa.

Dirga geram mendengarnya.

“Kau tidak usah ikut campur! Atau kau akan kehilangan beasiswa kuliahmu!!”

“Hahahha… Anda mengancamku, Pak?”

“Dengar ini baik-baik! Tak masalah bagiku soal beasiswa! Bahkan di D.O sekalipun aku tidak akan peduli. Tapi anda mesti ingat satu hal, bahwa aku memiliki bukti keterlibatan anak buah anda soal pembakaran hunian warga. Anda bisa bayangkan jika bukti itu bocor ke tangan polisi!” Papar Azka balik mengancam.

Dirga semakin kesal dibuatnya, sehingga handphone yang sedang digunakannya langsung saja dibantingnya ke lantai hingga hancur berserakan.

Azka sejenak menatap handphonennya yang tak lagi tersambung dengan Dirga, dan melakukan panggilan lain pada Marwan.

“Kumpulkan semua anggota Macan Kumbang di markas, sekarang juga!!!” Tegas Azka yang langsung mematikan sambungannya.

Disana Marwan termangu sembari menurunkan handphonenya.

“Ada apa?” Tanya Juki disampingnya.

“Ketua meminta semua anggota untuk berkumpul di markas pagi ini” Sahut Marwan.

“Tapi kok aku merasa, ketua seperti sedang emosi” Lanjut Marwan.

“Jangan dipikrkan. Lakukan saja apa yang ketua perintahkan!” Saran Juki.

Pagi menjelang, Azka meluncur ke markas menggunakan vespanya.

Disana, semua para anggota Macan Kumbang sudah berkumpul. Sebagian dari anggotanya tampak mata panda karena belum sempat nya istirahat sehabis berjibaku dengan sijago merah malam tadi.

Kini azka sudah berdiri dihadapan para anggotanya dengan tatapan dingin, sorot matanya itu seakan menelan mentah-mentah mangsanya. Dipandang seperti itu, membuat semuanya menjadi takut bercampur penasaran.

"Aku ingin kalian jujur! Siapa yang telah membocorkan identitasku pada Penguasa Kuda Hitam!”

Semua tampak terkejut dan riuh mendengar Ketuanya bertanya seperti itu.

"Siapa yang membocorkan identitasku pada Penguasa Kuda Hitam?!" Teriak Azka sekali lagi membuat auranya bocor.

Ini pertama kalinya bagi mereka merasakan aura Ketuanya begitu mendominasi. Ruangan di tempat itu seketika berasa menjadi dingin.

Marwan, Juki dan Nugi saling menatap, mereka merasakan hawa dingin yang membuatnya merinding, masing masing dari mereka mengusap tengkuknya, begitupun dengan para anggota yang lain, semuanya pun melakukan hal yang sama.

"Jika tidak ada yang mau mengaku! Hari ini juga aku berhenti menjadi Ketua kalian! Terserah kalian akan mengangkat siapa. Dan aku tidak akan peduli dengan nasib kalian kedepannya!”

Keadaan semakin riuh, pandangan mereka saling mencurigai satu sama lain.

Marwan berkata dengan panik, “Jangan, Bang! Jangan tinggalkan kami! Beri kami waktu untuk mencari tahu siapa yang telah berkhianat pada Abang.”

Sejak tadi Azka telah memperhatikan gerak gerik mereka semua dan mendapati satu anak buahnya yang terlihat mencurigakan. Dengan mulut tertutup dan gigi bergemeletuk, Azka menahan kesal, dia meyakini anak buahnya itu yang telah berkhianat. Rupanya, anak buahnya itu masih keukeuh diam tak bersuara.

Azka mendekati anak buahnya yang bersembunyi dibalik punggung temannya. Dia mencengkram kaos pria itu dan melemparnya ke depan barisan.

Suasana menjadi semakin riuh, saling bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ketua melakukan itu?

Didepan barisan, pria itu ketakutan sambil mengesot mundur melihat Azka mendekatinya.

“Maaf bang! Saya terpaksa membocorkannya karena butuh uang untuk biaya istriku melahirkan, saya… saya salah bang, saya minta maaf!” Ucapnya dengan menangis.

Juki tak terima, dia maju kedepan barisan dengan menunjuk dan mengumpat, “Anjing luh, Gani! Pengkhianat Kau Bangsat!!!"

PLAK

Ditamparnya wajah Gani oleh Juki sang Komandan, darah pun merembes dari sudut bibirnya.

“TAHAN!!” Pekik Azka saat melihat Juki akan meninjunya.

“Siapa yang mengizinkanmu, Juki!” Bentak Azka.

Juki mundur dan balik kebarisannya lagi dengan tertunduk, “Maaf bang, saya keburu emosi!”

Azka menarik dalam nafasnya dan menghembuskannya perlahan, berusaha mengontrol ulang emosinya.

“Dengarkan ini baik-baik! Sejak aku menerima menjadi Ketua kalian, sejak itulah kalian adalaha bagian dari keluargaku. Kita adalah saudara, senasib sepenanggunangan! Susah senang kita bersama! Jika kalian mendapati masalah keluarga atau apapaun, katakan saja dan kita pasti akan cari solusinya. Bukankah aku sudah mengatakan di awal seperti itu?”

Semua menunduk dan membenarkan apa yang dikatakan Azka barusan, sambutan Azka saat pertama kali menjadi Ketua saat itu.

“Ini berlaku untuk semuanya! Kedepannya, aku tidak peduli apapun alasan kalian. Berkhianat berarti Mati!!”

“Dan kau Gani ku maafkan kesalahanmu kali ini, tapi kau tidak akan lepas dari hukuman! Kau menerima itu, Gani?!”

“Terimakasih Bang sudah memaafkanku dan saya akan terima hikumannya.”

Lalu Azka meminta seluruh anak buahnya untuk menampar Gani masing masing satu kali sebagai hukuman.

“Bagus! Sekarang berdirilah dan hadapi hukumanmu!” Ucap Azka kemudian menyerahkannya pada Juki. Lalu pergi meninggalkan markas. Dia pergi dengan tergesa-gesa sambil melihat jam tangannya karena waktu sudah melewati jam kuliah.

Dengan menunggangi motor vespanya, dia menuju kampus. Tak lama kemudian handphone-nya berbunyi. Azka menepikan motornya lalu berhenti, kemudian menggunakan handphone-nya.

"Halo, Fa!!" Jawab Azka yang sudah tahu itu telepon dari Syifa.

“Lo di mana? Kepala Juruan nyariin lo!" Tanya Syifa terdengar panik.

Azka mengernyit, "Kepala Jurusan nyariin gue, kenapa?"

"Gue gak tahu! Lo di mana? Lo kagak kuliah?"

"Gue masih di jalan" Jawab Azka.

“Gue bangun kesiangan!" Lanjutnya.

"Yaudah buruan, tadi orang kantor bolak balik nyariin lo di kelas!" Kata Syifa memberitahu.

"lya" Jawab Azka lalu menyimpan handphone-nya dengan tersenyum kecut. Dia yakin Kepala Jurusan ingin bertemu dengannya karena ada hubunganya dengan ancaman Dirga tadi pagi.

Setibanya di kampus, Azka bergegas menuju ruangan kepala jurusan dan Satpam yang berjaga di sana mempersilakan Azka masuk.

"Silahkan, duduk!" Sambut Kepala Jurusan padanya.

Azka pun duduk.

"Bapak manggil saya, ada apa ya?" Tanya Azka to the point.

Wajah Kepala Jurusan tampak bingung, namun dia berusaha mengatur napasnya. Sepertinya ada hal berat yang ingin disampaikannya. Kepala Jurusan meraih sebuah amplop di laci mejanya lalu meletakkannya di hadapan Azka.

"Ini apa, Pak?" Tanya Azka.

"Saya tidak tahu apa masalahmu dengan kampus ini, tiba-tiba saja pemilik kampus ini meminta saya untuk membuat surat pencabutan beasiswamu di sini.." Ucap Kepala Jurusan dengan berat.

Azka tidak terkejut lagi karena dia sudah memiliki firasat akan hal itu. Dirinya meraih surat itu tanpa mau membukanya.

"Kamu tidak dikeluarkan dari sini, cuma untuk melanjutkan kuliahmu, kamu harus membayar semua biaya dari pertama kali masuk kuliah hingga hari ini. Rincian biayanya ada di dalam amplop itu."

Azka tidak mungkin akan bisa membayar semua biaya kuliah itu. Bahkan gaji dari bekerja di Cafe Syifa saja tidak akan cukup untuk membayar uang semesternya. Dan dia tidak akan mau menggunakan uang Kas Macan Kumbang sekedar untuk kepentingan pribadinya.

Universitas Arjawinangun Nusantara adalah Universitas termahal di Indonesia. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa kuliah disana.

"Kalau begitu izinkan saya cuti untuk satu tahun ke depan, Pak" Pinta Azka.

"Saya berjanji, selama satu tahun ke depan saya sudah
mengumpulkan uangnya dan bisa melanjutkan kuliah di sini lagi."

"Sebenarnya Pak Dirga berpesan agar kamu menemuinya di kantor Nusantara Group setelah mendapatkan surat ini. Katanya dia akan menjelaskan alasannya dan masih ada kesempatan untuk kamu mendapatkan beasiswa jika kamu mau menemuinya sekarang" Papar Kepala Jurusan.

Azka segera berdiri, “Tidak perlu, Pak. Tunggu saya tahun depan saja!” Tegas Azka lalu pergi dari ruangan itu. Dirinya paham tujuan paman brengseknya itu.

Kepala Jurusan yang tidak mengerti apa-apa hanya dapat menghela napas saja. Saat Azka keluar dari ruangan itu, dia menoleh ke sumber suara, rupanya Syifa telah menunggunya di luar sejak tadi.

“Azka!” Seru Syifa.

Azka menyimpan surat itu ke dalam tasnya sambil berjalan ke arah Syifa.

"Kepala Jurusan nyarin lo kenapa?" Syifa langsung bertanya karena penasaran.

"Beasiswa gue dicabut, Fa!”

Syifa terbelalak tak percaya, "Kok bisa?"

"Gue gak tahu, tapi kata Bapak Kepala Jurusan, ini semua atas perintah Pak Dirga"

Syifa geram mendengarnya, “Apa ada hubungannya sama lo waktu nyelametin gue dari Boby dulu? Kalo emang iya, gue bakal bantuin elo sampai status beasiswa lo dikembalikan!”

"Gak perlu! Gue bakal cuti selama satu tahun, gue bakal balik ke sini lagi."

Syifa tidak setuju, "Lo gak boleh cuti! Lo harus tetep kuliah! Gue yang bakal biayai kuliah lo, Azka! Lo kan kerja sama gue, semua biaya bisa dipotong dari gaji lo atau lo bisa pinjem dulu dari gue, nanti kalo lo udah sukses lo balikin ke gue.”

Azka tersenyum, "Gak, Fa! Gue berterima kasih atas niat baik lu. Gue akan usaha sendiri. Lu tenang aja, ini cuman soal waktu. Mungkin gue harus nunggu tahun depan lagi baru bisa melanjutkan kuliah di sini, elu masuk kelas saja sana!”.

“Gue mau balik!”

Azka berjalan meninggalkan Syifa, dia menuju parkiran motor. Mengambil vespanya dan melajukan motornya menuju markas Macan Kumbang.

Sampai di markas, dia menghindari semua anak buahnya dan lebih memilih menyendiri, duduk seorang diri dibelakang markasnya itu yang berupa tanah kosong.

Tetesan air hujan menemaninya seakan ikut merasa sedih akan suasana hatinya saat ini. Dia memejamkan matanya, membiarkan tetesan hujan membasahi wajah dan tubuhnya. Pikirannya melayang mengingat kembali masa kecilnya di panti asuhan.

"Azka, Pulang! Ngapain mandi ujan-ujanan!" Teriak ibu asuhnya.

"Azka mau nyari Superman, Bu!"

"Superman gak bakal kabur ke sini, Nak!”

"Tadi dia lari ke sini gara-gara berantem sama kucing tetangga, Bu!"

"Udah! Ntar kamu sakit ujan-ujanan begini!"

"Bentar, Bu!"

Tak lama kemudian terdengar suara kucing di balik semak-semak. Azka langsung membongkar semak itu dan mendapati Supermannya tengah meringkuk kedinginan di bawah sana. Dia bergegas meraihnya dan ikut ibu asuhnya untuk kembali ke panti.

Saat Azka sudah berganti pakaian sambil mengelap Supermannya yang kedinginan, Azka menoleh pada ibu asuhnya yang sedang melipat pakaian.

"Bu… Kenapa namain aku dengan nama Azka yang kalo ditulis harus ada huruf Z nya sih?" Tanya Azka polos kala itu.

Ibu asuhnya berhenti melipat pakaiannya, lalu menatap Azka dengan tersenyum.

"Namamu awalnya Askaca berasal dari singkatan Asli Karena Cinta. Ibu namai itu karena waktu bayi kamu itu mungil dan menggemaskan.”

“Hah… Askaca? Kenapa sekarang jadi Azka?”

Ibu asuhnya membelai rambut Azka dan berkata, “Karena kamu sering sakit-sakitan”

“Apa karena ada kacanya ya bu, jadi gampang pecah” Polos Azka sambil menempelkan telunjuknya di kening seolah sedang berpikir.

Ibu asuhnya geli, “Iya Mungkin!”

“Tapi kenapa harus pakai Z, sih?” Tanyanya lagi.

“Biar keren aja” Jawab ibu asuhnya dengan gemas sambil mencubit pipi Azka.

Azka tersenyum bersama helaan nafasnya, mengingat kenangan masa kecilnya saat itu.

Hujan masih saja mengguyur tubuhnya yang semakin basah kuyup, matanya terbuka seketika karena tubuhnya tak merasakan tetesan hujan lagi.

Rupanya, Juki memayunginya dari belakang.

Juki tersenyum saat Azka menoleh ke arahnya, “Rupanya abang disini, tadi ada yang nyariin abang, loh!”

“Siapa?” Tanya Azka.

“Dia sebutin namanya tadi kalau gak salah, Adirata”

Azka terkejut dan segera bangkit berdiri, “Dimana dia sekarang?”

“Maaf sudah pulang bang, semua udah nyariin abang tapi gak ada yang nyangka abang ada disini, hp abang juga mati”

“Tapi dia tadi ninggalin alamat, bang!” Lanjutnya.

Azka membonceng Juki dengan motor vespa menerabas guyuran hujan menuju alamat yang ditinggalkan Adirata tadi. Hujan semakin lebat, bukannya menurunkan kecepatan, justru Azka semakin menarik dalam tuas gasnya.

Juki terpaksa menahan ketakutannya karena tidak berani menegur Ketuanya itu.

Saat Azka menghentikan motornya di alamat tersebut. Dia heran melihat sosok lelaki agak gemuk dan berkepala botak berdiri diapit oleh kedua lelaki kekar berpakaian setelan jas yang rapi.

"Maksud kamu, Adirata itu dia?" Tunjuk Azka pada Juki dengan heran.

"lya, Bang" Jawab Juki.

Azka menghela napas, dia mengira Adirata yang dimaksud Juki adalah Adirata yang dicarinya selama ini yang menghilang tanpa jejak. Seketika gurat wajahnya berubah menjadi muram kembali. Dia berpikir hari itu adalah hari terbaiknya karena menemukan kembali orang penyelamatnya di saat masalahnya kian bertambah. Ternyata dugaannya salah.

Lelaki berbadan agak gemuk dan berkepala botak itu tersenyum melihat kedatangan Azka.

"Azka?" Sapaannya.

Azka mendekati lelaki itu dengan heran. Sesaat kemudian Azka teringat kalau lelaki itu adalah pengujinya saat presentasi konsep bisnis yang diundang oleh kampus. Dia adalah pengusaha Restoran terkenal bernama Restoran Kastara yang memiliki cabang di seluruh wilayah Indonesia dan sekarang sedang diambang kebangkrutan.

"Bapak yang waktu itu menguji saya di tes terakhir masuk kampus?" Tanya Azka memastikan.

"lya!" sahut Bapak itu dengan senang.

"Saya Adirata Manopo! Biasa dipanggil Bapak Manopo!
Saya sengaja mencarimu karena mendengar dari pihak kampus kalau beasiswamu distop tanpa alasan yang jelas dan kamu terpaksa cuti karena terkendala biaya”

“Sebenarnya ada yang ingin saya tawarkan padamu, tapi biar lebih enak ngobrolnya, bagaimana kalau ikut saya ke cafe terdekat di sini. Kita ngobrolnya di sana aja."

Azka heran, apa yang ingin ditawarkan Manopo itu padanya. Akhirnya Azka menawarkan untuk mengorol di Cafe milik Syifa saja. Manopo bersedia, dan Juki diminta Azka untuk mengambilkan pakaiannya di kosan. Dia akan mengganti pakaian di ruangan kerjanya di cafe nanti.

Saat Azka telah berganti pakaian, dia duduk bergabung dengan Manopo di ruangan VVIP. Di atas meja sudah tersaji dua gelas kopi dan menu pembuka.

Azka terkejut saat Manopo menjelaskan bahwa dia mendatangi markasnya dengan bantuan Syifa. Bukankah itu secara tidak langsung Syifa telah membocorkan identitasnya?

“Apa yang hendak bapak tawarkan pada saya?” Tanya Azka langsung pada intinya.

Manopo terdiam sesaat lalu berkata, "Saya suka dengan konsep bisnis yang kamu ajukan. Dan semua penguji undangan dari berbagai perusahaan juga menyukainya. Itulah yang membuat kamu lulus ujian masuk saat itu. Namun konsepmu masih lemah, karena tujuannya bukan untuk keuntungan materi, tapi lebih memajukan orang-orang yang tidak beruntung mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan minatnya”

“Dan saya ingin memberi tantangan untukmu tapi bukan untuk mewujudkan konsep bisnismu itu, melainkan memperbaiki bisnis saya yang hampir mati."

Azka tak percaya mendapatkan tawaran itu.

“Jika alasan Bapak memberi tantangan itu karena suka dengan konsep bisnis untuk ujian tes masuk, saya kira itu berlebihan, Pak. Lulus kuliah juga belum, apalagi pengalaman mengelola bisnis yang besar." Azka beralasan.

Manopo menyunggingkan senyum, "Kamu kira saya tidak tahu kalau cafe ini kamu yang memajukannya?"

Azka mengernyit. Dia heran dari mana Bapak itu mengetahuinya? Padahal Azka sudah berpesan pada Syifa untuk mengakui bahwa semua ide untuk memajukan cafe itu adalah ide dari Syifa sendiri.

"Saya juga datang ketika pembukaan Cafe milik Syifa di cabang Bogor. Syifa mengundang semua penguji tes masuk kampus Nusantara ke pembukaan Cafenya. Dia menyebut nama kamu. Katanya kamulah yang membantunya mengembangkan cafe-nya. Dari sana saya yakin kamu memiliki potensi besar. Bagaimana? Kamu mau menerima tantangan dari saya? Saya akan jadikan kamu sebagai Chief Executive Officer di perusahaan saya, jika kamu mau mengambil tantangannya.”

Azka sedikit gemetar mendapatkan tawaran besar itu. Tapi dia masih memiliki perjanjian kontrak dengan Syifa untuk membantu Cafenya selama setengah tahun. Dan dia belum mencapai setengah tahun dalam membantu Syifa di sana.

"Maaf, Pak! Tapi saya masih terikat kontrak dengan Syifa untuk tidak resign selama setengah tahun kedepan” Kata Azka menjelaskan.

Manopo tersenyum, "Soal itu kamu jangan khawatir. Saya sudah membicarakannya dengan Syifa, bahkan Syifa sangat antusias agar kamu mau menerima tantangan dari saya. Bukankah kamu butuh biaya untuk kuliahmu setelah mengambil cuti selama satu tahun kedepan?"

Azka terkejut mendengar itu.

"Sebentar, Pak. Saya telepon dulu Syifa nya" Izin Azka.

"Silakan!" Ucap Manopo.

Azka pun berdiri lalu sedikit menjauh dari Manopo kemudian menghubungi Syifa.

"Halo" Sapa Syifa di seberang sana.

"Gue di cafe lagi dengan Pak Manopo" Ujar Azka.

"Pak Manopo udah di sana?" Tanya Syifa sedikit terkejut.

"lya!" Jawab Azka.

"Gue tahu, lo pasti mau bahas soal kontrak kerja itu kan? Pokoknya tawarannya lo ambil aja, Azka. Ini kesempatan buat lo! Apalagi dia nawarin posisi jadi CEO ke elo. Soal cafe gue, lo gak usah pikirin. Gue udah belajar banyak sama lo, dan ini saatnya gue gunain ilmu yang gue dapetin di kampus. Lagipula lo gak mau nerima bantuan gue, biar lo bisa lanjut kuliah”

“Sekarang kesempatan itu ada, elo ambil aja" Saran Syifa yang terdengar sedih di seberang sana.

"Lo harus buktikan bahwa lo bisa membangkitkan kembali Restoran Kastara yang sudah seperti mati suri itu."

Azka tidak tahu harus berkata apa pada Syifa. Gadis itu selalu saja menjadi jembatannya saat terjebak di pinggir jurang dan tidak ada jalan lagi untuk melewati jurang itu.

"Oke" Jawab Azka. Hanya itu yang bisa dia ucapkan.

"Semoga sukses!" Ucap Syifa tanpa Azka tau, Syifa menyeka air matanya disana.

Azka menyimpan handphone-nya lalu kembali duduk di hadapan Pak Manopo.

"Tantangannya saya terima, Pak" ucap Azka dengan mantap.

Manopo tertawa senang mendengarnya. Dia pun mengeluarkan kartu nama di dompetnya lalu menyerahkannya pada Azka.

"Ini nomor manager pribadi saya" Ucap Manopo

"Kamu silahkan hubungi dia untuk menyiapkan tempat tinggalmu dan menyediakan kendaraan untukmu. Ini bukan pemberian, tapi fasilitas perusahaan yang bisa kamu gunakan selama bekerja dengan saya."

Azka menerima kartu nama itu dengan tangan sedikit gemetar.

"Nanti, jika kamu berhasil mengembalikan kejayaan Restoran Kastara, saya berjanji akan memberikan sepuluh persen saham perusahaan saya untuk kamu."

Azka terbelalak mendengar itu, "Sepuluh persen?"

Manopo tertawa, “Saya tidak main-main!"

Manopo lalu mengeluarkan kartu ATM di dompetnya lalu menyerahkannya pada Azka. "Ini bonus dimuka untuk tantangan yang sudah kamu terima" Ucap Manopo

"Silakan kamu gunakan untuk keperluan kamu selama membimbing seluruh karyawan saya di perusahaan."

"Apa ini tidak berlebihan?" Tanya Azka.

"Ini harga yang pantas untuk membayar kekayaan Intelektual yang kamu miliki" Jawab Manopo.

Akhirnya Azka menerima kartu ATM itu.

Manopo berdiri, "Saya tunggu kamu di kantor saya minggu depan."

"Baik, Pak!" Jawab Azka dengan berjabat tangan.

-------------------------------------------

Dirga sedang menggunakan handphone-nya menghubungi Kepala Jurusan.

"Bagaimana reaksi anak itu?" Tanya Dirga penasaran.

"Beliau memilih untuk cuti, dan akan membayar semua biaya kuliahnya setelah cuti, Pak!" Jawab Kepala Jurusan.

"Beliau juga tidak mau menemui Bapak!”

Dirga geram mendengar itu, "Sombong sekali anak itu! Memangnya selama setahun ke depan dia bisa mendapatkan uang untuk biaya kuliahnya? Dia itu tidak punya apa-apa selain pekerjaan rendahan yang diberikan oleh artis sok keren itu!"

"Kalau soal itu saya tidak tahu, Pak," sahut Kepala Jurusan.

"Kita lihat nanti! Aku yakin anak itu akan berlutut di hadapanku untuk meminta hak beasiswanya lagi!" Dirga langsung mematikan handphone-nya dengan merutuk.

Lalu Dirga menatap Nasution yang sejak tadi duduk di hadapannya.

"Dia memilih untuk cuti dan tidak mau mendatangiku ke sini!” Ucap Dirga kesal pada Nasution.

"Saya bilang apa, Pak. Dia itu anak yang memiliki harga diri yang tinggi. Harusnya Bapak jangan lalukan cara itu agar dia mau bekerjasama dengan Bapak" Ucap Nasution.

"Bagaimana soal Kelompok Naga? Apakah sudah aktif melindungiku?" Tanya Dirga yang masih merasa jengkel.

"Sampai sekarang masih non aktif, Pak!" Jawab Nasution sedikit gemetar.

Dirga semakin murka mendengarnya.

--------------------------------------

Azka berdiri di hadapan Juki, Marwan, Nugi dan seluruh anak buahnya di markas mereka.

"Mulai sekarang, yang akan lebih intens ngurus kalian semuanya adalah Bang Juki!"

Semua terkejut mendengar itu.

"Abang mau kemana?" Tanya Nugi heran.

"Aku ada urusan di luar sana!" Jawab Azka.

Tapi kalian tenang saja, aku tidak akan meninggalkan kalian dan akan selalu ada buat kalian!"

Semuanya menjadi tenang mendengar itu.

"Tapi aku tidak bisa sering-sering bertemu kalian di sini!" Lanjut Azka.

Semuanya mendadak sedih, mereka berpikir itu masih ada hubungannya dengan pengkhianatan salah satu anggotanya.

"Pokoknya selalu ingat pesan-pesanku. Jaga kekompakan kalian!”

"Siap, Ketua!"

Azka membalasnya dengan senyuman lalu pamit pergi. Di depan markasnya, sebuah mobil mewah telah menunggunya bersama seorang manager pribadinya Pak Manopo.

Azka datang lalu masuk ke dalam mobil itu. Manager yang menunggunya sejak tadi pun ikut masuk dan duduk di depan, di sebelah supir. Mobil itu pun pergi.

Setelah membutuhkan beberapa menit, mobil mewah tersebut memasuki rumah yang luas, terdiri dua lantai dan dibelakangnya terdapat kolam renang.

Mobil mewah itu berhenti tepat di depan teras yang dipenuhi tanaman bunga, Azka dan manager pribadinya Manopo turun dari mobil.

"Rumah ini yang akan bapak tempati kedepannya, karena ini merupakan fasilitas dari perusahaan” Ucap Manager itu.

Azka tertegun mendengarnya lalu dirinya bertanya, “Apa tidak ada yang lebih sederhana dari ini, Pak?"

Manager tersenyum, "Pak Manopo yang telah memilihkan rumah ini untuk Bapak tempati."

"Jangan panggil saya Bapak" Protes Azka.

"Maaf, saya harus memanggil Bapak, karena bagaimana pun Bapak adalah orang kepercayaan Pak Manopo yang akan mengurus perusahaannya."

Azka menghela napas mendengarnya. Tak lama kemudian Manager itu mengajak Azka masuk ke dalam. Rupanya di dalam sana sudah ada seorang pembantu setengah baya, usianya sekitar tiga puluh tujuh tahun, pembantu itu bernama Mayang.

Manager mengenalkan Azka pada Mayang. Lalu setelah itu sang Manager menemaninya untuk melihat seluruh isi rumah. Setelah itu dia memberikan kunci rumah dan mobil pada Azka.

“Fasilitas mobil yang perusahaan berikan ada di garasi. Demi kenyamanan Bapak, Pak Manopo menyarankan agar Bapak mencari supir pribadi sendiri."

Azka menerima kedua kunci itu dan hanya mengatakan terimakasih.

Setelah urusannya selesai, manager tersebut pun pamit. Setelah itu Mayang datang ke kamar Azka untuk menawarkan diri merapikan barang-barangnya. Azka mempersilahkannya lalu bergegas pergi ke garasi untuk melihat mobil apa yang diberikan Pak Manopo untuknya di sana.

Setelah berada di garasi, Azka terpaku melihat melihat mobil mewah keluaran terbaru berwarna hitam yang mengkilat. Dia pun langsung naik ke dalam mobil dan menghidupkannya. Sebelum Azka melajukannya, dia menghubungi Ari.

"Halo!" Jawab Ari di seberang sana.

"Gue mau ngasih kerjaan ke elu!" Ucap Azka.

"Kerajaan apaan?" Ucap Ari keheranan.

"Tolong lu cek perusahaan yang mengelola Restoran Kastara, gue pengen tau apakah ada kecacatan di manajemennya hingga restoran itu diambang kebangkrutan dan temukan penyebabnya”.

Ari tergelak tawa tak percaya, "Woi… Berani bayar berapa? Bayaran gue mahal loh!”

“Sebutkan saja berapa yang lu minta?” Tanya Azka.

"Gue sebutin juga lo gak bakal sanggup bayarnya" Jawab Ari. "Udah! Kalo elo emang minta bantuan gue, gak perlu pake bayar-bayar segala!”

"Jangan remehin gue! Gue sekarang diangkat sebagai Chief Executive Officer oleh Pak Manopo di perusahaannya!"

"Apaaa?!!!"

"Gue serius!" Seru Azka.

"Gue gak segen lagi kalo gitu! Ok deh, bakal gue kirim nominalnya ke WA lo!"

"Oke!" Azka tersenyum kemudian meletakan handphone nya di dashboard dan menjalankan mobilnya keluar dari rumah itu.

--------------------------------

Syifa tampak duduk sedih di sofa ruang tengah apartemennya. Pembantunya sedang duduk diatas karpet sambil memijat kaki ratunya.

"Non kok gak ke cafe?" Tanya pembantunya itu.

"Biasanya kalo gak lagi shooting gini suka di cafe?"

"Di cafe udah kayak kuburan sekarang, Bi!" sahut Syifa dengan pandangan mata kosongnya.

Pembantunya mengernyit heran, "Cafenya udah sepi lagi ya, Non?"

"Nggak, masih rame!" Jawab Syifa.

"Kalo masih rame, kok dibilang kayak kuburan, Non?"

Syifa hanya diam tidak mau menjawab pertanyaan pembantunya itu. Tiba-tiba Bodyguardnya datang menghadap.

"Non! Ada tamu!" Bodyguardnya melapor.

"Siapa?" Tanya Syifa.

"Biasanya kalo ada yang mau main kesini nelpon gue dulu."

"Pangeran berkuda putih, Non!" Jawab Bodyguardnya.

Syifa melirik dengan kernyitan di dahinya, "Pangeran Berkuda Putih?"

Tau-tau Azka sudah datang menemui Syifa yang membuatnya terkejut.

Pembantu dan Bodyguardnya bergegas pergi dari sana.

"Azka!” Ucapnya. “Emangnya lo belum aktif kerja di perusahaannya Pak Manopo?" Tanya Syifa.

"Gue diminta mulai kerja hari senin nanti" Jawab Azka.

"Terus ngapain lo ke sini?" Syifa bertanya lagi dengan menyembunyikan rasa senangnya melihat kehadiran Azka.

"Kenapa? Kangen ya sama gue? Atau jangan-jangan... lo diem-diem udah klepek-klepek sama gue!"

Mendengar itu, Azka memutar malas bolamatanya, "Gue balik aja deh!" Kesalnya.

"Baper? Dibilang gitu aja Baper? Katanya gak mau berantem-berantem lagi? Katanya mau bodo amat sama mulut gue yang mau debat?" Ucap Syifa.

"Kata siapa?"

"Kata Udin!!"

Azka terkejut dan mendadak kesal pada Udin.

Karena tidak mau memperpanjang, terpaksa dirinya mengalah. Lalu dia mengeluarkan kartu ATM dan menunjukkannya ke Syifa.

"Gue ke sini mamu minta lo nemenin gue cari pakaian yang cocok buat dipake seorang CEO."

Syifa menahan senyum senangnya dimintai tolong begitu, "Katanya pengen yang sederhana aja! Nggak mau pake pakaian formal?!" Ledek Syifa

"Ya, ini kan beda, Fa!”

"Tapi ada syaratnya!" Pinta Syifa.

Azka mengernyit, "Syarat apaan?"

"Lo harus lanjutin perawatan di klinik langganan gue! Kalo lo gak mau, percuma elo pake setelan jas yang mewah dan rapih! Lo bakal tetep keliatan burik!”

"Yaudah!" Sahut Azka dengan mendecakan lidah.

Mata Syifa mengembang melihat Azka yang pasrah, "Beneran?"

"lya! Yuk! Gak ada waktu lagi. Besok lusa gue harus ngebuktiin diri!"

Syifa kegirangan, "Ok ok! Tunggu bentar, gue mandi dan dandan dulu!" Ucap Syifa dan melengos pergi menuju kamarnya.

"Jangan lama-lama!" Pekik Azka.

"Paling dua jam!" Terdengar sahutan Syifa.

Azka menghela napas lalu duduk menunggu di sofa. Seketika senyumnya mengembang, dia masih tidak percaya akan mendatangi apartemen ini lagi tanpa diundang oleh gadis yang kerap kali membuatnya jengkel.

----------------------------

Adirata duduk menunggu ditengah kedua ranjang dari pasangan yang sedang terbaring koma. Keduanya terbaring di ranjang dengan segala peralatan medis yang terpasang ditubuh mereka agar bisa betahan hidup.

Ditengah kegiatannya itu, handphonenya berdering, dia merogoh saku celananya dan menggunakannya.

“Bagaimana? Semua sudah diurus sesuai rencana?” Tanya Adirata.

“Sudah! Seperti yang anda minta, Pak!” Jawab Manopo.

“Sekarang dia sudah pindah di rumah baru dan saya sudah sediakan juga mobil untuknya, berikut kartu ATM yang sudah saya serahkan pada Tuan Muda” Lanjutnya.

"Sekarang dia harus membuktikan kemampuannya, apa dia sehebat nama besar ayahnya. Perusahaan itu adalah satu-satunya perusahaan yang dimiliki Pak Santanu yang tidak dikuasai oleh Pak Dirga”

“Dan perusahaan itu harus bangkit kembali sebelum ayahnya sadar dari komanya. Sekarang ini tidak banyak yang bisa kita lakukan karena Pak Santanu dan Istrinya belum sadarkan diri pasca tragedi pembunuhan”

Aku belum berani sembarang menampakan diri dan juga tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang tabungannya karena khawatir ada pihak lawan yang mencurigai bahwa Pak Santanu dan istrinya masih hidup” Papar Adirata.


"Baik, Pak!" Jawab Manopo di seberang sana.

"Kita tunggu hingga Pak Santanu sadar kembali" Ucap Adirata.

"Dan jaga Tuan Muda dengan baik! Tetap rahasiakan semua ini hingga waktunya tiba!"

"Baik, Pak!” Tegas Manopo.

Adirata menyimpan handphone-nya.

Ya, pada malam pembunuhan itu. Kecelakaan yang telah direncanakan oleh lawan yang menimpa Santanu dan istrinya, berhasil di gagalkan oleh Adirata yang sudah mengetahui rencana tersebut, dirinya berhasil menyelamatkan nyawa keduanya meski dalam keadaan sekarat. Dan segera membawanya ketempat persembunyian dan meminta dokter pribadinya untuk merawatnya hingga saat ini.

“Bertahanlah Tuan Santanu dan Nyonya Rahayu. Meskipun harta kalian lenyap sekalipun, setidaknya kalian berdua masih memiliki harta yang lain, yaitu anak kandung yang kalian dambakan kehadirannya. Bukankah kalian ingin bertemu dengannya? Maka bertahanlah untuk tetap hidup” Gumam Adirata menatap sayu akan tuan dan nyonya besarnya itu.



Bersambung…..​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd