Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG G I W A N G

BAB 6


Kupacu sepeda motor menuju rumah sakit, alih-alih bisa datang lebih cepat, ternyata justru harus mogok kehabisan bahan bakar.


"Sial! Segala kehabisan bensin, Mana berhentinya di toang lagi!"


Aku yang menggerutu pun tak mengubah apapun, dan pada akhirnya terpaksa mendorong sepeda motor yang kubawa sampai menemukan pangkalan.


Sampai di SPBU, tak langsung aku mengisinya, melainkan duduk santai untuk sekedar melepas lelah dikarenakan menuntun motor

yang lumayan jauh.


Kulihat ponselku berdering, kutatap layarnya yang bertuliskan Ko Ahong.


"Diangkat gak ya? Kalau diangkat pasti ngomel-ngomel! Males gue dengernya."


Disaat bimbang akan mengangkat atau tidak, sebuah tepukan mendarat di bahuku. Membuat aku menoleh, mencari tahu siapa yang melakukannya.


Ternyata itu adalah pria asing yang tak ku kenal. Perawakannya yang lumayan tua dengan kupluk putih di kepalanya.


"Lagi nyantai ya dek?" Sapa nya dengan tersenyum ramah.


"Boleh bapak ikutan duduk?" Lanjutnya.


"Oh… silahkan pak" kataku.


"Dari mana dan mau ke mana, dek?" Tanya bapak berkupluk putih membuka obrolan.


"Dari kosan, mau ke rumah sakit pak" jawabku.


"Mmm… bisa minta waktunya sebentar, bapak mau bincang-bincang".


Dalam hati gue menggerutu, untuk apa bincang-bincang? Hanya buang buang waktuku saja.


"Maaf pak, saya mesti ke rumah sakit sekarang!" kataku sambil berdiri.


Disaat aku akan pergi, si bapak berkata, "Maaf dek! Lima menit saja, gak lebih!" Pinta si bapak.


Sikap sopannya membuatku tak bisa menolak dan hanya menghela nafas panjang, "Silahkan, bapak mau bicara apa?"


"Bapak cuman mau bilang, kamu yang hati-hati. Ada makhluk yang sedari tadi mengikutimu. Jangan bersekutu dengannya, manusia seperti kita ini tidak akan pernah tahu apa yang mereka inginkan".


Dalam hati aku bertanya, apa bapak ini melihat keberadaan Putri sebagai makhluk halus?


"Maaf pak, maksud perkataan bapak tadi, apakah bisa lebih diperjelas?" Tanyaku, kalau memang si bapak tahu keberadaan putri, ya sudah… berarti dia memang melihatnya dan gue gak akan bertanya lebih padanya.


"Bapak lihat, kamu itu sedang di intai oleh makhluk yang raganya menolak kematiannya, sepertinya jiwanya itu ingin menuntut balas" ucap Bapak berkupluk putih menerangkan.


Mendengarnya penjelasannya aku terdiam, dan hanya melihat si bapak yang pergi memunggungiku begitu saja, tanpa mengatakan apapun lagi.


"Ada jiwa yang ingin menuntut balas?"


"Padaku?"


"Siapa?"


Karena aku tak menemukan jawaban, lantas aku mengabaikannya. Bergegas ke arah motorku yang terparkir dan mulai ngantri untuk mengisi bensin.


Saat motorku sedang diisi, seorang pengendara dari arah belakang nyeletuk, mukanya tak jelas karena wajahnya tertutupi helm full face, "Percuma ganteng kalau motornya butut!" Ucapnya yang membuatku menggeletukan gigi.


Sabar Az… sabar… Elu gak usah marah, lagian motor ini kan milik Udin, kenapa elu yang sewot?


Setelah membayar, kupacu motorku ke arah rumah sakit. Benar saja, begitu sampai di parkiran rumah sakit, Ko Ahong sudah menungguku sedari tadi dengan berkacak pinggang.


"Hayya… kenapa yu lama sekali? Makanya jangan pake motol butut!" Ucapnya dengan rasa kesal.


Gak ada empatinya cina satu ini. Udah gue belain datang, malah ngomel-ngomel. Dasar cina cadel!


"Maaf ko… untuk apa koko panggil saya kesini?"


"Hayya…. Ay mau minta tolong, buat yu belesin gudang untuk istli ay yang mau melahilkan."


Beresin gudang? Emang rumah sakit kehabisan kamar gitu, ampe gudang mau dijadiin kamar?


"Beresin gudang buat apa sih, Ko?"


"Hayya sewa kamal mahal, mending sewa gudang lebih mulah. Sudah yu jangan banyak cakap! Nanti potong gaji, yu nangis!".


Ya Tuhan… kenapa engkau anugerahkan otak cina macam gini?


Bener-bener dah nih cina satu ini. Berasa pengen gue sleding tuh otaknya.


Kemudian, Ko Ahong mengantarkanku ke sebuah gudang. Butuh satu jam aku membereskan gudang hingga bersih, hingga menjadi kamar yang layak untuk dipakai.


Ditengah rasa lelahku, si Udin menelpon.


"Elu dimana? Elu bawa motor gue ya?" Udin bertanya dari seberang telpon.


"Iya, gue yang bawa, gue lagi di rumah sakit di suruh Ko Ahong beresin gudang. Bangsat kan bro?".


Udin tertawa lepas, "Itu sih derita elu, makanya jadi orang biasa-biasa aja, gak usah jadi Kingkong. Ya tenaga elu dimanfaatin jadinya!"


"Suek luh! Malah nyindir gue!"


"Dah mending elu kemari dah, elu mau makan enak gak? Ko Ahong ngasih gue bekakak ayam. Kalau gak kemari, bakal gue abisin sendiri" Kataku langsung mematikan telpon.


Rupanya Udin tertarik, bangun tidur, perut lapar. Siapa yang akan menolak diberi ajakan makan?


"Aman toh bekakak ayamnya kan bro? Yuk ah gas keun! Gue udah lapar banget nih!" Kata Udin setelah menemuiku di rumah sakit.


"Hahaha… elu mau aja dikibulin gue! Gak ada tuh namanya bekakak ayam!"


"Anak setan!! Serius lah… perut gue udah keroncongan banget nih!" Udin mengumpat dengan sangat kesal.


"Elu kayak gak tau aja Din… Si cina kampret itu mana tau ngasih kita lebih, boro-boro bekakak ayam. Gue aja karyawannya di jadiin tumbal keringet, padahal tinggal suruh orang rumah sakit, tinggal kasih upah dah beres."


"Tai lah!! Sia-sia gue buang lima ribu buat naik angkot kemari. Tau gitu mah, mending buat beli basreng!" Kesal Udin dengan mencetutkan bibirnya.


Tak enak hati telah membuat Udin kesal, aku mentraktirnya makan di kantin rumah sakit. Sambil menunggu pesanan kami, aku menceritakan perihal kegundahanku pada Udin.


"Din… seminggu ke depan kan toko gak ada bongkaran. Si koko minta gue buat jagain Cici di mari. Menurut elu gimana?"


Sambil berpikir Udin mengetuk-ngetuk jarinya di meja, "Ada duitnya enggak? Kalau ada mah sikat ajah gak pake lama!".


"Cih! Kalau gitu, elu sebelas dua belas ama si koko, perhitungan banget soal duit!" Kataku dengan menoyor kepalanya.


"Eh bego! Time is money… time is money…." Kata Udin dengan menggerakan dua jarinya yang diapit.


"Suek! Sok inggris luh! Makan aja masih pake tempe oreg. Belagu amat!".


"Ya lagian… Ngapain juga suruh elu yang jagain? Keluarga bukan! Suaminya juga bukan! Dia (si koko) yang ngebuntingin, elu yang repot!" Kata Udin.


"Gue juga bingung, kenapa Ci Amel yang muda dan bohai ampe mau dinikahin si peot itu!" Kataku.


"Semua karena duit, Az…! Elu punya duit, elu berkuasa!"


"Jadi gue mesti gimana? Terima apa tolak?"


"Tolak!!" Tegas Udin.


"Tapi kasihan Din… keluarganya gak ada yang mau nemenin, alasannya mereka bilang pada alergi bau obat."


"Eh gue kasih paham elu nih ya, biar elu gak tersesat jadi cowok. Kalau elu mau nolong orang, pakai tuh hati! Tapi elu juga kudu pakai otak. Elu kan cowok, itu si Ci Amel kalau minta kencing atau boker, gimana coba? Apa elu mau nyebokin? Pikir!!!!".


Ada benarnya juga yang dikatakan Udin. Membuatku berpikir ulang. Tapi mengingat kembali Ci Amel yang seorang diri, pastinya bakal kerepotan jika membutuhkan sesuatu, mengingat kamar yang dipakainya adalah gudang yang notabennya cukup jauh dari kamar pasien yang lain.


"Bodo ah Din! Jangankan minta cebok, minta dibuntingin lagi, gue juga gak bakal nolak!" Kataku membuat Udin terkesiap.


"ASU! Sengklek tenan otakmu, Az!!".


"Ya udah, biar sama-sama otak kita sengklek, gue ngajak elu buat temenin gue. Ok?"


"Wes apa karepmulah, Az!" Pasrah Udin.


Kutepuk pundak Udin tuk menyemangati, "Siapa tahu kita berdua dapet kenalan perawat cantik." Ujarku dengan menaik turunkan alis, membuat Udin yang sebelumnya cemberut kini menjadi sumringah.


Akhirnya pesanan datang dan kami berdua menyantapnya dengan lahap, saking laparnya kami berdua sempat nambah.


Sorenya, saat aku dan udin tengah bermain catur di depan gudang atau yang sekarang kini menjadi kamar, didatangi oleh seorang perawat yang baru saja keluar setelah melakukan pemeriksaan berkala.


"Kalian yang ditugasi jaga oleh Ko Ahong ya?" Sapa perawat dengan senyum manis, di tangannya memegang sebuah clipboard dan pulpen.


Udin menoleh ke samping, dilihatnya dari ujung sepatu sampai ke atas kepala.


"Beuh… putih mulus!" batin Udin dengan tatapan mata berbinar.


Bergegas udin berdiri dan mengulurkan tangannya, "Kenalkan, saya udin, pria sejati dan setia".


"Muka tembok nih Udin!!" ucap batinku.


Si perawat terkikik geli menutup mulutnya dengan sebelah tangan, mungkin dia merasa lucu dengan tingkah udin yang terlalu pede.


Sadar uluran tangannya tak direspon, udin menariknya kembali, lalu menggaruk rambutnya dengan cengengesan.


Kulihat name tag di dada perawat itu bernama 'Rahayu'


Rahayu berkata, "Kalian hanya diizinkan masuk disaat pasien menekan bel, kalian berdua harus ingat itu."


"Dan jika pasien di dalam nanti membutuhkan bantuan di luar kemampuan kalian, kalian harus segera menghubungi kami (perawat jaga) yang lokasinya berada di ujung perempatan lorong ini." Lanjut Rahayu yang membuat kita berdua mengangguk paham.


Setelah itu, Rahayu melangkah pergi. Namun baru dua langkah, dia terdiam dan berbalik, "Jangan lupa mandi" tunjuknya ke arah Udin. Membuatku tertawa terbahak-bahak.


"Hahaha…. Denger tuh! Mandi makannya, keringet elu bau ikan asin!" Ejekku membuat Udin reflek mendengus-dengus ke badannya sendiri.


"Kagak bau gue, Nyet!! Dah lah, udahan saja main caturnya, dah males gue!" Pungkes Udin menyepak papan catur yang kami mainkan tadi.


BAB 7

*POV

Sekitar pukul satu dini hari, Azka dan Udin tengah tergeletak tidur di depan kamar Ci Amel, hanya dengan tikar dan berselimut sarung.


Tak lama, Udin terbangun mengusik tidur Azka.


"Az… Az…!" Udin berteriak sembari menggoyang bahu Azka.


Ulahnya berhasil memberi kejutan pada Azka, hingga sontak dia menoleh pada Udin.


"Kenapa sih lu, Din? Dari tadi elu berisik mulu" ucap Azka.


"Tu…tu…itu…" tunjuk Udin tergagap, sepertinya dia melihat sesuatu. Wajahnya basah kuyup bermandi keringat.


"Itu apaan sih?" Mata Azka menoleh enggan ke arah yang ditunjuk Udin, karena matanya masih mengantuk.


"Elah… Cuman Kuyang aja elu takut begitu!" Ujar Azka remeh dan berbalik untuk tidur kembali.


Mendengar penjelasan Azka, makin dibuatlah Udin ketakutan.


"Kuyang? Kiyaaaaaaaa!!!" Jerit Udin seketika ikut menyelinap kedalam sarung Azka.


Azka yang risih dibuatnya, menyepak-nyepak Udin dengan kesal, "Sana lu ah! Homo banget sih luh!!"


Bukannya makin melepas, udin semakin erat memeluk pinggang Azka.


"Gue takut Az! Gue takut!!" kata Udin dengan tubuh menggigil.


"Elah… tuh Kuyang cuman lagi makan…." Azka menghentikan kalimatnya.


"Makan ari-ari bayi" Lanjutnya dan membuat Azka menyadari sesuatu. Matanya terbuka dan ngantuknya hilang seketika.


"Kenapa ada kuyang di tempat ini?" Pikir Azka sambil bangun terduduk, lalu menoleh ke arah hantu yang ia lihat tadi.


Sebuah kepala disertai organ tubuh bagian atas terbuai melayang di udara, lidahnya yang panjang hitam berbau busuk sedang membekap sesuatu, rupanya itu adalah gumpalan ari-ari bayi yang telah ia dapatkan.


Cairan kuning bercampur darah yang amis dari mulutnya semakin menetes di lantai. Namun penampakan hantu kuyang tersebut tak membuat Azka ketakutan.


Kepala hantu kuyang itu meneleng, sepasang matanya yang merah menyala menatap Azka penuh selidik.


Sosok hantu kuyang itu semakin mendekat, menatap lurus dan tajam ke arah Azka dan memutarinya berulang kali.


Sadar Azka sedang diperhatikan, dia berkata, "Eh setan! Elu hantu yang sama yang pernah gue lihat di pohon beringin itu kan?"


Mata hantu kuyang tersebut mencilak terkejut, hingga tak sadar menjatuhkan makanan dari mulutnya. Lalu kuyang tersebut pergi terbang melesat dengan sangat cepat. Tak lagi terlihat dari pandangan Azka.


Azka melihat ke lantai, tak dilihatnya lagi gumpalan yang tadi penuh dengan cairan menjijikan.


"Dah pergi hantunya, hei Din!!" Ucap Azka menyepak-nyepak tubuh Udin yang menggigil meringkuk ketakutan.


Lalu Udin memberanikan diri menyembulkan kepalanya dari balik sarung. Matanya menoleh kesana-kemari.


"Kemana tuh setan tadi? Kurang ajar!!" Kalau manusia, udah gue ajak berantem!!" Kesal Udin.


"Bacot lu ah yang gede!" Azka menepak kepala Udin.


Keduanya kembali tidur hingga menjelang pagi.


—------------------------------------


Di rumah Darsih.


Semenjak kematian bapaknya, kini Darsih tak lagi harus menyediakan kopi yang biasa ia hidangkan di tiap pagi.


Mendiang kematian bapaknya, telah meninggalkan duka dan pertanyaan dalam hatinya.


"Sih… buatkan ibu teh hangat" Mak War menyadarkan Darsih dari lamunannya.


"Iya Mak" sahutnya.


Tak lama, darsih membawa se cangkir teh ke hadapan emaknya dan meletakkannya di meja.


"Sih duduk! Emak mau bicara".


Dengan patuh, darsih mengikuti kemauan emaknya itu.


"Kamu kenapa berhenti bekerja?" tanya Mak War.


Darsih tak menjawab, hanya ditundukkannya kepala, tak berani menatap emaknya. Dia hanya memainkan jari-jarinya.


Melihat kelakuan anaknya, mak war menggelengkan kepala dan lalu menyeruput sedikit demi sedikit teh hangat yang kini sudah di tangannya.


"Mak… semalam emak kemana? Kenapa darsih tak melihat emak ada di kamar?"


Mendengar itu, sontak mak war tersedak dari minumnya, mak war menepuk nepuk dadanya sendiri yang terasa panas dan sesak.


"Di luar sudah agak terang, sebaiknya kamu bantuin emak sekarang jualan" Mak War bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur.


-----------------------------------------


Di depan kamar Ci Amel, azka tengah duduk sendiri ditemani rokok dan kopi panas. Ia sedari tadi menunggu Udin yang tak kunjung kembali. Padahal hanya membeli gorengan tapi kenapa lama sekali?


Rupanya, udin sedang menggoda para perawat yang berlalu lalang.


"Kiuw… kiuw…" Udin menyapa sembari memasang senyum di wajahnya.


"Hai mbak cantiiiik… butuh bantuan?" tawar Udin yang tak digubrisnya.


"Ih sombong amat, ampe gak noleh sama sekali" gerutu Udin.


"Apa bener… karena badan gue bau ikan asin?" pikir Udin mengingat yang dikatakan Azka.


Kesal menunggu lama, Azka memberanikan diri mengetuk pintu.


TOK TOK TOK


"Siapa?"


"Saya Ci… Azka!"


"Masuk Az!" jawabnya.


Setelah masuk, aska pun ditanya keperluannya oleh Ci Amel.


"Maaf Ci… saya boleh pergi sebentar? Masalahnya dari tadi si Udin gak balik-balik.


"Boleh… asal jangan lama-lama ya, harus ada yang nungguin!" ucap seorang perawat yang tiba-tiba masuk dengan membawa makanan di nampan.


"Sebagai seorang suami harus siap siaga, apalagi istrinya mau melahirkan" lanjut perawat itu.


"Iya kan Ci?" Perawat itu menoleh meminta dukungan.


"Emmm… i…ii…iya" jawab Ci Amel tergagap.


"Sini pak… bantu suapin istrinya makan".


Azka terbengong dibuat ulah si perawat, tapi melihat gelagat Ci Amel yang hanya senyum-senyum membuat Azka merasa aman, artinya Ci Amel tidak merasa tersinggung oleh ucapan si perawat tadi.


"Saya ngerti kok, kalian pasti malu kan? Saya akan pergi. Tapi ingat, jangan terlalu kenyang, hanya makan secukupnya." Ucap perawat itu lalu pamit pergi.


Saat azka akan menyuapi Ci Amel, seorang pria tinggi putih masuk tanpa mengetuk pintu.


"Hei Mel, gimana kabarmu?" Ucapnya mendekat sambil menenteng sekeranjang buah di tangannya.


"Oh mau makan ya? Biar saya yang suapin" lanjutnya mengambil alih piring dari tangan Azka.


Azka tak jadi bicara saat melihat Ci Amel memberinya kode untuk diam, lalu menyuruh Azka dengan sopan keluar.


Azka menurut dan menutup pintu, dalam pikirannya dia berpikir siapa pria itu? Dan mengapa dirinya baru melihatnya. Selama bekerja dengan Ko Ahong, azka sudah hafal dengan semua keluarga Ko Ahong, tapi dengan pria tadi, azka merasa curiga.

-------------------------------------------

Aku terkejut saat sedang menutup pintu karena Udin menepuk bahuku. Dia mencoba mengintip ke arah dalam tapi aku sudah dulu menutup pintunya.


"Elu habis masuk dari dalam ya?"


"Hmm…" jawabku.


"Ngapain?" Tanyanya lagi.


"Nyebokin ci amel, tadi dia minta kencing!" jawabku asal.


"Hah….? Kenapa elu gak ngajak gue!" Kesal Udin.


Ku getok palanya hingga membuatnya meringis, lalu kurebut plastik yang berisikan gorengan yang ditenteng di tangannya.


Bersambung….

 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd