Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Fuck Benji

Part 3

Virgin love

Tembok rumah sakit adalah satu-satunya hal yang bisa Viny lihat sekarang, dia tak berani melihat Shani dan gadis lain yang dia akhirnya tahu bernama Lia. Satu-satunya hal yang bisa Viny lakukan adalah membawa mereka berdua ke rumah sakit, sekuat apapun Viny mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua yang terjadi bukan salahnya, rasa bersalah itu terus datang.

Gimana caranya gue bisa hentiin lo Ben?

Satu-satunya hal yang ada di pikiran Viny adalah cara menghentikan Benji, dia akhirnya bertemu dengan Benji setelah dua tahun lamanya, setelah dia memutuskan hubungan tanpa statusnya dengan Benji.

Lo nggak ngelakuin ini semua karena gue bohong kan Ben?

Viny teringat kembali akan tatapan mata Benji yang kosong, tatap mata yang membuat Viny takut, takut bila semua telah terlambat, takut Benji sudah melangkah jauh dan tak ada yang bisa Viny lakukan.

Apa lo masih marah sama gue Ben? Apa memang ini semua sal…

Pintu ruangan yang dibanting menyadarkan Viny dari lamunannya, seorang pria berjalan masuk dengan langkah yang ditarik cepat, berjalan melewati Viny yang berusaha mengatur detak jantungnya yang naik turun tak menentu. Baju kaos oversize berwarna hitam yang dipakainya mengaburkan tubuh kurus miliknya, ditambah dengan celana cargo putih dan sneakers merah membuatnya mirip dengan seorang skateboarder atau mungkin pengendara sepeda BMX. Rambut pirang keabu-abuan yang aneh menurut Viny sedikit membuatnya bingung apa yang membuat Shani bisa suka padanya, saat Shani sadar nanti Viny ingin menanyakan apa yang membuatnya suka pada yang bernama Adrian itu.

Adrian jatuh berlutut saat melihat kekasihnya terbaring lemah di ranjang rumah sakit, Viny bisa mendengar sebuah tangisan dari sosok Adrian yang masih belum menyadari keberadaannya. Viny tak terlalu mengenal kekasih Shani itu, dia pernah bertemu dengannya di beberapa kesempatan, bertukar sapa saat dulu dia mengantar atau menjemput Shani saat selesai latihan. Dia sosok yang pintar bicara menurut Viny, terlalu pintar yang mengingatkan Viny pada pria yang memperkosa Shani beberapa jam yang lalu, ditambah beberapa rumor yang membuat Viny meragukan apakah pria itu benar mencintai Shani. Rumor mengatakan bahwa Adrian juga tidur dengan banyak wanita, seperti Benji. Viny tak peduli akan kabar angin itu sekarang, benar atau tidaknya Adrian itu tidur dengan banyak perempuan bukanlah hal yang penting sekarang.

Mungkin ini satu satunya cara gue bisa ngehentiin lo Ben.

Perlahan Viny berjalan mendekat, tak mau mengejutkan Adrian yang masih bergumul dengan perasaannya. Adrian yang terlihat rapuh memberi Viny sedikit keyakinan bahwa ini semua akan berhasil, sebuah rencana yang terlintas di pikirannya. Sebuah rencana yang Viny tahu bila diucapkan dengan lantang itu terdengar jahat, namun Viny tahu bila dia tak akan pernah bisa menghentikan Benji sendirian. Mungkin satu satunya cara untuk menghentikan seorang iblis adalah menggunakan iblis yang sama atau mungkin lebih jahat, memanfaatkan perasaannya yang sedang kacau, memanfaatkannya untuk melakukan apa yang Viny inginkan. Viny tahu sudah lama dia tak melakukan hal yang sama, namun dia tak ingin mundur sekarang karena sedikit rasa ragu.

“Adrian.”

“Hah?” tak sempat menghapus air matanya, Adrian berbalik dan melihat sosok Viny berdiri dibelakangnya, bingung dan kaget memenuhi pikirannya. “Kak Viny, sejak kapan?”

“Daritadi, gue tadi duduk disitu.”

“Oh…apa lu yang bawa Shani…”

“Iya.”

“Makasih.”

Viny tak membalasnya, dia tak yakin ingin menerima kata terima kasih atas kegagalannya melindungi dua orang yang sekarang harus dibius hanya untuk bisa beristirahat, satunya yang ingin Viny dengar dari Adrian adalah kata setuju untuk rencana miliknya.

“Gue butuh bantuan lo Ads.”

“Bantuan?”

Adrian mengalihkan perhatiannya pada Viny, setelah bangkit berdiri dan menghapus air matanya. Adrian mencoba tak memikirkan apa yang Viny pikirkan tentang dirinya yang menangis berlutut di depan Shani yang tergolek tak sadarkan diri, itu sudah terjadi dan tak ada yang bisa dia lakukan untuk merubah apa yang Viny pikiran tentangnya.

Viny memang memikirkan tentang Adrian namun tidak tentang apa yang baru saja terjadi, yang memenuhi pikiran Shani adalah rumor bahwa ini bukan kali pertama Shani diperkosa Benji dan Adrian tahu soal itu. Viny tak mempertimbangkan soal itu sebelumnya karena bagian terakhir dari rumor itu adalah Adrian yang membiarkan Benji pergi begitu saja, Viny tak pernah tahu mengapa dan itu menganggunya. Apa yang membuat Adrian membiarkan Benji bebas setelah tahu bahwa Benji telah memperkosa Shani, bukankah seharusnya dia berusaha menghancurkan Benji dan Viny tak perlu melakukan ini semua. Bila saja waktu itu Adrian melakukan hal yang benar, semua kekacauan ini tak akan terjadi.

“Gue pengen lo bantu gue hentiin semua.”

“Maksudnya?”

“Gue yakin lo kenal sama Benji.”

“Benji! Maksud lu yang ngelakuin ini semua Benji?!”

Tak ada jawaban, hanya sebuah anggukan yang Adrian dapatkan. Itu bukan jawaban yang diharapkan Adrian, mendengar kembali nama itu cukup untuk menggali kembali kenangan buruk yang coba dikubur oleh Adrian. Sebuah kesalahan memalukan yang coba dia lupakan, kesalahan yang dia sesali namun tak akan pernah bisa dia perbaiki.

Itu semua terjadi dua tahun yang lalu, tepat sebelum Benji pergi menghilang. Adrian tak akan pernah bisa lupa apa yang dia rasakan saat tahu bahwa kekasihnya telah digagahi oleh pria lain, terlebih saat dia tahu bahwa itu semua terjadi dibawah paksaan.

“Siapa Shan?” Tanya Adrian yang berusaha menahan emosi yang terbakar di hatinya, bukan pada Shani namun pada dirinya sendiri. Adrian pernah berjanji akan membahagiakan dan menjaga Shani dari semua hal jahat di dunia, dan sekarang dia telah gagal dan itu semua tinggal janji kosong.

Shani sendiri diam dengan tatapan kosong, dia berharap hari ini tak perlu datang, dia ingin melupakan apa yang terjadi malam itu, melanjutkan hidup tanpa pernah mengingat kembali noda hitam dalam putih jalan hidupnya. Siapapun yang memberitahu Adrian tentang malam itu, Shani membenci orang itu.

“Shan, siapa Shan? Please.” Adrian coba mendekat, berlutut didepan Shani yang menatap kosong pada dinding yang ada didepannya.

“Aku mau pulang aja.” Ucap Shani sebelum berjalan pergi meninggalkan yang memohon jawaban darinya, Adrian hanya bisa terdiam karena kata kata seperti hilang dari pikirannya yang kacau.

Setelah tersadar akan perginya Shani, Adrian pun mengejar Shani dan menangkap tangannya. Shani mencoba melepaskan pegangan tangan Adrian, namun itu nampak sia-sia, Adrian menginginkan jawaban meski itu artinya memaksanya keluar dari mulut kekasihnya itu.

“Lepasin! Kamu kenapa jadi kasar gini sama aku? Kenapa jijik?”

“Shan, I love you. Aku cuma mau tahu siapa yang sudah ngelakuin itu semua, aku pengen ngasih dia pelajaran.” Jawab Adrian. Dia coba menjelaskan semuanya pada Shani yang nampak tak peduli dan hanya ingin melangkah pergi. “Kenapa Shan, kenapa kamu ngga mau ngasih tahu siapa yang udah ngehancurin hidup kamu.”

Sebuah tamparan bukanlah yang diharapkan Adrian, sebuah tatapan penuh amarah juga bukanlah yang dia inginkan dari Shani namun kedua hal itulah yang didapatkan dan dia tak tahu kenapa ini semua terjadi. Bukankah dia sudah menjadi kekasih yang baik dan bukankah wajar baginya ingin membalaskan perbuatan keji yang sudah didapatkan kekasihnya sendiri, kenapa Shani marah? Bukankah seharusnya dia senang?

“Shan…”

“Kamu pikir hidup aku hancur? Serendah itukah aku di mata kamu?”

Tak ada kata yang terucap dari Adrian setelahnya, dia tak mengerti apapun dan itu mengganggunya. Dia yakin dia sudah melakukan hal yang benar, dan amarah yang dia dapat mengacaukan hatinya. Ini salah, sebuah senyuman lah yang diharapkan Adrian, ditambah dengan jawaban sehingga dia bisa membuat semuanya benar dengan menghajar siapapun pria yang sudah menodai kekasih hatinya itu. Itulah yang seharusnya terjadi menurut Adrian, bukan ini, ini salah.

Larut dalam emosinya membuat Adrian tak sadar akan Shani yang telah melangkah pergi, sempat terpikir ingin mengejar namun langkah kakinya terasa berat, hati yang kacau membuat semuanya terasa aneh. Sekarang, entah kenapa Adrian ingin menenangkan hatinya. Dikirimkannya sebuah pesan pada Shani, sebuah permintaan maaf karena sudah membuatnya marah, lalu dilanjutkan dengan ajakan untuk bertemu kembali saat Shani siap membicarakan semuanya. Mungkin saat itu Adrian sudah mengerti apa yang membuat Shani marah, dan dia bisa mendapatkan jawaban tanpa amarah ataupun hal lain yang memperburuk semuanya.

Apa yang harus gue lakukan sekarang?

Tanpa tujuan yang pasti Adrian melangkahkan kakinya pergi, berada di rumahnya sendiri terasa asing kali ini, mungkin karena dia baru saja mendapatkan penolakan dari kekasihnya di tempat ini. Adrian tahu bila itu ide yang buruk tapi dia ingin meminum beberapa gelas alkohol untuk menghilangkan rasa sedih yang mulai muncul di hatinya, Shani mungkin akan marah bila dia tahu Adrian ingin mabuk tapi kali ini Adrian merasa tak peduli.

Adrian teringat pada sebuah bar yang pernah dia datangi bersama Benji dulu, lebih tepatnya dipaksa Benji untuk ikut, meski dia ingat betapa bencinya dia pada Benji karena sudah memaksanya untuk mabuk waktu itu namun entah mengapa dia ingin pergi ke tempat itu sekarang, mungkin karena dia ingat pada saat dia mabuk tak ada masalah yang penting baginya, dan dia ingin merasakannya lagi.

Mabuk di siang hari, sesuatu yang tak pernah terpikirkan bagi Adrian sebelumnya. Tak banyak orang di sana, namun ada seseorang yang dia kenali sedang duduk sendirian dan Adrian melangkahkan kakinya ke meja itu.

“Ngapain lo disini?” Tanya Benji saat dia melihat Adrian mendatangi mejanya.

“Pengen mabok.”

“Gitu dong, jadilah bejat seperti Benji.”

“Bangsat emang lo bang. Senang lo anjeng.”

“Udah gue bilang dari dulu, jadi bejat itu enak.” Ucap Benji yang tersenyum lebar bagaikan seorang kakak yang bangga adiknya telah melakukan hal yang “benar”

Bagian selanjutnya cerita ini akan kembali mengikuti sudut pandang pertama Benji.

Kuberikan botol whiskeyku kepada Adrian yang tampak tak berpikir panjang langsung meminumnya, ditegaknya minuman itu sebelum memutuskan untuk duduk disebelahku. Apakah aku harus meminta mixer untuknya, karena ku yakin tenggorokannya pasti sedang terbakar.

“Lo kenapa? Putus sama Shani?” Tanyaku yang hanya bisa memikirkan satu alasan kenapa Adrian terlihat begitu stress sekarang.

“Gue…gue…” Ditegaknya lagi botol whiskey yang masih dipegangnya “Nggak tahu.”

Aku tak tahu apa yang lebih ingin kuketahui sekarang, alasan Adrian tampak begitu stress atau apakah dia akan mati keracunan alkohol karena dia telah meminum cukup banyak whiskey yang ku berikan padanya, tapi bila Adrian mati, tak ada lagi yang menghalangiku untuk bisa menjadikan Shani salah satu teman tidurku.

“Lo pernah nggak bang, udah ngelakuin hal yang benar tapi tetap aja lo itu salah?”

“Pertanyaan lo aneh, lo nanya apa gue pernah ngelakuin hal yang benar?”

“Iya, iya gue tau…” Diminumnya lagi beberapa teguk whiskey itu, ya dia benar-benar ingin mabuk. “Iya gue tahu lo bangsat sampe ke ubun-ubun, maksud gue sebelum lo jadi penjahat kelamin, waktu lo masih jadi manusia, masa nggak pernah sekali pun lo ngelakuin perbuatan baik ke orang lain.”

“Nggak ingat gue…”

“Udah lah bang Ben, berenti dulu gimmick lo yang jadi iblis, gue serius nih bangsat.”

Kurasa dia sudah mulai mabuk, kurasa tingkat ketahanan alkoholnya rendah. Kurasa aku akan menuruti permintaannya, kurasa aku merasa kasihan padanya.

“Gue nggak ngerti maksud pertanyaan lo tadi, maksud lo apa Ads?”

“Ya…” Satu teguk lagi sebelum dia meletakkan botol yang sudah kosong diatas meja, kuyakin dia sudah benar-benar mabuk sekarang. “Ya, gue nggak ngerti. Gue cuma ingin melakukan hal yang benar, saat gue tahu Shani diperkosa jelaslah gue marah, gue pengen ngehajar tuh cowok bangsat, jadi gue tanyalah ke Shani siapa yang udah merkosa dia, dan lo tahu nggak bang?”

Adrian pun berdiri, mengambil satu lagi botol whiskeyku yang ada diatas meja dan kembali minum, ya sekarang aku tahu kenapa dia ingin mabuk dan apa yang ingin dilupakannya, meski itu lucu karena jawaban atas pertanyaannya itu ada di depan matanya.

“Dia marah sama gue!” Ucap Adrian melanjutkan monolognya “Gue cuma pengen tahu siapa cowok bangsat yang udah merkosa dia, supaya gue bisa ngehajar tuh cowok bangsat! Tapi bukannya ngasih tau dia malah marah dan nampar gue! Salah gue dimana coba?”

Tidak, kau tidak salah, kau hanya kurang beruntung karena pacarmu itu lucu dan aku ingin merasakan indah badannya.

“Udah lah Ads…”

Dan dia jatuh, apa dia terlalu mabuk hingga dia tertidur? Bukankah itu terlalu klise, ini mulai terlihat seperti cerita murahan.

“Kak Ads!”

Oh lihat itu Gracia, ini benar-benar berubah jadi opera sabun murahan. Gracia yang terlihat khawatir pun menghampiri Adrian, dia mengabaikan kehadiranku yang duduk tepat didepannya.

“Kak Ads, kak Adrian bangun.” Ucapnya sambil memukul pipi Adrian mencoba membangunkannya. “Kak Adrian lo apain bang?” Tanya Gracia yang akhirnya mengakui keberadaanku, bahagianya hatiku.

“Gue cuma ngasih dia minuman, kayaknya dia mabuk.” Jawabku jujur.

Mendengar itu Gracia terlihat marah, wajahnya berubah merah dan dia mendatangiku, kenapa? Aku belum melakukan kesalahan apapun.

“Lo sengaja bikin kak Ads mabok? Kenapa? Ada rencana jahat apa lagi lo bang? Belum cukup semua yang lo lakuin selama ini?”

“Gracia, dia sendiri yang datang kesini, dia bilang dia pengen mabuk, sebagai teman yang baik gue cuma ngasih dia minum. Gue nggak tau kalo dia bakalan mabuk sampe pingsan.”

“Baik! Lo baik! Lo udah merkosa gue! Lo juga merkosa ci Shani! Nggak tau siapa lagu yang udah Lo perkosa! Lo itu bangsat, lo itu iblis!”

“Gue tau.” Balasku sambil tersenyum. Itu membuatnya mundur, kurasa dia belum tahu kalo aku sudah menerima bahwa aku bukanlah orang baik-baik.

“Sakit lo!” Ucapnya sebelum kembali ke “fans” dan teman tidurnya yang masih terlelap di lantai.

Dia salah, aku tidak sakit di kepalaku, aku hanya memutuskan untuk tidak lagi menahan diriku, dan itu termasuk nafsuku. Aku pun memberi kode pada bartender yang aku tahu telah menyaksikan semua yang terjadi bahwa aku ingin melakukan “sesuatu” dan aku ingin menyuruhnya untuk mengusir orang lain yang ada di bar, dia hanya menganggukkan kepalanya sebelum pergi dan menyuruh semua orang untuk pergi agar tak menganggu waktu bermainku.

Gracia yang sibuk dengan Adrian tak menyadari bahwa semua orang mulai melangkah pergi, meninggalkan dia berdua denganku. Dia hanya mengenakan crop top berwarna putih dengan rok hitam pendek yang menunjukkan indah kakinya, kuyakin dia mengodaku dengan pakaian seksinya itu, dia tahu siapa aku dan dia memutuskan untuk memakai sesuatu yang memamerkan tubuh indahnya padaku. Betapa genitnya dia hari ini dan aku akan menghukumnya.

“Kayaknya dia nggak bakalan bangun sampe besok.” Ucapku yang berjongkok di sampingnya.

“Jangan dekat-dekat.” Ucapnya sambil mendorongku, namun kutangkap tangannya sebelum dia sempat mendorongku lebih jauh.”lepas!”

Dengan kedua tangan yang kugenggam kudorong tubuhnya jatuh keatas lantai, kutindih tubuhnya dan kugunakan berat badanku untuk menanhannya, sebelum ada kata-kata yang terucap dari mulutnya kutampar dia.

“Lo mau gue kasarin dan gue bakalan ngehamilin lo, atau lo mau nurut dan gue janji, bakalan pake kondom?”

Kuyakin dia tahu bahwa aku ingin merasakan lagi tubuh indahnya itu, dan aku akan melakukan apapun untuk memastikan itu akan terjadi, sekarang yang dia bisa lakukan adalah memilih bagaimana itu akan terjadi. Dia hanya diam memandangku, kurasa mencoba menimbang manakah pilihan yang akan diambilnya, beberapa kali pula dilihatnya Adrian sebelum kembali menatapku.

“Lo bukan manusia, belum puas lo ngehancurin masa depan gue? Sekarang lo mau…”

Satu tamparan ku berikan padanya, aku sedang tak ingin mendengar kata-kata melankolis dari bibirnya.

“Pilih aja.

“Gue…gue…” Air mata mulai turun membasahi pipinya, ini mulai membuatku kesal karena aku hanya ingin sebuah jawaban. Jadi kuputuskan untuk kembali menamparnya, membuatnya ingat bahwa aku tak peduli dengan semua hal yang berkaitan dengan perasaan ataupun rasa kasihan, tidak lagi; yang kuinginkan hanyalah jawaban dan aku bukanlah orang yang penyabar.

“Pilih ******.”

“Gue…nurut, nurut please stop nampar gue.”

“Pinter.” Jawabku, kuelus pipinya dan kuberikan sebuah senyuman tanda aku senang mendengar jawabannya, aku pun bangkit dan kembali ke tempat dudukku.”sini.”

Gracia pun mengangguk, bangkit berdiri dan berjalan menghampiriku, beberapa kali dia menatap kearah Adrian yang tak kunjung bangun untuk menyelamatkannya. Gracia dengan terpaksa duduk disebelahku, menuduk tak ingin melihat kearahku, biarlah.

“Buka baju lo.”

“Tapi…” Kata-kata berhenti keluar dari bibirnya saat dia menyadari tak ada lagi siapa pun, selain aku dan dirinya.

“Buka.” Jawabku yang sudah tak sabar ingin melihat tubuh indahnya tanpa balutan pakaian tipis yang dipakainya.

Dia kembali menatapku, kali ini dengan tatapan sedih yang mungkin usaha terakhir darinya untuk lolos dari ini semua, mencoba membuatku merasa kasihan dan membiarkannya pergi. Aku mulai lelah mengulangi perkataanku sendiri, tapi aku tak lagi peduli dengan apapun selain keinginanku sendiri. Haruskah ku ingatkan hal itu kembali padanya?

Aku pun berdiri dan ku berikan satu pukulan ke perutnya, itu membuatnya jatuh dan batuk, mencoba mencari udara yang hilang dari paru-parunya. Kujambak dia dan kudekatan wajahnya dengan wajahku, kutatap dia dalam-dalam, memberitahunya bahwa aku mulai bosan dengan semua penolakannya.

“Lo mau gue hamilin?”

Sebuah gelengan kepala adalah jawaban yang kudapatkan, dari rasa takut yang tergurat di wajahnya, kurasa dia akhirnya mengerti.

“Isep kontol gue.” Ucapku setelah berhasil membuka celanaku dan membiarkan kontolku menjulang tinggi.

Tak ada bantahan darinya, dalam diam dia berjongkok didepanku dan dengan perlahan melahap kontolku.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd