Budhe
Seno.. Seno.. Seno.. udah gede aja kamu le. Ucap wanita yang menyambutku didepan pintu sambil merentangkan kedua tangannya. Dia adalah budhe Laras yang merupakan ibu dari mas Oka.
“Baru dua tahun gak ketemu kok kamu udah tambah gagah aja le, tambah ganteng juga. Pasti kamu banyak ceweknya ya le” ucap budhe Laras sambil memelukku yang membuatku merasa kikuk karena dadaku tergencet buah dadanya yang bisa dibilang 'wow'.
Sedikit gambaran tentang budhe Laras, dia merupakan istri pakdhe Narto dan merupakan ibu dari mas Oka. Dia berperawakan sedikit lebih pendek dariku, mungkin tingginya cuma sebatas telingaku. Berbadan sedikit gemuk tapi terlihat serasi dengan tinggi badannya. Meskipun kesehariannya sering dipasar, tapi sinar matahari tak membuat kulitnya yang berwarna kuning Langsat itu menghitam. Ukuran buah dadanya bisa dibilang cukup 'wow' meskipun agak sedikit turun. Dan yang membuat nafasku menjadi semakin naik turun adalah pantatnya yang besar namun kencang dan itu yang dulu sering aku intip saat aku duduk di bangku SMP. Dengan perpaduan buah dada yang wow dan pantat besar yang kencang inilah sering membuatku semangat saat mengintipnya waktu mandi. Pokoknya
milf banget deh, Hehehe.
“Dua tahun kok ‘baru’ sih budhe” ucapku kesal sambil mencoba melepaskan pelukan budhe.
“Yo kamu sih gak pernah main kesini” ucap budhe sambil mempererat pelukannya.
Dulu budhe Laras dan pakdhe Narto adalah tetangga sebelah rumahku. Bahkan aku sering menginap dirumahnya ketika liburan akhir pekan. Karena dulu aku dan mas Oka selalu bermain bersama, main bola, memancing, mandi disungai. Tapi hanya sebatas itu saja tidak sampai bermain 'anggar' seperti si Jhon dicerita sebelah ya wkwkwkwk. Sampai akhirnya dua tahun yang lalu budhe Laras sekeluarga memutuskan pindah ke kota ini karena ingin mengembangkan usaha mie ayam milik pakdhe Narto disini, sekalian memantau mas Oka yang diterima kuliah di PTN XXX.
“Udah to budhe, jangan meluk terus. Malu aku” ucapku merengek. Sebenarnya ini kulakukan agar beliau tidak curiga karena si Joni sudah mulai bangun.
“Halah kamu ini pake malu-malu segala, budhe ini kangen tau. Udah gak pernah disambangin (dijenguk) sama kamu, kamu gak kangen tah sama budhe?” ucap budhe dengan nada manjanya.
“Udah to budhe, lagian Seno udah disini lho. Gaenak sama pakdhe Narto itu, cemburu lho dia” ucapku sambil melihat kearah pakdhe Narto sambil senyum-senyum.
“Hahaha iso-iso (bisa-bisa) ae kamu le. Pye kabarmu No?” ucap pakdhe seraya berjalan kearahku.
“Udah to buk, kasian itu si Seno. Malu dia itu” ucap pakdhe sambil mengelus pundak budhe.
“Udah yuk masuk, buk tolong buatin kopi ya buat ponakanmu yang paling ganteng ini” ucap pakdhe sambil merangkul pundakku berjalan menuju kedalam rumahnya.
“Huh dasar kamu itu pak, masak gak tau sih kalo aku masih kangen sama ponakanku ini” ucap budhe kesal sambil berjalan dibelakang ku.
Sedari dulu budhe Laras memang sudah seperti itu kepadaku. Jika aku sedang 'dinasehati' oleh ibuku, maka aku akan langsung kabur kerumah budhe Laras dan tidur disana. Orang tuaku tidak mempermasalahkan hal itu karena budhe Laras sekeluarga sudah dianggap keluarga sendiri oleh orangtuaku.
“Kene lungguh (duduk) kene le, jejer (sebelah) pakdhe” ucap pakdhe Narto sambil menepuk-nepuk kursi yang ada disampingnya.
“Oh Iyo ka, Tulung tumbasno (belikan) rokok Yo le. Gae adekmu iki, bapak, Karo koe sisan (juga). Nyoh iki duit'e” ucap pakdhe sambil menyerahkan selembar uang berwarna merah bergambar dua bapak-bapak memakai peci.
“Siap bouss, bapak rokok Samsu kan?” ucap mas Seno sambil meraih uang ditangan pakdhe.
“Iyo le” ucap pakdhe sambil meraih rokok Samsu yang tinggal sebatang dari atas meja.
“Aku Surya, koe klobot Yo sen?” ucap mas Oka yang menjahiliku.
“Gathell a, pro abang aku mas” ucapku meraih rokok mas Oka yang juga tinggal sebatang dari saku bajunya.
“Gathell maen comot (ambil) ae, Kate tak gae sangu budhal iku” ucap mas Oka seraya berdiri dan meninggalkan kami berdua.
“Huff yahmene (baru jam segini) kok wes adem ya pakdhe” ucapku sambil menghembuskan asap rokok yang baru saja ku bakar dengan menelangkupkan kedua tanganku didada.
“Iyo le, jarene (katanya) wong kene hawane Maba (mahasiswa baru)”. Ucap budhe yang baru datang dengan membawa nampan berisi 3 cangkir kopi dan sepiring singkong goreng.
Entah benar atau tidak
statement budhe tentang 'howo (cuaca) Maba' ini aku tidak tau, tapi aku Cuma mengiyakan saja. Karena aku juga bukan asli dari kota ini.
“Wah manteb Iki budhe, budhe kok wero (tau) ae karo senenganku (kesukaanku) iki rek” ucapku sambil meraih sepotong singkong goreng.
“Yo iyolah, kamu ae seng gak kangen karo budhe, gak tau nyambangi (mengunjungi) Rene” ucap budhe yang sudah duduk di sebelahku. Jadilah aku ditengah-tengah antara pakdhe Narto dan budhe Lastri.
“Maaf budhe, bukane Seno nggak kangen. Tapi Seno seng gak dioleh (diperbolehkan) dolan adoh (jauh) karo bapak gara-gara masalah bien iko” ucapku sambil mengunyah singkong goreng.
Entah mereka masih ingat atau tidak tentang masalah lima tahun yang lalu. Masalah yang membuatku dijauhi oleh teman-temanku, namun tidak bagi mas Oka. Dialah satu-satunya anak yang tetap mau bermain denganku.
“Pye (giamana) kabare bapak ibuk No? Sehat Kabeh ta?” tanya pakdhe sambil meraih singkong goreng
“Alhamdulillah pakdhe, bapak ibuk sehat Kabeh” ucapku sambil menghembuskan asap rokok.
“Pakdhe Pye? Sehat a? Budhe Yo sehat kan” ucapku sambil melihat kearah pakdhe lalu menoleh kearah budhe.
“Yo ngene Iki le, pakdhe Alhamdulillah sehat lan budhemu Alhamdulillah tambah semok. Hahaha” ucap pakdhe sambil menggoda budhe.
“Woo ancene (dasar) bojo mesum, wes le ojok dirungokno (didengarkan) pakdhemu iku” ucap budhe tersipu malu.
“Onok opo Iki rek, kok rame ae sampek tekan njobo swarane” ucap mas Oka yang telah datang sambil meletakkan tiga bungkus rokok diatas meja lalu duduk di bangku yang ada didepanku.
“Kok koyok'ane (sepertinya) onok seng kurang iku ka” ucap pakdhe sambil mengusap-usap dagunya.
“Wes jangkep (komplit) ngene pak, Samsu gae bapak, Surya gae aku, Karo pro Abang gae gathell siji iki” ucap mas Oka sambil menunjuk ketiga rokok bergantian lalu mengambil sebatang rokok Surya dan membakarnya.
“Maksud'e bapak seng kurang iku susuk'e (kembaliannya). Kene (sini), Endi (mana) susuk'e. Kebiasaan awakmu Iki nek onok susuk'e gak tau (pernah) dikekno (dikasihkan)” ucap pakdhe sambil menengadahkan tangannya.
“Hahaha iling (ingat) ae bapak Iki rek” ucap mas Oka sambil tertawa seraya menyerahkan uang dari kantong bajunya.
Kemudian kami berempat berbincang-bincang sampai menjelang sore hari menumpahkan rasa kangen karena sudah dua tahun aku jarang bertatap muka dengan mereka.
“Budhe aku numpang mandi yo” ucapku karena jam sudah menunjukkan pukul pukul enam sore.
“Ya le, mau tak mandiin sekalian ta?” tanya budhe Laras sambil tersenyum aneh cenderung mesum.
“Ihh apa sih budhe ini. Yo ayo kalau mau mandiin” balasku bercanda.
“Ayo” jawab budhe Laras seraya bangkit dari duduknya kemudian menarik tanganku.
Dulu waktu aku masih kecil budhe Laras memang sering memandikanku jika aku sedang malas mandi. Tidak hanya itu, bahkan budhe Laras juga sering menyuapi saat aku tidak mau makan. Sampai-sampai banyak tetanggaku yang meledek kalau aku ini anak budhe Laras, tapi hanya kubalas dengan juluran lidah saja karena sifatku yang suka dimanja.
“Lho eh,, lho ehh,, Kate Nandi budhe?” tanyaku yang kebingungan.
“Jare minta dimandiin” ucap budhe sambil memandangku.
“Ndak,, Ndak,, aku mandi sendiri aja” balasku sambil duduk kembali.
“Hahaha kamu iki onok-onok ae le” balas pakdhe sambil tertawa.
“hahaha isin arek e buk, Wedi ketok jembut e paling” ucap mas Oka meledekku.
“Lha yo, dulu ae gak mau mandi kalau gak tak mandiin” ucap budhe.
“Hmmm... Mosok saiki budhe mau mandiin aku? Ntar pingsan lagi pas liat si Joni” ucapku sambil meraih rokok yang ada dimeja.
“Halah kunam seutil aja dibanggakan” kata mas Oka.
“Lho jangan salah, gini-gini juga bakal jadi macan kalau sudah bangun dan bisa menggeliat manjah juga” ucapku sambil menirukan nada salah satu artis.
“Hahahahaha” tawa pakdhe Narto dan budhe laras bersamaan.
“Halah kampret” maki mas Oka.
“Wes wes jadi mandi nggak?” tanya budhe laras.
“Ya sek bentar lagi budhe, tak ngerokok dulu” ucapku sambil menghembuskan asap rokok perlahan-lahan.
“Wes kono ndang adus sen, trus ngkok tak jak ngopi” ucap Oka.
“Wah manteb itu” ucapku sambil memainkan alisku.
“Yo nanti jangan lupa makan dulu ya” ucap budhe Lastri yang kemudian masuk ke dalam.
“Nggeh” balasku.
Setelah mandi dan makan bersama-sama, akhirnya aku dan mas Oka pergi nongkrong ke tempat teman mas Oka yang memiliki usaha warung kopi.
Mas Oka langsung memarkirkan motornya ketika sudah sampai di tempat ngopi. Lalu kami pun masuk dan menyapa sang pemilik warung.
“Halo Jess, waduh wes suwe rek gak tau merene” (halo Jess, waduh sudah lama gak pernah kesini) ucap teman mas Oka sambil mengajaknya bersalaman. Jess adalah sapaan akrab ala kota ini, entah apa artinya yang jelas aku sendiri nggak tau. Wkwkwkwk.
“Raimu suu, baru rong dino gak mrene aku. Lagi akeh garapan gae ospek” (mukamu su, baru dua hari gak kesini aku. Lagi banyak tugas buat ospek) ucap mas Oka sambil menjabat tangan temannya.
“Sen kenalno iki dalbo, seng nduwe nggen Iki. Bo Iki Seno adikku” (sen kenalkan ini dalbo, yang punya tempat ini. Bo kenalkan ini Seno adikku) ucap mas Oka melihat kearahku lalu melihat kearah dalbo.
“Seno mas” ucapku menyalaminya.
“redi mas, tapi celuk Dalbo ae” (Redi mas, tapi panggil Dalbo saja) ucapnya sambil menjabat tanganku.
“Pesen opo we Ka?” ucap Dalbo sambil mulai memanaskan air.
“KSP gelas, we apa sen?” tanya mas Oka kearahku.
“Iki kopi opo? Kok Cuma singkatan-singkatan” jawabku bingung karena saat melihat daftar menu Cuma ada singkatan-singkatan yang aneh menurutku.
“Hahahaha, Yo maklum mas kopi gresikan” jawab Dalbo.
“Cuk kon iki kakean ngopi
sachetan koyok e tell” ucap mas Oka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“KSP iku kopi susu pahit. Nek KSTG iku kopi susu tanpa gula. Nek KSM iku kopi susu manis. Nek KM iku kopi manis. Nek KS iku kopi susu. Mending awakmu pesen KSG ae” ucap mas Oka.
“KSG iku opo mas?” tanyaku yang masih bingung.
“Kopi.. susu galon. Hahaha” ucap mas Oka dan Dalbo berbarengan sambil tangan mereka dimaju mundurkan didadanya menggambarkan payudara besar.
“Cuuuuuk. Yowes seng kiwo” ucapku masih kebingungan.
“Apane seng kiwo?” (apanya yang kiri?) Ucap Dalbo yang bingung dengan jawabanku.
“Susuneeeee” jawabku sambil memainkan alisku dengan menunjuk pada salah satu pelanggan yang berdada besar dan berada tidak jauh dariku.
“Cuk adikmu rusuh ka” ucap Dalbo sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Lalu kamipun berjalan menuju bangku sebelah pojok yang terlihat masih kosong. Suasana disini cukup nyaman dengan dekorasi serba kayu yang terlihat kekinian dan banyak lukisan-lukisan abstrak yang terpajang di dinding.
Sesaat aku mengeluarkan rokok dari dalam saku dan membakarnya sebatang sambil melihat-lihat kesekitar.
“Sek sepi Iki sen” (masih sepi ini sen) ucap mas Oka yang baru saja membakar rokoknya.
“Koyok ngene Iki sek sepi?” (seperti ini masih sepi?) Tanyaku terkejut karena sebagian meja sudah ditempati oleh pengunjung yang sepertinya sudah dari tadi sudah berada disini.
“Iyo. Ngkok nek wes rame pasti akeh seng mbeber kloso nek emperan parkiran ngarep iku” (iya, nanti kalau udah rame pasti banyak yang menggelar tikar diemperan parkiran depan). Ucap mas Oka sambil melihat kearah parkiran.
“Edan, warkop sak mene ombone Iki sek kurang Ombo?” (gila, warkop segini luasnya ini masih kurang luas?) Tanyaku keheranan.
Jujur saja warkop ini terlihat sangat luas menurutku. Terlihat didalamnya banyak kursi dan meja berbahan kayu palet yang tersusun berjajar rapi diruangan yang luas ini. Dan dibagikan paling belakang adalah tempat tiga orang barista termasuk Dalbo yang meracik kopi. Disamping meja barista itu terdapat satu meja yang terlihat kosong dan itu adalah meja kasir. Hal ini ku ketahui karena ada plat bertuliskan 'kasir' berada diatas meja tersebut. Wkwkwkwk.
Untuk makanan kecil seperti gorengan ataupun kerupuk memiliki meja sendiri disamping meja kasir, dan aku gak harus menjelaskan kan kenapa saya tau itu adalah meja untuk tempat makanan kecil. Wkwkwkwk.
Meskipun warkop ini berada sedikit jauh dari keramaian tapi terlihat lumayan ramai. Mungkin para pelanggan lebih senang dengan suasana yang tenang mengingat posisi warkop ini berada disekitar area persawahan. Aku sampai heran ketika baru saja tiba di warkop ini karena lokasinya yang berada lumayan jauh dari keramaian dan berada diarea persawahan.
“Iku mejo kasire kok kosong mas?” (itu meja kasirnya kok kosong mas?) Tanyaku pada mas Oka karena sejak datang tadi belum terlihat orang yang menempatinya.
“Biasane adik’e Dalbo seng njogo kasir, tapi mbuh kok durung ketok” (biasanya adiknya Dalbo yang jaga kasir, tapi entah kok belum terlihat) ucap mas Oka kemudian menghisap rokoknya.
“Iki KSP gelas, Iki KSG” ucap Dalbo yang tiba-tiba sudah berada di sampingku sambil menyerahkan dua gelas kopi kedepan mejaku.
“Bedane opo mas?” (bedanya apa mas?) Tanyaku yang masih kebingungan.
“KSP iku kopi susu pahit, pesenane Oka. Lha KSG Iki kopi susu gelas, pesenanmu” ucap Dalbo sambil menunjuk satu persatu gelas yang ada didepanku.
“Oooo” jawabku sambil manggut-manggut.
“Adikmu Nandi bo, kok durung ketok?” (adikmu kemana no, kok belum keliatan?) Tanya mas Oka pada Dalbo.
“Lapo Takon Rahma awakmu su? Ojok-ojok awakmu naksir Yo?” (ngapain kamu nanya Rahma su? Jangan-jangan kamu naksir ya? Tanya Dalbo pada mas Oka.
“Ora tell, sangking Kate tak kenalno Seno Iki. Ben gak ndeloki bokonge emakku ae” (nggak tell, mau tak kenalin ke seni ini. Biar gak ngelirik pantat emakku terus) ucap mas Oka memandangku sambil memainkan alisnya.
“Uhuuuuk”
Kontan aku yang sedang menyesap kopi langsung tersedak kala mendengar ucapan mas Oka.
“
Kampret, dia tau aja” batinku
“Gathell cuk, wero ae. Hahaha” (gathell cuk, tau aja) jawabku sambil menyeka kopi yang ada di bibirku lalu kemudian tertawa.
“Ilingo tell, awakmu ket cilik dolane karo aku” (ingat tell, kamu sedari kecil mainnya sama aku) jawab mas Oka sambil mengacak-acak rambutku.
“Hahahasuuuu” jawabku sambil menepis tangan mas Oka.
“Tak kiro rong taun gak ketemu sifat mu berubah, lakok tibane pancet ae” (tak kira dua tahun gak ketemu sifatmu berbuah, ternyata tetap saja) jawab mas Oka.
“Mbuh mas...” (ntahlah mas)
“Gawan bayek paleng. Hahaha” (bawaan orok mungkin, hahaha) jawaban Dalbo yang memotong ucapan ku lalu tertawa.
“hahahaha” lalu seketika itu kami tertawa bersama.
“Oh Iyo tell, Rahma Nandi kok durung ketok?” (oh iya tell, Rahma kemana kok belum keliatan?) Tanya mas Oka pada Dalbo.
“Mbuh Iki, mau pamitan metu Karo pacare” (ntah, tadi pamit keluar sama pacarnya) jawab Dalbo sambil hembuskan asap rokoknya.
Tulit tulit tulit tulit
Terdengar bunyi dering ponsel milik Dalbo yang ada diatas meja.
“Halo dek”
“...............”
“Kamu kok nangis dek, ada apa?”
“...............”
“Alhamdulillah”
“...............”
“Ya seneng aja, kan dulu mas udah bilang kalau pacarmu itu bajingan”
“...............”
“Yowes tunggu, mas berangkat sekarang”
“Ka nitip warung Yo, aku Kate nyusul Rahma” (karena nitip warung ya, aku mau njemput Rahma) ucap Dalbo ke mas Oka dengan wajah serius
“Rahma opo'o tell? Kok koyok e nangis” (Rahma kenapa tell, kok kayaknya nangis) jawab mas Oka dengan wajah yang tak kalah serius.
“Biasa arek nom, bar putus karo pacare” (biasa anak muda, baru putus sama pacarnya) jawab Dalbo.
“Terus?” jawab mas Oka.
“Yoiki arep tak susul” (ya ini mau tak jemput) jawab Dalbo sambil meraih kunci sepeda motor mas Oka.
“Yo Ndang lho, ngkok kabarono nek onok opo-opo” (ya cepat sana, nanti kabari kalau ada apa-apa) jawab mas Oka sambil menyerahkan STNK yang ada di dompetnya.
“Sip, nitip warung Yo. Sen tak tinggal dulu ya” jawab Dalbo seraya meninggalkan kami.
Terlihat Dalbo mengambil sepeda RX king milik mas Oka lalu segera meninggalkan parkiran.
“Rahma iku adik e Redi tell, ayu arek e” (Rahma itu adiknya Wahyu tell, cantik anaknya) ucap mas Oka sambil meraih rokok Surya yang ada dihadapannya)
“Iyo ta mas” hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku dengan pandangan kedepan mengarah ke jalan raya.
“Awakmu selama telung taun iki mosok sek nutup atimu?” (kamu selama tiga tahun ini apa masih menutup hatimu?) Tanya mas Oka.
Aku hanya diam sambil tetap memandang kearah jalan raya, sesaat kuhisap rokok yang ada tanganku lalu membuang puntungnya. Ku hembuskan perlahan sambil mengingat betapa sakitnya waktu itu.
“Wes ikhlasno ae sen, aku yakin awakmu pasti oleh ganti seng luwih apik” (sudah ikhlaskan saja sen, aku yakin kamu bakal dapat pengganti yang lebih baik) ucap mas Oka sambil menepuk pundak ku.
“Wes wes wes ojo dibahas” (sudah sudah jangan dibahas) jawabku yang mencoba mengalihkan topik pembicaraan, karena sejujurnya membuat hatiku merasa sesak karena mengingat dia.
“Sek diluk, onok seng kate mbayar” (sebentar, ada yang mau bayar) kata mas Oka ketika melihat dua orang yang berdiri didepan meja kasir. Lalu mas Oka berjalan meninggalkanku menuju meja kasir.
Sesaat kutekuk kakiku lalu memeluknya dan menyandarkan daguku diatas lutut. Ingatanku melayang kala pada kejadian tiga tahun lalu. “
Diajeng, bagaimana kabar mu sekarang. Sejujurnya aku sangat rindu padamu” batinku sambil menatap jalan raya yang mulai berubah warna menjadi gelap karena tersiram air hujan.
“Kerupuk tell” ucap mas Oka yang sudah dihadapan ku dan menyodorkan sebungkus kerupuk setelah melayani pelanggan.
“Wah cocok Iki” jawabku seraya meraih kerupuk tersebut lalu memakannya.
“Oh Iyo mas, jare kate cerito masalah mbak nata” (oh iya mas, katanya mau cerita tentang mbak nata) sambungku.
Sesaat mas Oka meraih ponselnya yang ada disaku celananya. Kemudian dia membuka galeri foto lalu menyodorkan ponselnya padaku.
Aku terkejut kala melihat foto mas Oka bersama seseorang yang mirip denganku tapi dia lebih kurus dan kulitnya tampak lebih putih. Aku terus memperhatikan foto itu sampai sesaat kemudian mas Oka merebut ponselnya.
“Ojok ngunu lek ndelok, biasa ae” (jangan begitu kalau liat, biasa aja) ucap mas Oka seraya membakar sebatang rokok yang sudah ada dibibirnya.
“Jenenge Restu, Restu adinata dowone. Dekne adik'e mbak nata seng mau njogo ruang tesmu” (namanya Restu, Restu adinata tepatnya. Dia adiknya mbak nata yang tadi menjaga ruang tesmu) ucap mas Oka sambil memandang kerahasiaan langit-langit lalu menghisap rokoknya.
POV Oka
Yoooman akhirnya ketemu juga sama aku. Kenalin nama ku Oka, Oka Mahardika. Aku adalah anak dari bapak Narto dan ibu Laras. Saat ini aku kuliah di kampus XXX yang terkenal akan kebrutalan mahasiswanya dan baru memasuki tahun ketigaku di jurusan pendidikan olahraga.
Jika berbicara tentang kampus XXX, mungkin orang akan langsung menjawab Genk Loki dan Genk Lubu. Jika kalian bertanya padaku apa kepanjangan dari Genk Loki dan Genk Lubu, maka akan ku jawab lobang puki dan lubang burit mungkin. Hahaha, sejujurnya aku tidak tau apakah itu singkatan atau nama orang.
Sudahlah sebenarnya aku malas untuk membahas kedua Genk tersebut, karena dulu salah satu sahabat terbaikku meninggal karena perseteruan dua Genk biadab itu. Dulu aku dan Restu selalu dipaksa untuk memasuki salah satu dari dua Genk tersebut oleh masing-masing pentolannya, hingga akhirnya aku dan Restu memutuskan untuk menghancurkan kedua Genk tersebut.
Awal pertemuanku dengan Restu bisa dibilang cukup aneh. Aku yang berada di jurusan pendidikan olahraga dan dia berada di jurusan psikologi. Kami pertama bertemu kala ospek hari pertama dikampus XXX ini. Kami berada di satu kelompok yang sama tapi pemikiran kami selalu berbeda. Dia selalu menyanggah usulanku ketika sesi pemberian nama kelompok dan begitupun sebaliknya.
Kami selalu memperdebatkan apapun saat kami bersama, baik itu hal yang gak penting sama sekali sampai hal yang sangat penting sekali. Sampai akhirnya ketua kelompok kami yang kebetulan cewek tiba-tiba nyeletuk “kalian ini kok seperti sepasang suami istri yang baru menikah saja, selalu berbeda pendapat”. Sontak aku maupun Restu menjadi sebal padanya dan memilih saling menyalahkan. Hingga akhirnya berujung duel pada hari terakhir ospek kampus.
Kami berduel dihari ketiga atau dihari terakhir ospek, tepatnya pada saat malam pentas seni. Kami memilih parkir belakang kampus sebagai tempat duel kami karena menganggap tempat itu selalu sepi dan jarang ada yang parkir disana. Selama duel berlangsung kami sama-sama imbang dan selalu melakukan jual beli pukulan karena kami sama-sama menganggap bahwa ketahanan pukulan adalah pertahanan yang paling baik. Kami sama-sama tak mengetahui bahwa dalam duel tersebut ada dua sosok yang memperhatikan kami. Dia adalah siho yang merupakan ketua dari Genk loki dan Jhon yang merupakan ketua dari Genk lubu.
Hingga pada akhirnya kami dilerai oleh kedua orang tersebut, tapi kami yang masih emosi akhirnya memutuskan menyerang mereka berdua karena menganggap terlalu ikut campur dalam urusan kami. Tapi pada akhirnya kami berdua kalah telak karena faktor kelelahan dan juga karena mereka memanggil anggotanya masing-masing. Akhirnya mereka memberikan kami berdua pilihan untuk bergabung pada Genk mereka masing-masing.
Aku yang masih emosi memutuskan untuk menolaknya begitu juga Restu. “Lebih baik aku menjadi lawanmu dari pada harus menjadi kacungmu” ucapku yang masih emosi.
“Hohoho, pikirkan dulu baik-baik anak muda sebelum kau menolak tawaran dari kami” ucap salah seorang dari ketua Genk tersebut. Entah si Jhon atau Sihoo yang berucap karena pandanganku tidak begitu jelas karena efek dari lebam yang ada disekitar mataku. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya Jhon dan Sihoo ini sangat mirip sekali wajahnya. Mungkin sebenarnya mereka berjodoh kali ya.
“Gak sudi aku ikut Genk macam kalian, beraninya main keroyokan” ucap Restu yang juga dengan emosi yang sangat tinggi. Lalu kami berdua bangkit dan berlari kearah Sihoo dan Jhon dengan maksud untuk menghajarnya, tapi akhirnya kami yang menjadi bulan-bulanan mereka karena kalah jumlah.
Aku yang baru saja tersadar dari pingsan hanya bisa memandang langit-langit kamar rumah sakit karena sekujur badanku terasa sangat sakit. Aku langsung melihat Restu saat aku menolehkan kepalaku ke arah kanan dan nampak Restu juga menoleh kearahku. Lalu kami berdua sama-sama tertawa melihat keadaan tubuh kami yang terlihat babak belur.
Selepas kami meninggalkan rumah sakit kami menjadi semakin akrab dan selalu bersama. Mungkin karena memiliki tujuan yang sama lah yang membuat kami menjadi semakin akrab. Tujuan kami sederhana, hanya untuk menghancurkan Genk loki dan Genk lubu.
Banyak orang berkata 'hasil tak akan mengkhianati proses', namun pada dasarnya semua harapan tak akan selalu menjadi kenyataan meskipun kita berusaha sekeras apapun. Karena Tuhan selalu menuliskan takdir terbaik untuk setiap hambanya. Hal ini sangat tepat sekali menurutku karena harapanku untuk menghancurkan kedua Genk yang ada menjadi sirna karena kematian Restu.
Restu terbunuh secara sadis oleh anggota Genk Loki tepat didepan mata kepalaku sendiri. Dia terbunuh karena melindungiku dari tikaman dari anggota Genk Loki tepat di hadapanku dan mbak Nata yang tak lain adalah kakak kandung Restu. Sebenarnya aku yang menjadi target tusukan tersebut, tapi Restu dengan gagahnya berusaha melindungiku dengan mendorong tubuhku hingga aku terlempar dan lolos dari tusukan tersebut. Namun takdir yang sudah tergaris berkata lain, tikaman yang seharusnya mengenaiku akhirnya mendarat diperut Restu hingga Restu harus meregang nyawa karena kehabisan darah setelah menerima beberapa kali tusukan.
Banyak hal yang harus kutanggung dari kejadian ini, dan yang paling membuatku terasa terpukul adalah mbak Nata. Ya sejak kejadian itu mbak Nata menjadi sangat membenciku. Sampai saat ini pun mbak Nata sangat membenciku. Aku sendiri tidak tau kenapa mbak Nata bisa membenciku atau karena apa dia bisa sangat membenciku.
Tapi hari ini semua menjadi berbeda menurutku meskipun mbak Nata tetap membenciku. Sejak kedatangan si gathell Seno. Ya dia adalah temanku sedari kecil, meskipun tak ada ikatan darah diantara kami tapi aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku tidak tau entah karena sejak kecil kita selalu bermain bersama ataupun karena aku tidak memiliki adik. Yang jelas dia adalah anak tangguh yang harus selalu kulindungi.
Hari ini aku dibuatnya terkejut setelah dia mengikuti tes SPMB, dengan entengnya dia mengatakan bahwa dia ngopi di kantin dosen. Sedikit info kantin dosen adalah tempat keramat bagi mahasiswa untuk sekedar nongkrong disana. Terlebih mahasiswa yang telah sering mendapatkan peringatan sepertiku ini.
Aku yang sudah merasakan firasat kurang enak akhirnya memutuskan menjemputnya kesana seorang diri. Sesampainya disana aku dibuatnya terkejut untuk kedua kali kala mengetahui bahwa ternyata dia tak sendiri. Ternyata dia bersama mbak Nata yang selama ini sangat membenciku. Kuputuskan untuk tetap menghampirinya dengan nyali yang menciut karena harus bertatap muka dengan mbak Nata.
Aku bersyukur atas kehadiran Seno kali ini, karena aku yakin lambat lain mbak Nata akan memaafkan ku meskipun dia terlihat masih membenciku. Hal ini bisa kurasakan kala aku bertemu dengannya dimakam Restu. Dia terlihat sedikit melunak kala itu, mungkin karena kehadiran Seno yang sangat mirip dengan Restu.
Sekarang aku memutuskan untuk mengajaknya ngopi di tempat Redi. Bukan bermaksud hanya untuk sekedar mengajaknya ngopi, tapi aku sangat ingin mengenalkannya pada Rahma yang merupakan adik dari Redi yang sering kupanggil Dalbo. Aku bermaksud mengenalkannya pada Rahma karena aku yakin bahwa Seno masih belum bisa mengikhlaskan mendiang pacarnya dulu.
POV Seno
Tak terasa rintik air hujan pun kini mulai mereda, hanya menyisakan kenangan pahit yang menyesakkan dada. Entah mengapa setiap kali hujan turun dari langit selalu disertai kilatan memori luka yang tak bisa ku lupa. Tentang wanita yang harusnya selalu disampingku namun kini telah tiada. Dialah Diajeng Sukma Resti wijayanti, seorang wanita yang selalu kurindu kehadirannya. Wanita yang kini telah bahagia berada disurga.
Tak terasa kopi yang sedari tadi kunimkati kini hanya tersisa sedikit. Kopi dengan aroma khas yang belum pernah ku cium. Kopi dengan tekstur kental dan terasa sangat manis karena campuran susu. Entah susu sebelah kanan atau sebelah kiri yang menjadi campurannya, yang pasti rasanya teramat nikmat.
Nampak diujung jalan seorang yang baru tadi aku kenal mendekat dengan menaiki motor RX-King milik mas Oka. Dia adalah dalbo. Terlihat dibelakangnya seorang wanita yang terlihat menundukkan wajahnya.
Sesampainya diparkiran warkop, si wanita langsung turun dan memasuki warkop tanpa memandang sekeliling. Aku sedikit mengingat wanita itu kala sepintas melihat wajahnya dari samping. “
Sepertinya nggak asing” batinku.
“Woeeee, biasa ae nek ndelok” (woeee biasa aja kalau lihat) ucap Dalbo yang sudah duduk didepanku.
“Hehehe, iku ta adik'e samean mas?” (hehehe itu tak adikmu mas?) Tanyaku pada Dalbo dengan cengengesan sambil menggaruk belakang kepalaku.
“Iyo, sinam kan? Pasti awakmu naksir Yo?” (iya, manis kan? Pasti kamu naksir kan?) Jawabnya sambil menaikkan turunkan kedua alisnya.
“Hehehe” hanya itu tawa kecilku yang menjawab pertanyaan Dalbo.
“Yaopo? Maniskan arek'e tell?” tanya mas Oka yang sudah duduk di sampingku sambil menepuk bahuku.
“Uhukkk” aku yang terkejut hampir saja menyemprotkan kopi yang baru saja kuminum.
“Biasa ae tell, gausah grogi ngunu” jawab mas Oka sambil meraih rokok yang ada dimeja.
“Cuk iii, untung gak nyembur Iki” jawabku sambil membersihkan lelehan kopi yang ada di bibirku.
“
sorry tell,,
sorry. Ngunu ae ngegas rek” jawab mas Oka yang baru saja selesai membakar rokoknya.
Kemudian kamipun terlibat pembicaraan yang nggak berfaedah. Membahas banyak hal mulai dari yang nggak berfaedah sampai hal mesum. Tapi dibalik itu aku merasa nyaman berbicara dengan dua orang gak jelas ini. Sampai akhirnya Dalbo mengkode kami berdua untuk diam.
“Dek.. sini” ucap Dalbo sambil melambaikan tangannya pada wanita yang baru saja keluar dari bagian belakang warkop.
“Lho mbak manis” ucap mulutku begitu saja tanpa bisa dikontrol saat melihat sesosok makhluk cantik yang sudah duduk disebelah Dalbo.
“Lho mas batik kok disini” ucapnya terkejut kala melihatku.
“Lho kalian sudah saling kenal?” tanya mas Oka dan Dalbo bersamaan dengan ekspresi terkejut.
“Tadi pagi ketemu didepan kampus” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.
“Tapi belum sempat kenalan” jawabku tanpa sadar.
“Eh...” jawabku sambil mendekap mulutku dengan kedua tangan.
“Hahaha” tawa mereka bertiga bersamaan kala melihat tampang bloonku. Tapi terlihat sedikit semburat merah di pipi Rahma.
“Gathell tenan adikmu Iki ka” ucap Dalbo sambil melirik kearahku.
Aku yang merasa menjadi korban pembullyan akhirnya hanya bisa terdiam sambil menggaruk belakang kepalaku.
“Dek kamu gak apa-apa kan?” tanya Dalbo pada Rahma. Sejurus kemudian tatapan kita bertiga tertuju pada Rahma.
“Gak apa-apa kok mas” jawab Rahma sambil mencoba tersenyum meski terlihat gurat kesedihan dimatanya.
“Tapi kamu gak di apa-apain kan?” tanya mas Oka pada Rahma.
“Nggak kok mas, untung aja tadi suasananya rame dan ada temenku” ucapnya lagi.
Kemudian suasana menjadi hening.
“Koe gak takon Nang Rahma ta tell?” (kamu gak nanya ke Rahma kah tell?) Ucap mas Oka menepuk pundak ku.
“Ehh... Takon opo mas?” (ehh nanya apa mas?) Jawabku bingung karena sedari tadi aku nggak ngerti apa yang mereka bahas.
“Oalah teeeellll tell. Yowes tak tinggal njogo kasir. Kamu disini aja ya ma, biar kerjaanmu tak tak gantiin” ucap mas Oka lalu berjalan menuju meja kasir.
Rahma tetap diam seperti memikirkan sesuatu.
“Dek... Dek...” ucap Dalbo sambil menepuk pundak Rahma perlahan.
“Ehh... Ada apa mas?” tanya Rahma terkejut.
“Oalah, arek ayu kok ngelamun ae. Wes entenono kene diluk, tak masakne mie. Koyok e kamu belum makan kan dari tadi siang” (Oalah, gadis cantik kok ngelamun aja. Tunggu sini bentar, tak masakin mie, sepertinya kamu belum makan dari tadi siang) ucap Dalbo lalu meninggalkan kami berdua.
“Ehh.. kok ditinggal” ucapku kebingungan karena harus berduaan dengan Rahma.
Sesaat Rahma memandangku sambil mencoba tersenyum.
“Kamu nggak mau ya kalau ditinggal berdua denganku?” ucapnya sambil tetap memandangku.
“Ehh.. bu..kan begitu mbak, aku takut dikira ngapa-ngapain mbak. Soalnya mbak kelihatan banget kalau sedang sedih” jawabku sedikit terbata karena bingung harus menjawab pertanyaan Rahma.
“Ehh.. kelihatan banget ya?” tanya Rahma lalu secepatnya dia meraih ponselnya dan berkaca melalui kamera depan ponselnya.
“Huff.. mataku jadi bengkak” jawabnya sambil cemberut.
“Makanya jangan sedih lagi mbak, jadi ilang lho manisnya” ucapku begitu saja tanpa bisa kucegah. Aku yang terkejut atas ucapanku lalu secepat kilat meraih rokok dimeja depanku lalu membakarnya.
“Ehh.. boleh merokok kan mbak?” tanyaku kebingungan.
“ihh... Udah dibakar juga baru bertanya” ucapnya sedikit cemberut.
“Kok jadi tambah manis sih” ucapku seolah tersihir kala melihatnya cemberut. Dan mulutku dengan enaknya berucap seperti itu. Dan ini sukses membuatnya tersenyum.
“Ihh... Masnya lho, baru kenal aja udah berani ngegombalin terus” ucapnya sambil tersipu malu.
“Ehh...” aku yang baru saja tersadar akan kebodohanku lalu menutup mulutku sambil membuang muka.
“Eheeemmmmm.... Baru ketemu wes wani nggombal. Mas'e dek kene woeee” ucap Dalbo yang ternyata sudah meletakkan dua mangkok mie goreng lengkap dengan telor mata sapi dan sepiring sosis goreng dimeja.
Aku yang terkejut menjadi semakin salah tingkah akibat ulah Dalbo. Aku hanya bisa menundukkan wajahku karena merasa malu.
“Weeees.. weeees.. ngkok maneh nggombale, Saiki makan dulu.” Ucap Dalbo mempersilahkan kami makan.
“Aku wes makan lho mas tadi dirumahe mas Oka” jawabku sambil memandangnya.
“Gak romantis koe sen, mosok awakmu gak pengen mbarengi Rahma makan. Kasian lho dia belum makan dari siang” (gak romantis kamu sen, masak kamu gak pengen nemenin Rahma makan) ucap Dalbo sambil menatapku tajam.
“Ihh.. apa sih mas ini. Kasian lho dia kalau emang bener sudah makan” jawab Rahma sambil menoleh kearah Dalbo.
“Goroiiiii, durung mangan arek iku Ket awan” (bohongi. Belom makan dia dari tadi siang) ucap mas Oka sambil berteriak dari meja kasir.
Aku yang terkejut langsung menoleh kearah mas Oka sambil menatapnya tajam, tapi mas Oka hanya tersenyum sambil memainkan alisnya.
“Wes.. wes.. wes.. dimakan ora sen?” tanya Dalbo memandangku dengan tatapan tajam
“Iya mas.. iya... Tak makan. Aku juga lapar kok” jawabku hanya bisa pasrah sambil meraih semangkok mie yang ada didepanku.
“Yowes tak tinggal ngudek kopi” ucap Dalbo lalu meninggalkan kami berdua lagi.
“Maafin masku ya” ucap Rahma sambil tersenyum. Tapi kali ini tak begitu nampak raut kesedihan diwajahnya.
“Oh iya, aku Rahma..” ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
“Aku Seno mbak” jawabku sambil menjabat tangannya.
“Cie...cieeeee...” terdengar suara mas Oka dan Dalbo bersamaan.
“Hihihi, udah mas gausah ditanggepin. Jomblo mah emang gitu. Pada suka sirik” ucap Rahma sedikit keras tapi tanpa memandang mereka berdua.
“Cuuuuuuk” ucap mereka berdua bersamaan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku lalu mulai menyantap mie yang masih terasa panas. Entah mengapa aku seperti merasa nyaman dengan candaan teman-teman baruku ini.
Hingga pada pukul 12 malam akhirnya aku dan mas Oka memutuskan untuk pulang, setelah berpamitan kepada Dalbo dan Rahma akhirnya meninggalkan tempat itu.
“Pye Rahma tell?” tanya mas Oka sambil mengemudikan motornya.
“Asyik arek'e” jawabku.
“Wes oleh nomer WA ne ta?” (udah dapat nomer WA nya kah?) Ucapnya sambil menoleh kebelakang.
“Wes” jawabku cuek.
“Cepet e cuk” (cepat sekali cuk) jawab mas Oka sambil menoleh kesamping.
“Iyolah, sopo seng gak terkintil-kintil ndelok ketampanan ku” jawabku sombong.
“Asuuuu hahahaha” jawab mas Oka menoleh kearahku lalu tertawa.
“Tell ngkok turu o dewe dek kamarku ya. Aku sek onok urusan Karo koncoku Iki” (tell nanti tidur aja sendiri dikamar ku ya, aku masih ada urusan dengan temanku) ucap mas Oka ketika sudah hampir sampai dirumahnya.
“Oke, tapi ojo lali sesok terno aku Nang terminal Yo” (oke, jangan lupa besok anterin aku ke terminal ya) jawabku.
“Gampang, awan-awan ae yo” (gampang, siang-siang aja ya) jawabnya.
“Sembarang” (terserah) ucapku.
Lalu kami pun sudah sampai didepan rumah mas Oka, nampak lampu ruang tengah masih menyala tanda penghuninya masih belum tidur.
“Tak tinggal sek Yo tell” ucap mas Oka lalu meninggalkanku.
Tok... Tok... Tok..
“Budhe.....” ucapku sambil mengetok pintu.
“Hmmmm.... Sek bentar” jawab budhe dari dalam.
Ceklek.. ceklek..
“Nandi masmu le, kok kamu sendirian?” (masmu kemana le, kok kamu sendirian?) Tanya budhe Laras setelah membukakan pintu untukku.
“Onok perlu sama temen-temannya katanya, budhe” (ada urusan sama teman-teman katanya, budhe) jawabku sambil mencium punggung tangan budhe Laras.
“Hmmm, yawes sana kamu cuci tangan dan kaki terus tidur dikamar mas Oka” jawab budhe lalu menutup pintu rumah dan masuk kedalam kamar. Letak kamar budhe Laras bersebelahan dengan kamar mas Oka.
Setelah cuci tangan dan kaki, aku memutuskan untuk segera tidur karena aku juga merasa mulai agak mengantuk.
“Leee, udah tidur ta?” terdengar suara budhe Laras kala aku baru saja merebahkan tubuh diatas kasur, tapi tak ku jawab karena rasa kantuk yang mulai menggelayuti mataku.
“Wes turu arek'e” terdengar sahutan lirih dari pakdhe Narto.
“Isek to mas, Ojo langsung nyosor, ngkok Ndak malah langsung crut koyok biasane” (sebentar mas, jangan langsung nyosor. Ntar malah langsung keluar seperti biasanya) ucap budhe Laras. Aku bisa mendengar jelas ucapan mereka berdua karena ada dua buah ventilasi kecil ditembok yang memisahkan kamar ini.
“Cuk, mau ena’-ena’ aja harus rundingan dulu. Asuuuu asuuuu” batinku sambil mencoba memejamkan mataku yang masih terjaga.
“Ayo to buk, udah gak tahan ini” ucap pakdhe Narto.
Taiikkk taiikkk hilang sudah rasa kantukku karena ulah mereka berdua dan gawatnya kini si Joni malah mulai terjaga dari tidurnya. Akhirnya kuputuskan untuk melepas celana dalamku lalu kuletakkan didalam tas yang berada disamping kasur. “
huff leganya, sekarang terserah kamu Jon mau bangun, mau blingsatan, mau teriak juga terserah” batinku sambil mulai membelai si Joni hingga akhirnya aku tertidur.
Samar-samar aku merasa seperti ada yang sedang membelai si Joni. Semakin lama semakin terasa menjadi sebuah kocokan lembut hingga akhirnya kuputuskan untuk membuka mata. Aku terkejut kala melihat budhe sedang berada didaerah selangkanganku sambil tangannya mengocok pelan si Joni.
“Lho budhe...” ucapku terkejut sambil mencoba melepaskan tangan budhe dari si Joni.
“Ssssttt” desis budhe sambil tangan kirinya memberi kode agar aku tetap diam tapi tangan kanannya tetap mengocok Joni yang sedari tadi sudah berubah ukuran.
“Tolong bantuin budhe le” ucap budhe dengan pandangan sayu sambil tetap mengocok joniku.
“Iya budhe... Iya... Pasti Seno bantu. Tapi tolong lepasin dulu ya, takutnya nanti ketahuan pakdhe” ucapku pasrah, tapi dalam hatiku berharap budhe terus mengocok si Joni.
“Tenang le, pakdhemu gak bakalan bangun karena dia tadi sudah ngecrut. Kebiasaan jelek pakdhemu itu kalau sudah ngecrut pasti langsung tidur nyenyak dan susah dibangunkan” ucap budhe sambil tetap mengocok si Joni yang perlahan mulai terasa semakin cepat.
“Ehh... Bu...Dhe.... Ber...hen...ti... du...lu... seb...bentaaar.... ahhh....” ucapku terbata karena merasakan nikmat oleh kocokan budhe.
“Gimana le? Enak nggak?” ucap budhe sambil tetap mengocok joniku lalu terlihat mulai menjilat lubang kencingku.
“Ehhhh... Bu...dhe.... Ah.... Enn...nnaaaakkk... Oh....” tanpa sadar aku melenguh menikmati kocokan dan kuluman budhe.
“Towongin buhee ya lheeee” ucap budhe sambil mengulum si Joni.
Aku yang sudah terburu nafsu langsung menekan kepala budhe agar semakin dalam mengulum si Joni.
“Uhuuuuk.. uhuuuuk..” budhe terbatuk karena dorongan tanganku pada bagian belakang kepala budhe.
Aku pun tersadar karena melihat tetesan air mata budhe dan langsung duduk tepat dihadapan budhe.
“Maafin Seno budhe” ucapku sambil tanpa sadar memeluk budhe.
“Nggak pa-pa le, tapi bantuin budhe ya” ucapnya sambil menatap mataku.
“Pasti Seno bantuin budhe, tanpa melakukan hal yang seperti tadi pun Seno pasti bakal bantuin budhe” ucapku sambil membalas tatapan matanya. Tapi aku bingung karena permintaan tolong dari budhe yang aku tidak mengerti maksudnya.
“Budhe mau minta tolong apa ke Seno?” Tanyaku sambil mulai menaikkan celanaku yang tadi diturunkan budhe. Secepat kilat budhe mencegah tanganku untuk menaikkan celanaku.
“Tolong bantu puasin budhe le” ucapnya sambil mulai mengocok Joni ku lagi.
“Ehh.. budhe gak bercanda kan? Gimana nanti kalau ketahuan pakdhe. Dan juga bagaimana kalau tiba-tiba mas Oka pulang?” tanyaku kebingungan.
“Pakdhemu gak bakalan tau karena dia sudah tidur dari tadi. Kalau masmu itu bakal pulang besok pagi, karena kebiasaan jika sudah keluar malam pasti sedang mabuk dengan teman-temannya” jawab budhe sambil tetap mengocok si Joni.
“Tapi Bud..... Mmmmphh” belum sempat aku melanjutkan kata-kataku, budhe sudah mengulum bibirku lalu melumatnya. Sontak aku yang sudah terbawa nafsu langsung membalas ciuman budhe sambil tanganku mulai bergerilya di dada besar budhe. Kuremas perlahahan pentil besar budhe yang mulai mengeras. Sejujurnya sudah sejak dulu aku selalu gemas ketika melihat puting besar budhe yang berwarna coklat kehitaman ini.
Dulu ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, budhe sering memandikanku. Tak jarang kita sering mandi bersama dan yang paling aku sukai adalah ketika aku menyabuni dada budhe. Aku selalu berlama-lama ketika melakukannya. “Kamu dah besar le, tapi kok masih suka menthil sih?” itu adalah kata-kata yang selalu budhe ucapkan ketika aku menyabuni dadanya.
“Oh.. iya... Gitu lee... Oh... Lebih keras ngeremesnya lee.. oh..” hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut budhe ketika kuremas dadanya dan memilin-milin putingnya.
“Budhe sudah nggak tahan lee” ucap budhe lalu berdiri dan menyingkapkan daster tipisnya. Nampak kemaluan budhe yang sedikit menghitam dan tidak begitu lebat bulu kemaluannya. kemudian berjongkok tepat diatas si Joni lalu menggesek-gesekkan lubang memeknya pada kepala Joni.
Bleshhhh....
“Ohh... Enak budhe....” kataku ketika si Joni sudah masuk kedalam memeknya. Sensasi rasa sesak tapi licin pada dinding memeknya membuatku lupa akan siapa wanita yang sedang berada diatasku ini.
“Ohhh... Enak lee. Ngganjel banget manukmu lee... Ohh... Enaaaak...” desahan budhe sambil mulai menaikkan turunkan pinggulnya. Aku yang tak tau harus berbuat apa kemudian meremas dada kiri budhe dan tangan kiriku kugunakan untuk memainkan itil budhe. Budhe yang mengerti akan keinginanku lalu melapaskan dasternya dan melemparkannya kesamping kasur.
“Remas yang keras lee. Remas susu budhe yang sering kamu pentilin dulu lee...” Ucap budhe sambil terus menarik turunkan pinggulnya dan kedua tangannya bertumpu pada pahaku.
Tak seberapa lama terasa memek budhe mulai berkedut-kedut. “Budhe nyampe lee... Ohhh... Enak banget manukmu lee..” ucap budhe sambil memilin-milin clitorisnya sendiri karena kedua tanganku sudah berpindah kepantat semok budhe dan meremas-remasnya.
Ser... Ser... Ser..
Terasa penisku seperti disiram cairan hangat yang lumayan banyak. Kemudian budhe ambruk kedepan tepat pada pelukanku. “Diam bentar lee.. budhe rindu rasa nikmat ini, biarkan budhe menikmatinya sebentar” bisik budhe ditelingaku sambil ngos-ngosan.
Entah kenapa penisku menjadi terasa seperti diurut dan terasa sangat enak. “Joni diapain budhe, kok enak banget?” tanyaku pada budhe sambil membelai lembut rambutnya.
“Sssttt, diam aja le. Nikmati aja sensasinya” ucap budhe yang masih diam diatas tubuhku sambil memejamkan matanya. Terlihat peluh keringat membanjiri wajah manis budhe. Segera kuseka keringat yang ada di kening budhe dan budhe pun membuka matanya yang nampak sayu.
“Kamu masih belum keluar ya le?” tanya budhe kemudian mulai menciumi bibirku lagi.
“belum budhe” jawabku sambil mengusap punggung budhe yang berkeringat. Segera kubalas ciuman budhe dan tanganku mulai merabai pantat budhe dan meremasnya.
“Lagi ya budhe” ucapku ketika melihat budhe sudah mulai bernafsu lagi ketika merasa pentilnya mulai mengeras didadaku.
Sesaat keemudia budhe menggulingkan tubuhnya memunggungi ku. “Masukkan lagi lee...” ucap budhe yang menoleh kearahku dan tersenyum nakal.
Tak kujawab ucapan budhe tapi aku langsung menggosok-gosokkan penisku pada belahan pantat budhe yang terasa licin akibat lendir orgasmenya. “Ayo le, budhe udah pengen lagi” rengeknya manja sambil mulai merabai Joni tapi segera ku tepis tangan budhe “nikmati aja budhe” ucapku lirih di telinganya lalu kemudian menjilati telinganya. Terasa tubuh budhe menggelinjang saat ku jilat telinganya.
Bleessshh...
Tanpa aba-aba segera ku dorong Joni dibelahan pantat budhe.
“Auwww,, salah lubang lee...” ucap budhe terpekik sambil memajukan pinggulnya.
“Ehh... Maaf budhe, aku nggak tau” ucapku tanpa merasa berdosa lalu menarik Joni keluar.
“Oalah, dasar Joko. Main sruduk ae” (Oalah dasar perjaka, main tusuk aja) ucap budhe sambil memegang Joni lalu mengarahkan pada lubang memeknya. “Tekan le” ucap budhe.
Sontak aku yang sudah nafsu lalu menyentak keras si Joni ketika mendengar arahan budhe. “ahh... Enak lee... Terus lee... Yang keras nyodoknya” ucap budhe sambil memilin-milin pentilnya.
Tanganku yang hanya diam kuarahkan pada clitoris budhe lalu memilin-milinnya. “Uhh... Enak lee.. terus lee.. akhhhh..” lenguh budhe ketika kupuntir-puntir clitorisnya.
Terus kugenjot si Joni dilubangi budhe dengan tempo cepat karena aku ingin segera mencapai puncak kenikmatan. “Ahhh.... Iya... Gitu Lee... Ohh.... Lebih cepet Lee... Ahh.. enaaakkk...” desah budhe ketika kupercepat sodokanku.
Sesaat kemudian kuberbisik pada telinga budhe “budhe Seno mau nyampe” sambil tanganku meremas payudara budhe.
“Tunggu bentar le.. budhe masih belum... Ntar barengan aja biar enak...” ucap budhe sambil menggigit bibir bawahnya dan memejamkan matanya.
Hampir lima menit kemudian kupercepat sodokan penisku ketika kurasa badai spermaku sudah mau keluar. “Budhe... Seno mau keluar...” ucapku.
“Barengan lee. Budhe juga mau keluar... Ohhh...” jawab budhe. Segera ku percepat sodokan Joni pada memek budhe sambil memindahkan tanganku pada clitoris budhe.
“Ohhhhhhh.........” lenguh kami bersamaan kala kurasa spermaku menyembur deras dalam memek budhe seketika tubuh budhe terasa bergetar hebat kala ia juga melenguh. Kudiamkan sejenak si Joni yang baru saja melepas title perjakanya.
Huuuh huuuh huuuh
Terdengar deru nafas budhe yang mulai taratur. Lalu terlihat budhe mulai bangkit dari kasur dan berucap “tunggu sebentar le, budhe mau bersih-bersih dulu” kemudian dia meninggalkanku.
Aku hanya berdiam diri merasa tak percaya karena telah bersetubuh dengan budhe. Kemudian budhe kembali memasuki kamar sambil membawa sebuah handuk kecil basah ditangan kanannya.
Lalu dia kembali mengulum Joni yang sudah mulai mengecil, terasa nikmat sekali kuluman budhe. Terasa ia mengurut Joni dari pangkal hingga ke ujung. Kemudian budhe menyeka Joni dengan handuk basah yang ia bawa tadi. Setelah itu budhe kembali berbaring disampingku dengan memakai daster yang tadi ia kenakan.
“Terimaksih ya le sudah bantuin budhe” ucapnya sambil tersenyum kearahku.
“Apasih budhe” jawabku kemudian menyusupkan mukaku pada ketiak budhe karena malu.
“Kamu kok tetep suka ngelek sih kalau malu” jawab budhe sambil mengelus rambutku.
“Budhe...” ucapku
“Hmmm...” jawabnya
“Budheeeee....” ucapku lagi
“apa sih le?” Tanya budhe
“mentiiilll...” ucapku manja
“Hmmm kok kamu masih tetep suka menthil sih le, kan udah gede” ucapnya sambil membuka tiga kancing dasternya mengeluarkan satu susunya.
“Wes nyoh, Ndang bubuk wes” ucapnya sambil mengelus rambutku.
“He’em” ucapku sambil memilin puting budhe.
Bersambung sodara-sodara