Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Elena (tamat?)

Ini cerita yang sangat bagus...perfect dengan alur yang dibiarkan mengalir perlahan namun menyajikan bahasa dan kisah yang sangat menyenangkan untuk.di baca,penulis ada bakat untuk membuat cerita lebih berbobot dari hanya sekedar cerita panas
 
maaf maaf belum apdet...

ane usahakan malam nanti gan...

makasih udah dibaca...

tungguin terus yaaa...

:semangat:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
mantap suhu... bakalan jadi salah satu cerita favorite nih.... emang gak selalu harus ada ss-nya.. cerita yang mengalir lembut dan memainkan perasaan... cepat update suhu
 
E L E N A
( p a r t 5 )


Aku duduk termenung di kantor. Di layar handphone, pesan bbm dari Rani ragu untuk kubuka.

“Dimana yah?”
Aku takut. Apakah Elena lapor ke Rani. Apakah Rani akan marah. Apakah dan apakah...sederet pertanyaan tak terjawab.


“Di kantor Bun. Kenapa?”

“Nanti makan siang bareng yuk. Aku di yayasan sampai jam 11an. Aku jemput yah, ini bawa mobil kok”

“Oke.” kujawab singkat.


Hampir tak pernah ada yang kusembunyikan dari istriku. Segala sesuatu selalu aku ceritakan, pun sebaliknya. Ini membuat hidup lebih enteng, pikirku.

Tapi kali ini…

Entahlah. Semua masih berputar di kepalaku.


Serapat rapatnya kita menyembunyikan bangkai, akhirnya akan tercium juga.

Apa yang tidak kamu ketahui, tidak akan membunuhmu.


Dua kalimat itu saling bertentangan di kepalaku. Haruskah aku menyembunyikan ini dari Rani. Bagaimana jika dia tahu?

Ingatanku melayang ke beberapa tahun lalu, saat Rani berkali kali marah, cemberut, ngambeg, karena kedekatanku dengan beberapa kawan wanita di kampus.

=0=


Dan belum belum, aku sudah mendapatkan hukuman atas kelakuanku tadi pagi.

Siang ini, saat Rani menjemput, wanita itu tampak begitu cantik. Entah kenapa, paduan gamis biru-coklat yang dipakainya membuat hatiku berdesir. Ditambah dengan senyumnya saat melihatku keluar dari pintu rapat.

Bagaimana mungkin, aku tega menghancurkan hati wanita secantik ini.

Pertentangan batin semakin kuat, dan tak mungkin aku membiarkan diri terlalu galau. Pasti Rani justru akan bertanya tanya.

Aku membalas senyum istriku, “ Yuk Bun…”

Rani berdiri dan menggandeng tanganku mesra.


Rani tampak melambai ke teman temanku yang tugas di front office, teller. Iya, memang Rani sudah sangat berubah. Dahulu waktu kuliah, ada tetangga kos baru yang cukup cantik dan jadi bahan obrolan teman teman saja sukses membuat Rani cemberut berhari hari.

Tapi, aku yakin Rani berubah karena percaya denganku. Jadi kalau sampai aku bercerita, atau entah bagaimana Rani tahu tentang kelakuanku terhadap Elena… aduhh… pasti hancur hatinya.


=0=


But sometimes, something are better left unspoken, unsaid.

Aku memilih untuk menunda. Biarkan yang tak terdengar, tetap tak terdengar. Biarkan yang tak terlihat, tetap tak terlihat.

Tak cuma itu, aku harus mencari cara untuk menghentikan semua ini. Aku harus minta maaf ke Elena, dan berharap ini semua sudah berakhir.


Rasa bersalah membuat siangku ini menjadi terasa lambat. Aku seakan ingin segera kembali ke kantor. Rani memang sering mengajak makan siang bersama, terutama jika dia sedang ada kegiatan di yayasan.

“Ayah capek ya?” Rani menatapku.


“Eh...hmmm… Iya Bun.” Jawabku singkat.


Rani memegang telapak tanganku, mengelusnya. Bibir cantik istriku terus bercerita tentang beberapa persoalan yayasan, tapi aku tak mendengar apapun. Aku hanya tersenyum, dan memandang bibir cantik di depanku bergerak gerak indah.


“I love you…” aku berbisik tiba tiba.

Rani menghentikan ceritanya, lalu meremas telapak tanganku.

“iya Ayah… I love you too… Udahan yuk, pulang aja… “


Aku betul betul mencintai Rani. Meksipun baru saja tadi pagi aku...ahh...apa namanya, khilaf ? Meskipun baru saja tadi pagi aku khilaf. Tapi, aku memang sangat mencintai Rani. Aku akan melakukan apapun, demi kebahagiaan Rani.

Bahkan termasuk keputusanku untuk menghentikan tumbuhnya perasaan anehku kepada Elena. Aku harus bisa.


=0=


Langit sudah gelap saat aku sampai di rumah.

“Ayaaaaahhh….” Teriakan anak kecil menyambutku di pintu teras belakang.

Farah meloncat ke arahku, dengan sigap tas kulempar ke lantai dan kutangkap Farah ke gendonganku.


Rani menyusul di belakangnya. Aku mendekat, dan sedikit membungkuk untuk mencium dahi istriku.

Farah berceloteh, sebagian terangkai menjadi kata kata, sebagian besar hanya sekedar bunyi tak jelas. Lucu sekali.

“Turun naak… Ayah biar mandi dulu… kasian baru pulang..” Rani mengelus punggung Farah.


Aku berpura pura mengejar saat Farah turun dari gendongan dan terus berlari, membuat gadis kecilku semakin ramai berteriak teriak.


Setelah makan malam, aku duduk di karpet dengan punggung bersandar di sofa. Farah bermain di depan, sedang Rani rebahan di sofa. Tangannya merangkulku.

Farah bermain boneka dengan serius. Aku beberapa kali menanggapi, nimbrung, dan tentu saja menggoda. Berpura pura jadi monster yang merusak istana putri dan lainnya.


Sebuah kebersamaan, keluarga, yang sangat penuh mengisi hatiku. Tak akan aku gadaikan, walau demi Elena sekalipun.


Tak berapa lama kemudian, Rani mengajak Farah untuk tidur. Waktu sudah hampir jam sembilan malam.


Rumah kembali sepi, lampu sudah kumatikan, hanya tinggal teras yang menyala. Kulirik keluar, gelap. Biasanya kamar kos belakang selalu terlihat menyala dari luar. Aku mencoba menahan diri untuk tak menengok ke luar.


Kulihat di kamar Farah, Rani tertidur memeluk gadis kecilku. Aku mendekat, menyusul merebah di belakang istriku, dan memeluknya.


“Hufft… Ayah… Aku ketiduran.. “ Rani sedikit kaget.

“Ssstt… Gapapa… “ kucium rambut istriku dari belakang.


Cahaya remang remang, memberikan siluet pinggul Rani yang berkelok indah. Ujung jariku bergerak perlahan, mengelus dari lengan hingga paha Rani yang masih terbungkus daster panjang selutut.


Rani sedikit menggelinjang. Tak terlihat apakah matanya terbuka atau masih terpejam. Namun, terasa nafas Rani sedikit berubah, lebih berat.


Tangan Rani menengadah, meraih kepalaku dan menarik mendekat. Lembut bibir Rani menunggu. Kupagut bibir bawah istriku, celah di antara dua bibirnya tampak merekah. Desahan pelan keluar dari keduanya.


“Ayaahh...sshh… Ke kamar saja yuk?”


=0=


Sengaja Rani bergerak perlahan. Dasternya tersingkap ketika kakinya melangkah pelan keluar dari kamar Farah. Matanya melirik nakal.


Aku segera berdiri, dan mengikuti. Tungkai Rani masih terlihat bergerak pelan bagai slow motion, memasuki kamar tidur utama, persis sebelum menghilang di balik pintu yang juga mulai menutup.


Kutahan dengan kaki kananku, menyisakan sedikit celah yang terbuka. Rani menoleh ke belakang, dengan tatapan yang masih nakal, tangannya mengulur ke arahku. Jarinya menunjukku, kemudian ditekuk perlahan ke atas, memberi tanda mengundang.


Aku mengikuti masuk ke dalam kamar, pintu kututup dengan punggungku. Rani memutar badan, dengan gaya sensual kemudian melangkahkan kaki, dan duduk di atas kursi rias.


Rani menatap lurus ke cermin, tangannya kemudian mulai bergerak, menarik rambut panjangnya ke atas. Gelombang rambut istriku tampak berkilau diterpa cahaya lampu meja rias yang temaram. Sambil memutar rambutnya ke atas, membentuk gelungan kecil, matanya kembali melirik nakal.


Aku berjalan perlahan, tak bisa kututupi, gairahku sudah melecut tinggi. Aku berdiri di belakang punggung Rani. Kulihat Rani menggigit bibir bawahnya.


Aku merunduk, kucium rambut Rani. Tangannya membuka menyambut, dikalungkan di leherku dari bawah.


Semua serba menyatu, satu gerakan bersambut gerakan lainnya.

Tarian cinta kita berdua di depan cermin rias.

Nafas birahi yang saling bersahutan, mengisi keremangan cahaya. Menggantinya dengan kehangatan cinta.




Rambut Rani menyebar ke atas ranjang, saat kita bergumul di atasnya. Dua tubuh telanjang saling menyatu, berbagi kenikmatan surgawi yang didambakan tiap pasang manusia.


Lenguhan lenguhan cinta berbaur dengan basahnya keringat birahi. Semua serba indah.

Remasan demi remasan, semua organ percintaan saling berjamah.

Hingga satu lenguhan panjang diikuti dengan pagutan bibir menjadi puncak dari pendakian cinta kita berdua.





“Ayah… Tadi katanya capek.” Rani menangkupkan kepalanya di dadaku setelah nafasnya mulai teratur.


Aku hanya membalas dengan kecupan ringan di dahi.


“I love you… “ bisikku.

“I love you more… I adore you…” Rani menjawab pelan dan sepertinya sambil terpejam, tidur.


=0=


Sukses.

Semalam bercinta dengan Rani, tak sedikitpun aku teringat akan Elena.

Mulut Farah belepotan coklat. Di depannya sepotong kue yang cukup besar sudah tercabik di sana sini.

“Pelan pelan makannya sayang..” Rani membersihkan wajah anak gadisku sambil menahan senyum. Pipi Farah yang cukup chubby bertambah mengembung dengan potongan kue yang ada di dalamnya, menggemaskan.

“Eh iya.. Ayah… Cobain dong kue nya.. “

Aku berjalan ke meja makan, di atasnya ada satu kue tart, bundar berwarna coklat yang sudah terpotong sebagian.


“Itu dari Elena, Yah... “


Terima Kasih Untuk Semuanya.

Ka Rani & Mas Ayah.


“Loh… dalam rangka apa ini Bun, kok tumben” aku bertanya.


“Loh, aku belum cerita toh? Elena kemaren pamit pulang Yah.. Bawa koper besar kemaren sore, dijemput travel. Pulang ke Bandung.”


“Loh kapan? “

“Kemarin pagi dia sms mau pulang, trus sorenya pamitan.”


DEGG…



Aku tak bertanya lagi.

Aku tak tahu harus berkata apa.


Bahkan sepotong kata maaf-pun belum sempat terucap untuk Elena.


( b e r s a m b u n g )
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd