Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

E.P.I.L.E.P.S.I [Bukan Penyakit Menular Namun Mengasyikan]

lubangmatahari

Semprot Holic
Daftar
5 Dec 2013
Post
321
Like diterima
151
Lokasi
Kota Gaplek - Kota Gudeg - PRASOJO
Bimabet
Perkenalkan namaku Gibran dan sedang menempuh kuliah di salah satu PTS di Solo. Bukan keinginanku sebenarnya untuk kuliah dan tinggal di kota ini, tapi karena paksaan papaku yang asli Solo agar aku melanjutkan kuliah sekaligus untuk menemani nenekku yang tinggal sendirian karena anak-anaknya lebih memilih untuk menempati rumah mereka sendiri. Meski beberapa diantaranya masih berada di lingkungan kota Solo, namun karena tidak berkenan tinggal di rumah salah satu anaknya , maka akulah yang terpaksa menemani beliau sebab memang usiaku termasuk yang paling dewasa diantara cucu-cucunya.

Memang sesekali cucu lainnya betandang dan salah satu yang paling sering adalah Lia sepupuku dari tante Nanik, Tante Nanik ini adalah anak angkat nenekku meskipun anak kandung nenek sendiri adalah tujuh orang, sedangkan tante nanik merupakan anak dari salah satu keluarga jauh nenekku yang kemudian diasuh Kakek-nenekku sejak kecil sampai dengan menikah. Begitu pula dengan Lia anak tante Nanik, Ia juga sangat dekat dengan nenek bahkan melebihi kedekatan dengan cucu-cucu kandungnya. Lia masih duduk di bangku kelas satu di SMA yang letaknya tak jauh dari rumah nenek, maka setiap pulang sekolah lebih sering mampir sambil menunggu Om Yadi pulang kantor untuk kemudian ke Karanganyar tempat tinggal mereka.

Lia adalah seorang gadis periang, supel dan juga sangat ramah, meski tak secantik Sissy salah satu sepupu kandungku yang seorang foto model, namun paras Lia yang menunjukkan kepolosan selalu membuatku betah berlama-lama ngobrol dengannya. sekilas Lia tampak seperti kutu buku, berkacamata minus, rambutnya dikuncir kuda, belum lagi sifatnya yang manja seolah aku merasa dibutuhkan olehnya. Selain itu tubuhnya yang ramping mebuatku kadang ingin sekali memeluknya, sekedar meremas toket kecilnya atau bercoli sambil melihatnya telanjang di depanku. Namun semua itu kutepis karena dia adalah sepupuku meskipun tak jelas rentetan silsilah hubungan darah diantara kami.

Hingga pada suatu siang ...
Cuaca yang terik membuatku untuk segera pulang dari kampus dan bersantai di rumah. Apalagi semalam nenek berangkat ke Klaten karena dijemput Om Apung untuk sekedar menginap beberapa hari dalam rangka peresmian cabang usaha miliknya.
Jam pulang sekolah Lia pun tiba. Saat itu aku sedang berbaring di kasur ruang keluarga saat Lia masuk kedalam rumah.
“Mas Gibran sudah pulang yaaa… “ Lia menyapaku dengan riang meski kulihat lelah di wajahnya.
“Aku bukan Gibran … i.i.i.i.iiiiii …” Kujawab dengan suara berat dan mimik menyeringai sambil tertawa bak mahluk astral sekedar untuk menggodanya.
“Mas Gibrannnn …!”
“Brukkk …” Lia spontan melemparkan tasnya ke arahku kemudian ia seolah mengambil posisi hendak memukuliku.
“Kamu siapa.a … ?“ Aku masih menggoda dan kali ini dengan tatapan tajam kepadanya.
“Mas Gibran jahaaaatttt … “ wajah Lia tampak cemas dengan kejahilanku.
Raut wajah Lia yang ketakutan dengan gurauanku, ditambah suasana rumah nenek yang sepi membuat keisenganku semakin menjadi-jadi.

Sebelah kanan rumah Nenek memang rumah kosong sedangkan sebelah kirinya adalah rumah keluarga koh apin yang setiap siang juga tak berpeghuni karena mereka sekeluarga ada di tokonya.
“Mbah utiiii …..” Kali ini Lia sudah menyerah dan kemudian berlari ke belakang menuju kamar mbah uti, dengan maksud mengadu pada nenek. (mbah uti atau mbah putri merupakan panggilan keluarga kami untuk nenek,-red). Lia tak menemukan nenekku di dalam kamar.
“Liaa …. Mbah putri sedang ke rumah om Apung…” Aku mengahkiri bercandaku yang sebenarnya cukup garing itu, Kuikuti untuk memberitahu tentang keberadaan nenek. Kulihat Lia dari luar kamar ketika itu ia memegangi kepalanya dan raut mukanya mengkerenyit seolah sedang diserang sakit kepala yang teramat sangat.
“Gleg …” aku segera berlari kearahnya dan kali ini keadaan berganti menjadi aku yang merasa cemas terhadap keadaan Lia. Matanya tamak sayu dan sesaat kemudian tubuhnya lemas dan terjatuh di lantai. Aku yang memang sudah berada di dekatnya refleks menahan tubuhnya dari depanagar kepalanya tak terantuk lantai. Namun kejadian yang begitu cepat membuatku tak siap untuk menahan tubuhnya hingga kami berdua terjatuh meski kepala Lia terhindar dari benturan lantai. Tubuh Lia seketika menggelepar dan kejang hingga aku pun membaringkannya di lantai kamar nenek. Mulutnya mengeluarkan muntahan yang berupa cairan berbusa yang cukup banyak hingga membasahi sebagian rambutnya.
“haduuuhhhh …” Aku baru tahu jika Lia ternyata mengidap penyakit epilepsi. Memang saat itu aku sangat cemas dan bahkan takut melihat keadaannya. Ingin rasanya berteriak minta tolong tapi akan percuma karena sekitar rumah nenek setahuku saat itu sepi. Dulu saat aku masih duduk di bangku SMP memang ada salah seorang kakak kelas yang mengalami hal seperti ini, semua siswa dan bahkan guru-guru tak mengambil tindakan apapun hingga kemudian ia siuman dan kembali berakifitas. Kali ini sungguh berbeda, tak ada satu orang pun disini kecuali aku dan Lia, aku juga tidak bisa memastikan apakah hal yang dialami Lia sama dengan kakak kelasku waktu itu. Kuputuskan untuk mengambil ponselku dan kutelpon Om Yadi.
“Halo Om Dek Lia pingsan om …. Gim… ” tiba-tiba Om Yadi memotong.
“Tenang mas Gibran, tenang … Lia sudah biasa seperti itu, jadi mas Gibran ndak usah khawatir.”
“Oh ….” Aku tertegun mendengar jawaban dari Om Yadi saat itu.
“Ndakpapa mas, yang penting tolong singkirkan benda-benda berbahaya di sekitarnya.”
“Om masih ada acara kantor di Semarang jadi pulangnya mungkin agak malam, nanti mislakan Lia masih belum sadar, mbah uti sudah tahu gimana kasih obatnya …”
“Baik Om, yang penting Lia tidak kenapa-napa …”
“Iya, maaf ya mas Gibran, maaf dan makasih sudah merepotkan … Salam buat mbah Uti”
“Ckrek …” Telepon terputus dan aku masih kebingungan saat itu.
Memang sengaja tak kuberi tahu Om Yadi jika saat itu mbah uti sedang di luar kota, apalagi beliau sudah meyakinkan aku bahwa hal ini sudah biasa dialami oleh Lia. Di satu sisi aku tak ingin mebuatnya khawatir, disisi lain aku tiba-tiba saja merasa senang karena bisa sangat dekat dengan Lia. Apalagi dengan keadaanya sedang tak sadarkan diri, meski begitu aku tetap harus memberi tahu nenek dan menanyakan soal obat jika nanti terjadi kemungkinan buruk.
“Halo ….”
“Ya … Ada apa Gibran?”
“Om, bisa ngomong ke mbah uti ..?”
“Oh, ya … sebentar…” kudengar suara langkah om Apung kemudian ia berbicara dengan nenek dari speaker ponselku.
“Kenapa Gibran?’ kali ini suara nenek sudah jelas dari ponselku.
“Dek Lia pingsan mbah … Tadi Gibran sudah telpon Om Yadi, katanya nenek tahu soal obatinnya.”
“Loh, biasanya Lia kan simpan di dalam tas, tapi …” Nenek menghentikan kata-katanya.
“Tapi kenapa mbah?” Kali ini aku menjadi sangat penasaran soal obat Lia, Om Yadi tak menjelaskan kepadaku soal ini, penjelasan nenek pun justru menambah kecurigaanku soal obat itu.
“Eh Gibran, ini kan sudah jam dua siang, sebentar lagi bapaknya juga pulang kantor, yang penting kamu jagain Lia. Dia sudah biasa seperti itu dan nenek lupa kasih tahu ke kamu … Ya sudah, yang penting awasi saja, jangan ada benda berbahaya di sekitarnya dan kamu tak perlu lakukan apapun.”
“Baik mbah …”
“ckrek..”
Pembicaran berahkir dan kali ini aku cukup lega karena mereka yang sudah terbiasa dengan Lia sudah meyakinkan aku, meski masih menyimpan rasa penasaran soal obat Lia. Kupandangi Lia dari atas kebawah sesaat kemudian tumbuhnya kembali mengejang dan mulutnya kembali mengeluarkan busa. Muntahan cairan dari mulutnya semakin banyak membasahi lantai, bahkan baju seragamnya mulai basah kala itu. Refleks kutarik kain batik dan selimut yang biasa dipakai nenekku untuk tidur, kain batik kupakai untuk menyeka cairan yang menggenang ke lantai sedangkan selimut kulipat sedemikian rupa untuk bantal setelah Lia tenang.
“dek …”
“Dek Lia …”
Kuguncangkan lengannya dengan maksud membuatnya sadar. Nafasnya masih berhembus meskipun ia masih saja tak sadarkan diri. Kupandangi wajahnya yang manis sepintas mirip artis Asti Ananta, meski aura Lia jauh lebih kalem dibandingkan dengan artis yang mulai pudar eksistensinya itu. Tak ada reaksi apapun seolah tubuhnya tak berpenghuni, meski saat kucoba beranikan diri untuk memegang dadanya masih terasa detak jantungnya.
Yang kupikirkan adalah bahwa aku tak perlu cemas, cemas dengan keadaan Lia dan juga cemas akan keberadaan orang lain di rumah ini. Jam masih menunjukkan pukul dua siang jikapun Om Yadi buru-buru pulang dari Semarang, maka akan menghabiskan waktu sekitar tiga sampai empat jam ke Solo sedangkan ia masih ada acara kantor saat itu. Nenek yang sedang ada si Klaten pun hanya memintaku mengawasi Lia dan tak perlu melakukan apapun untuk membuatnya siuman hingga bapaknya datang.
“hemmmm …”
“Aku memang tak perlu melakukan apapun untuk membuatnya sadar, tapi jika aku bersihkan muntahan yang membasahi bajunya tentu akan lebih baik kan?” Begitu kira-kira aku bicara pada diriku sendiri. Entah kata hatiku atau saat itu ada setan sedang touring dan lewat, yang jelas ini adalah kesempatan berlian buatku hehehehe …
Tubuh Lia sudah sangat tenang, ia tertidur seolah seperti terhipnotis meski setiap aku mencoba mengajaknya berkomunikasi tetap saja ia tak bereaksi. Beberapa saat aku hanya memandanginya hingga kulihat kulit bahunya yang samar tercetak dibalik baju seragamnya yang basah. Rasa penasarnku soal obat Lia kala itu kutepis jauh-jauh karena sungguh aku menikmati hal ini dan tak ingin agar ia cepat tersadar. Mungkin saat itu setan yang membisiki batinku adalah setan lulusan Akper (Akademi Perawat,-red) saat kuputuskan mengambil beberapa handuk da baskom berisi air hangat dan kuletakkan disamping Lia.
“Dek … “
“Dek Lia …”
Aku kembali mencoba membangunkannya, namun kali ini kedua tanganku sudah menapak lembut diatas dadanya. Lia masih saja hanyut dalam ketidak sadarannya. Nafasku tiba-tiba memburu tak beraturan saat kedua tanganku kuletakan di bawah lehernya. Jantungku berdebar saat kubuka kancing baju seragamnya yang paling atas.
“heeuuuuffhhhh ….” Kulepas nafas panjang saat kancing pertama berhasil terbebas.
Kutarik kembali kedua tanganku namun sengaja kuseret mengenai gundukan yang memang tidak besar, namun sangat membuatku penasaran akan penampakannya itu.
Kuatur kembali nafasku agar oksigen memenuhi otakku yang mulai beku dengan keadaan ini. Kuyakinkan pada diriku sendiri, jika tiba-tiba Lia tersadar aku sudah punya segudang alasan kepadanya.
Perlahan kubuka satu persatu kancing seragam sekolahnya dan….
Baju putih seragam sekolahnya tersingkap dua bagian dan didalamnya tampak lekukan daging yang terbungkus bra warna putih bermotif polkadot warna-warni. Kontolku yang secara alami sudah besar dan panjang, kurasakan kini ngaceng maksimal ….
“Fyuuuh …”
Rasanya seperti batang kontolku akan retak karena seluruh darah serasa mengalir dari seluruh bagian menuju tugu monasku yang makin tegak menantang.

Jika saat itu Lia seolah seperti mati suri, aku justru seperti ular yang kepanasan kala itu. Anaconda yang ada dibalik celana boxerku seolah tak ingin ketinggalan moment mendebarkan itu. Batinku berperang namun aku tetap memutuskan untuk melepas baju seragamnya. Susah payah memang,, bahkan aku sedikit kelelahan saat mebolak-balik badannya untuk melepas baju seragam itu. Meski urat-urat kontolku seakan mau putus melihat perutnya yang ramping dan lekuk pinggangnya yang indah, aku mencoba meyakinka untuk tidak berbuat terlalu jauh. Bagiamanapun Lia adalah sepepuku meski secara alur silsilah memang kurang jelas. Ingin rasanya kutarik keatas bra putihnya sekedar ingin tahu seperti apa isinya, bagaimana bentuk putingnya ….

Uughhh … Kuputuskan untuk mengangkat tubuh lia yang saat itu hanya tertutup rok dan bra keatas ranjang nenek, aku masih menyimpan rasa kasihan jika ia masih belum siuman dan terlalu lama berbaring di atas lantai keramik yang dingin.
Susah payah kuangkat tubuhnya hingga berbaring memalang arah bed, yang penting sekarang ia sudah tidak berbaring di lantai yang akan menambah penyakit apalagi ia hanya mengenakan bra sebagai atasannya. Saat kutarik tangan kiriku dari balik punggungnya, sengaja kukaitkan di bagian bawah branya hingga terseret memutar kedapan dan tersingkaplah penghalang payudara indah yang mungkin belum terjamah itu. Lia masih saja belum tersadar saat payudara kanannya sedikit tersingkap, putingnya yang masih ranum dan berwarna kecoklatan membuat darahku kembali berdesir dan turun kebagian bawah tubuhku. Kubenahi posisi bra yang tersingkap itu dengan kedua tanganku meski sesekali kugesekan jempolku mengenai putingnya. Ya … aku memang berlama-lama dalam hal ini, tak ada lagi yang bisa kuperbuat karena aku takut jika-tiba-tiba Lia tersadar saat aku berbuat terlalu jauh kepadanya.
Kucoba mengalihkan pikiran kotorku dengan membuka tas sekolah Lia, penasaranku akan obat penyakit Lia kembali timbul kala itu. Satu demi satu kukeluarkan benda yang ada di dalam tasnya dan kujajar di lantai hingga kutemukan sebuah dompet yang berisi beberapa obat-obatan. Beberapa pil dalam kemasan plastik, sebotol syrup dan sebuah obat yang aneh.

Kubaca tulisan dalam kemasanya dan kusimpulkan bahwa ini juga merupakan obat penyakit Lia, apalagi setelah kucari keterangan dari google yang cukup mebuatku terkejut adalah benar bahwa ini adalah obat rectum yang digunakan jika penderita penyakit tak sadarkan diri dan tak bisa menerima obat lewat mulutnya.

“Cleguk …”

“Apakah ini adalah jawaban dari doa-doaku….?” Kira-kira seperti itulah seruan dalam batinku.
Kontolku yang memang masih bergejolak semakin limbung dengan adanya obat itu, satu alibi lagi untukku bisa menjelajahi tubuh gadis ini. Aku masih memegang benda itu saat kutinggalkan Lia menuju dapur untuk mengambil minum. Segelas air untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering apalagi sedari tadi aku terpana dengan kecantikan tubuhnya yang sedang ranum-ranumnya.

“Kun Vaya Kun ..”
“Apa yang terjadi terjadilah …” kata-kata itu yang ada di benakku saat kusingkap rok sekolahnya dan kutarik celaa dalam Lia yang berwarna biru dan bermotif Doraemon, kulihat gambar doraemon yang tersenyum lebar seolah sependapat dengan tindakanku.
“anjirrrr….. woi anjir … sini lu pada …” hatiku bersorak saat kulihat belahan diantara selangkangan Lia yang dihiasi bulu halus di atasnya.
“Oh my crotttt….”
“njir…”
Entah kata-kata apa lagi yang keluar lirih dari mulutku, aku tak begitu ingat. Kupandangi obat “enema” di tanganku sesekali kulihat “taman eden” di selangkangan Lia. Kulempar celana dalam itu keranjang dan kemudian kutarik kaki Lia kebawah sehingga kini kakinya menggantung sedangkan tubuhnya masih terbaring di spring bed mbah uti. Aku duduk bersila di depan kedua kakinya dan kemudian perlahan kubuka .
“sengkrang ….” Aroma khas kewanitaan yang bercampur keringat merasuk lewat hidungku, seiring mulutku menganga melihat lipatan bibr vagina Lia yang terbuka. Kupandangi dengan seksama bagian-bagiannya. Daging berwarna merah dengan lipatan-lipatan kecil diantara lipatan berwarna kecoklatan itu membuat akalku melayang. Kuputuskan untuk berdiri melepas boxer dan kontolku mengangguk-angguk seolah meraih kebebasannya . Kurendahkan posisi tubuhku dan kusentuh bagian intim dari Lia dengan jari-jariku.
“sssshh…” aku mendesis menahan gejolak nafsu yang semakin tak terbendung. Kulihat Lia masih tak bereaksi hingga kuputuskan untuk menyentuh pintu surgawinya dengan ujung kontolku. Sesekali kuamati lagi vagina Lia, kurenggangkan dengan kedua tanganku hingga terbentuklah lubang yang kupastikan bahwa lubang itu belum pernah dilewati benda padat apapun karena diameternya memang sangatlah kecil, Mungkin hanya bisa dimasuki oleh benda sebesar “cutton bud”. Hmmmm aku masih tak yakin….
Aku sadar, sejauh ini sudah lebih dari cukup yang bisa kulakukan pada Lia. Tak mungkin aku memasukkan batang kontolku yang keras dalam keadaan seperti ini, suatu saat nanti pasti akan terjadi namun bukan sekarang. Nafsu birahi yang memuncak namun diiringi dengan sisa kesadaraku membuatku harus melampiaskan bagaimanapun caranya. Hingga kuputuskan untuk mengangkat kedua kakinya dan kuletakkan diatas kedua pahaku sementara aku menahan dengan posisi kuda-kuda. Kugesekkan kontolku diatas vaginanya, batang kontolku bergerak maju-mundur diantara pematang jembutnya yang seolah menggelitik saraf-saraf di penisku. Sesekali kutekan kakinya keatas hingga posisi vagina Lia mendangak hingga batang kontolku bergerak lincah diatas bagian terlembut tubuh Lia. Kuangat Branya da terpampanglah kecua puting lia yang kecil meski gundukannya sudah samar-samar karna posisinya yang terbaring. Saat aku merasa lelah dengan kuda-kudaku, sesekali kujilati putingya dan kulanjutkan kembali ayunan pinggulku hingga ahkirnya …
“Jheerrrooottt …. Crooott… crooottt… crett … “
Semburan spermaku seolah melesat dari ujung kontolku, kental dan banyak hingga terbang mengenai dadanya.
Setelah puas melampiaskan nafsu dan mengenakan kembali boxer kesayanganku, kubenahi posisi branya menutupi dadanya yang masih berceran spermaku dan kuambil obat yang ingin ku berikan sambil bermain-main di daerah terlarangnya.
Aku kembali duduk di hadapan kedua kakinya yang mengangkang, sesekali kuusap vaginanya yang sudah sudi memberikan sedikit kenimaktan kepadaku tadi. Setelah puas bermain dengan daging merahnya, kubalikan tubunya dengan posisi sudah sejajar dengan bed. Pantatnya yang kencang sesekali kuremas dan ahkirnya kusibak hingga terpampanglah “Lubang Matahari” yang begitu indah dan teduh dipandang.Kutempelkan ujung tube obat itu dan kuselipkan perlahan diantara kawah kenikmatannya. Kutekan hingga habis dan beberapa saat kemudian kubalik badannya untuk kukenakan kembali cawatnya seiring Doraemon kembali tersenyum kepadaku.
Kuselimuti tubuh Lia dan kutinggalan di luar kamar untuk menghisap beberapa batang rokok sambil menunggunya siuman…
Waktu menunjukkan pukul empat sore saat kudengar suara Lia memanggil-manggil nenekku.
“mbahh …. Mbah uti ….”
Kuletakkan rokok U-mildku yang baru saja kunyalakan dan menghampiri Lia kedalam kamar.
“mbah Uti sedang pergi dek …. Sebentar ya ..” aku ke dapur dan membuatkan teh hangat untuknya.
Lia tampak panik saat mengeahui bahwa ia hanya mengenakan bra sebagai atasannya. Bahkan saat aku masuk ke kamarpun ia berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut.
“Minum dulu dek ….” Aku duduk di ranjang dan berusaha mengangkatnya agar duduk dan minum seteguk teh hangat buatanku.
“Mas … Kok Lia gak baju???”
“oh, eh … Iya Lia, tadi bajumu basah, jadi mas Gibran lepasin biar kamu gak masuk angin …” aku memang sudah menyiapkan jawaban ini, dan aku juga berusaha menjelaskan dengan tenang agar Lia tak merasa canggung dengan keadaanny.
“Sudahla jangan dipikirkan, yang penting sekarang Lia sudah baikan. Mas Gibran tadi khawatir sama Lia” aku merangkulnya dan mengusap lengannya dari luar selimut yang digunakan untuk menutupi tubuhnya.
“Bapak belum datang ya mas…?
“Tadi bapakmu bilang lewat telfon, katanya sedang ada acara kantor dan mungkin pulang agak malam…”
Aku kembali mengusap lengan Lia seolah ingin membuatnya merasa nyaman dan tenang dengan apa yang telah mimpanya tadi siang sambil kusodorkan kembali segelas teh hangat kepanya.
“Oh iya Lia … Tadi mas Gibran juga kasih obat ke kamu waktu kamu masih tidur …”
“hah???”
“mas Gi..bran …???” Lia tampak terkejut kemudian ia memelukku dengan erat.
Lia terisak saat kepalanya dibenamkan di dadaku dan ia memeluk erat tubuhku seolah ingin meremukkannya.
“Lia malu masss….”
“Lia …” aku berusaha menenangkannya dengan suara selembut mungkin.
“Dengarkan mas Gibran …”
“Mas Gibran ini kakak kamu, Lia gak perlu malu, yang penting buat mas Gibran adalah Lia segera sembuh, makannya mas Gibran kasih obat ke Lia …”
“Tapi mas …” Lia masih saja terisak.
“Sudahlah Lia, anggap saja ini rahasia kita berdua, mas gak akan ceritakan hal ini pada siapapun begitu juga dengan Lia … Ya Lia?”
Lia hanya mengangguk pelan sambil kepalanya masih dibenamkan di dadaku.
“Sekarang mas Gibran mau siapkan air hangat buat mandi Lia, Lia senyum dong buat mas Gibran yang udah ngejagain lia …”
Kuusap kepala Lia dan kutinggalkan ia di kamar simbah untuk memasak air mandinya.


Semoga para SILENTRIDER yang puas dan atau bahkan ber- :coli: setelah membaca kisah neubi yang hina dina ini akan mengalami penyakit yang sama dengan Lia dalam cerita ini. Setiap mencapai ejakulasi atau orgasme maka tubuhnya kejang dan mulutnya berbusa. Satu-satunya obat hanyalah melalui therapy tusbol yang hanya bisa dilakukan oleh laki-laki berusia diatas 50 tahun dan masih memilki hubungan darah.

Kejadian diatas tidak berlaku bagi juragan yang sudi melempar "ijo-ijonya", memberikan vote rating bintang 5 dan atau memberikan kritik atau saran yang membangun.

Terima Kasih,

Salam Bejad
 
Terakhir diubah:
Itu beneran tapi... ada yang salah, stesolid sub (obat yang dimasukkan lewat bool/anus) itu harus diberikan pada saat kejadian dan bukan pasca nya...
kalau pasca nya ya... cabul... alias gak diperlukan lagi. Obat anus itu berfungsi untuk meredakan gejala kejang yang dialami
 
Itu beneran tapi... ada yang salah, stesolid sub (obat yang dimasukkan lewat bool/anus) itu harus diberikan pada saat kejadian dan bukan pasca nya...
kalau pasca nya ya... cabul... alias gak diperlukan lagi. Obat anus itu berfungsi untuk meredakan gejala kejang yang dialami

wah bisa jadi bahan cerita nih, goyang kejang..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd