Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CHAPTER IX

RIGHT HERE WAITING



Di sebuah sofa kulit panjang, di ruang tengah sebuah rumah milik Aldi dan Arina itu, situasi yang dialami seorang wanita hamil bernama Cynthia pun makin memanas. Tubuhnya kini terlentang di atas pria bernama Bima dan terhimpit dari atas oleh pria bernama Dimas. Tautan kejantanan Dimas di dalam memeknya dan kejantanan Bima di dalam anusnya keluar masuk dengan cepat.

“Sssshhh… Mas Dimasss… Mas Bimaaa… Cynthia pengen keluar lagiiihh…” lenguh wanita hamil itu di tengah genjotan mantap Dimas dan Bima. Tatapan matanya sayu penuh nafsu memandang Dimas yang berada di depannya. Ketiganya sudah bersimbah peluh. Tak karuan basahnya sofa tempat pergumulan mereka.

“Bareng mbak Cynnn… Saya juga mau keluarrr…” ucap Dimas semakin cepat memacu gempuran kontolnya di memek Cynthia. Tak luput, dipagutnya bibir wanita Chindo yang sedang hamil 8 bulan itu. Dengan penuh nafsu Cynthia menerima ajakan Dimas saling bertaut lidah dan bertukar ludah. Tak ketinggalan, kedua tangan Bima sedari tadi mengolah payudara dan puting Cynthia yang telah membesar berkali-kali lipat dibanding 8 bulan sebelumnya. Tak lupa ia ciumi leher dan bahu Cynthia bagaikan membuai wanitanya itu. Tak berapa lama, terasa oleh Dimas kontol tebalnya serasa diurut dan diguyur oleh memek Cynthia yang mendapatkan orgasme ketiganya malam itu.

“AAAHHHH… CYNTHIA KELUARRR LAGIIHH… NGGHHH…” teriak wanita itu melepas pagutan Dimas dan mengejang sekuat-kuatnya merasakan puncak kenikmatan surgawinya.

“JANCOOOK MEMEKMU WENAK MBAAK…” teriak Dimas menyaingi seiring dengan klimaks yang juga ia dapat. Bermili-mili sperma subur Dimas berhamburan di depan pintu rahim Cynthia yang tertutup rapat tak dapat dimasuki benih karena terdapat seorang jabang bayi yang belum diketahui siapa bapaknya, yang akan lahir sebulan lagi.

Melihat kedua partnernya sedang meresapi orgasme masing-masing, Bima menghentikan genjotannya pada anus Cynthia. Dapat ia rasakan kontol Dimas berkedut kuat di balik dinding tipis yang memisahkan rektum wanita itu yang menampung kontolnya dengan lubang memek yang menampung kontol Dimas.

“Mantap bro,” ucap Bima sambil memberikan rekannya ‘high five’, kebiasaan mereka ketika melakukan tag-teamdalam mempecundangi wanita.

“Mantap mbak Cyn… Makasih banyak… Ah…” sambil mencabut kontolnya dari memek basah Cynthia. Begitu sumpalnya dicabut, melelehlah cairan putih kental dari memek wanita itu mengalir hingga mengenai kontol dan zakar Bima yang masih menancap kokoh di anusnya. Hal itu tak membuat Bima risih karena hal macam itu sudah lumrah terjadi dalam orgy. Seperti halnya mengentot lubang wanita yang baru saja diisi sperma oleh pria lain, atau istilahnya sloppy second, yang juga menjadi kelumrahan. Dan itu lah yang akan dilakukan Agam kontolnya sudah keras lagi melihat tubuh hamil Cynthia digagahi.

“Permisi ya, cantik. Bang Agam pengen lagi…” kata Agam menggantikan Dimas, dengan santai sambil menusukkan kontol besar hitamnya yang masih belepotan cairan cinta berbuih milik Arina dan spermanya sendiri membelah memek becek Cynthia yang baru saja diisi peju oleh Dimas.

“Aaaahhh… Bang Agam, memek Cynthia masih sensitiiifff…” protes wanita hamil itu sambil mendongakkan kepalanya mendesah, merasakan memeknya kembali dimasuki sebuah kontol. Kali ini, terasa lebih penuh bagi Cynthia dan dalam hingga mendorong mulut rahimnya tempat buah hatinya tidur di baliknya.

“Bagus lah masih sensitif. Biar abang bikin cepet keluar lagi, hahaha…” kelakar Agam mulai menggenjot. Merasakan partnernya sudah bergerak di lubang sebelah, Bima pun mulai menggerakkan kontolnya lagi. Makin terasa ketat kali ini dengan bergabungnya Agam. Kedua kontol perkasa tak bersunat itu bekerja sama mempecundangi betina mereka.

“Aaahhh… Ampun bang Agaaammhh… Mas Bimaaahh… Memek akkuuh… Pantat akuuh… Penuuhh…” ceracau Cynthia tak jelas sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Maafin mama sayang, semoga kamu nggak kenapa-kenapa di dalam, batin Cynthia kepada anak dalam kandungannya.

Begitu intensnya gerakan kontol Agam dan Bima sehingga tak lama Cynthia kembali mengalami badai orgasme yang dilepaskan dengan kuat. Teriakan membahana wanita itu pun terdengar seantero rumah Arina itu, bahkan kemungkinan hingga keluar rumah. Merasakan tekanan yang kuat di memek si wanita pada kontolnya, Agam dengan cekatan mencabut kontolnya dan menyemburlah cairan deras dari memek Cynthia. Sedangkan otot lingkar anus milik Cynthia juga tak ketinggalan berkontraksi memeras kontol Bima.

“JIAH ANJRIT NGEMPOT TERUS NIH PANTAT!! GA TAHAN GUEE AAHHH!!!” teriak Bima mengeluarkan peju kentalnya di anus Cynthia sambil meremas erat kedua bongkah payudara wanita itu. Karena tenggelam dalam badai orgasme, remasan itu tak terasa sakit bagi Cynthia. Agam biarkan Bima dan Cynthia menikmati klimaks mereka bagai sepasang kekasih. Dan akibat kegaduhan yang terdengar hingga kamar mandi di kamar Arina, kedua pasangan yang sejak tadi absen karena ke kamar mandi pun tampak kembali bergabung ke ruang tengah.





“Wah wah wah… Cynthia dikeroyok tiga cowok jadi binal ya… Teriak kenceng banget sampe denger dari dalem,” sapa Gio santai sambil berjalan perlahan dari arah kamar Arina karena tampak dalam gendongannya terdapat si pemilik rumah, yang kini sudah telanjang total setelah melepas kerudungnya, sedang bergelayut mesra pada pria yang menghamilinya itu. Pastinya kelamin mereka saling bertaut. Setelah membersihkan kontolnya selepas bersarang di dubur Irene, kontol pria itu kembali mengeras menuntut ronde keduanya.

Di belakang mereka, tampak Roni yang juga menggendong tubuh mungil Irene, juga dengan kontol menancap pada memek si gadis. Melihat si gadis pup di hadapannya saat di kamar mandi membuat kontolnya kembali mengeras. Setelah gadis itu membersihkan area intimnya, tak menunggu lama untuk Roni menyarangkan kontolnya ke memek Irene dan menggendongnya ke ruang tengah mengikuti Gio dan Arina.

“Mantap kali ko! Kuat juga gendong perempuan hamil padahal sudah tak sesering itu kau latihan,” komentar Agam menyeringai melihat sahabat karibnya sejak kuliah itu berjalan santai mendekatinya sambil menggendong wanita hamil.

“Bah! Segini doang mah ga ada apa-apanya! Otot gue masih ga kalah sama lo, hahaha,” kekeh Gio menimpali sahabatnya. Meskipun guratan ototnya mulai tertimbun lemak, tapi memang badan Gio masih tergolong fit. Tinggi badannya yang juga hampir mendekati Agam membuatnya tak kalah besar secara tipe dan ukuran tubuh.

“Hahaha bagus lah! Kalau lu punya otot memang masih segar, kutantang lomba ngentot gendong. Lu entot si Arina. Kuentot si Cynthia ini. Dalam 30 menit yang perempuannya keluar paling banyak dia lah pemenangnya. Tapi kalau lelaki yang crot dahulu, dia yang kalah. Berani kah?” tantang Agam dengan pongah. Secara berat badan, jelas Cynthia lebih berat karena secara postur lebih tinggi dan besar dari Arina.

“Siapa takut! Jangan nyesel ya kalo lo kalah. Resiko lo sendiri milih Cynthia yang jelas-jelas lebih berat, hahaha,” balas Gio tak kalah pongah. Gio yang menggendong Arina menunggu sahabatnya bersiap.

Cynthia yang sedari tadi masih mengumpulkan nafas dan tenaga setelah orgasme bersama Bima yang kontolnya perlahan mulai mengecil di anusnya didekati kembali oleh Agam yang kontolnya masih menghunus perkasa. Ditariknya kedua tangan wanita itu oleh Agam untuk membimbingnya untuk berdiri. Cynthia yang jelas mendengarkan percakapan dua pria itu mengerti dan perlahan menarik dirinya dari tubuh Bima di bawahnya, sehingga terlepaslah tautan kontol Bima dari anusnya yang diiringi dengan lelehan sperma pria itu membasahi belahan pantatnya dan mengalir ke pahanya.

Akibat orgasmenya yang ketiga baru saja, kekuatan kakinya belum seutuhnya pulih sehingga ia limpung ketika mencoba berdiri. Beruntung Agam sigap menahan berat tubuh Cynthia. Meskipun lebih tinggi sedikit dari Arina, dalam keadaan berdiri tinggi badannya hanya sebatas hidung Agam. Dengan cekatan, Agam mengangkat kaki kiri Cynthia, membuka jalan bagi kontolnya untuk masuk ke dalam memek wanita itu. Secara refleks wanita itu berpegangan pada pundak pria dihadapannya untuk keseimbangan. Kerasnya kontol Agam membuatnya dapat membelah celah memek Cynthia tanpa bimbingan. Proses penetrasi itu membuat Cynthia kembali melenguh.

“Bang Agam hati-hati ya gendongnyah… Perut Cynthia udah besar… Mmmhh…” pinta wanita yang sebentar lagi menjadi ibu muda itu.

“Tenang aja, manis. Kapan bang Agam pernah kecewakan Cynthia,” jawab Agam sambil mengangkat kaki kanan Cynthia dan seutuhnya membebaskan tubuh wanita muda yang sedang hamil besar itu dari pijakannya pada lantai. Meskipun berat tapi topangan Agam pada pantat besar Cynthia masih terasa sama kokoh dan mantap seperti sebelum-sebelumnya bagi wanita itu, sehingga tertepislah kekhawatiran dalam benaknya.

Satu-satunya tantangan adalah perutnya yang sudah memasuki kehamilan 8 bulan membuat pertautan kelamin mereka tak bisa sedalam sebelumnya. Namun Agam masih berusaha untuk membuat selangkangan mereka bersatu dengan sempurna, sehingga makin tegencetlah perut besar Cynthia pada badan kekar Agam.

“Aahhh… Bang Agam, pelan. Perut akuhh… Memek akuh…” lenguh Cynthia karena merasakan perutnya sedikit tergencet dan kontol besar Agam yang terasa lebih menancap akibat tubuhnya yang makin berat. Wanita itu makin erat berpegangan pada bahu dan leher pria yang pernah berencana menanamkan benih di dalam rahimnya namun telah didahului salah satu rekannya, entah itu Gio atau Bima, Cynthia belum tahu.

“Tenang aja, beb. Perut gue yang lebih gede juga kegencet dikit kok tapi aman-aman aja kok,” ucap Arina yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya sedang dalam proses digagahi dalam posisi seperti dirinya. Meskipun tubuh Cynthia tergolong lebih besar dari Arina, namun perutnya yang berisi bayi perempuan ukurannya masih relatif tidak sebesar milik Arina yang memang mengandung bayi lelaki dan sudah memasuki waktu persalinan yang bisa saja terjadi kapanpun di dekat hari-hari itu.

“Yok mulai! Dimas, lo yang itung waktunya,” perintah Gio setelah melihat pasangan di sebelahnya sudah siap ngentot.

“Siap, pak Bos!” jawab Dimas sudah siaga memegang hapenya. “Yak, mulai!” teriak Dimas memberi aba-aba. Dan dimulainya para pria menggerakkan pinggul mereka yang diikuti dengan desahan para wanita secara bersamaan. Termasuk pasangan Roni dan Irene yang sedari tadi sudah saling menggoyangkan selangkangan mereka.

“Biar seru harus ada taruhannya, pak Bos!” celetuk Dimas tiba-tiba menyumbang ide.

“Bener juga lo Dim! Lo mau taruhan apa, bro? Smartphone baru? Kendaraan baru? Apartemen ato rumah baru?” tanya Gio menyeringai ke Agam yang tampak berpikir menatap wajah wanita yang dia gendong itu sambil dengan stabil menggenjot memeknya.

Teringat oleh Agam saat hari hari tahun baru di villa, ia mengajak Cynthia melakukan outdoor sex dan menggoda wanita muda itu untuk ia buahi. Ketika ditolak oleh Cynthia dengan alasan karir dan kelajangannya saat itu, Agam tidak terlalu peduli karena seyogyanya ia hanya setengah bercanda. Namun dengan Cynthia yang tiba-tiba menjadi berbadan dua sepulangnya tugas luar bersama Gio dan Bima, Agam merasa sedikit dikhianati. Semenjak dua wanita mereka sedang mengandung, tampak jelas bagi Agam situasi dalam kelompok mereka telah berubah drastis dalam waktu kurang dari setahun. Secara tersirat, terjadi persaingan tak kasat mata di antara Gio dan Bima untuk saling berlomba menanam benih di dalam rahim wanita-wanita yang selama ini mereka jaga untuk mereguk kenikmatan bersama. Sebagai pria yang jelas tak kalah jantan dibanding dua rekannya, ia merasa tertantang untuk menunjukkan keperkasaannya juga.

“Semua itu bisa sa beli sendiri! Kalau sa menang, sa harus dapat jatah menghamili semua perempuan kita! Hahahaha,” timpal Agam membuat mereka yang di ruang itu sedikit tercengang.

“Irene gamau duluu pak Agam… Irene masih mau kuliah dulu…” celetuk si gadis sebagai pertama yang protes.

“Okelah tak apa! Cynthia dan Arina saja kalau begitu. Setelah bayi kalian itu brojol, abang hamili nona berdua dan tak ada boleh yang protes!”

“Eh jangan gitu bang, gua aja belum tau itu anak gua atau bukan yang di perut Cynthia! Kalau lo embat dua-duanya lo buntingin ga adil dong, bang!” kali ini Bima yang protes.

“Yaudah-yaudah gini aja. Kalo lo menang, lo pilih salah satu buat lo buntingin. Tapi kalau gue yang menang, lo harus skip dulu ya bro, dan all is fair lagi ya buat yang pengen bikin bayi, hahaha,” tawar Gio menengahi.

“Mantaplah! Deal!” sahut Agam.

“Maaf nih mas Gio, mas Agam, saya ga ikutan taruhannya. Saya ga pengen punya anak lagi. Saya ikut ngeramein ngentotin neng Irene ini aja. Sudah cukup seneng-seneng aja lah buat saya, hahaha,” sahut pria yang usianya paling senior di antara mereka. Memang walaupun banyak godaan dalam kelompok mereka itu, Roni tidak ingin menambah tanggung jawab menjadi bapak dari anak hasil perzinaan. Cukup enak-enak aja, pikir Roni berprinsip. Maka dari itu, apabila para wanitanya dalam keadaan subur tanpa kontrasepsi, Roni dengan senang hati menggauli mereka dari ‘jalur belakang’ saja yang memang menjadi kesukaannya.

“Wah sip bos! Kalau gitu saya dukung bos biar menang!” celetuk Dimas yang kebalikan dengan Roni. Meskipun cenderung karakternya paling pasif dan penurut di antara pria di kelompok mereka, dalam lubuk hatinya muncul keinginan diberi kesempatan menanamkan benihnya semenjak melihat Arina dan Cynthia hamil. Keadaan finansialnya yang tidak semapan keempat pria lain membuatnya sedikit minder, namun ia mungkin akan menjadi lebih disegani apabila berhasil menanam benih dalam rahim salah satu wanita mereka. Urusan kebutuhan anak, ia akan pikirkan nanti, toh Arina dan Cynthia sudah memeliki suami masing-masing yang menanggung kebutuhan mereka.

“Ok deh. Fixed ya… Yok gas!” sahut Gio. Kepada Arina, ia mengatkan, “Gue tancep ya. Siap-siap, sayang.”

Begitulah taruhan itu diputuskan tanpa mempertimbangkan pendapat Arina dan Cynthia sama sekali, bagaikan tubuh kedua wanita itu bukan milik mereka lagi tetapi seutuhnya milik pria-pria penjahat kelamin di ruangan itu yang bisa memakai mereka sesuka hati. Namun meskipun begitu tak terdengar kata protes dari bibir kedua wanita yang menjadi bahan taruhan itu. Entah apa yang ada di dalam benak mereka, keduanya hanya saling menatap sayu pasrah dalam gendongan masing-masing pejantan mereka. Pada titik itu, kedua betina yang sedang hamil itu mungkin saling memahami bahwa apapun yang para pejantan mereka inginkan, mereka pasti akan dapatkan, termasuk memaksa keduanya mengkhianati suami mereka lebih jauh. Maka dari itu, protes pun tak akan ada artinya.

Segera terdengar keras benturan selangkangan kedua pasangan yang sedang bertaruh itu. Lenguhan pun mulai membahana mengisi ruang tengah rumah itu. Jam di dinding sudah menunjukkan lewat pukul 9 malam. Lima menit telah berkurang mereka gunakan untuk mendiskusikan taruhan mereka. Tersisa 25 menit untuk membuat betina masing-masing orgasme sebanyak-banyaknya.

Lima menit berikutnya, tampak kedua wanita sudah terpicu naik kembali libidonya. Keringat mulai mengembun kembali dari tubuh Arina yang sempat ia seka ketika di kamar mandi, pun di tubuh Cynthia yang makin bertambah basah sejak persenggamaan bersama Dimas dan Bima. Gio dan Agam masing-masing saling berkonsentrasi memberikan tusukan mantap di memek masing-masing wanita mereka.

“Ah…” tiba-tiba terdengar desahan pelan keluar dari bibir Cynthia. Akibat jarak dari orgasme terakhir yang tak jauh, tak lama Cynthia melepaskan sebuah desahan yang diikuti getaran lembut tubuh sintalnya.

“YAK! MBAK CYNTHIA NGECRIT! 1-0 buat bang Agam!” seru Dimas yang duduk santai bersebelahan dengan Bima di sofa, bagaikan menjadi wasit pertaruhan itu secara de facto. Memang benar Cynthia mencapai orgasme, walaupun Cynthia tak bilang ia keluar, pejantan-pejantan yang sudah menggauli tubuhnya bertahun-tahun terakhir sudah hafal betul bahasa tubuh wanita itu.

“Sayang, jangan kalah… Nanti kalau aku punya anak dari bang Agam, mas Aldi bisa curigaahh…” pinta Arina pada Gio sambil mulai menggoyangkan pinggulnya mengimbangi Gio.

“Mbak Arina ndak boleh goyang! Cewek-ceweknya harus diem aja karena ini kontes kekuatan pria! Nggak boleh mainin itil sama susunya juga! Harus murni dari entotan kontol cowok-cowoknya aja!” hardik Dimas dari sofa, mengumumkan peraturan baru di tengah permainan.

“Aaaahhh… Peraturannya kok tiba-tiba nambaah… Kan tadi ga ada kesepakatan itu,” protes Arina yang kembali pasrah di dalam gendongan Gio.

“Gapapa sayang tenang aja. Percaya sama gue deh. Lo gue buat keluar habis ini,” kata Gio tenang sambil mempercepat pompaan kontolnya.

“Ah! Hmmh!” tiba-tiba terdengar kembali pekikan kecil dari mulut Cynthia yang ia coba bungkam dengan menggigit leher kokoh Agam. Lima belas menit berlalu sejak dimulainya kompetisi itu, kembali tubuh Cynthia bergetar dalam dekapan Agam, itu merupakan orgasmenya yang ke-5 oleh kontol di malam itu. Remasan cukup kuat dapat dirasakan oleh kontol Agam yang juga diguyur cairan cinta bercampur pipis milik Cynthia.

“Yak! 2-0 buat bang Agam! Ayo dong bos udah kalah dua kali nih sama bang Agam! Waktu udah separuh jalan nih,” kata Dimas mengingatkan Gio.

“Diem lo Dimas. Sabar ngapa. Liat aja abis ini. Nih si Arin udah keliatan sange parah gini,” jawab Gio sambil menggertakkan gigi. Berbeda dengan Cynthia yang bagai tak ada hentinya digempur kontol dan diantarkan menuju orgasme dengan interval waktu cukup pendek dan teratur, wajar bagi Arina yang memang sempat turun libidonya akibat insiden saluran pembuangan bersama Roni untuk memerlukan waktu lebih lama membangun kembali kesensitifan saraf area intimnya. Apalagi tanpa bantuan stimulasi puting dan kelentitnya.

Namun bukan Gio si penjahat kelamin unggul bila tak bisa memuaskan betinanya. Meskipun secara panjang dan tebal kontol masih sedikit di bawah ukuran kontol Agam, namun Gio hafal betul bentuk, kontur, dan titik sensitif memek milik wanita yang ia jadikan ibu itu. Meskipun titik sensitif Arina berada jauh di dalam memeknya, tepat di dinding depan memek di depan mulut rahimnya, namun kontol tak bersunat berukuran 17 cm miliknya lebih dari cukup untuk menggaruk liang terdalam memek mungil Arina yang salurannya terolong pendek itu. Benar saja, dengan ritme dan sudut tertentu yang Gio terapkan, Arina sudah tampak hampir lepas kontrol dilanda birahi. Dalam gendongannya, tubuh wanitanya bagai hampir hilang kendali. Keringat sudah benar-benar membasahi kembali tubuh hamilnya. Bagaikan tak mau kalah, entah memang akibat guncangan tubuhnya atau libido yang memuncak, si jabang bayi ikut bergerak aktif di dalam rahimnya bagaikan ikut menyemangati ibunya yang sedang diantar ke puncak kenikmatan dalam gendongan ayah kandungnya.

“Aaahhh… Sayang anak kitaaah… Nendang-nendang… Kerasa nggaakkh?” tanya Arina terengah.

“Iya sayang kerasa banget…” jawab Gio yang perutnya menghimpit perut ibu dari anaknya yang tumbuh di dalamnya.

“Wah pas kali! Lu punya bayi juga tendang-tendang perutmu ini Cynthia! Tau aja kalau mamaknya lagi enak, hahahaha,” sahut Agam sambil terbahak menggelegar, merasakan gerakan jabang bayi dalam perut Cynthia yang menempel erat di badannya.

“Nggh… Teh Ariinn… Bayiku jugaahh… Aku pengen keluar lagiih…” kata Cynthia lemah pada Arina. Kepalanya ia sandarkan sebisanya di bahu Agam.

“Gue juga, beb… Barengan yuukkk…” ajak Arina yang menjulurkan tangannya untuk Cynthia genggam. Disambutlah tangan milik Arina oleh Cynthia dan mereka saling genggam bagaikan bertukar telepati kenikmatan yang tubuh mereka rasakan.

Bagaikan sebuah keharmonisan semesta, kedua tubuh wanita hamil itu akhirnya bergetar menggapai puncak orgasme mereka secara bersamaan. Orgasme ke-6 akibat ulah kontol bagi Cynthia malam itu kembali meluluhkan tubuhnya. Tenaganya yang hampir habis membuatnya hanya bergetar pasrah dalam gendongan Agam, sambil menggenggam erat jemari Arina. Namun berbeda dengan Arina yang akhirnya mendapatkan orgasme ketiganya oleh kontol malam itu. Orgasme yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang dengan dahsyat melolosi tubuh hamilnya.

Tak ada teriakan yang keluar dari mulut Arina. Bibirnya hanya terbuka membentuk huruf O serambi menghirup oksigen. Wajahnya tampak renyah, khas akibat orgasme besar. Kakinya tak dapat berhenti mengejang di udara, membuat Gio sedikit kepayahan menahan tubuh wanitanya dan terpaksa sementara menghentikan genjotannya. Hanya topangan kuat Gio, pegangan lemah pada leher Gio, dan genggaman erat Cynthia yang bagaikan mengingatkannya bahwa ia masih berada di bumi ini. Pada momen tersebut, baginya dan Cynthia tak ada yang namanya kompetisi dan taruhan. Yang ada hanya pertalian senasib antara dua wanita yang dipecundangi oleh penjahat-penjahat kelamin sudah terasa melebihi ikatan persaudaraan.

“AKHIRNYA 3-1!! Tapi apakah pak Bos bisa mengejar??? Waktu kurang 10 menit!!” teriak Dimas yang sange melihat pemandangan yang makin panas di depannya.

Mendengar peringatan itu, tak menunggu lama untuk orgasme Arina mereda, segera ia pacu kembali kontolnya untuk kembali mempecundangi memek Arina. Begitu cepat dan kuatnya ia menggempur memek Arina hingga membuat tubuh wanita itu kembali terguncang lebih hebat dari sebelumnya.

“AAAHH!!… Mas Giooohh… Aku masih sensitiiifff…” teriak wanita itu pada akhirnya, namun tak diindahkan oleh Gio yang makin cepat menggoyangkan pinggulnya.

“OH!! MAS GIOOHH… ARIN DAPET LAGIIH!!” teriak Arina yang baru saja semenit dua menit sebelumnya menggapai orgasme tapi kini mencapainya lagi. Tubuhnya kembali bergetar dan kakinya kembali mengejang. Kali itu, tangan Gio makin mencengkeram kuat pantat Arina, tak mau mengendurkan gerakannya seperti saat orgasme Arina sebelumnya. Yang ada, tusukannya bahkan terasa terasa lebih kuat bagai ingin mendobrak paksa mulut rahim yang menjaga anak laki-lakinya yang sedang tumbuh di dalamnya.

“MAS GIOOOHH… AMPUN MASSS… AAARRGHHH… OH TUHAN ARIN NYAMPE LAGIIIIHHH!!!” teriak wanita itu sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar parau akibat dilanda badai kenikmatan hakiki yang hanya dapat dirasakan wanita, yaitu multiorgasme. Tangannya ia lepas dari genggaman Cynthia untuk memeluk kepala dan leher Gio dengan erat. Seluruh tulang dan otot di tubuhnya terasa rontok merasakan orgasme ketiga yang datang tak lama dari sebelumnya.

“3-3!!! KEDUDUKAN SEIMBANG!!! KURANG 5 MENIT!!” teriak Dimas yang kontolnya sudah tegang sempurna melihat kesengitan kompetisi Gio vs. Agam yang membuat suasana semakin panas. Tak hanya dia, Bima pun juga begitu terpesona dengan keerotisan Arina dan Cynthia yang sedang dipecundangi dalam lumpur kenikmatan. Sedangkan Roni dan Irene yang sudah pindah ngentot di sofa kecil karena Roni lelah menopang Irene dan sedari tadi tak menjadi pusat perhatian, ikut menghentikan sementara persetubuhan mereka untuk memperhatikan empat insan manusia yang menggapai kenikmatan dengan cara yang intens di hadapan mereka.

Terasa oleh Gio lengannya yang mulai kebas dan keram menopang dan mengayun tubuh Arina selama 25 menit. Di sebelahnya, begitu juga yang dirasakan oleh Agam. Entah apa yang dirasakan Arina, yang jelas pompaan kontol Agam di memek Cynthia telah membuat buih putih kental akibat campuran sperma Dimas, precum Agam, dan cairan cinta Cynthia teremulsi menjadi satu hingga menyelubungi area intim Cynthia dan kontol hitam legam milik Agam secara kontras. Apabila diperhatikan lebih dekat, helaian jembut Cynthia yang cenderung lurus dan milik Agam yang ikal pun begitu basah, saling membelit, dan melebur dalam campuran cairan seks dan peluh mereka. Sial bagi Cynthia juga, tak ada tanda-tanda mengendur dari Agam meskipun lengannya juga mulai kelelahan menopang tubuh wanita itu.

“TITITITITITITITITITITIT!!!” tiba-tiba mereka dikejutkan suara timer yang telah menyentuh angka 00:00.

“WAKTU HABISS!!! SIAPA YANG PERTAMA BIKIN SI CEWEK KLIMAKS DULUAN SEKALI AJA JADI PEMENANG!!!” teriak Dimas kini berapi-api.

Setelah berhenti beberapa detik, kedua pria yang bersahabat itu kembali memicu memek betina mereka. Lenguhan-lenguhan Arina dan Cynthia kembali bersahut-sahutan. Disayangkan multiorgasme yang dirasakan Arina tidak kembali secepat yang Gio harapkan untuk keempat kalinya meskipun pompaannya tak tampak mengendur.

Sebaliknya untuk Agam yang tiba-tiba mengganti strategi. Pria itu malah menurunkan tempo genjotannya pada memek Cynthia. Mengingat G-spot Cynthia yang berada pada dinding depan memeknya, tepat di balik saluran kencing wanita itu, Agam sedikit menarik kontolnya agar bergerak di area memek yang lebih dangkal, mengubah goyangannya menjadi memutar, lebih lembut, dan diselingi hanya sesekali tusukan dalam yang menyentuh pintu rahim si wanita. Tak lupa ia pagut bibir Cynthia dan mengajaknya saling bertaut lidah. Dalam sela percumbuan, Agam pun dengan santai merayu Cynthia.

“Sudah lepaskan saja pikiran Cynthia… Setelah lahirkan anak ini, segera abang beri Cynthia anak kedua. Tak usah takut apa kata suami atau kata orang lain nanti… Salah Cynthia punya suami yang tak pernah bisa cukupi kebutuhan sebagai wanita. Cuma lelaki sejati seperti abang yang berhak beri wanita kau seorang anak. Cynthia abang nikahi betul kalau perlu,” janji Agam dengan bersungguh lalu kembali memagut bibir Cynthia dan disambut dengan mesra oleh wanita itu.

Hasilnya, terbuailah Cynthia oleh rayuan Agam. Hormon oksitosin yang merupakan hormon cinta akhirnya memuncak dalam sistemnya dan memicu ledakan pada ujung-ujung saraf keintimannya. Dengan mudah cairan cinta Cynthia meleleh menetes melewati batang kejantanan Agam hingga menetes ke karpet di bawah mereka yang sudah tak karuan basahnya. Dengan mata sipitnya yang menatap wajah Agam sayu, sekali lagi untuk yang ketujuh kalinya oleh kontol, tubuh Cynthia bergetar lembut dalam rengkuhan Agam yang membuatnya aman dan nyaman meresapi orgasmenya.

“PEMENANGNYA ADALAH BANG AGAM!!!” teriak Dimas membahana mengumumkan kemenangan Agam, meskipun dirinya terpukau oleh betapa erotisnya Cynthia yang sedang dilanda kenikmatan dunia.

Mendengar pengumuman itu Agam menyeringai atas kemenangannya melawan sahabatnya. Sedangkan Gio yang tampak sedikit kecewa menghentikan entotannya pada memek Arina. Keduanya secara perlahan akhirnya menurunkan kedua wanita mereka agar dapat terlentang di karpet tanpa melepas tautan kontol mereka masing-masing. Memang keduanya adalah sahabat sejati yang sering mempecundangi wanita secara bersamaan hingga kebiasaan mereka pun menjadi mirip.

“Selamat ya bro. Lo bisa pilih siapa yang lo mau buntingin habis nih cewek-cewek kita ini lahiran,” ujar Gio sambil memberikan jabat tangan khas persahabatan mereka.

“Mantap lah lu juga bisa kejar skor tadi. Ayo lah gas, waktunya kita crot,” balas Agam tak berhenti menyeringai yang dibalas seringaian Gio. Dalam posisi missionary itu akhirnya mereka menggenjot kembali memek wanita masing-masing demi mengakhiri ronde kedua malam itu.

Tak ada yang tahu bahwa beberapa momen sebelumnya Arina dalam hati merasa tertegun mendengarkan buaian Agam pada Cynthia. Apa yang diucapkan Agam tentunya sebuah buaian yang seharusnya tak didengarkan wanita berakal sehat, bermoral baik, dan setia pada suami. Tapi Arina tahu ia bukanlah ketiganya. Begitu pula Cynthia. Mereka sudah terlalu jauh jatuh dalam lembah hitam amoralitas. Mereka telah mengkhianati pasangan sah mereka dengan sangat jauh dari nalar dengan mengjalin hubungan gelap bahkan hingga dihamili pria lain yang bukan suami mereka. Arina tahu pada momen itu sahabatnya itu tampak mempertimbangkan untuk terpuruk lebih jauh dan semakin mempertaruhkan segalanya di kehidupannya demi dimiliki seutuhnya oleh pejantan yang lebih tangguh dari lelaki yang ia pilih untuk mempersuntingnya. Dan itu pula yang dirasakan Arina.

Tentu saja selama ini memiliki buah hati dari Agam menjadi hal yang ditepis dari benak Arina dan Cynthia. Bukan karena mereka tidak menyukai pria itu. Justru sebaliknya pria itu telah menjadi salah satu lelaki perkasa yang telah menaklukkan tubuh mereka seutuhnya. Diminta apapun pasti akan mereka turuti, namun bila untuk dihamili oleh Agam, keraguan tetap ada dalam batin mereka. Bukan karena Agam tidak tampan. Sebaliknya, pria dari timur itu termasuk lelaki yang cukup menarik dari segi fisik—rambut cepak keriting yang khas, alis dan bibir tebal, rahang lebar menawan, postur tinggi tegap, otot atletis tergurat sempurna, dan kulit hitam menawan, bahkan rambut-rambut keriting yang menghiasi ketiak, dada, dan area-area kejantanan yang dipuja wanita. Namun posisi mereka sebagai wanita yang tak setia yang tak ingin terbongkar kenakalannya oleh suami dan keluarga mereka, membuat kemungkinan memiliki anak haram dengan fisik yang jauh tak ada mirip-miripnya dengan fitur tubuh suami mereka menjadi sebuah resiko yang terlalu tinggi untuk mereka ambil. Akan tetapi, entah karena moral mereka mungkin terlalu rusak akibat menuruti insting hewaniah mereka, kedua wanita itu mulai goyah pendiriannya dan mereka tahu kemungkinan besar hancurnya keluarga mereka apabila mereka mengambil langkah itu.

Memikirkannya saja membuat Arina bergidik antara ngeri dan nafsu. Dan akibat pemikiran tak bermoral itu, orgasme yang sedari tadi diharapkan oleh Gio datang lebih awal, akhirnya datang juga, namun sudah terlambat.

“Ah… Arin dapettt…” desah lemah wanita itu. Tubuhnya bergetar kembali dalam lumpur kenikmatan.

“AAHH! Gue juga sayang…” Gio yang merasakan kontraksi otot memek Arina akhirnya juga melepaskan benih-benihnya dalam relung Arina dengan sebuah desahan kelegaan panjang setelah 45 menit lebih bertahan dalam ronde keduanya itu.

Di sebelah mereka, Agam juga melepasakan benihnya di dalam relung hangat Cynthia yang kembali mendapat orgasme mini akibat disembur peju panas Agam.

Pasangan Roni dan Irene yang terlupakan dalam cerita ini sedari tadi juga sudah mengakhiri persetubuhan mereka 10 menit sebelumnya dengan Roni mengeluarkan benihnya di dalam memek si gadis. Hal itu terjadi saat Arina dan Cynthia masih dalam gendongan pejantan masing-masing.

Dengan Gio, Agam, dan Roni yang telah berejakulasi dua kali dalam malam itu, tersisalah Bima dan Dimas, dengan kontol mereka yang begitu keras akibat disuguhi pertarungan birahi yang begitu panas di hadapan mereka, kini menuntut ronde kedua mereka. Karena iba dengan kondisi Arina dan Cynthia yang sudah tak karuan akibat dipecundangi Gio dan Agam dalam kompetisi mereka, mau tidak mau mereka menggodai Irene demi pelampiasan nafsu binatang mereka malam itu. Namun karena si gadis masih tidak siap digarap bebarengan di kedua lubangnya, terpaksa mereka bergantian mempecundangi memek si gadis. Dengan Dimas keluar lebih dahulu dalam memek Irene dan diikuti Bima. Akibat Bima yang lupa membersihkan kontolnya setelah bersarang dalam anus Cynthia dan langsung menyenggamai memek Irene tanpa disadari, beberapa hari kemudian si gadis mengalami infeksi saluran kencing yang mengharuskannya meminum antibiotik ditengah-tengah pekan ujian tengah semesternya. Sial banget sih gue, ratap Irene dalam hati.





Pesta seks mereka malam itu berlangsung hingga melewati tengah malam hingga akhirnya mereka berhenti akibat kelelahan dan tertidur pulas. Keesokan paginya sekitar pukul 7 pagi, suasana ketenangan rumah itu dipecahkan dengan teriakan Arina yang tiba-tiba terbangun akibat terasa kontraksi hebat di perutnya. Benar saja, air ketubannya tampak telah pecah membasahi tempat tidurnya. Akibatnya seluruh orang yang berada di rumah itu segera terjaga. Gio yang sudah dua kali berpengalaman memiliki anak dari istrinya dengan cekatan memakaikan baju untuk Arina dan memerintahkan Cynthia dan Irene untuk mempersiapkan keperluan Arina yang bisa dibawa ke rumah sakit. Roni yang juga sama berpengalaman memiliki dua anak dari istrinya dengan sigap menghubungi dokter kandungan kenalan Gio yang bernama Satria, yang sudah jadi langganan mereka itu beserta rumah sakit tempat Arina dijadwalkan untuk bersalin. Tak lama, dalam mobil Gio yang dikemudikan Dimas dengan didampingi Cynthia di kursi sebelahnya. Tampak Arina kesakitan duduk di kursi belakang dan didampingi Gio yang sedari tadi memegang tangan dan membelai kepala wanita itu untuk menenangkannya.

“Mas Giooo… Sakit bangettt… Jadi gini rasanya ngelahirin…” racau Arina.

“Jangan lupa tarik nafas aja sayang pas kontraksinya datang. Bentar lagi kita sampe kok,” ujar Gio menenangkan.

“Oh iya Arin harus ngabarin mas Aldi, mas…” kata wanita itu lemah.

“Nanti aja sayang kalau situasinya udah kondusif. Jangan sekarang,” kata Gio memutuskan.

“Ssshhh… Ok, mas. Aduuuh… Kenceng-kenceng lagiii…” teriak Arina.

Tak terasa mereka sampai di IGD rumah sakit. Tenaga kesehatan yang bertugas segera memeriksa Arina dan didapati telah mengalami pembukaan 5 cm yang berarti sudah memasuki fase aktif persalinan. Cukup cepat untuk wanita yang baru mengalami persalinan yang pertama kali. Mungkin seluruh aktivitas seks selama kehamilan dan malam sebelumnya berpengaruh. Oleh karena itu segera Arina digiring masuk ke ruang bersalin.

“Mohon cuma suami ibu Arina ikut memasuki ruang bersalin. Kepengurusan administrasi dapat diwakilkan ke yang tidak bersangkutan,” kata salah satu tenaga kesahatan di rumah sakit itu. Secara otomatis Gio mengikuti Arina masuk ke ruang bersalin sedangkan Dimas dan Cynthia membantu urusan administrasinya.

Dalam ruang bersalin Gio diminta untuk memakai jubah, masker, dan cap. Begitu juga Arina yang dilucuti pakaiannya oleh tenaga kesehatan dan ganti menggunakan gaun bersalin. Selama menunggu pembukaan lengkap, Arina meminta sekali lagi ke Gio untuk dibolehkan mengabari suaminya. Melihat ibu dari anaknya yang akan segera lahir itu memelas, akhirnya ia mengizinkan dengan sebelumnya memastikan situasi mereka kondusif dari pendengaran orang lain. Tentu saja selama Arina melakukan video call, Gio sedapat mungkin menghindar dari sorotan kamera.

Maafin mas Aldi ya sayang. Andai saja mas Aldi ada di samping kamu sekarang…” kata suami Arina yang terdengar putus asa karena tidak bisa menemani istrinya yang akan segera bersalin. “Ke rumah sakit naik apa? Ada yang nganterin?”

“Gapapa mas Aldi. Makasih udah kerja keras demi kita dan calon anak kita. Arin tadi ditemenin Cynthia kok mas,” jawab Arina, tak berbohong.

Syukur banget lah kalau ada yang nemenin. Mas agak gak enak juga, karena dia kan lagi hamil juga. Semoga ga kesulitan ya si Cynthia. Bilangin mas terima kasih,” kata Aldi. “Ini mas minta izin ke pak Roni untuk dibolehin pulang sekarang juga. Mas langsung otw ke bandara. Tunggu mungkin nanti malam baru sampai.

“Iya mas… Gapapa… Yang penting mas Aldi hati-hati di jalan ya… Nanti Arin tunggu sama anak kita,” kata Arina lemah akibat kepayahan merasakan sakit kontraksi yang datang makin sering.

Selama beberapa jam berikutnya berikutnya Gio berada di samping Arina dengan sabar. Di hari sebelumnya tentu saja pria itu telah berkilah ke istrinya bahwa ia memiliki urusan dengan Bima untuk keluar kota yang jelas diiyakan saja oleh Eli, istri Gio itu. Lumrah terjadi pada kisah hidup para peselingkuh yang telah memiliki pasangan yang perlu mereka bohongi tentang keberadaan mereka.

Matahari mulai perlahan menggelincir menuju ufuk barat ketika akhirnya mulut rahim Arina dinyatakan terbuka sepenuhnya. Segera tenaga kesehatan yang ada dengan cekatan meregangkan kedua kaki Arina dan menumpukannya pada sebuah penyangga khusus pada ranjang persalinan. Dengan posisi seperti, otomatis lubang liang peranakan Arina yang berhias jembut tebal pun terpampang jelas. Dokter Satria pun datang tepat pada waktunya untuk memimpin persalinan normal itu. Alih-alih berada disamping Arina, Gio sendiri berada di dekat dokter kenalannya itu untuk mengabadikan momen putra pertamanya dilahirkan ke dunia.

“Akhirnya dapet anak cowok ya, bro. Penerus dinasti nih. Asal ga ketahuan si Eli aja, hahaha,” bisik Satria yang berada di dekat Gio.

“Hahaha, lihat aja ntar lah. Yang pasti main halus dulu, hahaha. Yaudah, tolong anak gue sama ibunya ya, bro,” kekeh Gio pelan yang permintaannya diikuti acungan jempol Satria. Tak ada yang memperhatikan percakapan mereka dalam kegaduhan persiapan persalinan Arina.

“Yak, bu Arina, saya akan pimpin persalinannya, ya. Kalau pas kenceng-kenceng, mengejan yang kuat ya, bu Arina,” perintah dokter Satria pada Arina.

“Mas Gio, jangan jauh-jauh, please…” pinta wanita itu lemah pada bapak dari anak yang akan dilahirkannya. Dengan sigap Gio kembali ke sisi Arina dan menggenggam erat jari jemari lembut yang tampak mungil dibanding miliknya.

Dalam badai rasa sakit yang di alami Arina, perlahan si jabang bayi melewati pintu rahimnya yang telah terbuka lebar dan mulai menuruni liang peranakannya. Setelah beberapa kali mengalami kontraksi hebat yang Arina ikuti dengan mengejan kuat, akhirnya tampak secara perlahan sebuah kepala mungil berambut mulai meregang pintu peranakannya yang juga berambut, menandakan proses crowning si jabang bayi telah dimulai.

“Ini kepalanya sudah kelihatan, bu. Kalau kontraksinya hilang, tarik nafas dulu. Kalau udah mulai kenceng lagi, mengejan yang kuat sekali lagi ya,” pandu dokter kandungan itu yang dituruti oleh Arina.

“AAAHHHH!!!” teriak Arina sekencang-kencangnya.

Ketika momen kontraksinya muncul kembali, Arina mengejan sekuat-kuatnya sehingga bibir memek Arina terkuak makin lebar diregangkan kepala buah hatinya. Dengan kepala si buah hati yang sudah keluar liang peranakan, akhirnya leher, bahu, dan diikuti seluruh badan si bayi dapat keluar dengan mudahnya. Kontan terdengarlah tangisan kencang bayi sehat berbobot 3700 gram itu. Setelah dipotong ari-arinya dan dibersihkan, tenaga kesehatan mendekatkan si bayi untuk di dekap ibunya dan menginisiasi menyusui dini serambi dokter Satria mengeluarkan plasenta dari rahim Arina. Persalinan itu berlangsung dengan sangat lancar.

Akibat didekap ibunya, tangisan si bayi pun mulai berkurang perlahan. Arina perhatikan dengan sekasama betapa miripnya si bayi dengan bapaknya—wajah yang bulat penuh, alis yang kelak tampak menjadi tegas dan lebat, dan bibir yang lebar, namun mata berbulu lentik dan hidung mungil yang mirip dirinya sendiri. Perlahan Arina arahkan wajah mungil itu mendekati puting payudaranya. Perlu beberapa menit usaha hingga akhirnya makhluk tanpa dosa itu berhasil memasukkan puting ibunya ke mulut mungilnya untuk perlahan ia hisap sari gizinya. Segala macam emosi berkecamuk dalam benak Arina melihat putra pertamanya yang baru saja ia lahirkan.

“Anak kita, mas Gio,” kata Arina berkaca-kaca menatap Gio yang mengangguk sambil mengecup dahi Arina yang penuh keringat.

“Aku mau namain dia Aryo, ya Mas Gio. Simbol cinta kita,” pinta Arina.

“Namanya bagus, sayang. Setuju banget,” jawab Gio sambil menatap hangat putra pertamanya, anak lelaki yang ia idam-idamkan dan tak dapat diberikan oleh istrinya yang enggan memiliki anak lebih dari dua. Takdir mengatakan ia mendapatkan seorang putra melalui sebuah ikatan gelap dengan wanita yang lebih muda 11 tahun darinya dan telah memiliki bersuami. Betapa ia akan menjaga putranya itu dan ibunya sebaik-baiknya.



///



Segala macam emosi bercampur dalam benak Aldi saat di siang bolong istrinya memberikan kabar tentang pecahnya air ketubannya dan memasuki masa persalinannya—mulai dari kaget, menjadi panik, berubah marah karena ia sedang berada ribuan kilometer dari istrinya yang membutuhkannya, namun tetap optimis dan bahagia karena buah hatinya akan segera datang ke dunia.

Segera setelah mendapat kabar dari istrinya, Aldi menghubungi atasan kerjanya tanpa membuang waktu.

“Halo, Pak Roni. Maaf saya minta izin untuk diperbolehkan pulang hari ini. Saya baru saja dapat kabar kalau istri saya akan melahirkan,” kata Aldi dalam kepanikan membombardir atasannya itu sebelum dapat menjawab salam.

Macam mana kau Aldi aku tak kau kasih kesempatan menjawab. Tarik napas dulu. Tenangkan pikiranmu,” kata Roni menenangkan dari seberang telpon.

“Siap, Pak. Maaf, sedang panik. Saya tahu saya masih perlu beberapa hari lagi menyelesaikan tugas di sini tapi saya harus segera pulang. Istri saya butuh saya,” pinta Aldi lebih tenang.

Dalam hati Aldi sedikit menyesali untuk mengiyakan tugas atasannya yang memang cukup mendadak, di kala Arina sedang di penghujung kehamilannya. Apalagi Roni mendesaknya untuk mengambil tugas ini karena memang hanya dia corporate lawyer yang pernah memberikan pendampingan hukum untuk sebuah anak perusahaan yang baru berdiri di awal tahun itu. Karena tak enak dengan seniornya yang sudah menganggapnya seperti adik, dan karena bonus yang diberikan oleh firmanya tergolong besar, Aldi memutuskan untuk menyanggupi.

Oh gitu. Ya sudah segera kau pulang, cari jadwal pesawat terdekat. Nanti saya yang jelaskan ke pemilik perusahaan. Kebetulan memang kenal baik. Santai. Bonus tetep full, Al,” kata seniornya santai.

“Makasih, banyak, Pak Roni!” timpal Aldi lega dan syukur luar biasa dapat bekerja dengan senior disiplin namun baik hati seperti Roni. Pekerjaannya memang sibuk dan berat, namun setimpal.

Sudah dibilang panggil abang saja biar akrab, kau ini macam mana!” hardik Roni, namun tak ada amarah dalam kata-katanya, mengingatkan kembali junior yang hanya 6 tahun lebih muda darinya itu untuk memanggilnya lebih akrab.

Oh, iya. Selamat ya, Al. Akhirnya kau jadi bapak. Salam buat istrimu,” ucap Roni melanjutkan tanpa menunggu tanggapan Aldi.

“Siap, Pak Roni. Sekali lagi terima kasih,” balas Aldi yang kemudian mendengar sambungan diakhiri oleh seniornya.

Tak membuang waktu, Aldi segera berkemas dan meninggalkan kamar hotelnya untuk mengejar jadwal penerbangan terdekat. Aldi memperkirakan akan tiba saat hari mulai petang. Sepanjang perjalanan, dalam benaknya hanya ada sang istri yang sedang berjuang melahirkan putra mereka.





Malam itu Aldi datang ketika Arina sudah pindah ke ruang rawat inapnya. Tak bisa dibendung kebahagiannya menemui anak yang bertahun-tahun ia dambakan kedatangannya. Melihat kebahagiaan suaminya, Arina pun ikut bahagia melihat mimpi suaminya terwujud.

“Kenapa Aryo, Rin?” tanya Aldi dengan wajah penuh senyum menatap makhluk mungil dalam gendongan ibunya yang sedang berbaring setengah duduk di ranjang rumah sakit.

“Bagus aja, Mas. Kan gagah gitu namanya. Nama kan doa, mas. Jadi biar anak kita jadi cowok yang gagah nantinya,” kata Arina menjelaskan berbinar.

“Jadi, Aryo Suryopranoto, ya? Cocok sih. Kedengaran bagus,” ujar Aldi menyeringai bangga.

“Iya kan maaas!” kata Arina menyemangati. Atau lebih tepat lagi, Aryo Renanda Rahadian Gontha, batin kecil Arina penuh cinta membayangkan si buah hati menyandang namanya dan ayah kandungnya.

“Bagus, sih. Mas setuju. Hai, Aryo, selamat datang ke dunia anakku,” timpal Aldi semangat yang kemudian menyapa anaknya itu.





Dua hari kemudian, sesampainya di rumah, Arina dan Aldi memasuki babak baru kehidupan mereka dengan buah hati mereka yang baru lahir. Keharmonisan rumah tangga mereka serasa diperbarui dan Arina bersyukur segalanya hingga saat itu berjalan sangat lancar sesuai rencana-rencana rahasia yang ia selama ini susun dan eksekusi satu persatu dengan hati-hati. Semoga semua baik-baik saja seterusnya, pinta Arina dalam hati kecilnya.

“Eh, Rin. Ngomong-ngomong. Pas mas ga ada di rumah Arin ngapain aja. Itu mas sekilas perhatiin karpet di ruang tengah kok keliatan kotor kayak banyak noda gitu ya?” tanya Aldi tiba-tiba ketika mereka berada di dalam kamar, Arina sedang menyusui bayi mereka. Seketika jantung Arina mencelos. Setelah melalui semua kegaduhan sejak hari persalinannya hingga beberapa hari menginap di rumah sakit, tak terlintas di benak Arina tentang merapikan rumah.

Arina sempat memperhatikan keadaan rumah secara sepintas memang cukup rapi tak ada kekurangan. Akan tetapi apabila seseorang mau memperhatikan dengan seksama, terdapat banyak noda-noda misterius yang memang tak terlihat sepintas lalu, namun tampak bila diperhatikan dengan lebih jeli. Arina mengingat terakhir kali karpet kesayangan Aldi itu memang sudah tak karuan penampakan dan bahkan mungkin aromanya akibat berbagai cairan tubuh seperti peluh delapan tubuh manusia dengan berbagai aroma khas masing-masing, cairan vagina, cairan squirt bercampur air seni—paling banyak milik Cynthia, tetesan sperma para pria yang meleleh keluar dari lubang-lubang keintiman para wanita, bahkan bisa jadi juga terdapat percikan-percikan kecil kotoran yang tak kasat mata—terutama milik Irene dan Arina yang sempat mengalami dorongan peristaltik usus di tengah-tengah persenggamaan mereka; semuanya berasal dari kegiatan laknat yang mereka lakukan di ruang tengah rumah itu, di malam sebelum persalinannya. Dalam hati Arina merutuk betapa cerobohnya para pria selingkuhannya yang melupakan janji mereka—dalam kehebohan pecahnya ketubannya—sehingga meninggalkan rumahnya tanpa membersihkan sisa-sisa hubungan gelap mereka, terutama di karpet kesayangan suaminya tersebut.

“Hmmm… Itu, mas. Anu… kemarin pas mas berangkat dinas luar, Arin numpahin makanan sepiring pas di karpet. Maklum mas… Ibu hamil kan koordinasinya agak susah gitu, mas… Hehehe…” kilah Arina menutupi kebohongannya. Kepalanya terasa sedikit pening akibat rasa gugup yang muncul tiba-tiba.

“Numpahin apa emangnya? Kayak banyak banget, nyiprat di mana-mana gitu,” kejar Aldi nampak penasaran.

“Hehe kemarin Arin numpahin kolak pisang, mas. Arin mager jadi cuma bersihin pake lap biasa aja. Paginya pas mulai kontraksi juga Arin mondar mandir di ruang tengah nungguin si Cynthia. Pasti juga kena rembesannya ketuban yang netes. Maafin Arin ya mas, hehehe…” jawab Arina memberikan ekspresi tak bersalah sebaik mungkin. Keringat mulai mengembuni keningnya akibat darahnya yang semakin berdesir dalam kegugupan.

“Oh, pantesan mas lihat ada noda-noda kering gitu pada dikerubutin semut. Yaudah kalau gitu gapapa. Nanti mas kirim ke laundry. Kalau dari jauh sih ngga keliatan banget. Cuma kayaknya beberapa hari dibiarin ga ada yang ngurusin jadi baunya ga karuan juga. Kotor sih wajar. Namanya juga karpet. Cuma itu karpetnya memang dari Turki beneran, hadiah pernikahan kita dari temen mas. Barang bagus kan sayang juga kalau rusak, hehehe,” kata Aldi mengingatkan.

“Iya-iya mas Aldi sayang… Mas udah bilang itu berapa kali coba. Arin tauu mas sayang banget sama karpetnya… Arin janji nanti hati-hati,” ujar Arina pada suaminya dengan penuh kasih sayang, lega tampaknya suaminya tidak curiga macam-macam.

Arina berharap semoga suaminya tak terlalu teliti memperhatikan karpet indah dan nyaman itu memang telah menjadi saksi bisu pengkhianatannya kepada suaminya dan tempat peraduannya dengan pejantan-pejantan yang menguasai tubuhnya. Ia juga membuat catatan dalam kepalanya untuk mengingatkan Gio agar tidak mengajak berselingkuh di rumahnya lagi. Itu kalau Gio, pria yang telah mencuri sebagian kesetiannya pada suaminya, mau mendengarkannya. Walaupun memang Gio keras kepala dan suka seenak hatinya, tak dapat dipungkiri hidupnya terasa berwarna akibat pertemuannya dengan pria itu. Tapi bisa-bisa jantungan gue kalau gini terus, batin wanita yang kini menjadi sudah dijadikan ibu beranak satu oleh pria itu.

But we know damn well she’s forever hooked to that sweet, seductive taste of immorality.


———


End of Chapter 9.

End of Book 1.
 
Hi suhu-suhu. Akhirnya jilid 1 selesai!!! Btw, saya mau pamit hiatus dulu yaaa... Mau healing wkwkwk... See you next year!
Semoga sejauh ini tulisan saya yang ga jelas ini paling ga bisa menghibur wkwkwk... Boleh ngasih kesan-kesan sejauh ini. Saran juga boleh tapi ga janji bisa mengakomodasi hehehe
merry christmas and happy new yeaarrr~~~~
:bye:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd