Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CHAPTER VII

EDGE OF SEVENTEEN



Juli 2017

Suara detak sepatu mengiri langkah gontai seorang gadis yang berjalan pulang menyusuri gang-gang kampung perkotaan yang mulai sepi di malam yang mulai larut itu. Dinginnya malam tak seberapa dibanding dinginnya perasaannya yang dirundung kegundahan. Untuk kesekian kalinya ia pulang dari kerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji dengan perasaan lunglai akibat atasannya lagi-lagi tidak menyetujui permintaannya untuk meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar. Wajar saja, ia masih belum lama menjadi pegawai paruh waktu di tempat itu; baru tiga bulan. Gadis itu tak tahu harus bagaimana lagi untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar dan dalam tempo yang sangat cepat untuk membayar uang semester kuliah dan membayar hutang-hutang yang dimilikinya.

Gadis itu bernama Irene Veronica (baca: Airin Veronika), seorang mahasiswi perguruan tinggi yang baru saja menyelesaikan semester 2 dari perkuliahannya di jurusan sastra inggris. Di usianya yang akan menginjak 18 di penghujung bulan ini, ia tergolong seseorang yang cukup muda dalam memulai perkuliahannya akibat ia memulai sekolah dasar lebih awal. Kehidupan masa sekolahnya yang bahagia terasa bagi Irene bagaikan sebuah memori dari kehidupannya yang sangat lampau. Semenjak ibunya meninggal ketika ia masih di bangku SMA, kehidupannya terasa ratusan kali lebih berat. Ayahnya? Entah kemana perginya pria tak bertanggung jawab itu, ia sudah tak peduli lagi.

Irene lahir di pertengan tahun terakhir abad 20 dari ibu yang merupakan seorang campuran Jawa dan Sunda dan ayahnya yang merupakan pebisnis dari Tiongkok. Kata ibunya, ayahnya tiba-tiba menghilang meninggalkan ibunya sebelum sempat ibunya memberitahu tentang kehamilannya dengan Irene. Sejak kecil Irene merupakan seorang anak yang gemar membaca. Semua buku yang ada di perpustakaannya ia sudah jelajahi untuk ia baca. Kesukaannya adalah sastra klasik terjemahan dari negeri barat: Jane Austen, Emily Bronte, Charles Dickens, Lewis Caroll, Arthur Conan Doyle, dst. Bagi Irene yang dunianya kecil dan sempit, membaca menjadi pelariannya dan penghiburannya ke sisi dunia lain yang jauh lebih luas dan hanya imajinasi menjadi batasannya. Suatu hari ia berharap ingin pergi mengajak ibunya keluar dari kehidupan mereka yang kecil itu, menjadi seseorang yang sukses tidak hanya dalam ilmu namun juga finansial, dan hidup bahagia bersama. Langkah pertama untuk mewujudkan mimpi itu adalah dengan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Namun takdir tidak pernah bersahabat dan membuatnya hidupnya mudah. Ibunya yang bekerja terlalu keras menjadi tulang punggung kehidupan mereka berdua tiba-tiba mengalami sebuah infeksi paru-paru. Berbulan-bulan Irene harus merawat ibunya sebelum ibunya meninggalkannya akibat komplikasi dari penyakitnya.

Semenjak ibunya tiada, ia meninggalkan kontrakan kecil lusuh yang selama ia tinggali dan memutuskan ikut ajakan bibinya yang juga seorang orang tua tunggal, yang membesarkan 2 anaknya seorang diri, untuk tinggal dengan mereka. Anak bibinya yang pertamanya adalah seorang pemuda yang seumuran dengan Irene. Sedangkan adik perempuannya berjarak 3 tahun dari kakaknya. Setahun lalu ia dihadapkan dengan keputusan sulit hingga hampir mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Uang peninggalan ibunya tidak seberapa dan yang jelas tidak akan bisa mencukupi biaya kuliahnya hingga akhir. Bibinya yang memiliki anak yang berkuliah pun tidak mungkin sanggup menanggung biaya kuliah Irene. Tidak mungkin bagi Irene untuk lebih lanjut membebani kakak sepupu ibunya itu yang sudah memberikan tempat tinggal dan makan secara cuma-cuma untuk Irene.

Dengan menggunakan uang sisa peninggalan ibunya, Irene nekat tetap mendaftar ke perguruan tinggi. Bibinya sempat marah ke Irene karena bertindak gegabah dengan uang ia miliki dan khawatir bagaimana akan bertahan karena perguruan tinggi yang Irene daftari berada di luar kota dan merupakan kota besar dimana sewa tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari tergolong mahal. Irene yang sebenarnya tidak begitu yakin dengan nasibnya kelak berjanji pada bibinya untuk mencari pekerjaan sambilan selagi ia kuliah untuk mencukupi kebutuhannya. Namun setahun berjalan dengan hidup terpisah dari keluarga yang juga sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya, Irene yang muda dan naif harus belajar kehidupan yang berat dan tidak adil. Gadis tersebut berkali-kali mencoba mencari beasiswa untuk menutupi biaya kuliahnya namun tidak pernah beruntung. Kerja paruh waktunya tidak mencukupi kebutuhannya dan membuatnya sering letih hingga banyak mengganggu konsentrasinya untuk belajar. Untuk menyambung hidup, Irene terpaksa berhutang sana sini—kepada teman-teman kuliahnya, kepada atasan tempat ia bekerja, hingga bodohnya melalui pinjaman online—untuk membiayai uang semesteran, buku kuliah, tugas kuliah, dan kebutuhan sehari-harinya. Akibatnya, reputasinya di antara teman angkatannya menjadi buruk akibat ketidakmampuannya mengembalikan hutangnya. Ia pun sering gonta-ganti tempat kerja paruh waktu karena sering berhutang ke atasan dan rekan kerjanya tanpa bisa mengembalikan. Parahnya lagi, ia juga sering diteror pihak penagih utang pinjaman online karena bunga hutangnya yang membengkak hingga puluhan juta. Tak jarang Irene harus memberikan pelayanan seksual kepada pria-pria penagih hutang agar mereka mau memberikan kelonggaran tempo pembayaran, namun hanya sebatas blowjob, tidak sampai lebih. Untungnya Irene masih bisa menghindari untuk harus menjual seluruh dirinya.

Selama setahun berkuliah hanya ada seorang mahasiswi lain yang tidak memutuskan tali pertemanannya akibat reputasinya yang menjadi anak yang sering pinjam uang. Ia adalah seorang kakak kelas dari jurusan lain yang ia temui disebuah career fair saat melalui program orientasi mahasiswa atau ospek. Mahasiswi tersebut menarik perhatian Irene karena selain baik, ia pun cantik dan pintar. Hampir setahun lalu, Irene mengingat cerita kakak tingkatnya itu yang menjadi mahasiswa teladan dengan nilai IPK yang selalu hampir menyentuh angka sempurna dan berambisi untuk merampungkan kuliahnya hanya dalam 7 semester saja. Kakak tingkat yang baru saja merampungkan semester 6 nya itu bahkan memulai magang di sebuah perusahaan besar sambil menyelesaikan karya akhirnya. Irene memberanikan diri untuk meminta kontak kakak tingkatnya itu “untuk keperluan konsultasi atau tanya-tanya”, kata Irene waktu itu, yang disanggupi oleh sang kakak tingkat. Semenjak itu mereka beberapa kali bertemu untuk Irene belajar mengenai rencana studi dan karir, atau saling sharing cerita tentang kehidupan mereka. Dari situ Irene mengetahui bahwa seniornya itu berusia 4 tahun di atasnya meskipun selisih 3 tingkat secara perkuliahan, kedua mendiang orang tuanya merupakan Tionghoa, dan juga seorang yatim piatu yang diasuh neneknya. Setiap kali bertemu, entah itu di kantin kampus, di restoran atau kafe, kakak tingkatnya itu selalu yang membayar. Berkali-kali Irene ingin menceritakan situasinya dan hampir berhutang ke kakak tingkatnya itu namun ia urungkan niatnya karena ia tidak ingin merusak pertemanan mereka atau mengkhianati kebaikan seniornya itu. Namun malam itu, Irene yang tidak tahu harus minta bantuan siapa lagi memutuskan untuk memberanikan diri menghubungi sang senior meskipun dalam 6 bulan terakhir semenjak kelulusan seniornya, ia jarang bertukar kabar akibat kesibukan masing-masing.

Dalam lamunannya, akhirnya kaki Irene yang lelah mengantarkan tubuhnya yang pikirannya sedang kalut itu sampai tempat kostnya di kota itu selama setahun terakhir. Setelah membersihkan diri dan merebahkan tubuh lelahnya di kasur kecilnya, ia meraih ponselnya lalu mencari kontak senior yang sudah setengah tahun tak ditemui itu dan memulai mengetik percakapan:

Irene: Cici Cynthia apa kabar?
Irene: Apa bisa kalau Irene telepon, cici?
Irene: Irene mau cerita
(Sent)

Waktu di ponselnya telah menunjukkan lewat jam 11 malam. Mungkin baru akan di balas besok pagi, batin Irene, sebelum tiba-tiba sebuah tanda ‘Online’ muncul di bawah nama kontak seniornya itu dan diikuti dengan status ‘Menulis…’

Cynthia: Yuk

Sesaat berikutnya, sebuah dering panggilan dari seseorang bernama Cynthia muncul di ponsel Irene. Malam itu tumpahlah semua air mata Irene menceritakan seluruh kesulitan yang ia alami selama ini dan Cynthia masih seperti sebelumnya, mendengarkan keluh kesah juniornya itu dengan sabar. Tak hanya itu, Cynthia memberikan solusi bagi Irene untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.





Sesuai yang telah diinstruksikan Cynthia melalui telepon, di sebuah Sabtu sore Irene menunggu di depan gang kost-nya untuk dijemput seniornya itu untuk saling bertemu kembali setelah lebih dari enam bulan. Irene mengawali hari itu dengan semangat karena mengingat janji Cynthia bahwa ia akan membantunya menyelesaikan permasalahan finansial Irene hingga tuntas. Namun ia belum tahu seperti apa bantuan yang akan Cynthia berikan sebab ketika di telepon beberapa hari sebelumnya seniornya itu tidak menjelaskan apapun. Tapi bantuannya gabisa cuma-cuma. Ada timbal balik yang harus dilakukan Irene. Nanti cici jelasin pas ketemu aja, kata Cynthia, yang dibalas segera dengan kesanggupan dari Irene. Pekerjaan apapun itu akan Irene lakukan demi keluar dari keterpurukannya itu dan kembali fokus ke masa depannya.

Tak sampe 5 menit menunggu, terdapat sebuah mobil sedan hitam yang berhenti di hadapannya. Jendela bagian belakang yang diturunkan menampakkan wajah familiar Cynthia yang mengagetkan Irene karena seniornya itu tampak makin cerah bersinar dan makin bulat berisi dibandingkan terakhir kali mereka bertemu di akhir tahun lalu ketika kelulusan Cynthia. Dengan lambaian tangannya, Cynthia memberi isyarat Irene untuk segera masuk ke mobil dan duduk di sebelahnya. Tanpa menunggu lama, sedan itu segera meluncur kembali melewati kepadatan jalanan kota itu.

“Irene akhirnya kita ketemu lagi… Cici kangen udah lama ga ketemu…” ucap Cynthia hangat sambil bertukar salam pipi dengan juniornya.

“Irene juga, Ci… Cici makin cakep ajaaa…” balas Irene terpesona dengan penampilan Cynthia yang wajah Chindo nya yang terbingkai rambut diwarna coklat kemerahan makin tampak pendaran kecantikannya dari dekat.

“Ah kamu bisa aja… Kamu juga cakep dan imut-imut kok. Cuma kamu terlalu fokus kuliah sama kerja terus jadi kurang merhatiin penampilan aja. Kapan-kapan sama cici cari skincare bareng sama contact lens biar kamu ga keliatan nerdypake kacamata terus gitu,” kata Cynthia juniornya berempati.

“Hehe… Siap ci,” kata Irene salah tingkah diperhatikan dan dipuji Cynthia. “Btw, kita mau kemana Ci?” lanjut Irene bertanya karena penasaran mereka mau ke mana.

Irene perhatikan sesekali ke arah kursi depan terdapat seorang pria berkulit coklat, berambut cepak, berpawakan sedikit tambun di belakang kemudi, kemeja yang dikenakannya tergolong cukup rapi. Irene membatin apakah mungkin Cynthia menjadi mapan dengan begitu cepat sehingga dia sekarang memiliki supir pribadi.

“Nanti kamu juga tahu. Oh iya, ini kenalin dulu namanya mas Dimas. Temen dari tempat kerja,” jelas Cynthia yang memperhatikan pandangan penasaran Irene.

“Halo mbak Iren. Salam kenal,” sapa Dimas santai menatap dari kaca rearview. Logatnya yang sedikit berlogat Jawa melafalkan nama Irene secara harfiah penulisannya.

“Hai mas Dimas. Salam kenal juga. Namaku dibaca Airin, mas Dimas, hehe,” sapa Irene balik dan dalam hati keberatan namanya salah diucapkan. Dimas hanya tersenyum kembali fokus ke jalan dan tak memperhatikan protes gadis itu. Namun Irene lanjut berpikir, betapa nyamannya Cynthia disopiri teman kerja kemana-mana. Mungkin Irene bakal ditawari magang bergaji banyak di perusahaan tempat Cynthia bekerja, pikir gadis itu.

“Ngomong-ngomong Irene masih pacaran sama cowokmu nggak sekarang?” tanya Cynthia tiba-tiba.

“Um… Masih sih, Ci. Kayaknya,” jawab Irene ragu yang tidak kaget Cynthia masih mengingat bahwa Irene pernah mengatakan memiliki kekasih yang ia pacari sejak SMA. Namun beberapa bulan ini komunikasi mereka terasa menjadi jarang sejak mereka sering berdebat tentang permasalahan yang dihadapi Irene. Menurut Vino, masalah Irene merupakan kecerobohan Irene sendiri sedangkan Irene yang dalam lubuk hati mengetahui kebenaran hal tersebut merasa Vino tidak peka dan selalu terkesan menyalahkan tanpa solusi.

“Eh, kok kayaknya? Kok kayak ga yakin gitu?” tanya Cynthia penasaran.

It’s complicated, Ci,” balas Irene lemah.

“Yaudah dilupain sementara cowoknya. Kita habis ini fokus tentang solusi dari masalah kamu,” kata Cynthia berempati sambil menggenggam tangan Irene yang hanya membalas dengan anggukan. Gadis itu memperhatikan sebuah cincin yang sebelumnya tak pernah ia lihat di jari Cynthia sekarang melingkar di jari tengahnya.

“Eh, cici udah nikah kah?!” tanya Irene tiba-tiba setengah berteriak memegang jemari Cynthia.

“Hehehe iya,” jawab Cynthia santai.

“Hah kapaaan? Kenapa Irene nggak diundang? Sama ko Steven kah, Ci?” bombardir Irene dengan pertanyaan.

“Iya sama ko Steven. Baru 3 bulan. Maaf cici nggak undang-undang karena nggak dirayain besar-besaran juga. Cuma keluarga deket aja yang tau,” jelas Cynthia.

“Oh gitu… Iya gapapa. Congrats, ya Ci! Irene ikut seneng!” balas Irene.

Tanpa terasa mereka sudah mendekati tempat tujuan. Mereka memasuki sebuah perumahan di kawasan pinggiran kota yang menampakkan deretan townhouse cukup besar. Sedan itu berbelok ke suatu jalan dengan deretan townhouse lebih jarang daripada yang lainnya dan berhenti sejenak di depan gerbang sebuah rumah bernomor 21 sebelum secara otomatis terbuka memberikan akses masuk bagi mereka untuk parkir di carport. Tampak di dalam garasi yang terbuka terdapat sebuah mobil SUV hitam dan sebuah motor Harley Davidson.

“Ini rumah Cici?” tanya Irene penasaran.

“Hahaha… Bukan. Rumah temen kerja juga,” sahut Cynthia sambil lalu.

“Trus ngapain kita kesini Ci? Kirain mau ngobrol di tempat makan gitu,” tanya Irene.

“Ya ini juga ada hubungannya sama kamu. Temen Cici ini juga atasan Cici. Dan dia mau ngebantuin kamu. Kalau laper tenang aja di dalam udah ada makanan. Yuk masuk,” jelas Cynthia.

Pintu gerbang rumah itu kembali menutup secara otomatis. Ketiganya keluar dari sedan yang mereka tunggangi dan menuju ke dalam rumah tersebut.





Waktu menunjukkan pukul 18.30 ketika keempat orang di meja makan itu selesai menyantap makan malam mereka sambil di ruang makan itu. Sudah lama Irene tak pernah melihat makanan sebanyak dan seenak itu. Dalam hati ingin rasanya ia membawa pulang makanan yang tak habis mereka makan itu agar ia dapat menghemat uang makan selama beberapa hari ke depan.

“Irene, Cici ambilin jus jeruk ya?” kata Cynthia menawari Irene sambil berjalan ke arah lemari es tanpa menunggu jawaban Irene yang sedari tadi hanya melihat kaleng bir di meja itu selain air putih di gelasnya dan milik Cynthia.

Cynthia diperhatikan Irene ketika menuang jus jeruk dari kontainernya. Wanita itu tampak memakai sweater sangat longgar dan rok panjang yang seingat Irene jarang bahkan bukan merupakan style yang sering digunakan Cynthia dulu.

“Makasih, Ci,” ucap Irene menerima segelas penuh jus jeruk yang lalu diminumnya. Rasanya seger banget, batin Irene.

“Kalau pada udah makannya, kita ngobrol santai di ruang tengah aja yuk,” ajak seseorang yang Irene tangkap dari perkenalan mereka merupakan sang tuan rumah bernama Bima.

Pria yang ditaksir Irene sudah berusia pertengahan 30-an itu memiliki tubuh tegap dan berotot. Lengan ototnya tampak besar terpampang jelas karena ia mengenakan tanktop hitam. Kulitnya yang kecoklatan tampak memukau dan jantan di mata Irene. Jantan? Ah, apa sih ini pikiran ngelantur banget, batin Irene.

Di ruang tengah yang menghadap ke taman samping rumah itu, mereka berlima duduk di sofa lebar berbahan kulit yang dikonfigurasi melingkari sebuah meja kecuali sisi yang dekat pintu dan jendela kaca lebar yang terbuka ke arah taman. Sambil memegang gelasnya yang masih berisi jus jeruk yang baru ia minum separuhnya, Irene memperhatikan ketiga pasang mata yang menatapnya. Ia yang canggung diperhatikan seperti itu tersipu malu. Apalagi saat itu ia tiba-tiba tersadar bagaimana posisi duduknya yang berada di antara tuan rumah di sisi kirinya dan Cynthia di sisi kanannya. Sedangkan pria yang bernama Dimas berada di sisi kanan Cynthia.

“Jadi gini mas Bima. Irene ini adik kelas Cynthia di kampus. Dia lagi punya uneg-uneg dan kesulitan. Mungkin mas Bima atau pak Gio bisa bantu,” jelas Cynthia yang duduk di antara Bima dan Dimas.

“Ceritain ke mas Bima gih Rene yang kamu ceritain ke Cici kapan hari,” lanjut Cynthia ke Irene yang menjelaskan permasalahannya yang didengarkan dengan seksama oleh kedua pria yang baru saja mendengar cerita gadis itu untuk pertama kali.

“Jadi intinya sekarang kamu punya hutang pinjol sampai puluhan juta, nunggak bayar kost, dan hampir telat bayar semesteran?” tanya Bima mengklarifikasi penjelasan Irene yang membalas dengan anggukan.

“Kapan tenggat waktu bayar itu semua?” tanya Bima lagi.

“Pinjolnya sih tiap bulan saya ditagihin terus dan bakalan naik lagi bunganya bulan depan kalau bulan ini nggak saya bayar. Kost-an udah nunggak 3 bulan, Irene udah diancem dikeluarin kalau ga bayar. Untuk SPP kuliah, awal bulan depan batas bayarnya kalau engga Irene ga bakal bisa lanjut semester 3. Irene mau ngelakuin kerja apa aja yang bapak tawarin,” jelas Irene memelas.

“Kalau kerja di kantor kayaknya kamu belum bisa sih, cantik. Kamu baru selesai semester 2 gini jadi gabisa magang juga. Kalau ada pun mungkin ya di bagian dapur atau sarana prasarana. Tapi mana mungkin juga kamu bisa nutupin hutang kamu kalau nunggu gaji kamu. Lagipula kerjaannya harus full time juga,” kata Bima menjelaskan.

Irene sedikit kecewa mendengar penjelasan Bima, dan tertegun dirinya dipanggil dengan sapaan “Cantik” oleh seorang pria dewasa yang baru saja dikenalnya itu.

“Kalau adanya memang itu gapapa, pak Bima. Mungkin Irene perlu cuti kuliah dulu sementara untuk kerja untuk ngelunasin utang Irene. Atau kalau pak Bima tidak keberatan bisa memberikan pinjaman dulu ke Irene nanti saya bayar pakai potong gaji. Irene janji ga akan keluar sampai pinjamannya Irene lunasi,” ucap Irene memelas sambil matanya berkaca-kaca.

“Udah gausah nangis gitu. Kamu habisin dulu minummu. Kita punya solusi yang lebih baik dari itu. Nggak perlu kamu repot-repot seperti yang kamu bilang gitu. Tapi ada syarat-syarat tertentu yang harus kamu lakuin,” ucap Bima menenangkan sambil mengusap air mata yang menetes di ujung mata Irene. Diperlakukan seperti itu Irene merasa canggung tapi membuatnya tersipu dan badannya terasa menghangat.

“Irene mau ngelakuin apapun itu pak Bima,” kata si gadis salah tingkah sambil menenggak habis jus jeruknya.

“Ngomong-ngomong Irene udah pernah ML sama cowoknya belum?” tanya Cynthia tiba-tiba dari sebelah kanan Irene.

“Hah?? Eh… Maksud, cici?” tanya Irene balik terbata karena tak yakin ia mendengar dengan benar.

“ML. Making love. Seks. Ngentot. Sama cowok Irene udah pernah belum?” tanya Irene lebih tegas, mata sipitnya serius menatap Irene tanpa kedip namun wajahnya masih tampak lembut.

“Um… Belum pernah, ci… Emangnya kenapa, ci?” jawab Irene wajahnya tersipu dan badannya terasa memanas menjawab pertanyaan kakak tingkatnya itu yang tiba-tiba menggunakan kata-kata vulgar dengan santainya dan karena keberadaan dua pria di antara mereka yang saling bersiul saling melempar seringaian penuh makna.

“Kamu rileks aja gapapa Irene. Nggak usah canggung gapapa,” kata Cynthia. “Kamu tau kan Cici selama ini urusan karir dan finansial Cici lancar. Selama ini Cici emang dekeeet bangeeet dan sering main-main sama atasan Cici yang namanya pak Gio, dan sama mas Bima dan mas Dimas ini, yang juga temen kerja Cici. Jadi Cici enak, cowok-cowok ini juga enak, Cici ngga mikirin urusan uang lagi karena udah dicukupin sama mereka terutama pak Gio,” lanjut wanita itu pada Irene yang tampak bengong memproses yang seniornya katakan itu.

“M-maksud Cici? Deket? Main? Enak???” tanya Irene memiliki sejuta pertanyaan yang ada di benaknya.

“Ya hang out, liburan bareng, ngentot, dan lain-lain,” jelas Cynthia sabar melanjutkan menceritakan secara singkat hal-hal yang biasa ia lakukan dengan pria-pria di sampingnya itu.

Irene yang dengan seksama mendengarkan semakin terperagah dan mulai merasa pening karena tubuhnya makin memanas akibat mendengar penjelasan Cynthia, entah karena rasa malu atau sesuatu lain yang tak wajar.

“Jadi intinya Irene nanti bisa dibantu nyelesaiin permasalahannya sama pak Gio, dkk. Yang penting Irene mau nurut. Gimana?” tanya Cynthia lembut.

“Eh… Gimana ya…” jawab Irene terbata karena tak tahu harus menjawab apa.

Irene sendiri bukan seseorang yang 100% polos masalah seks. Sebagai remaja normal dengan hormon seks yang sedang memuncak, jelas ia penasaran banyak hal tentang seks. Ia beberapa kali saling bereksperiman hingga petting dengan pacarnya ketika SMA. Walaupun sejujurnya penasaran dengan seks, namun ketika diajak oleh pacarnya untuk melakukan hal yang lebih, Irene selalu menolak dan menahan diri dengan alasan menjaga keperawanannya untuk ketika menikah. Walaupun sering dilecehkan oleh penagih hutang, untungnya Irene selama ini bisa menghindari diperkosa dengan memberikan mereka sebatas oral seks. Untuk memuaskan kebutuhan biologisnya, selama ini Irene hanya melakukan sebatas masturbasi mempermainkan klitoris dan bibir kegadisannya menggunakan jari-jarinya sendiri. Namun apa yang diminta Cynthia saat itu membuat kepalanya pening dan keringat mulai mengembun di kulitnya.

“Tenang aja, cantik. Semua kebutuhan kamu pasti kita tanggung. Kita bakal lunasin semua utang kamu. Kita juga ada pengacara yang membantu kamu kalau orang-orang pinjol yang ngejar kamu bikin masalah. Masalah kuliah gaperlu dipikirin, kita bisa bantu tanggung sampai kamu lulus. Pokoknya kamu nurutin kita,” jelas Bima lebih lanjut sambil membelai kepala si gadis dan turun hingga bahunya.

Disentuh seperti itu membuat saraf Irene berontak membuat tubuhnya merinding dan kulitnya makin memanas. Ia melirik pria yang berada di kirinya itu tampak tersenyum. Ia memperhatikan seklias wajahnya yang rupawan dihiasi alis tebal dan rambut ikal, kulit eksotis kecoklatan, otot-otot lengannya yang terpampang jelas, dan otot dada yang tercetak tegas dari tanktop yang dikenakan pria itu. Tak luput pula dari lirikan gadis itu sebuah tato bersimbol a berada di antara bahu dan dada kanannya, di dekat lipatan ketiaknya yang menampakkan ditumbuhi rambut, tampak begitu jantan bagi Irene. Oh Irene, what’s suddenly wrong with your mind?, protes benak Irene. Sebaliknya, Bima dan Dimas juga memperhatikan paras cantik nan polos milik gadis peranakan berkacamata itu dan melontarkan pandangan menelanjangi ke arah tubuh Irene yang masih terbalut kaos pink dan celana jeans. Tak sabar mereka melihat apa yang berada di baliknya.

“Kita cowok-cowok gentle kok. Nanti kamu pasti ngerasain enak juga. Tanya aja tuh Cynthia,” lanjut Bima melontarkan rayuan iblisnya secara lembut merengkuh dagu si gadis agar menengadah ke wajahnya dan perlahan mendekatkan bibirnya ke gadis itu.

Tercium aroma bir dari mulut Bima oleh Irene. Tahu apa yang akan dilakukan Bima, secara refleks Irene memalingkan wajahnya menghindari bibir pria itu. Namun Bima kemudian mengalihkan sasarannya kepada tengkuk Irene yang kini jadi terpampang jelas. Bibir Bima yang mendarat di leher Irene membuat gadis itu tersentak kaget dan bulu kuduknya merinding. Meskipun awalnya terkaget, si gadis tak menarik tubuhnya. Malah terdengar refleks desahan pelan yang keluar dari mulutnya. Merasa mendapat penerimaan, tangan Bima bergerak meremas lembut payudara ranum si gadis dari balik kaosnya. Rasa gatal yang tidak seperti yang pernah ia rasakan selama ini perlahan muncul dan mulai menjalar dari bagian selangkangannya.

Dari sebelah kanan si gadis, Cynthia yang memperhatikan bahasa tubuh Irene menggenggam tangan kanan gadis itu untuk seolah memberi dukungan. Pikiran si gadis terpecah antara memilih menjaga kesuciannya dan mengorbankan masa depannya, atau mengorbankan kegadisannya demi menyelamatkan masa depannya. Dan dalam kabut dalam pikirannya akibat obat perangsang yang tidak sadari ia telah minum dari jus jeruknya dan pertimbangan bahwa ia sudah bertekad sejauh ini, Irene memilih menyanggupi tawaran mereka.

“Irene terima tawarannya, pak Bima,” ucap Irene pelan.

“Nah gitu dong, cantik. Kamu ga nyesel deh gue jamin,” balas Bima yang tersenyum.

By the way, panggil gue mas atau bang Bima aja biar lebih akrab.”





Tanpa lama nafas Irene mulai memburu akibat cumbuan Bima di wajah, telinga, dan lehernya yang membuat birahinya perlahan meningkat. Meskipun sudah mulai pasrah, gadis itu tetap saja memalingkan wajah setiap kali bibir Bima mendekati bibir ranumnya untuk diajak berpagut.

“Kenapa ga mau dicium, cantik? Katanya sudah ok. Masa dicipok ga mau. Ga akan gue gigit, haha…” tanya Bima terkekeh, heran dengan kelakuan Irene.

“Um… Ta-tapi kan pak—eh, mas—Bima kan bukan pacar Irene. Irene ga ada perasaan apa-apa sama mas Bimaa…” jelas Irene terbata dan tersipu karena salah tingkah, dan karena geli payudaranya diremas lembut dari luar kaosnya oleh Bima.

“Hahaha… Oke deh. Kita lihat nanti ya, cantik, kamu bertahan sampai kapan kayak gitu,” kata Bima yang terhibur dengan kepolosan si gadis. Dimas pun ikut terkekeh.

“Uuu… Ngegemesin sih adik cici satu ini,” kata Cynthia yang ikut tersenyum dengan kepolosan Irene, sambil mencubit lembut pipi gadis belia itu.

Satu persatu kacamata dan kaosnya perlahan dilepas oleh Bima, pria yang baru dikenal Irene sejak sore itu, hingga akhirnya tampaklah bra berwarna pink yang menyangga sepasang payudara berukuran 32B—ukuran standar bagi tubuhnya yang cenderung masih mungil dan belia yang tinggi dan beratnya Bima taksir menyamai Arina yang mungil saat sebelum hamil. Dengan cekatan Bima melepas kaitan bra si gadis itu menampakkan kedua gunung kembar si gadis yang dihiasi puting berwarna coklat muda yang sudah mulai menegang. Diremas lembut kedua bongkahan payudara gadis itu sebelum Bima melumat kedua puting gadis itu bergantian diiringi desahan si gadis yang birahinya mulai naik dengan pasti. Irene yang sedang terbuai cumbuan Bima melayangkan lirikannya ke Cynthia yang tersenyum bagaikan menyemangati.

Sambil menyedoti kedua puting gadis belia menggemaskan itu Dimas melucuti perlahan celana jeans gadis itu dengan salah satu tangannya. Tanpa aba-aba pria itu menyusupkan jemarinya ke celana dalam yang berwarna senada dengan bra yang dikenakan Irene untuk mempermainkan kelentit si gadis. Mendapat perlakuan seperti itu badan Irene semakin panas dingin dan tak berdaya. Nafasnya semakin memburu dalam buaian Bima hingga akhirnya tanpa aba-aba si gadis mengejang tanda ia mendapatkan orgasme pertamanya di malam itu hanya dengan sentuhan Bima. Cynthia yang mengerti adik angkatannya itu sedang mendapatkan orgasme, menggenggam tangan kanan gadis itu. Bima tersenyum puas mendapati gadis itu tampaknya tipikal yang mudah mencapai orgasme. Kemudian dengan sekali tarik ia melepas celana jeans dan celana dalam Irene yang sudah tampak basah penuh lendir bening yang keluar bersama orgasmenya. Irene yang malu-malu menjadi seseorang yang telanjang terlebih dahulu dari yang lain merapatkan kakinya untuk mutupi selangkangannya.

Sambil memberikan kesempatan si gadis untuk mengambil nafas, Bima segera melucuti seluruh pakaian di seluruh tubuhnya hingga terpampang tubuh atletisnya seluruhnya di hadapan Irene. Mata si gadis dengan malu-malu memperhatikan selangkangan pria dihiasi jembut yang tidak teralu pendek namun juga tidak terlalu lebat dihadapannya dan menemukan sebuah batang kejantanan yang tampak tebal berurat setengah tegang di depan mata Irene yang termenung memandanginya. Ia tiba-tiba cemas memikirkan bagaimana rasanya diperawani dengan kejantanan itu. Namun lamunannya dibuyarkan oleh karena Dimas tiba-tiba mengarahkan smartphone-nya ke arahnya, pertanda dirinya sedang direkam. Pria itu juga sudah telanjang bulat menampakkan tubuh gempal tertimbun lemak dengan kejantanan bersunat yang menurut Irene sama-sama tampak mengintimidasi.

“Eh, anu… Jangan direkam… Irene malu,” pinta Irene terbata.

“Sante aja sayang. Itu buat koleksi pribadi. Sama buat kita tunjukkin ke bos kita yang sayangnya gabisa ikut karena urusan kerjaan. Jadi anggep aja kayak audisi. Kalau Gio suka sama penampilan kamu, tinggal gampangnya aja lah nanti hidupmu. Hahaha…” kekeh Bima menjelaskan.

Irene yang semakin memerah wajahnya diam saja pasrah menerima nasibnya. Toh udah kepalang basah, batin Irene.

Setelah puas dengan sudut penggambilan gambar secara close-up, Irene memperhatikan Dimas memasang smartphone-nya pada sebuah penyangga dalam posisi horizontal di tengah ruangan, sehingga menyorot ke arah sofa. Setelahnya pria itu mendekati Cynthia yang berada di sofa sebelahnya. Dimas mulai melucuti sweater longgar milik yang Cynthia kenakan yang secara bersamaan wanita itu melepas sendiri roknya. Membelalak kaget ia melihat Cynthia yang masih mengenakan pakaian dalamnya tampak tubuhnya lebih berisi, payudaranya tampak penuh tersangga branya, dan yang paling mencengangkan adalah perutnya yang tampak membesar tanda bahwa wanita itu sedang berbadan dua.

“Eh, Cici?? Cici udah hamil? Udah berapa bulan, Ci? Kok ga bilang-bilang dari tadi?” tanya Irene tercengang yang menyadari itu lah sebabnya ia tadi pangling melihat Cynthia yang wajahnya tampak lebih bulat dan berpendar. Kulit wanita itu pun tampak lebih cerah merona.

“Iya, sayang. Udah masuk 5 bulan nih,” jawab Cynthia sambil mengusap perutnya yang sudah membuncit. Dengan terampil Dimas melepaskan kaitan bra Cynthia yang kini sudah naik menjadi 36D dan meluaplah payudara Cynthia yang dihiasi puting coklat matang dan kulit payudara yang makin meregang akibat bertambahnya sel-sel pembuat ASI di payudara wanita itu.

“Wah makin mantep aja nih teteknya mbak Cynthia. Saya udah kangen banget, hehehe,” kata Dimas sambil langsung menyantap payudaranya dan menyedot putingnya dengan keras.

“Aahh… Mas Dimas pelan-pelan, geliii…” desah manja Cynthia.

Irene hanya dapat menatap seniornya itu dengan pandangan tak percaya. Lima bulan? Bukannya tadi Ci Cynthia bilang kalau nikah baru empat bulan?, tanya Cynthia dalam hati. Namun tidak sempat berpikir lama karena Bima tiba-tiba menyodorkan kejantanannya di depan wajah si gadis, memintanya untuk memberikan seks oral. Irene yang masih malu-malu, memandang nanar batang kejantanan kekar setengah lemas di hadapannya itu. Perlahan gadis belia itu menggenggam batang yang terasa panas dan berkedut di tangannya, lalu dengan malu-malu ia mulai jilati ujung kulup pria itu sebelum memasukkannya ke dalam mulutnya secara perlahan. Semerbak aroma kelelakian tercium oleh Irene. Aroma khas keringat lelaki milik Bima yang memang belum sempat mandi selepas latihan sorenya tadi itu terasa begitu memikat bagi Irene dan membuat kewanitaannya semakin menghangat.

“Kenapa, cantik? Belum pernah lihat yang gede gini ya?” tanya Bima menggoda.

“I-iya mas Bima. Gede. Tebel banget…” jawab Irene mengangguk, salah tingkah, dan tersipu.

“Apanya yang gede dan tebel?” goda Bima tersenyum.

“P-penisnya,” jawab Irene terbata.

“Jangan bilang penis. Kalau titit cowok kamu boleh aja kamu bilang penis. Tapi ini punya gue namanya kontol. Sama kayak kamu punya memek, bukan vagina,” kata Bima vulgar. “Coba kamu yang bilang, cantik.”

“K-kontol mas Bima gede…” kata Irene malu-malu.

“Yang keras dong, sayang,” hardik Bima.

“KONTOL MAS BIMA GEDE. IRENE SUKA…” ucap Irene dengan wajah merona merah.

“Hahaha… Nah… Gitu kan lebih nggak kaku kedengarannya…” kekeh Bima.

“Ahhh… Irene sayang, enak banget sepongan kamu. Sering nyepong kontol ya?,” lenguh Bima sambil menggoda gadis muda yang mulutnya sedang penuh tersumpal kontolnya. Dengan cepat darah memenuhi batang kebanggaannya itu hingga membuat kontolnya membesar di mulut mungil si gadis yang berusaha untuk mengakomodasi tamu jantan yang perlahan mengeras itu. Secara seksama Irene memberikan kemampuan oral terbaiknya. Lidahnya saling meberadu dengan lubang kontol Bima, diikuti dengan gerakan melingkar mengelilingi kepala kontol pria tersebut. Tak lupa jemari tangan kanan Irene kerahkan untuk menggenggam pangkal kontol tersebut dan jemari tangan kirinya mengusap kedua zakar Bima yang terasa besar dan berat di tangan mungilnya.

“Udah dulu, cantik. Mas mau gantian ngerasain memek kamu,” ucap Bima sambil mencabut kontolnya dari mulut Irene setelah hampir sepuluh menit mengoral. Disuruhnya Irene duduk di pinggir sofa sambil ia angkat kedua kaki si gadis bagai membentuk huruf M. Dipandang Bima dengan nanar mahkota suci seorang gadis yang merekah di depan matanya itu. Belahan itu tampak basah merekah menampakkan lubang berwarna pink yang tampak masih sangat sempit karena memang belum pernah dijamah lelaki manapun. Kelentitnya yang mungil tampak mengintip malu di ujung atas bibir memeknya tampak jelas karena area pubisnya hanya memiliki rambut-rambut jembut halus yang masih jarang sekali tumbuhnya, dan jelas belum pernah tercukur. Melihat mahkota kegadisannya dipandang penuh nafsu oleh seorang pria di hadapannya, membuat wajah Irene merona merah tersipu.

Dengan perlahan Bima mulai membelai bibir memek si gadis perlahan dengan jemari kekarnya. Desahan mulai terdengar dari mulut Irene. Selanjutnya Bima mendekatkan wajahnya ke area intim gadis itu dan mencium aroma kegadisan khas yang menguar dari rekahan memek Irene. Kemudian pria tersebut melakukan jilatan panjang dari bibir belakang memek si gadis menuju klitoris dengan sekali sapu, yang diikuti desisan Irene yang birahinya makin memanas. Segera saja memek perawannya menjadi bulan-bulanan Bima yang paling jago menyedot memek itu. Sesekali pria itu mencoba memasukkan jari tengahnya ke mulut lubang senggama si gadis yang membuat si gadis makin belingsatan. Ketika tidak menggunakan jarinya, Bima menggunakan lidanya mendorong-dorong sebuah selaput tipis yang berlubang kecil milik Irene yang membuatnya resah oleh nafsu. Setelah beberapa menit menyedot lubang surgawi si gadis, Bima melihat gelagat Irene yang makin tak karuan dilanda birahi, memahami bahwa gadis itu mendekati klimaksnya.

“Ssshhh… Mas Bima… Irene ngga tahan… Lepas dulu mulutnyaaah…” desah si gadis yang tak digubris oleh Bima yang semakin mengunci rapat cumbuan bibirnya di bibir kewanitaan si gadis seolah tidak mau ada celah di antaranya.

“Udah lepasin aja, sayang… gapapa…” sahut Cynthia dari sebelahnya meraih jemari Irene. Gadis itu memperhatikan ternyata Cynthia juga sudah dalam keadaan telanjang bulat seperti dirinya dan sedang mendapat perlakuan yang sama dari Dimas yang menyedot klitoris Cynthia sambil mengobel memeknya menggunakan jari tengah dan jari manisnya yang tebal. Jika Bima memiliki kemampuan sedot memek yang handal, Dimas memiliki kemampuan kobel memek yang tak kalah handalnya.

Kemudian Cynthia melepasakan desahan panjang. Tubuhnya bergetar dan cairan menyemprot dari memek Cynthia membasahi wajah Dimas dan sofa di bawah mereka, menandakan Cynthia mendapatkan orgasme pertamanya malam itu. Melihat Cicinya pipis nikmat dan akibat serangan brutal mulut Bima, Irene akhirnya memutuskan untuk tidak mempedulikan mulut Bima yang tidak mau lepas dari kemaluannya.

“SSSHHH… IRENE KELUARRRHHH… AAHHH…” desah lantang gadis itu melepaskan orgasmenya yang kedua di mulut Bima yang disambut sigap dengan sedota kuat pria tersebut. Seluruh lelehan lendir kewanitaan gadis itu masuk dengan lancarnya ke mulut pria itu dan ditenggaknya habis. Tangan Bima dengan sigap memegangi pinggul si gadis yang tubuhnya bergetar hebat akibat orgasmenya. Setelah beberapa saat berlalu, Bima melepas bibirnya dari bibir memek Irene dan menyeringai puas.

“Gimana? Mantap, bang Bima?” tanya Dimas menyeringai.

“Memek perawan segerrr banget ga ada tandingannya dah!” jawab Bima lantang dengan wajah yang basah akibat perbuatan Irene yang wajahnya merah merona terengah mengumpulkan nafasnya.

“Cus eksekusi, bang!” ajak Dimas.

“Untung Gio ga di sini. Hoki banget gue bisa pecah perawan malam ini! Dimas, lo rekam gih gue lagi merawanin Irene,” perintah Bima semangat yang mulai merebahkan Irene untuk ia gagahi dengan posisi missionary.

“Siap!” dengan sigap Dimas mengambil smartphone-nya untuk merekam secara close-up ke arah selangkangan Irene dan Bima.

“Eh, bentar, mas Bima, Cynthia basahin dulu lagi kontolnya,” kata Cynthia yang tanpa lama melahap kontol Bima yang sempat mengering selepas dari kuluman Irene tadi. Walaupun memek Irene tampak basah akibat orgasmenya baru saja, Cynthia mengerti gadis itu membutuhkan pelumas sebanyak mungkin agar kontol besar Bima dapat memerawani kegadisan Irene. Oleh karena itu, Cynthia melolohi kontol Bima dengan banyak ludahnya.

“MPUAH… Nih, mas Bima, udah,” kata Cynthia melepaskan kontol Bima dari kulumannya. “Sayang, rileks ya…” lanjut Cynthia pada Irene sambil meraih tangan kanan gadis itu untuk ia genggam.

“Mas Bima pelan ya… Irene takut sakit…” pinta Irene ke Bima.

“Pasti sakit awalnya, cantik. Tapi gue bakal pelan-pelan kok,” balas Bima menenangkan sambil mengecup kening si gadis.

Kepala batang kejantanan berwarna coklat itu mulai menyeruak bibir memek Irene secara perlahan. Segera terasa di kepala kontol Bima sebuah penghalang yang menahan kontolnya untuk masuk lebih jauh, menandakan kepala kejantanannya membentur selaput dara si gadis. Begitu Bima mengerahkan segenap tenaganya menekan pinggangnya lebih kuat yang segera disambut lolongan kesakitan si gadis yang mencengkram lengannnya dengan jemari tangan kirinya. Terasa oleh Cynthia genggaman jemari tangan kanan si gadis yang sedang mengalami proses pecah perawan itu menjadi lebih kuat. Peluh mulai membasahi kening si gadis dan air mata meleleh dari sudut matanya. Bima yang juga mulai berkeringat semakin kuat mendorong pinggangnya hingga terasa sensai robekan bagai kondom yang robek di dalam memek si gadis.

“AAAHHHH… MAS BIMA, SAKIT…” tangis si gadis yang air matanya mengucur. Segera aroma amis darah sedikittercium oleh Bima yang dapat melihat dan merasakan darah yang mulai merembes dan mengalir dari sela kegadisan Irene yang baru saja ia renggut dengan kejantanannya.

“Anjing memek perawan ketat banget!!” sahut Bima yang kontolnya bagaikan mendapatkan sensasi jepitan kuat.

“Jangan gerak duluuu… Sakiiit…” rengek Irene lebih lanjut.

“Iya. Sabar ya, sayang. Gue diemin dulu ini,” sambil bergantian mengecup dan memainkan kedua payudara si gadis agar rasa sakitnya berkurang.

Edan! Mantap, bang Bim! Dapat kenang-kenangan bagus banget ini. Bos pasti iri, hahaha…” sahut Dimas terkekeh tiba-tiba, lalu kembali meletakkan smartphone-nya pada penyanganya dan segera kembali mendekati Cynthia.

Cynthia yang mengerti gelagat Dimas kembali merabahkan tubuhnya tanpa melepaskan genggaman tangannya dengan Irene. Dimas segera merenggangkan kedua kaki wanita itu, mengambil ancang-ancang di liang peranakan wanita itu. Tampak memek Cynthia merekah basah dihiasi jembut yang mulai melebat akibat tak dicukur semenjak perut hamilnya mulai membesar signifikan.

“Ahhh… Mas Dimas… Panas banget kontolnya…” desah Cynthia ketika kontol tebal Dimas mulai memasuki liang peranakannya.

Desahan Cynthia yang mulai digagahi Dimas terdengar oleh Irene di sebelahnya. Setelah lima menit berselang, Irene tampak mulai tenang, sehingga Bima mulai sedikit-sedikit menggerakkan pinggulnya.

“Mas Bima gerakin ya, sayang,” ucap Bima memberi Irene aba-aba yang hanya dibalas oleh rintihan si gadis yang merasakan ngilu dan perih di memeknya, namun tak menghentikan gerakan pria tersebut.

Lambat laun, rasa perih itu mulai memudar dan digantikan rasa panas dan gatal di relung cinta Irene. Cairan kewanitaan Irene mulai kembali melumasi dinding memeknya, bercampur dengan darah perawan dan cairan precum Bima, saling bekerjasama agar si gadis dapat menikmati persetubuhan pertamanya oleh kejantanan pria yang sesungguhnya. Tak lama, desahan mulai terdengar dari bibir ranum si gadis yang libidonya kembali dipicu naik oleh pria yang menggagahinya itu.

Di sebelah mereka, Cynthia sudah belingsatan di antara gempuran hebat Dimas. Tubuh mereka tampak mengkilap oleh keringat.

“Mas Dimaasss… Cynthia nyampeeek… SSSHHH…” teriak Cynthia diikuti getaran tubuhnya yang hebat. Tangannya yang sedari tadi tidak terlepas, makin erat menggenggam jemari Irene. Cairan cinta Cynthia meluber membasahi jembut dan selangkangan Dimas yang diam bertaut membiarkan wanita berbadan dua itu menggapai puncak keduanya malam itu.

“Ajib, mbak Cyn… Baru ditusuk bentar sudah ngecrit. Memek mbak Cynthia makin becek dan ngempot aja hamil-hamil gini… Ah…” desah Dimas memuji.

Tanpa melepas tautan kelamin mereka, Dimas menggeser posisinya menjadi di belakang Cynthia, membuat wanita hamil itu berbaring miring sehingga dapat melihat jelas di depannya tubuh Irene yang menggeliat bergetar di bawah tindihan tubuh besar Bima, pertanda gadis belia itu akhirnya mendapatkan orgasmenya yang ketiga malam itu, yang pertama dengan persenggamaan yang sebenarnya.

“NNNGGHHH… IRENE KELUAARRR…” jerit si gadis sambil makin menggenggam erat jari-jari Cynthia, menyiratkan ikatan tak kasat mata di antara dua perempuan yang mengalami nasib yang sama dipecundangi dua pria yang bukan pasangan mereka. Tubuhnya terasa dilolosi di bawah gempuran kontol Bima yang tidak mau mengendur meskipun ia merasakan remasan kuat liang kewanitaan yang baru ia renggut mahkotanya.

“Mas Bimaahh… Berhenti dulu… M-memek Irene ngilu,” pinta Irene terbata yang kewanitaannya sedang terasa terlewat sensitif. Melihat perempuannya kewalahan, Bima menghentikan sementara pompaannya.

Di sebelah Dimas sudah kembali menggagahi Cynthia secara menyamping dari belakang. Tampak kaki gempal berbulu milik Dimas menopang kaki kiri Cynthia. Lengan kiri pria itu ia selipkan ke bawah kepala Cynthia untuk wanita itu gunakan sebagai sandaran kepalanya dan tangan kirinya yang bebas ia gunakan untuk meremasi payudara besar Cynthia sebelah kiri. Tangan kanan pria itu ia gunakan untuk membelai perut hamil Cynthia yang mulai membesar. Sedangkan mulut Dimas bergantian antara mengerjai bibir ranum Cynthia atau menyucuki puting payudara kanan wanita itu yang sayangnya masih belum mengeluarkan ASI. Tampak dari sisi Irene, betapa erotisnya kontol perkasa Dimas dengan gagahnya keluar masuk memek Cynthia.

“Tangannya pegangan di leher, cantik. Kakinya juga pegangan di pinggang gue,” kata Bima membuyarkan tatapan Irene ke arah Cynthia. Gadis itu menuruti permintaan pria itu meskipun tak tahu apa yang akan dilakukan Bima.

“Ah! Mas Bima mau ngapaiinn…” pekik Irene yang tiba-tiba merarasakan tubuhnya diangkat dengan mudah oleh Bima.

“Udah nikmatin aja sayang, ama pegangan biar ga jatoh,” ucap Bima sambil menopang kedua bongkahan pantat gadis itu. Terasa sangat mudah dan ringan bagi Bima yang kekar berotot untuk menggendong si gadis. Irene yang menjadi bulan-bulanan keperkasaan Bima, merasa kejantanan pejantannya itu menusuk makin dalam ke relung kewanitaannya.

Tanpa menunggu lama, Bima mulai mengayunkan pinggulnya memulai pompaan ke memek si gadis yang lenguhannya kembali terdengar. Tubuh si gadis otomatis menempel makin rapat ke dada kekar pejantan yang mempecundanginya itu. Ditempel seperti itu membuat ego Bima makin melambung dan makin mengencangkan pompaannya di memek becek Irene yang meneteskan cairan cinta bercampur darah ke karpet ruang itu. Birahinya yang makin memuncak menjadikan gadis itu betina kepanasan menengadah menatap sayu mata pejantannya. Ditatap nanar oleh seorang gadis belia yang hampir ia pecundangi 4 kali malam itu, pria itu tiba-tiba melumat bibir ranum si gadis tanpa aba-aba.

Tak memprediksi gerakan pria itu, gadis itu membeliakkan matanya karena terkaget bibirnya akhirnya tertangkap bibir Bima. Namun dalam posisi tergendong dan birahi yang memenuhi sarafnya, Irene yang sudah tak dapat berpikir jernih akhirnya memutuskan untuk pasrah dan menerima pagutan mesra Bima. Sedangkan Bima yang dapat merasakan bibir Irene yang mulai rileks, pertanda penerimaannya, mulai berani mengajak gadis itunya beradu lidah. Perlahan lidahnya ia sapukan pada bibir si gadis, pertanda ajakan untuk beradu lidah. Meskipun Irene sebenarnya belum pernah melakukan french kiss, namun secara naluriah bibirnya membuka sedikit celah, pertanda penerimaannya. Diberi izin, perlahan lidah Bima yang telah ahli mengobok-obok liang memek itu pun mulai menyeruak masuk ke mulut Irene dan menunjukkan keliahannya mengolah lidah dan mulut Irene. Terasa bagi Bima teknik ciuman Irene yang masih lugu dan kuwalahan menerima serangan lidahnya. Gapapa, pelan-pelan pasti akan belajar dan terbiasa, batin Bima.

“MMMHHH…” tiba-tiba dengus nafas Irene memburu dengan lenguhan tertahan terasa pada wajah Bima. Tak lama menggendong Irene, terasa badan gadis itu bergetar dalam pelukan Bima menandakan klimaksnya yang ke-4 sedang melanda si gadis. Lenguhan dan desah nafas terlepas dari mulut si gadis, terasa sensual bagi Bima.

Bima yang merasakan remasan kuat untuk kesekian kali di kontolnya sudah merasa diujung klimaksnya sendiri. Tanpa melepaskan tautan kelamin dan lidah mereka, Bima rebahkan kembali badan si gadis untuk ia kembali pecundangi dalam posisi missionary karena sudah waktunya bagi Bima melepas benihnya. Terdengar dengus nafas Bima yang semakin berderu di telinga Irene. Pompaan cepat Bima di memek Irene membuat gadis itu meringis akibat sensitifnya area intimnya yang baru orgasme itu. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Bima melenguh dan memeluk erat Irene.

“NNNGGGGHHH… GUE KELUAR SAYANG… TERIMA PEJU GUE…” pekik Bima sambil dengan sekali tusukan panjang terakhir mengubur dalam kejantanannya hingga kepala kontolnya melesak ke pintu rahim Irene. Si gadis yang tidak siap tiba-tiba dikagetkan dengan sebuah sensasi semburan panas yang ia rasa di relungnya. Sensai pembenihan pertama yang ia rasakan tepat pada malam pertama persetubuhannya. Sedikit panik ia menggeliat di bawah dekapan erat Bima namun usahanya sia-sia karena ukuran tubuhnya yang mungil dibanding badan besar kekar Bima.

“Mas Bimaahhh… Kalau Irene hamil gimana…” tanya Irene lemah, polos, sambil membelai rambut ikal pejantannya yang tak menjawab karena sedang meresapi klimaksnya, menanam benihnya di rahim belia si gadis.

“Tenang… ajah, sayang… Cici udah masukin… morning after pill… ke jus jeruk kamuh… tadi…” ujar Cynthia dari seberang sofa sedang dilanda birahi tinggi hampir mendekati puncaknya yang kesekian di malam itu. Tampak posisi mereka sudah berubah menjadi reverse cowgirl. Semakin jelas bagaimana perut Cynthia yang membesar itu tampak berguncang menggairahkan di mata Irene.

“Saya mau keluar mbak Cyn!” kata Dimas dari bawah Cynthia yang tangannya bertumpu di dada bidang Dimas untuk menopang tubuhnya.

“Cynthia juga mas Dimasshhh… Yuk barengghhh….” pinta Cynthia makin belingsatan karena Dimas mempermainkan kelentitnya yang menegang.

“AAARGGHHH MBAK CYN… MEMEKMU ENAAAKK…,” lenguh Dimas yang kontolnya berkedut di dalam memek Cynthia.

“NNGGHHH… MAS DIMASSS… ANGEETT…” balas Cynthia dengan lenguhannya. Tubuhnya bergetar menerima sperma Dimas yang memicu orgasmenya.

Tampak bagi Irene pemandangan erotis seniornya yang ia kira polos itu sedang menggapai orgasme dihadapannya dengan kontol pria yang bukan suaminya itu menghunus perkasa membelah memeknya, pastinya mendesak mulut rahim yang berisi jabang bayi yang sedang tumbuh di baliknya. Kedua tubuh mereka mengkilap oleh karena keringat yang membanjiri tubuh mereka. Perlahan cairan putih kental meleleh keluar dari celah kewanitaan Cici-nya itu, mengalir ke zakar pria yang mempecundanginya itu hingga ke sofa. Sangat seksi, batin Irene, yang tiba-tiba dikagetkan oleh kejantanan Bima yang dicabut dari memeknya. Memeknya yang sebelumnya sangat penuh terasa kosong tiba-tiba. Dengan hilangnya sumbatan tebal di memeknya, melelehnya segala cairan dari liangnya itu. Campuran antara cairan cintanya, darah perawannya, dan peju Bima berwarna merah muda meluber dari lubang sempit Irene ke sofa kulit dibawahnya. Tubuhnya terasa tak karuan dibanjiri peluh yang bercampur dengan aroma kejantanan keringat Bima. Akhirnya ronde pertama malam itu dilalui oleh gadis belia yang baru saja digagahi dan dijadikan wanita seutuhnya oleh Bima.





Setelah ronde pertama di ruang tengah itu, mereka saling membersihkan diri masing-masing sebelum pindah ke kamar Bima, tempat mereka menghabiskan malam itu dengan mereguk kenikmatan duniawi. Di ranjang lapang milik Bima itu, dua pasang insan manusia berbeda jenis kelamin dan terpaut usia cukup jauh itu melakukan pertautan kelamin yang seharusnya sakral dalam ikatan pernikahan. Bima dan Dimas saling bertukar pasangan sehingga Irene juga merasakan disetubuhi oleh Dimas yang ternyata juga tidak kalah perkasanya dari Bima.

Kontol Dimas yang tidak sebesar milik Bima walaupun juga masih tergolong tebal terasa lebih nyaman di memek Irene yang baru saja diregangkan untuk pertama kalinya di malam itu. Dalam posisi berbaring dengan Dimas di atanya, Irene dapat merasakan betapa ia menikmati dijadikan wanita seutuhnya. Ternyata seks itu seenak ini, batin si gadis yang merasakan gerakan menusuk dan memutar kontol Dimas di liangnya.

“Mas… Dimas… Enak…” desah Irene.

“Hah apanya yang enak?” goda Dimas.

“K-kontolnya…” jawab Irene manja.

“Hahahaha… Sama dik Iren juga memeknya legit puol!” balas Dimas makin semangat menggenjot.

Tiba-tiba Dimas merengkuh kedua lengan Irene, menarik tubuh gadis itu agar terduduk. Dengan memposisikan tubuh si gadis sedemikian rupa, akhirnya kedua tubuh dua insan yang saling kontras itu saling berhadapan dalam posisi duduk. Kini tubuh kecoklatan Dimas yang besar tambun dalam posisi duduk menopang tubuh cerah mungil Irene yang melingkarkan lengannya di leher Dimas. Tentu saja kontol Dimas yang tegak perkasa tertanam sempurna dalam memek Irene yang mendudukinya, bahkan semakin dalam. Tubuh keduanya tampak berbalut keringat, terengah penuh birahi. Mata mereka saling menatap mesra. Tak ada status ikatan di antara mereka, namun tubuh mereka saling bertaut bagaikan kekasih. Dimas mendekatkan bibirnya pada bibir Irene yang kini tak lagi menolak untuk dipagut bagai kekasih. Dalam pertautan lidah mereka, terasa bagi Irene aroma kopi dan rokok dalam nafas Dimas, juga jambang yang menggelitik wajahnya. Bagi Dimas, terasa aroma lipgloss dan sisa-sisa jus jeruk. Segera Dimas menggerakkan pinggulnya, memulai kembali pergesekan nikmat antara kelaminnya dan milik Irene yang menyambut gerakan pejantan dengan lenguhan tertahan di sela-sela percumbuan mereka. Namun tak lama, Irene terperanjat mendengarkan percakapan Cynthia dan Bima yang bercinta di sebelah mereka.

“Kalau menurut kamu ini anak gue atau Gio, beb?” tanya Gio mesra sambil mempecundangi Cynthia dengan posisi spooning, seperti yang dilakukan wanita muda itu sebelumnya di ronde pertama dengan Dimas. Lengan kiri Bima menyangga kepala Cynthia dengan lengan Cynthia sendiri melingkar di leher Bima sehingga keduanya dapat saling bertatap mesra dan berpagut. Selain itu, posisi itu juga memudahkan Bima untuk mengolah payudara Cynthia yang kini tampak makin tumpah ruah sejak kehamilannya. Tak luput tangan kanan pria itu yang masih terbebas pun dengan lembut membelai perut hamil Cynthia dengan gerakan memutar.

“Mmmhh… Cynthia ga tau mas Bima… Yang jelas debay nya gamau diem kalau di rumah… Diemnya kalau lagi sama mas Bima atau pak Gioohh…,” jelas Cynthia di sela-sela pergumulan mesranya dengan Bima.

“Emang kangen bapaknya tuh kayaknya, hahaha,” kelakar Bima santai, tak mengendurkan pompaan kontolnya di memek Cynthia. Melirik ke sebelah, Bima mendapati ia diperhatikan oleh Irene yang tampak larut dalam birahinya sendiri. Tanpa kata-kata, Bima hanya melontarkan senyuman penuh makna tersembunyi kepada gadis itu.

Irene yang mendengar percakapan pasangan di sebelahnya, tercengang mendapati fakta bahwa jabang bayi yang dikandung Cici-nya itu ternyata bukan anak suaminya melainkan anak dari pria selingkuhannya. Bahkan belum jelas siapa bapaknya yang pasti. Namun ia sendiri tak dapat larut dalam kekagetannya mendapati fakta mencengangkan itu karena Dimas yang semakin agresif menggempur kewanitaannya. Ia dapat merasakan klimaksnya mulai mendekat.

“Mas Dimasshh… Irene mau keluarr… Aahhh…”

“Bareng, dik Iren!”

“AAAHHH… MAS DIMAAASSS…” tubuh Irene bergetar hebat dalam pelukan Dimas dalam posisi yang dikenal sebagai posisi lotus itu. Dengan erat si gadis memeluk tubuh Dimas dan wajah nya ia semayamkan di tengkuk pria itu untuk meresapi kontraksi nikmat yang terjadi di tubuhnya.

“AAHH! CUK! MEMEKMU NGEMPOT! MAS KELUAR, IREN! AAHH…” teriak Dimas. Diremas sedemikian rupa oleh otot-otot kewanitaan Irene, akhirnya kontol Dimas tak bisa berthan dan melepaskan cairan putih kental berisi puluhan juta benih suburnya telak di depan mulut rahim si gadis. Sayang Cynthia sudah mencekoki gadis belia itu dengan pil KB darurat. Jangan, masih kuliah, biarin dia ngejar cita-cita dulu, pinta Cynthia pada Bima dan Dimas. Bila tidak, benih pria berusia 32 tahun itu bisa berkompetisi dengan benih Bima dalam membuahi sel telur si gadis hingga memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi jabang bayi.

“Mas Dimas… Anget…” ujar Irene malu-malu, sambil mendengarkan dengus si pejantan yang baru saja menyemai benihnya di rahimnya. Dalam dekap panas Dimas yang penuh peluh, di dalam relungnya gadis itu pun merasakan kehangatan yang diberikan pria yang berusia 14 tahun di atasnya. Kenikmatan hakiki perkawinan jantan dan betina yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Malam ini baru pertama dalam hidupnya. Malam pertama yang penuh kesan.





Seusainya bercinta malam itu, Cynthia juga menceritakan pada Irene awal mula ia menjadi anggota kelompok seks itu. Ia bercerita kondisinya yang mirip dialami Irene dan akhirnya kakak kelasnya Arina yang mengajaknya melayani pria-pria ‘penjahat kelamin’ dan mengubah hidupnya selamanya. Dan itu yang juga akan terjadi pada Irene mulai hari itu. Satu persatu, Irene akan bertemu Arina beserta pria-pria lain dalam kelompok gelap nan laknat itu. Sedikit demi sedikit Irene akan beradaptasi dan menerima hidupnya sebagai pemuas nafsu mereka.

Mereka habiskan sisa akhir pekan itu di rumah Bima. Esok sorenya di hari Minggu, sesampainya Irene di kostnya dengan diantar Dimas, Irene mendapati tabungannya telah terisi uang yang dapat ia gunakan untuk melunasi hutang-hutangnya, membayar SPP, dan bahkan masih tersisa lebih dari cukup untuk Irene makan di restoran enak dan mahal demi merayakan ulang tahunnya ke-18 yang jatuh di hari Senin.

Happy birthday, Irene. You’re officially a woman now. And your life is about to change forever, ucap Irene dalam hati.


———

End of Chapter 7.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd