Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Dea, Your Lewdly Neighborhood [Season 2]

Untuk season berikutnya, enaknya gimana?


  • Total voters
    114
  • Poll closed .
Bimabet
Chapter 2 — Here's the Trouble, and Make It Double






Kalau saja aku bisa menyebut hal yang paling kusesali selama aku hidup, aku akan bilang berkali-kali, setiap waktu, dengan sepenuh benci, bahwa mengiyakan paksaan Laras untuk hadir di ekskul ROHIS adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Kalau saja tadi siang aku ga takut dengan ancamannya, dan lebih memilih pulang tepat waktu, aku berani banget untuk bilang, bahwa, aku ga akan mengalami nasib yang seburuk sekarang. Maksudku, apa yang lebih buruk dari terancam diperkosa oleh bapak tua yang ga kamu kenal sama sekali?

Saat tangan-tangan kasar si bapak ojol meraihku, aku bisa melihat kelebatan itu. Kelebatan dari rekap singkat seluruh kehidupanku. Aku ingat, waktu kecil aku sering diantar mengaji setiap mau maghrib. Oh, aku juga ingat tentang rasa bahagia saat baru bisa lancar naik sepeda. Aku masih ingat dengan jelas, rasa panik dan takut saat melihat darah mens pertamaku. Kemudian Umi datang, memelukku sampai aku tenang, lalu menjelaskan dengan baik tentang apa itu menstruasi, berikut pelajaran-pelajaran lain yang berkaitan dengannya. Aku... ingat, hal terpenting yang Umi bilang padaku, dulu: wajib hukumnya untuk menjaga keperawanan sebelum menikah.

Aku rasa... aku akan gagal di tugas itu, sekarang.

"Pak, Bapak... Bapak mau apa?! Pak, heh, Pak!" kataku, lirih. Meski masih terlalu lemas untuk berkata dengan lebih lantang, tapi kepanikan terasa jelas di tiap getar suaraku.

Badan lemasku pun hanya bisa menghalau ringan jamahan tangan si bapak, yang tentu saja, ga berhasil. Tangan-tangannya malah sukses bergerilya pada buah dadaku. Aku menyesali keteledoranku yang ga mau pakai bra saat ganti baju tadi, dan seakan mempermudah si bapak untuk lebih bebas meremasi bagian itu, meski masih terhalang kaos.

"Pak, jangan... Pak, nanti saya teriak! Beneran! Saya bisa teriak, loh! Pak, Pak! Jang—"

Aku benci mengakui ini, tapi begitu jari-jari si bapak mencubit kedua putingku, yang, baru saja dia temukan letaknya, ada sensasi tersetrum yang menjalar ke seluruh badanku dan memberi rasa ketagihan yang aneh. Aku tahu, aku tahu! Pikiranku menolak perlakuan mesumnya, tapi badanku justru merespon! Ini gila, sih. Sumpah.

"Heh, kenapa kelojotan gitu, Neng? Baru dipelintir gitu pentilnya, udah heboh aja," kata si bapak ojol, sambil menyeringai mesum.

Wajahnya yang ga akrab kukenali, sekarang tambah kelihatan blur di mataku. Oh, mungkin karena terhalang air mata yang mengumpul. Aku ingin menangis, aku ingin teriak, aku ingin bilang bahwa aku ketakutan, aku ingin orang ini menghentikan perbuatannya terhadapku. Tapi, aku merasa badanku sekarang mengkhianatiku dengan cara paling cabul yang pernah aku tahu. Tiap kali putingku dicubit, apalagi dipilin-pilin oleh jari-jari si bapak, badanku menggelinjang heboh akibat ga kuat menahan kenikmatan spontan yang berpusat di putingku, lalu menjalar dengan cepat ke seluruh badan.

"Mmmpphhh... hhh... hahhh...."

Aku berusaha menutup mulut sekuatnya agar desahan itu ga keluar. Aku berusaha sekeras mungkin menunjukkan kepada si bapak, kalau aku ga menikmati perlakuan cabulnya. Tapi makin kutahan desahanku, perlakuan si bapak makin beringas pada putingku. Dia semakin kasar memelintir putingku, dan anehnya, justru aku semakin suka dan merasa keenakan. Hingga akhirnya...

"Nngghhh... ooohhh... itu diapain, Paaaakkhhh... ge-geli... puting saya... kegelianngghhh..."

Desahan itu akhirnya keluar juga, dan aku ga percaya kalau aku bahkan bisa mengeluarkan desahan sebinal itu. Hal ini bikin si bapak senyum-senyum kegirangan. Dia pikir aku menyukai perbuatannya mainin putingku, dan kenyataannya, meski badanku menikmati, tapi hatiku engga! Aku sama sekali ga menikmati ini! Aku... aku...

"Ahhh... ooohhh... ngghhh... oohhh... ooohhh... a-ada... ada yang... aaa... aaahhh..."

Aku refleks menjepit pahaku saat perasaan nikmat yang bergulung-gulung itu kembali datang. Rasanya mirip-mirip dengan yang pertama, tadi. Aku merasa kemaluanku berdenyut-denyut heboh, dan tiap denyutannya justru membuat badanku ikut bergetar. Aku juga merasa ada yang keluar dari lubang kemaluanku, dan membuat celanaku tambah basah.

"Gila, cuma dimaenin teteknya aja bisa keluar si Neng! Berasa dapet duren runtuh, nih, gua!"

Euforia yang dirasakan si bapak ojol, justru berbanding terbalik dengan rasa lemas yang melandaku. Aku yang begitu lemas, jadi ga tau harus berbuat apa. Rasa rileks yang kurasakan setelah badai kenikmatan itu membuat rasa takutku menurun. Aku jadi ga terlalu panik lagi. Lebih ke... jadi lebih bodo amat, aja. Aku hanya ingin istirahat, karena rasa rileks ini membuatku mengantuk.

Aku cuma bisa menatap sayu saat tangan si bapak menyibak kaosku. Dia bersiul penuh kekaguman saat melihat sepasang buah dadaku, yang menurutnya besar, padat, mulus dengan puting berwarna pink cerah. Dimain-mainkannya bagian itu. Kadang dia goyang-goyangkan, kadang diremasi kuat-kuat, kadang ditampar-tampar ringan.

Aku semakin mengantuk, saat si bapak mulai mempreteli bajuku. Mulai dari kaos yang dia lepas, lalu dilempar ke lantai, lanjut ke celana kainku... dan... dan... sekarang dia mulai menurunkan celana dalamku. Semakin turun... melewati lutut... lalu... terlepas seluruhnya.

Sekarang, si bapak sedang menatap liar ke seluruh bagian tubuh telanjangku. Sementara aku terlalu mengantuk untuk mencoba menghalangi matanya dari melihat ketelanjangan ini. Kepalaku rasanya ga beres. Seperti berputar... pusing, pening, seperti semua hal yang kulihat dengan mataku sedang bergoyang sekarang. Semakin aku mencoba untuk melawan rasa pusing itu, semakin berat kantuk yang kurasa. Aku... sungguh ingin melawan. Aku ga ingin diperkosa. Tapi kenapa justru aku diam saja saat tangan si bapak merenggangkan kedua pahaku?

"Memeknya pink banget, Neng! Masih perawan nih, kayaknya. Bulunya juga baru tumbuh dikit. Duh, seger banget keliatannya." Si bapak, sekilas mengusap sisi bibirnya memakai lengan. "Jadi ngiler saya, nih."

Aku coba mengumpulkan lagi sisa-sisa akal sehatku. Aku, yang terlampau lemas ini, kini mencoba sekuatnya untuk merapatkan pahaku. Tapi si bapak menahannya menggunakan kedua tangan, dan aku ga punya tenaga lebih untuk melawan tenaga si bapak.

"Ngantuk ya, Neng?" Si bapak merangkak maju, mendekati wajahku. Dia merogoh kantong jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil. Dia... membuka botolnya, lalu mengarahkan mulut botol ke bibirku yang membuka. "Nih, saya tambahin lagi. Kali ini mah minum langsung aja, ga usah dicampur ke minuman. Biar efeknya lebih kenceng."

Tawa mengejek si bapak adalah hal terakhir yang kudengar, sebelum cairan dari botol kecil itu tumpah ke mulutku. Rasa cairan ini agak manis, tapi teksturnya kental banget. Sialnya, cairan itu justru kutelan habis bersama dengan liurku sendiri, karena aku begitu kehausan dan kerongkonganku kering banget sekarang.

Hal selanjutnya yang kuingat, adalah si bapak pergi dari kamarku, entah untuk apa. Sementara aku merebah di ranjang kamarku, berbugil ria, dan masih dengan kantuk yang mengganggu. Tepat saat aku sudah pasrah pada kantuk dan ingin tidur, rasa panas itu hadir lagi. Rasa panas yang langsung menjalar ke sekujur badan. Tapi kali ini rasanya lebih heboh dari yang tadi.

Aku yang ga siap dengan transisinya yang mendadak banget, malah jadi kebingungan sendiri. Pikiranku tiba-tiba diisi dengan hal-hal mesum. Aku bahkan jadi bergairah saat mengingat perlakuan si bapak waktu tangannya mencubit putingku. Aku juga merasa kegerahan. Aku berkeringat heboh. Rasanya panas. Badanku panas. Lalu... lalu... kemaluanku juga terasa panas, dan gatal. Rasa gatal yang membuatku ingin sekali menyentuh bagian itu. Lalu rasanya jadi makin intens. Makin heboh. Makin sulit kutahan. Tapi kenapa harus kutahan? Aku cuma perlu menyentuh kemaluanku agar rasa gatalnya hilang, kan?

"Hhhhhaaaahhh... oooohhhh..."

Tepat saat kusentuh kemaluanku, rasa gatal itu malah bertambah parah. Rasa gatal yang nikmat, memintaku untuk menyentuhnya lagi. Lagi. Lagi, dan lagi. Kutekan-tekan dan kugesek bibir kemaluanku sendiri karena aku jadi nagih dengan rasa gatal yang nikmat ini. Aku bahkan sudah lupa kalau, baru saja, aku habis digerayangi sama orang asing yang masuk tanpa izin ke rumah dan kamarku. Yang aku ingin sekarang cuma gimana caranya aku bisa terus dapat rasa nikmat dari menyentuh kemaluanku ini.

"Iyahh, iyaahh... enakk... ooohh... enak bangett... hahhh... haahhh... gila, gua ga pernah ngerasa... oohhh, ngerasa seenak ini, hhahh... hhhaaahh... ngghhh..."

Aku terus menggesek-gesekkan bibir kemaluanku, makin lama makin cepat, lebih cepat... lebih cepat lagi... hingga aku... aku...

"NNGGGHHHH... GUA... GUA... AHHH, AHHH, GUA PIPIS LAGIIII... OOOHHHH...."

Cairan bening seperti pipis keluar deras dari lubang kencingku, menyemprot heboh ke sprei, lantai, entah mana lagi. Badanku kembali bergetar hebat saat pipisku keluar, dan kali ini justru menikmatinya tanpa perlawanan. Kubiarkan pipisku keluar sederas-derasnya. Sampai habis. Sampai kusadari kalau sprei ranjangku sudah basah kuyup sekarang. Tapi aku ga puas. Aku ingin lagi. Aku ingin menikmati rasa keenakan saat kemaluanku digesek-gesek, dan saat aku pipis nikmat itu lagi.

Aku pun mengulangi hal yang sama. Lagi. Berkali-kali. Sampai si bapak kembali masuk ke kamarku, aku tetap melakukannya. Dan dia di sana, di ambang pintu, menatapku liar dan cabul.

Dan aku menyukainya.


———​


"Oohhh... Pak, ini gimana...? Ahh... ahhh... saya ga bisa... oohh, sshh... ga bisa berenti mainin... ahhh, ahhh... mainin memek saya..."

Aku menatap bingung pada si bapak, yang kini sedang asik menyaksikanku sedang menggesek-gesek kemaluan... maksudku, memekku sendiri. Iyah, memek. Kata si bapak, aku harus menyebut bagian itu dengan memek. Ga perlu canggung. Ga perlu malu. Menjadi vulgar justru malah bikin aku jadi lebih bersemangat.

"Ga bisa berentinya kenapa, Neng?" tanya si bapak, sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

"Ini enak bangettt... makin digesekin... makin enak! Saya ketagihan, Pak..."

"Yaudah, turutin aja kalo enak. Ga perlu berenti, ya kan?"

"He'eh," aku pun mengangguk, "ga perlu berenti... terus... oohh, ooohhh... nngghhh..."

Aku tahu ini terdengar gila, tapi sekarang aku malah nikmatin banget mainin memekku. Sudah ga ada rasa takut saat si bapak mendekatiku, seperti beberapa saat lalu. Aku bahkan merasa senang, saat bisa menunjukkan betapa aku menikmati sesi mainin memekku di depan si bapak.

"Neng, saya ikutan boleh, ga?" tanya si bapak, setelah membuang puntung rokoknya ke lantai.

Tentu saja, itu bukan pertanyaan. Karena kalau aku bilang ga boleh pun, si bapak akan tetap memaksa. Akhirnya, aku mengangguk, lalu lanjut mainin memekku. Aku bahkan menyodorkan buah dada... ah, maksudku, tetekku, ke si bapak untuk dia perlakukan sesukanya. Lalu aku melihat si bapak kini mulai membuka seluruh bajunya. Dia pun telanjang dalam sekejap. Badannya gemuk, dengan perut buncit dan kulit cokelat matang yang merata ke seluruh badan. Tapi... sesuatu yang menggantung itu... membuatku sampai menelan ludah.

Sebuah penis, dan ini kali pertama aku melihatnya langsung.

"Ini namanya kontol, Neng," kata si bapak, sambil memegangi batang keras berwarna hitam itu dengan tangan kiri. "Udah pernah liat kontol, belum?"

Aku menggeleng, tapi mataku ga bisa berpaling dari batang itu. Batang keras yang berurat dan menegang itu. Ukurannya kayaknya besar untuk kugenggam dengan tangan. Bener deh, ga tau kenapa, aku ingin banget megang... apa namanya tadi? Ya, pokoknya megang itu, deh.

"Kon... apa tadi, Pak? Ngghhh..."

"Kontol, Neng. Coba ulangin."

Ternyata namanya kontol, bukan penis. "Kontol. Ya, kan?"

Si bapak tersenyum puas. "Mau pegang?"

Tanpa menjawab, aku meraih kontol si bapak dengan tangan kananku, sementara tangan kiriku masih sibuk mainin memek. Saat kontolnya kugenggam, aku menahan nafas. Ada sensasi aneh yang membuatku makin bergairah saat memegang kontolnya. Daraku makin berdesir.

"Tangan si Eneng alus banget, sih."

"Suka, Pak?"

Si bapak mengangguk. "Kocokin kontol saya, Neng."

Aku tampak kebingungan mendengar intruksi si bapak. Tapi untungnya, si bapak sigap. Dia meraih tanganku yang sedang menggenggam kontolnya, lalu dia gerakin tanganku maju dan mundur, seperti sedang mengocok. Aku belajar hal baru, dan aku ga sabar ingin mengaplikasikannya sendiri.

"Ahh... iya, gitu Neng. Kocokin terus. Tangannya alus banget, Neng. Kontol saya keenakan dikocokin pake tangan sealus ini."

Mendengar pujiannya, aku jadi makin semangat ngocokin kontol si bapak. Badanku juga kugeser supaya makin deket ke pinggir ranjang, dimana si bapak lagi berdiri sambil keenakan karena kontolnya aku kocok-kocok penuh semangat. Sekarang, ujung kontol si bapak, yang keliatan kayak mulut kecil itu, berada deket banget dengan pipiku. Sesekali bahkan kontolnya sampai nyentuh pipi dan telingaku. Terus, aku jadi sadar kalau tiap kali kontolnya nempel, pipiku jadi ada cairan bening yang kental gitu.

"Ini... apa, Pak? Ahhh, ada yang keluar... nempel di pipi saya... nngghhh..."

"Itu... susah jelasinnya, Neng. Pokoknya kalo laki-laki terangsang banget, nanti kontolnya keluar cairan kayak gitu."

"Rasanya enak, ga, Pak?"

"Cobain aja, Neng."

Tanpa pikir panjang, aku langsung menjilati ujung kontolnya, tempat cairan bening itu keluar terus. Rasanya agak asin, tapi sejauh ini enak. Kok... aku jadi mau lagi, ya? Akhirnya aku ngejilatin kontol si bapak, lagi. Ujung kontolnya aku jilatin, sampai lidahku masuk-masuk ke mulut mungil itu. Si bapak menggelinjang geli tiap lidahku masuk.

"Neng, jilatin juga batangnya, dong."

Aku mengangguk. Jilatanku merambat ke bagian batangnya. Kubasahi batang berurat itu, sambil sesekali kukocok cepat. Kombinasi jilatan dan kocokan tanganku bikin si bapak ngerasa keenakan banget. Rambutku diusap-usap, dan aku dipuji karena pinter banget ngelayanin kontolnya.

Tapi entah kenapa, aku merasa ada yang kurang. Gesekan jari-jari di memekku sekarang rasanya sudah ga seenak tadi. Aku pun bingung. Aku ingin terus merasa keenakan. Tapi aku ga tau harus gimana lagi.

"Pak, nnnggg... memek saya gatel terus... tapi rasanya udah ga seenak pas digesekin. Hhh... gimana, nih?"

Si bapak tersenyum lebar. Dia meraih kedua sisi pinggulku, lalu dia tarik badanku sampai memutar, ke pinggir kasur. Sekarang, kepalaku berada di dekat tembok, dan kedua kakiku menyentuh lantai di sisi kasur. Pahaku mengangkang lebar. Sementara memekku bersentuhan dengan kontol si bapak.

"Eneng ngerasa gatel?" tanyanya.

Aku mengangguk, pelan. "Iyahh, tapi bingung yang paling gatel dimana. Soalnya memek saya gatel semuanya, Pak."

"Coba dirasa-rasain, Neng." Si bapak agak menekan kontolnya ke bibir memekku. "Apa gatelnya ada di dalem memek Eneng?"

Pertanyaannya membuatku sadar, bahwa memang benar rasa gatalnya seakan terpusat di bagian dalam memekku. Bagian yang ingin banget aku garuk, tapi ga bisa kujamah.

"Saya bisa garukin buat Eneng. Tapi garukinnya pake kontol. Gimana?"

Aku diam sebentar, berpikir. Umi bilang kalau ga jauh dari lubang memekku, ada selaput tipis yang berfungsi sebagai tanda kalau aku masih perawan. Kalau selaput itu dijebol, berarti aku sudah ga perawan, dong?

"Gimana, Neng, boleh ga?" tanya si bapak lagi, kali ini sambil menekan-nekan kontolnya ke lubang memekku. Jujur saja, rasanya enak banget saat kontol si bapak menekan lubang itu.

Aku ingin menjaga keperawananku, tapi rasa gatal yang berpusat di dalam memekku, ditambah sentuhan enak dari kontol si bapak membuatku ga bisa berpikir jernih. Maka...

"Iyah, Pak! Garukin aja. Garukin memek saya, Pak. Garukin pake kontol Bapak."

Satu kalimat itu seakan jadi persetujuan bagi si bapak untuk berbuat lebih jauh. Dia menggesek-gesekkan ujung kontolnya di sekitar lubang memekku, yang memang sudah basah banget dan licin. Saking licinnya, aku bisa ngerasain kontol si bapak lancar banget menggesek memekku.

"Masih perawan, Neng?"

Aku mengangguk, ringan. Tepat saat si bapak mulai menekan kontolnya memasuki lubang memekku, aku menggigit bibir.

"Tahan sedikit ya, Neng, kalo sakit."

Kontol si bapak masuk sedikit demi sedikit ke dalam memekku. Aku bisa merasa kontolnya memenuhi ujung liang memekku, lalu terasa mentok saat ingin masuk lebih jauh. Saat mentok itu, rasanya agak perih sedikit, dan membuat rasa panas bergairah yang menderaku jadi agak hilang. Tapi si bapak justru lebih memilih memaju-mundurkan kontolnya sampai sebatas bagian yang mentok itu. Dia melakukannya berkali-kali, sampai aku merasa sudah ga sakit lagi tiap dia memasukkan kontolnya sampai bagian yang mentok itu. Aku justru merasa keenakan dan nyaman saat kontolnya keluar dan masuk sekarang.

"Oohhh... Pak, kok enak? Padahal... tadi... ooohh... ngghhh... tadi sakit, lohhh..."

"Soalnya, hhhahh, haahh, memek Neng udah biasa sama kontol saya, nih. Masukin lebih dalem, ya?"

"Lohhh, ehhh... ini emang... belum masuk... semuahhh?"

"Baru pangkalnya doang, Neng. Hhh... saya pengen nembusin perawan Eneng, tapi takut Eneng sakit."

"Oohh... Pak, hhh... tapi yang paling gatel emang di dalem itu, Pakkkhhh..."

Si bapak langsung menindih badanku. Tetekku dan dadanya pun menempel erat. Dia juga merenggangkan kedua pahaku lebih lebar. "Saya masukin ya, Neng. Saya masukin... lebih dalemmm..."

Badan gemuknya yang menempel dan menindihku, justru membuatku merasa nyaman dan terlindungi. Kulit kami yang sama-sama telanjang bersentuhan dan bergesekan, menimbulkan sensasi tersendiri bagiku. Aku pun memeluk si bapak, sambil bersiap karena kurasakan kontol si bapak menekan lebih jauh ke dalam memekku.

"Neng, saya ambil perawannya... yaaa... nngghhh!"

Dalam satu kali hentakan, kontol si bapak amblas seluruhnya ke dalam memekku. Aku menjerit kaget karena rasa sakit yang tiba-tiba meradang di bagian selangkangan, tapi kutahan sebisanya karena aku ga diberi kesempatan untuk menenangkan diri. Si bapak, setelah berhasil menjebol keperawananku, justru malah memompa memekku dengan cepat. Rasa perihnya cukup membuatku agak sadar dari rasa pusing, tapi ga lama, karena setelah rasa perih itu hilang, kini berganti jadi rasa enak yang belum pernah kurasakan seumur hidup.

"Oohhh, ooohhh, ooohhh, enak, enak, enak, enak, enak, oohhh... nggghhh, memek saya... memek saya diapainnhh... oohhh, masuk... keluar... masuk lagi... iyahhh... enak, Pak... enak... ahhh, enakkk..."

"Sama, Neng! Saya juga... hahh, hahh... keenakan! Memek Neng sempit banget! Kontol saya... haduhh... ahhh... berasa lagi dipijettt...!"

"Terus, Pak... terus... memek saya dipompa terus... genjot terus... perkosa saya terus, Pak... ahhh, ahhh... ga nyangka... diperkosa ternyata enakkkhhh..."

"Suka, Neng? Hah?" Si bapak tiba-tiba menghujam memekku keras-keras, membuatku blingsatan dalam kenikmatan yang susah kuungkapkan. "Suka dientot gini? Suka, ga, dientot sama saya?"

Aku mengangguk, meracau sejadi-jadinya. "Suka banget! Ini rasanya dientot, iyahhh? Jadi namanya dientot, ya Pak? Terusinnn... auuhhh... gila, gila... kontol Bapak masuk dalem banget ke memek saya... gila, ini enak banget... entotin terus, Pak. Memek saya buat Bapak entot, emang!"

Si bapak tersenyum puas mendengar ocehan cabulku. "Di luar mah alim, ternyata kotor juga mulutnya, ya?"

"Ahhh... emang... mulut saya emang kotor, Pak. Tapi Bapak suka, kan? Ohh, oohh, oohh, ahh, ahh, yahh... yahhh... ahhh, ahhh...," aku pun mendekatkan mulutku ke telinga si bapak, "entotin terus... ayo, Pak! Kapan lagi bisa ngentotin perawan kayak... hhh... kayak saya. Memek saya udah nagih banget minta dientot terus... sekali nyoba jadi ketagihan... ga mau berenti!"

Mendengarnya, si bapak jadi makin cepat menggenjot memekku. Aku sudah ga bisa berkata-kata, hanya racauan, desahan dan erangan nikmat yang keluar dari mulutku tiap kali kontol si bapak menghujam dalam-dalam. Lalu, saat rasa nikmat itu makin intens, sensasi nikmat yang bergulung-gulung itu hadir kembali. Sensasi nikmat yang disertai rasa ingin pipis, yang aku ingin banget rasain lagi.

"Pak, Pak, Pak... saya... saya mau pipis, saya mau pipis, saya mau..."

"Iya, Neng. Jangan ditahan, pipisin aja. Ayo, Neng. Pipis aja, buruan!"

"PIPPPIIIISSSSSSSSSS—NNGGHHHHHHHH—OOOOOOOOOHHHHHHHHHHHHHHH... Keluar, keluar.... KELUAR PIPISNYA, PAAAAKKKK!!!"

Aku mengapit pinggul si bapak dengan kedua kaki, tepat sesaat sebelum aku mulai menggelinjang heboh. Lalu, pipisku menyemprot deras, kurasa membasahi kontol dan bagian selangkangan lainnya dari si bapak. Tubuhku bergetar hebat saat aku pipis, dan memekku jadi super sensitif hingga tiap gerakan yang menyentuhnya, membuat memekku jadi keenakan dan kegelian heboh. Parahnya lagi, si bapak ga berhenti saat aku sedang pipis. Dia tetap menggenjot memekku sekuat tenaga, membuatku merasa... merasa...

"PAK, BAPAK, SAYA PIPIS LAGIIIII—OOOOOHHHHHHH! GILA, GILA, GILAAAAAAAAA! EEENNNAAAAAKKKK BANGETTTTT, NGGGHHHHHHH!!!"

Tepat saat pipis susulanku, si bapak membenamkan kontolnya dalam-dalam ke bagian terdalam memekku. RASANYA HINGGA TERASA MENTOK KE UJUNGNYA! Lalu... lalu... ahhh, aku rasa ada cairan... hnnggg... cairan yang menyembur dari kontolnya ke... ke... ke memekku.

"Hhh... hhh... saya keluar, Neng. Saya keluar... saya keluar... hahhh... hahhh... hahhh..."

Kontol si bapak masih berdenyut beberapa kali saat dia menyemprotkan cairan dari kontolnya ke dalam memekku. Tapi aku merasa lemah. Terlalu lemah untuk terus merasakan kontolnya di dalam sana. Kesadaranku pun perlahan-lahan menghilang. Aku bahkan ga sempat berkata-kata. Yang kuingat terakhir kali adalah, wajah si bapak yang begitu dekat. Sangat dekat dengan wajahku.

Kemudian bibirnya, menciumi bibirku. Begitu liar dan basah. Lalu semuanya jadi gelap.


———​

Saat aku tersadar, aku langsung merasa ada kenikmatan yang meradang di bagian selangkanganku. Oh, ternyata si bapak sedang asik menggenjot memekku lagi. Aku ga tau ini yang keberapa kali, karena aku sempat tertidur tadi. Atau itu sebenarnya pingsan?

"Eehhh, ehhh... Pak... saya dientotin lagi, hhhmm?"

Si bapak, langsung menatapku sambil senyum cengengesan. "Iya, Neng. Saya mau pulang, soalnya. Sayang-sayang nih kalo ga ngentotin Eneng lagi."

"Oohh, iyahh... Pak, entot terus. Enak soalnya, Pak. Ahhh, ahhh, ahhh..," spontan aku memeluknya erat, "Bapak, ngghhh... jangan pulang... besok aja... ahhh, ahhh... pulangnya... ya?"

"Emang ga ada orang tuanya, Neng? Hhhah, hahh... nanti kalo ketauan, gimana?"

"Orang tua... sayaaaa... ahhh, pulangnya... hhhh... baru besok lusaaa... Pppaaakkk..."

Mendengar jawabanku, si bapak langsung mempercepat genjotannya. Memekku jadi makin keenakan saja. Dia bahkan meremasi tetekku kuat-kuat, sambil terus menggenjot memekku dengan liar. Aku pun dengan cepat langsung larut dalam birahi, meski baru saja bangun.

"Neng, Bapak mau keluar lagi, nih!"

"KELUARIN, PAK! KELUARIN! SAYA JUGA MAU PIPIS LAGI! SAYA JUGA... OOOOOHHHHH... MMMPPHHHH..."

"KELUAR DI DALEMMM, NENGGGGG!"

Cairan dari kontolnya kembali menyembur deras di dalam memekku, bersamaan dengan pipis beningku yang muncrat ga karuan mengenai area selangkangannya. Si bapak membiarkan kontolnya dulu di dalam memekku, lalu saat aku merasa nyaman karena ada benda asing yang mengganjal di dalam sana, dia tiba-tiba mencabut kasar kontolnya, dan membuatku merasa geli hebat hingga aku pipis lagi.

"Pppakk... geli... saya... pipis... ooohhhh..."

Entah sudah berapa kali aku pipis. Yang kuingat, pipis ini beda dengan pipis saat aku buang air kecil. Ada sensasi geli dan enak yang menjalar ke sekujur tubuh saat aku pipis dengan versi ini.

Setelah saling menenangkan diri dengan rebahan dan mengatur nafas, aku pun mengambil bajuku yang berserakan di lantai. Lalu aku bangun, bersandar pada dinding, dan menutupi badan telanjangku dengan baju. Aku menghela nafas, memandang kosong ke jendela.

Kehilangan keperawanan ternyata ga sesakit itu. Malah, justru aku menikmatinya. Aku ga ingin mempercayai ini, tapi memang itu yang aku rasa. Tapi ada rasa sedih juga, karena aku ga berhasil menjaga amanat yang Umi titipkan padaku. Padahal, selama ini alasanku menarik diri dari pergaulan antar lawan jenis adalah karena ingin menjaga keperawananku dan ga tenggelam dalam pergaulan bebas.

Tapi nasibku justru berada pada skenario terburuk. Aku diperkosa oleh orang asing, yang bahkan aku ga hafal namanya. Maksudku, namanya ada di aplikasi ojek online di HP, tapi serius deh, untuk apa aku menghafal nama orang ini? Maksudku, aku bahkan ga menyangka akan diperkosa oleh dia. Parahnya lagi, aku menikmati perkosaan itu.

Beneran, deh. Aku pikir aku adalah seburuk-buruknya manusia.

Pikiranku sekarang sedang kalut, tapi juga entah kenapa... ada rasa tenang. Gimana kalau aku jadi ketagihan? Gimana kalau rasa enak yang aku alami ini bikin aku jadi mau lagi dan lagi? Gimana kalau aku sudah ga bisa jadi diriku yang kemarin? Yang sebelum dinodai oleh bapak ini?

Tapi pikiran kalutku cuma bertahan sebentar. Karena ketika aku melihat kontol si bapak yang setengah tegang sedang merebah bebas, pikiran kalutku berganti jadi pikiran cabul. Saat pikiran cabul itu memenuhi otakku, badanku juga bereaksi dengan menghadirkan lagi rasa panas yang membuatku jadi... terangsang. Lagi.

Aku pun merangkak ke atas badan si bapak. Aku ga pernah belajar ini sebelumnya, tapi instingku menuntunku untuk duduk di atas selangkangannya. Lalu kutempelkan kontolnya ke bibir memekku yang masih basah, dan kugesekkan pelan.

"Eh, Neng... Saya masih capek, Neng."

Aku tersenyum kecil, lalu menggigit bibir. "Bapak tenang aja. Saya yang goyang. Kalo belum tegang juga, saya gesekin aja ke memek saya. Gapapa, kan?"

Bener, deh. Tiap kali kontol si bapak menggesek memekku, rasa gelinya buat aku menggelinjang dan ketagihan. Aku suka sensasi nikmatnya, dan aku punya firasat... bahwa aku akan ketagihan dengan segala hal cabul ini.


———​


Sayup-sayup suara kokok ayam, perlahan berbisik pelan di telingaku. Kesadaranku perlahan mengumpul. Kepalaku terasa berat dan pening, bahkan penglihatanku terasa berputar. Aku berusaha sadar sepenuhnya.

Kulihat jam di dinding. Oh, sudah pukul setengah enam. Kusibak tirai jendela, dan melihat suasana di luar sudah mulai terang. Ah... aku telat subuhan, sepertinya. Lagipula, aku harus mandi dulu.

Aku... kotor.

Kulihat kembali ranjangku. Si bapak ojol masih tertidur pulas di atasnya. Dengan kondisi telanjang pula. Entah sudah berapa kali aku memintanya menggenjotku semalam. Kayaknya, dia kecapean banget sekarang.

Aku pun mengambil HP yang ternyata kuisi dayanya dari kemarin sore. Aku membuka Whatsapp, lalu mengetik sebuah pesan, yang kutujukan ke wali kelasku. Berkabar bahwa aku ga enak badan dan mau izin sakit hari ini. Setelahnya, aku berlalu menuju dapur. Masih dengan bertelanjang bulat. Aku lapar, dan aku ga peduli soal baju.

Di dapur, kuambil semua bahan masakan yang memungkinkan untuk kumasak dengan cepat. Saat sedang memotong sayur, aku melihat gelas bekas teh manis hangat yang kubuat kemarin sore. Teh manis itu... kalau dipikir-pikir, rasanya agak aneh. Ada rasa manis yang ga biasa. Lalu setelah minum teh itu, badanku jadi panas, dan aku merasa terangsang banget.

Kuingat-ingat lagi. Semalam, aku juga diberi cairan aneh dari botol kecil milik si bapak. Aku coba merangkai petunjuknya, dan langsung sampai pada satu kesimpulan: aku telah diberi obat perangsang.

Aku pun mengangkat bahu.

Yah... ga seburuk itu, ternyata. Aku cuma kehilangan keperawanan, bukan nyawa. Lagian, ga sesakit itu. Malah enak. Jadi, ruginya dimana?

Aku kembali lanjut memasak, untuk dua porsi. Bapak itu perlu mengisi tenaganya. Karena habis ini, aku mau minta dia perkosa aku lagi. Atau, kalau akunya yang minta, jadi namanya bukan perkosa?


———​


"Neng, makasih banyak ya udah diijinin nginep," kata si bapak, sambil memakai jaket ojolnya.

Aku tersenyum ringan. Pikiranku langsung mengingat lagi sesi ngentot kami berdua dari pagi. Di ranjang kamarku, di dapur, ruang tamu, bahkan kamar orang tuaku. Dia juga mengeluarkan cairan putih kentalnya, yang kutahu belakangan namanya sperma—atau peju, dia menyebutnya, di dalam memek, di paha, perut, tetek, punggung, muka, dalam mulut, bibir, ketiak, bahu, lengan, bahkan betis dan kakiku. Bapak ini benar-benar punya stok peju yang banyak, kayaknya. Aku juga diajari banyak gaya ngentot, dan kupakai kesempatannya untuk belajar sebaik mungkin.

Aku mendekati si bapak. Kubelai dadanya, sambil menggigit bibirku dan berkata, "nginep enak, kan, Pak?"

Si bapak ojol cuma bisa tertawa lebar. Lalu kuantar dia sampai pintu depan. Si bapak pun menuju motornya yang terpakir di garasi, lalu saat sedang menghidupkan mesin motor, dia menengok kepadaku. "Neng, kalau...," dia menunjuk perutnya sendiri, beberapa kali, "...nanti hubungin saya aja, ya?"

Tentu, aku mengerti maksudnya. Aku pun mengangguk, pelan. Akan kupastikan kalau aku hamil, dia yang pertama kali kuhubungi. Tadi aku sempat bertukar nomor dengan si bapak. Oh, ya. Namanya Pak Jumadi.

Setelah Pak Jumadi pergi, aku menutup pintu. Kulihat lagi botol kecil yang sedari tadi kugenggam. Botol pemberian Pak Jumadi. Lalu kuingat lagi pesannya soal botol itu. Dia bilang, botol itu berisi obat perangsang yang dia beli dari kios kecil baru yang suka pakai nama-nama Chinese aneh dan menjual obat kuat dan lain-lain itu. Tadinya dia ingin pakai obatnya untuk mengerjai tetangganya yang sudah dia incar dari lama, tapi karena dia kesal karena, menurutnya, gara-gara aku dia jadi jatuh, jadi... ya... dia pakai padaku. Lalu aku jadi ingat, keteledoranku yang lupa mengambil gunting untuk plester roll, dan juga menaruh minumanku di samping minumannya, yang justru memberi Pak Jumadi kesempatan untuk menaruh obat perangsang pada minumanku.

Well... shit happen, sometimes.

Lalu, aku minta botol itu dari dia. Sebelum dia kasih, dia bilang, kayaknya ini termasuk obat keras racikan. Penjualnya mewanti-wanti, kalau satu botol kecil untuk tiga kali pemakaian. Untuk satu orang, cuma boleh satu kali pemakaian. Ga boleh dua kali pakai untuk satu orang yang sama, atau obatnya akan mempengaruhi saraf yang mengatur libido dan membuat orang yang mengkonsumsinya jadi gampang banget terangsang. Bahkan aku pikir, efek obatnya bisa lebih buruk dari itu, tapi Pak Jumadi ga cukup pintar untuk mengerti penjelasan si penjual.

Iya, aku tahu. Ini bagian brengseknya. Pak Jumadi pakai obatnya dua kali ke aku. Itu menjelaskan kelakuan binalku yang sulit diterima nalar dari semalam.

Aku pun tersenyum. Satu senyum yang... aneh. Senyum putus asa, tapi juga merasa bersemangat. Senyum dari orang yang tahu kalau satu babak dalam hidupnya sudah berakhir, tapi cukup terbuka untuk menyambut babak lainnya.

Jadi... ini idenya. Kalau sudah terjadi sekali, mungkin ga akan ada yang kedua kali. Tapi kalau sudah terjadi dua kali, gimana kalau bablas saja sampai tiga kali?

Aku membuka tutup botol itu. Bibirku membuka, menunggu cairan dari botol itu tumpah ke dalam mulutku. Saat beberapa tetes cairan itu memasuki mulut, tanpa ragu langsung kutelan. Lalu kubuang botol kaca kosong itu ke tempat sampah.

Aku kembali melucuti daster yang kupakai, kulempar asal ke lantai. Aku diam sebentar, merasakan sesuatu. Efek obatnya sudah mulai terasa. Aku hafal rasa panasnya.

Aku kembali tersenyum, sebelum kututup pintu kamarku.






Nympherotica♡
 
Dea yang liburan 2 minggu kok gak dilanjut gan?? Padahal keren loh..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd