CHAPTER XIII
Nama saya Siti, Pak
Dan Anggi pun memulai era baru. Dia secara resmi kini tinggal di rumah Pak Jayadi, seorang pejabat di Departemen Kehutanan. Sudah pensiun dan kini tinggal sendiri, dia ditemani sama Mbak Septi yang baru juga bekerja selama 6 bulan disini.
Pagi-pagi dia sudah mulai bertugas dengan menyiapkan makanan pagi, membereskan semua pakaian kotor dari Pak Jayadi, lalu membersihkan kamarnya Pak Jayadi. Kali ini Anggi benar-benar sudah merubah dirinya menjadi aseorang Siti Julaiha kembali.
Pakaiannya kini benar-benar seperti inem. Baju yang longgar, celana panjang piyama katun. Dia juga berusaha serajin mungkin dalam bekerja.
Namun dia suka merasa tidak nyaman dengan gaya Pak Jayadi. Orangtua itu wajahnya masam terus. Dia suka marah jika Siti menunggunya di depan pintu kamar mandi saat dia mandi atau buang air. Padahal itu bukan disengaja, karena pesannya Bu Iput demikian, takut bapaknya belum kuat paska operasi, dan juga mereka kuatir jika ada gejala stroke di bapaknya
“ngapain kamu nungguin disini?” bentaknya ke Anggi
“maaf Pak... takut bapak perlu bantuan...”
“saya masih kuat... ngga perlu bantuan kamu....”
Jika sudah demikian maka Anggi hanya bisa terdiam
Padahal dalam daftar tugas yang diberikan oleh Iput, salah satunya termasuk membantu memandikan, dan buang air jika diperlukan, termasuk menyiapkan obat, membersihkan kamarnya. Namun yang di terima kadang perlakuan kasar dari Jayadi.
Anggi berusaha untuk tetap melayaninya dengan baik, meski perlakuannya juga tetap tidak berubah. Kebiasaan Pak Jayadi ialah selain tidur, dia rajin keluar kini olahraga ringan. Karena sering kesemutan, maka Iput dan adik-adiknya kuatir ayah mereka menderita stroke ringan, apalagi dia memiliki riwayat kolesterol yang tinggi.
Meski demikian jalannya tetap masih sangat hati-hati, dan pengaruh operasi usus buntu itu juga membuat dia jadi sedikit banyak terbatas dalam bergerak. Namun tetap saja sombongnya dia yang lebih tinggi dari siapapun, dia merasa dia mampu dan kuat, tidak perlu bantuan dari siapapun.
Belum terbiasanya dia bekerja seperti ini tentu banyak hal yang dia kadang belum kuasai, dan itu tidak lepas dari omelan Pak Jayadi. Salah kasih obat saja langsung kena semprot. Kata-kata kasar dan sebagainya tidak jarang keluar dari mulut dia.
“dapat dimana sih perawat seperti ini??”
Atau
“ kamu matanya di pantat apa? Botol minum saya saja ngga kamu buang yang lama....”
Bahkan
“tolol banget sih.... kali ngga bisa kerja bilang dong....”
Semua anggi hanya bisa telan.
Dia kadang bicara dengan Septi, dan memang Septi juga sama, masalah masakan atau apa saja yang dia rasa kurang bagus seperti kurang bersihnya ruangan yang jadi tanggung jawab Septi, pasti tidak lepas dari omelan si pak tua ini.
Anggi sampai mulai berpikir untuk keluar saja setelah dia terima gaji. Balik kerja jualan tempe saja jika demikian, meski ada yang kasar tadi tidak sekasar mulutnya Pak Jayadi disini. Dia sampai suka jadi trauma, karena baru mulai kerja sebagai ART tapi sudah dapat cobaan sebesar ini dengan perlakuan majikan yang cenderung kasar.
Hingga suatu malam, karena dia salah memberi kaos untuk ganti malam harinya, dan juga sampah di kamar mandi yang belum diangkat, Jayadi marah besar. Maklum dia tipikal orang yang bersih, dia suka jijik jika masuk kamar mandinya terus ada tisu atau pampers bekas masih belum dibuang.
Anggi sampai keluar kamar dan menangis di kamarnya. Dia sungguh kaget diomelin dan dimaki maki oleh Jayadi sedemikian kasarnya. Dia merasa sudah bertahan sekian lama disini, sudah hampir sebulan dan rasanya tiap hari dia harus menghadapi situasi seperti ini rasanya tidak kuat lagi dia, apalagi dia melihat Pak Jayadi juga sudah mulai membaik.
Dia akhirnya mengirim whatsapp ke Bu Iput, dia menjelaskan bahwa dia akan keluar dari pekerjaannya. Alasannya karena orangtuanya meminta dia pulang. Alasan klasik ART untuk keluar dari pekerjaan.
Iput sudah menduga kejadian ini. Dia tahu masalahnya apa. Karena sudah bukan barang baru baginya, namun yang membuat dia pusing karena Septi sudah mengajukan duluan 3 hari sebelumnya. Pengganti Septi saja dia belum dapat, ini Anggi yang akan resign juga pastilah pusing dia.
Dia lalu besoknya datang malam harinya sepulang kantor. Dia mampir ke rumah orangtuanya. Dia langsung bertemu dengan Anggi lebih dahulu. Dia berbicara secara 4 mata, meminta agar Anggi membatalkan pengunduran dirinya, dia janji untuk bicara dengan ayahnya masalah ini, termasuk juga kemungkinan dia menaikan gaji Anggi dari 3,2 jadi 3,5 juta.
Karena bagi dia, Anggi bisa dengan cepat beradaptasi dan tidak bawel, berbeda dengan Septi yang banyak bicaranya dan sedikit-sedikit protes. Ditambah lagi dengan kelakuan Septi yang suka bicara dengan pembantu tetangga, dia kurang suka
“atau tidak, Mbak tunggu sampai saya dapat pengganti Septi yah....” bujuk Iput
“tolong yah Mbak....”
Permintaan dari Iput membuat dia luluh akhirnya.
Dan dari balik pintu dia mendengar bagaimana Iput menggas bapaknya sendiri....
“bapak kalau ngga mau diurus, kita biarin bapak sendirian disini......”
“sudah dibilang jangan kasar-kasar sama orang... ngga ada yang bakal betah kalau model bapak seperti itu... mereka itu punya hidup sendiri... bukan kayak Ibu... serba dengar-dengaran sama bapak....”
“kalau ini resign lagi karena mulut dan kasarnya Bapak, Iput ngga mau cari lagi penggantinya... bapak urus sendiri diri Bapak... Iput punya keluarga dan anak yang harus Iput urus juga...”
“nanti Malik aja yang urus Bapak....”
Jelas Jayadi berpikir panjang, karena Malik anaknya bontotnya memang musahan dengan bapaknya dari dulu. Mana mau dia mengurus bapaknya yang memang galak ke anak, dan juga kurang dekat dengan anak-anaknya dari dulu.
Tidak lama kemudian Iput pamit dari rumah, dia kembali menemui Anggi dan berpesan agar lebih sabar dan menunggu.
“bapak cuma karena sudah pensiun... biasa dikantor dihormati orang, kini ngga ada yang lihat dia, jadi wajar Mbak...." ujar Iput
“tolong saya yah Mbak....”
Akhirnya Anggi menyanggupi, meski dia masih kesal dengan perlakuan dan kata-kata Jayadi, tapi dia kemudian memilih untuk mengikuti apa yang disarankan oleh Iput.
“kepergian Ibu memang memukul sekali diri Bapak, ketergantungan dia terhadap ibu itu tinggi sekali.... jadi maaf yah Mbak....”
Anggi kemudian melanjutkan pekerjaannya seperti biasa, namun dia juga ikut mengkoreksi apa yang dia kerjakan, karena mungkin saja kerjaannya dia yang belum beres, makanya Pak Jayadi marah ke dirinya. Dia ikut memperbaiki diri, sambil berharap ada perubahan dari diri Pak Jayadi.
Septi akhirnya mundur dari kerjaannya,dan kini hanya Anggi dan Pak Jayadi saja yang tinggal di rumah itu. Dan sebagai gantinya, mereka menyewa khusus yang datang dua hari sekali hanya untuk beres-beres saja, dan bersih bersih. Makanan dipesan lewat catering, dan untuk belanja bulanan disupply oleh Iput langsung. Termasuk gajinya Anggi.
Dan memang ada perubahan dari diri Pak Jayadi setelah ditegur oleh Iput, apalagi sejak dia tahu Septi mundur dan juga Anggi berniat mundur, dia juga keder jika sendirian dirumah. Belum lagi jika benar Iput dan adik-adiknya tidak mau urus dirinya. Dia memilih untuk lebih tenang dan santai dalam menghadapi Anggi, mencoba meredam jika emosinya mulai muncul.
Anggi sendiri sebenarnya merasa lumayan nyaman bekerja disini. Setidaknya tidak tidak berpikir kontrakan, berpikir makan apa hari ini, berpikir mau laundry lagi. Semuanya ada dan dia tinggal makan. Dia juga tidak berpikir lagi untuk capai-capai jualan tempenya, nyepong berbagai model titit, sampai harus mengecek feed twiiter dan wa nya lagi.
Gajinya dia bisa dia kirim sebagian ke kampung, sisanya ditabung. Karena keperluan pribadi seperti sabun, shampo, bahkan softeks sekalipun sudah dibeliin oleh Mbak Iput. Pulsa telpon? Di rumah wi fi nya kencang sekali. Jadi rasanya asal Jayadi tidak mengomelinya karena masalah sepele, dia pasti betah.
Sebagai timbal baliknya, dia meminta ke Iput untuk mengehentikan biaya laundrian harian untuk bapaknya. Toh dirumah ada mesin cuci, dia yang memcuci baju Pak Jayadi, dan juga menyetrikanya. Bagi Anggi lebih mudah melakukan itu dibanding nyuci secara manual dengan tangan.
Tentu ini disambut baik oleh Iput.
Lalu Anggi akhirnya mengambil semua pakaian yang tersisa di kostannya. Barang-barang lain di titipkan ke temannya Fitri, dia kini fokus untuk kerja dan mulai hidup baru di rumahnya Jayadi sebagai ART lansia, dan tidak lagi berjualan di lapaknya di twit**ter atau whatsapp nya. Nomor lamanya pun dia ganti dengan nomor yang baru, agar pelanggan lamanya tidak mengontaknya lagi.
Sebagai gantinya, Anngi membeli secara online sebuah dildo dan vibrator untuk jaga-jaga jika dia sedang ingin bercinta. Setidaknya itu membantunya untuk swalayan, juga menghindarinya untuk balik lagi ke kehidupannya yang lama, karena bagaimanapun dia wanita normal, perlu dan butuh juga dilancrotkan.
“sinta....” suara Pak Jayadi dari kamar
Anggi segera masuk
“siti Pak.... nama saya Siti bukan Sinta....”
Jayadi hanya melongo sedikit
“oh oke, iya Siti.....”