Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
Hallo om Gee13, kami udh ngatjeng dari tadi pagi nih ... Sabun juga sudah ada tinggal nunggu di update
 
TEKAD YANG DIUJI

Pagi Hari Pukul 08.25


Firda: masih untung gak diperkosa lo, Na. Keterlaluan banget lo ih segitunya.
Mirna: ya enggaklah, kan ada laki gue. Mikir-mikir juga kali kalau gak ada laki, penampilan seberani itu.
Firda: Laki lo gak ada komentar?
Mirna: bengong aja dia. Gue juga gak ada nanya dia karena kita sedang marahan.
Firda: Ya ampun. Marahan ma suami, yang disenengin malah om-om. Baper berat si om tuh pasti habis lihat lemak-lemak lo.
Mirna: haha iya dong. Gue bahkan mau diajak jalan lagi hihihi
Firda: cieileh... awas nanti lo ikut kebawa baper malahan hahaha.
Mirna: Sorry, gaklah...
Firda: habis ini rencana lo mau ngerjain seperti apa?"
Mirna: Gue masih bete ma laki gue. Apa minta bantuan Pak Yanto ya untuk bikin dia ngerasain apa yang gue rasain?
Firda: Jangan, Na. Lo main api ke orang, jangan kebablasan, nyamber ke lo sendiri susah nanti mademinnya.
Mirna: terus harus bagaimana dong?
Firda: kalau lo mau ngerjain Pak Yanto ya kerjain dia aja, gak perlu diikut-ikutin tuk bales dendam lo ke suami. Gue rasa lo bisa berdua ma suami selesain, Na.
Mirna: iya deh, tenkiu ya, say.
Firda: Sami-sami bep. Terus si Pak Yanto mau dikerjain bagaimana lagi sih?
Mirna: belum tahu. Semalam gue teleponan ma dia loh
Firda: wah Apaa?!!! Mirna! Ishhh... laki lo tahu dong.
Mirna: kayaknya sih enggak, dia sudah tidur.
Firda: apa yang lo omongin malem-malem sama om-om?
Mirna: awalnya sih nanya aktivitas keseharian, tetapi ujung merembet ke seks. Biasalah itu bapak-bapak mesum.
Firda: terus?
Mirna: minta gue foto close up mau tidur.
Firda: dikasih?
Mirna: iyaa, satu foto.
Firda: Aduh, lo ya...
Mirna: cuman satu, say. Itu aku juga minta dia jangan disebar-sebar.
Firda: bukan masalah 1 atau 2, tetapi ya untuk apa juga kasih foto ke dia. Jangan-jangan bener mulai seneng ya?
Mirna: najong ih, karena iseng aja kok. Siapa tahu dia tambah kebelet kan, apalagi ditambah sama pose penampilan gue hari ini.
Firda: gue jujur gak terlalu paham apa yang lo harepin dari semua yang lo lakuin ini, Na. endingnya akan bagaimana?
Mirna: Gue kan dah bilang ke elo, gue pengen Pak Yanto balik ke istrinya, temuin istrinya, lampiasin birahi ke istrinya.
Firda: ya untuk apa kalau cuman itu yang lo mau? Kan itu dia baik-baik aja hubungan dengan istrinya.
Mirna: ya enggak ada masalah, tapi dengan dia udah punya ketertarikan ke gue pas awal ketemu, serta ada maksud terselubung, mengapa enggak gue kerjain aja tipikal suami-suami kayak begitu? Iya kan?
Firda: apa kabar suami lo?
Mirna: tunggu gilirannya. Hihihi.

Tatkala menemani Pak Yanto keliling kantor, memasuki ruang demi ruang sampai ke tempatnya akan menumpahkan tenaga pada hari Senin besok, aku membuka ponsel dan mengamati percakapan Mirna dan Firda. Cukup kertelaluan yang dilakukan istriku. Membangkitkan birahi seorang laki-laki, namun tak ada maksud membantu untuk menuntaskannya. Tak ada yang salah jika seorang wanita mengenakan pakaian seksi, itu hak mereka. Kesengajaan mengerjai seseorang dengan cara seperti itu, barulah polemik yang menimbulkan kesan tak baik. Kalau diriku yang mengerjai? Sebetulnya juga tak pantas, namun aku mengena sesuai arah tujuan. Membangkitkan birahiku sekaligus menuntaskannya. Hahaha egois? Iya.

Di tempat kerja, Pak Yanto banyak bertanya perihal pekerjaan yang akan dilakukannya, baik kepadaku dan rekan-rekan yang akan bekerja sama dengannya nanti. Tak luput, peraturan di perusahaan serta ketentuan yang berlaku kuberitahukan kepadanya, seperti jam bekerja dan istirahat. Ihwal gaji tak ditanyakan karena ia ketara yakin perusahaan ini akan memperlakukannya secara manusiawi.

"Kalau tahu begini, aku langsung tanya Pak Riko saja dari kemarin-kemarin"

"Ya namanya rezeki siapa yang tahu sih Pak. Mungkin baru ini ketemunya"

"Hehehe iya bener, alhamdulillah"

"Perempuan di sini cantik-cantik ya", ujar Pak Yanto. Kami berdua sedang duduk mengamati ruangan kerjaku yang menyatu dengan seluruh karyawan lainnya dari berbagai posisi tanpa sekat, sehingga kami bisa saling mengawasi satu sama lain.

"Maklum pak, bagian dalam, kalau luar tidak ada sama sekali. Panas-panasan"
"Hahahaha"

"Namanya kuli, pasti lelaki", Pak Yanto mengamati satu per satu wanita yang ada di ruang tempat kerjaku.

"Itu yang pakai hijab namanya siapa?"

"Yang di sebelah sana itu"

"Iya yang mengenakan hijab biru"

"Itu namanya Rani, dia bagian staf administrasi", Rani adalah istri dari seorang karyawan swasta perusahaan periklanan. Usianya 33 tahun. Ia bersama suaminya tinggal kos di Jakarta karena keduanya pendatang.

"Ooo..."

"Ada apa ya? Pak Yanto kenal?"

"Bukan, bening menggemaskan orangnya..."

"Hahahahahahha"

"Kuat betul Pak Riko di sini ya, atau jangan-jangan ada satu yang menawan hati?"
"Heheheh"

"Wah saya, istri satu saja sudah jauh cukup banget, gak perlu cari baru"

"Mulut boleh bilang tidak perlu, hati siapa tahu"
"Hehe"

"Hahahahahah"

"Engggh... Saya percaya, percaya kok... Kalau punya istri seperti Ibu Mirna, untuk apa cari yang lain lagi. Paket lengkap dia"

"Makanan kali pak, paket lengkap"

"Hahaha, bukannya bisa dilahap juga", ceplos Pak Yanto terbahak.

"Dicelup! kalau lahap itu temennya pecel"

"Woalah itu lalap!"

Aku mendampingi Pak Yanto sampai pukul 10.00 pagi. Aku turut membantunya berkenalan dengan karyawan-karyawan di sini. Mereka terkesima dengan semangat dan gairah Pak Yanto kala pria seusianya barangkali sudah lamban atau malas-malasan. Kemudian ucapan selamat mengalir, paras senyum terumbar, berharap Pak Yanto dapat memberi kontribusi signifikan bagi perusahaan. Guyon terlontar, menyongsong Pak Yanto dari partner kerjanya bagian gudang yang bersiap bahu-membahu angkat mengangkat. Ada yang sedikit ragu lantas meledek, ada yang yakin penuh, lalu memuji.

"Ini dia yang dicari-cari nih..."

"Masih kuat om? Sakit kita gak tanggung jawab yak? Hehehe"

"Asal jangan diadu otak saja, hehe", sahut Pak Yanto.

"Kalau adu otak, kita saling kalah-mengalah"
"Panco saja bagaimana?"

"Hayuk, Siapa takut...."

"Hohohohoyyyy uhuuuuyyy prrriit prittt", bagian gudang bergemuruh ketika Pak Yanto menyanggupi tantangan panco dari salah satu karyawan.

"Sudah, sudah, ini masih jam kerja, bapak-bapak..."
"Pak Yanto juga ke sini belum waktunya kerja, baru senin besok", teriak diriku.

"Hhhhuuuuuuuuuuuuu"

"Selamat datang di sini Pak Yanto, semoga betah-betah ya. Tentunya kehadiran bapak di sini pastinya akan sangat membantu kita".

"Sama-sama, saya juga mohon dibantu beradaptasi"

Setelah perkenalan dan kunjungan singkat ke perusahaan, Pak Yanto pamit. Padahal aku ingin mengajaknya makan siang bareng. Namun, dia sungkan karena lagi-lagi tak mau terlalu merepotkanku. Ditambah ia khawatir akan muncul pandangan sinis apabila kami terlalu dekat. Pak Yanto mau cara dan hasil bekerjanya dinilai murni. Alhasil, aku hanya memasukkan selembar merah ke saku celana pak yanto sebagai bekal pulang walau lagi-lagi ia menolak, tetapi aku tetap mendesak sampai mau diterima. Di samping itu, Aku mengatakan kepadanya apakah ia sibuk hari Sabtu besok karena aku mau mengajak Pak Yanto olahraga bersama.

"Hati-hati pak!!"

"Iyaaa!"

=Y=​

Kemacetan sore hari merupakan hal lumrah yang sudah biasa kuhadapi. Enaknya bisa diresapi ketika sudah tiba di rumah. Mandi, makan malam lalu lekas istirahat. Lagipula, tak ada percakapan lanjutan dari istriku kepada Pak Yanto atau Firda. Aku beberapa kali memeriksa dari jam istirahat siang hingga sebelum beranjak meninggalkan kantor. Tak ada sahut-menyahut di akun WA milik Mirna. Aku bisa tenangkan pikiranku, tetapi tidak fantasiku yang terus bergejolak, hilang-timbul menuntut direalisasikan. Aku berupaya mengabaikan, justru bertambah rasa penasaran. Entah kapan titik terang itu benar-benar menjadi nyata di depanku.

Menginjakkan kaki di rumah, usai memarkirkan sepeda motor di perkarangan halaman. Aku duduk di bangku teras sembari melepas alas kaki. Sayangnya, kembali Mirna masih mempertahankan kekesalannya karena ulahku kemarin. Ia tak muncul menyambut kedatanganku. Aku pasrah menghela nafas lelah, barangkali dapat meringankan langkahku berjalan masuk.

"Isssh jangan pegang-pegang, kalau begini kapan aku masaknya"

"Masaknya nanti saja, saya lagi gemesh sama kamu"

"Bentar lagi Mas Riko, pulang.."
"Pak Yanto pulang giih..."

"Baru pengen temenin kamu masak, sudah disuruh pulang"
"Ayoo saya temenin"

"Temenin ya temenin aja, jangan ada acara pegang-pegang"

"Itu enggak sengaja. Hehehe"

"Gak sengaja tapi diseriusin"

"Bukan diseriusin, tapi keterusan"

"Sama ajaah ihh...."

"Kenapa gak pakai baju yang tadi?"

"Udah basah kena keringet"

"Loh, keringet habis ngapain?"

"Kan seharian di rumah, bersih-bersih, tidur siang"

"Eengggghhh..."

"Jangan macam-macam mikirnya..."

"Kamu loh yang bilang seperti itu"

"Kok aku, Pak Yanto dong"

"Tuh kan makin gemes saya, pengen meluk"

"Jangan! Inget istri!"

"Hehehhehehe, kalau gemes sama kamu lalu harus apa?"

"Ya enggak harus apa-apa"

"Kirimin foto seksi kamu"

"Udah kemarin malam, jangan meminta, memaksa, cukup!"

Kudengar suara sepasang pria dan wanita yang sudah tak asing bagiku. Makanya, aku sedikit menguping sambil duduk di teras. Suaranya terdengar dari jendela kamar. Barangkali pintu kamar terbuka. Aku bangkit, berjalan berubah mengendap-ngendap, mencari tahu siapakah yang sedang bercengkerama di dalam rumah. Salah satunya jelas Mirna, istriku. Satunya lagi. Aku seperti kenal betul dan belum lama bersua.. Sepasang suara itu berasal dari dapur. Aku tidak mau mengusik dua sejoli itu. Siapa tahu mereka sedang bermesra-mesraan sebagaimana percakapan keduanya.

"Wah Pak Riko sudah pulang, hehehe. Ini si ibu manggil saya katanya kompor di rumah tidak menyala, itu kenapa saya mampir ke sini"

AH KETAHUAN!
"Emmmm, sudah menyala?", tanyaku memerhatikan reaksi terkejut Pak Yanto. Ia yang mengenakan celana pendek hitam dan baju kutang putih mengambil langkah menjauh dan mendatangiku. Mirna tak terkejut sama sekali. Ia yang sudah tak berpenampilan sensual seperti pagi hari, tetap saja tak mengubah imej bodinya kendati mengenakan baju kaos lengan panjang dan rok selutut.

"Sudah, pak"

"Baguslah..."

"Karena sudah tertangani, Saya pamit dulu"

"Terima kasih ya Pak Yanto", sahutku kecewa karena gagal membiarkan Mirna dan Pak Yanto asyik berdua.

"Iyaaa..."

Tiba-tiba Mirna berteriak memanggil,"Paakk, jangan pulang dulu!"

"Ada apa lagi ya?"

"Kemari.....", panggil Mirna mengisyaratkan Pak Yanto agar kembali ke dapur. Aku mengekor Pak Yanto, mencari tahu ada masalah apalagi dengan Mirna.

"Minta tolong ambilin belanjaan saya ke Bu Aminah, pagi tadi aku udah titip ke dia untuk masak makan malam"
"Pak Yanto nanti temenin saya makan malam di sini, ya?"

"Enggak usah, Bu. Saya bisa belii sendiri"

"Makan di sini aja, saya lagi butuh temen. Emang Mas Riko aja yang punya temen ngobrol sampingan"
"Mau ya pak?"

"Hehehe", Pak Yanto terkekeh tampak bingung sambil mengamati wajahku yang hanya melongo tak memberi respon. Ia juga tak berani ambil keputusan, sekedar menurut.

"Ya sudah tolong segera ke sana Pak, keburu makin malam"

"Iya, baik"

Pak Yanto berangkat dengan segaris senyum, berbalik badan melewati parasku yang tak bisa dibacanya. Kemudian aku menghampiri Mirna, ingin berdamai dan membangun suasana enak dan harmonis seperti biasa.

"Kamu masih marah?"

"...."

"Aku bertanya dijawab dong, sayang. Mau sampai kapan kamu diem terus?"

"Sampai kamu enggak chat-chatan sama si Yanti itu...", jawab Mirna meninggalkan dapur.

"Itu kompor menyala, jangan ditinggal"

"Biar kebakaran aja sekalian, supaya kamu tahu panas perasaanku seperti apa"

"Hhmmmm...", Mirna masuk ke kamar. Aku mematikan kompor seraya mematung meresapi semua yang telah kulakukan. Setelah pekerjaan kantor selesai, aku menghadapi persoalan lagi di akhir pekan ini. Padahal, ingin istirahat dan bersantai. Situasi terjadi justru sebaliknya.

Aku menghindari berbantahan dengan istriku. Itu sudah berlangsung sejak kami menikah, bukankah pria lebih sering mengalah dan wanita selalu benar? Daripada konflik makin tambah gerah, aku tak mau menyangkal segala kekesalan Mirna kepadaku. Aku terpaksa menunggu reda hingga ia mau melunak dengan sendirinya.

Di ruang tamu, Aku menyandarkan diri ke sofa. Aku ragu-ragu masuk ke kamar karena ada kemungkinan Mirna menghindar lagi, sedangkan aku hanya mau berganti pakaian. Oleh karena itu, aku memutuskan bersandar dulu saja sembari menyingkirkan penat sesaat.

"Kamu mau ke mana?", tanyaku menatap Mirna yang tiba-tiba keluar dari kamar.

"Mau makan di luar, malas masak kalau ada kamu di rumah", jawabnya ketus.

"Sudah, biar aku yang di luar saja"

"Tuh kan mau kelayapan kan? Mau cari kesempatan..."

"Enggak, enggak ada maksudku begitu"

"Yaudah kamu di sini saja, tungguin rumah"

"Terus kamu mau ke mana?"

"Enggak perlu tahu. Anggap aku sedang meminta kamu pikirin janji yang dilanggar", jawab Mirna menggapit dompetnya, ia bergerak mengambil alas kaki di rak.

"Jangan pulang malam-malam sayang"

"Aku enggak seperti kamu! Gak usah sayang-sayangan dulu", sahut Mirna. Aku menjadi serba salah sekarang. Perlahan-lahan aku memandangi Mirna yang keluar lalu menjauhi rumah. Suara azan Maghrib melepas kepergian istriku. Apakah aku harus mengikutinya? Emmm. Tak bagus waktunya. Lebih baik aku masuk ke kamar sekarang. Lagipula bisa dengan leluasa, tak perlu mencemaskan Mirna mengeluh. Bisa mandi lalu segera istirahat atau beli makan malam untukku dan Rengga yang belum pulang. Namun, pikiran tetap berat.

Tatkala hendak menutup jendela kamar yang nyaris belum terkunci rapat, Pak Yanto justru muncul. Ia baru datang menenteng belanjaan yang dititip Mirna kepadanya untuk diambil dari Bu Aminah. Aku kira Mirna bertemu dengannya di tengah jalan. Ternyata tidak.

"Terima kasih Pak, maaf ya Mirna sedang keluar"

"Keluar ke mana?"

"Kurang tahu juga. Mungkin mau menunggu"

"Oh tidak usah, saya kasih ke Pak Riko saja, saya lebih baik pulang. Makan di rumah. Masa apa-apa saya menumpang dengan Pak Riko. Hehehe"

"Ya sudah bagaimana baiknya", ucapku yang sebelumnya sedang rebahan terpaksa menemui Pak Yanto di teras depan sekaligus menerima belanjaan Mirna darinya.

"Kalau tidak ada lagi, saya mohon pamit, pak"

"Mariii, silakan.. besok jangan lupa ya pak yanto"

"Saya usahain"

=Y=​

Malam Hari Pukul 19.00

Pak Yanto: mengapa tidak jadi makan malam?
Mirna: tiba-tiba gak mood.
Pak Yanto: pasti kesal lagi dengan Riko ya?
Mirna: gak perlu tahu
Pak Yanto: hhhmm...
Mirna: belanjaan yang aku titip bagaimana?
Pak Yanto: saya kasihkan ke Riko.
Mirna: Pak Yanto makan malam bersama Riko?
Pak Yanto: ya enggak, katanya kamu enggak ada di rumah. Suruh nunggu. Mending pulang.
Mirna: oh enggak mau menunggu.
Pak Yanto: enggak ada pikiran seperti itu. Karena sudah malam, belum mandi, dan sudah bau apek. Ya lebih baik pulang.
Mirna: mengapa enggak balik lagi?
Pak Yanto: enggak ada kabar dari kamu. Saya mengira tidak jadi.
Mirna: besok bapak ada kegiatan?
Pak Yanto: ada. Menemani Riko olahraga. Kamu ikut kan?
Mirna: olahraga? Engghh....
Pak Yanto: semoga ikut. Supaya saya bersemangat hehe.
Mirna: olahraga masa karena aku.
Pak Yanto: enggak salah kan sebagai salah satu alasan.
Mirna: olahraga apa?
Pak Yanto: mungkin catur 🤗
Mirna: ya pasti aku enggak ikut.
Pak Yanto: Saya belum tahu.

Santap malamku ditemani Rengga yang sedang menanyakan kapan Mamanya pulang. Kami berdua memakan pecel ayam bersama kebetulan aku menitip ke Rengga yang berada dalam perjalanan pulang ke rumah.

"Mama pulang kok, agak malam"

"Mama lagi di mana?"

"Enggak kasih tahu"

"Kamu tanyain juga", ucapku penasaran.

"Emff... di rumah Tante Firda"

"Ooo... syukurlah"

"Ada apa Paaa? Papa dan mama lagi berantem?", tanya Rengga dengan raut heran.

"Enggak apa-apa cuman berantem kecil-kecilan, biasa orang tua. Kalau berantem begini, justru nantinya makin tambah sayang"

"Berantem kok malah bisa bikin tambah sayang, aneh", timpal Rengga berkelakar.
"Berantem itu malah bikin gaduh! Itu baru bener!"

"Terserah kamulah. Nanti kalau sudah menikah, kamu merasakannya sendiri"

"Belum punya pacar, sudah disebut menikah"

"Nanti!", sahutku sedikit jengkel.

Kemudian aku kaget Mirna meneleponku. Aku karut harus menjawabnya atau tidak. Kalau dijawab hanya lanjut mengeluh. Kalau tidak, ah sama saja. Aku modal yakin dan percaya, tak perlu risau.

"Ada apa sayang?"

"Mas, aku mau minta maaf sama kamu..."

"Emm...."

"Cuman aku minta untuk terakhir kali ini, jangan sekali lagi kamu berhubungan dalam bentuk apapun dengan Mba Yanti"

"Iya"

"Karena kalau sekali lagi kedapatan, aku enggak main-main akan nuntut cerai dari kamu"

"Iya sayang, aku juga minta maaf", balasku berdegup-degup jantung. Namun, sedikit bertanya-tanya mengapa bisa mendadak begini Mirna meminta maaf. Apakah yang telah merasukinya?

"Sama satu lagi, aku minta untuk terakhir kalinya, buang jauh-jauh soal fantasi kamu ingin aku disetubuhi pria lain dan segala sesuatunya yang buruk terkait hubungan kita secara jasmani dan batin"
"Setuju?"

ADDDUUUUHHHH
"...."

"Halo Mas? Bagaimana? Setuju?"

"Iya, setuju"

"Aku harap kamu ingat dan catat betul apa yang aku barusan bilang. Semoga setelah ini hubungan kita lancar sehat dan tak ada kurang sesuatu apapun"

"Iyaa sayang. Aaaamiiin"
"Kamu, kapan pulang?"

"Aku masih di rumah Frida, aku mau nenangin diri dulu"

PUPUS SUDAH!

.........................................
 
Bimabet
napa pikirann ane jadi menerawang ya wkwkwkk, mirna tetiba minta maaf, trus bilang mo cerai klo fantasy nya tetep mnta di lanjutin, kesannya kayak si mirna lagi menyembunyikan sesuatu......apa si mirna tau klo si riko nyadap chat nya ya? jadi biar ga ketauan si mirna mnta maaf sama riko, ato bisa jadi buat alibi mirna biar bisa deket2 an ama pak yanto alias kentang
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd