Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas) Ayu majikan yang menikahi pembantunya ( cuckold)

Bimabet
Darimana aku harus mengawalinya?

Ya, ingatanku di malam itu perlahan muncul.
Delapan .... tidak, mungkin sepuluh tahun yang lalu.

Lucu, tapi semua kisah ini sungguh berawal dari sebatang rokok.

Lagi-lagi malam ini tidak berlalu sebagaimana mestinya. Sudah berapa wanita panggilan yang kupakai buat petualangan seksualku namun tak pernah berhasil. Tua, muda, murah, mahal, tetap tak kudapat perasaan yang kucari dari mereka semua.

Saat aku berjalan keluar dari hotel dini hari kala itu, aku berhenti di samping lampu parkir mencoba menghidupkan rokok milikku. Sialnya korek yang kupakai saat itu macet. Aku pun hanya bisa menengadahkan kepalaku ke atas dengan rokok yang masih berada di bibirku lalu melempar korek milikku ke dalam tong sampah.

"Nih!"

Aku menoleh ke dalam kegelapan, remang-remang kulihat seorang wanita yang tengah merokok menyodorkan korek miliknya padaku.

"Makasih," jawabku singkat dan menghidupkan rokokku sebelum mengembalikan korek itu pada pemiliknya.

Kami berdua merokok dalam diam, berdampingan dimana aku berdiri di bawah cahaya lampu sementara dia di balik kegelapan. Remang-remang cahaya memperlihatkan sedikit wajah manisnya, rambut pendek dan kacamata membuat aura elegan seolah memancar dari dalam dirinya.

"Sendirian?" tanyaku.

"Iya, nunggu jemputan," jawabnya.

"Oh, emang mau kemana?"

"Ke Jalan Patimura, Perumahan Ciputra."

Cukup jauh juga jaraknya dari sini, pikirku. Di pagi buta seperti ini apakah masih ada Grab yang beroperasi?

"Grab ya?" tanyaku membuka kembali pembicaraan kami.

"Ngga .... ssshhhh fuuhhh .... dijemput temen ...." jawabnya singkat sambil mengembuskan asap rokoknya. Sepanjang pembicaraannya, wanita itu tak sedikitpun menoleh ke arahku.

Kuputuskan untuk mendampinginya sebentar, setidaknya sampai rokokku habis. Namun, belum lima menit dia sudah gelisah dan menelpon seseorang menggunakan ponselnya. Aku memandangi raut wajahnya yang tadi tenang berubah sedikit cemas.

"Aku pulang ke Jalan Diponegoro, masih searah. Mau ikut?" tanyaku sambil mengeluarkan kunci mobilku.

Dia memandangku sesaat lalu menarik satu hisapan terakhir dari rokoknya. "Yuk!"

Satu jawaban singkatnya yang menyetujui ajakanku membuatku sedikit terkejut. Ada apa dengan gadis ini pikirku, tidak terlihat sedikitpun rasa takut dalam dirinya saat memasuki mobil pria asing yang belum tentu mengantarnya sampai rumah. Bagaimana jika yang berdiri di sampingnya saat ini bukan aku, apakah dia masih akan memberikan jawaban yang sama?

"Sssshhhh fuuhhh .... Adrian, panggil aja Rian." Aku menghisap habis rokokku lalu mengulurkan tangan berkenalan padanya.

"Lidya," jawabnya singkat dan menjabat tanganku.


BAB VII : JURNAL RIAN


Lidya Eka Wulandari


Sepanjang jalan kami tak bicara sepatah katapun. Dengan suasana traffic yang tidak terlalu ramai aku bisa sedikit tancap gas menuju tempat Lidya.

Suasana perumahan itu cukup sunyi, ada beberapa jalan yang rusak namun sebagian besarnya sudah diaspal.

"Nanti belok kiri pas di depan tiang listrik sana, blok ke dua," ucap Lidya memecah keheningan.

"Siap, bos," jawabku singkat, dia hanya terkekeh kecil lalu mengalihkan kembali pandangannya ke luar jendela.

Aku pun berhenti di depan rumahnya. Lampu teras masih gelap, kelihatannya tidak ada orang di rumah.

"Mampir dulu," ucapnya singkat, dia pun turun dari mobilku dan membuka pagar rumahnya. Lalu jalan terus membuka pintunya.

"E-Eh?" pikirku, aku bingung, sesaat setelah dia masuk ke rumah dan menghidupkan lampu terasnya, dia tak kembali lagi ke luar. Lima menit aku menunggunya namun tak kunjung juga datang.

Aku pun memajukan mobilku dan masuk ke dalam rumahnya. Kututup kembali pagar, lalu kukunci mobilku.

TOK! TOK!

Kuketuk rumahnya dan wanita itu pun datang membuka pintu, yang ternyata tidak dikunci.

"Loh, masih di luar?" tanyanya.

Ceroboh sekali perempuan ini, pikirku. Pagar ditinggalkannya terbuka, pintu tidak dikunci, belum lagi mengundang laki-laki masuk ke rumahnya, kalau kami ditangkap basah warga dalam keadaan seperti ini, bagaimana nantinya?

"Permisi," ucapku saat memasuki rumah itu. Kututup pintunya lalu kukunci.

Kulihat dia tengah sibuk mengambil beberapa benda yang berserakan di lantai. Nampaknya wanita ini tinggal sendirian pikirku.

"Kamu ngga takut gitu, ngajak orang yang baru dikenal masuk rumah? Kalau tiba-tiba aku penjahat, gimana?" tanyaku heran.

"Oh, kamu penjahat 'kah?" tanya Lidya balik.

"Ya, bukan sih."

"Kalau gitu ya udah."

Aku mengernyitkan dahiku. Jawaban macam apa itu? Dia tampak percaya diri sekali. Entah mengapa sesuatu dalam dirinya terasa unik sekali, berbeda dari semua wanita yang pernah kutemui.

"Lagi ngga ada apa-apa, mau minum?" tawarnya, sambil membawa sebundle kaleng pilsener dan kacang kulit.

"Lid, aku kayaknya ...."

"Mau pulang jam segini? Besok pagi aja sekalian. Pulang sekarang nanti dibegal di jalan baru tahu rasa." Dia membuka kaleng pilsener itu lalu meneguknya sambil memutar CD musik.

Aku pun melepaskan jaketku dan duduk di lantai di bawah sofa. Meski terlihat dingin di awal namun Lidya cukup menyenangkan diajak bicara. Baik itu masalah sosial ataupun asmara, dia selalu nyambung dengan topik obrolanku.

"Terus itu kerjanya ngapain?" tanyanya saat kami berbicara soal pekerjaanku.

"Ya, nawarin orang bikin akun di perusahaan kita gitu, buat trading. Nanti dari setiap keuntungan trading itu kita dapat persenannya," jawabku.

"Kek tukang tipu," sahutnya, aku pun tertawa mendengarnya.

"Bukan la, ini 'kan forex ya, beda la sama yang abal-abal itu. Kalau forex tuh 'kan produk bentuknya kek dagang juga, kalo ...."

"Ah, udah-udah, ngga ngerti juga dijelasin panjang-panjang," potongnya, kami pun meneguk lagi bir itu dan diam.

"Tadi nunggu jemputan siapa? Pacar?" tanyaku, dia diam memandangi kaleng pilsener.

"Iya," jawabnya singkat.

Raut wajahnya berubah sendu, menandakan topik ini bukan topik yang bagus. Sepertinya dia sedang ada masalah dengan orang itu, pikirku. Aku pun bergegas mengganti ke topik lain.

"Lagunya .... bagus ya ...." ucapku, dia tertawa remeh lalu menyandarkan pipinya di lututnya sambil memandangiku....memberikan satu senyuman manis padaku.

[ Press 'Listen in Browser' ]


Cantik sekali, ucapku dalam hati.

Rasanya tubuhku begitu panas, entah karena pengaruh alkohol atau karena aku terpikat keelokan wajahnya.

Instrumen musik dari pemutar CD itu terasa begitu lembut, suara penyanyinya terdengar amat merdu di telingaku. Pandangan Lidya menyiratkan seolah dia memerlukan aku di sini malam ini. Mungkin hanya perasaanku, mungkin dia hanya ingin berterima kasih karena aku sudah mengantarnya, tapi .... dia tidak mengusirku bukan.

Aku pun mendekatinya hingga Lidya mengangkat kepalanya. Ditengah pengaruh bir aku menuju wajahnya dan mencium bibirnya, tidak seharusnya aku melakukan ini, jika dia teriak di sini habis sudah perkara, karena terlalu berani dan terlalu bodoh itu memang beda tipis.

Tapi dia tak melakukannya.

Lidya hanya memejamkan matanya diam, menikmati kecupan bibirku padanya. Kami berpagutan, hanya bibir, tanpa saling menggelayutkan tangan ke leher masing-masing. Begitu emosional rasanya hatiku dibuatnya, musik dari pemutar CD kala itu bersama dengan seorang wanita di tengah kesendiriannya.

Aku tidur di sofa dengan bantal dan selimut yang dia berikan hingga lagu itu tak terasa telah berakhir disertai dengan pagi yang perlahan muncul.

Semenjak itu, aku dan Lidya mulai sering bertukar pesan. Tak jarang kami makan siang atau dinner saat kerjaanku sedang luang. Sesekali kami berdua juga clubbing bersama dan pulang dalam keadaan mabuk berat.

Apa hubungan kami saat ini?

Entahlah. Lidya tak putus dengan pacarnya. Tetapi dia juga jarang memberitahukan kehidupan pribadinya padaku. Aku tak terlalu mempermasalahkannya.

Mungkin hanya teman, lebih dari itu, betapapun aku menginginkannya sepertinya mustahil. Dia bukan tipe wanita yang tunduk pada pria lain, dia begitu mandiri dan kuat. Namun aku tahu jauh di dalam hatinya, Lidya merasa amat kesepian dengan hidupnya.

Sudah tak terhitung berapa kali aku menginap di rumah Lidya. Tetangga kelihatannya tak begitu ambil pusing. Jarang interaksi sosial terlihat di komplek ini, masing-masing dari mereka kelihatannya sibuk dengan urusan masing-masing. Lalu pacar Lidya? Aku juga tak mengerti, kelihatannya pria itu tidak pernah mampir setiap aku kemari. Lidya juga nampaknya tak pernah bilang pada pacarnya kalau aku menginap.

"Ngga ada makanan gitu buat di rumah?" tanyaku, melihat kulkas miliknya, isinya hanya bir, minuman bersoda, juga kacang dan coklat, hanya ada telur dan bawang bombay yang merupakan bahan makanan di dalam lemari pendingin itu.

Kubuka penyimpanan beras miliknya, terlihat berasnya sudah berdebu dan ada beberapa kutu di sana. Perlu berkali-kali aku membasuhnya hingga kutu-kutu dan debu beras itu bersih sepenuhnya, selesai dengan itu kumasukkan beras yang sudah kucuci ke dalam rice cooker lalu kumasak.

Sambil menunggu nasi matang, aku mengambil semua telur di dalam kulkas, memecahkannya, dan mengaduknya dalam mangkuk. Kucek lemari dapur, ada garam yang kelihatannya sudah mengkristal di dalam wadahnya akibat jarang dipakai. Kucek tanggal kadaluarsa sachet merica dan penyedap rasa yang kutemukan, nampaknya masih bisa dipakai.

Saat nasi di rice cooker matang kukeluarkan dan kudinginkan sesaat, selagi aku mengiris bawang bombay. Setelah semua bahan selesai aku pun memasak nasi goreng yang biasa kubuat sendiri di rumah kala aku malas keluar.

Lidya datang ke dapur mengambil satu kaleng bir lalu membukanya di sampingku.

"Bisa masak ternyata?" ucapnya sambil meneguk bir itu sedikit.

"Iyalah, sama-sama hidup sendiri mah harus bisa ginian," balasku.

"Cocok jadi suami rumah tangga," lanjutnya sedikit tertawa, aku pun tersenyum balik lalu menyentil dahinya, membuat wanita itu mengaduh.

Aku meminum sekaleng bir lagi memandanginya yang menyantap masakanku dengan cukup lahap.

"Enak masakannya," ucapnya.

"Iyalah, 'kan bikinan suami rumah tangga," balasku tertawa remeh.

"Becanda aja, Yan. Jangan dimasukin ke hati .... urghh .... ehm ...." Dia bersendawa sebentar sebelum lanjut makan.

Tidak menggambarkan sosok wanita pada umumnya, pikirku.

Malam itu kami merokok dan ngobrol panjang lebar lagi. Kaleng demi kaleng minuman beralkohol kami tenggak hingga sama-sama mabuk berat, dari situ obrolan sudah mulai berubah sedikit intim.

"Pacar kok ngga marah aku ke rumah, Lid?" tanyaku dengan wajah panas.

"Dia .... Ngajakin nikah .... Aku ngga mau .... Dia marah .... Kita marah .... Aku salah apa coba, Yan?" ucapnya sepotong demi sepotong sambil mencengkeram kerah kemejaku, bau alkohol dari mulutnya menyeruak masuk dalam indra penciumanku.

"Ya 'kan bagus nikah. Masa .... uhhh .... pacaran mulu," jawabku menahan pusing.

"Ya 'kan aku belum siap .... Nikah .... Aku masih mau hepi-hepi .... Ngga boleh apa aku nikmatin masa muda dulu?" Dia tampak menangis, kurasa Lidya berubah emosional karena mabuk.

"Udah, udah, jangan nangis," balasku sambil membantu melepas kacamatanya dan menghapus air mata dari kedua pipinya.

Dia memandangku manja saat jariku perlahan menyentuh bibirnya. Tiba-tiba dipagutnya bibirku dengan begitu agresif, yang sontak kubalas dengan nafsu yang sama.

Kami berdiri, tanpa melepas ciuman kami, Lidya menarikku menuju kamarnya. Dihempaskannya tubuhku ke dinding kamar lalu diciumnya dengan ganas, kedua tangannya melonggarkan kancing demi kancing kemejaku lalu menariknya lepas.

"Shhhhh .... Ahhhhnnn .... Liddd ...." Aku mendesah nikmat saat ciumannya turun ke putingku dan memainkan lidahnya di sana.

"Berisik, Yan! Jangan keras-keras kalo mau kukasih enak," ucap Lidya ketus, membuatku bergidik mendengarnya.

Suaranya bak menstimulasi suatu perasaan asing dalam diriku. Aku pun mencoba meremas dadanya dari luar pakaiannya namun dengan kasar dia menepis tanganku.

"Jangan pegang-pegang ah, jijik aku!" ucapnya kasar.

Darahku berdesir mendengar kata-kata kasarnya. Rasanya aku terangsang dengan perbuatannya yang begitu mendominasi diriku. Meski sama-sama mabuk namun dia seolah jauh lebih kuat dariku.

"Sssshhhnnn .... Emhhhh .... Hhhhh Hhhhh Uhhhhh ...." Aku menggeliat keenakan saat dia menghisap kuat puting kananku dan memelintir keras puting kiriku dengan jemarinya, rasa sakit dan horni begitu bergejolak dalam dadaku.

Didorongnya aku ke ranjang, lalu ditarik lepasnya celana dan celana dalamku. Aku sudah tak mengenakan sehelai benang pun di hadapannya sementara wanita itu masih berpakaian lengkap.

Dia merangkak ke belakangku dan duduk memeluk punggungku. Lidahnya menjilati leherku, tangannya memainkan kedua putingku, sementara kedua kakinya mengapit batang kejantananku dan mengocoknya.

"Ssshhhh .... Uhhhhhhh ...." Rangsangannya pada tubuhku membuat pikiranku melayang, ketika batang kejantananku tegang kakinya dengan cepat menekannya keras, membuatku mengaduh kesakitan dan membuat benda milikku kendur kembali, saat penisku mengecil dia melanjutkan merangsang tubuhku lagi berulang-ulang hingga aku menggila.

"Aahhh .... Ahhhh .... Aku mau keluar Lid," rintihku lemas, namun dia lekas melonggarkan jepitan kakinya pada batang kejantananku dan membuatku gagal orgasme.

Aku tersengal-sengal saat kedua tangannya tampak keras mencekik leherku....menahan agar aku tidak orgasme. Kutepuk beberapa kali lengannya hingga Lidya pun melonggarkan dekapannya.

Lidya pun berdiri di atas ranjang lalu melepaskan celana dan celana dalamnya. Dalam minimnya cahaya aku melihat bayang-bayang vaginanya yang tampak begitu indah.

Dia mengelus-elus penisku menggunakan kakinya, membuatku bergidik ngilu namun juga horni di saat yang bersamaan. Saat batang kejantananku menegak sempurna tangannya bergerak membimbingnya menuju liang senggamanya.

"Ssshhhhh .... uuhhhhh ...." Dia meringis sesaat setelah benda milikku mencoba melakukan penetrasi, dan melenguh nikmat saat akhirnya milikku masuk sepenuhnya ke dalam sana.

Dia menunggangi tubuhku dengan penuh gairah, goyangan pinggulnya ketika menghentakkan pantatnya padaku membuatku mabuk kepayang. Ketika tanganku ingin menyentuh tubuhnya dia menampar keras wajahku, membuatku hilang akal.

"Ohhhhh .... Ohhhnnnnn .... Liddd .... Liddd ...." ringisku saat didera nikmat oleh jepitan liang vaginanya.

Semakin semangat dia memompa tubuhku hingga akhirnya tubuh Lidya menegang menjemput orgasmenya. "Nggghhhhh hahhhhhhhhnnn!!!!"

Dada kami berdua naik turun tersengal-sengal disebabkan persetubuhan kami berdua. Lidya berdiri melepaskan batang milikku darinya.

"L-Lid .... a-aku belum keluar ...." ucapku lemas.

"Coli aja sana. Aku males. Udah sana ah tidur di bawah ranjang kek, di sofa kek, jangan di sini!" balasnya ketus.

Aku yang masih lemas pun turun dari ranjang sambil membawa satu buah bantal. Kukocok batang kejantanan sambil membayangkan kemolekan tubuh Lidya. Ini kali pertama aku mendapat perlakuan seperti ini, namun entah mengapa aku juga tak bisa memaksanya atau mungkin alam bawah sadarku mensugesti diriku sendiri dan mengatakan bahwa aku tak bisa menekannya.

Kukocok terus batang milikku namun susah sekali rasanya keluar. Tubuhku sudah bermandikan keringat namun tanda-tanda orgasme belum juga kudapat.

"Liddd .... Ohhhnnn ngga bisa juga Liddd .... Hhh hhhh hhhh ...." Aku mendesah sambil tersengal-sengal di lantai.

SREK!

Salah satu kaki Lidya tiba-tiba bergerak menjuntai ke pinggir ranjang. Ditekan-tekannya dadaku lalu kakinya pun menjalar menuju wajahku hingga diinjaknya tanpa ampun.

Jantungku berdegup kencang, kilatan birahi muncul bahkan hanya dari aroma kaki Lidya. Batang kejantananku kembali menegang hingga kukocok dengan semangat.

"Slllrpphhhh .... Cphhhhh ...." Kuciumi bahkan kujilati kaki mulus gadis itu sementara satu tanganku mengocok batangku.

Tak sampai lima menit tubuhku menegang lalu orgasme dengan posisi kaki Lidya menginjak wajahku. Cairan bening itu muncrat memenuhi perutku, saat tubuhku bergetar hebat tiba-tiba Lidya kembali menarik kakinya ke atas ranjang, menghiraukanku yang baru saja mencapai puncak kenikmatan.

Aku tersengal-sengal memandangi ujung ranjang. Itu adalah kenikmatan seksual pertama yang diajarkan Lidya padaku. Sebuah sensasi asing yang mungkin takkan bisa dimengerti lelaki manapun selain aku.



Dua minggu berlalu setelah malam itu, entah mengapa hubungan kami tidak seintens seperti sebelumnya. Lidya seolah menjauh dariku dan membuat hatiku gundah gulana. Malam-malam yang kudapat dari wanita sewaan tak bisa kubandingkan dengan malam yang kulalui bersamanya saat itu. Beberapa wanita panggilan bahkan merasa ilfeel saat aku meminta perlakuan seperti yang dilakukan Lidya padaku.

Aku merasa hampa dan begitu kehilangan arah, sampai sebuah pesan darinya tiba-tiba datang menghampiriku.

Aku bergegas memacu mobilku menuju Cafe tempat Lidya ingin bertemu, setibanya di sana kupandangi wanita itu nampak duduk melamun di hadapan minumannya.

"Lid, udah lama?" tanyaku basa-basi.

"Yan, kayaknya kita udahan aja. Kamu jangan lagi hubungi aku atau datang ke rumahku," jawab Lidya.

Aku mengernyitkan dahiku, "Kenapa?"

Dia hanya mendiamkanku, lama, sebelum melontarkan satu jawaban yang aku tak bisa mengelaknya lagi.

"Aku mau nikah. Rencana bulan depan udah siap semua. Jadi, aku ngga bisa lagi nerusin ini."

Aku tersenyum pahit dalam diamku. Tentu saja, pada akhirnya Lidya akan menikah bersama pacarnya. Mana mungkin dia berlama-lama dengan statusnya sekarang.

"B-Baguslah kalau gitu, selamat ya," ucapku tersenyum dengan penuh sesak di dada.

"Maafin aku, Yan. Kamu kebetulan datang pas aku lagi perlu, tapi akhirnya aku sadar, kita ngga jodoh. Maaf udah buang waktu kamu."

Dia melangkah pergi tanpa menunggu jawabanku. Wanita itu bisa seegois itu, pikirku. Dadaku terasa sesak mendengarnya, aku merasa amat kehilangan. Siapa dia bagiku? Bagaimana aku memandang Lidya? Pacar? Sahabat? Yang pasti saat dia pergi, sebuah lubang besar bersarang di relung dadaku.

Beberapa tahun berlalu sejak hari itu. Aku tak ada niatan sekalipun menjalin hubungan dengan wanita lain. Orang tuaku beberapa kali sakit-sakitan karena khawatir melihat hidupku, dan aku pun mengambil langkah pahit menyetujui perjodohan yang mereka atur. Bagiku lebih baik menikah ketimbang melihat ibuku sakit-sakitan karenaku.

Namanya Ayu.
Ayu Sofia Filayeti.

Umurnya jauh lebih muda dariku. Dia pun baru saja menyelesaikan kuliahnya. Kulihat anaknya baik dan taat pada agama. Sangat berlawanan dengan sifatku yang binatang dan sering main perempuan di luar sana.

Aku tak lama berkenalan dengannya. Orang tua Ayu tampaknya ingin kami pacaran hanya setelah menikah, sehingga dua minggu setelah kedatanganku bersama orang tuaku ke rumahnya. Aku langsung menikahinya.

Malam pertama yang kulalui bersamanya terasa hambar. Aku tidak tahu apakah aku mencintainya atau sekadar menganggapnya pelarian dari masalah keluargaku.

Saat memandang wajahnya aku malah teringat Lidya. Saat memandang tubuh dan kulitnya, aku teringat Lidya. Mengapa malah fantasi dengan Lidya yang muncul di kepalaku saat aku bercinta dengannya, pikirku.

Aku memiliki segalanya. Istri cantik, rumah, mobil, aku bahkan mampu membeli motor lagi dan mempekerjakan seorang pembantu. Namun rasanya semua pencapaian itu tidaklah berarti.

Baru jalan tiga bulan pernikahan namun aku sudah memikirkan untuk menggugat cerai Ayu. Tetapi benang takdir berkata lain, berkat Ayu aku menemukan kembali semangatku yang telah lama hilang.

"Aaaaaahhhh .... Ayuuuuuu!!!!!" panggil seorang wanita dari belakang istriku.

"Kak Lidddd!!!!!" balas Ayu senang.

"Kamu datang ke sini juga?"

"Iya kak, jarang-jarang beliau mampir ke kota sini ngisi ceramah."

Mataku memandang sendu wajah cantiknya. Begitu lama aku merindukan bayangannya, suaranya, kini Lidya berdiri di hadapanku lagi setelah sekian lama.

"Sama siapa kamu ke sini?" tanya Lidya.

"Ini kak, suami aku, Mas Rian. Mas Rian ini temen aku Kak Lidya," ucap Ayu seraya memperkenalkan kami berdua.

Air mukanya sedikit berubah saat melihat wajahku, begitupula denganku.

"Lidya."

"Rian," ucapku singkat, namun saat aku menyodorkan tanganku untuk menjabat tangannya dia buru-buru menangkup jari-jarinya menolak salamanku.


Lidya Eka Wulandari


"Yu, yu, duduk di sana aja, Yu. Bareng aku!" Lidya tampak menggandeng semangat lengan istriku Ayu dan membawanya ke barisan bangku paling depan.

Lidya yang sekarang tidak sama seperti wanita yang kutemui dulu. Semenjak menikah cara berpakaiannya banyak berubah. Dia kini mengenakan hijab dan sering ikut kajian islami seperti sekarang.

"Nanti mampir ya ke butik aku ya, Yu. Assalammualaikum," ucap Lidya senang sambil pamit bersama suaminya.

"Waalaikumussalam," jawab Ayu yang menggandeng erat lenganku.

Rasanya bahagia saat bertemu lagi dengannya. Kini Lidya sudah berubah, pemilihan topik pembicaraan dengannya pun kadang lebih banyak menyoal tentang agama dan akhirat yang aku hanya sedikit memahaminya.

Semenjak pertemuanku dengannya hari itu, aku mulai sering memborong buku-buku agama dan menyempatkan membacanya setiap aku pulang bahkan di sela-sela pekerjaanku sebagai broker saham. Semua kulakukan bukan karena aku tertarik ingin taubat tapi agar aku bisa bicara dengan Lidya lagi. Setiap hari selalu kupaksa Ayu untuk ikut kajian, bukan karena ingin istriku mendengar materi dakwah tapi karena aku ingin melihat wajah Lidya lagi saat menjemput Ayu pulang pergi.

Dua tahun lebih lamanya aku berpura-pura, hingga akhirnya aku dan Lidya bisa berinteraksi normal kembali seperti dulu. Ayu pun tampak senang saat kami berdua akrab, mungkin di matanya aku dan Lidya bagaikan kakak dan adik, dia tak mengetahui malam-malam yang sudah kami berdua lalui bersama.

*KRING*

Aku melangkah memasuki butik miliknya. Nampak dalam pandanganku wanita yang dulu kutemui di depan Hotel sekarang berubah menjadi pedagang pakaian muslim.

"Eh Rian, mau ngambil pesanan Ayu?" tanyanya.

"Iya, gamis. Ngga tahu modelnya. Kata Ayu sih pokoknya kamu udah tahu aja gitu," jawabku.

"Iya bentar, bentar. Nih, punya Ayu udah kusiapin." Lidya menarik sebuah bundle plastik hitam dan menyodorkannya padaku.

"Berapa?" tanyaku.

"Lima ratus tiga puluh, khusus Ayu, lima ratus aja deh," balasnya sambil tersenyum. Aku pun menyerahkan uang padanya.

"Kamu .... udah lama kenal sama Ayu?" tanyaku basa-basi.

"Eh, iya Yan. Udah lumayan lama. Aku kaget ternyata kamu yang jadi suami Ayu," balasnya sambil memasukkan uangku ke dalam mesin kasir.

Ternyata dia masih ingat aku, pikirku.
Syukurlah.

"Lid, soal dulu ...."

"Udah Yan," potongnya singkat. Aku pun terdiam.

"Aku udah punya suami sekarang, kamu juga udah punya istri. Kita udah bukan kita yang dulu," lanjutnya membuatku menunduk.

Rasanya mustahil ini kuteruskan, untuk apa aku berpura-pura selama ini kalau begini hasil akhirnya. Ulu hatiku kembali terasa sesak melihat wajahnya.

Dia menghela napas panjang. Nampaknya dia tahu aku masih kesal atas keputusannya dulu ataupun mendengar jawabannya sekarang ini. Lidya pun memegang pundakku dan menatap mataku.

"Kalau kamu pengen ngobrol-ngobrol sama aku, boleh. Aku izinin. Aku kasih nomor aku yang baru. Tapi jangan jadiin Ayu alasan biar kamu bisa deketin aku. Dia sabar, biarpun setiap hari kamu paksa dia ikut kajian agama, dia tetap senyum. Aku sayang Ayu, Yan. Kamu jangan gituin dia," ucap Lidya lembut membuatku menggigit bibir bawahku, rupanya selama ini kedokku sudah ketahuan olehnya.

"Yan. Kamu 'kan suami dia. Bahagiain lah dia. Ngertiin dia coba. Ajak dia jalan-jalan sesekali, liburan, atau kalo ngga makan bareng di luar gitu, jangan kurung dia di rumah melulu, pas dia mau keluar kamu ikutin melulu, kasih dia sedikit kebebasan."

"Iya .... Aku tahu .... Aku salah .... Maafin aku, Lid."

"Jangan minta maaf ke aku, Yan. Minta maaf ke Ayu," lanjutnya.

Kata-katanya terus terngiang di kepalaku bahkan sepulangnya aku dari butiknya kutemui Ayu dan meminta maaf atas ulahku padanya. Ayu pun memeluk bahagia diriku sambil menangis tersedu-sedu.

Semenjak itu aku pun memutuskan untuk memberi Ayu kebebasan apapun yang dia mau, meski aku masih tidak terlalu peduli padanya, yang pasti aku kini sudah dapat nomor baru Lidya.

Apakah aku cinta pada Ayu?
Entahlah, separuh hatiku masih menginginkan Lidya, namun separuh lainnya tak ingin kehilangan Ayu. Meski aku tidak menaruh perasaan padanya tapi Ayu masihlah istriku, apakah terlalu egois bagiku jika menginginkan keduanya? Apakah dosa jika aku jatuh cinta pada Lidya dulu ataupun sekarang?

"Mas! Mas Rian!"

Aku tersadar dari lamunanku saat Ayu mengguncang-guncangkan tubuhku.

"Ngelamun loh, pagi-pagi," ucapnya ketus, aku tersenyum hambar melihatnya.

"Ada apa, Ay?" tanyaku.

"Mas, bulan depan 'kan mau renovasi rumah. Tambahin kamar mandi dong, mas. Di kamar kita. Biar lebih gampang kalo ambil wudhu sama mandi, ngga mesti turun naik," pintanya.

"Iya, Ay. Nanti aku sampe'in sama tukangnya."

"Makasih, Masss!" Dia memelukku erat membuatku tertawa kecil melihat tingkah manjanya.

Setelah sukses menggaet klien untuk pembukaan akun trading baru dari beberapa pensiunan PNS, aku mendapatkan bonus yang cukup untuk merenovasi rumahku. Sudah lama aku ingin garasi sendiri, tentunya tidak sedap memandang mobil dan motorku setiap hari di pekarangan.

Hal yang tidak kuberitahu pada Ayu adalah saat renovasi diam-diam aku meminta tukang kami memasang CCTV tersembunyi di rumah untuk jaga-jaga jika terjadi pencurian. CCTV itu tersembunyi di penjuru bagian rumah mulai dari teras depan sampai kamar pembantu. Kameranya sengaja kuminta dibuatkan menyatu dengan interior.

Kurasa aku ingin memberitahu Ayu aku memasangnya setelah renovasi selesai, namun aku malah lupa. Setelah beberapa waktu berlalu terasa aneh jika aku memberitahunya selama ini ada CCTV tersembunyi di rumah.

Meski memasangnya, aku jarang mengecek rekamannya. Aku lebih sering disibukkan dengan pekerjaanku di kantor ataupun tatap muka dengan klien.

Sampai suatu malam....

Aku bangun dari tidurku dengan keadaan kepalaku yang terasa amat pusing. Aku mencari obat pereda nyeri di kotak P3K kamar lalu mencoba meminumnya, sayangnya gelas air putih yang biasa kutaruh di samping meja tempat tidur kosong. Sambil menenteng obat aku berjalan perlahan keluar kamar.

Suasana rumah cukup gelap, dari lantai atas kulihat cahaya ponsel yang jadi satu-satunya penerang di sana. Nampaknya itu Ayu.

"Ngapain dia?" bisikku, aku pun mengurungkan niatku untuk pergi ke dapur dan memutuskan untuk mengamatinya secara sembunyi-sembunyi dari kejauhan.

Kulihat Ayu menaruh ponselnya di sofa, bergerak mengambil masker di lemari, dan kembali memainkan ponselnya. Tidak biasanya pikirku.

Cukup lama dia memainkannya sampai kepalanya pun menengadah ke atas langit-langit, tampak bosan, aku pun lekas menunduk, takut dia menyadariku. Sial, kenapa aku malah sembunyi-sembunyi seperti ini.

Dia melanjutkan memainkan ponselnya, lalu diam, sulit mataku melihat apa yang dia pandangi di layar smartphone miliknya dari jarak sejauh ini namun hal yang dilakukannya selanjutnya cukup mengejutkanku.

Ayu mendekatkan wajahnya ke layar ponselnya seolah menghirup sesuatu dari layar itu.

"Slrrppphhhhh.....ahhhh....gede bangettt...." desahnya.

Aku tahu ekspresi itu, setiap kali aku memesan VCS aku melihat wajahku pada Ayu saat ini. Jantungku berpacu, seorang wanita alim dan taat agama yang selama ini kukenal sebagai sosok istriku kini tengah melakukan Video Call Sex dengan orang yang tidak kukenal. Ayu selingkuh di belakangku? Sejak kapan?

"Terushhh sayangg.... Dikit lagi...." lirihnya dengan suara horni, membuat darahku berdesir mendengarnya.

"Ahhhh shit!!!" umpatnya tiba-tiba, di tengah suara nafasnya yang berat menggema di ruangan.

Saat itu pula dia melempar ponselnya ke samping sofa.

"Sssshhhhh haahhhhhh.... hahhhhh.... hahhhhhhhhh...."

Terdengar dia mendesah kecewa. Dadanya naik turun dengan napas memburu, itu adalah kali pertama aku melihat istriku sendiri melakukan sesuatu hal yang diharamkan agama.

Sungguh aneh, meskipun dibakar api cemburu namun di sudut hatiku aku suka dengan apa yang Ayu lakukan. Sepanjang pernikahan kami, ini adalah kali pertama dia membuatku benar-benar merasa hidup.



Ayu Sofia Filayeti


Di pagi hari berikutnya kudapati Ayu di meja makan tengah menyiapkan sarapan buatku. Dia tampak gelisah, mungkin hati kecilnya merasa bersalah padaku sebab tadi malam.

"Ay! Ayang! Kenapa, kok kusut gitu?" tanyaku padanya.

"Ngga apa-apa mas, kemarin malam kebetulan pas susah tidur aja," jawabnya.

Kunikmati roti selai yang dibuatkan Ayu untukku tanpa mengusiknya lebih jauh lagi.

"Mas berangkat dulu yah. Kemungkinan malam ini lembur, jadi kalau mau masak ngga usah banyak-banyak. Soalnya mas makan malamnya di luar," ucapku.

"Iya mas, hati-hati di jalan," jawabnya lembut.

Baik di mobil ataupun di kantor aku tak fokus memikirkan kejadian tadi malam. Sejak kapan istriku selingkuh tanpa sepengetahuanku? Siapa laki-laki yang dia telepon? Tubuhku terasa gerah, rasanya panas sekali memikirkan wanita yang selama ini satu ranjang denganku ternyata diam-diam menyodorkan tubuhnya pada pria lain.

"Ke toilet bentar ya," ucapku pada rekan kerjaku.

"Oh iya, sip," jawabnya.

Aku pun masuk ke toilet dan mengunci pintunya lalu duduk. Kucoba buka aplikasi CCTV rumahku lewat ponsel milikku, dengan cepat aku mengecek rekaman CCTV seharian ini, penasaran apa saja yang sudah dilakukan Ayu di belakangku.

Awalnya tak kutemui hal yang aneh. Rekaman memperlihatkan Ayu yang memberi makan pada Icha, kucing kami, sesuatu hal yang kadang aku suka lupa melakukannya. Wanita itu beralih ke ruang keluarga dan menonton televisi. Kupercepat terus rekamannya sampai kudapati dia melakukan Video Call lagi.

Aku menggigit jariku, kuganti layar dari Kamera CCTV Nomor 3 ke Nomor 1 untuk melihat sudut berbeda. Dari kamera awalnya dia tampak menyapa biasa lawan bicaranya, samar-samar kulihat dia mulai membuka kancing piyama miliknya dan meremas-remas dadanya yang masih dibungkus bra.

Rasa cemburu dan marah kembali muncul dalam dadaku, namun anehnya rasa penasaran dan senang juga ikut bercampur aduk di dalamnya. Istriku yang sering mengenakan hijab ke luar rumah, seorang muslimah bermartabat, diam-diam melakukan hal hina ini di belakangku.

Tiba-tiba dia berhenti sejenak dan setengah berlari menuju dapur. Ayu membawa sebuah timun dan melanjutkan aksinya di depan kamera. Aku menutup mulutku melihat Ayu kini mengoral timun itu di depan kamera, jantungku berdegup kencang dan napasku memburu. Tanpa sadar tanganku yang satu lagi menggesek-gesek batang kejantananku dari luar celanaku.

"Ayuuuuu .... Kamu ngapain Ayyyy!!!" desahku tak karuan sambil mempercepat gesekanku.

Tak berhenti sampai di situ, Ayu bahkan mengoleskan timun itu ke payudaranya hingga akhirnya telepon itu mati dan dia nampak tersengal-sengal. Aku yang sudah tak tahan pun mengeluarkan penisku dari celanaku lalu mengocok pelan batang kejantananku. Mataku menatap nanar layar karena pertunjukkan belumlah selesai, Ayu tampak memasukkan timun itu ke dalam celana tidurnya dan tangannya menggesek-gesekkan benda itu di dalam sana.

"Ahhh .... Ahhhh .... Ay .... Aku keluar, Ay .... Ohhh ...." Aku memuncratkan air mani yang meluber di telapak tanganku, orgasme dengan begitu menyedihkan di kursi toilet kantor.

Selagi aku membersihkan bekas masturbasiku, mataku masih menatap layar. Nampaknya Ayu berhenti dengan permainannya ketika Pak Danang datang, aku pun mengambil tisu toilet dan menekan tombol flush sebelum keluar dari toilet kantor ini.



Di tempat kerja, kepalaku masih terasa pusing. Bukan karena kerjaan yang menumpuk, tapi karena kepikiran Ayu di rumah. Aku pun meminum sebutir Ibuprofen sebelum lanjut mengerjakan file kerjaku.

"Sakit, Yan?" tanya rekanku.

"Ngga, lagi mumet aja," jawabku singkat.

"Mumet ngga dikasih jatah mungkin sama bini tadi malam," canda rekanku yang lain disusul gelak tawa mereka. Aku hanya tersenyum kecut membalasnya.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi. Mataku mendelik ke sekitar, rekan-rekanku yang lain tampak sibuk menelpon klien mereka masing-masing. Sebagian juga sibuk dengan membuat laporan margin bulanan mereka. Jariku kuketuk beberapa kali di atas meja, sebelum memutuskan untuk kembali membuka aplikasi CCTV rumahku lewat ponselku.

Sepi.
Kelihatannya Ayu sedang keluar rumah.

Harap-harap menemukan sesuatu yang menarik, aku malah tak sengaja membuka kamera CCTV pada bagian kamar pembantu dan menemukan hal yang menjijikkan.

Dari layar kamera terlihat Pak Danang sedang bermasturbasi sambil melihat ponselnya. Entahlah kurasa itu video porno.

Aku memijat keningku, harus kuakui bagaimanapun juga Pak Danang masih seorang laki-laki. Dia tentunya masih perlu sentuhan seorang wanita. Namun melihatnya melakukan itu di rumahku sungguh membuatku jijik.

Kelihatannya dia orgasme hingga membasahi celananya. Pria itu pun berjalan bugil di rumah sambil memasukkan celananya ke dalam mesin cuci. Cukup lama dia berkeliaran bugil di sepanjang rumah sampai akhirnya dia tiba-tiba panik sendiri. Dia bergegas berlari menuju kamarnya lalu memasang lagi sebuah celana dan kaus oblong sebelum menjemur pakaiannya yang kotor dengan buru-buru lalu lari ke depan rumah.

Rupanya Ayu sudah pulang, pikirku.
Pantas dia kelihatan panik.

Andaikan Ayu tahu apa yang tadi Pak Danang lakukan, mungkin dia sudah shock dibuatnya.

Kelihatannya Pak Danang kini memasakkan Ayu makanan, sebelum keluar meninggalkan istriku sendirian. Tak banyak rekaman menarik lainnya selain fakta aku menyadari pembantuku yang sudah uzur bermasturbasi hari ini.

Aku kembali fokus dengan pekerjaanku, beberapa kali menelpon klien namun semua hasilnya nihil. Sulit menawarkan orang untuk membuka akun terlebih di situasi sekarang dimana lagi ngetrend-ngetrendnya penipuan investasi bodong.

Kalau begini terus, marginku di akhir bulan bisa menurun pikirku.

Selagi teman-teman yang lain sudah pulang. Aku masih di depan komputer menyelesaikan laporan akhirku. Kupandangi ponselku sesaat sebelum kualihkan lagi pandanganku ke layar.

Ck, gelisah sekali rasanya.
Kenapa malam ini firasatku terasa amat buruk.

Aku pun berusaha berhenti dari pekerjaanku sejenak, lalu kembali membuka aplikasi CCTV rumahku. Kucek kamera seantero rumah tampak aman-aman saja, terlihat Ayu sedang tiduran di sofa malam itu dengan pakaian lengkap. Aku mendesah lega. Syukurlah semua baik-baik saja.

Tetapi, beberapa saat kemudian terlihat Pak Danang masuk ke dalam rumah. Jantungku tiba-tiba menderu, saat ini hanya ada Pak Danang dan istriku yang ada di dalam rumah, apakah kiranya yang akan terjadi?

Aku reflek berdiri dari kursiku dan menuju gudang arsip, karena aku tahu di kantor ini hanya gudang arsip dan toilet yang tidak ada kameranya. Kukunci pintu lalu duduk bersila di lantai memandangi cukup lama keadaan rumahku.

Pak Danang tampak menggoyang-goyangkan tubuh istriku berusaha membangunkannya namun Ayu terlalu lelap. Tiba-tiba tangannya menyentuh pipi istriku dengan lembut, membuatku merinding, sampai kemudian wajahku berubah merah panas ketika Pak Danang kini meremas dada istriku dari luar gamisnya.

BUK!

Kupukul dinding arsip saking kesalnya melihat pembantu brengsekku. Amarahku terasa meledak-ledak dibuatnya. Sayangnya aku malah penasaran apa yang akan terjadi, jika Ayu sampai terlihat berteriak meminta tolong, aku bersumpah malam ini juga berbekal bukti CCTV ini aku akan menjebloskan pria itu ke penjara.

Tapi Ayu tidak melawan, dia nampak masih pulas tertidur ketika diperlakukan seperti itu oleh Pak Danang.

"Ssshhhhh .... Fuuhhhh ...." Gerah rasanya aku melonggarkan dasiku dan kancing kemeja atasku melihat istriku tengah dilecehkan oleh pria yang kastanya notabene jauh di bawahku.

Sayangnya semakin aku membiarkan kejadian ini semakin pula pria itu menunjukkan nafsu binatangnya. Dia mengecup dada istriku dari luar gamisnya, dengan penuh nafsu dia menghisapnya seolah dia takkan melihat hari esok lagi.

Aku tersengal-sengal melihat adegan panas itu, kubuka celanaku dan mulai kukocok penisku yang sudah menegang. Setan, kenapa aku malah terangsang melihat kelakuan bajingan itu, umpatku pada diriku sendiri.

Ayu nampak menggeliat, gadis itu melenguh nikmat menerima perlakuan bejat Pak Danang. Bangun Yu! Bangun! Itu bukan suamimu, teriakku dalam hati sambil mempercepat kocokanku.

Pertunjukkan berubah semakin liar saat Pak Danang membuka retsletingnya dan memperlihatkan batang kejantanan. Didekatkannya ke mulut istriku sehingga membuatku panas dingin dibuatnya.

Selesai menggesekkan benda itu di mulut istriku, Pak Danang tiba-tiba melangkah menuju selangkangan Ayu dan menarik lepas celana dalam istriku, dia menjilati lubang senggama Ayu dan membuat emosiku meletup-letup.

"Brengsek .... Bajingan Kau Danang!!!" teriakku sambil mempercepat kocokanku. Aku pun orgasme di dalam ruang arsip itu. Cairan spermaku meletup-letup keluar dan membasahi sebagian lantai.

Begitu lemah kutatap istriku juga terlihat mengalami hal yang sama dengan permainan Pak Danang. Dia terlihat menegang dan orgasme dalam tidurnya. Saat pria itu nampak ingin memasukkan benda miliknya ke dalam vagina istriku, bergegas aku keluar dari aplikasi CCTV dan menelpon Pak Danang.

"Halo, pak. Saya udah selesai. Tolong jemput saya sekarang. Saya buru-buru mau pulang," perintahku.

"Siap Pak Rian, saya jemput sekarang juga, Pak," jawabnya di ujung sana.

Aku pun menutup teleponku, kurasa aku baru saja menyelamatkan Ayu dari tindakan pemerkosaan. Aku memandangi spermaku yang menempel di telapak tanganku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Bisa saja aku melaporkan Pak Danang atas tuduhan tindakan asusila, tetapi apakah itu tindakan yang benar? Untuk pertama kalinya aku merasakan sesuatu dalam hidupku setelah menikah dengan Ayu. Mungkin sebaiknya kubiarkan saja dulu, pikirku.

Aku tak mengerti mengapa aku bisa memutuskan seperti itu.
Mungkin karena aku tidak benar-benar mencintainya.
Mungkin jika itu Lidya aku tidak akan ragu-ragu melaporkan Pak Danang.
Mungkin karena itu Ayu.



Keesokan harinya waktu berjalan seperti biasa, pagi ini masuk pemberitahuan bahwa meeting mengenai penetapan target tahunan serta strategi menarik minat pelanggan kembali berinvestasi di perusahaan kami ditunda. Singkatnya aku tak ada kerjaan sepagian ini, Ayu pun masih belum pulang dari butik Lidya.

Aku pun iseng mengambil buku berjudul tafsir hadis lalu membacanya di ruang tamu, sekadar mengisi waktu. Belum satu bab kuhabiskan, kudapati istriku pun akhirnya datang juga.

"Mas," panggilnya dan beralih duduk di sampingku

"Ay, udah pulang?" jawabku sebelum sesaat kemudian mengalihkan lagi pandangannya ke buku.

"Mas ngga kerja?"

"Meetingnya di reschedule, Ay. Palingan besok pagi dikabarin lagi."

"Aku mau ngomong sesuatu, Mas."

"Iya ngomong aja, aku dengerin."

"Mas, aku .... aku pengennya Pak Danang diganti. Aku maunya ART yang cewe."

Mendengar ucapannya, jantungku seolah terhenti sesaat. Jika aku mengganti Pak Danang, maka pertunjukan panas itu takkan lagi kudapati di rumah ini. Sial, apa yang harus kulakukan sekarang?

"Kenapa? Ada yang salah? Dia nyuri?"

"Bukan Mas. Aku udah ngga betah lagi sama dia."

Aku bingung, apakah Ayu sadar dia dilecehkan malam itu? Apakah Ayu sedang dalam ancaman Pak Danang? Entahlah, hanya saja aku tidak ingin tahu soalnya.

"Ay, kalau pembantunya cewe susah loh, mungkin kalau nyuci sama ngurus rumah dia bisa lah, tapi kalau nyupir, ngurus kebun, servis mobil, kan belum tentu. Sedangkan kamu tahu sendiri uangku sekarang cuman cukup buat gaji satu orang."

Tentu saja ini hanya alasan belaka. Aku masih bisa menambah satu lagi pembantu tanpa memecat Pak Danang. Lagipula aku masih ingin menikmati tindakan bejatnya pada istriku.

Ayu mendesah, memalingkan wajahnya dariku lalu merengek, "Kamu kan bisa nyupir sendiri mas, servis mobil sendiri, ngga harus dianterin segala macam."

Aku pun turun dari kursiku dan berjongkok di depannya sambil memegang tangannya. "Ay, nyari pembantu itu ngga sesimpel itu, kita harus cocok cocokan lagi, sikap luarnya baik belum tentu dalamnya baik. Orangnya jujur tapi mulutnya ngga bisa dijaga ya sama aja musingin. Sabar dulu sebentar ya, nanti kalau udah ada uangnya mas usahain cari yang sesuai kamu mau."

"Udah Mas, udah. Aku ngga tahu harus ngomong apa lagi sama kamu." Ayu mendesah kecewa menanggapi keputusanku.

"Ayu!" panggilku singkat.

Apakah keputusanku sudah benar? Membiarkan hawa nafsuku membimbingku pada sesuatu hal yang mungkin akan menjadi bibit keretakan rumah tanggaku.

Kukejar Ayu ke kamar dan kudapati wajahnya begitu sendu. Ya, wajah itu, wajah itu mengingatkanku pada bayangan Lidya, wanita yang penuh dengan perasaan kesepian yang sempat hadir dalam hidupku.

"Kamu sayang aku ngga sih, Mas?" tanyanya sedikit serak.

"Sayang, Ay. Aku sayang kamu. Maafin aku ya," jawabku lalu mengecup manis pipinya. Air mataku sedikit menetes namun dengan lekas kuseka.

Aku sayang kamu, Lidya.
Maafin aku.
Itulah yang sebenarnya ingin kuucapkan, hanya saja bukan dia yang saat ini di depanku, melainkan Ayu.

Kami pun bercinta dengan penuh gairah kala itu. Setiap kali Ayu memompa tubuhku, setiap kali pula bayangan Lidya menghantui benakku.

Aku orgasme beberapa kali di buat Ayu, sampai akhirnya lemas tak berdaya. Ayu pun berjalan menuju diriku yang terkapar tak berdaya. Dengan masing-masing dua jarinya dia membuka lubang memeknya lalu mengucurkan semua air mani yang ada di dalamnya ke wajahku, setelah semua terkuras habis air kencing pun ikut mengalir dan dicipratinya wajahku hingga basah seluruhnya.

Ah~ perasaan nostalgia ini begitu kental, mengingatkanku pada sosok Lidya.

Aku pun terlelap, kelelahan, bersama dengan fantasi indahku, kurasakan musik CD di malam itu kembali berputar di kepalaku.

Lid, aku ingin kamu.
Saat ini aku benar-benar perlu kamu.



Ayu Sofia Filayeti


Saat Adzan Maghrib berkumandang di senja kala itu, aku tak bergerak sedikitpun karena kelelahan. Aku sempat mandi dan mengganti sprei, namun kelihatannya itu sudah energi terakhirku. Kurasa ini kali pertama aku meninggalkan shalat setelah sekian lama.

Saat aku bangun, Ayu sudah tak ada lagi di sampingku. Aku pun bangun dari ranjang dan mengenakan celana bokser lalu keluar kamar dan menuruni tangga. Belum sempat memasuki dapur, kakiku reflek mengerem saat melihat Ayu tengah mengintip kamar Pak Danang.

Adrenalin seolah terpacu dalam nadiku ketika melihat istriku memainkan vaginanya di depan kamar Pak Danang. Lekas aku kembali menaiki tangga dan masuk ke kamarku kembali.

Kubuka aplikasi CCTV rumahku lewat ponselku lalu kusorot layarku menjadi layar penuh pada kamera di kamar pembantu.
Terlihat Pak Danang tengah mengokang batangnya menggunakan sepotong kain, kuperhatikan lebih jelas lagi rupanya itu adalah celana dalam yang sempat dia lucuti di malam pria itu ingin menyetubuhi istriku.

Batang kejantananku pun menegang melihat istriku memasuki kamar Pak Danang di tengah kegiatan amoralnya sehingga Pak Danang pun memuncratkan cairan maninya sampai ke wajah Ayu.

"Ssshhhh .... Hhhhh .... Hhhhhhh ...." Aku mengocok penisku melihat adegan demi adegan panas yang mereka berdua lakukan.

Pria tua itu melecehkan setiap lekuk tubuh istriku yang terbalut gamis dan ditutupi oleh hijab. Ayu, orang yang terkenal alim sepanjang hidupku, kini membiarkan dirinya dijamah lelaki lain yang bukan mahromnya.

"Brengsek .... Bajingan kalian ...." ucapku gemas sambil terus mengocok batangku, dadaku begitu panas, marah, kesal, cemburu, bercampur baur dalam relung dadaku, tetapi birahi juga membakar habis tubuhku, menikmati adegan pelecehan ini.

Mereka berciuman dengan panasnya, Ayu bahkan sampai mendeepthroat benda milik Pak Danang yang membuatku bergidik seketika. Perlakuannya yang begitu kasar pada Ayu membuat libidoku semakin menjadi-jadi.

"Ohhhh .... Ohhhhnnnn terus pakkk .... Terusss .... Zinahi akhwat lonte itu ...." erangku dengan penuh nafsu sambil mempercepat kocokanku.

Dia mengangkat Ayu ke atas ranjangnya dan menyantap setiap lekuk tubuhnya. Saat pria itu mengarahkan batang perkasa miliknya ke liang senggama istriku, aku merintih ngilu dan mengerang nikmat lalu memuncratkan air maniku kembali di sprei. Aku mendesah tak berdaya melihat Pak Danang tengah memompa istriku, memberinya kepuasan yang tak bisa kuberikan pada Ayu.

Rasanya akal sehatku kembali saat birahiku sudah terlampiaskan dan harus kuakui, lubang di dadaku terasa amat menyakitkan saat wanita yang kumiliki digagahi oleh pria lain di rumahku sendiri.

"Anjing," umpatku, aku pun menutupi sekujur tubuhku dengan selimut dan menangis tak berdaya, disebabkan kelemahanku.

Keesokan paginya aku terbangun dengan buru-buru karena pekerjaanku mengharuskanku untuk meeting di luar kota, lebih tepatnya perwakilan kantor cabang kami harus melakukan pertemuan tatap muka dengan pemimpin di kantor pusat. Tentunya ini semakin membuatku was-was karena aku akan meninggalkan Ayu dan Pak Danang berduaan di rumah.

Dan benar saja, mereka menggila sepeninggalku.

Lewat CCTV tersembunyi aku memandangi mereka yang berhubungan seksual di seluruh penjuru rumah bahkan di kamar tempat tidurku. Aku menelpon Ayu beberapa kali namun istriku tak mengangkatnya. Di kamar hotelku aku hanya bisa mengocok batang kejantananku sambil menangis memandangi layar.

Aku terluka, namun aku juga menikmatinya di saat yang bersamaan. Ini sungguh perasaan yang rumit.

"Halo, Rian?" tanya Lidya di ujung telepon.

"Lid," panggilku dengan suara serak.

"Rian? Kenapa, Yan? Ada apa?" tanya Lidya dengan nada khawatir.

"Ayu .... sama kamu 'kah? Dia ngga angkat teleponku. Bisa bantu hubungi dia? Atau cek-cek ke rumahnya gitu?" pintaku sambil meringis. Aku tahu Ayu tidak bersama Lidya saat ini, yang kuperlukan adalah Lidya membantuku menghentikan semua ini detik ini juga dan datang ke rumah kami.

"Duh, Ayu ngga ada sama aku nih, Yan. Kalau ke rumah aku belum bisa, Yan. Maaf. Udah jam segini ngga mungkin aku dibolehin suamiku keluar lagi. Nanti biar aku telepon dulu ya, Yan," pinta Lidya.

"Iya," jawabku singkat sambil menutup teleponnya.

Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial! Sial!

Aku ingin berteriak sekencang yang kubisa. Semua perasaan ini benar-benar membunuhku dari dalam. Rasa kesal karena tidak mampu berbuat apa-apa, bahkan hinanya lagi aku bermasturbasi sambil melihat adegan live mereka.

Aku hancur perlahan.

Hingga waktu Subuh tiba aku tak kunjung tidur. Kucek lagi kamera CCTV lewat aplikasi di hapeku dan mendapati keduanya sudah selesai meluapkan perzinahan mereka di rumahku.

Kucoba telepon lagi Ayu dengan VideoCall lalu dia pun mengangkatnya.

"Ay, kok ngga diangkat, daritadi kemana aja?" tanyaku.

"A-A-Anu mas .... tadi Ayu sibuk bersih-bersih rumah, terus lupa naruh hape di mana .... jadinya ngga keangkat teleponnya. Em eh ini baru aja ketemu mas," balasnya.

Dasar akhwat lacur.
Kau pikir aku tidak tahu seharian kau menjadi perek Pak Danang, raungku dalam hati.

"Oh," jawabku singkat.

"J-Jangan marah, Mas. Ayu teledor. Maafin Ayu, Mas," lanjutnya sambil tersenyum kecut.

"Aku sampai nelpon Lidya loh, katanya dia ngga sama kamu. Kukira kamu kenapa-kenapa," balasku sedikit kesal.

"Maaf Mas, Ayu minta maaf," jawabnya.

Maaf? Setelah kau jual dirimu dengan murahnya kau minta maaf? Kau gadaikan semua norma agamamu untuk nafsu binatangmu lalu dengan mudahnya kau minta maaf? Hatiku berteriak lagi.

Namun amarahku teredam seketika saat kulihat air mata menetes membasahi pipinya saat memandangi wajahku di layar.

"Cepat pulang Masss, Ayu kangen sama Mas," ucapnya serak.

Aku menggigit bibir bawahku, mengapa aku dengan mudahnya luluh setelah dia mengkhianatiku, umpatku dalam hati.

"Udah Ay, udah, jangan nangis lagi, besok aku pulang kok," jawabku menenangkannya.

Dia pun berhenti menangis mesti masih sedikit sesengukan.

"Ya udah, mandi dulu sana, bentar lagi Subuh lo Ay, siap siap Shalat."

"Iya mas."

Pikiranku berkecamuk. Kepada siapa sebenarnya aku marah? Kepada Ayu? Pak Danang? Atau kepada diriku sendiri? Kemana semua emosi ini harus kutumpahkan? Mengapa kami berakhir seperti ini?

"Yan, woi, Rian! Itu tas koper diambil, malah ngelamun!" ucap rekan kantorku.

"E-Eh, sori sori," jawabku sambil mengambil tasku dari conveyor bandara.

Di dalam mobil aku hanya melamun. Aku dan Pak Danang sesekali bertukar pandangan lewat kaca supir namun lekas kualihkan kembali pandanganku ke jendela.

Dalam sunyi, Iblis pun mulai berbisik dalam sanubariku. Semenjak aku menikahi Ayu, aku tak pernah selingkuh darinya. Betapapun brengseknya aku di masa lalu, betapapun aku ingin bersama Lidya setelah menemukannya lagi, tetapi aku tetap menjaga tali pernikahanku.

Lantas, bukankah ini semua salah Ayu? Ya, ini sungguh salah Ayu. Wanita itu tak bisa menjaga hati dan tubuhnya untuk suaminya, malah melacurkan tubuh alimnya secara cuma-cuma pada pria lain.

Terasa gemuruh dalam dadaku saat tiba di rumah. Aku tidak akan menceraikannya. Akan tetapi aku ingin dia mengakui dia selingkuh, aku ingin dia mengakui dia jatuh pada hawa nafsunya dan meminta maaf. Sesimpel itu saja.

Aku duduk di ruang tamu, menunggu dengan sabar. Wanita itu pun datang mengendarai motor membawa sebuah kotak yang dibungkus plastik.

"Mas Rian," panggilnya.

"Ada yang ingin aku omongin Ay," ucapku berat seraya berdiri dari kursiku.

"Ada apa mas? Apa ngga bisa sambil duduk ngomongnya?" tanyanya sedikit bergetar memandangku.

"Kamu ngga merasa, udah ngelakuin kesalahan sama aku, Ay?" tanyaku, dia hanya diam.

"Aku ngga ngerti, Mas?"

"Lihat aku dan jawab. Kamu kesalahan apa ngga?" potongku.

Sialan Ayu, apa susahnya mengakui kamu udah selingkuhin aku, teriakku dalam hati.

"Ya aku ngga ngerti Mas, salahku tuh dimana?" jawabnya serak.

"Kamu pikir aku ngga tahu, apa yang kamu perbuat sama Pak Danang di rumah? Selama ini aku diam, tapi semakin lama kubiarin semakin aku gerah sama kalian berdua?"

Dengan ringannya terucap juga kalimat itu dari mulutku.

"Kamu tahu darimana?" tanyanya sedikit meringis

Aku tak mampu menjawabnya, bagaimana caranya aku menjelaskan padanya bahwa selama ini aku memasang CCTV tersembunyi di seluruh rumah ini, sebuah hal yang selama ini tak pernah kusampaikan jujur padanya. Kalaupun kujawab aku pasang CCTV, jawaban apa lagi yang harus kuberikan padanya jika dia marah karena aku menyembunyikan hal ini darinya.

"Mas, sekarang kamu yang jawab dan lihat aku. Siapa yang ngasih tahu kamu?" tanyanya lagi dengan suara serak.

"Ngga penting aku tahu dari siapa, yang pasti aku kecewa sama kamu. Kenapa Ay? Aku udah ngasih segalanya buat kamu, mulai dari aku ngga lagi maksa kamu ikut kajian rutin, aku ngga maksa kamu mau keluar harus didampingin, aku ngga pernah nuntut kamu harus kerja nyari duit. Semua sudah aku kasih, tapi kenapa kamu segampang itu ngebuang semuanya?" cecarku balik, semua emosiku bergemuruh tertumpah padanya.

"Kamu pikir aku bahagia sama kamu? Kamu ngga pernah ngertiin aku, boro-boro ngertiin muasin aku pakai modal kontol aja kamu ngga mampu. Kapan kamu terakhir kali bahagiain aku mas? Kapan kamu pernah ngajak aku jalan ngemall atau nonton? Kapan kamu pernah ngajak aku liburan? Kapan kamu pernah beliin sesuatu hadiah ke aku? Kapan kamu pernah ingat ulang tahun aku? Kapan mas?" balasnya balik setengah menangis.

Kami berdua terdiam. Aku tak mampu menjawab semua kata-katanya. Ya benar, dia benar.

"Aku tuh berusaha, Mas. Betapapun aku muaknya hidup sama kamu, aku bersabar nunggu kamu berubah. Tapi kenapa malah gini...." Ayu pun menyodorkan kotak yang dibawanya padaku.

Aku membuka kotak itu dan mendapati sebuah kue tart tiramisu kesukaanku bertuliskan ucapan selamat ulang tahun. Seketika itu pula hatiku teriris dibuatnya. Rasa bersalah muncul menghantui benakku. Aku lupa apakah aku pernah membahagiakan Ayu. Aku lupa memikirkan perasaan Ayu. Aku lupa selama ini wanita itu selalu berusaha membahagiakanku meskipun aku hanya menganggapnya sebagai pengganti Lidya.

Ay, maafin aku.
Maafin suamimu ini.

Aku mencoba meraih tangannya namun Ayu menepisku. Dia berjalan keluar rumah meninggalkanku yang masih terpaku dalam rasa bersalahku.

Aku lekas menyadarkan diriku kembali dan mengejarnya, namun sia-sia. Aku berdiri memegangi lututku yang terasa lemah.

Saat aku hanya memikirkan Lidya,
Saat aku hanya menginginkan Lidya,
Selama itu pula Ayu menungguku dengan penuh kesabaran.

Dia terus memberimu kesempatan namun aku mengacuhkannya.

Aku meringis, menangis menahan sakit.

Apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku menyia-nyiakannya?

Di tengah rasa dukaku aku mengumpulkan sisa tenagaku dan bangkit. Kuambil kunci motor dan kupacu motorku. Aku tak tahu harus kemana, namun setidaknya aku harus berusaha mencari Ayu.

Kuawali dari butik milik Lidya.


Lidya Eka Wulandari


*KRING*

Setibanya aku di sana, Lidya terlihat tengah merapikan beberapa pakaian dengan buru-buru. Dia terlihat marah melihatku di depan pintunya namun tidak juga mengusirku.

"Lid, maaf. Aku kesini ngga ada maksud apa-apa. Cuman mau tanya apa Ayu tadi ada ke sini?" tanyaku.

"Iya, ada. Dia marah-marah sama aku di depan pelangganku terus keluar. Ngga tahu sekarang kemana," balasnya ketus tanpa memandang sedikitpun wajahku.

"Lid, maafin aku. Aku ada salah paham sama Ayu...."

"Kenapa sih, Yan? Kenapa harus aku yang ngasih tahu kamu kalau kamu harus gimana? Kenapa setiap kali Ayu curhat pasti masalahnya soal kamu? Aku tuh lelah, Rian!" potongnya cepat, mendampratku.

"Ayu berubah Lid," ucapku singkat, dia pun diam.

"Aku tahu ini salahku ngga dengerin dia, aku tahu ini salahku ngga ngertiin dia. Tapi dia selingkuhin aku," lanjutku.

Lidya pun diam, mengalihkan pandangannya. Air mukanya berubah sendu mendengar getaran dalam suaraku. Dia menunjukkan wajah yang sama denganku kini, sebuah tatapan yang dipenuhi dengan rasa bersalah.

Gerimis hujan perlahan turun mengurung kami dalam sunyi. Aku meneteskan air mata tak mampu menahan emosiku.

"Aku kangen kamu, Lid. Aku kangen kita. Aku ngga bisa cinta sama Ayu, aku pengennya kamu."

Aku tak mampu berkata apa-apa lagi, aku hanya memegang ujung baju tunik muslimnya hingga mata kami berdua pun berkaca-kaca.

"Rian!" ucapnya sambil mencengkram kerah kemejaku dan mengunci bibirku.

Begitu lama aku menantikan hari ini.
Pagutannya yang penuh nafsu sungguh membuai jiwaku, menarik nuansa masa lalu. Sentuhan kulit wajahnya terasa basah, kurasa dia menciumku sambil menangis. Meski begitu dia tetap tegar. Tak terlihat sedikitpun kelemahan meski dia menunjukkan sisi wanitanya di hadapanku.

Ditariknya aku ke ruang ganti dan kami pun melanjutkan ciuman penuh nafsu kami. Aku jatuh terduduk namun Lidya tak berhenti, dia menduduki pahaku dan lanjut memagut erat bibirku sambil mencengkram kerah bajuku.

"Lid, aku ...."

"Diam, Yan. Kamu nurut aja!"

Ya, meski tertutup hijab, dia masihlah Lidyaku yang dulu. Sosok wanita tangguh yang tak menuruti apapun keinginan pria lain. Duduk di kursi ratunya dan membuat semua pria bertekuk lutut di hadapannya.

Ditarik lepasnya kancing kemejaku hingga membuatku telanjang dada. Lidya mengulum puting kiriku dan mencubit puting kananku, membuatku mengaduh nikmat. Puas mempermainkanku dia pun berdiri di hadapanku dan menekan selangkangannya yang masih tertutup celana ke wajahku.

Aku pun paham keinginan ratuku ini, kujilat dan kuhisapi dengan penuh semangat selangkangannya hingga dia mendesah keras. Beruntung suara hujan deras meredam desahan kami di butik ini.

Lidya terus menggosokkan selangkangannya di wajahku hingga bisa kurasakan kini dia amat becek.

"Hhhhhh .... Hhhhnn ...." Dia tersengal-sengal sambil membuka celananya, mataku menatap nanar celana dalam Lidya yang putih kini berubah terang menerawang disebabkan beceknya cairan cintanya.

"Buka celanamu sambil bersihin punyaku," ucapnya.

Aku pun memajukan wajahku dan menjilati dengan penuh semangat celana dalam Lidya. Sesekali lidahku menyelip ke bibir liang senggamanya hingga dia melenguh nikmat.

Libidoku meluap-luap, aku bergegas menarik lepas celana berikut bokserku dan mengocok batang kejantanan yang sudah tegang. Namun melihat tingkahku, Lidya pun memundurkan tubuhnya dan menampar keras wajahku.

"Aku ngga nyuruh kamu coli, Yan? Kenapa kamu coli, hah?" tanya Lidya kasar.

"M-Maaf Lid," ucapku bergetar.

Diinjaknya batang penisku yang sudah tegang dan membuatku mengaduh. Rasanya sakit namun juga nikmat muncul di saat bersamaan. Kakinya yang lembut membuatku menggeliat tak berdaya, dia menggosokkan telapak kakinya dengan kasar pada batang penisku, membuatku menggelepar kesetanan.

"Aaah .... Ahhhh .... Liidddd .... Liddddd terushh Lidddd .... Ohhhh ...." Aku mendesah kuat dengan pandangan berkunang-kunang.

"Gimana rasanya, Yan? Sekarang kamu tahu apa yang Ayu rasain pas selingkuhin kamu, 'kan?" tanya Lidya sambil memperkuat injakannya.

"Ohhhhh .... Ohhh iya Lidddd .... Ohhh enakk .... Enak bangettt ...." Tubuhku yang sudah amat panas pun melenting, air maniku pun muncrat bak lahar panas hingga mengotori kaki Lidya.

Aku terengah-engah di lantai butik dengan pandangan setengah buram. Lidya mengarahkan kakinya yang berlumuran air mani ke mulutku dan aku pun menjilati kaki ratuku dengan penuh kepatuhan, kubersihkan kakinya yang telah memberkahiku dengan orgasme seolah aku hidup untuk memujanya.

Hujan berubah menjadi gerimis hingga akhirnya mereda.

Entah berapa lama dia memberiku jeda namun aku masih telanjang di lantai butik menikmati orgasmeku.

Lidya mengelap keringat di tubuh dan selangkangannya menggunakan baju kemejaku. Dia lalu mengambil celanaku dengan niat ingin menyingkirkannya, tetapi ponselku malah menggelontor jatuh ke lantai.

"Ssshh .... ngerepotin banget sih kamu Yan," umpatnya.

Lidya mengambil ponselku lalu tersenyum. Dia berjongkok di hadapanku yang masih tersengal-sengal lalu memperlihatkan sebuah foto di WhatsAppku.

"Rian, coba lihat deh, istri kamu lagi diapain."

Mataku menatap nanar layar ponselku melihat foto-foto erotis Ayu di sana. Api cemburu membakar dadaku bersama dengan birahi mengalir cepat di dalam nadiku.

Lidya pun melepaskan celana dalamnya yang basah dan bergerak menyisipkan tubuhnya di belakang tubuhku. Dengan setengah duduk aku bersandar pada tubuh Lidya dan dipaksa menatap sajian skandal istriku.

"Gimana, Yan? Apa yang kamu rasain saat ini?" bisik Lidya di dekat telingaku, Lidya membekap mulutku menggunakan celana dalamnya yang sudah basah sehingga aroma vaginanya pun menyeruak masuk dalam penciumanku.

"Ppp .... Pa .... Panashhh ...." desahku tertahan dalam bekapannya. Batang kejantananku kembali menegang dibuatnya.

"Kalau kamu mau jadi peliharaanku lagi. Aku mau ngasih ujian ke kamu, Rian ...." Lidya pun melemparkan celana dalamnya ke arah batangku yang sudah menegang

"Kamu ngga boleh cerai sama Ayu. Selama kamu masih jadi suami Ayu, aku dengan senang hati bakal jadi majikan kamu dan bikin kamu bahagia kayak dulu lagi."

Ucapan Lidya bagaikan pisau yang mengiris hatiku. Jika aku menceraikan Ayu, aku akan kehilangan Lidya, ratuku yang kupuja. Jika aku menuruti Lidya maka aku harus merelakan hidup yang kujalani akan hilang sepenuhnya, aku akan terus membiarkan Ayu selingkuh dengan Pak Danang betapapun memuakkannya hal itu.

"A-Aku ..... L-Lid .... A-Aku ...." Dengan terbata-bata dan meneteskan air mata, aku sungguh tak mampu menjawab permintaan Lidya.

"Kamu yakin, Yan? Kamu yakin ngga mau ngerasain jepitan memek aku lagi?" bisiknya dengan nada penuh menggoda yang membuatku mabuk kepayang.

Tentunya kalian tahu apa jawabanku, di tengah tekanan lautan birahi bagaimana aku bisa menolak tawarannya.

"Aku janji .... aku ngga bakal cerai sama Ayu."

Ya, ketika kata-kata itu terucap, resmi sudah bagiku. Aku sudah kehilangan hidupku. Jiwaku sudah kujual pada Lidya agar aku bisa menjadi miliknya dan merasakan kenikmatan itu lagi.

"Kalau gitu, buktiin ucapanmu sekarang Yan!" perintah Lidya, aku pun menurut.

Dengan menggunakan celana dalam Lidya yang basah aku mengocok batangku yang sudah menegak sempurna. Sementara tangan kiri Lidya memegangi ponsel, tangan kanannya mencubit keras putingku. Membuatku mengaduh.

Air mataku terus membasahi pipiku melihat istriku yang taat agama telah disetubuhi oleh supirku sendiri, pria yang kastanya sungguh jauh di bawahku. Namun tanganku tak bisa berhenti, aku terus mengocok menggunakan foto dan video cabul mereka sementara Lidya merangsang tubuhku.

"Aahhhh .... Ahhhhnnnn .... Aku mau keluar Liddd ...." lenguhku dengan nafas menderu.

"Keluarin Yan! Keluarin semuanya!" perintah Lidya.

Aku pun menyemburkan semua lahar putih itu kembali hingga membasahi celana dalam Lidya. Wajahku terasa panas, begitupula dengan penisku. Tetapi perasaan nikmat ini sungguh takkan bisa tergantikan dengan pelacur manapun.

"Mulai sekarang kamu milikku, Rian. Turuti setiap keinginanku karena mulai detik ini aku bakal latih kamu supaya pantas jadi peliharaanku," bisiknya di telingaku.

"Baik, Lid."

Kakinya tiba-tiba melingkar tubuhku dan menghentak selangkanganku dengan tumitnya, membuatku mengaduh.

"Lancang ya kamu manggil namaku. Panggil aku Nyonya, Yan! Mulai sekarang aku ini majikan kamu!" ucapnya kasar.

"Baik, Nyonya."



Ayu Sofia Filayeti


Di sisa hari itu hingga besok paginya aku dan Ayu tak berbicara sepatah kata pun. Kami bahkan pisah ranjang saat ini, dimana aku tidur di sofa, sementara Ayu tidur di kamar. Semua kulakukan atas perintah dari pemilikku agar mulai sekarang aku harus berhenti menyentuh tubuhnya.

"Makan dulu Mas," pinta Ayu namun aku tak mampu menjawabnya. Aku pergi membawa mobilku sendiri membiarkan istriku bersama pejantannya.

Hari demi hari silih berganti, seminggu berlalu, bahkan sebulan telah berlalu. Aku terus menemui majikanku di hotel tanpa sepengetahuan Ayu. Latihan demi latihan diberikan Lidya hingga aku merasakan kenikmatan yang hakiki tiap kali dia menyakitiku. Aku memesan wanita panggilan namun tak diperbolehkan menyentuhnya, aku hanya duduk di kursi hotel sambil mengocok batangku sementara Lidya menyetubuhi setiap pelacur yang kupesan dengan uangku. Tentu aku tidak perlu khawatir Ayu mengecek ponselku karena tanpa sepengetahuannya aku punya dua buah hape, yang satunya kukhususkan buat nafsu binatangku.

Frustrasi.
Aku bahkan ikut mabuk-mabukan bersama rekan kerjaku. Menyetir pulang dengan keadaan setengah sadar sungguh memacu adrenalinku.

Ketika tiba di rumah, aku tak terlalu mengingat apa yang terjadi, namun yang kutahu adalah aku terkapar di atas sofa dengan dibantu oleh Ayu.

Malam itu aku bermimpi, Ayu meminta izin agar disetubuhi oleh Pak Danang. Mereka bersetubuh dengan liarnya di seluruh rumah bahkan di hadapanku sendiri tanpa rasa malu, sementara aku hanya bisa mengocok batang kejantananku yang ukurannya sungguh tak bisa dibandingkan dengan milik Pak Danang.

Aku terangsang, sungguh horni rasanya melihat istriku disetubuhi oleh pejantan lain. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain memandangi wajah Ayu yang terus mencapai kepuasan berulang-ulang.

"Uhhhh .... Hhhhh ....." Aku terbangun di pagi kala itu dengan keadaan pusing.

Setengah berlari aku menuju kamar mandi bawah dan memuntahkan isi perutku bekas minuman alkohol tadi malam.

"Ayu!" panggilku namun tak ada jawaban.

Seisi rumah kosong pagi ini. Lelah berjalan-jalan aku pun memutuskan untuk pergi ke dapur dan meminun segelas air putih. Aku pun kembali tiduran di sofa sambil mengistirahatkan kepalaku yang ingin pecah.

Dua .... kurasa lebih, mungkin sudah tiga bulan lamanya aku tidak menyentuh tubuh Ayu. Setelah Lidya menjadi majikanku, aku hanya bisa menjadi alat pemuas seks baginya, aku dilarang menerima kepuasan apapun untuk diriku sendiri.

Setiap kali aku pergi ke Hotel, kami memutar rekaman CCTV di rumah dan Lidya memerintahkanku untuk bermasturbasi menggunakan video skandal istriku sendiri. Jika aku berhasil orgasme maka dia akan memberkahiku dengan memperbolehkanku menjilati lubang senggamanya hingga Lidya orgasme.

Panas, cemburu, malu, dan nikmat melebur menjadi satu. Setiap frame perselingkuhan antara istriku dengan Pak Danang tersebar di seluruh rumah, mataku menatap nanar Ayu yang sudah berubah menjadi wanita binal berhijab. Di luar dia adalah sosok muslimah yang taat, namun di dalam tubuhnya dimiliki oleh Pak Danang.

Lalu aku, suaminya? Aku tidak melarang mereka.

Kugadaikan semuanya agar aku bisa meraih kenikmatan bersama majikanku, ratuku, pemilik tubuhku .... Lidya.

Perlahan rasa sakit di dadaku menghilang.
Aku kini menikmati istriku disetubuhi oleh pria lain. Aku bahkan memahami bahwa kodratku adalah mencari uang sementara pejantan lain lah yang bertugas untuk membuahi istriku.

Semua berkat Lidya.

Sepulang dari hotel aku kembali mabuk-mabukan, kali ini sendirian. Kupacu mobilku dengan setengah sadar agar merasakan suntikan adrenalin dalam darahku.

Hari itu aku kembali tiduran di sofa dan hanya bisa mengingat samar-samar apa yang terjadi selanjutnya.

Keesokan harinya aku bangun sedikit kesiangan. Tentu saja aku panik, karena lupa mengecek pesan dari pemilikku, Lidya. Kulihat Ayu sedang berada di dapur memasak makanan, aku pun sembunyi-sembunyi membalas pesan Lidya untuk mengatur kembali pertemuan kami malam ini.

Ketika Maghrib tiba aku pun mandi. Selesai membasuh tubuhku kudapati Ayu masih duduk santai menonton televisi. Aku pun bergegas naik mengganti pakaianku dan turun kembali.

"Ada kerjaan mendadak. Berangkat dulu," ucapku tanpa menunggu persetujuan Ayu

"Mmn," jawabnya singkat.

Kupacu mobilku menuju salah satu hotel berbintang di jantung ibukota. Ketika aku memasuki kamar dengan nomor 310. Tampak di hadapanku seorang wanita mengenakan gaun malam dengan begitu anggunnya menatapku dengan penuh kerendahan.


Lidya Eka Wulandari


"Udah kubilang jangan telat, 'kan? Kok telat!" ucap Lidya marah.

"M-Maaf Lid, a-aku...."

PLAK!

Sebuah tamparan keras bersarang di wajahku. Lidya mendorongku ke pintu lalu memagut kasar bibirku. Ditekannya bahuku lalu aku pun jatuh terduduk di depannya.

"Berani ya kamu manggil namaku!" ucapnya lagi dingin.

Aku yang bergidik mendengarnya pun jatuh dalam karismanya. Aku pun bersujud di hadapannya dan dengan lemah memohon ampun.

"Maaf, Nyonya. Maafin, saya."

Lidya mengangkat daguku dengan kakinya hingga kami bertukar pandangan. Dia tersenyum puas melihat kepatuhanku.

"Aku maafin, tapi kamu harus tetap dihukum ya, Rian."

Aku ditelanjangi dan diikat di ranjang hotel. Dia memakaikan gag ball sebagai penutup mulutku lalu mengenakan penutup mata padaku.

Dalam kegelapan aku merasakan rangsangan demi rangsangan dia berikan di putingku. Ibu jari kakinya menjalar di sekujur tubuhku lalu mencubit sedikit buah zakarku. Lidya pun turun dari ranjang lalu memasangkan sebuah benda di buah zakarku, rasanya sedikit sakit saat dia membetotnya, entah apa yang saat ini majikanku lakukan padaku.

"Mmmhhhh ...." ringisku tertahan, membuat ratuku tertawa puas.

Seketika sebuah getaran tiba-tiba muncul di bawah sana. Aku menggeliat bak cacing kepanasan dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Rupanya dia menaruh vibrator di buah zakarku. Hukuman yang diberikan Lidya berupa rasa ngilu dan nikmat di saat yang bersamaan.

Sayangnya kenikmatan itu hanya sesaat. Samar-samar kudengar suara ketukan di pintu kamar kami hingga pemilikku pun pergi meninggalkanku.

Lama dibiarkannya aku dalam kegelapan hingga sayup-sayup kudengar langkah orang mendekat kembali ke arahku.

"Shaafa.... Yangh hatanggh.... Hid...."
(Siapa yang datang, Lid?)
ucapku di tengah sumpalan gag ball ini.

"Temen aku. Katanya mau lihat kamu udah sampai mana progressnya," jawab Lidya sambil mengecup dahiku.

Kurasakan sebuah kain mendarat di wajahku. Ah~ Aroma ini sungguh memabukkan. Ini adalah bau vagina dari Lidya. Setiap hari aku menjilatinya, setiap hari aku mengendusnya, hingga aku hafal betul rasanya. Aku dengan semangat mengendus kain itu, memberikan pertunjukan pada ratuku dan juga temannya.

"Enak Yan? Baunya?" tanya Lidya dengan nada menggoda.

"Emhnakk Mmphhshhhhh .... Hmmmmhhsshh...." jawabku sambil terus menghirup dalam-dalam aroma benda itu.

Samar-samar kurasakan aroma lubang surgawi Lidya terasa begitu dekat, aku memajukan wajahku namun baunya menjauh, saat aku menurunkan kepalaku lagi baunya kembali mendekat. Aku dibuat gila karenanya dan melenguh keras hingga akhirnya gumpalan daging itu pun mendarat juga di wajahku.

"Ahhhh... Shhhh hehhhh...." Terdengar suara Lidya mendesah nikmat menikmati servis mulutku, digesek-gesekkannya lubang vaginanya di mulutku seolah aku adalah tisu toilet pribadinya sementara kurasakan tangannya yang lain menekan-nekan batang milikku hingga menyentuh getaran vibrator.

"Mhhhhhh.... Hemmmhhhhh Mmphhsh ....." Aku mengerang tertahan. Selain karena rangsangan dari Lidya, fakta bahwa ada orang yang tengah menyaksikan permainan kami membuat birahiku meluap-luap.

"Nggghhhh Ahhhh bagusshhh Bagus Yanhh Terushhhh yaaaahhhh di situuu...." lenguh Lidya saat lidahku bermain di klitorisnya.

Rasanya penisku panas sekali, getaran vibrator ini benar-benar membuatku terasa sensitif. Kurasakan satu kecupan di ujung pangkalnya yang memicu ledakan spermaku hingga muncrat dengan keras.

Lidya mengangkat selangkangannya kembali hingga aku bisa menarik napas sebanyak-banyaknya sambil menikmati orgasmeku.

Kurasakan sebuah lendir mengalir memasuki mulutku, nyaris membuatku tersedak. Aku pun dengan cepat menelannya karena sadar cairan ini adalah lendir dari majikanku, Lidya. Kuminum sebanyak-banyaknya hingga dahaga selepas orgasmeku pun terpuaskan. Setelah itu Lidya pun melepaskan gag ball yang menutupi mulutku.

"Temenku mau bersihin peju kamu boleh ya Rian," bisiknya di samping telingaku.

"Boleh," jawabku namun sebuah tamparan keras kembali bersarang di pipiku.

"Kok gitu jawabnya, bukannya udah diajarin cara jawab yang bener?" tanya Lidya.

"S-Silahkan, Nyonya...." jawabku lemas, dan Lidya pun mencubit putingku membuatnya mengaduh nikmat.

Kurasakan tangan halus menyingkirkan vibrator itu dari buah zakarku. Dia menjilati seluruh cairan di batang penisku lalu mengocok-ngocok penisku yang sudah mengecil, satu ciuman didaratkannya pada batang penisku yang sontak membuatku melenguh nikmat.

Setelah itu aku dipaksa memuaskan Lidya dan temannya dengan keadaan mata tertutup. Aku tidak tahu apa, siapa, bagaimana, yang aku tahu adalah aku harus mematuhi perintah pemilikku saat ini.

Lidya menggenjot tubuhku dengan penuh semangat menikmati desahan demi desahan yang keluar dari mulutku.

"Ceritain sama temen aku Rianhhh..... Waktu kamu dikirimin video seks sama pembantu kamu .... Waktu kamu lihat istri kamu lagi dientot orang lain Apa yang kamu lakuin?!" desah Lidya di tengah genjotannya.

"S-Saya .... Ehhhh .... Saya ngocok Nyonyahhhh .... Saya coli pake video seks merekahhh...." rintihku keras.

"Terushhhh kenapa ngga kamu cerai istri kamu, Riann? Hehhh? Kenapa ngga kamu ceraiiii?" erang Lidya lagi sambil mempercepat genjotannya.

"Saya sukahhh istri saya dihajar kontol orangggg .... Ohhhh berkat Nyonyah .... Hhh hhhh hhhh uhhhh .... Saya sadarrr kodrat saya cuman buat nyari duit.... Hhh saya lebih suka lihat istri saya ohhhhh main sama laki-laki lain daripada sama saya ...." lenguhku lagi mendesah kesetanan.

Detik itu pula Lidya menarik penutup mataku, ketika aku sudah berada di depan gerbang kenikmatan. Saat aku menoleh ke samping, kudapati Ayu terikat di kursi dengan tatapan kosong dan berurai air mata dengan kondisi selangkangan banjir disebabkan tekanan vibrator.

"Ayuhhhhh .... Kenapa kamu disinihhhhhh .... Ohhhhh ...." Aku pun orgasme dengan keadaan shock saat aku mengetahui bahwa teman yang Lidya bawa ke kamar ini adalah istriku sendiri, Ayu.

Tubuhku melenting tak berdaya lalu menyemprotkan air mani secara membabi buta, sebelum akhirnya lemas.

Habis sudah semuanya.
Kini Ayu sudah tahu aku bukan hanya selingkuh darinya, namun dia melihat langsung betapa hinanya suaminya sekarang dipermainkan sahabatnya sendiri.

Air mataku menetes, mentalku terasa remuk sebelum berangsur-angsur hilang kesadaran.

Maaf, Ayu.
Aku, suamimu, sudah jadi milik Lidya.
.
.
.
To Be Continued
 
Wooo ........ Gitu too??????
Dasar "Sambooo" ...........
(Apa Sambo cukold gak yaa?????)
wkwkwk 😜😜😜
 
Carita bagus dari TS yg mantul punya, biar copy tapi pasti
Semangat suhu, update terus jgn kasih kendor si akhwat lonte
Suka banget genre nya
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd