Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Cerita Agung yang sederhana atau engga

Paling suka dengan karakter perempuan yang mana? (Boleh pilih 2)

  • Putri

    Votes: 56 60,2%
  • Kak Rani

    Votes: 23 24,7%
  • Sarah

    Votes: 13 14,0%
  • Dinda

    Votes: 31 33,3%

  • Total voters
    93
Loh Agung belom nongol lagi nih.....
 
Chapter IV

Sudah lebih dari seminggu gue menghabiskan waktu disini. Sampai di kampung, gue langsung ke rumah nenek, karena disana ibu menginap selama ayah diperiksa. Dibalik suasana duka karena ayah sedang menunggu panggilan pengadilan, gue menghubungi pacar gue, Dinda. Berbeda dengan gue, dia kuliah di kota ini. Kami akhirnya memutuskan untuk bertemu besok malam sambil makan di sebuah kafe.

Tiket yang gue beli itu Cuma sekali jalan, gue belum tahu apakah akan lanjut kuliah disana atau memilih tinggal disini, kuliah disini saja seperti Dinda. Sejujurnya gue gak sanggup buat ninggalin ibu gue lagi karena dia merasa tertekan banget. Ketika gue bertemu dengan ayah gue, beliau menyuruh untuk tetap melanjutkan kuliah disana. Sebagai anak tunggal, harapan keluarga ini ada di pundak gue. Dia mengatakan kalau dia telah dijebak oleh rekan bisnisnya. Membuatnya tertuduh sebagai pejabat yang melakukan korupsi.

Gue yang sedang linglung karena bingung untuk memutuskan apakah harus tetap tinggal atau balik akhirnya menghubungi Dinda. Pacar yang belum gue hubungi walaupun gue sudah kembali ke kampung asal. Kini, gue akan bertemu kembali dengannya. Sudah 3 bulan gue tidak bertemu dengannya. 3 bulan yang penuh kegilaan dengan gue akhirnya melepas keperjakaan dengan Putri, mendapatkan blowjob dari Kak Rina, hingga hampir mengekse Sarah.


Sampai di cafe

Gue menunggu dia di cafe yang sama kami biasa berkencan waktu SMA dulu. “SMA dulu”, seperti sudah lama banget, padahal baru beberapa bulan. Untungnya UTS sudah lewat jadi gue tidak perlalu dikejar waktu uncuk cepat-cepat kembali. Tetapi, gue tetap harus memutuskan secepatnya apakah tetap tinggal atau tetap lanjut.

Dari arah pintu masuk cafe terlihat sosok cantik yang menggugah hati gue waktu SMA. Dinda, ia mengenakan jaket jeans yang dibiarkan terbuka memamerkan kaos hitam yang ia pakai. Celana jeans biru ia padukan dengan sepatu kets. Gue cukup kaget melihat penampilannya yang sudah jauh berubah dari sebelumnya. Dulu waktu SMA, Dinda bisa dibilang agak kuper, tetapi apa gerangan yang terjadi selama 6 bulan ini yang mengubahnya seperti ini, atau hanya karena ia ingin menyenangkan gue saja?.

Dinda tersenyum tipis ketika melihat gue membuat matanya yang menjadi garis tipis. Ia memang seorang keturunan cina, ayahnya seorang pemilik toko besar di kampung kami.

C:\Users\Admin\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg


“Hai, Agung!”, katanya agak malu-malu.

“Ha... halo, Dinda”, kata gue agak gugup karena Dinda yang sekarang bukan Dinda yang dulu.

Kami berdua terdiam, gue sendiri lupa apa yang ingin dibicarakan.

“Udah pesan?”, katanya ceria.

“Oh, belum, gue pesan dulu ya”, kata gue.

“Ooh, ngomongnya udah pake “gue” sekarang ya, dasar anak kota”, katanya lagi.

“eh eh, aku maksudnya”, kata gue salah tingkah.

Setelah memesan makanan, akhirnya gue membuka percakapan, gue mau ngomong soal keluarga gue.

“Hm.. Din, kamu cantik banget hari ini”, Lha, kok gue malah muji dia.

Dinda hanya tersenyum lalu berkata,

“Bisa aja, hehe”

“Serius...”, kata gue lagi.

Dinda hanya menundukkan kepalanya sambil menyembunyikan senyum lebarnya.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar orang tuamu?”, tanyanya.

Akhirnya, mengalir cerita tentang keluarga gue, bagaimana keluh kesah gue selama menghadapi sesuatu yang bisa dibilang bencana besar ini. Kami terus mengobrol soal itu, sampai soal gue bimbang apakah harus tetap disini atau kembali kuliah.

“Aku setuju dengan ayah kamu gung, kamu harus tetap kuliah ya”, katanya lembut sambil memegang tangan gue.

Gue agak terpana dengan perlakuan Dinda, gue gak nyangka dia bisa selembut ini, bagaimana mungkin gue membiarkan perjaka gue dikasi ke orang lain, sedangkan gue udah punya pacar secantik dan sepenyayang dinda.

Kami terus mengobrol ngalur ngidul dan gue merasa ini adalah hari paling bahagia yang gue rasakan akhir-akhir ini.


Malam itu, gue merasa bahagia banget. Setelah mengantar dia pulang, Dinda memberi gue ciuman di pipi, wah, belum pernah gue merasakan ini sebelumnya saat pacaran. Tidak ada firasat buruk apapun sampai akhirnya sebuah chat masuk,

Isinya sebuah foto yang membuat seisi dunia gue runtuh. Gue lihat foto Dinda dengan mulut terbuka dan cairan putih di pipinya. Gue tahu darimana cairan putih tersebut, karena melihat batang penis cokelat mengacung di depan wajahnya.

Chat gambar tersebut diiringi chat lain dibawahnya,

jangan harap lo dekatin dia lagi, dia udah jadi milik gue

THE FUCK.


Semua cacian dengan deras mengalir di kepala gue, F*ck, ng*ntot, bangs*t, anj*ng!

Bagaimana bisa Dinda yang sesuci itu, semanis itu....


Gue menarik nafas panjang-panjang seakan dunia menyempit dan gue kehabisan udara. Gue hanya bisa terbaring di kasur sambil melihat langit-langit, air mengalir dari sudut mata gue, rasanya hangat. Gue melempar hape gue jauh, takut gue kalap lalu melempar hapenya ke dinding. Gue mengambil guling lalu menangis sejadi-jadinya.

Tenang saja ketika satu pintu tertutup, pintu yang lain akan terbuka, teruslah mencari.

Setiap ada bencana pasti ada sisi terangnya

Ada makna dibalik setiap kesulitan

FU*K!!!!! Taek kata-kata mutiara, taek kata-kata motivator b*bi. Omong kosong semuanya, omong kosong B*ngsat!


Ketika gue bangun pagi ini, masih ada rasa sakit di dada gue. Gue lalu memutuskan untuk mandi. Di shower gue merenung. Gue tinju dinding kamar mandi sampai tangan gue ngilu. Setelah selesai mandi gue mengambil hape gue dan membuka chat semalam. Tidak ada chat baru lagi.

Gue tatap, foto Dinda dengan mulut terbuka tadi. Gue menunduk malu dan jijik melihatnya, gue lawan rasa itu, gue tatap lagi. Gue tatap terus sampai rasa malu gue hilang, sampai rasa jijik gue mati. Layaknya seorang monster yang terbangun. Sebuah ide terlintas di kepala gue, gue mulai membayangkan bagaimana rasanya kalau penis itu punya gue.


Siang.

Gue sudah memutuskan kalau gue gak bisa tinggal di kota ini lebih lama, gue harus kembali kuliah, mempersiapkan ujian akhir semester. Sudah banyak yang gue lewati, kuis, pelajaran, gue harus kembali kuliah. Seperti yang ayah, dan ironisnya Dinda katakan, gue adalah harapan keluarga ini. Agar tetap bisa bertahan. Gue memutuskan untuk kembali ke Jawa besok, tetapi hari ini masih ada yang harus gue tuntaskan. Dendam yang harus gue tuntaskan.

Gue mengajak Dinda bertemu di cafe kemarin, gue bercerita jika sedang stress dan butuh dirinya. Dia mengiyakan ajakan gue.

Gue menunggunya di meja kemarin dan melihatnya masuk ke cafe. Dinda yang cantik itu, Dinda yang manis itu, masih tersenyum lebar sama seperti kemarin, tidak tahu apa yang telah terjadi dan akan terjadi kepadanya.

“Hai, Gung!”, katanya.

Hari ini ia memakai kaos hitam turtleneck, dengan celana jeans biru. Ia memakai lipstik pink, sangat cantik dan serasi dengan wajah bulat orientalnya.

“Halo, Din”, kataku tenang.

“Lho, udah pesan ya?”, tanyanya ketika melihat gue meminum segelas mojito.

“Udah, tapi gausah pesan lagi din”,

“Lho, kenapa?”

Gue langsung menunjukkan foto yang dikirimkan tadi malam.

Dinda langsung terskesiap dan kaget dengan apa yang ia lihat di layar hape gue. Tangannya menutup mulutnya. Tak bisa berkata apa-apa.

Dia hanya terdiam sambil tertunduk, dengan nafasnya yang tiba-tiba menjadi lebih cepat. Terlihat tubuhnya agak bergetar,

“Punya siapa kontol ini?”, tanya gue.

Dia menatap gue sekilas, agak ragu menjawabnya, nafasnya masih belum tenang juga. Giginya mengigit bibir bawahnya, antara takut dan ragu untuk menjawab pertanyaan gue.

“Gung, aku bisa jelasin”, katanya.

“Gue gak butuh penjelasan, gue Cuma mau tau ini kontol siapa dan dimana lo ngentot”

Dinda memasang muka kaget setiap kali aku mengeluarkan kata kasar, dia takut orang lain mendengar perkataan gue.

Dia lalu mengambil nafas panjang dan berkata,

“itu Rio, di kosanku”, katanya.

Gue tahu selama kuliah, walaupun Dinda adalah warga lokal, tetapi dia memilih untuk tinggal di kosan agar tidak jauh dari tempat kuliahnya. Hari ini sedang libur weekend, makanya dia sedang ada di rumah ayahnya.

“Oke, kita ke kosan lo sekarang”,

“Ha?”, kembali wajah kagetnya ia perlihatkan kepada gue.

“Iya, ke kosan, gue gak punya uang buat sewa hotel”, kata gue.

Dia menghembuskan nafas, mulai paham dengan apa yang akan terjadi kepadanya. Dia memang bukan cewek yang bodoh memang.

Setelah diam agak lama, akhirnya dia berkata,

“yaudah, yuk”, katanya.


Suasana agak sendu ketika kami berdua sudah di dalam mobil, oh iya, ini mobil om gue yang gue pinjam.

Jarak antara tempat tinggal kami ke kosan Dinda hampir satu jam.

Karena kami berdua diam selama perjalanan, gue akhirnya melepas sabuk dan membuka resleting celana gue

“sepong, dong”, perintah gue.

Dia agak kaget dengan perintah dan kelakuan gue, tetapi tetap menuruti maunya gue.

Ia menurunkan kepalanya dan mendekati selangkangan gue yang sudah ada penis tegak siap dilahap. Ia memegang batang gue agar stabil, ia mulai menjilat-jilat ujung kepala penis gue dan melahap seluruh batang gue. Gue mencoba untuk di posisi relaks agar lebih menikmati aktivitas Dinda.

“mmmph, mmph”, suara dari mulut dinda yang sedang mengulum penis gue.

Gue terus menyetir dengan Dinda yang masih membungkuk di selangkangan, terkadang dia melepas dan mengocok-ngocok penisku. Tangan gue mengelus-elus rambutnya yang agak kemerah-merahan. Itu.

Ketika memasuki daerah kota, gue menyuruh dia untuk menunjukkan jalan ke arah kosannya.

Kami sampai di kosannya yang cukup bagus, didepannya ada tulisan laki-laki dilarang masuk. Sepertinya hanya formalitas saja karena gue dengan mudahnya bisa masuk ke kosan itu.

Dia lalu mempersilahkan gue masuk kedalam kamarnya. Sekilas gue terbayang kalau lokasi ini yang menjadi tempat ia dan laki-laki itu ngentot.

Ketika ia mengunci pintu, gue langsung membuka baju gue di depannya. Dia masih diam mematung, seperti berpikir apakah yang ia lakukan kesini benar atau tidak. Gue tidak memedulikan itu, gue langsung mencium leher dia dan merapatkan tubuhnya ke dinding kosan yang didominasi warna pink.

Gue hirup dalam-dalam aroma lehernya, lalu berpindah ke bagian telinganya

“aah”, dia menggelinjang geli akibat cumbuanku.

Gue cium bibir pinknya dengan lama. Dia juga merespon ciuman gue dengan tangannya kini mengalungi leher gue. Mungkin dia juga sudah bodo amat dengan kejadian tadi. Dengan posisi masih berdiri dan berciuman, tanganku mulai meraba-raba bagian tubuhnya. Dari dadanya yang cukup besar dan kenyal aku remas dengan agak kasar, karena nafsu sudah menguasai diri gue. Gue remas dan dia mendesah karena rangsangan di dadanya.

Gue menurunkan badan gue ke bawah dan mencium dadanya, aroma parfum tercium dari dadanya. Gue cium dalam-dalam dadanya yang masih terbalut kaos hitam. Gue semakin turun dan mengangkat kaosnya untuk mencium bagian perutnya yang langsing.

Perlahan gue buka kancing celana jeansnya dan menurunkan celananya. Gue lihat, bagian bawah celana dalamnya sudah basah. Kuciumi daerah itu, terasa wangi khas vagina dan basah yang hangat.

“Aah”, desah Dinda sambil tangannya memegang belakang kepalaku. Kakinya terangkat-angkat, menikmati rangsangan yang gue berikan di vaginanya, dasar lonte.

Gue buka celana dalamnya yang ternyata telah bersih dari bulu. Hanya bulu-bulu kecil dan sedikit tajam yang tersisa diatas vaginanya. Gue jilat dengan rakus klitoris basahnya dengan lidah gue menjelajahi labia mayoranya. Menjilat-jilat sampai seluruh rongga vaginanya bisa merasakan basah basah air liur gue.

Diatas gue lihat, Dinda hanya mendesah keenakan dengan kepalanya menengadah keatas. Gue bangkit dengan jari tengah gue mengganti aksi lidah gue. Gue lumat kembali bibirnya. Ia kini terlihat makin pasrah, menerima semua serangan dari gue. Gue makin mempercepat jari tengah gue di klitorisnya. Kini, dinda sudah semakin tegang dan memeluk tubuh gue dengan erat.

“udah, udah plis, ahh, ahh, gung...”,

“Aaaah”, teriakan orgasme Dinda terdengar, ia sampai menjinjit saking keenakan.

Dinda kini berdiri dengan agak bergetar karena sedikit lemas.

“gantian”, kata gue.

Gue lalu dengan santainya, berbaring di kasurnya dia.

Dia menuruti gue dan mulai membuka celana gue.

Dibelai-belainya penis gue yang sudah menegang dari balik celana dalam. Dibuka celana dalam gue dan mulai mencium kepala penis gue. Dimasukkannya seluruh batang gue kedalam mulutnya sedangkan tangannya meraba paha gue.

Dia melakukan blowjob dengan free hand, membuat penis gue mengacung semakin tinggi. Dinda pun memosisikan dirinya merangkak di selangkangan gue. Kepalanya naik turun dengan tangannya kini memegang pangkal batang dan bola gue. Dia menggelindingkan bola gue membuat gue semakin enak, lidahnya dengan telaten bermain di batang gue.

“Ooh”, desah gue keenakan.

Klok klok klok

Mulai terdengar suara karena banyaknya air liut di penis gue sekarang, membuat rasa di penis gue panas dingin.

Terkadang Dinda melakkukan Deepthroat, lalu diselingi dengan ia mengambil nafas tetapi tangannya masih mengocok penis gue.

Setelah gue rasa cukup, gue bangkit dan mengitari tubuh Dinda yang kini hanya menyisakan kaos hitam.

“Plis gung, jangan disitu...”, katanya pelan,

“Kenapa?”, tanya gue.

“aku... aku masih perawan katanya”, agak terisak.

Plak!

Aku memukul pantatnya

“Ouch”, teriak Dinda, ia meringis karena tamparan di pantatnya.

“Gak percaya gue, mau gue buktiin”, kata gue.

“Plis Gung, jangan”, katanya lagi, suaranya mulai bergetar.

Gue coba mengusir pikiran apakah benar atau tidak dia masih perawan. Gue menampar kembali pantatnya karena kesal.

“udah diem lo”, kata gue.

Gue lalu meludahi lubang pantatnya.

“Agung, Agung mau ngapain kamu?”, tanyanya panik.

“Diem aja lo”, kata gue lagi.

Penis gue yang sudah tegang maksimal mulai menerobos lubang pantatnya yang sudah licin. Gue masih ada rasa kasihan karena dia mengaku perawan, bodo amat benar atau tidak, lagipula gue juga salah karena udah main sama Putri di Jawa.

“Ouchhhh”

“Ooohh”, teriak Dinda, ada getir karena sakit didalam suaranya.

“rasain nih lonte”,

Ketika sudah masuk sempurna, gue memaju-mundurkan penis gue. Terlihat tangan dinda meremas-remas seprei kasur.

“Ooh, sakit”, katanya perih.

Gue bodo amat dan terus menyodok-nyodok lubang pantatnya.

Seiring dengan semakin lancarnya kontol gue menyodok anusnya, Dinda semakin relaks dan mulai menikmati permainan ini.

Gue lalu menjambak rambut Dinda dan membuatnya menengok keatas. Dengan pinggul gue yang terus berayun, tangan gue yang satunya meremas-remas dada Dinda yang kenyal.

“Lepas baju lo, din”, perintah gue.

Dia melepas bajunya. Dengan satu tangan gue melepas kaitan BH-nya.

Kini, kami berdua sudah sama-sama telanjang. Gue terus memompa pantatnya dan mulai terdengar desah nafas Dinda keenakan dengan persetebuhuan kami.

Gue memutar badannya, kini posisi kami berhadap-hadapan dengan dia berbaring di kasur. Kulihat lubang pantatnya yang sudah agak besar. gue masukkan lagi penis gue ke anusnya, dan dia kembali memeramkan matanya, seperti menikmati.

Kakinya kini mulai mengunci badan gue. Sama seperti tangannya yang ia kalungkan di leher gue.

“Ahh, aahh, aah,,”

“aaah, aah,”

“aaah, maafin gue Gung”, katanya terisak lalu ia menangis.

Gue yang sudah hampir diujung, mempercepat sodokan dan memejamkan mata agar tidak terbawa emosi sedih Dinda.

“Ohh, Oooh, ooh”, desahku menikmati legitnya anus Dinda.

“Gue... mau... keluarin di mulut lo, din”, kata gue ketika sudah mau diujung.

Gue cium kembali payudaranya, gue remas makin kencang hingga ia berteriak.

Ketika sudah diujung, gue cabut penis gue yang membuat mulutnya langsung berbentuk O.

Gue arahkan kepala penis gue ke mulutnya yang sudah terbuka

Croot.. croott.. crott...

Perasaan sangat enak mengalir di tubuh gue ketika sperma gue berhambur keluar. Gue menatap wajah oriental Dinda yang ada di depan penis gue. Cairan putih menempel di pipinya, rambut, dahi dan yang paling banyak di mulutnya. Setelah habis, gue menyodorkan penis gue kedalam mulutnya yang membuatnya memuntahakn sperma ia tampung tadi membasahi seprei kasurnya.

Lama gue tenggelamkan penis gue dimulutnya, menikmati penis gue hingga ia mengecil kembali. Perasaan puas, sedih, marah, bercampur jadi satu. Tetapi, gue tidak menyesal. Gue sudah membalas dendam gue.


“Izinin aku jelasin, Gung”, kata Dinda ketika gue sedang memakai baju kembali bersiap untuk kembali ke rumah.

“Aku dipaksa Gung”, katanya.

Gue mendengarnya, tapi rasanya sudah terlambat untuk mengubah keputusan gue.

“Ada satu kejadian, terus Rio mengancam aku, katanya foto itu akan dia sebarkan....”

Gue telah selesai memakai pakaian. Dinda masih berbaring di kasur.

“Dia kemarin mengancamku untuk tidak bertemu denganmu di kafe karena dia cemburu... aku tidak menyangka jika ia mengirim foto itu ke hapemu”, kata Dinda.

“Terus lo main, keenakan, tapi perawannya belum diambil”, kata gue cuek.

“Bukan itu poinnya, Gung!”, kata Dinda yang mulai terisak kembali.

Gue menghembuskan nafas panjang.

“kita putus, din... selamat tinggal”, gue pergi meninggalkan Dinda yang menangis di kasurnya.

Hati gue masih beku mendengar apapun pembelaan Dinda.

Gue meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah.


Di perjalanan gue kepikiran dengan Rio yang mengancam Dinda. Jika benar apa yang Dinda katakan maka penderitaan Dinda tidak akan berakhir.

Sore itu gue menunggu di depan rumah Rio, menunggu ia keluar. Gue kenal dengan Rio yang merupakan teman gue juga waktu SMA. Dia memang satu kuliah dengan Dinda, tapi gue gak nyangka dia tega melakukan ini, padahal dia tahu kalau Dinda mempunyai pacar, yaitu gue.

Gue lihat ketika petang, Rio keluar dengan mengendarai motor. Pikiran gue sudah gelap kala itu, sudah terlalu banyak permasalahan di hidup gue dan gue hanya ingin mengakhiri itu semua satu persatu. Memanfaatkan suasana yang gelap dan jalanan kampung yang sepi, gue menabrak motor itu dari belakang, membuat Rio jatuh terhempas. Gue lalu memukulnya berkali sebelum akhirnya mengikat dia.

Gue bawa dia ke kebun sawit yang dimiliki oleh keluarga. Ada sebuah gubuk tempat ayah dan keluarga gue beristirahat kala datang ke kebun. Disitu gue dudukkan ia di kursi lalu menelanjanginya.

Di perutnya gue coret dengan spidol

“BANCI”,

lalu gue mengambil foto Rio yang sedang telanjang dengan tulisan banci. Agar lebih dramatis, gue membuka celana gue dan mengacungkan penis gue di depan wajah Rio yang masih tidak sadar. Setelah selesai gue mengangkatnya kembali, membawa ia kembali ke tempat gue menabrak motornya. Tidak lupa gue mengambil handphonennya untuk mengecek foto-foto Dinda.

Ketika ia sadar aku ancam kalau aku akan menyebar fotonya apabila ia berani menganggu Dinda lagi. Dia hanya bisa mengangguk dengan tatapan kaget karena melihat gue.

Setelah semalaman gue mengutak atik handphone-nya dan mengahapus seluruh foto Dinda gue mengakhiri aksi gue dengan mengirimkan Dinda chat. Chat-chat tersebut berisikan foto Rio yang sedang telanjang dan handphone Rio yang sudah gue hancurkan.

Dibawahnya ada chat lagi dari gue,

Sekarang gue serahin sama keberanian lo.
 
Terakhir diubah:
Akgirnya updet lagi.....
Cara upload gambat ada caranya kok
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd