Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Buah Yang Sama

Dini memang gadis pintar. Dia berusaha memeras aku dan Angga. Kalimat terakhir Angga membuatku heran dan memasang telinga lebar-lebar.


Lirikan penuh penantian dibalas olehnya dengan menggandeng tanganku masuk ke rumah. Mengunci rapat pintu, dia bicara serius.


Aku tak percaya dengan apa yang dia ucapkan. Otaknya jahat!


Menggeleng aku menjauhinya. "Gak! Dia masih muda Ngga, masa depannya masih panjang!"


"Dia gak peduli sama kamu Mbak, yang dia mau harta. Udah jelas banget otaknya ingin itu."


Aku pergi ke dapur, menyalakan keran wastafel, mencuci muka dengan air dingin. Sungguh gila itak Angga. Namun, hanya itu cara membuat Dini bungkam. Apa benar?


Dari belakang tangannya menyusup merangkul pinggangku. Pipi kami bertemu. Aneh, akh tak melawan.


Dia berbisik, "Mbak, semua demi keluarga Mbak. Kalau Mas Heru tahu, semua hancur. Ayo Mbak, harus setuju dengan rencanaku." Pandai dia memikatku dengan mendengus kencang ke telinga. Manja bibirnya menggigit leherku.


Melepas peluknya, aku berbalik badan menghadap Angga. "Tapi apa gak apa-apa? Apa kamu gak akan kena masalah?"


Tangannya mendorong tepi wastafel, mengecup keningku. "Aku gak apa-apa Mbak. Demi Mbak aku rela jadi korban."


Kalimat itu terucap dengan senandung cinta yang membuat dadaku tak karuan. Sosok ini rela berkorban demiku yang menolak ajakannya tadi malam?


"Punya handycam?" bisik Angga.


Handycam akan menjadi kunci segalanya. Aku dan Angga bersiap menjalankan rencana itu. Aku membeli handphone baru untuk Dini dan memancingnya masuk ke rumahku.


"Mana motornya?" tanya Dini, duduk di sofa ruang keluarga mencoba handphone baru. Bodoh, sungguh bodoh.


Mengunci pintu depan, aku sedikit iba pada gadis itu. Mengenakan kaos oblong dan celana pendek, sore ini dia akan kehilangan sesuatu yang berharga.


Angga menaruh handycam ke lemari dekat meja makan. Dia tersenyum padaku, kode supaya membawa Dini ke meja makan.


"Nanti kita beli motor," jawabku, me aruh brosur motor ke meja makan. "Pilih yang mana. Jangan mahal-mahal."


Dini tanpa curiga menghampiri meja makan dan dari belakang Angga menyergapnya. Tangan kekar itu mendorong Dini hingga dadanya menempel ke meja makan. Kakinya masih berpijak pada lantai. Sigap Angga membekap mulut gadis itu, sambil berusaha menarik turun celana pendek jeans Dini.


Dini meremas brosur ketika meronta. Wajahnya memerah dan basah oleh air mata. Aku membantu menarik turun celana Dini dan melihat betapa mulusnya vagina bocah itu. Sempit, tanpa bulu, hanya sedikit merah. Sepertinya baru dia bersihkan. Sementara selang panjang yang pernah kukulum muncul kembali.


"Jilat," pinta Angga. "Ayo, aku butuh liurmu."


Aku mengulum beberapa kali benda itu, sebelum membantu masuk ke lubang senggama. Seketika benda itu masuk setengah. Sisanya tertahan.


Erangan Dini semakin keras. Matanya mendelik besar seperti hendak melompat keluar. Ketika pinggang Angga mulai maju mundur dan bergoyang. Erangan itu menjadi rintihan nikmat. Bahkan ketika dekap Angga lepas, Dini malah mendesah.


"Ssh ah, gede banget Bang, sssh ahhh." Kasae Angga membalik badan Dini hingga terlentang di meja. Angga mengangkat dua kaki Dini hingga membentuk huruf V,di mana celana dan celana dalamnya terjebak di pergelangan kaki.


Angga mengulum jari kaki gadis itu, menjilati telapak kakinya, sambil terus menggoyang pinggang. Dini merem melek menikmati semuanya.


Perlahan aku mundur, duduk di kursi. Mengambil mentimun aku mengangkang, mengelus vagina dari luar celana dalam.


Tubuh mereka mulai bermandi keringat. Angga menarik ke atas kaos Dini,mulai membenamkan wajahnya ke dada yang baru tumbuh. Sesekali dia mengintip ke arahku, laku memberi kode untuk mendekat.


Aku menurut. Dia merebut mentimun yang kupakai memakan sayur itu. Melepas kaos, dada bidangnya yang berkeringat memancarkan aroma pekat pejantan. Semakin keras hentakkan pinggangnya, hingga kaki meja mulai berdecit.


Aku tak kuasa. Aku ingin. Diriku kalah.


Aku mulai menjilati keringat di dadanya, menghisap pentil hitam pria berkulit sawo matang. Sesekali aku mengintip vagina Dini mulai berbusa. Tangannya memegang perut sixpact Angga. Sepertinya enak. Sepertinya nikmat.


"Mbak pengen?" bisik Angga.


Sontak aku tersadar, menjauh darinya. Niatku untuk menyudahi hubungan ini. Perlahan aku hendak menuju kamar di lantai dua, tapi erangan Dini membuat kakiku kaku.


Vaginaku basah, membayangkan diriku di posisi dini. Aku menoleh ke belakang, mendapati mereka berubah posisi. Angga duduk di kursi makan, membiarkan Dini menggenjot badannya naik turun. Rakus Angga menghisap pentil Dini hingga gadis itu mendongak keenakan.


Angga mengangkat tangannya, mengajakku bergabung.


"Argh Anggah!" teriak Dini, menoleh padaku. "Sinih …. Sinih …."

Angga memaksa Dini memandangnya, laku mereka berpagut liar. Tangan Angga kembali melambai padaku. Dia menginginkanku.


Aku menggeleng, kabur masuk kamar, mengunci diri di sana. Suara erangan semakin liar dan suara denyit meja makan membahana sampai terdengar dalam kamar. Aku menangis, tapi anehnya, jari kananku meraba-raba bagian luar celana dalam yang basah kuyup.
Keren banget bro..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd