Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Bu Marmo (Repost...tp asyik)

Seperti yang kujanjikan, beberapa teman kantorku akhirnya menjadi langganan pijatan Bu Mumun setelah aku mempromosikannya. Rupanya pijatannya benar-benar disukai para pria. Termasuk Pak Marmo, atasanku.

Bahkan ada dua temanku yang menanyakan kemungkinan untuk tidak sekadar mendapat layanan memijat dari Bu Mumun tetapi lebih dari itu. "Kayaknya bisa nggak To kalau Bu Mumun diajak begituan. Aku suka lho wanita tipe seperti dia. Sudah tua tapi tubuhnya masih bagus dan terawat," kata Rizal, teman sekantorku suatu hari setelah hari sebelumnya dipijat Bu Mumun di rumahnya.

Rizal juga cerita, saat dipijat ia sempat menggerayang ke balik daster yang dipakai Bu Mumun. Tetapi ternyata, kata Rizal, Bu Mumun di samping memakai celana panjang ketat sebatas lutut juga memakai celana dalam rangkap. "Entah rangkap berapa celana dalam yang dipakainya. Aku sampai nggak bisa merasakan empuknya memek dia," ungkap Rizal menambahkan.

Mendengar ceritanya aku jadi ingin ketawa sekaligus bangga. Sebab ide memakai pakaian seperti itu saat memijat memang atas saranku. Karena kuyakin para pria pasti tertarik untuk iseng dan coba-coba. Tetapi agar Rizal menjadi penasaran dan tetap menjadi langganan pijat, kukatakan padanya kalau aku tidak tahu bisa tidaknya Bu Mumun memberi layanan seks selain memijat.

"Selama ini sih aku hanya tahu ia tukang pijat yang baik dan pijatannya enak. Kalau sampai ke masalah itu saya tidak tahu. Mungkin kalau pendekatannya pas bisa saja ia mau melayani. Apalagi kan udah cukup lama ia ditinggal suaminya," ujarku.

Pria lain yang juga terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Bu Mumun adalah atasanku. Bahkan setelah aku sering mengantar Bu Mumun untuk memijat, karena Pak Marmo lebih senang pijat di rumahnya, ia menjadi semakin dekat denganku. Aku juga dipercaya memegang sebuah proyek dengan nilai cukup besar, sesuatu yang belum pernah dipercayakan padaku.

Menurut Pak Marmo, pijatan Bu Mumun bukan hanya enak tetapi juga mampu menggairahkan kejantanannya. "Jangan cerita ke siapa-siapa ya. Saya dengan ibu sudah lama tidak jalan lho. Nggak tahu kenapa. Tetapi melihat pemijat tetanggamu itu dan mendapat pijatannya, sepertinya mulai agak bangkit. Suaminya sampai sekarang belum pulang?" kata Pak Marmo ketika aku menghadapnya di ruang kerja.

Pak Marmo mengundangku karena nanti malam jadwalnya dia dipijat Bu Mumun. Tetapi menurut dia, istrinya juga ada rencana belanja ke supermarket dan menemui salah satu koleganya pedagang permata. Selain mengantar Bu Mumun ke rumahnya, aku diminta bantuan menyopir mobil untuk mengantar istrinya.

Sebagai seorang bawahan terlebih karena kebaikannya mempercayakan sebuah proyek berdana besar kepadaku, kusampaikan kesediaanku. Namun sebelum aku keluar dari ruangannya ia kembali mencegah dan berbisik. "Eh Ton, kira-kira bisa nggak tukang pijat itu memberi layanan lebih? Kamu bisa bantu atur?"

Aku paham kemana arah pembicaraan atasanku itu. Maka seperti yang kusampaikan kepada dua temanku yang menjadi langganan pijat Bu Mumun, kukatakan bahwa selama ini yang kutahu ia hanya berprofesi sebagai pemijat dan soal yang lain-lain belum tahu. Hanya kepada Pak Marmo kukatakan akan mencoba melakukan pendekatan ke Bu Mumun.

Setelah keluar dari ruang kerja atasanku, aku menemui Bu Mumun. Sambil berpura-pura cemburu kuceritakan soal ketertarikan atasanku kepadanya. Tetapi juga kuceritakan tentang kebaikan Pak Marmo termasuk kepercayaannya memberikan proyek besar di bawah penangananku.

Bu Mumun cerita, setiap dipijat Pak Marmo memang berusaha merayunya. Juga berusaha menggerayang ke balik pakaian seperti temanku yang lain. "Tetapi kelihatannya punya Pak Marmo sudah sulit bangkit kok," ujar Bu Mumun.

"Oh jadi cerita Pak Marmo soal kemampuan seksnya yang sudah berkurang itu bener?" Kataku pura-pura kaget.

"Jadi enaknya sikapnya gimana Pak Anto. Dia kan atasan bapak dan juga baik sama bapak," ujarnya lagi.

Akhirnya dengan seolah-olah sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk kuputuskan, kukatakan padanya bahwa karena kondisi kemampuan seks atasanku tidak normal maka sebaiknya Bu Mumun membantunya. Saat memijat, sebaiknya tidak memakai celana dalam rangkap tiga dan juga tidak memakai celana panjang di balik daster yang dipakai.

"Maksud saya agar Pak Marmo terangsang karena dia suka sama ibu. Memang resikonya Pak Marmo jadi leluasa menjahili ibu sih. Tetapi niatnya kan untuk membantu menyembuhkan dia. Gimana menurut ibu?"

"Kalau itu yang terbaik menurut Pak Anto saya sih nurut saja. Tetapi Pak Anto jangan cemburu ya,"

Bu Mumun langsung kupeluk. Kukatakan padanya bahwa sebenarnya aku sangat cemburu dan tidak suka tubuh Bu Mumun diraba dan dipegang-pegang orang lain. Tetapi demi menolong atasanku itu dan demi membalas kebaikannya aku akan berusaha untuk tidak cemburu. "Asal yang ini jangan diberikan semua ke Pak Marmo ya bu. Saya suka banget dengan yang ini," ujarku sambil meraba memek Bu Mumun setelah menyingkap dasternya.

Tadinya aku berniat melepaskan hasratku untuk menyetubuhi tubuh montok tetanggaku itu. Tetapi setelah saling memagut dan hendak saling melepaskan baju, kudengar anak-anak Bu Mumun pulang dari sekolah. Hingga kuurungkan niatku dan langsung kebur menyelinap lewat pintu belakang.

Seperti yang kujanjikan, sekitar pukul 17.00 kujemput Bu Mumun dan kuantar ke rumah Pak Marmo. Bu Mumun memakai seragam baju terusan warna putih seperti yang biasa dipakai suster rumah sakit. Itu memang baju seragamnya saat memijat. Tetapi dari bentuk cetakan celana dalam yang membayang di pantatnya yang besar, kuyakin ia tidak pakai celana panjang dan celana dalam rangkap seperti biasanya. Rupanya ia benar-benar memenuhi janjinya untuk melayani Pak Marmo dengan lebih baik seperti yang kusarankan.

Kulihat Pak Marmo sedang menyiram bunga di halaman rumahnya saat aku datang. "Eh To, silahkan masuk. Tuh istriku udah uring-uringan karena sudah dandan dan siap berangkat," ujarnya mempersilahkan.

Benar Bu Marmo sudah berdandan rapi dan siap pergi. Bahkan ia langsung menyerahkan kunci kontak mobil kepadaku. "Wah ibu takut Nak Anto telat datang. Soalnya selain belanja ibu kan harus ke rumah Bu Ramli, jadi takut kemalaman," kata Bu Marmo.

Bu Marmo menyapa Bu Mumun ramah dan mempersilahkan masuk ke ruang tamu rumahnya. Ia meminta Bu Mumun menunggu karena suaminya belum mandi. Bahkan kepada Bu Mumun juga berpesan untuk istirahat di kamar tamu rumahnya kalau selesai memijat nanti ia belum pulang. "Santai saja Mbak Mumun nggak usah sungkan-sungkan. Kalau mungkin nanti saya juga ikut dipijat," ujar Bu Marmo yang langsung mengahmpiriku yang sudah siap dengan mobil Kijang keluaran terbaru milik keluarga itu.

Usia Bu Marmo mungkin sebaya dengan Bu Mumun. Atau boleh jadi lebih tua satu atau dua tahun. Namun dengan pakaian stelan jas tanpa kancing yang dipadu dengan kaos warna krem di bagian dalam serta celana panjang ketat warna hitam senada, wanita itu tampak berwibawa.

Bau harum yang lembut dari wangi farfumnya membaui hidungku saat ia masuk ke dalam mobil. Ia menyebut nama sebuah suoermarket ternama hingga aku langsung menjalankan mobil perlahan. Untung aku yang biasanya hanya memakai T shirt, tadi memutuskan memakai baju lengan panjang meski untuk celana tetap memilih jins. Hingga tidak terlalu canggung mengantar istri atasanku.

Ukuran dan bentuk tubuh Bu Marmo nyaris sama dengan Bu Mumun, tinggi besar. Kakinya panjang dan kekar. Hanya perutnya relatif lebih rata, mungkin karena rajin senam dan olahraga hingga tubuhnya tampak lebih liat.

Awalnya pembicaraan lebih bersifat formal. Tentang bagaimana sikap kepemimpinan suaminya di kantor dan bagaimana penilaianku sebagai bawahan. Namun lama kelamaan perbincangan menjadi lebih cair setelah topiknya menyangkut keluarga. "Sebentar lagi cucu saya dua lho Nak Anto. Sebab Menik kemarin telepon katanya sudah hamil," kata ibu beranak tiga itu.

"Kalau ngomongnya sama orang yang tidak tahu keluarga ibu nggak akan percaya kalau ibu sudah punya cucu,"

"Lho kok?"

"Soalnya dari penampilan ibu, orang pasti mengira usianya belum 40 tahun. Soalnya ibu terlihat masih muda dan energik," kataku memuji.

"Ah bisa saja Nak Anto. Pujiannya disimpan saja deh untuk istri Nak Anto. Pasti istrinya cantik ya karena Nak Anto kan pandai merayu,"

Lewat kaca spion, wanita yang sehari-hari menjadi kepala sekolah di sebuah SD itu kulihat tak mampu menyembunyikan perasaan bangganya atas pujian yang kuberikan. Seulas senyum manis terlihat menghias wajahnya, wajah yang masih menyimpan sisa-sisa kecantikan di usianya yang sudah lebih dari setengah abad.

Melihat Bu Marmo aku jadi ingat Bu Mumun. Wanita itu pasti lagi sibuk memijat tubuh atasanku. Atau boleh jadi sambil memijat ia jadi terangsang karena tangan Pak Marmo yang menggerayang ke paha dan selangkangan atau di memeknya yang kini hanya dibalut satu buah celana dalam.

Membayangkan semua itu aku kembali melirik Bu Marmo yang ada di sebelahku. Perbedaan Bu Mumun dengan Bu Marmo mungkin hanya pada warna kulitnya. Kulit Bu Mumun lebih terang dan Bu Marmo agak gelap. Kalau teteknya, aku berani bertaruh payudara istri atasanku ini juga cukup besar ukurannya. Meski tertutup jas hitam dan kaos krem yang dipakainya, tonjolan yang dibentuknya tak bisa disembunyikan.

Di luar itu, yang pasti Bu Marmo lebih wangi dan boleh jadi tubuhnya lebih terawat. Sebab ia memiliki kemampuan keuangan yang memadai untuk merawat tubuh dan membeli parfum mahal. Tetapi begitulah hidup, rumput tetangga memang selalu nampak lebih hijau dibanding rumput di halaman sendiri.

"Sudah berapa lama ya Pak Marmo tidak menyentuh wanita berwajah manis ini? Ah aku juga mau kalau diberi kesempatan," ujarku membathin sambil melirik bentuk kakinya yang panjang dan tampak indah dibalut celana hitam ketat.

Gara-gara terus-menerus melirik Bu Marmo, mobil yang kubawa nyaris menabrak becak. Untung Bu Marmo mengingatkan hingga aku bisa sigap menghindar. "Makanya jangan meleng! Kenapa sih, sepertinya Nak Anto ngelihatin ibu terus deh,"

"Ee.. ee.. anu.. eee ibu cantik banget sih," jawabku sekenanya.

"Hush... orang sudah nenek-nenek dibilang cantik,"

Tanpa terasa mobil akhirnya memasuki pelataran parkir supermarket yang dituju. Tadinya aku berniat menunggu di tempat parkir sementara istri atasanku itu berbelanja. Tetapi Bu Marmo memintaku menemani masuk ke supermarket. Bahkan ia menggamit lenganku sambil berjalan di sisiku layaknya seorang istri pada suami.

Sebagai anak buah dari suaminya, sebenarnya aku agak canggung. Tetapi karena Bu Marmo terkesan sangat santai, aku pun akhirnya bisa bersikap wajar. Bahkan setelah berkali-kali tanpa disengaja lenganku menekan buah dada Bu Marmo yang kelewat merapat saat berjalan, aku mulai nekad mengisenginya. Sambil berjalan, siku lengan kiriku sengaja kutekan ke teteknya hingga kurasakan kelembutan buah dadanya.

Entah tidak tahu ulah isengku atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu, Bu Marmo bukannya menghindar dari siku lenganku yang 'nakal'. Sambil terus melangkah di sisiku untuk melihat-lihat barang-barang di supermarket posisi tubuhnya malah kian merapat. Akibatnya tonjolan buah dadanya kurasakan ikut menekan lenganku. Aku juga mulai bisa memperkirakan seberapa besar tetek istri atasanku itu.

Sebenarnya aku kurang begitu suka mengaantar istri berbelanja. Sebab biasanya, istriku suka berlama-lama khususnya ketika berada counter pakaian. Begitu pun Bu Marmo, hampir setiap baju dan gaun wanita yang menarik hatinya selalu didekati dan beberapa diantaranya dicobanya di kamar pas.

Namun aku yang biasanya jenuh dan menjadi bersungut-sungut, kali ini malah menikmatinya. Sebab sambil menunggu wanita itu memilih baju-baju yang hendak dibelinya, aku jadi punya banyak kesempatan untuk melihat bentuk tubuh istri atasanku itu. Saat kuamati dari belakang, wanita yang usianya sudah kepala lima itu ternyata masih lumayan seksi.

Dalam balutan celana ketat yang dipakainya, pinggul dan pantat Bu Marmo benar-benar aduhai. Apalagi celana dalam yang dipakainya jadi tercetak sempurna karena ketatnya celana warna hitam yang dikenakan. Aku terus melirik dan mencari kesempatan untuk menatapnya saat Bu Marmo membungkuk atau memilih-milih pakaian yang menjadikan posisi pantatnya menonjol.

Saat hendak mencoba baju yang diminatinya di kamar pas, Bu Marmo menitipkan tasnya padaku sambil meminta berada tak jauh dari lokasi kamar pas. Lagi-lagi goyangan pinggul dan pantat besarnya menggoda mataku saat ia melangkah. Pikiranku jadi menerawang membayangkan Bu Mumun. Ada perasaan cemburu karena kuyakin Pak Marmo lagi berusaha merayu atau malah sudah berhasil menaklukkan Bu Mumun dan tengah menikmati kemontokkan tubuh wanita itu. Ah andai Bu Marmo bisa kurayu atau membutuhkan layanan seksku, ujarku membathin.

Aku merasakan adanya peluang untuk itu ketika kudengar Bu Marmo memanggilku dari kamar pas. Dengan tergesa aku menuju ke kamar pas yang letaknya agak terpencil dan tertutup oleh display aneka pakaian di supermarket tersebut. Namun di lokasi itu, istri atasanku tak kunjung keluar dan menyampaikan maksudnya memanggilku hingga aku nekad melongokkan kepala dengan menyibak tirai kamar pas.

Ternyata, di kamar pas Bu Marmo dalam keadaan setengah telanjang. Karena setelah mencoba baju dan celana yang hendak dibelinya ia belum memakai pakaiannya lagi. Hanya BH dan celana dalam krem yang menutup tubuhnya. Maka yang semula hanya bisa kubayangkan kini benar-benar terpampang di hadapanku.

Wanita yang usianya tidak muda lagi itu, benar-benar masih menggoda hasratku. Teteknya nampak agak kendur, tetapi besar dan bentuknya masih bagus. Pahanya mulus tanpa cela. Hanya meskipun perutnya tidak membuncit seperti perut Bu Mumun, namun terlihat bergelombang dan ada beberapa kerutan. Maklum karena faktor usia. Sedangkan gundukkan di selangkangannya benar-benar membuatku terpana, besar dan membukit. Bisa kubayangkan montoknya memek Bu Marmo dari apa yang tampak oleh cetakan pada celana dalam yang membungkusnya.

Dan anehnya kendati tahu akan kehadiranku, ia tak merasa jengah atau mencoba menutupi ketelanjangannya. Bahkan meskipun mataku terbelalak dan terang-terangan menjilati ketelanjangannya. "Ih kayak yang nggak pernah lihat perempuan telanjang saja. Nak tolong ke sales untuk bajunya ganti nomor yang lebih besar sedikit. Yang ini kekecilan," ujarnya tetap santai.

Saat kembali seusai menukar baju pada sales, Bu Marmo memang telah memakai kembali celana panjang warna hitamnya. Tetapi di bagian atas tetap terbuka. Bahkan tanpa menyuruhku pergi, ia segera memakai pakaian yang kusodorkan untuk dicobanya dihadapanku. "Menurut Nak Anto, ibu pantes nggak pakai pakaian model seperti ini," ujarnya meminta komentarku.

"Ee.. ee bagus. Seksi banget,"

"Hus dimintai pendapat kok seksi.. seksi. Seksi apaan sih,"

"Ee maksud saya dengan pakaian itu ibu terlihat makin cantik dan seksi," kataku yang tidak berkedip menikmati kemewahan buah dadanya.

Entah karena pujianku atau menganggap baju itu memang sesuai seleranya, Bu Marmo akhirnya memutuskan membelinya di samping beberapa stel pakain lainnya. Hanya ketika aku menemani di counter pakaian dalam dan ia memilih-milih BH nomor 36B, sambil berbisik kuingatkan bahwa nomor itu terlalu kekecilan dipakai olehnya.

"Ih sok tahu," ujarnya lirih.

"Kan tadi sudah dikasih lihat sama ibu,"

Bu Marmo mencubit pinggangku. Tetapi tidak sakit karena cubitan mesra dan gemas. Kalau bukan ditempat keramaian, rasanya aku sudah cukup punya keberanian untuk memeluk atau mencium istri atasanku itu. Karenanya setelah membayar semua yang dibelinya, saat keluar dari supermarket lengannya kugamit untuk meyakinkannya bahwa aku pun tertarik padanya.

Seperti tujuannya semula, setelah dari supermarket Bu Marmo berniat ke rumah temannya untuk urusan pembelian perhiasan. Tetapi menurutnya ia agak lapar dan ingin menu ikan bakar. Maka seperti yang dimintanya, mobil pun meluncur ke kawasan pantai di mana terdapat rumah makan yang berbentuk saung-saung terpisah dan tersebar dan khusus menjual aneka menu seafood.

Setelah memesan beberapa menu dan minuman, kami menuju ke salah satu saung paling terpencil dan tertutup rimbun pepohonan. Tadinya Bu Marmo memprotes karena menurutnya tempatnya terlalu gelap dan terpencil. Tetapi saat tanganku melingkar ke pinggangnya dan kukatankan bahwa lebih gelap lebih asyik, protesnya yang boleh jadi cuma pura-pura segera berhenti dan hanya sebuah cubitan darinya sebagai jawabannya.

Dari pinggangnya tangaku meliar turun merayap di pantatnya. Dari luar celana ketat yang dipakainya, pantat besarnya kuraba. Bokongnya yang lebar masih lumayan padat, hanya agak sedikit turun. Dengan gemas kuusap-usap dan kuremas pantat Bu Marmo. Lagi-lagi ia tidak menolak dan bahkan kian merapatkan tubuhnya. Maka setelah di dalam saung, ia langsung kupeluk dan kulumat bibirnya.

Sejenak ia tidak bereaksi. Hanya diam membiarkan lidahku bermain di rongga mulutnya. Namun setelah tanganku merayap di selangkangannya dan menelusup masuk ke dalamnya melalui risleting celananya yang telah kuturunkan, pagutanku di mulutnya mulai mendapatkan perlawanan. Bibir dan lidah Bu Marmo ikut aktif melumat dan memainkan lidahnya.

Memek istri atasanku itu tak cuma tebal, tapi juga lebar dan membusung. Itu kurasakan saat telapak tanganku mengusap dari luar celana dalam yang dipakainya. Tetapi nampaknya tak berambut. Permukannya terasa agak kasar karena munculnya rambut-rambut yang baru tumbuh. Sepertinya ia baru mencukur bulu-bulu jembutnya itu.

Namun saat aku hendak lebih memelorotkan celana panjangnya agar leluasa meraba dan mengusap memeknya Bu Marmo mencegah. "Jangan Nak Anto, nanti ada orang. Kan pelayan belum ke sini buat nganterin pesanan makanan kita," sergahya.

"Ii... ii.. iya Bu,"

Benar juga, ujarku membathin. Aku terpaksa menahan diri untuk tidak meneruskan niatku memelorotkan celana panjang yang dipakai Bu Marmo. Hanya usapan dan rabaanku di busungan memeknya tak kuhentikan. Bahkan sesekali aku meremasnya dengan gemas karena keinginan untuk memasukkan jariku ke lubang nikmatnya tak kesampaian.

Diobok-obok di bagian tubuhnya yang paling peka, kendati masih di luar celana dalamnya, Bu Marmo mendesah. Pelukannya semakin ketat dan lumatannya di bibirku makin menjadi. Rupanya wanita yang usianya sudah di atas kepala lima itu mulai terbangkitkan hasratnya.

Aku dan Bu Marmo baru melepaskan pelukan dan segera berbenah setelah dari jauh kulihat dua pelayan wanita membawa nampan berisi makanan dan minuman yang kami pesan. Selembar uang pecahan Rp 20 ribu kusisipkan di nampan salah satu pelayan perempuan setelah mereka selesai menghidangkan yang kami pesan. "Terima kasih dan selamat menikmati," kata keduanya sambil melemparkan senyum dan beranjak meninggalkan saung yang kami tempati.

Tetapi bukannya makanan yang terhidang yang kuserbu setelah kedua pelayan meninggalkan saung. Dari arah belakang kudekati dan kupeluk Bu Marmo yang di tikar saung yang menyajikan makanan secera lesehan itu. "Tidak makan dulu Nak Anto?" ujar Bu Marmo.

Tetapi aku tak peduli pada apa yang dikatakan istri atasanku itu. Hasrtaku lebih besar untuk segera menikmati kehangatan tubuhnya ketimbang makanan yang tersaji. Hingga setelah membenamkan wajahku ke keharuman rambutnya, tanganku langsung meliar, Meremasi teteknya dari luar t shirt warna krem yang dipakai dibalik jaketnya yang tak terkancing.

Seperti tetek Bu Mumun, susu Bu Marmo juga sudah agak kendur. Tapi dari segi ukuran, nampaknya tak jauh beda. Besar dan empuk, entah bentuk putingnya. Sambil kuciumi tengkuk dan lehernya, tanganku merayap ke balik t shirt yang dipakainya. Kembali aku meremas teteknya dan kali ini langsung dari BH yang membungkusnya. Kelembutan buah dada Bu Marmo baru benar-benar dapat kurasakan setelah aku berhasil merogoh dan mengelurkannya dari BH.

Bu Marmo mulai menggelinjang dan mendesah saat aku meremas-remas teteknya perlahan dan memainkan puting-putingnya. Ia menyandarkan tubuh ke dadaku seakan memasrahkan tubuhnya padaku. "Sshhh....aaahhh..... sshhh....aahhh... ibu sudah lama tidak begini Nak Anto," ujarnya mendesah.

"Lho kan ada Pak Marmo," kataku menyelidik.

"Dia jarang mau diajak dan sudah sulit bangun itunya,"

Meski sudah mendengar langsung dari Pak Marmo aku agak kaget karena ternyata cerita atasanku itu benar adanya. Pantesan Bu Marmo merasa tidak ada masalah meninggalkan suaminya dipijat wanita lain berdua di rumahnya.

Ternyata wanita yang ada dalam pelukanku ini sudah lama tidak dijamah suaminya. Membayangkan itu aku makin terangsang. Jas hitam yang dipakai Bu Marmo kulepas dari tubuhnya. Namun saat hendak kulepas kaos krem yang dikenakan dibalik jaket, wanita istri atasanku itu mencegah. "Takut nanti ada yang ke sini Nak Anto," ujarnya.

Meski aku telah membujuknya bahwa tak mungkin ada pelayan yang datang kecuali tombol bel yang ada ditekan untuk memanggil, Bu Marmo tetap menolak. Menurutnya ia tetap merasa was-was karena berada di ruang terbuka. "Kalau celana dalam ibu saja yang dibuka nggak apa-apa," katanya akhirnya.

Agak kecewa sebenarnya karena aku ingin melihat tubuh istri atasanku dalam keadaa bugil. Tetapi membuka celana berarti memberiku kesempatan melihat memeknya. Bagian yang paling ingin kulihat pada tubuh Bu Marmo karena saat di kamar pas supermarket, bagian membusung di selangkangannya itu masih tertutup celana dalam.

Tanpa membuang kesempatan, segera kubaringkan Bu Marmo di lantai saung yang beralaskan tikar itu. Kubuka kancing celana hitam yang dipakai dan kutarik risletingnya. Kini kembali kulihat gundukan memeknya yang masih dibungkus celana dalam krem. Aku menyempatkan membelai memek istri atasanku itu dari luar celana dalamnya sebelum menarik dan memelorotkan celana panjangnya. Benar-benar tebal, besar dan masih cukup liat.

Aku makin terpana setelah memelorotkan celana dalamnya dan membuat tubuh bagian bawah Bu Marmo benar-benar bugil. Memeknya benar-benar nyempluk, membusung dan tanpa rambut. Kalau dibiarkan tumbuh mungkin jembut di memek Bu Mumun masih kalah lebat. Namun Bu Marmo rupanya lebih senang mencukurnya, hingga nampak gundul dan polos.

Memek tembemnya itu terasa hangat saat aku menyentuh dan membelainya. Tetapi sekaligus terasa kasar karena bulu-bulu jembutnya mulai tumbuh. Aku yang menjadi makin terangsang dan tak sabar untuk melihat itilnya, segera membuka posisi kaki Bu Marmo yang masih merapat.

Ah lubang memeknya ternyata sudah lebar, menganga diantara bibir kemaluannya yang tebal dan berkerut-kerut. Bibir kemaluannya coklat kehitaman. Tetapi itilnya yang mencuat menonjol di bagian atas celah memeknya nampak kemerahan. Aku tak lagi bisa menahan diri. Langsung kukecup memeknya dengan mulutku. Memek Bu Marmo ternyata sangat terawat dan tidak berbau. Ia mendesah dan makin melebarkan kangkangan pahanya saat lidahku mulai menyapu seputar bibir luar vaginanya.

Lidahku terus menjelajah, melata dan merayap seolah hendak melumasi seluruh permukaan tepian labia mayoranya. Bahkan dengan gemas sesekali bibir vaginanya yang telah menggelambir kucerucupi. Membuat Bu Marmo mendesis mengangkat pantat menahan nikmat. "Aakkhhh... sshhh... shhh... aahhh.... ookkhhh.... ssshhhh," rintih wanita itu mengikuti setiap sapuan lidah dan cerucupan mulutku di memeknya.

Sambil mendesis dan mendesah, kulihat Bu Marmo meremasi sendiri susunya dari luar kaos warna krem yang dipakainya. Rupanya ia sangat menikmati sentuhan awal oral seks yang kuberikan. Aku yang memang berniat memberi kesan mendalam pada persetubuhan pertama dengan istri atasanku itu, segera meningkatkan serangan. Dengan dua tanganku bibir memeknya kusibak hingga terlihat lubang bagian dalam kemaluannya. Lubang yang sudah cukup lebar dan terlihat basah.

Ke celah lubang nikmat itulah lidahku kujulurkan. Terasa asin saat ujung lidahku mulai memasuki lorong kenikmatannya dan menyentuh cairan yang keluar membasah. Aku tak peduli. Ujung lidahku terus terulur masuk menjelajah ke kedalaman yang bisa dijangkau. Bahkan di kedalaman yang makin pekat oleh cairan memeknya, lidahku meliar. Melata dan menyodok-nyodok. Akibatnya Bu Marmo tak hanya merintih dan mendesah tapi mulai mengerang.

"Aahhkkkhhh.... aaahhh.... oookkkhhhh... enak banget Nak Anto. Oookkh.. terus.. Nak, aaakkkhhhhh," erangnya kian menjadi.

Bahkan ketika lidahku menjilat itilnya, tubuh istri atasanku itu mengejang. Ia mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya. Seolah menjemput lidahku agar lebih dalam menggesek dan mendesak ke kelentitnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menempatkan kedua tanganku untuk menangkup dan menyangga pantatnya. Dan sambil terus menjilati itilnya kubenamkan wajahku di permukaan memeknya sambil menekan dan meremas-remas pantatnya.

Kenikmatan tak tertahan yang dirasakan Bu Marmo akibat jilatan-jilatan di kelentitnya membuat gairah wanita itu makin memuncak. Kakinya mengelonjot dan menyepak-nyepak sambil erangannya makin menjadi. Bahkan kepalaku dijambaknya. "Ahh.. ahhh.. ooohh ....aaaauuuhhhhh.... enak.. sshhh.... sshhh.... aahhh enak banget. Ibu nggak tahan Nak Anto, aaahhh.... aahhhh," sesekali tangannya berusaha menjauhkan kepalaku dari memeknya.

Tetapi aku tak peduli. Jilatan lidahku di itilnya bukannya kuhentikan tetapi makin kutingkatkan. Bahkan dengan gemas, bagian paling peka di kemaluannya itu kucerucupi dan kuhisap-hisap. Akibatnya ia tak mampu bertahan lebih lama. Pertahanannya jebol. Kedua pahanya yang kekar menjepit kencang kepalaku dan menekan hebat hingga wajahku benar-benar membenam di memeknya.

Berbarengan dengan itu ia memekik dan mengerang kencang namun tertahan. Cairan kental yang terasa hangat juga kurasakan menyemprot mulutku uang masih menghisap itilnya. Saat itulah aku tahu Bu Marmo baru saja mencapai puncak kenikmatannya. Rupanya, upayaku untuk membuatnya orgasme tanpa mencoblos memeknya dengan kontolku berhasil.

Setelah beberapa lama, nafas Bu Marmo yang sempat memburu berangsur pulih seiring dengan mengendurnya jepitan paha wanita itu di kepalaku. Hanya ia tetap terbaring. Mungkin tenaganya terkuras setelah puncak kenikmatan yang didapatnya. Kesempatan itu kugunakan untuk menyeka dan membersihkan mulutku memakai serbet makan yang tersedia bersama sejumlah menu makanan yang belum sempat kami sentuh.

Aku baru saja menenggak habis segelas teh manis hangat yang sudah diingin saat Bu Marmo menggeliat dan terbangun. Kulihat ia tersenyum padaku. Senyum yang sangat manis. Mungkin sebagai ungkapan terima kasih atas yang baru kuberikan dan sudah lama tidak diperoleh lagi dari suaminya. "Nak Anto sudah lapar? Kalau lapar makan dulu deh," ujarnya.

"Saya sudah kenyang kok Bu," jawabku.

"Kenyang apa, wong baru minum teh saja kok,"

"Bukan kenyang karena makanan. Tetapi karena menjilati memek ibu yang mantep banget," candaku sambil menatapi busungan memeknya.

"Ih dasar. Ibu bener-bener nggak tahan lho Nak Anto. Soalnya sudah lama banget nggak dapat yang seperti tadi," ujarnya tersipu.

Rupanya ia juga baru sadar bahwa bagian bawah tubuhnya masih telanjang. Celana dalam warna krem miliknya yang teronggok segera diambil dan Bu Marmo berniat untuk memakainya. Namun aku langsung mencegah. Kurebut dari tangannya dan kulempar agak jauh darinya. "Jangan ditutup dulu dong Bu. Saya masih belum puas lihat punya ibu," kataku sambil mengusap memeknya.

"Nak Anto tidak pengin makan dulu?"

"Nanti saja ah. Perut saya sih belum lapar. Tapi kalau yang ini sudah lapar sejak tadi," ujarku sambil menurunkan risleting celanaku dan mengeluarkan isinya dari celana dalam yang kupelorotkan.

Kontolku keras dan tegak mengacung sempurna. Urat-uratnya terlihat menonjol melingkari sekujur batangnya yang hitam dan berukuran lumayan besar. Bu Marmo tampak terpana melihatnya. "Punya saya hitam dan jelek ya Bu," kataku memancing.

"Bukan.. bukan karena itu. Tapi ukurannya.. kok gede banget,"

"Masa? Tapi ibu suka sama yang gede kan?" Kataku sambil merubah posisi menggeserkan bagian bawah tubuhku mendekat ke istri atasanku. Aku berharap ia tak hanya menatap senjataku tapi mau mengelusnya atau bahkan mengulumnya. Sementara tanganku tetap merabai dan mengusap-usap memeknya yang tebal.

Bu Marmo ternyata cepat tanggap dan mengerti apa yang kuinginkan. Batang zakarku digenggamnya. Tetapi ia hanya mengelus dan seperti mengamati. Mungkin ia tengah membandingkan senjata milikku dengan kepunyaan suaminya. "Beda dengan milik bapak ya bu. Punya saya memang sudah hitam dari sananya kok," candaku lagi.

"Ih.. bukan begitu. Punya Nak Anto ukurannya nggilani. Kayaknya marem banget," ujarnya tersenyum. Wajahnya tampak dipenuhi nafsu.

Akhirnya, Bu Marmo benar-benar melakukan seperti yang kuharapkan. Setelah mengecu-ngecup topi baja kontolku, ia mulai memasukkan ke dalam mulutnya. Awalnya cuma sebagian yang dikulumnya. Selanjutnya, seluruh batang zakarku seperti hendak ditelannya. Mulutnya terlihat penuh karena berusaha memasukkan seluruh bagian tonggak daging milikku yang lumayan besar dan panjang.

Wanita istri atasanku itu ternyata cukup pandai dalam urusan kulum-mengulum. Setelah seluruh bagian batang kontolku masuk ke mulut, ia menghisap sambil menarik perlahan kepalanya. Begitu ia melakukannya berulang-ulang. Aku mendesah oleh kenikmatan yang diberikan. "Oookkhhh... sshhh.... oookkkhhhhh.... enak banget... aakkkkhhhh.... terusss.... aaakkkkkhhhhhh," desisku.

Sambil terus melumati batang kontolku, tangan Bu Marmo juga menggerayang dan memainkan biji-biji pelir milikku. Kalau bukan di rumah makan mungkin aku sudah mengerang dan melolong oleh sensasi dan kenikmatan yang diberikan. Sebisaku aku berusaha menahan agar tidak sampai rintihanku terdengar orang lain.

Untuk melampiaskannya, aku mulai ambil bagian dalam permainan pemanasan yang dilakukannya. Aku harus bisa mengimbangi permainan Bu Marmo. Kedua pahanya kembali kukangkangkan dan wajahku kembali kubenamkan di selangkangannya. Bu Marmo sebenarnya belum sempat mencuci memeknya setelah lendir kenikmatannya keluar saat orgasme sebelumnya. Tetapi aku tak peduli. Memek wanita yang sudah dipanggil nenek itu kucerucupi.

Bahkan jilatan lidahku tidak hanya menyapu bagian dalam lubang memek dan kelentitnya. Tetapi juga melata di sepanjang alur liang nikmatnya yang menganga namun juga ke tepian lubang duburnya. Saat aku menjilat-jilat tepian lubang anusnya Bu Marmo menggerinjal dan memekik tertahan. Mungkin kaget karena tak menyangka lidahku bakal menjangkau bagian yang oleh sementara orang dianggap kotor.

Tetapi itu hanya sesaat. Setelah itu ia kembali melumati dan menghisapi batang kontolku sambil mendesah-desah nikmat. Karenanya aku makin fokus dan makin sering kurahkan jilatan lidahku ke lubang duburnya sambil sesekali meremasi bongkahan pantat besarnya.

Pertahananku nyaris jebol saat mulut Bu Marmo mulai mencerucupi biji pelir kontolku. Untung Bu Marmo mengambil insiatif menyudahi permainan pemanasan itu. Ia memintaku segera memasukkan rudalku ke liang sanggamanya. "Ahhh... sudah dulu ya. Sudah nggak kuat pengin merasakan batang Nak Anto yang gede ini nih," kata Bu Marmo seraya melepaskan batang kontolu dari genggamannya.

"Ii.. iiya bu, saya juga sudah pengin banget merasakan memek ibu,"

Aku mengambil ancang-ancang di antara paha Bu Marmo yang mengangkang lebar. Lubang bagian dalam kemaluannya yang menganga terlihat kemerahan . Sepertinya lubang nikmat Bu Marmo telah menunggu untuk disogok. Memang sudah lama tidak ditengok karena kemaluan suaminya yang mulai loyo. Kepala penisku yang membonggol sengaja kuusap-usapkan di bibir luar memeknya yang sudah amburadul bentuknya. Bahkan ada sebentuk daging mirip jengger ayam yang menjulur keluar. Entah apa namanya karena aku baru melihatnya.

Bu Marmo mendesah saat ujung penisku menyentuh bibir kemaluannya. Meski nafsuku kian membuncah melihat memek tembemnya yang menggairahkan, aku berusaha menahan diri. Bahkan ujung topi baja rudalku hanya kumainkan untuk menggesek dan mendorong gelambir daging mirip jengger ayam di memek Bu Marmo. Sedikit menekannya masuk dan menariknya kembali.

Akibatnya Bu Marmo merintih dan memintaku untuk segera menuntaskan permainan. "Ayo Nak Anto... jangan siksa ibu. Masukkan kontolmu.. ssshhh... aahh... sshh ahhh ayo nak,"

Blleeessseeekkk... akhirnya batang kontolku kutekan dan benar-benar masuk ke lubang memeknya. Karena sudah lumayan longgar dan banyaknya pelicin yang membasah di lubang memeknya, batang kontolku tidak mengalami hambatan berarti saat memasukinya. Bagian dalam lubang Memek Bu Marmo terasa hangat dan sangat becek.

Setelah batang zakarku benar-benar membenam di kehangatan liang sanggamanya, kurebahkan tubuhku untuk menindih tubuh montoknya. Bibir istri atasanku yang merekah perlahan kukecup dan akhirnya kulumat. Saat itulah sambil terus mengulum dan melumati bibirnya, mulai kuayun pinggulku dan menjadikan batang kontolku keluar masuk di lubang memeknya.

Bu Marmo juga mulai mengimbanginya. Tak kalah hot, lidahku yang menyapu rongga bagian dalam mulutnya sesekali dihisap-hisapnya. Bahkan ia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya. Aku baru mulai merasakan kelebihan yang dimiliki Bu Marmo. Bukan cuma tubuhnya yang matang akibat usia senja namun masih menggairahkan. Tetapi kerja otot bagian dalam memeknya juga lebih terasa. Berdenyut dan seperti memerah batang kontolku.

Kini giliran aku yang dibuatnya mengerang. Nampaknya istri atasanku telah benar-benar matang dalam hal urusan ranjang. Untuk melampiaskannya, kuremas gemas teteknya yang besar dari luar kaos yang dipakainya. Bahkan karena kurang puas, kaosnya kusingkap dan sepasang payudaranya kurogoh dan kutarik keluar dari kutangnya. Pentil-pentil teteknya yang berwarna coklat kehitaman kupelintir dan kumain-mainkan dengan jariku.

Blep... blep.... blep... begitu suara yang kudengar setiap kali ayunan pinggulku menyentuh selangkangan Bu Marmo. Di samping bunyi kecipak karena lendir yang kian membanjir di liang sanggamanya. "Sshhh... ssshh ...aahh .... aahh terus nak.. aahh enak banget. Kontolmu enak bangat Nak Anto,"

"Memek ibu juga enak. Empotannya mantep banget,"

Bu Marmo tersenyum. Wajahnya kian memerah. Kembali kulumat bibirnya sambil tak lepas tanganku menggerayangi buah dadanya. Saat itu kurasakan tangan Bu Marmo mencengkeram pantatku dan mulai menekan-nekannya. Dan kursakan tempo goyangan pinggulnya makin cepat. Rupanya ia mulai mendekat ke puncak gairahnya.

Aku yang juga mulai kehilangan daya tahan segera mengimbanginya. Berkali kontolku kutikamkan ke lubang memeknya dengan tekanan yang lebih kencang dan lebih bertenaga. Bu Marmo memekik dan mengerang. "Aaauuww... aaakhhh ,,,, aakkkhhh enak banget... aaakhhh.... terus... sayang .... aaaakhhh ... ya.... aaakhhh memek ibu enak bangat disogok begini... aaaaakkkkhhhh .... sshhhh... sshhh... aaahhhhh," rintihan dan suara Bu marmo makin tak terkontrol.

Aku jadi makin terpacu. Bukan cuma mulutnya yang kucium. Tapi ujung hidungnya yang bangir dan dahinya juga kucerucupi dengan mulutku. Bahkan lidahku menjelajah ke lehernya dan terus melata. Lubang telinga Bu Marmo juga tak luput dari jilatan lidahku setelah menyibak rambutnya.

Tubuh Bu Marmo kian mengejang. Kedua kakinya yang kekar dan panjang membelit pinggangku dan menekannya. Kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Rupanya ia hampir sampai di garis batas kenikmatannya. Aku yang juga sudah mendekati puncak gairah makin meningkatkan tikaman- tikaman bertenaga pada lubang sanggamanya.

Akhirnya gairah Bu Marmo benar-benar tertuntaskan. Cairan yang menyembur di lubang memeknya dan cengkereman kuku-kukunya di punggungku menjadi pertanda kalau ia sudah mendapatkan orgasmenya. Tetapi aku terus mengayun. Kocokan batang kontolku di lubang memeknya yang makin banjir tak kuhentikan. Bahkan makin kutingkatkan karena kenikmatan yang kian tak tertahan.

Puncaknya, Bu Marmo kembali mencengkeram pantatku. Kali ini dengan sekuat tenaga ia berusaha menahan agar pinggulku tidak dapat bergerak dan kontolku tetap membenam di lubang memeknya. Saat itulah, otot-otot bagian dalam vaginanya terasa mencengkeram bagitu hebat dan bergelombang. Serasa memerah dengan kuatnya. Aku merintih dan melolong panjang. Pertahanku menjadi jebol dan maniku menyemprot sangat banyak gua kenikmatan istri atasanku. Bersama peluh membanjir, tubuhku ambruk di atas tubuh montok Bu Marmo dengan nafas memburu.

"Nanti ikan bakar dan kepiting saos tomatnya minta dibungkus saja Nak Anto. Sayang kalau tidak dimakan. Tapi jangan lupa piring-piringnya dibuat kotor dengan masi dan lauk yang lain, hingga sepertinya kita sudah benar-benar makan," kata Bu Marmo setelah merapikan kembali baju yang dipakainya.

Kami meninggalkan rumah makan saung di pinggir pantai setelah membayar di kasir dan meninggalkan lembaran dua puluh ribu rupiah sebagai tip kepada petugas yang membereskan serta membungkuskan makanan yang memang tidak kami makan. Dari spion, wajah Bu Marmo kulihat sangat cerah. Pasti karena kenikmatan yang baru direguknya serta nafsunya yang lama tertahan telah tersalurkan.

"Apa lihat-lihat. Wanita sudah tua kok masih diajak ngentot," kata Bu Marmo yang memergoki ulah mencuri-curi pandang ke arahnya lewat spion. Tetapi perkataannya itu bukan karena marah.

"Usia boleh saja sudah kepala lima. Tetapi wajah ibu masih cantik dan tubuh ibu masih sangat merangsang. Mau deh tiap malam dikelonin ibu," ujarku menggoda.

"Bener tuh,"

"Sungguh Bu. Saya bisa ketagihan deh oleh empotan memek ibu yang dahsyat tadi,'

"Ibu juga suka sama batang Nak Anto. Besar dan panjang. Kalau mau kapan-kapan kita bisa mengulang. Kalau ada kesempatan nanti saya SMS," ujar Bu Marmo.

Aku sangat senang karena sudah mendapat peluang untuk terus bisa menyetubuhinya. Tangan Bu Marmo kuraih dan kugenggam. Bahkan sempat meremas susunya sambil mengendalikan kemudi. Hanya Bu Marmo mengingatkan bahwa ulahku bisa menyebabkan kecelakaan hingga aku kembali berkosentrasi pada setir mobil yang kukendarai. Ah, memek wanita tua ternyata masih sangat nikmat.

Sampai di rumah Pak Marmo sudah tidur di kamarnya. Sedang Bu Mumun, terlihat berbincang dengan Yu Sarti, pembantu di rumah itu. Setelah berbincang sebentar, aku dan Bu Mumun pamit pulang. Hanya sebelumnya Bu Marmo memberikan bungkusan lauk yang belum sempat kami makan sewaktu di rumah makan. "Buat oleh-olah anak di rumah Bu," kata Bu Marmo.

Di jalan, saat membonceng sepeda motor dan kutanya tentang ulah Pak Marmo, Bu Mumun cerita bahwa atasanku itu benar-benar genit. Selama dipijat, kata Bu Mumun, ia terus merayu dan berusaha menggerayangi. "Tapi tidak saya ladeni lho Pak Anto," ujar Bu Mumun meyakinkanku.

"Pasti Pak Marmo maksa untuk bisa megang memek ibu kan? Soalnya dia kemarin bilang pengin banget lihat punya ibu,"

"Iya sih tapi hanya pegang. Dan karena terus maksa akhirnya ibu kocok," ungkap Bu Mumun jujur.

Aku tertawa dalam hati. Sementara suaminya hanya bisa meraba memek wanita lain dan dipuaskan dengan dikocok, istrinya malah sampai orgasme dua kali disogok penis laki-laki lain. Bahkan istrinya berjanji untuk mengontak agar bisa mengulang kenikmatan yang telah kami lakukan.

Sampai di rumah anak-anak Bu Mumun sudah tidur. Dan mungkin karena terangsang gara-gara memeknya digerayangi Pak Marmo, Bu Mumun memaksaku untuk singgah di rumahnya. Untuk menolak rasanya kurang enak. Karena biasanya aku yang sering memintanya untuk melayaniku.

Rupanya nafsu Bu Mumun sudah benar-benar tinggi. Di kamarnya, saat ia mulai mengulum batang kontolku dan tanganku menggerayang ke selangkangannya, memeknya sudah basah. Bahkan saat tangaku mulai mencolok-colok lubang nikmatnya, Bu Mumun kelabakan. Memintaku untuk segera menuntaskan hasratnya.

Tetapi aku berusaha bertahan. "Punya saya belum terlalu keras Bu. Nanti kurang enak. Kalau ibu menjilatnya di sini, pesti cepat kerasnya," kataku sambil mengangkat dan memperlihatkan lubang anusku," kataku.

Sebenarnya, kontolku kurang keras karena sebelumnya telah dipakai melayani Bu Marmo di rumah makan. Namun keinginan untuk dijilati di bagian anus, mendapat tanggapan serius Bu Mumun. Ia langsung berjongkok di tepi ranjang dan berada selangkanganku. Dan tanpa ragu atau merasa jijik, langsung menjulurkan lidahnya untuk menyapu biji pelirku dan diteruskan dengan menjilat-jilat lubang duburku. Rasanya geli-geli nikmat dan membuat tubuhku merinding.

Akibatnya aku dibuat kelojotan. Dibuai kenikmatan yang diberikan Bu Mumun. Terlebih ketika ia mulai mencucuk-cucukkan lidahnya ke lubang duburku. "Aaakkhhhhh... aakkhh.. enak banget .... oookkh enak banget. Saya suka suka banget ngewe sama ibu. Oookkkh ... nikmat,"

Dirangsang sebegitu rupa kontolku makin mengeras. Tetapi Bu Mumun terus saja menjilati dan mencerucupi anusku. Ia melakukannya sambil meremasi dan mengocok-ngocok kontolku yang makin terpacak. Takut keburu muncar sebelum dipakai menyogok lubang memeknya, aku meminta Bu Mumun menghentikan aksinya.

Tubuh montoknya langsung kutarik dan kutelentangkan di ranjang. Dalam posisi mengangkang, aku langsung menungganginya. Bleesss... kontolku langsung membelesak di lubang nikmatnya yang basah. Ia agak tersentak. Mungkin karena aku menggenjotnya secara tiba-tiba. Namun ia tidak mengeluh dan malah mendesah nikmat.

"Ah... sshh... aahh.. enak banget. Marem banget kontolnya Pak Anto,"

Dan lenguhannya makin menjadi ketika aku mulai memompanya. Aku mencolok-colok dan memaju-mundurkan pinggangku dengan tempo cepat. Tubuh Bu Mumun terguncang-guncang dan susunya yang besar bergoyang-goyang. Gemes dan merangsang banget melihatnya. Aku jadi tergerak untuk meraba dan meremas-remasnya sambil menikmati kehangatan lubang nikmatnya.

Aku sudah beberapa kali menyetubuhi Bu Mumun. Tetapi sepertinya tidak pernah bosan. Memek Bu Mumun meskipun sudah lumayan longgar tapi tetapi terasa kesat dan liat. Terlebih bila ia sudah memain-mainkan otot-otot bagian dalam lubang vaginanya. Erangan dan desahannya juga selalu mengipasi nafsuku.

Cukup lama kami saling memacu. Sampai akhirnya Bu Mumun mengisyaratkan bahwa ia hampir memperoleh orgasmenya. Maka kocokan dan sogokan kontolku di lubang kemaluannya kian kutingkatkan. Berdenyut-denyut batang kontolku dibuatnya saat Bu Mumun mulai mengimbangi dengan empotannya. Akhirnya Bu Mumun memperoleh apa yang didambanya dan aku pun sama. Spermaku menyemprot dan membasahi liang vaginanya. Tubuhku ambruk di kemontokan tubuh wanita yang basah oleh keringat.
Meskipun repost copas dari forum yg sdh almarhum, cerita ini sangat bikin croooooottttt
STW memang gak ada abisnya! Memek & susu tembem!!
 
cerita sebelumnya versi bu mumun.

Ketika aku mulai menempati rumah yang baru kubeli, sejumlah warga mengingatkan bahwa Pak Rasjo tetangga terdekat rumahku berperilaku kasar. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak itu, kata para tetangga, di samping suka berjudi dan mabuk-mabukan juga sering melakukan tindak kekerasan pada istri dan anaknya.

"Mendingan Mas Anto pura-pura tidak dengar deh kalau dia lagi bertengkar dengan istrinya," kata Pak Samiun, yang menjabat selaku RT di lingkungan tempat tinggalku suatu hari ketika aku menyelenggarakan acara syukuran dan perkenalan dengan warga sekitar.

Sebab kalau urusan rumah tangganya dicampuri, kata Pak Samiun, Pak Rasjo yang mengaku pernah menjadi preman di Jakarta juga tak segan main kasar. Sedikit-sedikit ia membawa golok dan mengancam. Hingga warga sekitar malas berurusan dengan Pak Rasjo.

"Sebenarnya kasihan sama Bu Mumun (istri Pak Rasjo). Ia orangnya baik tetapi sering menjadi korban kekasaran suaminya. Tetapi karena orang-orang sungkan berurusan dengan suaminya, maka warga tidak dapat berbuat banyak," ujar Pak Samiun lagi.

Usia Pak Rasjo, sekitar 55 tahun sedangkan Bu Mumun mungkin sekitar 53 atau 54 tahun. Kehidupan keluarga dengan dua anak yang menginjak remaja itu, dengan hanya mengandalkan pendapatan Pak Rasjo dari menarik becak tentu saja hidup mereka pas-pasan. Apalagi dengan perilaku buruk Pak Rasjo yang gemar berjudi dan mabuk minum arak.

Menurut para tetangga, sewaktu Bu Mumun masih melayani jasa pijat dari orang-orang yang membutuhkan pijatannya kehidupan ekonomi keluarga Pak Rasjo lumayan baik. Pijatan Bu Mumun dikenal enak hingga banyak pelanggannya bahkan sampai ke luar kampung. "Tetapi Pak Rasjo orangnya sangat cemburuan banget," kata Bu Salamah, istri Pak Samiun.

Apalagi kalau tahu Bu Mumun baru memijat pasien laki-laki, perasaan cemburu Pak Rasjo meninggi. Ia mencari-cari alasan untuk bertengkar dengan sang istri yang berlanjut dengan berbagai tindak kekerasan. Bu Mumun sangat sering mendapat tempelengan, pukulan dan tendangan dari suaminya. Bahkan pernah ia disundut rokok hingga beberapa bagian tubuhnya melepuh.

"Bu Mumum bukan hanya kesulitan menghadapi masalah ekonomi keluarga tetapi ia tidak bisa melawan. Orang-orang juga takut menolong saat mereka lagi bertengkar karena kekasaran Pak Rasjo," ujar Bu Salamah.

Karena kekasaran suaminya itu Bu Mumun sudah setengah tahun lebih tidak memijat lagi. Ia lebih memilih berhadapan dengan masalah sulitnya ekonomi ketimbang harus menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan sang suami.

Menurut versi Bu Salamah dan beberapa tetangga, sebelum menjadi istri Pak Rasjo, Bu Mumun bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga kaya di Jakarta. Pak Rasjo adalah tukang becak yang biasa mangkal di dekat rumah majikan Bu Mumun.

Di masa muda, Bu Mumun terbilang cantik dengan tubuh montok dan berkulit bersih. Karenanya sang majikan tergiur dan terjadi skandal. Saat hamil, untuk menutupi aib, keluarga majikan tersebut mendekati Pak Rasjo. Tukang becak itu ditawari uang sangat besar untuk bisa beli rumah dan modal usaha asal mau mengawini Bu Mumun. Maka jadilan ia menjadi istri Pak Rasjo sampai sekarang.

"Dewi anak Bu Mumun dengan majikannya kini sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya. Ia jarang pulang karena perlakuan Pak Rasjo yang kasar," ungkap Bu Salamah menambahkan.

Mungkin karena persoalan masa lalu itulah kecemburuan Pak Rasjo sangat berlebihan. Apalagi katanya Pak Rasjo memang sangat mencintai Bu Mumun sebelum wanita itu dihamili oleh majikannya. Bawaannya menjadi selalu curiga setiap istrinya berdekatan dengan laki-laki lain.

Aku mempercayai cerita versi warga sekitar terkait masalah keluarga Pak Rasjo di masa lalu. Di masa lalu, Bu Mumun pasti tergolong wanita menarik. Sebab di usianya sekarang ini, wanita yang selalu berpakaian sederhana itu masih memancarkan sisa-sisa kecantikannya. Kalau ekonominya cukup dan mau berdandan, aku kira ia cukup pantas menjadi istri pejabat.


Di banding rumah-rumah warga lainnya, rumahku bisa dibilang terpisah. Rumahku dan rumah Pak Rasjo terpisah oleh kebun singkong lumayan luas dengan rumah-rumah warga lainnya. Praktis aku menjadi tetangga paling dekat keluarga Pak Rasjo dan selalu mendengar setiap pertengakaran di rumah keluarga itu yang memang sering terjadi.

Kalau sedang bertengkar, suaranya sangat ribut. Sepertinya semua benda yang ada menjadi sasaran kemarahan Pak Rasjo. Kerap dibarengi suara tangis Lasmi dan Rio, dua anak mereka yang masih berusia belasan tahun. Bahkan terkadang Bu Mumun terdengar menangis dan seperti meminta belas kasihan suaminya.

Awalnya, seperti yang disarankan para tetangga, aku tak terlalu peduli. Tetapi lama kelamaan aku tak bisa tinggal diam. Apalagi istriku selalu mendorong agar aku bertindak karena merasa tidak tega mendengar Bu Mumun dan dua anaknya dikasari oleh Pak Rasjo. "Kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan tindak pidana mas. Kita tidak salah kalau ikut menegur Pak Rasjo karena demi keselamatan Bu Mumun dan ana-anaknya,"kata Nuning, istriku suatu malam saat mendengar keributan dan tangis Bu Mumun.

Nuning memang sering menyempatkan ngobrol dengan wanita itu. Bahkan ia sering sengaja masak banyak agar bisa berbagai dengan keluarga itu. Aku pun demikian. Saat mereka kesulitan membayar biaya sekolah anak-anaknya atau aliran listriknya terancam dicabut akibat menunggak beberapa bulan, kuulurkan sejumlah uang untuk membantunya.

Pak Rasjo sendiri sebenarnya baik saat tidak mabuk meski memang agak kasar. Tetapi saat dipengaruhi alkohol, ia benar-benar di luar kontrol. Sangat congkak dan menyebalkan. Mungkin karena itulah para tetangga menjadi menjauh. Aku menjadi nekad bertindak untuk melawan kekasaran Pak Rasjo ketika kekerasannya kepada keluarganya dirasa tak dapat ditolerir.

Pagi itu setelah mengantar istri ke kantornya di sebuah perusahaan swasta, aku kembali ke rumah karena ada beberapa berkas penting yang tertinggal. Setelah sampai di depan rumah dan tengah mematikan mesin motor, kudengar suara Pak Rasjo marah-marah. Juga suara Bu Mumun terdengar terisak. Dua anaknya mungkin sudah berangkat ke sekolah hingga tidak terdengar tangisannya.

Karena sudah sering terjadi, aku tidak terlalu peduli. Namun lama-kelamaan, saat aku tengah mencari-cari berkas yang hendak kuambil, bukan hanya barang pecah belah yang terdengar dibanting dari arah rumah Pak Rasjo. Tetapi suara tangis Bu Mumun terdengar kian keras dan memelas.

Aku merasa terpanggil untuk segera mengambil tindakan ketika kudengar tangis Bu Mumum berubah menjadi jerit kesakitan dan berteriak meminta tolong. Aku langsung keluar dan mengetuk pintu rumah Pak Rasjo yang terkunci dari dalam sambil meminta agar dia berhenti menganiaya istrinya.

Namun dalam nada tinggi ia memintaku untuk tidak turut campur dalam persoalan keluarganya. Bahkan ketika aku kembali mengetuk pintu dan memintanya untuk berhenti dari tindakan kasarnya, Pak Rasjo mulai mengeluarkan ancaman. "Kalau mau berurusan dengan Rasjo jangan sendirian. Panggil seluruh warga kampung sekalian," ujar pria itu dengan congkak.

Mendengar jawabannya yang bikin merah telinga, aku yang pernah ikut olahraga karate dengan sabuk hitam menjadi tertantang. Pintu rumah Pak Rasjo yang memang sudah reot, tanpa banyak kesulitan dengan dua kali tendangan berhasil kujebol.

Di dalam rumah, kulihat Bu Mumun yang berpakaian setengah bugil terikat di tiang ranjang tempat tidur yang terbuat dari besi. Rupanya ia menjerit meminta tolong akibat tak tahan disiksa suaminya. Pak Rasjo ternyata menyiksa istrinya dengan cara menyundutkan bara pada rokok yang dipegangnya ke tubuh Bu Mumun.

Melihat kenekadanku menjebol pintu dan masuk ke dalam rumah, Pak Rasjo naik pitam. Ia meloncat dan meraih sebuah golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Bilah golok yang telah terhunus itu berkali-kali ditebaskannya ke arahku hingga membuat Bu Mumun panik dan meminta suaminya meminta menghentikan tindakan brutalnya itu.

Untung olahraga bela diri yang pernah kuikuti menjadikanku mampu bersikap sigap untuk menghindakan diri dari serangan mendadak yang kuhadapi. Bahkan di satu kesempatan, aku berhasil menyarangkan tendangan telak ke tubuh Pak Rasjo. Ia terhuyung dan kesempatan tersebut kumanfaatkan melakukan beberapa serangan berikutnya hingga akhirnya menjadi tak berdaya setelah aku berhasil mengambil alih senjatanya.

Kepada Pak Rasjo kuperingatkan, meskipun Bu Mumun istrinya ia tidak bisa berbuat seenaknya. Kalau dilaporkan ia bisa berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang juga merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman cukup berat.

Mungkin karena malu, tanpa banyak cakap Pak Rasjo akhirnya pergi meninggalkan rumah. Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun juga memerlukan pertolongan. Wanita yang busananya nyaris telanjang karena hanya melilit tubuh dengan kain panjang yang telah acak-acakan, terlihat tidak beradaya. Ia telentang di bibir ranjang dengan dua tangannya terikat tali rafia pada tiang ranjang.

Dari kainnya yang tersingkap, pada paha wanita itu terlihat dua luka bakar bekas sundutan api rokok. Warnanya merah kehitaman dan tampak melepuh. Aku ingat semasa kecil kalau mengalami luka bakar oleh ibu disiram atau dibalur dengan kecap sebagai upaya pertolongan pertama. Katanya agar tidak menjadi koreng dan tidak membekas kalau sudah sembuh.

"Bu Mumun punya kecap?" ujarku pada Bu Mumun.

"A.. aa.. ada di dapur," Bu Mumun tergagap.

Kuambil botol kecap yang isinya sudah hampir habis dari dapur dan kembali ke tempat Bu Mumun. Sedikit kecap kutumpahkan dari botol dan kubalurkan ke paha wanita itu terutama pada kedua luka bakar sundutan rokok yang nampak mulai bengkak memerah.

Mungkin karena perih akibat lukanya dilumuri kecap, kedua kaki Bu Mumun beringsut. Akibatnya, kain panjang yang melilit tubuhnya dan ikatannya kendur itu makin terbuka. Bukan hanya pahanya yang menyembul tetapi memek wanita itu juga terlihat karena Bu Mumun ternyata tidak memakai celana dalam.

Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun adalah bukan istri atau saudaraku dan tidak sepantasnya aku sampai melihat kemaluannya. Kesadaran lain yang juga timbul saat itu, ternyata wanita yang usianya sudah setengah abad itu benar-benar masih menawan. Sepasang pahanya yang membulat terlihat masih cukup mulus hanya ada beberapa belang yang nampaknya bekas sundutan api rokok yang sudah sembuh.

Namun yang membuat mataku tambah melotot dan enggan mengalihkan pandangan adalah bagian memeknya. Memek Bu Mumun yang dihiasi bulu-bulu jembut tipis terlihat besar ukurannya. Tebal,gembung dan membusung. Berbeda dengan bentuk memek istriku yang tipis dengan jembut lebat dan kasar yang terkesan kurang menarik.

Entah sudah berapa lama tatapanku terpaku pada memek wanita itu. Aku menjadi jengah dan merasa tidak enak ketika kulihat wajah Bu Mumun menjadi risih karena aku telah menatapi tubuh telanjangnya. Ia tidak berdaya dan tidak segera menutupi tubuh bagian bawahnya yang terbuka karena tangannya terikat tali rafia yang dilakukan Pak Rasjo sebelum menyiksanya.

"Ee.. ee.. maaf Bu, saya tidak tahu tangan ibu masih terikat," ujarku tergagap dan segera berusaha melepaskan ikatan tangan wanita itu.

Pak Rasjo benar-benar keterlaluan. Ikatan tali rafia yang dilakukan pada kedua tangan istrinya benar-benar sangat kuat. Cukup repot juga untuk membukanya. Sambil terus berusaha membuka ikatan tali rafia di tangan Bu Mumun, sesekali kesempatan itu kugunakan untuk menatapi tubuh wanita yang menurutku masih cukup merangsang itu.

Tetek Bu Mumun juga terlihat masih montok dan besar. Buah dadanya yang hanya tertutup oleh kutang hitamnya yang kekecilan tampak membusung. Berbeda dengan tetek istriku yang tipis dan terkesan peot. Tanpa kusadari kontolku jadi mengeras dibalik celana yang kupakai.

Meski tidak bisa menutupi perasaan malunya karena telah bertelanjang di hadapanku, Bu Mumun segera merapikan kain panjang yang dipakainya setelah aku berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Terima kasih Pak Anto. Entah bagaimana jadinya tadi kalau tidak ada Pak Anto," ujarnya.

Dari cerita wanita itu, Pak Rasjo suaminya marah-marah dan menyiksanya karena ia meminta ijin agar diperbolehkan kembali memijat. Ia nekad menyampaikan itu karena sudah beberapa hari suaminya tidak pernah pulang membawa uang hingga untuk makan terpaksa berhutang ke sana kemari termasuk pada istriku. Menurut Bu Mumun, suaminya makin keranjingan judi dan mabuk-mabukan.

"Suami saya sangat cemburuan Pak Anto. Apalagi kalau yang dipijatnya laki-laki meskipun sudah saya katakan kalau saya hanya memijat dan tidak melakukan apa-apa. Lagian apa yang harus dicemburukan pada orang yang sudah setua saya ya Pak Anto?"

"Pak Rasjo tidak salah Bu. Soalnya tubuh Bu Mumun memang mas..," aku menghentikan ucapanku karena merasa apa yang ingin kusampaikan tidak pantas diucapkan.

Tetapi Bu Mumun mengejar. "Soalnya apa Pak Anto? Kok tidak diteruskan," ujarnya.

"Soalnya Bu Mumun masih cantik dan terus terang tubuh ibu masih sangat menggoda. Saya saja tadi sangat terangsang kok melihatnya," kataku akhirnya jujur.

"Ah sudah tuwek begini kok dibilang merangsang. Ibu jadi malu lho sama Pak Anto,"

"Kok malu Bu?"

"Iya soalnya punya ibu sudah dilihat sama Pak Anto," ujarnya.

"Kalau saya sih sangat seneng. Seperti dapat rejeki nomplok. Soalnya bisa melihat bagian yang paling indah punya ibu. Sungguh... me. eh punya ibu merangsang banget," kataku. Tadinya aku mau bilang memek tapi aku segera meralatnya karena merasa tidak etis.

Sebelum meninggalkan rumah Bu Mumun aku sempat berpesan agar tidak sungkan-sungkan menyampaikan kesulitan yang dihadapinya terutama masalah keuangan dan berjanji akan membantunya semampu yang saya bisa bantu. Sebab aku takut gara-gara ulahku Pak Rasjo makin nekad dan tidak memberikan uang belanja. Bahkan saat itu aku sempat mengulurkan sejumlah uang

Dugaanku ternyata tidak meleset. Dua minggu setelah kejadian itu, Bu Mumun bercerita bahwa Pak Rasjo tidak pernah kembali. Menurutnya, pada malam hari setelah kejadian memang sempat pulang tetapi hanya mengemasi baju-bajunya dan langsung pergi lagi. Dicari ke tempat biasa mangkal dengan becaknya, teman-temannya sesama tukang becak memberi informasi bahwa Pak Rasjo merantau ke Sumatera karena ada yang mengajak bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.

Aku jadi merasa bersalah pada wanita itu. "Maafkan saya Bu. Saya tidak mengira kalau gara-gara ulah saya Pak Rasjo jadi pergi ke Sumatera," ujarku kepada Bu Mumun yang sepertinya sengaja mencegatku saat aku hendak berangkat ke kantor setelah mengantar putriku ke sekolah.

"Oh bukan.. bukan maksud saya hendak menyalahkan Pak Anto. Dengan perginya Kang Rasjo malah membuat hidup saya dan anak-anak merasa lebih
tenang karena selama ini kami selalu ketakutan dengan tindakan-tindakan kasarnya,"

Hanya, kata Bu Mumun, dengan perginya Pak Rasjo berarti kini ia harus menghidupi sendiri kedua anaknya. Untuk itu ia berniat kembali memijat dan membuka warung kecil-kecilan kalau sudah memiliki modal. Ia meminta, bila di kantorku ada yang pengin dipijat aku diminta untuk mengajukan dirinya.

"Oh kalau soal itu, beres deh Bu. Pasti akan saya promosikan. Soalnya banyak temen-temen di kantor yang suka dipijat. Saya juga mau jadi pasien pertamanya," kataku bergurau.

Selorohku ternyata ditanggapi serius oleh Bu Mumun. "Pak Anto pengin saya pijat? Kapan? Kalau di kantor lagi tidak banyak kerjaan sekarang juga boleh. Biar nanti kalau ke kantor udah seger,"

Sebenarnya aku tidak begitu suka dipijat. Tetapi pagi itu, penampilan Bu Mumun tampak menggoda. Daster tipis bermotif bunga-bunga yang dipakainya, tampak kekecilan. Kedua pahanya yang membulat mulus tampak menyembul karena dasternya terlalu pendek tak mampu menutupinya.

Bahkan karena kelewat tipisnya daster yang dipakai, CD warna hitam yang dikenakan wanita itu tampak menerawang. Aku jadi teringat pada kejadian saat menolongnya dari tindakan kasar suaminya. Saat aku berkesempatan melihat bagian tubuhnya yang paling pribadi dan menjadikanku sangat terangsang.

"Pijatnya di rumah saya atau di tempat ibu?"

"Di tempat saya juga boleh karena anak-anak sudah ke sekolah. Tetapi tempatnya agak kotor. Atau kalau Pak Anto mau saya bisa memijat di rumah bapak," kata Bu Mumun.

Karena rumahku juga sepi, akhirnya kuputuskan untuk pijat di tempatku. Motor kembali kumasukkan ke dalam rumah. Sementara Bu Mumun pulang mengambil minyak urut dan peralatan lain untuk memijat. Mudah-mudahan ia tidak mengganti dasternya yang seronok agar aku bisa menikmati paha mulusnya saat dipijat, ujarku membathin.

Harapanku tampaknya terkabul, sebab saat datang dan kuminta masuk Bu Mumun tetap memakai daster tipis itu. Ia membawa botol minyak urut dan botol body lotion dari merek murahan. Tatapanku terpaku pada goyangan pantat besarnya yang aduhai saat Bu Mumun melangkah di depanku setelah aku menutup pintu. Kontolku jadi menggeliat dan terbangun.

Setelah berada di dalam kamar, seperti layaknya pemijat profesional, Bu Mumun memintaku menanggalkan pakaian yang kukenakan serta memintaku berbaring di ranjang. Tetapi sebelumnya ia memintaku memilih dipijat dengan minyak urut atau body lotion. Menurut Bu Mumun kalau agak meriang enaknya dipijat dengan minyak urut karena memberi efek hangat pada tubuh. Tetapi kalau dipijat hanya agar terasa rileks dan fresh, enaknya pakai body lotion karena hanya berfungsi sebagai pelicin saat diurut.

Tentu saja aku memilih menggunakan body lotion karena memang tidak meriang dan aku kurang suka bau minyak urut. Namun aku juga sempat ragu saat hendak menanggalkan pakaian seperti yang dimintanya. Sebab bila hanya bercelana dalam, pasti Bu Mumun akan melihat tonjolan batang penisku yang sudah mengeras. Tapi, ah kenapa harus malu? Malah lebih bagus biar gampang ngomongin hal-hal yang menjurus kalau sampai Bu Mumun menanyakannya, pikirku akhirnya dan langsung kulolosi semua pakaian yang kukenakan dengan hanya menyisakan celana dalamku.

Benar saja Bu Mumun berkali-kali melirik ke tonjolan celana dalamku yang mencetak bentuk penisku yang tegak mengeras. Hanya ia tidak berkomentar. Bahkan seolah tak acuh. Ia memintaku tidur menelentang di kasur dan memulai pijatannya setelah membalurkan body lotion ke bagian-bagian tubuhku yang hendak dipijat.

Menurutnya, ia memeriksa bagian perutku lebih dulu sebelum mulai memijat. Sebab kalau aku menderita penyakit tertentu bisa berbahaya bila dipijat. Setelah membalurkan body lotion, tangan Bu Mumun mulai beraksi. Seperti dokter yang tengah memeriksa pasiennya, lambung kiri dan kanan perutku diusap dan ditekan-tekan perlahan.

"Sakit Pak Anto?"

"Nggak tuh. Emangnya kenapa Bu?"

"Kalau terasa sakit berarti ada penyakit dan saya tidak berani memijat. Tapi Pak Anto sih kayaknya benar-benar sehat," ujarnya sambil kembali mencuri pandang ke tonjolan yang tercetak di celana dalamku.

Kontolku memang makin mengeras hingga batangnya pasti kian tercetak jelas di balik CD yang kupakai. Ke arah itulah tatap mata Bu Mumun melirik. Tetapi hanya sesaat karena ia kembali mulai memijat. Mungkin takut dipergoki olehku.

Pijatan tangan Bu Mumun benar-benar enak. Pantas banyak yang menyukai pijatannya. Tetapi yang lebih menarik bagiku, adalah menatapi sosok tubuh pemijatnya. Terutama ke busungan buah dadanya yang montok. Mungkin karena ukurannya yang kelewat besar atau karena sudah agak kendur, susu Bu Mumun ikut berguncang-guncang lembut saat pemiliknya melakukan aktivitas memijat. Padahal, buah dadanya itu telah disangga oleh BH yang dipakainya.

Bagian lainnya yang juga menarik perhatianku sambil menikmati pijatannya adalah paha mulus wanita itu. Paha Bu Mumun memang menjadi terbuka karena dasternya yang dikenakan kelewat pendek. Bahkan sesekali celana dalam hitamnya tampak mengintip. Aku menelan ludah disuguhi pemandangan yang merangsang itu dan membuat kontolku makin tegang memacak.

Tak kuat menahan gairah, aku nekad memberanikan diri untuk merayunya. Tangan Bu Mumun yang tengah mengurut perutku kugenggam. "Kenapa Pak Anto? Sakit," katanya.

"Ti.. tidak Bu. Di... di... di bawah ini yang sakit. Kalau dipijat sama ibu kayaknya bakal sembuh deh," ujarku sambil menggeser tangganya ke gundukkan yang membonggol di celana dalamku.

Tadinya kukira Bu Mumun akan kembali menarik tangannya dan menghentikan pijatannya karena dilecehkan. Ternyata tidak. Seperti yang kuharapkan, ia mengelus dan meraba kontolku meski masih dari luar celana dalam. "Iihh ... pagi-pagi kok sudah keras begini. Memang Bu Ning (panggilan istriku), semalam tidak memberi jatah?"

"Bukan soal tidak diberi jatah. Tapi tubuh ibu sangat sexy jadi saya menjadi terangsang,"

"Ah Pak Anto bisa saja. Saya sudah tuwek lho, kok dibilang sexy," ujarnya mengelak namun tidak menyembunyikan perasaan bangganya atas pujianku.

Ah wanita mana sih yang tidak suka dipuji. Apalagi wanita seusia Bu Mumun dan yang memberi pujian adalah laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Aku jadi makin berani untuk mencoba bertindak lebih jauh. Kugenggam telapak tangan Bu Mumun yang tengah memijat perutku lalu kugeser agar memasuki bagian dalam celana dalamku hingga menyentuh kontolku yang telah mengeras.

Bu Mumun ternyata juga tidak menolak dan menarik keluar tangannya. Batang rudalku digengamnya dan dikocok-kocoknya perlahan hingga membuatku merintih tertahan menahan kenikmatan. "Pak Anto pengin dikocok? Biar gampang celana dalamnya dibuka saja ya?,"

"Sshh... ahh... ...sshhh aahh terserah ibu. Diapakan saja saya mau,"

Akhirnya aku benar-benar telanjang karena Bu Mumun melepas celana dalam yang kupakai. Batang kontolku yang tegak terpacak dan mengeras dibelai-belainya. Tampaknya ia mengagumi ukuran senjataku yang memang lumayan besar. "Punya saya kecil ya Bu? ujarku mencoba meminta pendapatnya.

"Ih segini kok kecil. Nggilani... ihhh gede banget,"

"Sama punya Pak Rasjo gedean mana Bu?"

"Punya Kang Rasjo sih biasa saja. Malah sudah loyo karena dia banyak minum. Bu Ning pasti seneng ya Pak Anto karena punya bapak marem banget," kata Bu Mumun sambil mengocok perlahan batang zakarku.

Baru kusadari Bu Mumun yang semula duduk di tepian ranjang, sudah berganti posisi merebahkan tubuh di sisiku. Bagian bawah tubuhnya menghadap ke arahku. Dasternya yang terlalu pendek makin tertarik ke atas, hingga pahanya menjadi terbuka terpampang di hadapanku.

Sepasang pahanya membulat padat dan lumayan mulus untuk ukuran wanita seusia dirinya. Namun lebih mengundang gairah untuk diraba dibanding paha istriku yang kecil dan agak kasar kulitnya. Bahkan dengan hanya sedikit menyingkap ujung dasternya, aku bisa melihat busungan memeknya yang membukit. Memang masih terbungkus CD warna hitam yang dipakainya. Tetapi dapat kubayangkan besarnya memek Bu Mumun itu.

Tanpa membuang kesempatan dan karena memang sudah lama ingin merabanya, tangaku langsung mengusap-usap paha Bu Mumun. Kulitnya benar-benar lembut. Sayang Pak Rasjo suka mengasarinya saat bertengkar dengan menyundutkan rokok ke pahanya hingga ada beberapa bekas luka di paha mulusnya yang tak bisa hilang.

Diraba dan diremas-remas gemas pada pahanya, awalnya Bu Mumun tidak bereaksi. Hingga aku bisa menjelajahi setiap inchi kehalusan kulitnya dan mengagumi keindahan kakinya yang kekar itu. Namun saat telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap busungan memeknya, ia menggelinjang dan berusaha mencegah.

"Pak... ja...," ujarnya tanpa menyelesaikan kalimatnya sambil berusaha menurunkan ujung dasternya yang tersingkap.

"Saya ingin melihat dan memegang punya ibu. Tidak boleh?" Kataku.

"Bukan begitu Pak. Saya malu,"

"Kok malu?"

"Saya sudah tua dan jelek," ujar Bu Mumun lirih.

"Sejak kejadian dengan Pak Rasjo dan melihat tubuh telanjang ibu, saya benar-benar terangsang dan suka pada ibu. Saya suka membayangkan dan mengangankan ibu," kataku meyakinkannya.

Entah karena percaya dengan penjelasanku atau karena ia sendiri menjadi terangsang karena melihat kerasnya batang kontolku, Bu Mumun tak lagi memprotes ketika aku kembali mengusap-usap busungan memeknya. Bahkan ia merenggangkan sedemikian rupa posisi pahanya hingga memudahkanku untuk melihat seluruh permukaan memeknya dari luar CD yang dipakai dan sekaligus merabainya.

Rupanya soal usia hanya sekadar alasan. Sebab ternyata CD warna hitam berharga murahan yang dipakai Bu Mumun, bentuknya sudah mengenaskan. Warnanya kusam, kendor dan berlubang di jahitannya yang terlepas. Kasihan, mungkin ia tak cukup punya uang untuk sekadar membeli CD karena penghasilan suaminya yang pas-pasan ditambah suka judi dan mabuk. Mungkin karena bentuk CD nya yang sudah tidak layak pakai itulah ia jadi malu dan sempat berusaha menolak ketika kuraba memeknya.

Bagiku CD kendor yang dipakainya membuatku makin terangsang. Sebab membuat rambut-rambut hitam jembut memeknya mencuat keluar dari bagian yang berlubang. Sambil menikmati kocokan yang dilakukan Bu Mumun pada penisku, cukup lama kuusap-usap memeknya yang membusung. Bahkan sesekali, masih dari luar CD yang dipakainya, kumasukkan jariku untuk masuk ke lubang nikmatnya melalui lubang pada CD yang dipakainya.

Bu Mumun rupanya juga mulai terangsang. Aku tahu karena CD nya mulai basah akibat cairan yang keluar dari vaginanya. Nampaknya wanita yang usianya sudah memasuki kepala lima itu belum kehilangan gairahnya. Karena sudah sangat ingin melihat bentuk lubang nikmatnya, kucoba melepaskan CD yang dipakainya.

Tetapi melepaskan CD nya dalam posisi tiduran ternyata tidak mudah. Mungkin takut CD yang dipakainya robek karena sudah usang, Bu Mumun langsung berdiri dan membantu membukai sendiri CD yang dipakai. "Saya malu Pak Anto. Celana dalam saya jelek dan sudah robek," ujarnya sambil tersenyum.

Aku tersenyum. "Tetapi yang penting kan isinya Bu. Sungguh saya suka banget tubuh ibu yang merangsang. Ayolah buka semua, saya ingin melihatnya lagi," kataku meyakinkannya.

Memek wanita bertubuh tinggi besar itu benar-benar wah. Besar dan membusung dengan bulu-bulu jembut tipis menghiasi permukannya. Terlihat sangat merangsang terjepit di antara pangkal pahanya yang membulat kekar. Saat ia melepas BH, satu-satunya penutup tubuh yang masih tersisa, aku makin tak tahan oleh gairan yang kian membakar.

Sebab meskipun sudah agak kendur, ukuran payudaranya tergolong maxi. Besar menggantung mirip buah pepaya ranum dengan hiasan warna coklat kehitaman pada putingnya yang terlihat mencuat. Tanpa membuang kesempatan dan juga karena sudah sangat ingin menikmati tubuh montoknya aku langsung menariknya dan menelentangkannya di ranjangku. Ranjang yang biasa kupakai tidur bersama istriku.

Tanpa melakukan pemanasan lebih dulu, tubuh Bu Mumun yang mengangkang langsung kutindih. Langsung berusaha memasukkan kontoku ke lubang memeknya. Namun karena tergesa-gesa, berkali-kali tidak berhasil menembus lubang nikmatnya. Untung Bu Mumun segera membantunya. Dengan tangannya, ia mengarahkan rudalku ke liang memeknya. Hingga akhirnya, bless... batang kontolku melesak ke kehangatan lubang kemaluannya.

"Ma.. maaf Bu saya sudah pengen banget merasakan memek ibu," kataku berbisik dekat telinganya.

Ia tersenyum. "Nggak apa-apa Pak Anto," ujarnya.

Ternyata Bu Mumun juga sudah horny. Bagian dalam liang senggamanya sudah basah. Juga sudah longgar, mungkin karena sering disetubuhi Pak Rasjo atau karena sudah ada tiga bayi yang penah melewatinya. Namun, meskipun liang senggamanya sudah longgar tetap tidak mengurangi rasa nikmat.

Benar juga yang disampaikan para pakar seks dalam sebuah majalah yang pernah kubaca. Bahwa besar pendeknya penis atau sempit lebarnya memek tidak terlalu memberi pengaruh terhadap kenikmatan seks. Bahkan bagiku, banyaknya cairan yang melumuri batang kontolku di memek Bu Mumun serasa memberi sensasi tersendiri. Hangat dan serasa berenang di surga kenikmatan.

Sambil meremasi tetek besarnya dan memilin gemas puting-putingnya, kuayun perlahan bagian bawah tubuhku. Bu Mumun mendesah. Rupanya ia mulai merasakan nikmatannya tusukan batang kontolku di lubang memeknya. "Sshh... aaahh... sshh... aakkhh ... enak bangat Pak Anto,"

"Iya Bu... saya juga enak. Memek tembem ibu enak banget. Akkhhh.... ahh... ssshhh .... sa.. saya suka memek ibu,"

"Bener Pak Anto? Aaahhhh... sshhh... aaahhhh. ... aauww... kontol bapak juga marem banget. Besar dan panjang,"

Dari tempo permainan yang semula perlahan, seiring dengan kenikmatan dan gairah yang kian meninggi aku mulai meningkatkan irama. Sodokan dan tusukan batang zakarku meningkat cepat temponya. Membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang dan mulai mengimbangi dengan menggoyang-goyangkan pinggul dan pantat besarnya. Ia menjambak dan meremas gemas kepalaku yang juga tiada henti menghisapi puting susunya.

Bahkan tidak sekadar mendesah, sesekali Bu Mumun memekik dan mengeluarkan kata-kata jorok. "Ssshhh.,,, aaakhhhh.... sshhh... enak bangat .. aahhh ... aaauuuuwww ... terus entot memek saya Pak Anto.. aaahhhh, ... enak banget... sshhh.... aakkkhhh,"

Wajah wanita paro baya yang mulutnya tak berhenti mendesah dan mendesis itu makin cantik di mataku. Kata-kata jorok dan desahannya bahkan seolah menyemangatiku untuk lebih memacu hunjaman kontolku di lubang memeknya. "Ssshhhh aahhh ,,,, ahhh, saya juga suka memek ibu. Memek ibu legit banget.... aahhh ... saya akan jebolkan memek ibu... sshhhh ... sshh,"

Karena sama-sama bernafsu dan tak mampu mengontrol tempo permainan, tak lebih dari sepuluh menit kami telah sama-sama mendekati puncak. Goyangan pantat Bu Mumun semakin kencang. Ia berkali-kali mengangkat pinggulnya dan desahan yang keluar dari mulutnya makin menjadi.

Saat itu, sesuatu yang tidak pernah kurasakan kudapatkan dari Bu Mumun. Tidak hanya mengedut-edut, otot-otot yang berada di sekitar lubang memeknya juga seolah mampu bergerak. Meremas dan menghisap batang kontolku hingga mengantarkanku kepada kenikmatan yang tidak pernah kurasakan. Aahh ternyata ada memek wanita yang seenak ini, pikirku membatin.

Saat kedua kaki Bu Mumun melingkar dan membelit pinggangku. Menekan pantatku dan menghunjamkan batang kontolku ke kedalaman memeknya sampai ke dasarnya. Aku tahu ia telah hampir sampai dan mendapatkan orgasmenya.

Tanpa membuang kesempatan, karena aku pun sudah tidak mampu membendung gairah yang telah cukup lama kutahan, aku pun mulai mengimbanginya. Berkali-kali kugenjot dan kusentakkan sekeras-kerasnya batang kontolku di lubang nikmatnya. Akibatnya Bu Mumun mengerang-erang dan mendekap erat tubuhku.

Puncaknya Bu Mumun mengelojot dan ambruk terkapar setelah sebelumnya kurasakan semburan hangat memancar di dalam vaginanya. Dalam tempo yang hampir bersamaan, aku pun mendapatkan puncak kenikmatan dari persetubuhan yang kulakukan bersamanya. Setelah menyemprotkan cukup banyak air mani ke rahimnya, tubuhku ambruk di atas tubuh montok wanita tetanggaku.

Rupanya cukup lama aku tertidur setelah meniku tertumpah. Bu Mumun juga sudah tidak ada di ranjangku hingga aku keluar mencarinya. Di dapur kutemui wanita tengah menjerang air. Nampaknya dia habis mandi dan hanya melilit tubuhnya dengan handuk. "Eeh Pak Anto maaf saya pakai handuk ini. Bapak mau minum teh apa kopi, airnya hampir mendidih," ujarnya.

Aku tidak menjawab tapi langsung mendekap dan memeluknya dari belakang. Bau wangi sabun mandi meruap dari tubuhnya. Susunya kuremas dan tanganku yang lain menyelinap ke pahanya, merambat dan mengusap-usap memeknya yang masih basah. "Saya hanya pengin memek ibu yang nikmat ini,' ujarku sambil menekan-nekan memek tembemnya.

"Ih Pak Anto doyanan ya," kata Bu Mumun tanpa mencoba menepis tangan nakalku.

"Soalnya memek ibu enak banget. Saya suka memek ibu,"

"Kan sudah ada Bu Ning,"

"Punya istri saya tipis dan bulu jembutnya kasar jadi tidak merangsang. Teteknya juga kecil. Tidak seperti punya ibu, mantep," kataku lagi sambil meremas dan merabai pantatnya yang membusung.

"Punya Pak Anto juga marem lho. Sampai mentok. Saya tadi keluar banyak Pak,"

Bu Mumun agaknya terpancing oleh tangan nakalku. Ia hendak meraih kontolku yang mulai agak menegang. Namun karena merasa masih kotor dan lengket oleh keringat, kulepaskan pelukanku dan melangkah ke kamar mandi. "Saya mandi dulu ya Bu. Nanti kita lanjutkan. Oh ya saya minta dibuatkan teh manis saja," ujarku sebelum masuk ke kamar mandi.

Usai mandi, teh panas buatan Bu Mumun yang terhidang kureguk. Wanita itu kulihat duduk di sofa, di ruang tengah tempat keluargaku menonton televisi. Seperti semula, ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk warna krem yang sebenarnya milik istriku. Aku menghampiri dan duduk menjejerinya.Ia melirik ke arahku yang tetap telanjang bulat dan menatap ke selangkanganku. Melihat kontolku yang mengecil akibat kedinginan saat mandi.

Dengan menggelung rambutnya, wanita sederhana itu terlihat cukup cantik. Kulitnya benar-benar bersih dan tampak anggun. Di wajahnya, ketuaan hanya terlihat pada beberapa kerutan yang ada di kelopak matanya. Kalau ekonominya menunjang, aku yakin ia pantas menjadi istri pejabat. Bahkan Bu Marmo. istri atasanku yang sudah berusia 53 tahun tapi masih suka dandan kalah penampilan.

Kulingkarkan tanganku ke pundak Bu Mumun yang terbuka lalu kucium pipinya. Ada bau sabun mandi yang biasa dipakai istriku. "Pak Anto nggak malu?"

"Kok ibu nanya begitu,"

"Saya kan sudah tua dan cuma istri seorang tukang becak. Malah sebelumnya saya cuma babu," ujarnya. Agaknya dia masih tidak percaya diri.

"Ibu nggak percaya ya. Ibu benar-benar sangat cantik dan saya sangat suka. Tubuh indah dan membuat saya sangat terangsang," kataku.

Untuk lebih meyakinkan, aku mendaratkan ciuman di bibirnya. Kulumat dan kujulurkan lidahku ke rongga mulutnya. Mulanya tidak bereaksi. Baru setelah lidahnya berkali-kali kugelitik menggunakan lidahku dan menghisapnya, ia mulai memberikan perlawanan. Ia merapatkan tubuhnya dan memelukukku. Ia juga mulai melumat dan menghisap bibirku. Kami saling hisap dan saling lumat dan baru berhenti setelah sama-sama sulit bernafas.

Bu Mumun menjadi lebih santai setelah sempat saling lumat bibir. Mungkin ia menjadi makin percaya kalau aku benar-benar menyukainya. Buktinya, saat kuminta melepas handuk yang masih membalut tubuhnya karena aku ingin melihat seluruh tubuhnya, tanpa sungkan ia segera melepasnya. Bahkan ia langsung menyandar di sofa dan membuka kakinya. Memamerkan semua miliknya layaknya istri setia yang hendak melayani suaminya.

Kini aku bisa benar-benar puas melihat semua perangkat kewanitaan Bu Mumun. Seperti kebanyakan wanita seusia dirinya, perut wanita tetanggaku itu sudah tidak rata. Bahkan ada lipatan-lipatan daging yang bagi sementara pria dianggap mengganggu dan kurang menarik. Sepasang buah dadanya yang besar mirip buah pepaya, juga tampak kendur. Namun puting-puting susunya yang nyaris sebesar ujung kelingking jariku benar-benar menggodaku. Warnaya coklat kehitaman dan bentuknya mencuat, kontras dengan bagian tubuh lainnya yang langsat.

Kalau kubilang memek istriku kurang menarik, karena begitulah memang adanya. Memek istriku kecil dan tipis, dengan rambut-rambut keriting yang kasar mendekati lubangnya. Karenanya aku hanya beberapa kali mengoral dan menjilatnya sepanjang 8 tahun perkawinanku. Itu pun di saat masih pengantin baru.

Namun melihat memek Bu Mumun, sungguh jauh berbeda. Memek yang lebar dan besar itu, busungannya sudah terbangun sejak di bawah pusar dan makin ke bawah makin menggunung dan tebal. Rambut-rambut yang tumbuh di atasnya juga sangat halus. Terdorong keinginan untuk melihat lebih dekat bentuk vaginanya, aku turun dari sofa dan jongkok persis di antara kedua paha mulusnya yang mengangkang.

Saat kuraba, memek Bu Mumun benar-benar tebal. Pantas enak banget saat kuentot. Bulu-bulu jembutnya juga lembut, beda benar dengan jembut istriku yang kasar. Hanya, celah di lubang vaginanya tidak semulus gundukkannya. Bibir luar memeknya yang juga tebal, nyaris sudah tidak berbentuk. Agak kehitaman dan banyak sekali kerutan. Membuatku penasaran untuk merabanya.

Mungkin karena Pak Rasjo suka main kasar kalau sedang menyetubuhi. Atau bisa jadi begitulah memek wanita kalau usianya sudah kepala lima dan sering disodok penis pria. Bu Mumun berusaha menepis dan menarik tanganku saat telapak tanganku berkali-kali mengusap bibir memeknya yang sudah kapalan itu. "Malu ah Pak Anto, punya ibu sudah jelek. Makanya, ibu kan sudah tua," ujarnya.

Bu Mumun salah duga. Padahal, entah kenapa, melihat memeknya yang sudah kapalan, aku makin terangsang. Tonggak daging di selangkanganku jadi menggeliat dan mulai bangkit. Apalagi melihat itilnya yang mecuat diujung bagian atas belahan memeknya. Ah benar-benar menggoda untuk dijilat.

Tak puas hanya sekedar mengusap, aku mulai menggunakan mulutku. Memek Bu Mumun benar-benar tidak berbau. Kujilat dan kusapu-sapukan lidahku pada kerut-kerut di bibir memeknya. Juga di itilnya yang kemerahan. Bahkan, akhirnya seluruh mulutku kubenamkan ke lubang vaginanya sambil kuhisap-hisap itilnya.

Bu Mumun tersentak. Mungkin ia tidak mengira aku akan mengoralnya. Kepalaku dipegangnya dan ditariknya agar menjauhi memeknya. "Ja... jangan Pak Anto. Kotor.. ah.. ja.. jangan,"

Tetapi aku tidak peduli. Bahkan, sambil menjulur-julurkan lidahku ke lubang nikmatnya, tanganku menggerayang ke perutnya dan berhenti di payudaranya. Susunya yang bak buah pepaya menggelantung itu, tak luput dari remasan tanganku. Aku seperti bocah yang tengah asyik dengan mainan baru dan sulit diminta berhenti.

Rupanya, Bu Mumun akhirnya mendapatkan kenikmatan dari yang kulakukan. Akhirnya ia pun menyerah. Membiarkan segala yang ingin kulakukan pada tubuhnya. Bahkan ia makin mengangkang, membuka lebar pahanya agar lidahku bisa menjangkau sudut terdalam lubang nikmatnya. Ia juga mulai merintih dan mendesah.

Jilatan dan sogokan lidahku pada kelentit dan lubang memeknya, membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang. Cairan vaginanya juga mulai keluar, terasa asin di mulut dan lidahku. Aku tak peduli. Bahkan makin bersemangat karena membuat wanita istri tetanggaku itu terangsang berat. "SShhhh... aahhh.... sshhh ..... aahhh... ooohhh.... oooohhhh.... ssshhh ... enak banget .... aaahhh. Saya diapakan Paakkk.... aahhh enak banget..," erangnya.

Erangan kenikmatan Bu Mumun cukup keras. Sebenarnya takut juga kalau ada tetangga yang mendengar dan mengintip. Namun rumahku dan rumah Bu Mumun lumayan terpencil, terpisah agak jauh dari rumah warga lainnya. Jadi tidak bakalan ada yang mendengar dan menjadi curiga.

"Sekarang ibu berdiri dan nungging ya. Saya pengin lihat pantat ibu. Juga memek ibu dari belakang," kataku setelah puas mengobok-obok memeknya dengan mulutku dan menjadian lubang kewanitannya dibanjiri cairan yang bercampur ludahku.

"Pak Anto ada-ada saja ih. Wong bokong wanita tuwek saja mau dilihat," katanya merajuk.

Tetapi ucapannya itu bukan untuk membantah. Seperti yang kuminta ia langsung nungging di depanku. Kedua tangannya bertumpu pada kursi sofa. Melihat sosoknya dari belakang, aku jadi berpikir bahwa Pak Rasjo suaminya benar-benar pria tak tahu diuntung. Profesinya yang hanya sebagai penarik becak menyia-nyiakan istrinya yang masih merangsang di usianya yang sudah tidak muda.

Ditopang dua kakinya yang kekar dan panjang, bentuk pantat Bu Mumun benar-benar serasi. Besar, lebar dan membusung. Lubang duburnya berwarna coklat kehitaman tetapi terlihat bersih. Kukira saat mandi tadi ia tak lupa menyabuni sampai pada anusnya itu. Dan kuyakin dari bentuk lubangnya yang masih sangat rapat, ia belum pernah melakukan hubungan seks melalui duburnya.

Setelah mengusap dan meremasi pantatnya yang menggemaskan, kembali memeknya kucerucupi dan kujilati. Bahkan sesekali tanganku meraih susunya yang berayun-ayun untuk meremas-remasnya. Tindakanku membuat Bu Mumun kembali merintih dan mengerang.

Hanya, ketika jilatan lidahku merambat makin ke atas mendekati lubang duburnya, ia menjadi tersentak dan berdiri. "Jangan ah Pak Anto. Bapak nggak jijik?," ujarnya memekik.

Tetapi aku tak peduli. Ia kembali kupaksa untuk nungging seperti semula. Hingga tanpa bisa menolak, ia kembali menyodorkan pantatnya ke wajahku dan kembali aku menjilatinya. Kali ini di lubang duburnya. Ujung lidangku kusapukan di sekitar lubang anusnya.

Reaksinya benar-benar dahsyat. Bu Mumun mengerang dan merintih perlahan. Mungkin ia merasakan perpaduan antara nikmat dan risi karena bagian tubuh yang oleh banyak orang dianggap kotor malah dijilati olehku. Aku juga makin yakin Bu Mumun belum pernah mendapat jilatan di bagian anusnya itu.

Sebenarnya aku belum pernah melakukan itu terhadap istriku maupun perempuan lain yang pernah tidur denganku. Tetapi dengan Bu Mumun, sepertinya aku ingin melakukan semuanya. Semua yang pernah kulihat dalam adegan film-film mesum. Entahlah, di mataku Bu Mumun memiliki pesona tersendiri.

Di samping erangannya yang kian keras takut didengar orang akibat kenikmatan jilatan yang kuberikan pada duburnya, aku juga kasihan ia menjadi terpanggang oleh nafsunya yang segera membutuhkan penuntasan. Maka sambil memeluknya dari belakang, kuarahkan kontolku d lubang memeknya. Dengan sentakan lumayan bertenaga, bleess kontolku langsung amblas. Masuk ke kehangatan liang vaginanya yang yang basah.

"Enak Bu," kataku lirih berbisik di telinganya.

"Iya Pak Anto. Enak dan marem banget,"

Sambil mengayun keluar masuk kontolku di liang senggamanya, kucium punggung Bu Mumun yang terbuka. Merambat ke atas ke tengkuknya. Di tengkuknya, di anak-anak rambutnya karena rambut Bu Mumun disanggul, lidahku kembali menjalar terus menggelitik telinganya.

Bu Mumun kembali menggelinjang. Wanita yang sudah dikaruniai dua orang cucu itu juga mengerang-erang. Nampaknya menahan kenikmatan dari yang kuberikan. Suara rintihan dan erangannya membuatku makin bernafsu untuk menyetubuhinya. Maka sambil meremasi susu-susunya, sodokan sodokan kontolku pada memeknya makin kupercepat. Bunyi bleep... bleep.... bleep yang timbul dari benturan pantat besarnya dengan bagian depan pinggangku saat aku menghujamkan zakarku, juga makin membangkitkan gairahku.

Namun baru saja aku hendak mempercepat sogokan kontolku, otot bagian dalam memek Bu Mumun berkontraksi. Berdenyut, menjepit dan meremas. Rupanya ia akan kembali mendapat orgasmenya. Maka sogokan batang kontolku di liang senggamanya kuubah menjadi sentakan-sentakan bertenaga. Pada tiap sentakan yang kulakukan kudengar ia melolong dan merintih panjang. Dan akhirnya semburan hangat kurasakan menyembur ke sekujur batang penisku setelah sebelumnya kulihat Bu Mumun mencengkeram sofa tempat kedua tangannya bertumpu.

"Sa.. saya dapat Pak Anto. Sshhh... ssshhhh.... aahh ... aahhh... enak banget... ssshhh.... aaahhh... aakkkhhhhh," ujarnya dengan nafas memburu.

Permainan kembali dilanjutkan setelah beristirahat sejenak dan sama-sama membersihkan diri di kamar mandi. "Pak Anto nggak apa-apa terlambat ke kantor," ujarnya setelah kembali sama-sama duduk di kursi sofa.

"Ah beres Bu.Hari ini nggak ada yang terlalu penting untuk dikerjakan di kantor,"

"Kalau begitu saya juga ingin membuat Pak Anto puas," ujarnya sambil turun dari sofa dan mengambil posisi berjongkok di hadapanku.

Sebagai istri Pak Rasjo, kurasa ia tidak banyak memiliki pengalaman melakukan hubungan seks yang aneh-aneh. Tetapi sebagai wanita yang telah matang dari segi usia, ternyata telah matang pula dalam urusan ranjang. Setelah diciumi sepenuh nikmat, Bu Mumun mengcok kontolku perlahan dengan gerakan seperti tengah mengurut. Hasilnya, rudalku yang sebelumnya agak layu karena kedinginan di kamar mandi kembali tegak mengacung.

Saat itulah, sambil mengelus-elus dan mempermainkan kedua bijinya, Bu Mumun mulai mengulum penisku. Kuluman dan hisapannya benar-benar mantap. Batang kontolku yang lumayan panjang seperti ditelannya sampai ke pangkalnya, lalu dihisap dan ditariknya dengan mulutnya. "Aaakkkkhhhh.... sshhh.... aaakkkhhhh... eennnakk banget," aku mendesah.

Saat kontolku berada di rongga mulutnya, lidah Bu Mumun juga sepertinya tak mau diam. Kepala penisku diusap-usapnya dengan lidahnya hingga memberi sensasi kenikmatan tersendiri. Bu Mumun dengan tubuh montoknya yang telanjang, terlihat bersungguh-sungguh ingin memberikan kenikmatan padaku. Matanya terpejam dan ekspresinya sangat menggoda hingga aku berkali-kali mendesis menahan gairah yang kian membuncah.

Selain memberikan layanan oral pada penisku dengan sentuhan yang memabukkan, lidah Bu Mumun juga lincah merayap. Melata ke berbagai penjuru. Ke selangkanganku, perutku dan juga pusarku. Bahkan ke dadaku dan menghisap puting susuku. Saat ia melakukan itu, aku dengan gemas meremas-remas teteknya dan meraba memeknya yang juga kembali basah. "Ah.. ahhh... sshhhh enak banget Bu. Saya suka banget ngentot dengan ibu,"

"Bener Pak Anto?" ujarnya berbisik di telingaku.

"Ii.. iiya Bu. Aahhh ... saya baru merasakan enaknya ngentot seperti ini,"

Aku sangat kaget ketika Bu Mumun memaksa agar aku menarik ke atas dan menekuk kedua kakiku. Ternyata ia memintaku melakukan itu karena hendak mengerjai lubang duburku. Dimulai dengan mencerucupi lubang anusku, lalu lidahnya yang lincah menyapu-nyapu di seputar anusku. Aku jadi terlonjak dan tubuhku menjadi merinding dibuai sensasi kenikmatan yang diberikan.

Untung aku telah membersihkan anusku dengan sabun saat mandi dan membersihkan badan. Hingga kuyakin tak ada lagi bau tak sedap di lubang duburku. Hanya, aku tak mampu menahannya lebih lama atas permainan balasannya itu. Akhirnya aku menarik tubuh Bu Mumun naik ke atas sofa dan memintanya untuk mengerjai kontolku dengan memeknya sambil berjongkok.

Blees... kontolko kembali melesak ke kehangatan lubang vaginanya saat pantat besar Bu Mumun diturunkan persis di selangkanganku. Lubang memeknya yang lebar tampak memerah dihiasi oleh kerut-kerut bibir kemaluannya.

Untuk urusan main di atas, Bu Mumun bahkan tak kalah handal. itu kubuktikan saat ia mulai melakukan goyangan. Pantatnya yang sedikit diangkat, digoyang-goyangkan dengan hebatnya dan dengan kontolku masih berada di jepitan lubang nikmatnya. Aku menjadi tersentak. Tak tahan oleh kenikmatan goyangan yang diberikan, dua tangaku mencengkeram gemas buah dadanya.

"Aauuww.. sshhh.. aahhhh ... shhh... aahhh... enak.. enak .. banget memek ibu. Ya.. ya.. sshhh ...sshhh enak anget. Memek ibuu eennnakkk banget," kali aku yang tidak bisa mengontrol suaraku akibat sensasi dan kenikmatan yang disuguhkan wanita istri tetanggaku itu.

Sebetulnya, pertahanku nyaris jebol oleh goyangannya yang tak kalah dengan goyang ngebor Inul Daratista itu. Namun karena ingin menikmati sensasi kenikmatan yang diberikan olehnya, dengan kemampuan olah nafasku aku mencobanya bertahan. Bahkan akhirnya Bu Mumun yang menjadi kelabakan terpanggang oleh nafsu dan gairahnya sendiri.

Puncaknya, karena kuyakin Bu Mumun juga sudah dekat dengan orgasmenya, sambil memeluk tubuh montoknya aku berdiri sambil menggendongnya. Aku juga heran tubuh tinggi besarnya serasa ringan dalam gendonganku. Lalu perlahan kurebahkan di lantai berkarpet di ruang keluargaku. Saat itulah kami menuntaskan hasrat yang sama-sama menggelegak.

Tubuh Bu Mumun yang telentang mengangkang kembali kugenjot. Memeknya kusogok-sogok dengan batang kontolku yang tengah dalam posisi mengembang sempurna. Bahkan tak puas hanya dengan memasukkan kontol ke lubang nikmatnya, jari-jari tanganku ikut bermain disana. Menjentik-jentik dan mengusap itilnya.

Akhirnya kami sama-sama merintih dan setelah mengerang panjang, kontolku menyemprotkan mani cukup banyak membanjir di rahimnya. Bercampur dengan cairan hangat yang juga muncrat entah dari bagian mana di lubang nikmat wanita itu. Tubuhku ambruk dan hampir kehabisan nafas di atas tubuh montok Bu Mumun yang terangah-engah.

Seperti pasangan suami istri yang kelaparan sehabis bersetubuh, aku dan Bu Mumun makan di ruang dapur rumahku setelah sama-sama membersihkan diri. Telor ceplok, tahu goreng dan sambal yang dibuatnya memang menggugah selera. Saat itulah Bu Mumun mengingatkanku kalau-kalau ada teman di kantorku yang ingin dipijat. Menurutnya, saat ini ia hanya mengandalkan dari pekerjaan itu.

"Beres Bu. Tapi....," ujarku.

"Tapi apa Pak Anto?"

"Tapi ibu tidak memberikan layanan yang seperti tadi ke orang lain kan?" kataku cemburu.

"Ih.. ya tidaklah. Lagian yang doyan sama wanita tuwek seperti saya kan cuma Pak Anto," ujarnya.

"Eh.. jangan salah. Tubuh ibu masih sangat merangsang lho. Bener kan ibu cuma memijat,"

"Pak Anto jadi seperti Kang Rasjo tuh. Percayalah Pak, saya akan nurut sama Pak Anto. Apalagi kalau..." ujarnya tanpa meneruskan kata-katanya.

"Kalau apa bu?"

"Kalau sesekali Pak Anto masih mau melakukan yang seperti tadi dengan saya," katanya lirih.

"Tentu bu tentu. Saya suka dan puas banget sama ibu,"

Selain akan membantunya berpromosi soal pijatannya kepada teman sekantor, aku juga berjanji akan membantunya dengan sejumlah uang setiap bulan bila Pak Rasjo sampai tidak kembali datang. Bahkan sebelum kembali ke kantor, aku dan dia sempat saling peluk dan raba hingga nyaris kembali telanjang dan terpancing untuk mengulang kembali persetubuhan.

Untung Bu Mumun mengingatkan bahwa aku harus menjemput Ratri, putriku dari sekolah hingga kubatalkan niatku untuk kembali menikmati kehangatan tubuhnya. Sejak itu kami terus mengulang dan mengulang persetubuhan nikmat bersamanya. Bu Mumun, benar-benar menjadi istri gelapku.
 
cerita sebelumnya versi bu mumun.

Ketika aku mulai menempati rumah yang baru kubeli, sejumlah warga mengingatkan bahwa Pak Rasjo tetangga terdekat rumahku berperilaku kasar. Pria yang berprofesi sebagai penarik becak itu, kata para tetangga, di samping suka berjudi dan mabuk-mabukan juga sering melakukan tindak kekerasan pada istri dan anaknya.

"Mendingan Mas Anto pura-pura tidak dengar deh kalau dia lagi bertengkar dengan istrinya," kata Pak Samiun, yang menjabat selaku RT di lingkungan tempat tinggalku suatu hari ketika aku menyelenggarakan acara syukuran dan perkenalan dengan warga sekitar.

Sebab kalau urusan rumah tangganya dicampuri, kata Pak Samiun, Pak Rasjo yang mengaku pernah menjadi preman di Jakarta juga tak segan main kasar. Sedikit-sedikit ia membawa golok dan mengancam. Hingga warga sekitar malas berurusan dengan Pak Rasjo.

"Sebenarnya kasihan sama Bu Mumun (istri Pak Rasjo). Ia orangnya baik tetapi sering menjadi korban kekasaran suaminya. Tetapi karena orang-orang sungkan berurusan dengan suaminya, maka warga tidak dapat berbuat banyak," ujar Pak Samiun lagi.

Usia Pak Rasjo, sekitar 55 tahun sedangkan Bu Mumun mungkin sekitar 53 atau 54 tahun. Kehidupan keluarga dengan dua anak yang menginjak remaja itu, dengan hanya mengandalkan pendapatan Pak Rasjo dari menarik becak tentu saja hidup mereka pas-pasan. Apalagi dengan perilaku buruk Pak Rasjo yang gemar berjudi dan mabuk minum arak.

Menurut para tetangga, sewaktu Bu Mumun masih melayani jasa pijat dari orang-orang yang membutuhkan pijatannya kehidupan ekonomi keluarga Pak Rasjo lumayan baik. Pijatan Bu Mumun dikenal enak hingga banyak pelanggannya bahkan sampai ke luar kampung. "Tetapi Pak Rasjo orangnya sangat cemburuan banget," kata Bu Salamah, istri Pak Samiun.

Apalagi kalau tahu Bu Mumun baru memijat pasien laki-laki, perasaan cemburu Pak Rasjo meninggi. Ia mencari-cari alasan untuk bertengkar dengan sang istri yang berlanjut dengan berbagai tindak kekerasan. Bu Mumun sangat sering mendapat tempelengan, pukulan dan tendangan dari suaminya. Bahkan pernah ia disundut rokok hingga beberapa bagian tubuhnya melepuh.

"Bu Mumum bukan hanya kesulitan menghadapi masalah ekonomi keluarga tetapi ia tidak bisa melawan. Orang-orang juga takut menolong saat mereka lagi bertengkar karena kekasaran Pak Rasjo," ujar Bu Salamah.

Karena kekasaran suaminya itu Bu Mumun sudah setengah tahun lebih tidak memijat lagi. Ia lebih memilih berhadapan dengan masalah sulitnya ekonomi ketimbang harus menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan sang suami.

Menurut versi Bu Salamah dan beberapa tetangga, sebelum menjadi istri Pak Rasjo, Bu Mumun bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga kaya di Jakarta. Pak Rasjo adalah tukang becak yang biasa mangkal di dekat rumah majikan Bu Mumun.

Di masa muda, Bu Mumun terbilang cantik dengan tubuh montok dan berkulit bersih. Karenanya sang majikan tergiur dan terjadi skandal. Saat hamil, untuk menutupi aib, keluarga majikan tersebut mendekati Pak Rasjo. Tukang becak itu ditawari uang sangat besar untuk bisa beli rumah dan modal usaha asal mau mengawini Bu Mumun. Maka jadilan ia menjadi istri Pak Rasjo sampai sekarang.

"Dewi anak Bu Mumun dengan majikannya kini sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya. Ia jarang pulang karena perlakuan Pak Rasjo yang kasar," ungkap Bu Salamah menambahkan.

Mungkin karena persoalan masa lalu itulah kecemburuan Pak Rasjo sangat berlebihan. Apalagi katanya Pak Rasjo memang sangat mencintai Bu Mumun sebelum wanita itu dihamili oleh majikannya. Bawaannya menjadi selalu curiga setiap istrinya berdekatan dengan laki-laki lain.

Aku mempercayai cerita versi warga sekitar terkait masalah keluarga Pak Rasjo di masa lalu. Di masa lalu, Bu Mumun pasti tergolong wanita menarik. Sebab di usianya sekarang ini, wanita yang selalu berpakaian sederhana itu masih memancarkan sisa-sisa kecantikannya. Kalau ekonominya cukup dan mau berdandan, aku kira ia cukup pantas menjadi istri pejabat.


Di banding rumah-rumah warga lainnya, rumahku bisa dibilang terpisah. Rumahku dan rumah Pak Rasjo terpisah oleh kebun singkong lumayan luas dengan rumah-rumah warga lainnya. Praktis aku menjadi tetangga paling dekat keluarga Pak Rasjo dan selalu mendengar setiap pertengakaran di rumah keluarga itu yang memang sering terjadi.

Kalau sedang bertengkar, suaranya sangat ribut. Sepertinya semua benda yang ada menjadi sasaran kemarahan Pak Rasjo. Kerap dibarengi suara tangis Lasmi dan Rio, dua anak mereka yang masih berusia belasan tahun. Bahkan terkadang Bu Mumun terdengar menangis dan seperti meminta belas kasihan suaminya.

Awalnya, seperti yang disarankan para tetangga, aku tak terlalu peduli. Tetapi lama kelamaan aku tak bisa tinggal diam. Apalagi istriku selalu mendorong agar aku bertindak karena merasa tidak tega mendengar Bu Mumun dan dua anaknya dikasari oleh Pak Rasjo. "Kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan tindak pidana mas. Kita tidak salah kalau ikut menegur Pak Rasjo karena demi keselamatan Bu Mumun dan ana-anaknya,"kata Nuning, istriku suatu malam saat mendengar keributan dan tangis Bu Mumun.

Nuning memang sering menyempatkan ngobrol dengan wanita itu. Bahkan ia sering sengaja masak banyak agar bisa berbagai dengan keluarga itu. Aku pun demikian. Saat mereka kesulitan membayar biaya sekolah anak-anaknya atau aliran listriknya terancam dicabut akibat menunggak beberapa bulan, kuulurkan sejumlah uang untuk membantunya.

Pak Rasjo sendiri sebenarnya baik saat tidak mabuk meski memang agak kasar. Tetapi saat dipengaruhi alkohol, ia benar-benar di luar kontrol. Sangat congkak dan menyebalkan. Mungkin karena itulah para tetangga menjadi menjauh. Aku menjadi nekad bertindak untuk melawan kekasaran Pak Rasjo ketika kekerasannya kepada keluarganya dirasa tak dapat ditolerir.

Pagi itu setelah mengantar istri ke kantornya di sebuah perusahaan swasta, aku kembali ke rumah karena ada beberapa berkas penting yang tertinggal. Setelah sampai di depan rumah dan tengah mematikan mesin motor, kudengar suara Pak Rasjo marah-marah. Juga suara Bu Mumun terdengar terisak. Dua anaknya mungkin sudah berangkat ke sekolah hingga tidak terdengar tangisannya.

Karena sudah sering terjadi, aku tidak terlalu peduli. Namun lama-kelamaan, saat aku tengah mencari-cari berkas yang hendak kuambil, bukan hanya barang pecah belah yang terdengar dibanting dari arah rumah Pak Rasjo. Tetapi suara tangis Bu Mumun terdengar kian keras dan memelas.

Aku merasa terpanggil untuk segera mengambil tindakan ketika kudengar tangis Bu Mumum berubah menjadi jerit kesakitan dan berteriak meminta tolong. Aku langsung keluar dan mengetuk pintu rumah Pak Rasjo yang terkunci dari dalam sambil meminta agar dia berhenti menganiaya istrinya.

Namun dalam nada tinggi ia memintaku untuk tidak turut campur dalam persoalan keluarganya. Bahkan ketika aku kembali mengetuk pintu dan memintanya untuk berhenti dari tindakan kasarnya, Pak Rasjo mulai mengeluarkan ancaman. "Kalau mau berurusan dengan Rasjo jangan sendirian. Panggil seluruh warga kampung sekalian," ujar pria itu dengan congkak.

Mendengar jawabannya yang bikin merah telinga, aku yang pernah ikut olahraga karate dengan sabuk hitam menjadi tertantang. Pintu rumah Pak Rasjo yang memang sudah reot, tanpa banyak kesulitan dengan dua kali tendangan berhasil kujebol.

Di dalam rumah, kulihat Bu Mumun yang berpakaian setengah bugil terikat di tiang ranjang tempat tidur yang terbuat dari besi. Rupanya ia menjerit meminta tolong akibat tak tahan disiksa suaminya. Pak Rasjo ternyata menyiksa istrinya dengan cara menyundutkan bara pada rokok yang dipegangnya ke tubuh Bu Mumun.

Melihat kenekadanku menjebol pintu dan masuk ke dalam rumah, Pak Rasjo naik pitam. Ia meloncat dan meraih sebuah golok yang terselip di dinding bambu rumahnya. Bilah golok yang telah terhunus itu berkali-kali ditebaskannya ke arahku hingga membuat Bu Mumun panik dan meminta suaminya meminta menghentikan tindakan brutalnya itu.

Untung olahraga bela diri yang pernah kuikuti menjadikanku mampu bersikap sigap untuk menghindakan diri dari serangan mendadak yang kuhadapi. Bahkan di satu kesempatan, aku berhasil menyarangkan tendangan telak ke tubuh Pak Rasjo. Ia terhuyung dan kesempatan tersebut kumanfaatkan melakukan beberapa serangan berikutnya hingga akhirnya menjadi tak berdaya setelah aku berhasil mengambil alih senjatanya.

Kepada Pak Rasjo kuperingatkan, meskipun Bu Mumun istrinya ia tidak bisa berbuat seenaknya. Kalau dilaporkan ia bisa berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang juga merupakan tindak pidana dengan ancaman hukuman cukup berat.

Mungkin karena malu, tanpa banyak cakap Pak Rasjo akhirnya pergi meninggalkan rumah. Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun juga memerlukan pertolongan. Wanita yang busananya nyaris telanjang karena hanya melilit tubuh dengan kain panjang yang telah acak-acakan, terlihat tidak beradaya. Ia telentang di bibir ranjang dengan dua tangannya terikat tali rafia pada tiang ranjang.

Dari kainnya yang tersingkap, pada paha wanita itu terlihat dua luka bakar bekas sundutan api rokok. Warnanya merah kehitaman dan tampak melepuh. Aku ingat semasa kecil kalau mengalami luka bakar oleh ibu disiram atau dibalur dengan kecap sebagai upaya pertolongan pertama. Katanya agar tidak menjadi koreng dan tidak membekas kalau sudah sembuh.

"Bu Mumun punya kecap?" ujarku pada Bu Mumun.

"A.. aa.. ada di dapur," Bu Mumun tergagap.

Kuambil botol kecap yang isinya sudah hampir habis dari dapur dan kembali ke tempat Bu Mumun. Sedikit kecap kutumpahkan dari botol dan kubalurkan ke paha wanita itu terutama pada kedua luka bakar sundutan rokok yang nampak mulai bengkak memerah.

Mungkin karena perih akibat lukanya dilumuri kecap, kedua kaki Bu Mumun beringsut. Akibatnya, kain panjang yang melilit tubuhnya dan ikatannya kendur itu makin terbuka. Bukan hanya pahanya yang menyembul tetapi memek wanita itu juga terlihat karena Bu Mumun ternyata tidak memakai celana dalam.

Saat itu baru kusadari bahwa Bu Mumun adalah bukan istri atau saudaraku dan tidak sepantasnya aku sampai melihat kemaluannya. Kesadaran lain yang juga timbul saat itu, ternyata wanita yang usianya sudah setengah abad itu benar-benar masih menawan. Sepasang pahanya yang membulat terlihat masih cukup mulus hanya ada beberapa belang yang nampaknya bekas sundutan api rokok yang sudah sembuh.

Namun yang membuat mataku tambah melotot dan enggan mengalihkan pandangan adalah bagian memeknya. Memek Bu Mumun yang dihiasi bulu-bulu jembut tipis terlihat besar ukurannya. Tebal,gembung dan membusung. Berbeda dengan bentuk memek istriku yang tipis dengan jembut lebat dan kasar yang terkesan kurang menarik.

Entah sudah berapa lama tatapanku terpaku pada memek wanita itu. Aku menjadi jengah dan merasa tidak enak ketika kulihat wajah Bu Mumun menjadi risih karena aku telah menatapi tubuh telanjangnya. Ia tidak berdaya dan tidak segera menutupi tubuh bagian bawahnya yang terbuka karena tangannya terikat tali rafia yang dilakukan Pak Rasjo sebelum menyiksanya.

"Ee.. ee.. maaf Bu, saya tidak tahu tangan ibu masih terikat," ujarku tergagap dan segera berusaha melepaskan ikatan tangan wanita itu.

Pak Rasjo benar-benar keterlaluan. Ikatan tali rafia yang dilakukan pada kedua tangan istrinya benar-benar sangat kuat. Cukup repot juga untuk membukanya. Sambil terus berusaha membuka ikatan tali rafia di tangan Bu Mumun, sesekali kesempatan itu kugunakan untuk menatapi tubuh wanita yang menurutku masih cukup merangsang itu.

Tetek Bu Mumun juga terlihat masih montok dan besar. Buah dadanya yang hanya tertutup oleh kutang hitamnya yang kekecilan tampak membusung. Berbeda dengan tetek istriku yang tipis dan terkesan peot. Tanpa kusadari kontolku jadi mengeras dibalik celana yang kupakai.

Meski tidak bisa menutupi perasaan malunya karena telah bertelanjang di hadapanku, Bu Mumun segera merapikan kain panjang yang dipakainya setelah aku berhasil melepaskan ikatan pada kedua tangannya. "Terima kasih Pak Anto. Entah bagaimana jadinya tadi kalau tidak ada Pak Anto," ujarnya.

Dari cerita wanita itu, Pak Rasjo suaminya marah-marah dan menyiksanya karena ia meminta ijin agar diperbolehkan kembali memijat. Ia nekad menyampaikan itu karena sudah beberapa hari suaminya tidak pernah pulang membawa uang hingga untuk makan terpaksa berhutang ke sana kemari termasuk pada istriku. Menurut Bu Mumun, suaminya makin keranjingan judi dan mabuk-mabukan.

"Suami saya sangat cemburuan Pak Anto. Apalagi kalau yang dipijatnya laki-laki meskipun sudah saya katakan kalau saya hanya memijat dan tidak melakukan apa-apa. Lagian apa yang harus dicemburukan pada orang yang sudah setua saya ya Pak Anto?"

"Pak Rasjo tidak salah Bu. Soalnya tubuh Bu Mumun memang mas..," aku menghentikan ucapanku karena merasa apa yang ingin kusampaikan tidak pantas diucapkan.

Tetapi Bu Mumun mengejar. "Soalnya apa Pak Anto? Kok tidak diteruskan," ujarnya.

"Soalnya Bu Mumun masih cantik dan terus terang tubuh ibu masih sangat menggoda. Saya saja tadi sangat terangsang kok melihatnya," kataku akhirnya jujur.

"Ah sudah tuwek begini kok dibilang merangsang. Ibu jadi malu lho sama Pak Anto,"

"Kok malu Bu?"

"Iya soalnya punya ibu sudah dilihat sama Pak Anto," ujarnya.

"Kalau saya sih sangat seneng. Seperti dapat rejeki nomplok. Soalnya bisa melihat bagian yang paling indah punya ibu. Sungguh... me. eh punya ibu merangsang banget," kataku. Tadinya aku mau bilang memek tapi aku segera meralatnya karena merasa tidak etis.

Sebelum meninggalkan rumah Bu Mumun aku sempat berpesan agar tidak sungkan-sungkan menyampaikan kesulitan yang dihadapinya terutama masalah keuangan dan berjanji akan membantunya semampu yang saya bisa bantu. Sebab aku takut gara-gara ulahku Pak Rasjo makin nekad dan tidak memberikan uang belanja. Bahkan saat itu aku sempat mengulurkan sejumlah uang

Dugaanku ternyata tidak meleset. Dua minggu setelah kejadian itu, Bu Mumun bercerita bahwa Pak Rasjo tidak pernah kembali. Menurutnya, pada malam hari setelah kejadian memang sempat pulang tetapi hanya mengemasi baju-bajunya dan langsung pergi lagi. Dicari ke tempat biasa mangkal dengan becaknya, teman-temannya sesama tukang becak memberi informasi bahwa Pak Rasjo merantau ke Sumatera karena ada yang mengajak bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit.

Aku jadi merasa bersalah pada wanita itu. "Maafkan saya Bu. Saya tidak mengira kalau gara-gara ulah saya Pak Rasjo jadi pergi ke Sumatera," ujarku kepada Bu Mumun yang sepertinya sengaja mencegatku saat aku hendak berangkat ke kantor setelah mengantar putriku ke sekolah.

"Oh bukan.. bukan maksud saya hendak menyalahkan Pak Anto. Dengan perginya Kang Rasjo malah membuat hidup saya dan anak-anak merasa lebih
tenang karena selama ini kami selalu ketakutan dengan tindakan-tindakan kasarnya,"

Hanya, kata Bu Mumun, dengan perginya Pak Rasjo berarti kini ia harus menghidupi sendiri kedua anaknya. Untuk itu ia berniat kembali memijat dan membuka warung kecil-kecilan kalau sudah memiliki modal. Ia meminta, bila di kantorku ada yang pengin dipijat aku diminta untuk mengajukan dirinya.

"Oh kalau soal itu, beres deh Bu. Pasti akan saya promosikan. Soalnya banyak temen-temen di kantor yang suka dipijat. Saya juga mau jadi pasien pertamanya," kataku bergurau.

Selorohku ternyata ditanggapi serius oleh Bu Mumun. "Pak Anto pengin saya pijat? Kapan? Kalau di kantor lagi tidak banyak kerjaan sekarang juga boleh. Biar nanti kalau ke kantor udah seger,"

Sebenarnya aku tidak begitu suka dipijat. Tetapi pagi itu, penampilan Bu Mumun tampak menggoda. Daster tipis bermotif bunga-bunga yang dipakainya, tampak kekecilan. Kedua pahanya yang membulat mulus tampak menyembul karena dasternya terlalu pendek tak mampu menutupinya.

Bahkan karena kelewat tipisnya daster yang dipakai, CD warna hitam yang dikenakan wanita itu tampak menerawang. Aku jadi teringat pada kejadian saat menolongnya dari tindakan kasar suaminya. Saat aku berkesempatan melihat bagian tubuhnya yang paling pribadi dan menjadikanku sangat terangsang.

"Pijatnya di rumah saya atau di tempat ibu?"

"Di tempat saya juga boleh karena anak-anak sudah ke sekolah. Tetapi tempatnya agak kotor. Atau kalau Pak Anto mau saya bisa memijat di rumah bapak," kata Bu Mumun.

Karena rumahku juga sepi, akhirnya kuputuskan untuk pijat di tempatku. Motor kembali kumasukkan ke dalam rumah. Sementara Bu Mumun pulang mengambil minyak urut dan peralatan lain untuk memijat. Mudah-mudahan ia tidak mengganti dasternya yang seronok agar aku bisa menikmati paha mulusnya saat dipijat, ujarku membathin.

Harapanku tampaknya terkabul, sebab saat datang dan kuminta masuk Bu Mumun tetap memakai daster tipis itu. Ia membawa botol minyak urut dan botol body lotion dari merek murahan. Tatapanku terpaku pada goyangan pantat besarnya yang aduhai saat Bu Mumun melangkah di depanku setelah aku menutup pintu. Kontolku jadi menggeliat dan terbangun.

Setelah berada di dalam kamar, seperti layaknya pemijat profesional, Bu Mumun memintaku menanggalkan pakaian yang kukenakan serta memintaku berbaring di ranjang. Tetapi sebelumnya ia memintaku memilih dipijat dengan minyak urut atau body lotion. Menurut Bu Mumun kalau agak meriang enaknya dipijat dengan minyak urut karena memberi efek hangat pada tubuh. Tetapi kalau dipijat hanya agar terasa rileks dan fresh, enaknya pakai body lotion karena hanya berfungsi sebagai pelicin saat diurut.

Tentu saja aku memilih menggunakan body lotion karena memang tidak meriang dan aku kurang suka bau minyak urut. Namun aku juga sempat ragu saat hendak menanggalkan pakaian seperti yang dimintanya. Sebab bila hanya bercelana dalam, pasti Bu Mumun akan melihat tonjolan batang penisku yang sudah mengeras. Tapi, ah kenapa harus malu? Malah lebih bagus biar gampang ngomongin hal-hal yang menjurus kalau sampai Bu Mumun menanyakannya, pikirku akhirnya dan langsung kulolosi semua pakaian yang kukenakan dengan hanya menyisakan celana dalamku.

Benar saja Bu Mumun berkali-kali melirik ke tonjolan celana dalamku yang mencetak bentuk penisku yang tegak mengeras. Hanya ia tidak berkomentar. Bahkan seolah tak acuh. Ia memintaku tidur menelentang di kasur dan memulai pijatannya setelah membalurkan body lotion ke bagian-bagian tubuhku yang hendak dipijat.

Menurutnya, ia memeriksa bagian perutku lebih dulu sebelum mulai memijat. Sebab kalau aku menderita penyakit tertentu bisa berbahaya bila dipijat. Setelah membalurkan body lotion, tangan Bu Mumun mulai beraksi. Seperti dokter yang tengah memeriksa pasiennya, lambung kiri dan kanan perutku diusap dan ditekan-tekan perlahan.

"Sakit Pak Anto?"

"Nggak tuh. Emangnya kenapa Bu?"

"Kalau terasa sakit berarti ada penyakit dan saya tidak berani memijat. Tapi Pak Anto sih kayaknya benar-benar sehat," ujarnya sambil kembali mencuri pandang ke tonjolan yang tercetak di celana dalamku.

Kontolku memang makin mengeras hingga batangnya pasti kian tercetak jelas di balik CD yang kupakai. Ke arah itulah tatap mata Bu Mumun melirik. Tetapi hanya sesaat karena ia kembali mulai memijat. Mungkin takut dipergoki olehku.

Pijatan tangan Bu Mumun benar-benar enak. Pantas banyak yang menyukai pijatannya. Tetapi yang lebih menarik bagiku, adalah menatapi sosok tubuh pemijatnya. Terutama ke busungan buah dadanya yang montok. Mungkin karena ukurannya yang kelewat besar atau karena sudah agak kendur, susu Bu Mumun ikut berguncang-guncang lembut saat pemiliknya melakukan aktivitas memijat. Padahal, buah dadanya itu telah disangga oleh BH yang dipakainya.

Bagian lainnya yang juga menarik perhatianku sambil menikmati pijatannya adalah paha mulus wanita itu. Paha Bu Mumun memang menjadi terbuka karena dasternya yang dikenakan kelewat pendek. Bahkan sesekali celana dalam hitamnya tampak mengintip. Aku menelan ludah disuguhi pemandangan yang merangsang itu dan membuat kontolku makin tegang memacak.

Tak kuat menahan gairah, aku nekad memberanikan diri untuk merayunya. Tangan Bu Mumun yang tengah mengurut perutku kugenggam. "Kenapa Pak Anto? Sakit," katanya.

"Ti.. tidak Bu. Di... di... di bawah ini yang sakit. Kalau dipijat sama ibu kayaknya bakal sembuh deh," ujarku sambil menggeser tangganya ke gundukkan yang membonggol di celana dalamku.

Tadinya kukira Bu Mumun akan kembali menarik tangannya dan menghentikan pijatannya karena dilecehkan. Ternyata tidak. Seperti yang kuharapkan, ia mengelus dan meraba kontolku meski masih dari luar celana dalam. "Iihh ... pagi-pagi kok sudah keras begini. Memang Bu Ning (panggilan istriku), semalam tidak memberi jatah?"

"Bukan soal tidak diberi jatah. Tapi tubuh ibu sangat sexy jadi saya menjadi terangsang,"

"Ah Pak Anto bisa saja. Saya sudah tuwek lho, kok dibilang sexy," ujarnya mengelak namun tidak menyembunyikan perasaan bangganya atas pujianku.

Ah wanita mana sih yang tidak suka dipuji. Apalagi wanita seusia Bu Mumun dan yang memberi pujian adalah laki-laki yang usianya jauh lebih muda. Aku jadi makin berani untuk mencoba bertindak lebih jauh. Kugenggam telapak tangan Bu Mumun yang tengah memijat perutku lalu kugeser agar memasuki bagian dalam celana dalamku hingga menyentuh kontolku yang telah mengeras.

Bu Mumun ternyata juga tidak menolak dan menarik keluar tangannya. Batang rudalku digengamnya dan dikocok-kocoknya perlahan hingga membuatku merintih tertahan menahan kenikmatan. "Pak Anto pengin dikocok? Biar gampang celana dalamnya dibuka saja ya?,"

"Sshh... ahh... ...sshhh aahh terserah ibu. Diapakan saja saya mau,"

Akhirnya aku benar-benar telanjang karena Bu Mumun melepas celana dalam yang kupakai. Batang kontolku yang tegak terpacak dan mengeras dibelai-belainya. Tampaknya ia mengagumi ukuran senjataku yang memang lumayan besar. "Punya saya kecil ya Bu? ujarku mencoba meminta pendapatnya.

"Ih segini kok kecil. Nggilani... ihhh gede banget,"

"Sama punya Pak Rasjo gedean mana Bu?"

"Punya Kang Rasjo sih biasa saja. Malah sudah loyo karena dia banyak minum. Bu Ning pasti seneng ya Pak Anto karena punya bapak marem banget," kata Bu Mumun sambil mengocok perlahan batang zakarku.

Baru kusadari Bu Mumun yang semula duduk di tepian ranjang, sudah berganti posisi merebahkan tubuh di sisiku. Bagian bawah tubuhnya menghadap ke arahku. Dasternya yang terlalu pendek makin tertarik ke atas, hingga pahanya menjadi terbuka terpampang di hadapanku.

Sepasang pahanya membulat padat dan lumayan mulus untuk ukuran wanita seusia dirinya. Namun lebih mengundang gairah untuk diraba dibanding paha istriku yang kecil dan agak kasar kulitnya. Bahkan dengan hanya sedikit menyingkap ujung dasternya, aku bisa melihat busungan memeknya yang membukit. Memang masih terbungkus CD warna hitam yang dipakainya. Tetapi dapat kubayangkan besarnya memek Bu Mumun itu.

Tanpa membuang kesempatan dan karena memang sudah lama ingin merabanya, tangaku langsung mengusap-usap paha Bu Mumun. Kulitnya benar-benar lembut. Sayang Pak Rasjo suka mengasarinya saat bertengkar dengan menyundutkan rokok ke pahanya hingga ada beberapa bekas luka di paha mulusnya yang tak bisa hilang.

Diraba dan diremas-remas gemas pada pahanya, awalnya Bu Mumun tidak bereaksi. Hingga aku bisa menjelajahi setiap inchi kehalusan kulitnya dan mengagumi keindahan kakinya yang kekar itu. Namun saat telapak tanganku mulai menyentuh dan mengusap busungan memeknya, ia menggelinjang dan berusaha mencegah.

"Pak... ja...," ujarnya tanpa menyelesaikan kalimatnya sambil berusaha menurunkan ujung dasternya yang tersingkap.

"Saya ingin melihat dan memegang punya ibu. Tidak boleh?" Kataku.

"Bukan begitu Pak. Saya malu,"

"Kok malu?"

"Saya sudah tua dan jelek," ujar Bu Mumun lirih.

"Sejak kejadian dengan Pak Rasjo dan melihat tubuh telanjang ibu, saya benar-benar terangsang dan suka pada ibu. Saya suka membayangkan dan mengangankan ibu," kataku meyakinkannya.

Entah karena percaya dengan penjelasanku atau karena ia sendiri menjadi terangsang karena melihat kerasnya batang kontolku, Bu Mumun tak lagi memprotes ketika aku kembali mengusap-usap busungan memeknya. Bahkan ia merenggangkan sedemikian rupa posisi pahanya hingga memudahkanku untuk melihat seluruh permukaan memeknya dari luar CD yang dipakai dan sekaligus merabainya.

Rupanya soal usia hanya sekadar alasan. Sebab ternyata CD warna hitam berharga murahan yang dipakai Bu Mumun, bentuknya sudah mengenaskan. Warnanya kusam, kendor dan berlubang di jahitannya yang terlepas. Kasihan, mungkin ia tak cukup punya uang untuk sekadar membeli CD karena penghasilan suaminya yang pas-pasan ditambah suka judi dan mabuk. Mungkin karena bentuk CD nya yang sudah tidak layak pakai itulah ia jadi malu dan sempat berusaha menolak ketika kuraba memeknya.

Bagiku CD kendor yang dipakainya membuatku makin terangsang. Sebab membuat rambut-rambut hitam jembut memeknya mencuat keluar dari bagian yang berlubang. Sambil menikmati kocokan yang dilakukan Bu Mumun pada penisku, cukup lama kuusap-usap memeknya yang membusung. Bahkan sesekali, masih dari luar CD yang dipakainya, kumasukkan jariku untuk masuk ke lubang nikmatnya melalui lubang pada CD yang dipakainya.

Bu Mumun rupanya juga mulai terangsang. Aku tahu karena CD nya mulai basah akibat cairan yang keluar dari vaginanya. Nampaknya wanita yang usianya sudah memasuki kepala lima itu belum kehilangan gairahnya. Karena sudah sangat ingin melihat bentuk lubang nikmatnya, kucoba melepaskan CD yang dipakainya.

Tetapi melepaskan CD nya dalam posisi tiduran ternyata tidak mudah. Mungkin takut CD yang dipakainya robek karena sudah usang, Bu Mumun langsung berdiri dan membantu membukai sendiri CD yang dipakai. "Saya malu Pak Anto. Celana dalam saya jelek dan sudah robek," ujarnya sambil tersenyum.

Aku tersenyum. "Tetapi yang penting kan isinya Bu. Sungguh saya suka banget tubuh ibu yang merangsang. Ayolah buka semua, saya ingin melihatnya lagi," kataku meyakinkannya.

Memek wanita bertubuh tinggi besar itu benar-benar wah. Besar dan membusung dengan bulu-bulu jembut tipis menghiasi permukannya. Terlihat sangat merangsang terjepit di antara pangkal pahanya yang membulat kekar. Saat ia melepas BH, satu-satunya penutup tubuh yang masih tersisa, aku makin tak tahan oleh gairan yang kian membakar.

Sebab meskipun sudah agak kendur, ukuran payudaranya tergolong maxi. Besar menggantung mirip buah pepaya ranum dengan hiasan warna coklat kehitaman pada putingnya yang terlihat mencuat. Tanpa membuang kesempatan dan juga karena sudah sangat ingin menikmati tubuh montoknya aku langsung menariknya dan menelentangkannya di ranjangku. Ranjang yang biasa kupakai tidur bersama istriku.

Tanpa melakukan pemanasan lebih dulu, tubuh Bu Mumun yang mengangkang langsung kutindih. Langsung berusaha memasukkan kontoku ke lubang memeknya. Namun karena tergesa-gesa, berkali-kali tidak berhasil menembus lubang nikmatnya. Untung Bu Mumun segera membantunya. Dengan tangannya, ia mengarahkan rudalku ke liang memeknya. Hingga akhirnya, bless... batang kontolku melesak ke kehangatan lubang kemaluannya.

"Ma.. maaf Bu saya sudah pengen banget merasakan memek ibu," kataku berbisik dekat telinganya.

Ia tersenyum. "Nggak apa-apa Pak Anto," ujarnya.

Ternyata Bu Mumun juga sudah horny. Bagian dalam liang senggamanya sudah basah. Juga sudah longgar, mungkin karena sering disetubuhi Pak Rasjo atau karena sudah ada tiga bayi yang penah melewatinya. Namun, meskipun liang senggamanya sudah longgar tetap tidak mengurangi rasa nikmat.

Benar juga yang disampaikan para pakar seks dalam sebuah majalah yang pernah kubaca. Bahwa besar pendeknya penis atau sempit lebarnya memek tidak terlalu memberi pengaruh terhadap kenikmatan seks. Bahkan bagiku, banyaknya cairan yang melumuri batang kontolku di memek Bu Mumun serasa memberi sensasi tersendiri. Hangat dan serasa berenang di surga kenikmatan.

Sambil meremasi tetek besarnya dan memilin gemas puting-putingnya, kuayun perlahan bagian bawah tubuhku. Bu Mumun mendesah. Rupanya ia mulai merasakan nikmatannya tusukan batang kontolku di lubang memeknya. "Sshh... aaahh... sshh... aakkhh ... enak bangat Pak Anto,"

"Iya Bu... saya juga enak. Memek tembem ibu enak banget. Akkhhh.... ahh... ssshhh .... sa.. saya suka memek ibu,"

"Bener Pak Anto? Aaahhhh... sshhh... aaahhhh. ... aauww... kontol bapak juga marem banget. Besar dan panjang,"

Dari tempo permainan yang semula perlahan, seiring dengan kenikmatan dan gairah yang kian meninggi aku mulai meningkatkan irama. Sodokan dan tusukan batang zakarku meningkat cepat temponya. Membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang dan mulai mengimbangi dengan menggoyang-goyangkan pinggul dan pantat besarnya. Ia menjambak dan meremas gemas kepalaku yang juga tiada henti menghisapi puting susunya.

Bahkan tidak sekadar mendesah, sesekali Bu Mumun memekik dan mengeluarkan kata-kata jorok. "Ssshhh.,,, aaakhhhh.... sshhh... enak bangat .. aahhh ... aaauuuuwww ... terus entot memek saya Pak Anto.. aaahhhh, ... enak banget... sshhh.... aakkkhhh,"

Wajah wanita paro baya yang mulutnya tak berhenti mendesah dan mendesis itu makin cantik di mataku. Kata-kata jorok dan desahannya bahkan seolah menyemangatiku untuk lebih memacu hunjaman kontolku di lubang memeknya. "Ssshhhh aahhh ,,,, ahhh, saya juga suka memek ibu. Memek ibu legit banget.... aahhh ... saya akan jebolkan memek ibu... sshhhh ... sshh,"

Karena sama-sama bernafsu dan tak mampu mengontrol tempo permainan, tak lebih dari sepuluh menit kami telah sama-sama mendekati puncak. Goyangan pantat Bu Mumun semakin kencang. Ia berkali-kali mengangkat pinggulnya dan desahan yang keluar dari mulutnya makin menjadi.

Saat itu, sesuatu yang tidak pernah kurasakan kudapatkan dari Bu Mumun. Tidak hanya mengedut-edut, otot-otot yang berada di sekitar lubang memeknya juga seolah mampu bergerak. Meremas dan menghisap batang kontolku hingga mengantarkanku kepada kenikmatan yang tidak pernah kurasakan. Aahh ternyata ada memek wanita yang seenak ini, pikirku membatin.

Saat kedua kaki Bu Mumun melingkar dan membelit pinggangku. Menekan pantatku dan menghunjamkan batang kontolku ke kedalaman memeknya sampai ke dasarnya. Aku tahu ia telah hampir sampai dan mendapatkan orgasmenya.

Tanpa membuang kesempatan, karena aku pun sudah tidak mampu membendung gairah yang telah cukup lama kutahan, aku pun mulai mengimbanginya. Berkali-kali kugenjot dan kusentakkan sekeras-kerasnya batang kontolku di lubang nikmatnya. Akibatnya Bu Mumun mengerang-erang dan mendekap erat tubuhku.

Puncaknya Bu Mumun mengelojot dan ambruk terkapar setelah sebelumnya kurasakan semburan hangat memancar di dalam vaginanya. Dalam tempo yang hampir bersamaan, aku pun mendapatkan puncak kenikmatan dari persetubuhan yang kulakukan bersamanya. Setelah menyemprotkan cukup banyak air mani ke rahimnya, tubuhku ambruk di atas tubuh montok wanita tetanggaku.

Rupanya cukup lama aku tertidur setelah meniku tertumpah. Bu Mumun juga sudah tidak ada di ranjangku hingga aku keluar mencarinya. Di dapur kutemui wanita tengah menjerang air. Nampaknya dia habis mandi dan hanya melilit tubuhnya dengan handuk. "Eeh Pak Anto maaf saya pakai handuk ini. Bapak mau minum teh apa kopi, airnya hampir mendidih," ujarnya.

Aku tidak menjawab tapi langsung mendekap dan memeluknya dari belakang. Bau wangi sabun mandi meruap dari tubuhnya. Susunya kuremas dan tanganku yang lain menyelinap ke pahanya, merambat dan mengusap-usap memeknya yang masih basah. "Saya hanya pengin memek ibu yang nikmat ini,' ujarku sambil menekan-nekan memek tembemnya.

"Ih Pak Anto doyanan ya," kata Bu Mumun tanpa mencoba menepis tangan nakalku.

"Soalnya memek ibu enak banget. Saya suka memek ibu,"

"Kan sudah ada Bu Ning,"

"Punya istri saya tipis dan bulu jembutnya kasar jadi tidak merangsang. Teteknya juga kecil. Tidak seperti punya ibu, mantep," kataku lagi sambil meremas dan merabai pantatnya yang membusung.

"Punya Pak Anto juga marem lho. Sampai mentok. Saya tadi keluar banyak Pak,"

Bu Mumun agaknya terpancing oleh tangan nakalku. Ia hendak meraih kontolku yang mulai agak menegang. Namun karena merasa masih kotor dan lengket oleh keringat, kulepaskan pelukanku dan melangkah ke kamar mandi. "Saya mandi dulu ya Bu. Nanti kita lanjutkan. Oh ya saya minta dibuatkan teh manis saja," ujarku sebelum masuk ke kamar mandi.

Usai mandi, teh panas buatan Bu Mumun yang terhidang kureguk. Wanita itu kulihat duduk di sofa, di ruang tengah tempat keluargaku menonton televisi. Seperti semula, ia hanya membalut tubuhnya dengan handuk warna krem yang sebenarnya milik istriku. Aku menghampiri dan duduk menjejerinya.Ia melirik ke arahku yang tetap telanjang bulat dan menatap ke selangkanganku. Melihat kontolku yang mengecil akibat kedinginan saat mandi.

Dengan menggelung rambutnya, wanita sederhana itu terlihat cukup cantik. Kulitnya benar-benar bersih dan tampak anggun. Di wajahnya, ketuaan hanya terlihat pada beberapa kerutan yang ada di kelopak matanya. Kalau ekonominya menunjang, aku yakin ia pantas menjadi istri pejabat. Bahkan Bu Marmo. istri atasanku yang sudah berusia 53 tahun tapi masih suka dandan kalah penampilan.

Kulingkarkan tanganku ke pundak Bu Mumun yang terbuka lalu kucium pipinya. Ada bau sabun mandi yang biasa dipakai istriku. "Pak Anto nggak malu?"

"Kok ibu nanya begitu,"

"Saya kan sudah tua dan cuma istri seorang tukang becak. Malah sebelumnya saya cuma babu," ujarnya. Agaknya dia masih tidak percaya diri.

"Ibu nggak percaya ya. Ibu benar-benar sangat cantik dan saya sangat suka. Tubuh indah dan membuat saya sangat terangsang," kataku.

Untuk lebih meyakinkan, aku mendaratkan ciuman di bibirnya. Kulumat dan kujulurkan lidahku ke rongga mulutnya. Mulanya tidak bereaksi. Baru setelah lidahnya berkali-kali kugelitik menggunakan lidahku dan menghisapnya, ia mulai memberikan perlawanan. Ia merapatkan tubuhnya dan memelukukku. Ia juga mulai melumat dan menghisap bibirku. Kami saling hisap dan saling lumat dan baru berhenti setelah sama-sama sulit bernafas.

Bu Mumun menjadi lebih santai setelah sempat saling lumat bibir. Mungkin ia menjadi makin percaya kalau aku benar-benar menyukainya. Buktinya, saat kuminta melepas handuk yang masih membalut tubuhnya karena aku ingin melihat seluruh tubuhnya, tanpa sungkan ia segera melepasnya. Bahkan ia langsung menyandar di sofa dan membuka kakinya. Memamerkan semua miliknya layaknya istri setia yang hendak melayani suaminya.

Kini aku bisa benar-benar puas melihat semua perangkat kewanitaan Bu Mumun. Seperti kebanyakan wanita seusia dirinya, perut wanita tetanggaku itu sudah tidak rata. Bahkan ada lipatan-lipatan daging yang bagi sementara pria dianggap mengganggu dan kurang menarik. Sepasang buah dadanya yang besar mirip buah pepaya, juga tampak kendur. Namun puting-puting susunya yang nyaris sebesar ujung kelingking jariku benar-benar menggodaku. Warnaya coklat kehitaman dan bentuknya mencuat, kontras dengan bagian tubuh lainnya yang langsat.

Kalau kubilang memek istriku kurang menarik, karena begitulah memang adanya. Memek istriku kecil dan tipis, dengan rambut-rambut keriting yang kasar mendekati lubangnya. Karenanya aku hanya beberapa kali mengoral dan menjilatnya sepanjang 8 tahun perkawinanku. Itu pun di saat masih pengantin baru.

Namun melihat memek Bu Mumun, sungguh jauh berbeda. Memek yang lebar dan besar itu, busungannya sudah terbangun sejak di bawah pusar dan makin ke bawah makin menggunung dan tebal. Rambut-rambut yang tumbuh di atasnya juga sangat halus. Terdorong keinginan untuk melihat lebih dekat bentuk vaginanya, aku turun dari sofa dan jongkok persis di antara kedua paha mulusnya yang mengangkang.

Saat kuraba, memek Bu Mumun benar-benar tebal. Pantas enak banget saat kuentot. Bulu-bulu jembutnya juga lembut, beda benar dengan jembut istriku yang kasar. Hanya, celah di lubang vaginanya tidak semulus gundukkannya. Bibir luar memeknya yang juga tebal, nyaris sudah tidak berbentuk. Agak kehitaman dan banyak sekali kerutan. Membuatku penasaran untuk merabanya.

Mungkin karena Pak Rasjo suka main kasar kalau sedang menyetubuhi. Atau bisa jadi begitulah memek wanita kalau usianya sudah kepala lima dan sering disodok penis pria. Bu Mumun berusaha menepis dan menarik tanganku saat telapak tanganku berkali-kali mengusap bibir memeknya yang sudah kapalan itu. "Malu ah Pak Anto, punya ibu sudah jelek. Makanya, ibu kan sudah tua," ujarnya.

Bu Mumun salah duga. Padahal, entah kenapa, melihat memeknya yang sudah kapalan, aku makin terangsang. Tonggak daging di selangkanganku jadi menggeliat dan mulai bangkit. Apalagi melihat itilnya yang mecuat diujung bagian atas belahan memeknya. Ah benar-benar menggoda untuk dijilat.

Tak puas hanya sekedar mengusap, aku mulai menggunakan mulutku. Memek Bu Mumun benar-benar tidak berbau. Kujilat dan kusapu-sapukan lidahku pada kerut-kerut di bibir memeknya. Juga di itilnya yang kemerahan. Bahkan, akhirnya seluruh mulutku kubenamkan ke lubang vaginanya sambil kuhisap-hisap itilnya.

Bu Mumun tersentak. Mungkin ia tidak mengira aku akan mengoralnya. Kepalaku dipegangnya dan ditariknya agar menjauhi memeknya. "Ja... jangan Pak Anto. Kotor.. ah.. ja.. jangan,"

Tetapi aku tidak peduli. Bahkan, sambil menjulur-julurkan lidahku ke lubang nikmatnya, tanganku menggerayang ke perutnya dan berhenti di payudaranya. Susunya yang bak buah pepaya menggelantung itu, tak luput dari remasan tanganku. Aku seperti bocah yang tengah asyik dengan mainan baru dan sulit diminta berhenti.

Rupanya, Bu Mumun akhirnya mendapatkan kenikmatan dari yang kulakukan. Akhirnya ia pun menyerah. Membiarkan segala yang ingin kulakukan pada tubuhnya. Bahkan ia makin mengangkang, membuka lebar pahanya agar lidahku bisa menjangkau sudut terdalam lubang nikmatnya. Ia juga mulai merintih dan mendesah.

Jilatan dan sogokan lidahku pada kelentit dan lubang memeknya, membuat tubuh Bu Mumun menggelinjang. Cairan vaginanya juga mulai keluar, terasa asin di mulut dan lidahku. Aku tak peduli. Bahkan makin bersemangat karena membuat wanita istri tetanggaku itu terangsang berat. "SShhhh... aahhh.... sshhh ..... aahhh... ooohhh.... oooohhhh.... ssshhh ... enak banget .... aaahhh. Saya diapakan Paakkk.... aahhh enak banget..," erangnya.

Erangan kenikmatan Bu Mumun cukup keras. Sebenarnya takut juga kalau ada tetangga yang mendengar dan mengintip. Namun rumahku dan rumah Bu Mumun lumayan terpencil, terpisah agak jauh dari rumah warga lainnya. Jadi tidak bakalan ada yang mendengar dan menjadi curiga.

"Sekarang ibu berdiri dan nungging ya. Saya pengin lihat pantat ibu. Juga memek ibu dari belakang," kataku setelah puas mengobok-obok memeknya dengan mulutku dan menjadian lubang kewanitannya dibanjiri cairan yang bercampur ludahku.

"Pak Anto ada-ada saja ih. Wong bokong wanita tuwek saja mau dilihat," katanya merajuk.

Tetapi ucapannya itu bukan untuk membantah. Seperti yang kuminta ia langsung nungging di depanku. Kedua tangannya bertumpu pada kursi sofa. Melihat sosoknya dari belakang, aku jadi berpikir bahwa Pak Rasjo suaminya benar-benar pria tak tahu diuntung. Profesinya yang hanya sebagai penarik becak menyia-nyiakan istrinya yang masih merangsang di usianya yang sudah tidak muda.

Ditopang dua kakinya yang kekar dan panjang, bentuk pantat Bu Mumun benar-benar serasi. Besar, lebar dan membusung. Lubang duburnya berwarna coklat kehitaman tetapi terlihat bersih. Kukira saat mandi tadi ia tak lupa menyabuni sampai pada anusnya itu. Dan kuyakin dari bentuk lubangnya yang masih sangat rapat, ia belum pernah melakukan hubungan seks melalui duburnya.

Setelah mengusap dan meremasi pantatnya yang menggemaskan, kembali memeknya kucerucupi dan kujilati. Bahkan sesekali tanganku meraih susunya yang berayun-ayun untuk meremas-remasnya. Tindakanku membuat Bu Mumun kembali merintih dan mengerang.

Hanya, ketika jilatan lidahku merambat makin ke atas mendekati lubang duburnya, ia menjadi tersentak dan berdiri. "Jangan ah Pak Anto. Bapak nggak jijik?," ujarnya memekik.

Tetapi aku tak peduli. Ia kembali kupaksa untuk nungging seperti semula. Hingga tanpa bisa menolak, ia kembali menyodorkan pantatnya ke wajahku dan kembali aku menjilatinya. Kali ini di lubang duburnya. Ujung lidangku kusapukan di sekitar lubang anusnya.

Reaksinya benar-benar dahsyat. Bu Mumun mengerang dan merintih perlahan. Mungkin ia merasakan perpaduan antara nikmat dan risi karena bagian tubuh yang oleh banyak orang dianggap kotor malah dijilati olehku. Aku juga makin yakin Bu Mumun belum pernah mendapat jilatan di bagian anusnya itu.

Sebenarnya aku belum pernah melakukan itu terhadap istriku maupun perempuan lain yang pernah tidur denganku. Tetapi dengan Bu Mumun, sepertinya aku ingin melakukan semuanya. Semua yang pernah kulihat dalam adegan film-film mesum. Entahlah, di mataku Bu Mumun memiliki pesona tersendiri.

Di samping erangannya yang kian keras takut didengar orang akibat kenikmatan jilatan yang kuberikan pada duburnya, aku juga kasihan ia menjadi terpanggang oleh nafsunya yang segera membutuhkan penuntasan. Maka sambil memeluknya dari belakang, kuarahkan kontolku d lubang memeknya. Dengan sentakan lumayan bertenaga, bleess kontolku langsung amblas. Masuk ke kehangatan liang vaginanya yang yang basah.

"Enak Bu," kataku lirih berbisik di telinganya.

"Iya Pak Anto. Enak dan marem banget,"

Sambil mengayun keluar masuk kontolku di liang senggamanya, kucium punggung Bu Mumun yang terbuka. Merambat ke atas ke tengkuknya. Di tengkuknya, di anak-anak rambutnya karena rambut Bu Mumun disanggul, lidahku kembali menjalar terus menggelitik telinganya.

Bu Mumun kembali menggelinjang. Wanita yang sudah dikaruniai dua orang cucu itu juga mengerang-erang. Nampaknya menahan kenikmatan dari yang kuberikan. Suara rintihan dan erangannya membuatku makin bernafsu untuk menyetubuhinya. Maka sambil meremasi susu-susunya, sodokan sodokan kontolku pada memeknya makin kupercepat. Bunyi bleep... bleep.... bleep yang timbul dari benturan pantat besarnya dengan bagian depan pinggangku saat aku menghujamkan zakarku, juga makin membangkitkan gairahku.

Namun baru saja aku hendak mempercepat sogokan kontolku, otot bagian dalam memek Bu Mumun berkontraksi. Berdenyut, menjepit dan meremas. Rupanya ia akan kembali mendapat orgasmenya. Maka sogokan batang kontolku di liang senggamanya kuubah menjadi sentakan-sentakan bertenaga. Pada tiap sentakan yang kulakukan kudengar ia melolong dan merintih panjang. Dan akhirnya semburan hangat kurasakan menyembur ke sekujur batang penisku setelah sebelumnya kulihat Bu Mumun mencengkeram sofa tempat kedua tangannya bertumpu.

"Sa.. saya dapat Pak Anto. Sshhh... ssshhhh.... aahh ... aahhh... enak banget... ssshhh.... aaahhh... aakkkhhhhh," ujarnya dengan nafas memburu.

Permainan kembali dilanjutkan setelah beristirahat sejenak dan sama-sama membersihkan diri di kamar mandi. "Pak Anto nggak apa-apa terlambat ke kantor," ujarnya setelah kembali sama-sama duduk di kursi sofa.

"Ah beres Bu.Hari ini nggak ada yang terlalu penting untuk dikerjakan di kantor,"

"Kalau begitu saya juga ingin membuat Pak Anto puas," ujarnya sambil turun dari sofa dan mengambil posisi berjongkok di hadapanku.

Sebagai istri Pak Rasjo, kurasa ia tidak banyak memiliki pengalaman melakukan hubungan seks yang aneh-aneh. Tetapi sebagai wanita yang telah matang dari segi usia, ternyata telah matang pula dalam urusan ranjang. Setelah diciumi sepenuh nikmat, Bu Mumun mengcok kontolku perlahan dengan gerakan seperti tengah mengurut. Hasilnya, rudalku yang sebelumnya agak layu karena kedinginan di kamar mandi kembali tegak mengacung.

Saat itulah, sambil mengelus-elus dan mempermainkan kedua bijinya, Bu Mumun mulai mengulum penisku. Kuluman dan hisapannya benar-benar mantap. Batang kontolku yang lumayan panjang seperti ditelannya sampai ke pangkalnya, lalu dihisap dan ditariknya dengan mulutnya. "Aaakkkkhhhh.... sshhh.... aaakkkhhhh... eennnakk banget," aku mendesah.

Saat kontolku berada di rongga mulutnya, lidah Bu Mumun juga sepertinya tak mau diam. Kepala penisku diusap-usapnya dengan lidahnya hingga memberi sensasi kenikmatan tersendiri. Bu Mumun dengan tubuh montoknya yang telanjang, terlihat bersungguh-sungguh ingin memberikan kenikmatan padaku. Matanya terpejam dan ekspresinya sangat menggoda hingga aku berkali-kali mendesis menahan gairah yang kian membuncah.

Selain memberikan layanan oral pada penisku dengan sentuhan yang memabukkan, lidah Bu Mumun juga lincah merayap. Melata ke berbagai penjuru. Ke selangkanganku, perutku dan juga pusarku. Bahkan ke dadaku dan menghisap puting susuku. Saat ia melakukan itu, aku dengan gemas meremas-remas teteknya dan meraba memeknya yang juga kembali basah. "Ah.. ahhh... sshhhh enak banget Bu. Saya suka banget ngentot dengan ibu,"

"Bener Pak Anto?" ujarnya berbisik di telingaku.

"Ii.. iiya Bu. Aahhh ... saya baru merasakan enaknya ngentot seperti ini,"

Aku sangat kaget ketika Bu Mumun memaksa agar aku menarik ke atas dan menekuk kedua kakiku. Ternyata ia memintaku melakukan itu karena hendak mengerjai lubang duburku. Dimulai dengan mencerucupi lubang anusku, lalu lidahnya yang lincah menyapu-nyapu di seputar anusku. Aku jadi terlonjak dan tubuhku menjadi merinding dibuai sensasi kenikmatan yang diberikan.

Untung aku telah membersihkan anusku dengan sabun saat mandi dan membersihkan badan. Hingga kuyakin tak ada lagi bau tak sedap di lubang duburku. Hanya, aku tak mampu menahannya lebih lama atas permainan balasannya itu. Akhirnya aku menarik tubuh Bu Mumun naik ke atas sofa dan memintanya untuk mengerjai kontolku dengan memeknya sambil berjongkok.

Blees... kontolko kembali melesak ke kehangatan lubang vaginanya saat pantat besar Bu Mumun diturunkan persis di selangkanganku. Lubang memeknya yang lebar tampak memerah dihiasi oleh kerut-kerut bibir kemaluannya.

Untuk urusan main di atas, Bu Mumun bahkan tak kalah handal. itu kubuktikan saat ia mulai melakukan goyangan. Pantatnya yang sedikit diangkat, digoyang-goyangkan dengan hebatnya dan dengan kontolku masih berada di jepitan lubang nikmatnya. Aku menjadi tersentak. Tak tahan oleh kenikmatan goyangan yang diberikan, dua tangaku mencengkeram gemas buah dadanya.

"Aauuww.. sshhh.. aahhhh ... shhh... aahhh... enak.. enak .. banget memek ibu. Ya.. ya.. sshhh ...sshhh enak anget. Memek ibuu eennnakkk banget," kali aku yang tidak bisa mengontrol suaraku akibat sensasi dan kenikmatan yang disuguhkan wanita istri tetanggaku itu.

Sebetulnya, pertahanku nyaris jebol oleh goyangannya yang tak kalah dengan goyang ngebor Inul Daratista itu. Namun karena ingin menikmati sensasi kenikmatan yang diberikan olehnya, dengan kemampuan olah nafasku aku mencobanya bertahan. Bahkan akhirnya Bu Mumun yang menjadi kelabakan terpanggang oleh nafsu dan gairahnya sendiri.

Puncaknya, karena kuyakin Bu Mumun juga sudah dekat dengan orgasmenya, sambil memeluk tubuh montoknya aku berdiri sambil menggendongnya. Aku juga heran tubuh tinggi besarnya serasa ringan dalam gendonganku. Lalu perlahan kurebahkan di lantai berkarpet di ruang keluargaku. Saat itulah kami menuntaskan hasrat yang sama-sama menggelegak.

Tubuh Bu Mumun yang telentang mengangkang kembali kugenjot. Memeknya kusogok-sogok dengan batang kontolku yang tengah dalam posisi mengembang sempurna. Bahkan tak puas hanya dengan memasukkan kontol ke lubang nikmatnya, jari-jari tanganku ikut bermain disana. Menjentik-jentik dan mengusap itilnya.

Akhirnya kami sama-sama merintih dan setelah mengerang panjang, kontolku menyemprotkan mani cukup banyak membanjir di rahimnya. Bercampur dengan cairan hangat yang juga muncrat entah dari bagian mana di lubang nikmat wanita itu. Tubuhku ambruk dan hampir kehabisan nafas di atas tubuh montok Bu Mumun yang terangah-engah.

Seperti pasangan suami istri yang kelaparan sehabis bersetubuh, aku dan Bu Mumun makan di ruang dapur rumahku setelah sama-sama membersihkan diri. Telor ceplok, tahu goreng dan sambal yang dibuatnya memang menggugah selera. Saat itulah Bu Mumun mengingatkanku kalau-kalau ada teman di kantorku yang ingin dipijat. Menurutnya, saat ini ia hanya mengandalkan dari pekerjaan itu.

"Beres Bu. Tapi....," ujarku.

"Tapi apa Pak Anto?"

"Tapi ibu tidak memberikan layanan yang seperti tadi ke orang lain kan?" kataku cemburu.

"Ih.. ya tidaklah. Lagian yang doyan sama wanita tuwek seperti saya kan cuma Pak Anto," ujarnya.

"Eh.. jangan salah. Tubuh ibu masih sangat merangsang lho. Bener kan ibu cuma memijat,"

"Pak Anto jadi seperti Kang Rasjo tuh. Percayalah Pak, saya akan nurut sama Pak Anto. Apalagi kalau..." ujarnya tanpa meneruskan kata-katanya.

"Kalau apa bu?"

"Kalau sesekali Pak Anto masih mau melakukan yang seperti tadi dengan saya," katanya lirih.

"Tentu bu tentu. Saya suka dan puas banget sama ibu,"

Selain akan membantunya berpromosi soal pijatannya kepada teman sekantor, aku juga berjanji akan membantunya dengan sejumlah uang setiap bulan bila Pak Rasjo sampai tidak kembali datang. Bahkan sebelum kembali ke kantor, aku dan dia sempat saling peluk dan raba hingga nyaris kembali telanjang dan terpancing untuk mengulang kembali persetubuhan.

Untung Bu Mumun mengingatkan bahwa aku harus menjemput Ratri, putriku dari sekolah hingga kubatalkan niatku untuk kembali menikmati kehangatan tubuhnya. Sejak itu kami terus mengulang dan mengulang persetubuhan nikmat bersamanya. Bu Mumun, benar-benar menjadi istri gelapku.
Mantap brp
 
Mumpung masih page 3, dan kuharap belumlah titel Tamat.bmaka, wjib gelar tiker disini.
Trm kah treadnya. Mantap betul
 
Cerita tentang stw selalu menarik
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd