telanjangbugil2023
Semprot Kecil
- Daftar
- 28 Jun 2023
- Post
- 55
- Like diterima
- 1.708
Penampakan Bidadari
Dia bidadari yang tersia-siakan. Kedua sayapnya patah. Bulu-bulunya rontok, menyisakan tulang-belulang yang kurus. Semangatnya telah hilang. Izinkanlah aku masuk ke hatimu. Akan kubangkitkan lagi semangatmu agar kecantikanmu kembali beradian.
- Salam to Siti -
Casts:
Umi
Doni
Jam menunjukkan jam 3 sore…. eh… 10 malam… eh… 3 subuh. Ah, tahu ah gelap. Namanya juga lagi mabuk. Susah mikir, coi. Yang pasti langit belum buka warung. Tuh, lampunya belum nyala. Hehehe…. Jayus ya? Lo yang bego, lagian orang mabuk lo dengerin. Guoblok! Hihihihi…
Gue terseok-seok menuju pintu depan rumah yang tingginya dua kali badan gue. Kepala gue bersandar ke pintu jati berukir sambil tangan meraba-raba kantong celana. "Kunci...kunci...," gumam gue. Setelah mendapatkan serenceng, gue pilah, lalu gue tusuk-tusuk tuh lubang pintu dengan susah payah, macam perjaka ting ting kesulitan nyari lubang vagina saat mau penetrasi. Cklek! ah, terbuka juga. Gue dorong pintunya dan melangkah ke dalam. Ruang tamu beratap tinggi bergaya modern menyambut kedatangan gue.
Di dalam gue terdiam mematung, karena di sofa duduk seorang bidadari cantik berwajah jutek, melipat tangan. Ini kali pertama gue melihat penampakan seperti ini. Gue kucek-kucek mata, jangan-jangan jin penunggu rumah. Sebab minggu lalu salah satu pembantu rumah mengaku melihat penampakan makhluk halus. Ah, sudahlah gue mau ke kamar dan tidur. Gak ada waktu urusan sama nona jin. Entah berapa lama lagi, gue masih dapat berdiri.
"Doni!" terdengar suara teriakan menusuk telinga gue, bergema di tempurung kepala. Rasanya bak sepuluh gong dipukul berulang-ulang. Auh pusing! Bumi serasa bergoyang-goyang dombret. Gue kehilangan keseimbangan. Duh, bakal hantam lantai nih. Sakit ga yaaaa... masih sempat gue berpikir gak jelas begitu.
Bruk! Gue terjatuh.
Tapi... gue bingung, sejak kapan lantai kok kenyal-kenyal begini. Teknologi baru apa yang terpasang di lantai. Gue pegang untuk memastikan. Beneran kenyal dan kok ada yang nonjol-nonjol, keras, kecil bisa digoyang-goyang kayak joystik. GUe mengadah, woalah, ternyata gue jatuh di dada bidadari cantik yang tadi.
"Tetekmu besar juga. Cewek di alam sana cantik-cantik, yaa?" ucap gue serampangan. Ah biar saja. Namanya juga halu. Bebas. Pantatnya gimana ya? Coba ah pegang. Gue remas. Uhhh kenyal dan besar. Gue jadi tersipu-sipu dan si junior langsung ngaceng. Terus... terus... kalau itunya gimana? Gue raba kemaluannya. Ihihii.... lembut dan empuk. Kalau bidadari bisa terangsang gak ya? Gue gosok-gosok cepat anunya. "Ahhh.....," desahnya dan pinggulnya bergoyang. Gue setengah sadar. Entah bagaimana, tangan gue sudah menyentuh gundukan daging berbulu. Tiba-tiba saja, "Srot!" tangan tersiram cairan hangat. Setelah itu gue blackout. Gak ingat apa-apa lagi.
Sadar-sadar gue terbangun di atas kasur. Terbangun oleh suara berisik sekumpulan anak sedang belajar yang menembus pintu kamar. Pusing! Belum lagi sinar matahari yang menyeruak melewati gorden tanpa permisi. Sungguh mengganggu
Satu kelopak terangkat setengah watt, satu bola mata melirik ke jam dinding bermotif kepala Gundam. Jarum panjang dan pendek menunjuk angka duabelas. Telat... lagi-lagi gue sudah telat untuk kuliah pagi. Biarlah. Kuliah juga buat apa. Paling hanya untuk mengejar cewek-cewek cantik. Masih lebih nikmat daripada mengejar nilai. Sama-sama pas lulus gak tahu apa-apa.
Gue bangun dan berjalan gontai ke kamar mandi dalam. Bau alkohol masih menempel di kaos. Gue duduk di atas singgasana toilet dan mengeluarkan isi perut gue. Brebet! Brebet! Brebetbetbetbet! Ahhhh di tengah-tengah harum gas metan, gue teringat akan mimpi bertemu dengan bidadari semalam. Ada perasaan nyaman sekaligus birahi. Boleh juga sering-sering mimpi seperti itu. Sayang, kenapa gak gue mimpi basah sekalian? Biar enaknya sampai ke alam sadar.
Selesai mandi, gue keluar kamar mau cari makan. Dalam perjalanan ke ruang makan gue melewati beberapa kelas. Di salah satunya terlihat umi gue yang cantik sedang mengajar. Usianya 45 tahun. Pakaiannya selalu tertutup, gamis dan jilbab panjang. Satu-satunya yang tak tertutup hanya wajahnya.
Umi adalah seorang ustadzah dengan ide gila membuka sekolah untuk anak-anak jalanan terlantar. Ya, gila. Padahal dia bisa bergaya layaknya kaum sosialita. Having fun, belanja-belanja, jalan-jalan, beli perhiasan, sepatu, baju-baju branded. Secara dia berasal dari keluarga kaya. Abi juga uangnya banyak, pengusaha tambang. Tapi beliau memilih menghambur-hamburkan uangnya untuk anak-anak pecandu lem, anak-anak punk, pengamen, pencuri, dan pelacur, tanpa memungut bayaran sepeser pun.
Gue tidak terlalu suka dengan ide umi dan sekolahnya. Gue merasa kehadiran anak-anak itu menginvasi ruang privasi gue. Selain itu namanya anak jalanan, kebanyakan dari mereka hidup tanpa aturan. Sporadis. Tak mau dikekang aturan. Belum lagi tidak semuanya di sini niat belajar. Sebagian dipaksa oleh dinsos untuk mengenyam pendidikan di sini supaya tidak hidup di jalanan.
Rasa tidak suka gue, bukan tak beralasan. Sudah cukup banyak barang di rumah yang hilang. Termasuk sepatu, headphone dan tas kesayangan. Gue bilang ke umi, pasang CCTV saja. Tapi umi tidak mau. Karena ia tidak mau memperlakukan mereka seperti penjahat atau maling. Dia bercita-cita ingin bisa mengubah masa depan mereka. Jika ada satu dari mereka yang menjadi manusia sukses, baginya itu sudah merupakan bayaran yang cukup, katanya
Di dalam kelas itu juga ada seorang asisten umi, namanya..... ah siapa ya, Darsih, Asih... ah lupa. Dia guru termuda di sekolah itu. Dadanya besar dan pinggulnya uh lezat. Pokoknya cantik. Meski berjilbab dan bergamis, pakaiannya kesulitan menutupi keindahannya.
Beberapa kali pernah gue iseng toel-toel pantatnya. Dia cuma marah-marah manja gitu. “Iiii… Mas Doni, jangan gitu donk…,” protesnya cemberut. Gemesin banget marahnya. Terus dia paksa gue berjanji gak ngulangi lagi. Hehe… yang ada malah gue sergap dadanya, eh dia latah mendesah mendayu-dayu gitu. Bikin ngaceng. Pas tahu dia orangnya latah, gue bawa dia mojok dan gue manfaatin kelatahannya.
“Remes-remes otong!”
“Eh remes-remes otong!” katanya sambil benar-benar meremas-remas otong gue. “Ah mas Doni jangan gitu,” katanya langsung kaget usai memegang alat kelamin gue dari luar celana.
“Remes-remes otong!”
“Eh remes-remes otong!” dia ulangi lagi perbuatannya, begitu terus sampai gue crot.
Alhasil gue diaduin ke umi. Dan gue diadili dengan tuduhan pasal pelecehan seksual selama dua jam non stop. Berakhir dengan hukuman puasa selama seminggu. Gue cuma boleh makan nasi putih dan garam. Sebenarnya apa susahnya? Di kantin kampus gue tinggal pesan Bakmi Ayam Nyonya Menir yang lezat, atau Soto Tangkar Mang Udin yang legendaris. Dia juga tak bakalan tahu. Cuma biar lo pada tahu meskipun gue bandel, tetep masih ada hormatnya sama umi. Gue jalani hukuman darinya secara penuh. Di akhir hukuman, umi malah biasanya masakin gue gulai ayam kesukaan gue. Bilangnya pembantu yang buat, padahal dia sendiri. Dan itu rasanya nikmaaat.....
Dari dalam kelas umi melirik gue. Pandangannya asam. Pasti karena sudah siang begini gue masih di rumah, plus mata gue melirik-lirik asistennya. Ah bodo amat. Gue langsung bercandain. Dengan dua telunjuk gue gambar hati di udara, terus gue tembakan ke arahnya, gue tutup dengan kerlingan mata dan isyarat jempol dan telunjuk merapat, sarangeoooo.... Aksi gue mencuri perhatian kelas, disambut dengan tawa geli murid-murid. Umi melempar spidol marker, mengusir gue dari TKP. Ya sudah, gue lanjut dengan misi gue.
Ketika tiba di ruang makan, gue melihat pintu kulkas terbuka. Ada orang di situ. Wajahnya terhalang pintu. Tapi nampak dari sisi bawah, sepasang kaki, berkulit hitam, bercelana pendek. Hemm… kaki milik siapa? Rasanya asing.
"Siapa?" teriak gue
Makhluk misterius itu menongolkan kepalanya sambil mengunyah sesuatu. Bibirnya celemotan coklat dan krim.
"Hemm, enak," katanya seraya menunjukkan kue Blackforest yang ia ambil dari kulkas. Anak itu seumuran gue. Tampangnya dekil. Sudah pasti ini salah satu murid umi, minim etika.
Maling itu terlihat santai meskipun tertangkap basah mencuri. Bahkan dia masih sempat mencomot kaleng jus milik gue dan meneguknya di depan gue. Lalu bersendawa, ""Errrgghh!" Sebelum akhirnya dia beranjak pergi seolah tak terjadi apa-apa.
Bangsat!
"Hei, maling berhenti!" teriak gue dan menyusulnya.
Kata-kata gue menghentikan langkahnya.
Anak itu berbalik.
“Apa lo bilang?”
"Dasar MALING!" maki gue kesal dengan penekanan pada kata "Maling."
Hidung anak itu bergerak-gerak seakan-akan alergi dengan kata maling.
“Terus kau mau apa, hah? Mau berkelahi? Mati kau nanti hai anak manja,” ancamnya.
“Dasar manusia tak tahu diuntung. Sudah bisa belajar gratis di rumah orang kaya, masih juga kau mencuri, keturunan maling kau rupanya.”
"Hanya kue sedikit saja, kau bawa-bawa silsilah keluargaku. Banyak cingcong kau! Kuberi kau nanti, heh!" ancamnya sambil mengepalkan tinju.
"Ayo, siapa takut!" balas gue mengangkat tinju.
Dia panas, gue juga panas. Kami bergesekan dan terbakar. Tapi gue merasa ada di pihak yang benar. Takkan mundur gue selangkah
Tiba-tiba dia melompat dan langsung melayangkan bogem ke muka gue. “Buk!” Gue terhuyung mundur dua langkah. Hidung gue melesak sekian detik. Berani-beraninya dia melukai wajah gue yang tamvan.
Usai melancarkan serangan dia agak kepleset karena genangan air di lantai. Badannya tak seimbang. Kesempatan!
Tapi baru saja hendak gue balas, sekonyong-konyong umi datang dan menghalangi niat gue. Dia pasang badan, lalu membentak, "Doni, apa yang kamu lakukan!"
"Monyet hitam sialan ini mencuri dari kulkas!" teriak gue.
Mati kau! Gue kupas tuntas kejahatannya di depan umi. Selama ini mereka mencuri sembunyi-sembunyi. Tapi kali ini ada saksi mata. Namun siapa nyana umi malah berkata, "Doni, tak pantas kamu memaki seperti itu, cepat minta maaf!"
“Apa!? umi ingin aku minta maaf ke bajingan ini?!?!?.”
Anak monyet itu memamerkan senyum mengejek di belakang punggung umi.
“Ya, kalau kamu masih menganggap umi!”
Sialan! Sialan! Sialan! Apa-apaan ini, umi lebih membela anak orang lain daripada anak sendiri. Padahal jelas-jelas gue yang benar.
"Aku tak akan minta maaf!" teriak gue dan berputar setengah badan serta melipat tangan.
Umi berbalik dan memeriksa keadaan anak itu. "Apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya. "Saya tak apa-apa, bu guru," jawabnya dengan wajah meringis memegangi pipi. Tentu umi dapat melihat sandiwara picisan itu, kan? Lagian kenapa juga dia yang ditanya keadaannya, lah gue kok enggak. Hei, umi anakmu yang ini, di sini, bukan di sana. Dan ternyata penilaian gue salah, umi berbalik lagi dan berjalan ke arah gue dengan wajah marah. Ia mengeluarkan jurus capit kepiting, menjewer telinga gue dan menariknya.
“Au! Auh! Auh! Ampun!” hanya itu yang dapat terucap dari mulut gue. Jeweran umi memiliki semacam kekuatan untuk menjinakkan jiwa pemberontak gue.
Umi menarik gue melewati kelas-kelasnya. Murid-murid di ruangan itu langsung tertawa melihat kemalangan yang gue alami. "Hahahahaha!"
Dasar anak-anak kurang ajar! Maki gue dalam hati. Gue beri mereka isyarat jari tengah. Uh, mereka langsung serempak membalas gue dengan jari-jari yang lebih banyak. Anjayyyy. Terdengar sayup-sayup guru kelas mereka menegur cecunguk-cecunguk itu.
Umi menarik gue ke dalam ruang kerjanya. Ia menutup pintu dan mulai memarahi gue.
“Jadi kamu sudah berani melawan umi, hah!?” omelnya dengan tambahan jeweran ekstra pedas level setan.
“Ampun umi! Ahh….!”
Rasanya telinga ini mau putus. Umi memelintir telinga gue berulang kali seperti orang sedang memeras jeruk limo.
“Lagipula kenapa kamu masih di rumah, hah? Kenapa tidak kuliah?”
“...Ah buat apa sih kuliah!?” jawab gue ketus.
"Buat apa???? BUAT APA????? Dasar anak bodoh! Mau jadi apa kau nanti kalau tidak sekolah!!! Abimu sudah bayar biaya kuliah mahal, mahal. Kamu kerjaannya bolos mulu," marah umi sambil mendorong-dorong pelipis gue dengan telunjuk. Gue respon dengan putaran bola mata 360 derajat. Omelan yang sudah serasa music player di klik looping. "Anak siapa sih ini! Apa jangan-jangan tertukar saat masih bayi di rumah sakit."
"Bisa jadi," jawab gue sekenanya.
Gemertak gigi umi terdengar. Amarahnya naik level. Gue serasa sedang di medan perang dan gue terjebak di parit kehabisan amunisi. Sementara musuh terus memborbadir gue dengan meriam, granat dan serangan udara. Bom meledak di sana-sini. Debu pasir terlontar di udara menutup langit. Peluru haus darah berdesingan melewati telinga. Gue lihat pistol kecil tergeletak di tanah. Gue raih hendak membalas, dor! dor! dor!
"Tapi kan!"
“Heeee berani bantah!” balasnya dengan mata melotot menakutkan. “Doni Sebastian Caknoyo!”
Wah, ini alamat buruk, kalau dia sudah menyebut nama lengkap gue.
Umi berjalan ke sebuah lemari dan membuka pintunya. Tangannya meraih dan mengeluarkan senjata pusaka, yaitu jejenggggg….. kemoceng pembunuh naga.
Alkisah kemoceng itu merupakan warisan dari seorang pendekar wanita legendaris yang pernah membuat satu klan sebelas naga liar tak berkutik. Setiap sabetannya mengeluarkan listrik dan api. Suara ayunannya macam desing angin puting beliung mengamuk. Saat menyentuh kulit, terdengar, "Cetar! Cetar!" bak geledek di tengah hujan badai. Pendekar itu tak lain adalah nenek gue dan kesebelas naga liar itu adalah anak laki-lakinya. Umi anak keduabelas, cewek satu-satunya yang paling disayang nenek dan mendapatkan warisan kemoceng pembunuh naga. Senjata laknat itu telah menyiksa hari-hari gue sejak kecil. Benci sekali dengan perih menyengat dari sabetan rotannya.
Tapi kini gue sudah dewasa. Tak mau lagi gue tunduk oleh kemoceng itu. Ketika umi mengayunkan benda itu, gue tangkis dengan lengan. Batang rotan kemoceng itu patah. Itu adalah kali pertama terjadi. Alam semesta pasti sedang mendukung gue.
Kami berdua terdiam. Tapi tiba-tiba umi menangis.
“Huuuu… kamu tuh makin besar, makin kurang ajar sama umi. Kamu sudah berani melawan. Biar umi mati sekalian… huuuuu,” tangisnya, “Kamu tega! Kamu sudah gak sayang lagi sama umi.”
Dari semua hukuman yang umi berikan, hukum puasa, dijewer, dikemoceng, dan lain-lain. Hanya satu siksaan yang paling gue tak kuat, yaitu siksaan air matanya.
“Apa sih, umi lebay,” ucap gue.
“HuuuuUUUUUUU!” makin keras tangisnya.
Gue benar-benar tak tega. Akhirnya gue rela menurunkan ego gue. Gue memeluknya dan berkata, “Iya, iyaa Doni yang salah. Maafin Doni.”
Alhasil gue berujung harus meminta maaf kepada si monyet hitam sialan itu.
Malamnya gue dan teman-temanku kembali berpesta pora. Gue ingin menghilangkan ingatan akan kejadian apes tadi siang. Kami minum-minum sampai mabuk asoooiiiii. Tarik manggggg!!!
Subuh gue pulang, didrop di depan rumah oleh teman-teman gue. Lagi-lagi gue terseok-seok dari pintu gerbang. Langkahnya ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan, seperti sedang berjalan di dek kapal laut yang terombang-ambing di Laut Iblis, dekat pantai Jepang di Samudera Pasifik. Sampai di depan pintu masuk, gue buka daunnya. Lagi-lagi bidadari yang sama telah menungguku. Secepat inikah gue mulai bermimpi lagi. Jangan-jangan gue blackout saat memasuki pintu.
Ah siapa yang peduli. Gue hampiri bidadari itu dan gue tindih tubuhnya. Gue remas-remas toketnya yang kenyal itu dan kusibak roknya. Bidadari itu meronta-ronta, tapi gue berhasil menancapkan penis gue ke dalam vaginanya. "Ungghhh," lenguhnya. Gue keluarkan, gue masukkan lagi, keluarkan, masukkan lagi. "AAhhhh...ahh..ahhh!" lenguhnya makin keras. Suaranya feminim membakar birahi. Sampai akhirnya Gue letuskan senjata gue di dalam vaginanya. Bodo amat. Namanya juga mimpi. Bebas donk. Mau besok dia hamil. Bukan urusan.
Bangun-bangun gue sudah ada di atas kasur. Bagaimana gue bisa sampai di sini? Gue teringat lagi mimpi basah semalam. Ah sungguh indahnya. Gue senyum-senyum sendiri. Gue pegang celana gue di bagian kemaluan. Eh, kenapa kering. Ah mungkin gue crot dah dari beberapa jam lalu. Ah sudahlah gue tidak terlalu memikirkan hal itu.
Yang menarik perhatian gue adalah dari luar kamar terdengar suara ribut-ribut. Padahal hari ini hari Minggu. Seharusnya sekolah libur. Jadi ini tidak mungkin keributan antar anak jalanan.
Gue keluar kamar untuk menyelidiki. Suara dari arah ruang tamu. Tenyata kedua orang tua gue sedang bertengkar hebat. Di sana berkumpul beberapa orang, salah satunya asisten umi yang seksi itu. Gue mengintip dan menguping.
“Jadi bagaimana? Apakah suami ibu bersedia bertanggungjawab atas perbuatannya kepada putri kami, Ningsih?” tanya laki-laki yang sudah tua. Suaranya seperti ada rasa sungkan bercampur kesedihan.
Hah apa yang sudah diperbuat abi?
Terakhir diubah: