liquidsticky
Semprot Baru
Halo para suhu sekalian!
Perkenalkan ane Sticky Liquid (pen name), bisa dipanggil Pak Liq.
Setelah lama menjadi silent reader yang diam-diam ngecrot saja, akhirnya ane bisa memberikan kontribusi dalam perlendiran duniawi forum ini.
Cerita ini terinspirasi dari beberapa kisah yang menyentuh hati, baik dari forum ini maupun buku-buku romansa semi-dewasa bacaan ane. Juga berawal dari keresahan ane dalam mencari cinta dan merasa butuhnya menumpahkan dalam sebuah cerita.
Kalau ditanya mulustrasi dong?
Jawab: ane memang sengaja tidak merinci bentuk tubuh dan memberikan mulustrasi agar kita semua bisa memasukkan tokoh kesukaan kita masing-masing. Juga rasanya kalau ane mendeskripsikan bentuk tubuh perempuan yang ane gunakan dalam cerita (yang mana memang benar-benar ane cintai) terasa sangat salah aja
Mohon maklum, ya, hu! Hehehe
Disclaimer:
Saat ane pertama memposting cerita, sudah tersusun struktur tiap chapter dan ending cerita. Cerita juga sudah ditulis setengah jalan dan harapannya nanti bisa selesai sesuai harapan. Jadi kalau agan-agan dan suhu-suhu sekalian ingin memberi masukan, sebaiknya untuk cerita Sequel atau Spin-off saja ya, hehe.
Rencana akan ane update normal seminggu dua kali.
Worst case (karena ane sedang ada project), satu kali seminggu.
Ane juga menarget tiap chapter untuk lebih dari 1000 kata agar agan-agan bisa puas
JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT ATAU KENTANG)
< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >
PROLOG
Zul terbaring lemas tak berdaya di atas dipan. Anak-anaknya mengelilinginya. Lengkap. Dari si sulung hingga si bungsu. Istrinya pun dengan setia memegangi tangannya, mengecup kepalanya. Zul telah menjalani hidup yang bahagia. Ia pun banyak membahagiakan orang lain.
Setidaknya begitu pikiran orang-orang.
Kenangan Istri dan anak-anak akan Zul ternodai ketika surat wasiat diberikan kepada keluarganya. Zul tidak meninggalkan utang, bahkan ia memberi banyak warisan dan terbagi adil. Bukan. Ini bukan tentang harta. Ini tentang dendam masa lalu yang tersimpan jauh di lubuk hati Zul.
Bahwa Zul takut masa lalunya yang kelam akan membawa petaka bagi keluarganya.
Bahwa Zul takut sesuatu terjadi pada keluarganya dan perempuan yang pernah ia cintai itu.
Ketakutan bahwa kelak orang lain akan merasakan pedihnya cinta tak berbalas hanya karena kutukan yang diberikan oleh Zul. Dan keluarganya akan menerima akibat sebagai tumbal dari kutukan itu.
< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >
CHAPTER 1
KONTAK PERTAMA
"Bintang," kataku menyebutkan namaku pada teman seangkatan. Kami bertukar nama, berusaha mengingat-ingat satu sama lain. Tugas ospek kuliah mengharuskan kami kenal satu angkatan. Seluruhnya berjumlah dua ratus tiga puluh anak.
Aku menggaruk kepala sambil terus merapal nama-nama anak di hadapanku. Hingga akhirnya kami bosan dan kegiatan kumpul angkatan itu berubah menjadi acara gosip. Topik paling hot tentu saja mengenai dosen killer.
Belum genap satu minggu kami kuliah, sudah beredar kabar dari kelas lain mengenai dosen killer yang satu itu: Ibu Wulan. Usia kepala empat yang katanya secantik artis namun berperingai seperti macan. Galaknya minta ampun. Telat satu menit harus rela mendapat alpa di absen. Bolos tiga kali harus bersiap mengulang tahun depan.
"Menurutmu gimana, Tang?" Yoga, teman baruku bertanya. Aku yang tidak siap akhirnya tergagap.
"Yah, eh, anu, kita ya harus... nurut aja mungkin?"
Yoga yang memang sejak lama membaca romansa aktivisme 98 langsung mendengus. "Kita gak boleh kalah. Harus ada perubahan yang kita bawa. Kalian ingat sama Farah?"
Kelompok gosip kami menggeleng.
"Bah!" Yoga menyahut kecewa. "Itu anak dari wakil rektor!"
Kami tetap menggeleng.
"Yang putih, cantik, berjilbab, tapi kadang pake baju agak ketat. Badannya bohai, itu loh yang pake bros mawar!" Yoga lalu menunjuk hati-hati pada seseorang di kelompok lain di kumpul angkatan itu.
"Oooooh," bak paduan suara teman-teman di sebelahku menyahut bersamaan. Tentu saja mereka ingat pada orang seperti itu. Ingat pada fitur tubuhnya, bukan namanya.
Aku yang tak biasa melihat perempuan hanya menggeleng. Yoga melihatku dengan tatapan kasihan. Memang sepertinya aku harus lebih banyak bergaul.
Masa SD-SMP aku habiskan di pondok pesantren, sebuah tradisi turun temurun di keluarga. Kemudian aku masuk SMA Negeri, tapi itu pun lebih banyak aktif di ekskul rohis. Sekarang pun aku memutuskan ikut LDK pula. Membuat pengalamanku dengan perempuan sangat minim.
"Intinya begini," Yoga lanjut berbicara, "kita bisa manfaatkan Farah buat mengadu ke wakil rektor supaya cara ngajarnya diubah. Lagian apa gunanya keras pada mahasiswa? Jaman kayak gitu sudah lama lewat!"
Kami mengangguk-angguk saja meng-iya-kan. Siapa pula yang akan menjalankan rencana bodohnya ini?
"Bintang, kamu sama-sama ikut LDK kan? Mungkin bisa deketin Farah!" tiba-tiba Yoga mengusulkan.
Aku hanya tertawa gugup. Berharap itu hanya guyonan semata.
< b >
"JANCOK" pertama kalinya aku mengumpat dalam hidupku.
Tidur siang setelah sholat Jumat merupakan hal paling nikmat setelah berusaha menahan kantuk selama khutbah. Naasnya, itu bisa membuatku bangun terlambat untuk ikut kuliah Bu Wulan.
Perkuliahan akan mulai sepuluh menit lagi. Tepat waktu yang diperlukan dari kosku ke kampus. Jika tak ingin terlambat, aku harus berlari.
Lorong-lorong berkelebat sementara aku terburu-buru menuju ke kelas. Kulihat jam tangan, tersisa satu menit lagi. Sialnya di ujung sana sudah kulihat Bu Wulan sedang memasuki ruang kelas.
Benar kata teman-teman. Usianya sudah kepala empat, ia terlihat anggun meski dari jauh. Tak terasa, aku memelankan lariku. Menyebabkan pintu kelas sudah tertutup saat aku sampai di depannya.
Aku benar-benar takut, namun mau tak mau kuketuk juga pintu kelas itu kemudian kubuka dan berusaha masuk.
"Kamu tahu kamu terlambat?" suara Bu Wulan menusuk tajam.
Aku hanya menunduk, setengah badanku masih di luar.
"Iya, Bu. Maaf, saya ketiduran," jawabku polos. Badanku semakin menunduk.
"Tatap mata saya kalau berbicara!" Bu Wulan membentak.
Aku benar-benar tak biasa melakukannya. Menatap mata perempuan, terutama dosen – guru -- biasanya adalah lancang dilakukan di pondok. Tapi melawan perintahnya lebih lancang lagi. Akhirnya kuangkat daguku dan kutatap matanya.
Bu Wulan memang sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia. Rambutnya yang hitam, bergelombang dibiarkan terurai. Bibirnya yang tebal dan begitu sensual. Wajahnya yang minim make-up tapi terlihat sangat terawat. Ia begitu cantik tanpa perlu berusaha. Parasnya anggun dan tubuhnya seolah memanggilku. Aku begitu terpesona sampai tak bisa berkata-kata.
Sedang Bu Wulan menatapku balik dengan pandangan yang tajam. Ia tak berkata apa-apa juga. Ada diam yang tak mengenakkan di antara kami untuk beberapa saat.
Sampai akhirnya Bu Wulan yang berbicara duluan. Kali ini nadanya tak sekeras nada tadi.
"Ya-ya sudah... kamu cepat duduk," Bu Wulan berkata pelan. Hampir-hampir seperti berbisik.
Aku butuh sedetik untuk mengalihkan pandangan dari Bu Wulan dan bergerak ke kursi barisan belakang. Kulihat ekspresi teman-temanku yang kaget.
Bu Wulan yang galak kayak macan tiba-tiba berubah jinak?
< b >
Usai kelas, aku diminta tetap di ruangan. Mungkin ada hukuman atas 30 detik keterlambatanku. Aku berdoa semoga itu bukan sesuatu yang berat. Tugas ospek dan praktikum sudah cukup berat.
"Bintang, ya? Ambil kursi, duduk," Bu Wulan memberi instruksi. Nadanya jauh lebih tenang ketimbang waktu dia sedang mengajar.
Wajahnya terlihat lebih cerah dan menentramkan.
"Anda sepertinya terlihat familiar. Apa saya pernah bertemu anda sebelumnya?" Bu Wulan bertanya setelah aku mengambil kursi dan duduk di hadapannya.
Sekarang saat kupikirkan, aku merasa mengenal Bu Wulan. Seolah ia adalah seseorang yang dekat, tapi tak tahu kapan dan dimana.
"Maaf, Bu. Saya juga merasa pernah bertemu Ibu, tapi tidak ingat bertemu di mana," kujawab dengan jujur.
"Kamu asalnya dari mana?" Bu Wulan bertanya lagi. Nadanya semakin tenang.
"Sumbawa, Bu. NTB."
Bu Wulan menggeleng. "Aku tau ada keluargaku dari sana, tapi aku sendiri nggak pernah ke sana. Mungkin kita memang nggak pernah ketemu, ya?" Ia menghembus napas panjang.
Perubahan dari 'saya' menjadi 'aku' oleh Bu Wulan membuat kesannya menjadi sangat manja dan menghilangkan sekat yang ada sebelumnya.
“I… Iya, mungkin Bu…” jawabku sekenanya.
Rasa apa ini?
Mengapa Bu Wulan terasa begitu akrab?
Mengapa aku merasa begitu tertarik dengannya?
Kutatap matanya. Mata yang gelap, menghisapku ke dalamnya. Menenggelamkan dalam pesonanya. Dan aku rela...
Saat itu juga kulihat ada hal yang sama dalam mata Bu Wulan. Sebuah tatapan rindu.
Sebuah tatapan kasih sayang.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam pesonanya.
Tatapan penuh perasaan... penuh... gairah...
Tenggelam dalam pesona masing-masing, wajah kami semakin mendekat. Hingga tak sadar, kami menutup mata dan bibir kami saling bersentuhan.
Bibirnya begitu empuk, lembut. Begitu hangat. Rasa yang begitu familier.
Sekejap, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang bergairah. Tangan Bu Wulan meremas rambutku. Bibir kami mulai membuka dan saling memainkan satu sama lain. Lidah Bu Wulan juga ikut beraksi, membuat setiap kecupan kami menjadi sangat basah. Sementara tanganku kaku mengusap wajah Bu Wulan. Merasakan lembutnya kulit wajah itu.
Hingga suara office boy yang memutar kunci di kelas sebelah mengagetkan kami. Menyadarkan kami bahwa kami masih di kampus.
Kami melepas ciuman.
"Kamu ada acara nanti malam?" Bu Wulan bertanya cepat. Sepertinya nafsunya masih memburu.
Aku menggeleng. Tak bisa mengingat apa pun. Nafsuku pun masih mendahului proses berpikir.
"Ikut aku ke apartemen."
< b >
Ada perasaan aneh saat kami berada di lift menuju kamar Bu Wulan.
Otak warasku bertanya-tanya mengenai moral dan etis dalam kegiatan yang akan kulakukan.
Namun perasaanku begitu menggebu-gebu. Dadaku terasa panas dan detak jantungku terasa begitu keras seolah bisa terdengar Bu Wulan yang berdiri di sampingku.
Begitu kami masuk dan pintu apartemen tertutup, kami kembali berciuman. Masih bersepatu dan berbaju lengkap, tapi perasaan kami mendorong satu sama lain. Mulut Bu Wulan melumat habis bibirku dengan gelagapan. Tangan kami saling meraba punggung satu sama lain.
Tanpa melihat, kami terus berciuman dengan ganas menuju sofa. Di sana, Bu Wulan mendorongku ke sofa, membuka baju dan rok selututnya. Untuk kemudian dengan cepat kembali menyosor mulutku.
Tanganku diarahkan ke payudara dan vaginanya yang masing-masing masih terbungkus bh dan celana dalam. Satu tangan Bu Wulan mengelus penisku dari luar, sedang tangan yang lain mengusap putingku.
Kami berdua melenguh karena nikmatnya.
Bu Wulan seolah tak tahan, langsung menggesekkan vaginanya ke atas penisku. Bu Wulan masih memakai CD dan aku bahkan belum membuka celanaku.
Ia bergoyang dengan liar, berusaha menggesek sambil terus menciumku.
Tangan kananku mulai berpindah, mengelus perutnya yang terlihat terawat. Sedang tangan kiriku menyelip dari balik BH, memutir putingnya.
Setitik kesadaran dalam diriku bertanya-tanya.
Mengapa ini terasa familier?
Bentuk dan lekuk tubuhnya...
Helai rambut yang menggantung seksi di depan wajahnya...
Aroma tubuhnya...
Setiap kecup dan setiap tetes liur yang dengan rela kutampung...
Namun semua pikiran logis itu tenggelam saat aku merasakan sesuatu akan keluar. Bu Wulan terlihat sama. Napasnya semakin memburu. Kini ia merapatkan tubuhnya padaku. Menggesekkan vagina dan putingnya pada badanku sambil terus mengunci mulutnya dengan mulutku.
Ia terlihat begitu dilanda kenikmatan. Sedang aku pun sama nikmatnya. Setiap gesekannya pada ujung penisku (yang masih terbungkus) terasa nikmat tiada tara. Setiap pergerakan putingnya akan menggesek putingku dan memberikan setruman listrik, menambah kenikmatan itu.
Kami berpacu, bercumbu, saling bergesek. Ingin mendekap satu sama lain begitu hebatnya. Hingga akhirnya aku dan Bu Wulan bergetar hebat dalam selang waktu yang bersamaan. Membuat kami saling merangkul lebih ketat satu sama lain.
"Ohhhhhh!" lenguh Bu Wulan dan langsung mendekapku erat. Membenamkan mulutnya kembali dengan mulutku.
Spermaku meluncur deras tanpa halangan, membasahi celanaku.
Oh rasa nikmat ini?
Apakah ini surga?
Badanku ringan, seolah melayang di udara.
To be continued
JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN)
Perkenalkan ane Sticky Liquid (pen name), bisa dipanggil Pak Liq.
Setelah lama menjadi silent reader yang diam-diam ngecrot saja, akhirnya ane bisa memberikan kontribusi dalam perlendiran duniawi forum ini.
Cerita ini terinspirasi dari beberapa kisah yang menyentuh hati, baik dari forum ini maupun buku-buku romansa semi-dewasa bacaan ane. Juga berawal dari keresahan ane dalam mencari cinta dan merasa butuhnya menumpahkan dalam sebuah cerita.
Kalau ditanya mulustrasi dong?
Jawab: ane memang sengaja tidak merinci bentuk tubuh dan memberikan mulustrasi agar kita semua bisa memasukkan tokoh kesukaan kita masing-masing. Juga rasanya kalau ane mendeskripsikan bentuk tubuh perempuan yang ane gunakan dalam cerita (yang mana memang benar-benar ane cintai) terasa sangat salah aja
Mohon maklum, ya, hu! Hehehe
Disclaimer:
Saat ane pertama memposting cerita, sudah tersusun struktur tiap chapter dan ending cerita. Cerita juga sudah ditulis setengah jalan dan harapannya nanti bisa selesai sesuai harapan. Jadi kalau agan-agan dan suhu-suhu sekalian ingin memberi masukan, sebaiknya untuk cerita Sequel atau Spin-off saja ya, hehe.
Rencana akan ane update normal seminggu dua kali.
Worst case (karena ane sedang ada project), satu kali seminggu.
Ane juga menarget tiap chapter untuk lebih dari 1000 kata agar agan-agan bisa puas
JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT ATAU KENTANG)
*TBP = To Be Published
1. KONTAK PERTAMA - Hal 1 (di bawah)
2. APARTEMEN - Hal 1 (di bawah)
3. FARAH AZIZIYAH - Hal 4
4. LOVEBIRD - Hal 6
5. PEDULI - Hal 7
6. RUMAH - Hal 9
7. BUNGA YANG MEKAR - Hal 11
8. DAYS GONE BY - Hal 13
9. TOGA DAN MAHKOTA - Hal 16
10. ASAM GARAM KEHIDUPAN - Hal 18
11. UNION - Hal 21
1. KONTAK PERTAMA - Hal 1 (di bawah)
2. APARTEMEN - Hal 1 (di bawah)
3. FARAH AZIZIYAH - Hal 4
4. LOVEBIRD - Hal 6
5. PEDULI - Hal 7
6. RUMAH - Hal 9
7. BUNGA YANG MEKAR - Hal 11
8. DAYS GONE BY - Hal 13
9. TOGA DAN MAHKOTA - Hal 16
10. ASAM GARAM KEHIDUPAN - Hal 18
11. UNION - Hal 21
< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >
PROLOG
Zul terbaring lemas tak berdaya di atas dipan. Anak-anaknya mengelilinginya. Lengkap. Dari si sulung hingga si bungsu. Istrinya pun dengan setia memegangi tangannya, mengecup kepalanya. Zul telah menjalani hidup yang bahagia. Ia pun banyak membahagiakan orang lain.
Setidaknya begitu pikiran orang-orang.
Kenangan Istri dan anak-anak akan Zul ternodai ketika surat wasiat diberikan kepada keluarganya. Zul tidak meninggalkan utang, bahkan ia memberi banyak warisan dan terbagi adil. Bukan. Ini bukan tentang harta. Ini tentang dendam masa lalu yang tersimpan jauh di lubuk hati Zul.
Bahwa Zul takut masa lalunya yang kelam akan membawa petaka bagi keluarganya.
Bahwa Zul takut sesuatu terjadi pada keluarganya dan perempuan yang pernah ia cintai itu.
Ketakutan bahwa kelak orang lain akan merasakan pedihnya cinta tak berbalas hanya karena kutukan yang diberikan oleh Zul. Dan keluarganya akan menerima akibat sebagai tumbal dari kutukan itu.
< > < > < > < > < > < > < > < > < > < >
CHAPTER 1
KONTAK PERTAMA
"Bintang," kataku menyebutkan namaku pada teman seangkatan. Kami bertukar nama, berusaha mengingat-ingat satu sama lain. Tugas ospek kuliah mengharuskan kami kenal satu angkatan. Seluruhnya berjumlah dua ratus tiga puluh anak.
Aku menggaruk kepala sambil terus merapal nama-nama anak di hadapanku. Hingga akhirnya kami bosan dan kegiatan kumpul angkatan itu berubah menjadi acara gosip. Topik paling hot tentu saja mengenai dosen killer.
Belum genap satu minggu kami kuliah, sudah beredar kabar dari kelas lain mengenai dosen killer yang satu itu: Ibu Wulan. Usia kepala empat yang katanya secantik artis namun berperingai seperti macan. Galaknya minta ampun. Telat satu menit harus rela mendapat alpa di absen. Bolos tiga kali harus bersiap mengulang tahun depan.
"Menurutmu gimana, Tang?" Yoga, teman baruku bertanya. Aku yang tidak siap akhirnya tergagap.
"Yah, eh, anu, kita ya harus... nurut aja mungkin?"
Yoga yang memang sejak lama membaca romansa aktivisme 98 langsung mendengus. "Kita gak boleh kalah. Harus ada perubahan yang kita bawa. Kalian ingat sama Farah?"
Kelompok gosip kami menggeleng.
"Bah!" Yoga menyahut kecewa. "Itu anak dari wakil rektor!"
Kami tetap menggeleng.
"Yang putih, cantik, berjilbab, tapi kadang pake baju agak ketat. Badannya bohai, itu loh yang pake bros mawar!" Yoga lalu menunjuk hati-hati pada seseorang di kelompok lain di kumpul angkatan itu.
"Oooooh," bak paduan suara teman-teman di sebelahku menyahut bersamaan. Tentu saja mereka ingat pada orang seperti itu. Ingat pada fitur tubuhnya, bukan namanya.
Aku yang tak biasa melihat perempuan hanya menggeleng. Yoga melihatku dengan tatapan kasihan. Memang sepertinya aku harus lebih banyak bergaul.
Masa SD-SMP aku habiskan di pondok pesantren, sebuah tradisi turun temurun di keluarga. Kemudian aku masuk SMA Negeri, tapi itu pun lebih banyak aktif di ekskul rohis. Sekarang pun aku memutuskan ikut LDK pula. Membuat pengalamanku dengan perempuan sangat minim.
"Intinya begini," Yoga lanjut berbicara, "kita bisa manfaatkan Farah buat mengadu ke wakil rektor supaya cara ngajarnya diubah. Lagian apa gunanya keras pada mahasiswa? Jaman kayak gitu sudah lama lewat!"
Kami mengangguk-angguk saja meng-iya-kan. Siapa pula yang akan menjalankan rencana bodohnya ini?
"Bintang, kamu sama-sama ikut LDK kan? Mungkin bisa deketin Farah!" tiba-tiba Yoga mengusulkan.
Aku hanya tertawa gugup. Berharap itu hanya guyonan semata.
< b >
"JANCOK" pertama kalinya aku mengumpat dalam hidupku.
Tidur siang setelah sholat Jumat merupakan hal paling nikmat setelah berusaha menahan kantuk selama khutbah. Naasnya, itu bisa membuatku bangun terlambat untuk ikut kuliah Bu Wulan.
Perkuliahan akan mulai sepuluh menit lagi. Tepat waktu yang diperlukan dari kosku ke kampus. Jika tak ingin terlambat, aku harus berlari.
Lorong-lorong berkelebat sementara aku terburu-buru menuju ke kelas. Kulihat jam tangan, tersisa satu menit lagi. Sialnya di ujung sana sudah kulihat Bu Wulan sedang memasuki ruang kelas.
Benar kata teman-teman. Usianya sudah kepala empat, ia terlihat anggun meski dari jauh. Tak terasa, aku memelankan lariku. Menyebabkan pintu kelas sudah tertutup saat aku sampai di depannya.
Aku benar-benar takut, namun mau tak mau kuketuk juga pintu kelas itu kemudian kubuka dan berusaha masuk.
"Kamu tahu kamu terlambat?" suara Bu Wulan menusuk tajam.
Aku hanya menunduk, setengah badanku masih di luar.
"Iya, Bu. Maaf, saya ketiduran," jawabku polos. Badanku semakin menunduk.
"Tatap mata saya kalau berbicara!" Bu Wulan membentak.
Aku benar-benar tak biasa melakukannya. Menatap mata perempuan, terutama dosen – guru -- biasanya adalah lancang dilakukan di pondok. Tapi melawan perintahnya lebih lancang lagi. Akhirnya kuangkat daguku dan kutatap matanya.
Bu Wulan memang sangat cantik. Kulitnya yang kuning langsat khas Indonesia. Rambutnya yang hitam, bergelombang dibiarkan terurai. Bibirnya yang tebal dan begitu sensual. Wajahnya yang minim make-up tapi terlihat sangat terawat. Ia begitu cantik tanpa perlu berusaha. Parasnya anggun dan tubuhnya seolah memanggilku. Aku begitu terpesona sampai tak bisa berkata-kata.
Sedang Bu Wulan menatapku balik dengan pandangan yang tajam. Ia tak berkata apa-apa juga. Ada diam yang tak mengenakkan di antara kami untuk beberapa saat.
Sampai akhirnya Bu Wulan yang berbicara duluan. Kali ini nadanya tak sekeras nada tadi.
"Ya-ya sudah... kamu cepat duduk," Bu Wulan berkata pelan. Hampir-hampir seperti berbisik.
Aku butuh sedetik untuk mengalihkan pandangan dari Bu Wulan dan bergerak ke kursi barisan belakang. Kulihat ekspresi teman-temanku yang kaget.
Bu Wulan yang galak kayak macan tiba-tiba berubah jinak?
< b >
Usai kelas, aku diminta tetap di ruangan. Mungkin ada hukuman atas 30 detik keterlambatanku. Aku berdoa semoga itu bukan sesuatu yang berat. Tugas ospek dan praktikum sudah cukup berat.
"Bintang, ya? Ambil kursi, duduk," Bu Wulan memberi instruksi. Nadanya jauh lebih tenang ketimbang waktu dia sedang mengajar.
Wajahnya terlihat lebih cerah dan menentramkan.
"Anda sepertinya terlihat familiar. Apa saya pernah bertemu anda sebelumnya?" Bu Wulan bertanya setelah aku mengambil kursi dan duduk di hadapannya.
Sekarang saat kupikirkan, aku merasa mengenal Bu Wulan. Seolah ia adalah seseorang yang dekat, tapi tak tahu kapan dan dimana.
"Maaf, Bu. Saya juga merasa pernah bertemu Ibu, tapi tidak ingat bertemu di mana," kujawab dengan jujur.
"Kamu asalnya dari mana?" Bu Wulan bertanya lagi. Nadanya semakin tenang.
"Sumbawa, Bu. NTB."
Bu Wulan menggeleng. "Aku tau ada keluargaku dari sana, tapi aku sendiri nggak pernah ke sana. Mungkin kita memang nggak pernah ketemu, ya?" Ia menghembus napas panjang.
Perubahan dari 'saya' menjadi 'aku' oleh Bu Wulan membuat kesannya menjadi sangat manja dan menghilangkan sekat yang ada sebelumnya.
“I… Iya, mungkin Bu…” jawabku sekenanya.
Rasa apa ini?
Mengapa Bu Wulan terasa begitu akrab?
Mengapa aku merasa begitu tertarik dengannya?
Kutatap matanya. Mata yang gelap, menghisapku ke dalamnya. Menenggelamkan dalam pesonanya. Dan aku rela...
Saat itu juga kulihat ada hal yang sama dalam mata Bu Wulan. Sebuah tatapan rindu.
Sebuah tatapan kasih sayang.
Tatapan yang menenggelamkanku dalam pesonanya.
Tatapan penuh perasaan... penuh... gairah...
Tenggelam dalam pesona masing-masing, wajah kami semakin mendekat. Hingga tak sadar, kami menutup mata dan bibir kami saling bersentuhan.
Bibirnya begitu empuk, lembut. Begitu hangat. Rasa yang begitu familier.
Sekejap, kecupan itu berubah menjadi ciuman yang bergairah. Tangan Bu Wulan meremas rambutku. Bibir kami mulai membuka dan saling memainkan satu sama lain. Lidah Bu Wulan juga ikut beraksi, membuat setiap kecupan kami menjadi sangat basah. Sementara tanganku kaku mengusap wajah Bu Wulan. Merasakan lembutnya kulit wajah itu.
Hingga suara office boy yang memutar kunci di kelas sebelah mengagetkan kami. Menyadarkan kami bahwa kami masih di kampus.
Kami melepas ciuman.
"Kamu ada acara nanti malam?" Bu Wulan bertanya cepat. Sepertinya nafsunya masih memburu.
Aku menggeleng. Tak bisa mengingat apa pun. Nafsuku pun masih mendahului proses berpikir.
"Ikut aku ke apartemen."
< b >
Ada perasaan aneh saat kami berada di lift menuju kamar Bu Wulan.
Otak warasku bertanya-tanya mengenai moral dan etis dalam kegiatan yang akan kulakukan.
Namun perasaanku begitu menggebu-gebu. Dadaku terasa panas dan detak jantungku terasa begitu keras seolah bisa terdengar Bu Wulan yang berdiri di sampingku.
Begitu kami masuk dan pintu apartemen tertutup, kami kembali berciuman. Masih bersepatu dan berbaju lengkap, tapi perasaan kami mendorong satu sama lain. Mulut Bu Wulan melumat habis bibirku dengan gelagapan. Tangan kami saling meraba punggung satu sama lain.
Tanpa melihat, kami terus berciuman dengan ganas menuju sofa. Di sana, Bu Wulan mendorongku ke sofa, membuka baju dan rok selututnya. Untuk kemudian dengan cepat kembali menyosor mulutku.
Tanganku diarahkan ke payudara dan vaginanya yang masing-masing masih terbungkus bh dan celana dalam. Satu tangan Bu Wulan mengelus penisku dari luar, sedang tangan yang lain mengusap putingku.
Kami berdua melenguh karena nikmatnya.
Bu Wulan seolah tak tahan, langsung menggesekkan vaginanya ke atas penisku. Bu Wulan masih memakai CD dan aku bahkan belum membuka celanaku.
Ia bergoyang dengan liar, berusaha menggesek sambil terus menciumku.
Tangan kananku mulai berpindah, mengelus perutnya yang terlihat terawat. Sedang tangan kiriku menyelip dari balik BH, memutir putingnya.
Setitik kesadaran dalam diriku bertanya-tanya.
Mengapa ini terasa familier?
Bentuk dan lekuk tubuhnya...
Helai rambut yang menggantung seksi di depan wajahnya...
Aroma tubuhnya...
Setiap kecup dan setiap tetes liur yang dengan rela kutampung...
Namun semua pikiran logis itu tenggelam saat aku merasakan sesuatu akan keluar. Bu Wulan terlihat sama. Napasnya semakin memburu. Kini ia merapatkan tubuhnya padaku. Menggesekkan vagina dan putingnya pada badanku sambil terus mengunci mulutnya dengan mulutku.
Ia terlihat begitu dilanda kenikmatan. Sedang aku pun sama nikmatnya. Setiap gesekannya pada ujung penisku (yang masih terbungkus) terasa nikmat tiada tara. Setiap pergerakan putingnya akan menggesek putingku dan memberikan setruman listrik, menambah kenikmatan itu.
Kami berpacu, bercumbu, saling bergesek. Ingin mendekap satu sama lain begitu hebatnya. Hingga akhirnya aku dan Bu Wulan bergetar hebat dalam selang waktu yang bersamaan. Membuat kami saling merangkul lebih ketat satu sama lain.
"Ohhhhhh!" lenguh Bu Wulan dan langsung mendekapku erat. Membenamkan mulutnya kembali dengan mulutku.
Spermaku meluncur deras tanpa halangan, membasahi celanaku.
Oh rasa nikmat ini?
Apakah ini surga?
Badanku ringan, seolah melayang di udara.
To be continued
JANGAN LUPA LIKES DAN COMMENT GANN
(TERUTAMA BUTUH FEEDBACK KALAU CERITANYA BIKIN CROTT, ATAU KENTANG, ATAU YANG LAIN)
Terakhir diubah: