Epilog : Seribu Bintang
Gue berayun-ayun di sebuah taman, memandang sebuah rumah yang selama enam bulan ini gue gak kunjungi. Iya rumah Risa, terakhir ya pas malam minggu itu. Masih keinget jelas di teras itu, tempat pertama kalinya dia ngecup bibir gue. Masih keinget jelas di teras itu saat dia nanya 'apa lo bakal kangen sama gue?', semua masih jelas berputar di pikiran gue saat ini.
Tapi gue gak tau dia ada di rumah atau sekarang udah tinggal sama suaminya. Gue sama sekali gak berani mengetuk pintu itu untuk sekedar tau apa Risa ada disana. Udah tiga hari setiap matahari senja mulai memudar, gue berayun-ayun disini, disebuah taman yang gak jauh dari rumah Risa.
"Kapan lo pulang?" sebuah suara terdengar dari samping gue.
"Seminggu yang lalu," Risa, duduk di ayunan sebelah gue dan ngikut berayun-ayun. Gak tau sejak kapan dia udah ada disitu. Gue pandangin wajahnya dan juga perut yang udah mulai membuncit. Bener dia hamil!
"Gue liat lo terus kok setiap ada disini sampe jam 10 malem," dia nundukin kepalanya, "tapi baru kali ini gue beraniin nemuin lo, laki gue masuk shift dua soalnya."
"Oh," udah berdengus lesu, serba canggung, "udah berapa bulan?"
"Tiga."
"Maaf gue gak bisa nepatin janji gue," bayangan itu kembali lagi, teras rumahnya seolah menampakan film antara kami berdua, "gue butuh duit buat ngelunasin utang. Gak enak juga kalo bayarnya nyicil dikit-dikit, dia juga punya kebutuhan, jadi mau gak mau begitu manajemen pabrik akhirnya nawarin lemburan, gue ikut aja."
"Utang?" Risa keliatan kaget, terus ngeliatin gue dengan kening berkerut, "jangan bilang buat bantu gue waktu itu?"
"Buat orang seperti gue, cuma ada dua cara buat dapetin uang sebanyak itu," ucap gue lirih, "pertama nyolong, kedua ngutang."
Risa langsung nutup mulut dengan jemari lentiknya. Air mata langsung berurai di wajahnya, dia nangis dengan bahu yang bergetar hebat. Berkali-kali Risa berusaha ngomong, tapi isak tangisnya semakin hebat, membuat dia kesulitan berkata-kata. Dia merentangkan tangannya, ngeraih pipi gue dan membelainya pelan.
"Maaf...." masih diselingi isak tangis yang hebat, dia coba mengatur nafasnya baru kembali melanjutkan, "gue.... gue terlalu dini memutuskan sesuatu."
"Maksud lo?"
"Bodoh....bodoh," Risa memukul-mukul pelan keningnya, "gue bener-bener kesel sama lo yang gak dateng-dateng, setiap minggu gue tungguin tapi sama sekali gak ada lo muncul. Gue tanya Randi, dia juga bilang kalo elo gak pernah pulang ke rumah."
"Ris?" gue makin bingung.
"Saat itu, gue benci sama lo, gue kecewa. Sampe gue bersumpah sama diri sendiri, siapapun yang nembak gue, bakal gue terima. Gak lama, ada cowok yang nembak gue. Rasa kecewa gue terlalu memuncak sampe gelap mata, akhirnya sampe kayak gini."
Dia ngeliat perutnya, "jadi selama ini lo berharap banget sama gue."
Risa berdiri, lalu jalan selangkah ke belakang gue. Saat itulah dia meluk gue dari belakang, kepalanya bersandar di bahu, membuat ayunan berhenti mengayun, "gue udah mulai percaya sama apa yang lo percayai. Dan sekarang gue ngerasa bodoh banget karna gak nunggu penjelasan dari lo dulu."
"Jadi-"
Risa mempererat pelukannya, "andai gue tau alesan elo gak dateng, mungkin kondisinya gak akan seperti ini."
"Gue juga bodoh Ris," gue tertunduk lemas, semua udah terjadi, "andai gue bisa ngabarin lo, atau seenggaknya dateng sekali aja buat ngejelasin semuanya."
"Gak Jun," dia berbisik, "semua udah diatur, sekarang gue baru sadar kalo gue bukan cewek baik-baik buat elo."
"Elo cewek baik Ris-"
"Enggak Jun," kembali gue denger suara isak tangisnya, "kalo gue cewek baik-baik, gak mungkin pacaran terus hamil kayak gini. Gue kotor, meki gue penuh sama lendir. Sebelumnya juga lo udah tau kalo gue ini perek Jun."
Nyesek, gue berdiri, saat berbalik bisa gue liat wajah Risa yang udah penuh sama air mata. "Lo tetep cewek baik di mata gue."
"Makasih," ucapnya sambil menyeka air mata, "tapi ini emang takdir yang terbaik buat elo Jun, cowok baik harus dapet cewek yang baik. Gue sama sekali gak pantes buat elo."
"Yang nentuin pantes apa enggaknya bukan elo, tapi ya buat apa juga sih pantes atau enggaknya, toh sekarang elo udah jadi bini orang," lirih gue ngomongnya, nyesek ngerasainnya. Gue sentuh perutnya yang buncit, terasa keras, "jaga diri lo baik-baik ya, sama si kecil ini."
"Maaf ya Jun," dia ngegenggam ke dua tangan gue lembut, tangannya terasa dingin.
"Sa, gue cuma pengen bilang," sejenak gue terdiam, "gue sa-"
Untuk kesekian kalinya, telunjuk Risa nempel di bibir gue saat kata-kata itu mau meluncur, "jangan ucapin itu Jun."
"Enggak boleh ya."
Dia meluk gue erat diiringi tangis yang berderai, "dari awal gue ngerti kalo elo adalah seorang Arjuna yang mencari cinta, sedangkan gue cuma seorang wanita yang gak pantes dicintai, walau berharap dengan sangat."
Saat ini gue udah gak bisa berkata-kata apapun lagi. Yang bisa gue lakuin cuma mandangin ribuan bintang di langit sambil menikmati tiap helaan nafasnya yang berhembus diantara dada gue dan juga dekapannya yang bergetar. Biar gue nikmati untuk terakhir kalinya, karna saat dia ngelepas pelukannya, sebuah keinginan meluncur dari bibir indahnya.
"Gue harap, kita gak akan bertemu lagi."
Another Epilog : Bidadari
'Dulu aku pernah memiliki cinta sejati, tapi aku melepasnya begitu saja dan membiarkannya pergi. Saat dia benar-benar terluka, aku hanya bisa diam. Jika aku diberi satu kesempatan lagi, akan aku katakan dua kata kepadanya 'aku mencintaimu'. Dan jika diberi batas waktu untuk mencintainya, aku harap itu selamanya.'
Gue tersenyum saat membaca halaman profil Friendster milik Risa. Entah itu buat gue atau siapa. Gue tutup halaman Friendster, terus ngelunjutin tugas bikin laporan PKL. Untunglah gue ada sohib yang punya warnet, jadi sambil bantu dia ngejaga warnetnya gue ngerjain tugas disini.
Risa? Gue yakin dia bakal bahagia nantinya, gue yakin cowok yang sekarang jadi suaminya sayang banget sama dia. Kalo gak sayang, gak mungkin dia mau tanggung jawab. Sedangkan gue, lagi berusaha sekuat hati buat ngelupain rasa perih ini. Mungkin gue bakal seharian di warnet, 2 jam ngerjain tugas terus sisanya buka situs bokep, hahahahaha.
Gue pulang pas mata udah kerasa pegel seharian natap layar monitor. Gue masihlah seorang Arjuna yang mencari cinta, mencari seseorang yang bakal ngisi lembar baru kisah masa remaja gue. Masih ada waktu satu tahun lebih untuk menulis ulang catatan manis masa sekolah.
Dan gue percaya itu semua, ketika ada seorang gadis menyapa. Mungkin gue terlalu gampang tertarik sama cewek, karna di sekolah cowok semua, atau mungkin gadis ini emang terlalu indah untuk dibiarkan begitu aja. Gue suka caranya memandang, gue suka lambaian rambut panjangnya yang menghitam menutupi setengah punggungnya, yang paling gue suka senyumnya yang menampakan kedua pipi yang bersemu seolah ada kupu-kupu yang nemplok di pipinya. Seperti sebuah persembahan dari surga, dia datang dengan suara sengaunya dan berucap......
"Kakak mau bantu adik-adik kita yang putus sekolah gak?"
Saat itulah sebuah lagu berdengung pelan di kuping gue.
Segala damai datang saat dia menjelang
Kurasakan lagi sejuk dipeluknya
Halus tutur kata yang selalu tercipta
Mengudang naluri untuk sandarkan letihku
Bidadari sambut aku
Bidadari peluk aku
~S.E.L.E.S.A.I~