Jabriq
Suka Semprot
- Daftar
- 13 Jul 2011
- Post
- 19
- Like diterima
- 9
"Cinta tidak harus memiliki..."
Kata-kata klise yang selalu menjadi alasan pembenaran sikapmu. Semudah kau datang semudah itu kau pergi dan persetan dengan semua kenangan, persetan dengan segala apa yang pernah terjadi dan kita rajut berdua. Akh Rani, andai kau mau mengerti atau apa aku yang tak bisa mengerti?
"Val... jangan terlampau mendramatisir suasana, jangan siksa aku dengan sikapmu, jangan kurung aku dengan cintamu..."
Rani, lantas bagaimana harus aku bersikap? membiarkan kau pergi? dan menunggumu bila kau telah lelah?
Bogor, Desember 2007
"Rani... atas nama cinta... atas segala apa yang pernah kita jalani... jadilah istriku!"
Rani terdiam mendengar permintaanku, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa Ran?" Aku tanya
Rani terdiam, menghentikan tertawanya, menatapku tegas. "Cinta tidak harus memiliki.. Val.." katanya pelan.
Tapi bagiku ibarat geledek. "Lantas? apa arti semua ini?" tanyaku sambil bangkit dari tidurku. Rani bergerak dari posisi tidurnya, memakai celana dalamnya, dengan santainya ia berdiri, berjalan ke depan cermin dan menyisir rambutnya.
"Sudah jam empat sore Val, aku harus pulang," katanya sambil mengenakan celana dan bajunya. "Nggak usah ngantar deh... Rani pulang sendiri ya..."
Aku masih termangu menatapnya.
"Hai..." Rani mencium keningku. "Jangan bengong gitu dong.. jelek akh.. tuh.. pakai bajunya...!".
"Aku antar kamu pulang!" kataku tegas. Rani menatapku, bola matanya tajam menatap.
"Kita harus bicara Ran, aku nggak bisa terus-terusan begini..." ujarku.
"Oke... oke, kalau kamu nggak bisa, bukan berarti aku harus kau paksa Val," suaranya meninggi.
"Hai, kenapa kamu emosi sih?" tanyaku sambil memegang pipinya. Rani menepis tanganku. "Aku sayang kamu Val, aku cinta kamu, tapi aku nggak suka cara kamu memaksaku..." Rani berlari menghempaskan pintu kamar kostku.
"Ran.. tunggu...!" Sia-sia teriakanku, tidak mungkin aku mengejarnya. Apa kata orang satu kost, ketahuan deh berantemnya. Akh wanita, makhluk yang tidak pernah bisa kumengerti.
Bogor, Februari 2005
Rani menghampiriku dengan wajah berlipat di kantin kampusku. "Hai Val.." sapanya sambil duduk di sampingku, "Bagi satunya?" Rani mengambil rokokku yang terletak di meja, aku mengangguk. "Dari mana Ran?" tanyaku sambil merapikan diktatku di meja. "Cari Rio..." jawabnya sambil menarik nafas dan menghembuskan asap rokoknya. "Kelihatannya BT amat sih?" tanyaku, "Ada masalah lagi ya?"
Rani mempermainkan rokok di tangannya. "Tau akh..." jawabnya.
Aku jadi malas melanjutkan pertanyaanku, aku sudah kenal Rani lama sejak masih tingkat satu. Aku hafal sifatnya, kalau ditanya terus bisa pecah perang dunia ketiga deh, bisa-bisa aku yang jadi korban, nanti juga pasti dia cerita sendiri. Lama kami saling membisu, aku pura-pura menyibukkan diri dengan meneruskan catatan kecilku untuk bahan skripsi. "Kapan maju sidang Val?" tanya rani memecah kebisuan.
"Mudah-mudahan sih bulan depan, kamu?" tanyaku
"Aku tinggal perbaikan dikit terus bisa maju, semestinya minggu ini juga udah kelar, tapi aku lagi BT. Hmm.. Val kamu masih lama di sini?"
"Nggak juga, tadi aku mau pulang. Oh, aku ke kost kamu ya..."
Aku mengangguk, pasti mau "curhat" lagi deh ini anak.
"Val... Rio ninggalin aku..."
Aku terkejut.
"Val.. kamu dengar enggak sih?"
Aku mengecilkan volume tape-ku dan menghampirinya.
"Kamu serius?"
Rani mengangguk.
"Kenapa Ran?"
Aku masih dilanda keterkejutan yang dalam.
"Rio menghamilin Santi!"
Rani memelukku. Aku mengelus rambutnya, sementara pikiranku menerawang jauh.
"Bajingan!!" umpatku.
Aku mulai akrab dengan Rani sejak awal masa ospek kami di kampusku. Terus terang, keakraban itu sempat membuatku menaruh harap padanya. Semakin hari kami semakin akrab saja, dari mulai belajar bersama, jalan bersama, bahkan sering Rani tidur di kamarku tentu saja kalau dia tidur aku mengungsi ke kamar sebelah. Semua anak-anak menyangka kami pacaran. Dan kalau aku bilang omongan anak-anak ke Rani, Rani hanya tertawa sampai ngakak. Siapa yang tidak ingin jadi pacarnya? Wajah yang menarik, kulit putih bersih, bodi yang menawan, yah semakin lengkap ia menjadi wanita dengan sikapnya yang sangat manja tapi kadangkala sangat tegas. Perhatiannya padaku dan kepintarannya membuatku semakin menaruh harapanku. Dan harapanku kandas, ketika suatu saat disaat aku dengan keberanian yang telah kukumpulkan selama kurang lebih seminggu dan dengan kalimat yang telah tersusun di otakku, aku menghampiri Rani yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan kampus.
"Hai..."
Aku mengacak rambutnya, Rani menoleh, tersenyum manis.
"Tumben ke perpus," ujarnya.
"Ran, aku mau bicara."
Aku duduk di sampingnya.
"Bicaralah!" ujarnya sambil menatapku.
"Nggak enak akh disini, kita ke kantin yuk!" ajakku.
Rani menarik tanganku.
"Yuk, aku juga udah boring nih disini."
Aku menatapnya sambil menghirup juice jeruk pesananku.
"Mau ngomong apa sih Val..?"
"Eng.. eng.. gini Ran..." Sialan kenapa aku jadi gugup, batinku. Lama aku diam, mempermainkan rokok di jariku.
"Kok lama banget sih? ada apa sih Val... emang serius banget ya Val?" Rani heran melihat kelakuanku.
"Eeh.. kamu ada acara nggak hari ini?" tanyaku mencoba menetralisir suasana.
Rani mengangguk.
"Acara apa?" tanyaku.
"Rio ngajakku nonton."
"Rio?"
"Iya, kenapa Val?"
"Kamu jadian sama dia?"
Rani mengangguk.
"Kapan?" suaraku melemah.
"Baru sih Val, rencananya aku mau ngomong ama kamu... tapi aku lihat kamu minggu ini sibuk banget, waktu aku samperin kamu-nya malah menghindar."
Oh Rani tahukah kau, aku menghindar karena aku mulai mencintaimu, setiap berdekatan aku semakin tak bisa memendam keinginanku untuk mencintaimu, tapi aku selalu bingung memulainya.
"Ini kencan pertama kami," Rani melanjutkan kata-katanya.
"Val.. kamu nggak papa khan?" Rani terkejut melihat wajahku yang pucat pasi.
"Nggak.. enggak.. selamat deh."
Aku berdiri, berjalan meninggalkan Rani yang sepertinya menatapku heran.
Every night I pray
When you come back to me
But tears keep falling down my face
When you are not around...
(Lanjut ke bawah)
Kata-kata klise yang selalu menjadi alasan pembenaran sikapmu. Semudah kau datang semudah itu kau pergi dan persetan dengan semua kenangan, persetan dengan segala apa yang pernah terjadi dan kita rajut berdua. Akh Rani, andai kau mau mengerti atau apa aku yang tak bisa mengerti?
"Val... jangan terlampau mendramatisir suasana, jangan siksa aku dengan sikapmu, jangan kurung aku dengan cintamu..."
Rani, lantas bagaimana harus aku bersikap? membiarkan kau pergi? dan menunggumu bila kau telah lelah?
Bogor, Desember 2007
"Rani... atas nama cinta... atas segala apa yang pernah kita jalani... jadilah istriku!"
Rani terdiam mendengar permintaanku, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa Ran?" Aku tanya
Rani terdiam, menghentikan tertawanya, menatapku tegas. "Cinta tidak harus memiliki.. Val.." katanya pelan.
Tapi bagiku ibarat geledek. "Lantas? apa arti semua ini?" tanyaku sambil bangkit dari tidurku. Rani bergerak dari posisi tidurnya, memakai celana dalamnya, dengan santainya ia berdiri, berjalan ke depan cermin dan menyisir rambutnya.
"Sudah jam empat sore Val, aku harus pulang," katanya sambil mengenakan celana dan bajunya. "Nggak usah ngantar deh... Rani pulang sendiri ya..."
Aku masih termangu menatapnya.
"Hai..." Rani mencium keningku. "Jangan bengong gitu dong.. jelek akh.. tuh.. pakai bajunya...!".
"Aku antar kamu pulang!" kataku tegas. Rani menatapku, bola matanya tajam menatap.
"Kita harus bicara Ran, aku nggak bisa terus-terusan begini..." ujarku.
"Oke... oke, kalau kamu nggak bisa, bukan berarti aku harus kau paksa Val," suaranya meninggi.
"Hai, kenapa kamu emosi sih?" tanyaku sambil memegang pipinya. Rani menepis tanganku. "Aku sayang kamu Val, aku cinta kamu, tapi aku nggak suka cara kamu memaksaku..." Rani berlari menghempaskan pintu kamar kostku.
"Ran.. tunggu...!" Sia-sia teriakanku, tidak mungkin aku mengejarnya. Apa kata orang satu kost, ketahuan deh berantemnya. Akh wanita, makhluk yang tidak pernah bisa kumengerti.
Bogor, Februari 2005
Rani menghampiriku dengan wajah berlipat di kantin kampusku. "Hai Val.." sapanya sambil duduk di sampingku, "Bagi satunya?" Rani mengambil rokokku yang terletak di meja, aku mengangguk. "Dari mana Ran?" tanyaku sambil merapikan diktatku di meja. "Cari Rio..." jawabnya sambil menarik nafas dan menghembuskan asap rokoknya. "Kelihatannya BT amat sih?" tanyaku, "Ada masalah lagi ya?"
Rani mempermainkan rokok di tangannya. "Tau akh..." jawabnya.
Aku jadi malas melanjutkan pertanyaanku, aku sudah kenal Rani lama sejak masih tingkat satu. Aku hafal sifatnya, kalau ditanya terus bisa pecah perang dunia ketiga deh, bisa-bisa aku yang jadi korban, nanti juga pasti dia cerita sendiri. Lama kami saling membisu, aku pura-pura menyibukkan diri dengan meneruskan catatan kecilku untuk bahan skripsi. "Kapan maju sidang Val?" tanya rani memecah kebisuan.
"Mudah-mudahan sih bulan depan, kamu?" tanyaku
"Aku tinggal perbaikan dikit terus bisa maju, semestinya minggu ini juga udah kelar, tapi aku lagi BT. Hmm.. Val kamu masih lama di sini?"
"Nggak juga, tadi aku mau pulang. Oh, aku ke kost kamu ya..."
Aku mengangguk, pasti mau "curhat" lagi deh ini anak.
"Val... Rio ninggalin aku..."
Aku terkejut.
"Val.. kamu dengar enggak sih?"
Aku mengecilkan volume tape-ku dan menghampirinya.
"Kamu serius?"
Rani mengangguk.
"Kenapa Ran?"
Aku masih dilanda keterkejutan yang dalam.
"Rio menghamilin Santi!"
Rani memelukku. Aku mengelus rambutnya, sementara pikiranku menerawang jauh.
"Bajingan!!" umpatku.
Aku mulai akrab dengan Rani sejak awal masa ospek kami di kampusku. Terus terang, keakraban itu sempat membuatku menaruh harap padanya. Semakin hari kami semakin akrab saja, dari mulai belajar bersama, jalan bersama, bahkan sering Rani tidur di kamarku tentu saja kalau dia tidur aku mengungsi ke kamar sebelah. Semua anak-anak menyangka kami pacaran. Dan kalau aku bilang omongan anak-anak ke Rani, Rani hanya tertawa sampai ngakak. Siapa yang tidak ingin jadi pacarnya? Wajah yang menarik, kulit putih bersih, bodi yang menawan, yah semakin lengkap ia menjadi wanita dengan sikapnya yang sangat manja tapi kadangkala sangat tegas. Perhatiannya padaku dan kepintarannya membuatku semakin menaruh harapanku. Dan harapanku kandas, ketika suatu saat disaat aku dengan keberanian yang telah kukumpulkan selama kurang lebih seminggu dan dengan kalimat yang telah tersusun di otakku, aku menghampiri Rani yang sedang asyik membaca buku di perpustakaan kampus.
"Hai..."
Aku mengacak rambutnya, Rani menoleh, tersenyum manis.
"Tumben ke perpus," ujarnya.
"Ran, aku mau bicara."
Aku duduk di sampingnya.
"Bicaralah!" ujarnya sambil menatapku.
"Nggak enak akh disini, kita ke kantin yuk!" ajakku.
Rani menarik tanganku.
"Yuk, aku juga udah boring nih disini."
Aku menatapnya sambil menghirup juice jeruk pesananku.
"Mau ngomong apa sih Val..?"
"Eng.. eng.. gini Ran..." Sialan kenapa aku jadi gugup, batinku. Lama aku diam, mempermainkan rokok di jariku.
"Kok lama banget sih? ada apa sih Val... emang serius banget ya Val?" Rani heran melihat kelakuanku.
"Eeh.. kamu ada acara nggak hari ini?" tanyaku mencoba menetralisir suasana.
Rani mengangguk.
"Acara apa?" tanyaku.
"Rio ngajakku nonton."
"Rio?"
"Iya, kenapa Val?"
"Kamu jadian sama dia?"
Rani mengangguk.
"Kapan?" suaraku melemah.
"Baru sih Val, rencananya aku mau ngomong ama kamu... tapi aku lihat kamu minggu ini sibuk banget, waktu aku samperin kamu-nya malah menghindar."
Oh Rani tahukah kau, aku menghindar karena aku mulai mencintaimu, setiap berdekatan aku semakin tak bisa memendam keinginanku untuk mencintaimu, tapi aku selalu bingung memulainya.
"Ini kencan pertama kami," Rani melanjutkan kata-katanya.
"Val.. kamu nggak papa khan?" Rani terkejut melihat wajahku yang pucat pasi.
"Nggak.. enggak.. selamat deh."
Aku berdiri, berjalan meninggalkan Rani yang sepertinya menatapku heran.
Every night I pray
When you come back to me
But tears keep falling down my face
When you are not around...
(Lanjut ke bawah)