Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 17

Gerakan pinggul Eveline semakin cepat ditingkah nafasnya yang menderu kencang. Sang Pria berteriak, diwaktu yang hampir bersamaan ia mencapai puncak, semburat cairan kembali pecah dalam vaginanya.
Eveline berteriak mencapai orgasmenya, sang Pria pun diwaktu yang bersamaan mengeluh panjang.
"Aaaaaarrrggghhhh ... Commiiingng ...."
Tubuh Eveline mengejang sesaat, kemudian lunglai di pangkuan sang Pria. Beberapa detik, Eveline merebahkan tubuhnya diatas kasur, dengan sang pria terduduk lemas di sampingnya.
Eveline mengatur nafas sesaat seraya memejamkan mata. Hanya perlu waktu sebentar saja saat ia tersadar masih tersisa satu pria yang belum melayaninya. Eveline melirik Pria yang masih berdiri dengan penis terhunus. Melihat pemandangan sexy didepannya membuat Pria tersebut semakin bergairah. Ia berharap bisa menikmati juga tubuh Eveline dengan segala kenikmatannya, namun melihat Eveline yang tergeletak pasrah, sebersit ragu menyelinap di hatinya.
"Don't think about it Baby ..." ujar Eveline tersenyum, seperti dapat membaca apa yang tersirat di benak pria tersebut. "Giliranmu sekarang"
Eveline bangkit, menarik pria di samping tempat tidurnya dan merebahkannya terlentang di kasur, mencium bibirnya dengan nafsu selama beberapa saat. Lima pria yang telah terpuaskan menatap adegan ranjang dihadapan mereka dengan tatapan kagum pada stamina Eveline yang dapat pulih seperti biasa dalam waktu singkat.
Eveline membuka pahanya lebar lebar, melangkah menyodorkan vaginanya kepada mulut pria dibawahnya, mencengkram rambut sang pria dan menggoyangkan pinggulnya maju mundur menggesekkan vaginanya pada lidah sang pria yang telah terjulur menyambutnya. Tangan Sang Pria mencengkram pinggul Eveline yang bergerak lincah diatas kepalanya.
"Suck it!! Hard!! " teriak Eveline, cengkraman tangannya pada rambut sang pria membantu menggerak gerakan kepala sang pria, mengontrol gerakan sesuai yang Eveline ingini. "Uuuhhhhhh ... yeeaaahhh .... go on Baby ... mmmhhhh ... good Booyy " gumam Eveline. Ia terlihat sangat menikmati posisi ini, merasakan isapan mulut pria itu pada klitorisnya. Eveline meracau, memejamkan matanya, lidahnya menjulur, menjilat bibirnya sendiri seraya terus bergoyang. Ekspresi kenikmatan pada wajahnya terlihat nyata, sangat sensual, membuat semua pria yang ada di sekelilingnya terpana.
Eveline membalik badannya tiba tiba, dengan Vagina masih pada mulut sang pria, namun kini mulutnya melahap penis tegak milik sang pria tersebut.
"Ooohhhh ...." lenguh pria tersebut seiring hisapan pertama mulut Eveline pada penisnya. Eveline menjilat nakal ujung penis sang Pria, menggigitnya kecil, menjilat batang penis Pria tersebut perlahan, turun ke arah bawah, mengulum lembut dua bola yang bergantung, menjilat menelusuri lipatan batas anus dan kembali mengulangi nya di tempat yang sama. Gerakan dan permainan Oral yang membuat sang Pria menggelinjang hebat, bagian dalam pahanya mengeras, menahan sekuat tenaga puncak birahi yang nyaris pecah diujung penisnya.
"Aahh ... Babyyy ..." erang pria itu sekuat tenaga, melupakan vagina Eveline dihadapannya yang seharusnya ia layani. Belum pernah ia merasakan sensasi oral sex se dahsyat ini. Eveline sangat mahir melakukannya. Lidahnya menggelitik, hisapannya memijat lembut, pangkal kerongkongannya terasa hangat dan menjepit saat sesekali Eveline memasukkan penis lebih dalam ke kerongkongannya.
"Mmmhh ... mmmhhh ..." Eveline menggumam, getarannya bagai vibrasi yang ikut menambah rangsangan pada penis sang Pria.
Hanya beberapa menit berlalu, Pria tersebut tidak lagi dapat menahan nafsunya. Seluruh tubuhnya menegang, menyerah pasrah saat Eveline mengocok cepat penisnya, mendorong keluar masuk penis dari mulutnya. Semakin lama semakin cepat dan kuat, Pria itu mencengkram kuat pinggul Eveline dan berteriak keras
"Aaaararrggghhhhh ....!!!" Mulut Eveline sekali lagi penuh dengan cairan sperma. Ia melepasnya, melap bibirnya dari cairan sperma yang tumpah dengan punggung tangannya, mengerling nakal menatap semua pria dihadapannya
"Sudah semua ...?" tanyanya terengah sambil menyeringai, "Bagus .... tidak ada yang terlewat ...."



"Sel Cancernya tidak berhenti berkembang. Melambat, tapi terus muncul ..." Dokter Hari mengulurkan hasil pemeriksaan laboratorium Alex kepada Ana. "Anda tentu tahu apa artinya dokter Ana .."
Ana membuka Map File dihadapannya perlahan. Membaca isinya dengan hati hati. Ia tahu pasti apa yang tengah terjadi pada Alex, suami yang sangat di cintainya itu.
"Sudah 6 paket Kemoterapi yang diberikan kepada Pak Alex .. tidak mungkin dilanjutkan karena akan berakibat buruk kepada kesehatannya" lanjut dokter Hari. "Transplantasi sumsum tulang belakang adalah pilihan yang sangat memungkinkan saat ini. Selagi kondisi Pak Alex masih prima, sebaiknya dokter Ana mencari donor sumsum bagi Pak Alex,"
Ana menunduk. Mencari donor bukanlah hal yang mudah. Kecocokan adalah faktor utama keberhasilan terapi ini. Ana harus mencari keluarga terdekat Alex yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakangnya bagi Alex. Pendonor juga harus dalam keadaan sehat dan memiliki kondisi tubuh yang kuat. Persiapan untuk terapi ini memang sangat rumit. Ana harus segera menemukan donor yang tepat bagi Alex, sebelum kondisi Alex memburuk karena terlalu lama menunggu. Setelah paket Kemoterapi selesai, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan kecuali melakukan donor secepat mungkin.
"Mulailah dari keluarga sedarah Pak Alex, dokter Ana .." saran dokter Hari. "Orang tua, ataupun adik dan kakaknya yang memiliki kondisi kesehatan lebih baik dari yang lain."
"Alex sudah tidak memiliki ibu, Dok .. ibunya sudah lama meninggal" ujar Ana pelan, "Hanya Ayah .. tapi .. kondisi beliaupun tidak memungkinkan untuk menjadi pendonor sumsum."
"Ya .. saya mengerti " dokter Hari mengangguk pelan, mengetahui bahwa Ayah Alex yang sudah lanjut usia hanya memiliki satu buah ginjal hasil donor beberapa tahun yang lalu. Dokter Hari bahkan terlibat langsung pada persiapan operasinya saat itu. "Bagaimana dengan saudara kandungnya? Apakah ada yang memenuhi syarat sebagai pendonor menurut anda?"
Ana tercenung. Haruskah ia meminta Ratih menjadi pendonor bagi Alex? Ratih adalah satu satunya saudara yang memiliki hubungan darah dengan Alex. Tapi Ana mengerti, jalan untuk mewujudkannya pasti tidak akan mudah, mengingat apa yang terjadi pada keluarga mereka. Membuka rahasia keberadaan Ratih pada Alex, berdamai dengan Ratih yang kini jelas jelas menentangnya, dan berhubungan kembali dengan Dewo yang sebentar lagi akan menjadi suami Ratih. Semua hal berat itu harus dilalui Ana untuk bisa menyelamatkan hidup Alex.
"Saya akan mencoba mempersiapkan donornya dok .." bisik Ana pelan, menyerahkan kembali File kepada dokter Hari. "Seandainya saja anak yang saya kandung ini sudah lahir ..."
Ana mengusap pelan perutnya yang mulai membuncit. Dokter Hari mengangguk setuju.
"Ya .. anak kandung memiliki kemungkinan kecocokan terbesar sebagai pendonor. Itu juga yang dilakukan Pak Alex kepada Pak Wiwaha, bukan?"
Ana tersenyum mengangguk. Ia berdiri, menjabat tangan dokter Hari dan segera meninggalkan ruangan. Baru saja ia menutup pintu, terdengar dering telepon berbunyi dari dalam tas nya. Ana meraih HP nya. Suara Pak Wi lemah terdengar diujung sana.
"Papi ...?" ujar Ana dengan nada kuatir. "Ada apa Pi?"
"Ana .. bisakah kamu menemui Papi di Kantor Polisi sekarang?" tanya Pak Wi.
"Kantor .. Polisi?" tanya Ana terkejut. "Kenapa? Ada apa Pi ..?"
"Akan Papi jelaskan semuanya setelah kamu disini nanti " ujar Pak Wi lagi. "Jangan bawa Alex. Dia tidak boleh tahu Papi ada disini ya ... Papi kuatir terjadi sesuatu pada kesehatannya."
Ana menutup teleponnya. Pikiran buruk berkecamuk dibenak Ana.


"Kasus ini sudah lama selesai .. kenapa bisa dibuka kembali?" tanya Ana kepada pengacara Pak Wiwaha, di ruang besuk tahanan kepolisian tempat Pak Wiwaha berada.
"Ya .. " Sandra, pengacara muda yang diminta oleh Pak Wiwaha mendampinginya mencoba menganalisa. "Ada tuntutan baru dari .. korban .. maksud saya keluarga korban .. mereka mengajukan bukti bukti baru yang menempatkan Pak Wiwaha sebagai pelaku pembunuhan terhadap bapak Seno beberapa tahun yang lalu"
Ana terpaku. "Siapa ...?" tanya Ana dengan suara bergetar, "Siapa yang mengajukan tuntutan?"
"Atas nama isteri Bapak Seno, ibu Aryati .. melalui kantor pengacara .. ehm .. Eveline Hartanto" ujar Sandra lagi.
Ana memandang Pak Wiwaha yang terlihat lesu duduk dihadapannya. Matanya berkaca kaca. Ibunya telah kembali mengibarkan bendera perang, setelah Ratih yang beberapa minggu lalupun menunjukkan sikap yang tidak bersahabat kepadanya.
"Ada apa ini sebetulnya ...." gumam Ana tanpa sadar. Pak Wi menggenggam tangan Ana. Tangan keriput dari seorang laki laki tua renta yang mulai kehilangan percaya dirinya dibalik baju tahanan polisi.
"Maafkan ibu, Pi ..." bisik Ana menggenggam kembali tangan Pak Wiwaha. Pak Wiwaha tersenyum.
"Aku bisa melihat semuanya Ana ..." ujar Pak Wi dengan suara bergetar. "Eveline dibalik semua ini. Ia sendiri yang mengatakannya padaku ..."
Ana terhenyak. "Maksud Papi ...? Eveline yang membujuk ibu untuk membuka kembali semua ini?" tanya Ana tak percaya "Tapi .. kenapa?"
"Eveline merasa aku telah mengkhianati janjiku kepada Ayahnya, dengan memilihmu sebagai isteri Alex" ujar Pak Wi. "Ia sangat menginginkan Alex menjadi suaminya. Ia telah menyusun semua rencana kedepan untuk kesuksesannya bersama Alex. Namun semua kandas saat aku lebih memilihmu .."
Ana menatap Pak Wiwaha dengan pandangan bingung.
"Tapi Alex sakit ... apakah ia tidak memikirkannya ...?" tanya Ana. Pak Wiwaha menggeleng.
"Aku tidak membunuh Ayahmu, Ana ..." ujar Pak Wiwaha lesu "Percayalah padaku ..."
"Aku percaya, Pi ..." bisik Ana terharu. "Papi harus sabar dan kuat .. aku dan Sandra akan berusaha sebaik mungkin untuk mengeluarkan Papi dari sini .."
Pak Wiwaha mengangguk, "Satu hal yang Papi syukuri" ujar Pak Wi dengan mata berkaca kaca, "Adalah memilihmu sebagai isteri Alex .. dan bukan Eveline .."
Ana menunduk. Dadanya terasa semakin sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Ia tahu bebannya akan semakin bertambah.
Beban semakin berat, tapi Ana.akan kick balik... begitu kan suhu
 
Bagian 18

Ana memandang Alex yang tengah tertidur lelap di hadapannya. Berat badan Alex menurun dengan cepat. Kemoterapi yang telah dilakukan padanya membuat ia kehilangan nafsu makannya, karena rasa mual pada perut yang sering dirasakannya. Kulit Alex kering, sedikit menghitam. Alex mencukur habis rambutnya karena kerontokan parah yang ia alami. Semua adalah efek samping negatif dari upaya untuk menghilangkan sel kanker dari tubuhnya. Ana sangat kagum akan kesabaran dan semangat Alex untuk sembuh.
"Aku ingin melihat anak kita tumbuh besar An .." ujar Alex suatu hari setelah kemoterapinya yang terakhir. "Aku ingin dia melihat Ayahnya, walau hanya sesaat "
"Tidak .. tidak hanya sesaat" ujar Ana menahan perih di hatinya. "Ia akan dibesarkan oleh kamu .. Ayah yang hebat .. pejuang tangguh .. kita akan memenangkan pertarungan ini bersama sama"
Ana membetulkan letak selimut Alex, menariknya hingga menutupi pundak Alex yang tidur meringkuk. Ana menghela nafas. Ia tidak tahu apa yang harus disampaikannya pada Alex mengenai Ratih dan Pak Wiwaha. Kondisi Alex memang cenderung stabil. Dibalik tubuhnya yang melemah, Kesehatan Alex tidak memburuk, walaupun tidak juga membaik. Namun Ana tidak yakin apakah Alex bisa menghindari stress yang mungkin diterimanya dari berita berita buruk yang akan Ana sampaikan.
Sebutir air mata jatuh di pipinya. Ana merasa sedikit putus asa menghadapi semua kejadian yang bertubi menimpanya. Ia sama sekali tidak keberatan mendampingi Alex. Ia menjaga Alex dengan sangat baik. Namun deraan masalah dari semua pihak disekelilingnya membuat Ana goyah. Ana mengelus perutnya. Kondisi kehamilannya pun tidak baik. Alex tidak pernah tau itu karena Ana dengan rapat menyembunyikannya. Ia tidak ingin membebani pikiran Alex dengan masalah baru.

"Tidak bisa seperti ini Ana .. kamu harus banyak istirahat .. hindari stress. Tekanan Darahmu sangat tinggi. Aku kuatir bila terus seperti ini, kamu akan mengalami eklampsia." Ana mengingat ucapan Rika, sahabat seprofesinya, dokter spesialis kebidanan yang ia percayakan untuk memeriksa kondisi kehamilannya. "Sangat berbahaya untuk keselamatanmu .."
"Tapi bagaimana kondisi anakku ...?" tanya Ana saat itu.
"Anakmu baik baik saja .. sangat sehat, sesuai perkembangan janin usia 4 bulan" jelas Rika, "Aku memgkuatirkan kondisimu, Ana .."
Ana tersenyum getir. Dengan kondisi Alex , Ana tidak bisa berharap banyak menyediakan waktu baginya sendiri untuk banyak beristirahat.

Alex bergerak, merubah posisi tidurnya kini menghadap Ana. Ana segera menyapu air mata di pipinya. Ia kuatir Alex melihat tangisnya. Saat ini Alex sangat membutuhkan dukungan seorang isteri yang kuat. Tangis Ana hanya akan meruntuhkan kondisi kejiwaan Alex.
Alex membuka matanya perlahan, melihat Ana yang tersenyum menatapnya.
"Halo sayang .." sapa Ana, "Kamu tidur nyenyak sekali .. aku .. tidak berani membangunkan .."
"Waktunya minum obat?" tanya Alex menyeringai. Ia bangkit, duduk bersandar pada tepi tempat tidur. Ana menyodorkan beberapa butir pil dan tablet yang harus diminum Alex, beserta segelas air putih.
Alex menelan satu persatu obat yang disodorkan Ana.
"Aku belum bercerita kepadamu, An .." ujar Alex, menyambut sepiring buah segar dari tangan Ana. Ana selalu memberikan buah setelah jadwal minum obat Alex, untuk membantunya menghilangkan rasa mual. "Eveline meneleponku siang tadi .. ia ingin bertemu."
Ana terperanjat. Ia menatap Alex seraya membelalakan matanya. Alex memperhatikan perubahan raut wajah Ana yang seketika berubah pucat.
"Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Alex sambil tertawa. Ia meletakkan piring buahnya di pangkuannya dan menggenggam tangan Ana erat. "Tidak perlu, An .. aku sudah membuang jauh jauh dia dari hatiku ... Saat ini, kamulah cinta satu satunya di hatiku ..."
Ana segera menata hatinya, tersenyum dan merebahkan kepalanya di pundak Alex. Bukan itu yang ada dipikirannya saat ini. Tapi lebih kepada alasan mengapa Eveline tiba tiba menghubungi Alex.
"Kira kira ..." bisik Ana mencoba bertanya "Ada apa .. Eveline menghubungimu?"
"Tidak tahu .." ujar Alex tenang, menyuap satu persatu buah dari piring di pangkuannya "Ia hanya membuat janji untuk bertemu di kantorku besok siang."
Ana bangkit, kembali menatap Alex dalam dalam.
"Bagaimana kalau ... ia menggodaku untuk ..." Alex menggoda Ana, tidak memperhatikan kecemasan pada wajah Ana.
"Alex.." ujar Ana sambil mencubit manja lengan Alex. "Masih saja kamu pikirkan itu ..."
Alex tertawa, mengingat betapa Eveline pernah sangat tergila gila pada permainan Sex yang diberikannya. Namun ia sepenuhnya menyadari, kondisinya sekarang sangat jauh berbeda dengan saat ia dan Eveline masih bersama.
"Aku .. hanya ..." Ana mencoba menjelaskan, memilih kata kata yang tepat namun tidak ditemukannya. "Berjanjilah menceritakan semuanya padaku setelah pertemuan kalian .."
"Jangan kuatir, akan aku ceritakan setiap detail gerakan kami" ujar Alex sambil tersenyum nakal menggoda Ana.
"Alex .. seriuslah sedikit " ujar Ana merajuk. "Bukan itu maksudku .."
"Ya sayang .. aku mengerti" ujar Alex tertawa meraih Ana kedalam pelukannya. "Aku akan ceritakan semuanya. Kejujuran itu sangat penting dalam suatu rumah tangga. Tidak boleh ada satu rahasiapun yang kita sembunyikan demi keutuhan rumah tangga kita .. bukan begitu, An?"
Jantung Ana berdebar keras dalam pelukan Alex. Alex tidak tahu saat ini justru ia menyembunyikan suatu rahasia besar darinya.


Ana melihat sekeliling. Ia berada dirumah yang sangat dirindukannya. Berpuluh tahun ia habiskan di rumah yang sangat nyaman ini bersama Ayah, ibu dan adiknya. Dari teras tempatnya duduk saat ini, keadaan rumah tidak berbeda. Masih terasa nyaman dan asri, kecuali sikap para penghuninya yang kini membangun pagar berduri untuk memghalanginya masuk kembali ke kehidupan mereka. Ana terpaksa melanggar larangan ibunya untuk kembali kerumah ini, untuk membicarakan suatu hal penting dengan ibunya dan Ratih.
"Ibu ..." sapa Ana terharu saat melihat Bu Seno muncul dihadapannya bersama Ratih adiknya. Ana mendekat, mencium punggung tangan ibunya cukup lama, meneteskan air mata kerinduan pada seorang wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya.
"Duduklah ..." ujar Bu Seno menarik tangannya dari genggaman Ana. Ana menunduk, kembali ke kursi yang ia tempati sebelumnya "Katakan apa maksud kedatanganmu, agar secepatnya kamu bisa pergi dari rumah ini "
Ana terdiam menatap Bu Seno.
"Pilihanmu sudah jelas .. memilih laki laki itu dibandingkan tinggal dirumah ini bersama ibu dan adikmu" lanjut Bu Seno lagi. "Bukan ibu yang mengusirmu. Tapi kamu memilih pergi"

"Maafkan aku Bu ..." ujar Ana. Sesaat ia ingin kembali menjelaskan apa yang telah terjadi, namun urung dilakukannya. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Saat ini Ana hanya mengharapkan kebaikan hati ibu dan adiknya untuk kepentingan Ayah mertua dan suaminya.
"Kenapa ibu menuntut Pak Wiwaha lagi ..." ujar Ana pelan. "Bu .. bukankah sudah terbukti bahwa Papi tidak salah .. bukan Papi yang menyebabkan kecelakaan itu .."
"Tidak !! Dia pembunuh. Dan pembunuh harus mempertanggungjawabkan perbuatannya" ujar Bu Seno tajam. "Dulu dia lolos dari jerat hukum hanya karena uang. Tapi pada kenyataannya dia yang menyebabkan semua kesengsaraan dalam hidup ibu!!"
"Pak Wiwaha sudah tua Bu .. kalaupun ia bersalah .. ia sudah menerima hukumannya sendiri" ujar Ana mencoba membujuk ibunya. "Bertahun tahun ia sakit .. kini ia hidup hanya dengan satu ginjal .. dan putera satu satunya pun sakit .. apa ibu tidak bisa memaafkannya?"
"Aku ingin ia menderita seperti aku menderita karenanya An !! Rasa sakit ini tidak mungkin kamu mengerti karena kamu tidak mengalaminya!!" sergah Bu Seno cepat.
Ana menunduk, meneteskan air mata melihat kekerasan hati ibunya.
"Kita buktikan saja nanti di pengadilan, bila kamu yakin mertuamu tidak bersalah" ujar Bu Seno ketus. "Jangan lupa untuk menyewa pengacara terbaik. Karena aku telah menunjuk seorang pengacara terkenal untuk memenangkan kasus ini dan menjebloskan Ayah mertuamu ke penjara seumur hidupnya!"
Tubuh Ana bergetar. Ia merasa Eveline adalah dalang dibalik kisruhnya rumah tangga mereka saat ini. Eveline memang berada di atas angin. Dengan pengalaman, nama besar Ayahnya dan citra dirinya saat ini, tentu tidak mudah untuk bisa mengalahkannya. Ia pasti akan berusaha dengan segala cara untuk bisa memenangkan kasus ini. Sementara sebaliknya, Sandra adalah pengacara muda yang baru memenangkan beberapa kasus yang tidak populer selama karirnya. Tidak ada satupun yang mengenalnya, namun entah mengapa Pak Wiwaha begitu bersikukuh untuk menggunakan jasanya.

"Sandra baik dan bersih" ujar Pak Wi saat Ana menanyakan alasannya. "Papi yakin ia akan serius menangani kasus Papi tanpa motif apapun"
Hanya itu. Dan Ana terpaksa menuruti apa yang diinginkan oleh Pak Wi.
"Bagaimana kabar suamimu yang sakit sakitan itu?" tanya Bu Seno melirik tajam perut Ana dibalik baju hamilnya. "Bisa juga dia memberikan keturunan untukmu?"
"Ibu ..." tepis Ana mengiba, "Tolong jangan memandang negatif terus menerus pada Alex. Dia suami yang baik .."
"Ya .. dan sebentar lagi ia akan mati dan meninggalkanmu mengurus anakmu seorang diri" ujar Bu Seno sinis. "Persis .. seperti apa yang dilakukan Ayah dan ibunya yang tidak bertanggung jawab. Meninggalkan anaknya dan menyuruh Ayahmu membesarkannya sendiri."
Ratih yang duduk disebelah Bu Seno memalingkan wajahnya. Ia sedikit merasa sakit hati mendengar apa yang diucapkan ibunya. Namun ia cukup bersabar dengan tidak berkomentar sedikitpun.
"Tidak .. anak ini akan dibesarkan oleh Ayahnya .." ujar Ana pelan. "Alex bisa bertahan .. tapi aku perlu pertolonganmu, Ratih .."
Ratih menoleh, memandang Ana dengan tatapan bertanya tanya.
"Alex .. membutuhkan donor sumsum .. dan .. itu hanya bisa diberikan oleh kamu .. adik kandungnya sendiri" Ana berucap dengan mata berkaca kaca. "Tolong Alex, Tih .. Kakak tau kamu adik yang baik .. kakak mohon .."

Ratih tertawa sinis "Apa untungnya untukku?" serunya. "Kakak sendiri yang tidak mengizinkan aku untuk menemui Kak Alex"
Ana menunduk. Ia rela menekan harga dirinya demi memohon pada Ratih saat ini, untuk kesembuhan Alex.
"Lagipula ..." lanjut Ratih "Kalau nanti Pak Wiwaha di penjara dan Alex mati .. aku adalah pewaris tunggal kekayaan mereka. Itu yang disampaikan pengacaraku padaku .."
Ana mendongak "Pengacara ...?" tanya Ana.
"Ya .. " jawab Ratih, "Beruntung aku bertemu kak Eveline, pengacara ternama yang cantik dan baik hati .. yang menunjukkan padaku bahwa selama ini Kak Ana adalah kakak yang sangat jahat!!"
Ana menggeleng tak percaya. Ia mengelus perutnya yang sedikit merasa tegang. Jadi benar. Semua ini karena Eveline. "Apa yang ia katakan pada kalian berdua?" tanya Ana menahan emosi.
"Tidak ada ..." jawab Ratih. "Kak Eveline hanya membantu kami untuk mendapatkan kehidupan normal yang seharusnya kami rasakan sejak dulu, namun terhalang karena sikap Kakak dan keluarga Wiwaha yang kejam"
"Tidak .. itu tidak benar .. bukan begitu cerita sebenarnya .." bantah Ana. Perutnya menegang. Ana menunduk menahan sakit.
"Pulanglah Kak .. Tidak ada gunanya Kakak membujuk kami .." ujar Ratih melihat wajah Ana yang semakin pucat.
Ana ingin bertahan. Namun rasa sakit pada perutnya membuatnya urung melakukannya. Ana bangkit, tanpa berkata apapun ia berbalik melangkah meninggalkan Ratih dan ibunya. Namun tepat di anak tangga, Ana merasa sekelilingnya berputar dan jatuh tak sadarkan diri. Ia hanya sempat mendengar teriakan Ratih dan ibunya memanggil namanya. Setelah itu gelap.
 
Bagian 1

Sebuah mobil Audi Merah keluaran terbaru terparkir di pelataran parkir pantai Ancol di sebuah sudut yang gelap dan sepi. Pukul 01.00 WIB dinihari, suasana pantai di akhir pekan tampak sangat lengang. Di tengah deburan ombak dan tiupan angin pantai, mobil tampak bergoyang seiring hasrat dua orang tubuh telanjang yang sedang bergumul menyalurkan nafsu sex mereka didalamnya. Rintihan dan desahan menyatu bersama peluh kenikmatan pada tubuh mereka.
Eveline melangkah ke pangkuan Alex yang segera mendekap tubuh moleknya erat erat. Penis Alex tertanam sempurna pada cengkeraman Vagina Evelin. Pinggul Eveline bergerak lincah kesegala arah, memberikan gesekan lembut kulit tubuh Alex pada klitorisnya berulang ulang, membawanya semakin tinggi menuju puncak kenikmatan tiada tara. Payudara padat besarnya membenam mulut Alex, kedua tangannya mencengkram rambut Alex kuat kuat.

"Come On, Baby ... aaahhh ... that's it ... mmmhh ..." desahan terus mengalir dari bibir Evelin seiring gerakannya yang semakin cepat "Hisap keras Alex .. oohh .. lebih keras Alex .. aahh ..."
Alex semakin liar mendorong penisnya seiring gerakan cepat pinggul Eveline. Lidahnya bermain menjilat dan menghisap kedua payudara Eveline bergantian, sesekali menggigit kecil putingnya untuk memberikan tambahan sensasi yang Alex tau sangat disukai Evelin.
"Yeaah .. move it Ev .." Alex menggumam, membuat Eveline semakin terangsang dan menambah kecepatan serangannya.
Cengkraman Eveline semakin menguat. Rintihannya semakin jelas mengiringi jepitan Vaginanya yang semakin terasa memijat kuat penis Alex. Eveline menggelinjang, tubuhnya menegang dan pekik nyaringnyapun terdengar menutup pesta kenikmatan yang tengah mereka lakukan.
"Alex .. aaaaahhhh ....." jerit Eveline, disaat yang bersamaan semburat cairan hangat membanjiri vaginanya.
Alex mendorong lembut tubuh Eveline dari atas pangkuannya, memindahkannya ke kursi di samping tempat duduknya dan ikut terkulai lemas. Ia melirik Eveline yang rebah dengan mata terpejam, tengah mengatur deru nafasnya yang memburu. Alex tersenyum, merapikan kembali kemeja dan celananya yang terbuka, menyalakan mobil dan melaju menembus pekatnya malam.


Dering Handphone yang sangat nyaring mengejutkan Alex. Dengan mata masih terpejam Alex meraih teleponnya, mengintip enggan nama di layar dan menekan tombol jawab
"Ya ...." sapanya dengan suara parau. Ia melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 11.00 wib. Alex terbelalak dan segera bangkit dari tidurnya
"Hanya mengingatkan bahwa kamu sudah telat 1 jam dari jadwal yang kita sepakati" suara Ana terdengar gusar di ujung sana "Tapi kelihatannya tuan besar baru saja bangun dari tidurnya ya ..."
"Mmh .. maaf Ana .. aku .. semalam aku tidak bisa tidur jadi .." Alex tergopoh memasuki kamar mandi sambil terus menempelkan HP nya ke telinga. "Beri aku waktu 1 jam lagi dan aku akan segera ada disana."
"Alex .. sampai kapan kamu begini?" ujar Ana setelah menghela nafas mengusir rasa jengkelnya setelah lelah menunggu. "Kamu tahu jadwal check up mu tidak bisa dianggap remeh. Dengan hanya tinggal 1 ginjal yang kamu punya, lengah sedikit saja bisa berakibat fatal .. sudah berapa kali aku katakan ini padamu."
"Yap .." dengan mulut berbusa dan sikat gigi yang menempel di mulutnya Alex masih berusaha berkomunikasi dengan Ana, "hahu ham .. akhu hanhi .."

Di sebuah ruang praktek Rumah Sakit ternama, Ana menutup teleponnya mengakhiri percakapan dengan Alex. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menghela nafas dan merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
"San .." ujarnya pada perawat yang menemaninya, "Mundurkan jadwal Medical Check Up atas nama tuan Alex ke pukul 12"
"Baik dok .." jawab sang perawat yang kemudian bergegas keluar.
Ana menatap langit langit ruang prakteknya dalam diam. Alex, seseorang yang pernah sangat dekat dengannya di masa lalu. Ia tidak mungkin membiarkan begitu saja orang yang pernah memenuhi seluruh hatinya dan sangat berarti dalam hidupnya pada masa itu. Masih teringat jelas bagaimana rasa cintanya pada Alex semasa mereka duduk di bangku SMA. Bahkan sifat Alex yang bak Don Juan tidak pernah dihiraukan Ana. Berkali kali ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri Alex melewatkan waktu bersamanya hanya untuk bersenang senang dengan wanita lain. Saat Ana mengambil kuliah jurusan kedokteran, ia baru menyadari bahwa penantiannya selama ini sia sia. Alex tidak berubah. Hatinya memang untuk Ana, namun raganya tidak akan pernah bisa Ana miliki. Seiring dengan kesibukan, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan. Ana berkonsentrasi penuh pada kuliahnya sampai meraih gelar Spesialis Bedah, sementara Alex sibuk meneruskan Dinasti perusahaan keluarga yang sangat besar dan terkenal di manca negara.
Namun takdir memang selalu menyatukan mereka. Ana sendiri akhirnya yang melakukan cangkok ginjal Alex untuk Ayahnya dua tahun lalu. Dan sejak itu, Ayah Alex meminta Ana untuk terus memantau kesehatan anak laki laki yang sangat di kasihinya itu. Tidak ada alasan bagi Ana untuk menolak, mengingat sumpahnya sebagai seorang dokter. Ia hanya bisa berjanji untuk melakukan hal ini se profesional mungkin.
Perawat kembali memasuki ruangan. Ana bangkit, memakai jas putih kerjanya dan berkata,
"Panggil pasien berikutnya, San ..."


Alex mematut diri di depan cermin. Ia melirik sekali lagi jam di dinding. Masih tersisa 30 menit baginya untuk menuju Rumah Sakit. Alex memperhatikan gurat gurat kemerahan bekas cakaran Eveline semalam pada dadanya. Ini pasti akan terlihat oleh Ana saat pemeriksaan nanti. Alex tahu Ana tidak akan berkomentar apa apa. Tapi dokter cantik dan cerdas itu akan tahu apa yang telah terjadi.
Alex memakai bajunya dengan cepat, menyambar sepatunya dan bergegas menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Sebelum berangkat ia mengirimkan text pada Eveline, memberitahukan kegiatan yang akan dilakukannya seharian nanti. Alex memacu Audi nya menuju Rumah Sakit.
Dering telepon kembali terdengar. Alex menekan tombol on air dan terdengar suara Eveline di ujung sana.
"Selamat siang sayang .." suara Eveline yang ceria memenuhi kabin. "Wow .. apakah aku membuatmu terlalu lelah semalam sampai kamu bangun sesiang ini dan terlambat untuk Medical Check Up mu?"
Alex tertawa kecil, tidak melepaskan tangannya dari kemudi.
"Naahh .." tepis Alex santai, "Itu belum seberapa .. kamu tahu aku bisa bertahan lebih dari itu."
Evelin tertawa manja. Alex tahu Eveline sangat puas dengan apa yang dilakukannya semalam.
"Aku sudah dikantor .." ucap Eveline. "Ada Klien yang harus aku dampingi mendaftarkan gugatannya di pengadilan. Setelah Check Up bagaimana kalau kita bertemu untuk makan siang?"
Alex tersenyum. "No prob, Honey .. Kita tentukan tempatnya lagi nanti ya."
Alex mematikan tombol On Air dan dengan bersamaan memasuki lapangan parkir Rumah Sakit. Ia berputar beberapa kali sebelum akhirnya memarkir mobilnya di sebuah slot kosong. Sangat sulit mencari tempat parkir sesiang ini. Ia segera melangkah tergesa memasuki gedung untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutinnya.


Ana melirik wajah Alex yang terbaring di hadapannya sejenak. Alex tersenyum nakal.
"Kamu mau bertanya tentang detail bekas cakaran ini?" tanya Alex. Ana memalingkan mukanya, melangkah ke mejanya sementara Alex bangkit merapikan kembali bajunya setelah pemeriksaan dengan stetoskop yang dilakukan Ana.
"Hasil pemeriksaan bulan ini cukup stabil," ujar Ana seraya memeriksa kertas hasil pemeriksaan lab dan mengamati hasil USG yang sudah dilaksanakan Alex sebelumnya. "Ikuti instruksi yang aku berikan. Jangan terlambat untuk kontrol bulan depan."
Alex menarik kursi dan duduk di hadapan meja Ana.
"Masih berhubungan dengan pengacara itu?" tanya Ana tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, namun sedetik kemudian merasa menyesal telah melontarkannya. Alex tersenyum senang di hadapannya.
"Dengan nafsu sex nya yang sebesar itu, siapa lagi laki laki yang bisa mengimbanginya kalau bukan aku, An?" tanya Alex masih dengan seringai lebarnya.
Ana menunduk, berpura pura menulis sesuatu diatas kartu rekam medis Alex.
"Tapi kamu harus ingat kondisi kesehatanmu," ujar Ana pelan mencoba mengalihkan pembicaraan.
Alex menatap wajah Ana dalam dalam. Jauh dalam lubuk hatinya, Alex sangat mencintai Ana. Bahkan sampai saat ini. Namun kepribadian Ana yang sangat elegan membuatnya ragu untuk meminta lebih jauh. Alex merasa ia tidak akan pernah bisa mendampingi Ana sebagai seorang suami yang bertanggung jawab. Ia tahu telah sering mengecewakan Ana di masa lalu. Mustahil bagi Ana untuk memaafkannya. Maka Alex memilih untuk menerima permintaan Ayahnya, menjalin hubungan dengan Eveline.
Ayah Alex berhutang budi pada Ayah Eveline yang juga pengacara ternama, saat berhasil membebaskannya dari tuduhan dengan ancaman hukuman seumur hidup. Sampai kini Ayah Alex masih bisa bebas bersamanya mengurus perusahaan tanpa dibebani hukuman sedikitpun.
Eveline sendiri adalah gadis yang bergaya hidup sangat bebas. Nafsu sexnya sangat tinggi. Beberapa kekasih telah dibuangnya jauh jauh hanya karena tidak bisa memuaskan nafsunya di atas ranjang. Sementara kepuasan dapat diberikan oleh Alex, sehingga sampai detik ini Eveline masih setia bersamanya.

"Alex !" teguran Ana menyadarkan lamunan Alex. "Oh Tuhan .. kamu dengar apa yang aku katakan tadi?"
"Apa?" seringai Alex tanpa rasa bersalah, "Aku terkagum kagum dengan parasmu yang semakin cantik An .."
Ana mendengus "Simpan rayuanmu. Tidak akan berhasil memikatku seperti kamu memikat Eveline."
Alex terbahak. Ana semakin gusar. Ia bangkit hendak membuka pintu, namun Alex menarik tangan Ana dan mendekapnya erat.
"Tapi aku tahu kamu masih mencintaiku" bisik Alex menatap Ana dengan lembut "Matamu tidak bisa berbohong An .."
Ana meronta mencoba melepaskan diri. Ia tidak dapat menjawabnya karena apa yang dikatakan Alex benar adanya.
"Lepaskan aku Alex" ujar Ana setelah lelah meronta. Alex tersenyum, mengecup kening Ana lembut dan melepaskannya.
Ana menarik nafas lega.
"Pemeriksaan sudah selesai. Kamu boleh pergi sekarang" ujar Ana gamang.
Alex tersenyum, mengangguk dan melangkah keluar meninggalkan Ana. Melangkah menuju mobilnya kembali, Alex tersenyum senang. Melihat Ana sebulan sekali adalah saat yang ia tunggu tunggu. Alex tidak sabar menanti waktu kontrol berikutnya.
Ikutan nimbrung Hu.. Belajar menyimak
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd