Beban semakin berat, tapi Ana.akan kick balik... begitu kan suhuBagian 17
Gerakan pinggul Eveline semakin cepat ditingkah nafasnya yang menderu kencang. Sang Pria berteriak, diwaktu yang hampir bersamaan ia mencapai puncak, semburat cairan kembali pecah dalam vaginanya.
Eveline berteriak mencapai orgasmenya, sang Pria pun diwaktu yang bersamaan mengeluh panjang.
"Aaaaaarrrggghhhh ... Commiiingng ...."
Tubuh Eveline mengejang sesaat, kemudian lunglai di pangkuan sang Pria. Beberapa detik, Eveline merebahkan tubuhnya diatas kasur, dengan sang pria terduduk lemas di sampingnya.
Eveline mengatur nafas sesaat seraya memejamkan mata. Hanya perlu waktu sebentar saja saat ia tersadar masih tersisa satu pria yang belum melayaninya. Eveline melirik Pria yang masih berdiri dengan penis terhunus. Melihat pemandangan sexy didepannya membuat Pria tersebut semakin bergairah. Ia berharap bisa menikmati juga tubuh Eveline dengan segala kenikmatannya, namun melihat Eveline yang tergeletak pasrah, sebersit ragu menyelinap di hatinya.
"Don't think about it Baby ..." ujar Eveline tersenyum, seperti dapat membaca apa yang tersirat di benak pria tersebut. "Giliranmu sekarang"
Eveline bangkit, menarik pria di samping tempat tidurnya dan merebahkannya terlentang di kasur, mencium bibirnya dengan nafsu selama beberapa saat. Lima pria yang telah terpuaskan menatap adegan ranjang dihadapan mereka dengan tatapan kagum pada stamina Eveline yang dapat pulih seperti biasa dalam waktu singkat.
Eveline membuka pahanya lebar lebar, melangkah menyodorkan vaginanya kepada mulut pria dibawahnya, mencengkram rambut sang pria dan menggoyangkan pinggulnya maju mundur menggesekkan vaginanya pada lidah sang pria yang telah terjulur menyambutnya. Tangan Sang Pria mencengkram pinggul Eveline yang bergerak lincah diatas kepalanya.
"Suck it!! Hard!! " teriak Eveline, cengkraman tangannya pada rambut sang pria membantu menggerak gerakan kepala sang pria, mengontrol gerakan sesuai yang Eveline ingini. "Uuuhhhhhh ... yeeaaahhh .... go on Baby ... mmmhhhh ... good Booyy " gumam Eveline. Ia terlihat sangat menikmati posisi ini, merasakan isapan mulut pria itu pada klitorisnya. Eveline meracau, memejamkan matanya, lidahnya menjulur, menjilat bibirnya sendiri seraya terus bergoyang. Ekspresi kenikmatan pada wajahnya terlihat nyata, sangat sensual, membuat semua pria yang ada di sekelilingnya terpana.
Eveline membalik badannya tiba tiba, dengan Vagina masih pada mulut sang pria, namun kini mulutnya melahap penis tegak milik sang pria tersebut.
"Ooohhhh ...." lenguh pria tersebut seiring hisapan pertama mulut Eveline pada penisnya. Eveline menjilat nakal ujung penis sang Pria, menggigitnya kecil, menjilat batang penis Pria tersebut perlahan, turun ke arah bawah, mengulum lembut dua bola yang bergantung, menjilat menelusuri lipatan batas anus dan kembali mengulangi nya di tempat yang sama. Gerakan dan permainan Oral yang membuat sang Pria menggelinjang hebat, bagian dalam pahanya mengeras, menahan sekuat tenaga puncak birahi yang nyaris pecah diujung penisnya.
"Aahh ... Babyyy ..." erang pria itu sekuat tenaga, melupakan vagina Eveline dihadapannya yang seharusnya ia layani. Belum pernah ia merasakan sensasi oral sex se dahsyat ini. Eveline sangat mahir melakukannya. Lidahnya menggelitik, hisapannya memijat lembut, pangkal kerongkongannya terasa hangat dan menjepit saat sesekali Eveline memasukkan penis lebih dalam ke kerongkongannya.
"Mmmhh ... mmmhhh ..." Eveline menggumam, getarannya bagai vibrasi yang ikut menambah rangsangan pada penis sang Pria.
Hanya beberapa menit berlalu, Pria tersebut tidak lagi dapat menahan nafsunya. Seluruh tubuhnya menegang, menyerah pasrah saat Eveline mengocok cepat penisnya, mendorong keluar masuk penis dari mulutnya. Semakin lama semakin cepat dan kuat, Pria itu mencengkram kuat pinggul Eveline dan berteriak keras
"Aaaararrggghhhhh ....!!!" Mulut Eveline sekali lagi penuh dengan cairan sperma. Ia melepasnya, melap bibirnya dari cairan sperma yang tumpah dengan punggung tangannya, mengerling nakal menatap semua pria dihadapannya
"Sudah semua ...?" tanyanya terengah sambil menyeringai, "Bagus .... tidak ada yang terlewat ...."
"Sel Cancernya tidak berhenti berkembang. Melambat, tapi terus muncul ..." Dokter Hari mengulurkan hasil pemeriksaan laboratorium Alex kepada Ana. "Anda tentu tahu apa artinya dokter Ana .."
Ana membuka Map File dihadapannya perlahan. Membaca isinya dengan hati hati. Ia tahu pasti apa yang tengah terjadi pada Alex, suami yang sangat di cintainya itu.
"Sudah 6 paket Kemoterapi yang diberikan kepada Pak Alex .. tidak mungkin dilanjutkan karena akan berakibat buruk kepada kesehatannya" lanjut dokter Hari. "Transplantasi sumsum tulang belakang adalah pilihan yang sangat memungkinkan saat ini. Selagi kondisi Pak Alex masih prima, sebaiknya dokter Ana mencari donor sumsum bagi Pak Alex,"
Ana menunduk. Mencari donor bukanlah hal yang mudah. Kecocokan adalah faktor utama keberhasilan terapi ini. Ana harus mencari keluarga terdekat Alex yang bersedia mendonorkan sumsum tulang belakangnya bagi Alex. Pendonor juga harus dalam keadaan sehat dan memiliki kondisi tubuh yang kuat. Persiapan untuk terapi ini memang sangat rumit. Ana harus segera menemukan donor yang tepat bagi Alex, sebelum kondisi Alex memburuk karena terlalu lama menunggu. Setelah paket Kemoterapi selesai, tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan kecuali melakukan donor secepat mungkin.
"Mulailah dari keluarga sedarah Pak Alex, dokter Ana .." saran dokter Hari. "Orang tua, ataupun adik dan kakaknya yang memiliki kondisi kesehatan lebih baik dari yang lain."
"Alex sudah tidak memiliki ibu, Dok .. ibunya sudah lama meninggal" ujar Ana pelan, "Hanya Ayah .. tapi .. kondisi beliaupun tidak memungkinkan untuk menjadi pendonor sumsum."
"Ya .. saya mengerti " dokter Hari mengangguk pelan, mengetahui bahwa Ayah Alex yang sudah lanjut usia hanya memiliki satu buah ginjal hasil donor beberapa tahun yang lalu. Dokter Hari bahkan terlibat langsung pada persiapan operasinya saat itu. "Bagaimana dengan saudara kandungnya? Apakah ada yang memenuhi syarat sebagai pendonor menurut anda?"
Ana tercenung. Haruskah ia meminta Ratih menjadi pendonor bagi Alex? Ratih adalah satu satunya saudara yang memiliki hubungan darah dengan Alex. Tapi Ana mengerti, jalan untuk mewujudkannya pasti tidak akan mudah, mengingat apa yang terjadi pada keluarga mereka. Membuka rahasia keberadaan Ratih pada Alex, berdamai dengan Ratih yang kini jelas jelas menentangnya, dan berhubungan kembali dengan Dewo yang sebentar lagi akan menjadi suami Ratih. Semua hal berat itu harus dilalui Ana untuk bisa menyelamatkan hidup Alex.
"Saya akan mencoba mempersiapkan donornya dok .." bisik Ana pelan, menyerahkan kembali File kepada dokter Hari. "Seandainya saja anak yang saya kandung ini sudah lahir ..."
Ana mengusap pelan perutnya yang mulai membuncit. Dokter Hari mengangguk setuju.
"Ya .. anak kandung memiliki kemungkinan kecocokan terbesar sebagai pendonor. Itu juga yang dilakukan Pak Alex kepada Pak Wiwaha, bukan?"
Ana tersenyum mengangguk. Ia berdiri, menjabat tangan dokter Hari dan segera meninggalkan ruangan. Baru saja ia menutup pintu, terdengar dering telepon berbunyi dari dalam tas nya. Ana meraih HP nya. Suara Pak Wi lemah terdengar diujung sana.
"Papi ...?" ujar Ana dengan nada kuatir. "Ada apa Pi?"
"Ana .. bisakah kamu menemui Papi di Kantor Polisi sekarang?" tanya Pak Wi.
"Kantor .. Polisi?" tanya Ana terkejut. "Kenapa? Ada apa Pi ..?"
"Akan Papi jelaskan semuanya setelah kamu disini nanti " ujar Pak Wi lagi. "Jangan bawa Alex. Dia tidak boleh tahu Papi ada disini ya ... Papi kuatir terjadi sesuatu pada kesehatannya."
Ana menutup teleponnya. Pikiran buruk berkecamuk dibenak Ana.
"Kasus ini sudah lama selesai .. kenapa bisa dibuka kembali?" tanya Ana kepada pengacara Pak Wiwaha, di ruang besuk tahanan kepolisian tempat Pak Wiwaha berada.
"Ya .. " Sandra, pengacara muda yang diminta oleh Pak Wiwaha mendampinginya mencoba menganalisa. "Ada tuntutan baru dari .. korban .. maksud saya keluarga korban .. mereka mengajukan bukti bukti baru yang menempatkan Pak Wiwaha sebagai pelaku pembunuhan terhadap bapak Seno beberapa tahun yang lalu"
Ana terpaku. "Siapa ...?" tanya Ana dengan suara bergetar, "Siapa yang mengajukan tuntutan?"
"Atas nama isteri Bapak Seno, ibu Aryati .. melalui kantor pengacara .. ehm .. Eveline Hartanto" ujar Sandra lagi.
Ana memandang Pak Wiwaha yang terlihat lesu duduk dihadapannya. Matanya berkaca kaca. Ibunya telah kembali mengibarkan bendera perang, setelah Ratih yang beberapa minggu lalupun menunjukkan sikap yang tidak bersahabat kepadanya.
"Ada apa ini sebetulnya ...." gumam Ana tanpa sadar. Pak Wi menggenggam tangan Ana. Tangan keriput dari seorang laki laki tua renta yang mulai kehilangan percaya dirinya dibalik baju tahanan polisi.
"Maafkan ibu, Pi ..." bisik Ana menggenggam kembali tangan Pak Wiwaha. Pak Wiwaha tersenyum.
"Aku bisa melihat semuanya Ana ..." ujar Pak Wi dengan suara bergetar. "Eveline dibalik semua ini. Ia sendiri yang mengatakannya padaku ..."
Ana terhenyak. "Maksud Papi ...? Eveline yang membujuk ibu untuk membuka kembali semua ini?" tanya Ana tak percaya "Tapi .. kenapa?"
"Eveline merasa aku telah mengkhianati janjiku kepada Ayahnya, dengan memilihmu sebagai isteri Alex" ujar Pak Wi. "Ia sangat menginginkan Alex menjadi suaminya. Ia telah menyusun semua rencana kedepan untuk kesuksesannya bersama Alex. Namun semua kandas saat aku lebih memilihmu .."
Ana menatap Pak Wiwaha dengan pandangan bingung.
"Tapi Alex sakit ... apakah ia tidak memikirkannya ...?" tanya Ana. Pak Wiwaha menggeleng.
"Aku tidak membunuh Ayahmu, Ana ..." ujar Pak Wiwaha lesu "Percayalah padaku ..."
"Aku percaya, Pi ..." bisik Ana terharu. "Papi harus sabar dan kuat .. aku dan Sandra akan berusaha sebaik mungkin untuk mengeluarkan Papi dari sini .."
Pak Wiwaha mengangguk, "Satu hal yang Papi syukuri" ujar Pak Wi dengan mata berkaca kaca, "Adalah memilihmu sebagai isteri Alex .. dan bukan Eveline .."
Ana menunduk. Dadanya terasa semakin sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Ia tahu bebannya akan semakin bertambah.
Ikutan nimbrung Hu.. Belajar menyimakBagian 1
Sebuah mobil Audi Merah keluaran terbaru terparkir di pelataran parkir pantai Ancol di sebuah sudut yang gelap dan sepi. Pukul 01.00 WIB dinihari, suasana pantai di akhir pekan tampak sangat lengang. Di tengah deburan ombak dan tiupan angin pantai, mobil tampak bergoyang seiring hasrat dua orang tubuh telanjang yang sedang bergumul menyalurkan nafsu sex mereka didalamnya. Rintihan dan desahan menyatu bersama peluh kenikmatan pada tubuh mereka.
Eveline melangkah ke pangkuan Alex yang segera mendekap tubuh moleknya erat erat. Penis Alex tertanam sempurna pada cengkeraman Vagina Evelin. Pinggul Eveline bergerak lincah kesegala arah, memberikan gesekan lembut kulit tubuh Alex pada klitorisnya berulang ulang, membawanya semakin tinggi menuju puncak kenikmatan tiada tara. Payudara padat besarnya membenam mulut Alex, kedua tangannya mencengkram rambut Alex kuat kuat.
"Come On, Baby ... aaahhh ... that's it ... mmmhh ..." desahan terus mengalir dari bibir Evelin seiring gerakannya yang semakin cepat "Hisap keras Alex .. oohh .. lebih keras Alex .. aahh ..."
Alex semakin liar mendorong penisnya seiring gerakan cepat pinggul Eveline. Lidahnya bermain menjilat dan menghisap kedua payudara Eveline bergantian, sesekali menggigit kecil putingnya untuk memberikan tambahan sensasi yang Alex tau sangat disukai Evelin.
"Yeaah .. move it Ev .." Alex menggumam, membuat Eveline semakin terangsang dan menambah kecepatan serangannya.
Cengkraman Eveline semakin menguat. Rintihannya semakin jelas mengiringi jepitan Vaginanya yang semakin terasa memijat kuat penis Alex. Eveline menggelinjang, tubuhnya menegang dan pekik nyaringnyapun terdengar menutup pesta kenikmatan yang tengah mereka lakukan.
"Alex .. aaaaahhhh ....." jerit Eveline, disaat yang bersamaan semburat cairan hangat membanjiri vaginanya.
Alex mendorong lembut tubuh Eveline dari atas pangkuannya, memindahkannya ke kursi di samping tempat duduknya dan ikut terkulai lemas. Ia melirik Eveline yang rebah dengan mata terpejam, tengah mengatur deru nafasnya yang memburu. Alex tersenyum, merapikan kembali kemeja dan celananya yang terbuka, menyalakan mobil dan melaju menembus pekatnya malam.
Dering Handphone yang sangat nyaring mengejutkan Alex. Dengan mata masih terpejam Alex meraih teleponnya, mengintip enggan nama di layar dan menekan tombol jawab
"Ya ...." sapanya dengan suara parau. Ia melirik jam di dinding kamarnya. Pukul 11.00 wib. Alex terbelalak dan segera bangkit dari tidurnya
"Hanya mengingatkan bahwa kamu sudah telat 1 jam dari jadwal yang kita sepakati" suara Ana terdengar gusar di ujung sana "Tapi kelihatannya tuan besar baru saja bangun dari tidurnya ya ..."
"Mmh .. maaf Ana .. aku .. semalam aku tidak bisa tidur jadi .." Alex tergopoh memasuki kamar mandi sambil terus menempelkan HP nya ke telinga. "Beri aku waktu 1 jam lagi dan aku akan segera ada disana."
"Alex .. sampai kapan kamu begini?" ujar Ana setelah menghela nafas mengusir rasa jengkelnya setelah lelah menunggu. "Kamu tahu jadwal check up mu tidak bisa dianggap remeh. Dengan hanya tinggal 1 ginjal yang kamu punya, lengah sedikit saja bisa berakibat fatal .. sudah berapa kali aku katakan ini padamu."
"Yap .." dengan mulut berbusa dan sikat gigi yang menempel di mulutnya Alex masih berusaha berkomunikasi dengan Ana, "hahu ham .. akhu hanhi .."
Di sebuah ruang praktek Rumah Sakit ternama, Ana menutup teleponnya mengakhiri percakapan dengan Alex. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menghela nafas dan merebahkan punggungnya pada sandaran kursi.
"San .." ujarnya pada perawat yang menemaninya, "Mundurkan jadwal Medical Check Up atas nama tuan Alex ke pukul 12"
"Baik dok .." jawab sang perawat yang kemudian bergegas keluar.
Ana menatap langit langit ruang prakteknya dalam diam. Alex, seseorang yang pernah sangat dekat dengannya di masa lalu. Ia tidak mungkin membiarkan begitu saja orang yang pernah memenuhi seluruh hatinya dan sangat berarti dalam hidupnya pada masa itu. Masih teringat jelas bagaimana rasa cintanya pada Alex semasa mereka duduk di bangku SMA. Bahkan sifat Alex yang bak Don Juan tidak pernah dihiraukan Ana. Berkali kali ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri Alex melewatkan waktu bersamanya hanya untuk bersenang senang dengan wanita lain. Saat Ana mengambil kuliah jurusan kedokteran, ia baru menyadari bahwa penantiannya selama ini sia sia. Alex tidak berubah. Hatinya memang untuk Ana, namun raganya tidak akan pernah bisa Ana miliki. Seiring dengan kesibukan, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan. Ana berkonsentrasi penuh pada kuliahnya sampai meraih gelar Spesialis Bedah, sementara Alex sibuk meneruskan Dinasti perusahaan keluarga yang sangat besar dan terkenal di manca negara.
Namun takdir memang selalu menyatukan mereka. Ana sendiri akhirnya yang melakukan cangkok ginjal Alex untuk Ayahnya dua tahun lalu. Dan sejak itu, Ayah Alex meminta Ana untuk terus memantau kesehatan anak laki laki yang sangat di kasihinya itu. Tidak ada alasan bagi Ana untuk menolak, mengingat sumpahnya sebagai seorang dokter. Ia hanya bisa berjanji untuk melakukan hal ini se profesional mungkin.
Perawat kembali memasuki ruangan. Ana bangkit, memakai jas putih kerjanya dan berkata,
"Panggil pasien berikutnya, San ..."
Alex mematut diri di depan cermin. Ia melirik sekali lagi jam di dinding. Masih tersisa 30 menit baginya untuk menuju Rumah Sakit. Alex memperhatikan gurat gurat kemerahan bekas cakaran Eveline semalam pada dadanya. Ini pasti akan terlihat oleh Ana saat pemeriksaan nanti. Alex tahu Ana tidak akan berkomentar apa apa. Tapi dokter cantik dan cerdas itu akan tahu apa yang telah terjadi.
Alex memakai bajunya dengan cepat, menyambar sepatunya dan bergegas menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Sebelum berangkat ia mengirimkan text pada Eveline, memberitahukan kegiatan yang akan dilakukannya seharian nanti. Alex memacu Audi nya menuju Rumah Sakit.
Dering telepon kembali terdengar. Alex menekan tombol on air dan terdengar suara Eveline di ujung sana.
"Selamat siang sayang .." suara Eveline yang ceria memenuhi kabin. "Wow .. apakah aku membuatmu terlalu lelah semalam sampai kamu bangun sesiang ini dan terlambat untuk Medical Check Up mu?"
Alex tertawa kecil, tidak melepaskan tangannya dari kemudi.
"Naahh .." tepis Alex santai, "Itu belum seberapa .. kamu tahu aku bisa bertahan lebih dari itu."
Evelin tertawa manja. Alex tahu Eveline sangat puas dengan apa yang dilakukannya semalam.
"Aku sudah dikantor .." ucap Eveline. "Ada Klien yang harus aku dampingi mendaftarkan gugatannya di pengadilan. Setelah Check Up bagaimana kalau kita bertemu untuk makan siang?"
Alex tersenyum. "No prob, Honey .. Kita tentukan tempatnya lagi nanti ya."
Alex mematikan tombol On Air dan dengan bersamaan memasuki lapangan parkir Rumah Sakit. Ia berputar beberapa kali sebelum akhirnya memarkir mobilnya di sebuah slot kosong. Sangat sulit mencari tempat parkir sesiang ini. Ia segera melangkah tergesa memasuki gedung untuk menjalani pemeriksaan kesehatan rutinnya.
Ana melirik wajah Alex yang terbaring di hadapannya sejenak. Alex tersenyum nakal.
"Kamu mau bertanya tentang detail bekas cakaran ini?" tanya Alex. Ana memalingkan mukanya, melangkah ke mejanya sementara Alex bangkit merapikan kembali bajunya setelah pemeriksaan dengan stetoskop yang dilakukan Ana.
"Hasil pemeriksaan bulan ini cukup stabil," ujar Ana seraya memeriksa kertas hasil pemeriksaan lab dan mengamati hasil USG yang sudah dilaksanakan Alex sebelumnya. "Ikuti instruksi yang aku berikan. Jangan terlambat untuk kontrol bulan depan."
Alex menarik kursi dan duduk di hadapan meja Ana.
"Masih berhubungan dengan pengacara itu?" tanya Ana tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, namun sedetik kemudian merasa menyesal telah melontarkannya. Alex tersenyum senang di hadapannya.
"Dengan nafsu sex nya yang sebesar itu, siapa lagi laki laki yang bisa mengimbanginya kalau bukan aku, An?" tanya Alex masih dengan seringai lebarnya.
Ana menunduk, berpura pura menulis sesuatu diatas kartu rekam medis Alex.
"Tapi kamu harus ingat kondisi kesehatanmu," ujar Ana pelan mencoba mengalihkan pembicaraan.
Alex menatap wajah Ana dalam dalam. Jauh dalam lubuk hatinya, Alex sangat mencintai Ana. Bahkan sampai saat ini. Namun kepribadian Ana yang sangat elegan membuatnya ragu untuk meminta lebih jauh. Alex merasa ia tidak akan pernah bisa mendampingi Ana sebagai seorang suami yang bertanggung jawab. Ia tahu telah sering mengecewakan Ana di masa lalu. Mustahil bagi Ana untuk memaafkannya. Maka Alex memilih untuk menerima permintaan Ayahnya, menjalin hubungan dengan Eveline.
Ayah Alex berhutang budi pada Ayah Eveline yang juga pengacara ternama, saat berhasil membebaskannya dari tuduhan dengan ancaman hukuman seumur hidup. Sampai kini Ayah Alex masih bisa bebas bersamanya mengurus perusahaan tanpa dibebani hukuman sedikitpun.
Eveline sendiri adalah gadis yang bergaya hidup sangat bebas. Nafsu sexnya sangat tinggi. Beberapa kekasih telah dibuangnya jauh jauh hanya karena tidak bisa memuaskan nafsunya di atas ranjang. Sementara kepuasan dapat diberikan oleh Alex, sehingga sampai detik ini Eveline masih setia bersamanya.
"Alex !" teguran Ana menyadarkan lamunan Alex. "Oh Tuhan .. kamu dengar apa yang aku katakan tadi?"
"Apa?" seringai Alex tanpa rasa bersalah, "Aku terkagum kagum dengan parasmu yang semakin cantik An .."
Ana mendengus "Simpan rayuanmu. Tidak akan berhasil memikatku seperti kamu memikat Eveline."
Alex terbahak. Ana semakin gusar. Ia bangkit hendak membuka pintu, namun Alex menarik tangan Ana dan mendekapnya erat.
"Tapi aku tahu kamu masih mencintaiku" bisik Alex menatap Ana dengan lembut "Matamu tidak bisa berbohong An .."
Ana meronta mencoba melepaskan diri. Ia tidak dapat menjawabnya karena apa yang dikatakan Alex benar adanya.
"Lepaskan aku Alex" ujar Ana setelah lelah meronta. Alex tersenyum, mengecup kening Ana lembut dan melepaskannya.
Ana menarik nafas lega.
"Pemeriksaan sudah selesai. Kamu boleh pergi sekarang" ujar Ana gamang.
Alex tersenyum, mengangguk dan melangkah keluar meninggalkan Ana. Melangkah menuju mobilnya kembali, Alex tersenyum senang. Melihat Ana sebulan sekali adalah saat yang ia tunggu tunggu. Alex tidak sabar menanti waktu kontrol berikutnya.