sulkan
Semprot Addict
by S. wolf
Bab 1
Jason menatap benda di tangannya, terpesona dengan benda berkilauan yang sedikit bercahaya di bawah permukaannya yang mengkilap dan halus berwarna hitam. Jantungnya masih berpacu atas peristiwa yang baru saja terjadi, dan napasnya akhirnya kembali teratur. Dia selalu bertanya-tanya bagaimana ia akan bereaksi dalam situasi krisis, dan sekarang ia tahu.
Beberapa menit sebelumnya, ia memutuskan untuk berhenti di perpustakaan dalam perjalanan pulang dari sekolah, membutuhkan sebuah buku untuk menyelesaikan penelitiannya untuk pelajaran sejarah yang harus dikumpulkan Senin depan. Sedikit kutu buku, dia bekerja keras untuk mendapatkan nilai A semua pada tahun terakhirnya, membutuhkan beasiswa untuk bisa kuliah.
Berdiri di pojok menunggu lampu berganti, pikirannya mengembara pada Becky Johnson. Becky telah pindah ke kota ketika mereka di kelas 10, dan sejak itu Jason naksir padanya. Cantik dan atletis, ia segera bergabung dengan kelompok elit di sekolah, menjadi seorang cheerleader dan anggota tim renang. Dan meskipun ia telah berbagi banyak kelas dengan Becky selama dua tahun terakhir, dia mungkin tak kenal sama sekali padanya. Dia selalu berjuang untuk menjaga nilai-nilainya tetap tinggi di mata pelajaran yang mereka sama-sama ambil, dan tahu alasannya adalah karena dia menghabiskan setengah waktunya di kelas mendengarkan guru, dan setengah lainnya menatapnya.
Dia begitu asyik melamun tentang Becky, ia tak melihat orang tua memakai topi shuffle melewatinya, masuk ke jalan. Tapi saat ia membayangkan bagaimana Becky tampak seksi dengan rok cheerleader-nya, sesuatu telah mengganggu otaknya, menuntut perhatian. Realitas akhirnya menang, dan ia menyadari apa yang dilihatnya: Seorang pria tua sedang menyebrangi jalan di depannya, sudah berada lebih dari setengah jalan. Dari kanan, ia bisa melihat sebuah truk pickup besar mendekat, datang dengan cepat dan tak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Selama sepersekian detik, Jason tahu apa yang dia akan lihat; orang tua itu akan mati, dan dengan kondisi yang mengerikan. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia bergerak. Dia belum pernah beremain satu olahraga yang terorganisir, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tubuhnya telah berubah dari seorang pendek dan kurus saat freshman, menjadi murid senior yang tinggi, bugar dan ramping berotot, tumbuh otot di mana sebelumnya ia tak memilikinya. Dan sekarang ia menggunakan semuanya, berlari menyeberang jalan lebih cepat dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Tapi itu rasanya lambat baginya. Rasanya seperti sedang berjalan di pasir hisap, dan truk itu terlalu dekat pada orang tua itu - dan sekarang dia juga - bisakah ia keluar dari jalan tepat waktu? Pria itu masih jauh, dan dia hampir bisa merasakan panas datang melalui bumper depan truk.
Tiba-tiba, semuanya menjadi bertambah cepat. Dia melompat ke arah orang itu, bertujuan untuk menubruk punggungnya, memeluknya dan berguling ke depan. Detik berikutnya mereka berdua tergeletak di trotoar, dan Jason bersumpah ia merasakan bumper truk menyerempet sepatu kanannya, membunyikan klakson dengan keras tapi tak pernah melambat.
Orang tua itu mengerang kesakitan, dan Jason menyadari bahwa ia berbaring diatasnya. Dia segera berlutut dan membungkuk memeriksa orang itu.
Jason bernapas keras, tapi masih mampu berkata sambil terengah, "Apakah anda baik-baik saja?" Sambil memegang bahu pria itu.
Sebuah erangan kecil adalah satu-satunya jawaban.
"Maaf jika aku menyakitimu," lanjut Jason, "tapi truk itu ... datang dengan cepat-Dan anda-"
Mata pria itu terbuka, dan ia menatap berkeliling, sedikit bingung tapi menunjukkan tanda-tanda mendapatkan kembali kesadarannya.
"Apa yang terjadi?" Katanya dengan suara lemah.
"Ada sebuah truk datang mendekat," kata Jason, kata-kata mengalir keluar, "dan anda berada di tengah jalan, dan aku tak berpikir ... dan aku benar-benar minta maaf jika aku menyakitimu..."
Pria itu mencoba bangkit, tetapi Jason menahannya dengan kuat ke bahunya.
"Tolong Pak, tetaplah di sana, dan aku akan minta bantuan seseorang untuk memanggil ambulans." Sekelompok kecil penonton mulai berkumpul di sekitar mereka.
"Tidak," jawab orang itu, suaranya sedikit lebih kuat sekarang, "Aku akan baik-baik. Hanya sedikit sakit saja. Dimana topiku?"
Jason hampir tertawa, berpikir itu lucu bahwa orang ini lebih khawatir tentang topinya ketika dirinya sendiri terbaring di trotoar. Jason melihat sekeliling, tapi tak bisa menemukannya. Dia akhirnya melihat di bawah orang itu, dan menariknya keluar. Topinya jadi pipih dan ia berusaha untuk mendorongnya kembali ke bentuk semula sebelum menyerahkannya kembali.
"Tolong bantu aku berdiri," kata pria itu, setelah menempatkan kembali topi yang sudah cacat itu pada kepalanya.
"Anda yakin?" Jason jawab, kekhawatiran di wajahnya.
"Bantu aku ke bangku yang di sana. Aku hanya butuh mengatur napasku."
Setelah sedikit upaya dari keduanya, Jason akhirnya membantu orang itu duduk di bangku, dan kerumunan kecil yang menonton mereka mulai bubar.
"Duduklah di sini di sampingku, nak," kata pria itu, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan. Siapa namamu?"
"Jason. Jason Ramsey. Dan terima kasih kembali. Tapi aku tadi benar-benar tak berpikir ketika melakukan itu, jadi..."
"Keberanian seperti itu tak memerlukan pikiran," jawab orang itu, "mereka hanya melakukannya." Dia menambahkan, "Aku Malchediel."
"Senang bertemu anda Mr. Malchediel," kata Jason, dan mengulurkan tangannya.
"Hanya Malchediel," kata pria itu, mengambil tangan Jason dan menggenggamnya erat-erat. Mata Malchediel yang biru cerah terfokus pada remaja itu, dan menatapnya begitu intens, ia sepertinya menatap menembus dirinya.
"Ok, emm, Malchediel," kata Jason, sedikit bingung dengan cara pria itu menatapnya. Dia masih meremas tangannya, lebih lama dari jabat tangan harus berlangsung. Dan jauh lebih keras juga, terutama dari seorang tua yang baru saja roboh.
"Berapa umurmu nak?" Tanya Malchediel.
Jason pikir ini jadi semakin aneh, tapi mejawab, "Baru delapan belas tahun."
Tatapan orang tua itu berlangsung sedikit lebih lama, dan ia tampaknya mengambil keputusan.
"Perbuatan besar dari keberanian pantas mendapat balasan yang besar, apakah kau setuju Mr. Ramsey?"
Jason tampak merasa malu. "Aku tak ingin uang."
"Bagus, karena aku juga tak akan menawarkan uang."
Jason mukanya berbalik berwarna merah terang. "Maaf, aku tak bermaksud..."
"Uang bukanlah hadiah yang besar," lanjut Malchediel, "tapi ini." Dia merogoh sakunya dan mengambil suatu benda. Dia memegang tangan Jason dalam genggamannya, menempatkan benda itu ke telapak tangannya, dan menutup jari-jari remaja itu hingga membentuk kepalan.
"Anda benar-benar tak harus memberiku..." Jason mulai.
"Tapi ingat nak," orang itu terus melanjutkan, seperti Jason tak sedang bicara, "kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kombinasi yang berbahaya.
Jason tak yakin apa yang orang tua itu sedang bicarakan, sehingga ia berkata "Terima kasih" dengan nada suara sedikit bertanya.
Orang tua itu menganggap ini lucu, dan tertawa lepas. Dia memang tampaknya telah pulih dari penderitaannya.
"Oh, kau memang akan berterima kasih padaku," kata Malchediel, masih tersenyum, dan setelah jeda menambahkan, "nanti". Ini membuatnya tertawa lagi.
Dengan ini, ia bangkit dari bangku, jauh lebih bugar dari seorang tua yang baru saja dijatuhkan ke trotoar beton.
"Aku harus pergi sekarang," katanya, membetulkan topinya yang rusak, "tapi terima kasih sekali lagi atas tindakanmu yang berani."
"Sama-sama," jawab Jason, berdiri juga, "Dan terima kasih atas ... eh ... hadiahnya. "Dia melambaikan tangannya yang tertutup dan tersenyum.
"Senang bertemu denganmu Jason," kata Malchediel, dan berbalik untuk pergi. Lalu ia berbalik dan berkata, "Oh, satu hal yang sangat penting. Pertama kali kau menggunakannya, kau harus berada dalam kamarmu, sendirian" Dia memberi Jason satu senyum misterius terakhir, dan berbalik dan berjalan menjauh, tak melihat ke belakang.
Jason melihat dia pergi, dan ketika orang itu berbelok, ia kembali duduk di bangku dan membuka tangan terkepalnya, melihat hadiah yang diterimanya. Ini adalah semacam kalung. Melekat pada rantai perak tipis adalah sebuah batu berbentuk titik air mata berwarna hitam, berukuran panjang sekitar dua inci dan satu inci lebarnya.
Dan meskipun batunya berwarna hitam, ketika ia melihat lebih dekat, sinar matahari berkilauan di sepanjang permukaan dan sepertinya mengeluarkan warna dari interiornya. Tampaknya seolah-olah lautan warna yang berputar-putar di dalamnya, perpaduan warna merah, hijau dan biru, berputar dan bergulung antara satu sama lain. Dia belum pernah melihat benda yang seperti ini.
Dia memegang di antara jari-jarinya dan mengusap, merasakan permukaan licin ketika di sentuh. Ini mengingatkannya pada batu-batu yang dipoles yang bisa dibeli di salah satu stan suvenir kaki lima. Tapi ini jauh lebih bagus, jauh lebih berwarna, dan dia bersumpah ia bisa merasakan sedikit getaran saat ia memegangnya. Ah, ini pasti hanya imajinasinya. Dia mungkin masih gelisah karena kejadian barusan yang hampir membuat dirinya terbunuh.
Dia ingin memakainya, dan menemukan pengaitnya, membukanya, dan hendak meletakkannya di lehernya ketika ia ingat peringatan orang tua itu yang mana harus sendirian ketika memakainya. Ia mempertimbangkan untuk tetap memakainya, tapi teringat sorot mata orang tua itu, dan memutuskan lebih baik ia menunggu saja. Sambil menggenggam kalung itu erat-erat di tangannya, ia pulang ke rumah, perpustakaan dan buku yang ia cari benar-benar terlupakan.
Bab 1
Jason menatap benda di tangannya, terpesona dengan benda berkilauan yang sedikit bercahaya di bawah permukaannya yang mengkilap dan halus berwarna hitam. Jantungnya masih berpacu atas peristiwa yang baru saja terjadi, dan napasnya akhirnya kembali teratur. Dia selalu bertanya-tanya bagaimana ia akan bereaksi dalam situasi krisis, dan sekarang ia tahu.
Beberapa menit sebelumnya, ia memutuskan untuk berhenti di perpustakaan dalam perjalanan pulang dari sekolah, membutuhkan sebuah buku untuk menyelesaikan penelitiannya untuk pelajaran sejarah yang harus dikumpulkan Senin depan. Sedikit kutu buku, dia bekerja keras untuk mendapatkan nilai A semua pada tahun terakhirnya, membutuhkan beasiswa untuk bisa kuliah.
Berdiri di pojok menunggu lampu berganti, pikirannya mengembara pada Becky Johnson. Becky telah pindah ke kota ketika mereka di kelas 10, dan sejak itu Jason naksir padanya. Cantik dan atletis, ia segera bergabung dengan kelompok elit di sekolah, menjadi seorang cheerleader dan anggota tim renang. Dan meskipun ia telah berbagi banyak kelas dengan Becky selama dua tahun terakhir, dia mungkin tak kenal sama sekali padanya. Dia selalu berjuang untuk menjaga nilai-nilainya tetap tinggi di mata pelajaran yang mereka sama-sama ambil, dan tahu alasannya adalah karena dia menghabiskan setengah waktunya di kelas mendengarkan guru, dan setengah lainnya menatapnya.
Dia begitu asyik melamun tentang Becky, ia tak melihat orang tua memakai topi shuffle melewatinya, masuk ke jalan. Tapi saat ia membayangkan bagaimana Becky tampak seksi dengan rok cheerleader-nya, sesuatu telah mengganggu otaknya, menuntut perhatian. Realitas akhirnya menang, dan ia menyadari apa yang dilihatnya: Seorang pria tua sedang menyebrangi jalan di depannya, sudah berada lebih dari setengah jalan. Dari kanan, ia bisa melihat sebuah truk pickup besar mendekat, datang dengan cepat dan tak menunjukkan tanda-tanda melambat.
Selama sepersekian detik, Jason tahu apa yang dia akan lihat; orang tua itu akan mati, dan dengan kondisi yang mengerikan. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia bergerak. Dia belum pernah beremain satu olahraga yang terorganisir, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, tubuhnya telah berubah dari seorang pendek dan kurus saat freshman, menjadi murid senior yang tinggi, bugar dan ramping berotot, tumbuh otot di mana sebelumnya ia tak memilikinya. Dan sekarang ia menggunakan semuanya, berlari menyeberang jalan lebih cepat dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Tapi itu rasanya lambat baginya. Rasanya seperti sedang berjalan di pasir hisap, dan truk itu terlalu dekat pada orang tua itu - dan sekarang dia juga - bisakah ia keluar dari jalan tepat waktu? Pria itu masih jauh, dan dia hampir bisa merasakan panas datang melalui bumper depan truk.
Tiba-tiba, semuanya menjadi bertambah cepat. Dia melompat ke arah orang itu, bertujuan untuk menubruk punggungnya, memeluknya dan berguling ke depan. Detik berikutnya mereka berdua tergeletak di trotoar, dan Jason bersumpah ia merasakan bumper truk menyerempet sepatu kanannya, membunyikan klakson dengan keras tapi tak pernah melambat.
Orang tua itu mengerang kesakitan, dan Jason menyadari bahwa ia berbaring diatasnya. Dia segera berlutut dan membungkuk memeriksa orang itu.
Jason bernapas keras, tapi masih mampu berkata sambil terengah, "Apakah anda baik-baik saja?" Sambil memegang bahu pria itu.
Sebuah erangan kecil adalah satu-satunya jawaban.
"Maaf jika aku menyakitimu," lanjut Jason, "tapi truk itu ... datang dengan cepat-Dan anda-"
Mata pria itu terbuka, dan ia menatap berkeliling, sedikit bingung tapi menunjukkan tanda-tanda mendapatkan kembali kesadarannya.
"Apa yang terjadi?" Katanya dengan suara lemah.
"Ada sebuah truk datang mendekat," kata Jason, kata-kata mengalir keluar, "dan anda berada di tengah jalan, dan aku tak berpikir ... dan aku benar-benar minta maaf jika aku menyakitimu..."
Pria itu mencoba bangkit, tetapi Jason menahannya dengan kuat ke bahunya.
"Tolong Pak, tetaplah di sana, dan aku akan minta bantuan seseorang untuk memanggil ambulans." Sekelompok kecil penonton mulai berkumpul di sekitar mereka.
"Tidak," jawab orang itu, suaranya sedikit lebih kuat sekarang, "Aku akan baik-baik. Hanya sedikit sakit saja. Dimana topiku?"
Jason hampir tertawa, berpikir itu lucu bahwa orang ini lebih khawatir tentang topinya ketika dirinya sendiri terbaring di trotoar. Jason melihat sekeliling, tapi tak bisa menemukannya. Dia akhirnya melihat di bawah orang itu, dan menariknya keluar. Topinya jadi pipih dan ia berusaha untuk mendorongnya kembali ke bentuk semula sebelum menyerahkannya kembali.
"Tolong bantu aku berdiri," kata pria itu, setelah menempatkan kembali topi yang sudah cacat itu pada kepalanya.
"Anda yakin?" Jason jawab, kekhawatiran di wajahnya.
"Bantu aku ke bangku yang di sana. Aku hanya butuh mengatur napasku."
Setelah sedikit upaya dari keduanya, Jason akhirnya membantu orang itu duduk di bangku, dan kerumunan kecil yang menonton mereka mulai bubar.
"Duduklah di sini di sampingku, nak," kata pria itu, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas apa yang kau lakukan. Siapa namamu?"
"Jason. Jason Ramsey. Dan terima kasih kembali. Tapi aku tadi benar-benar tak berpikir ketika melakukan itu, jadi..."
"Keberanian seperti itu tak memerlukan pikiran," jawab orang itu, "mereka hanya melakukannya." Dia menambahkan, "Aku Malchediel."
"Senang bertemu anda Mr. Malchediel," kata Jason, dan mengulurkan tangannya.
"Hanya Malchediel," kata pria itu, mengambil tangan Jason dan menggenggamnya erat-erat. Mata Malchediel yang biru cerah terfokus pada remaja itu, dan menatapnya begitu intens, ia sepertinya menatap menembus dirinya.
"Ok, emm, Malchediel," kata Jason, sedikit bingung dengan cara pria itu menatapnya. Dia masih meremas tangannya, lebih lama dari jabat tangan harus berlangsung. Dan jauh lebih keras juga, terutama dari seorang tua yang baru saja roboh.
"Berapa umurmu nak?" Tanya Malchediel.
Jason pikir ini jadi semakin aneh, tapi mejawab, "Baru delapan belas tahun."
Tatapan orang tua itu berlangsung sedikit lebih lama, dan ia tampaknya mengambil keputusan.
"Perbuatan besar dari keberanian pantas mendapat balasan yang besar, apakah kau setuju Mr. Ramsey?"
Jason tampak merasa malu. "Aku tak ingin uang."
"Bagus, karena aku juga tak akan menawarkan uang."
Jason mukanya berbalik berwarna merah terang. "Maaf, aku tak bermaksud..."
"Uang bukanlah hadiah yang besar," lanjut Malchediel, "tapi ini." Dia merogoh sakunya dan mengambil suatu benda. Dia memegang tangan Jason dalam genggamannya, menempatkan benda itu ke telapak tangannya, dan menutup jari-jari remaja itu hingga membentuk kepalan.
"Anda benar-benar tak harus memberiku..." Jason mulai.
"Tapi ingat nak," orang itu terus melanjutkan, seperti Jason tak sedang bicara, "kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah kombinasi yang berbahaya.
Jason tak yakin apa yang orang tua itu sedang bicarakan, sehingga ia berkata "Terima kasih" dengan nada suara sedikit bertanya.
Orang tua itu menganggap ini lucu, dan tertawa lepas. Dia memang tampaknya telah pulih dari penderitaannya.
"Oh, kau memang akan berterima kasih padaku," kata Malchediel, masih tersenyum, dan setelah jeda menambahkan, "nanti". Ini membuatnya tertawa lagi.
Dengan ini, ia bangkit dari bangku, jauh lebih bugar dari seorang tua yang baru saja dijatuhkan ke trotoar beton.
"Aku harus pergi sekarang," katanya, membetulkan topinya yang rusak, "tapi terima kasih sekali lagi atas tindakanmu yang berani."
"Sama-sama," jawab Jason, berdiri juga, "Dan terima kasih atas ... eh ... hadiahnya. "Dia melambaikan tangannya yang tertutup dan tersenyum.
"Senang bertemu denganmu Jason," kata Malchediel, dan berbalik untuk pergi. Lalu ia berbalik dan berkata, "Oh, satu hal yang sangat penting. Pertama kali kau menggunakannya, kau harus berada dalam kamarmu, sendirian" Dia memberi Jason satu senyum misterius terakhir, dan berbalik dan berjalan menjauh, tak melihat ke belakang.
Jason melihat dia pergi, dan ketika orang itu berbelok, ia kembali duduk di bangku dan membuka tangan terkepalnya, melihat hadiah yang diterimanya. Ini adalah semacam kalung. Melekat pada rantai perak tipis adalah sebuah batu berbentuk titik air mata berwarna hitam, berukuran panjang sekitar dua inci dan satu inci lebarnya.
Dan meskipun batunya berwarna hitam, ketika ia melihat lebih dekat, sinar matahari berkilauan di sepanjang permukaan dan sepertinya mengeluarkan warna dari interiornya. Tampaknya seolah-olah lautan warna yang berputar-putar di dalamnya, perpaduan warna merah, hijau dan biru, berputar dan bergulung antara satu sama lain. Dia belum pernah melihat benda yang seperti ini.
Dia memegang di antara jari-jarinya dan mengusap, merasakan permukaan licin ketika di sentuh. Ini mengingatkannya pada batu-batu yang dipoles yang bisa dibeli di salah satu stan suvenir kaki lima. Tapi ini jauh lebih bagus, jauh lebih berwarna, dan dia bersumpah ia bisa merasakan sedikit getaran saat ia memegangnya. Ah, ini pasti hanya imajinasinya. Dia mungkin masih gelisah karena kejadian barusan yang hampir membuat dirinya terbunuh.
Dia ingin memakainya, dan menemukan pengaitnya, membukanya, dan hendak meletakkannya di lehernya ketika ia ingat peringatan orang tua itu yang mana harus sendirian ketika memakainya. Ia mempertimbangkan untuk tetap memakainya, tapi teringat sorot mata orang tua itu, dan memutuskan lebih baik ia menunggu saja. Sambil menggenggam kalung itu erat-erat di tangannya, ia pulang ke rumah, perpustakaan dan buku yang ia cari benar-benar terlupakan.