Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA A dance with misery

Pingin baca cerita ini lagi tapi sudah di banned :((
Kenapa harus repot??
Nih di bawah
Ini semua hanyalah cerita karangan belaka, jika ada kesamaan dengan dunia nyata itu semua disengaja demi keperluan cerita. Update ceritanya juga nggak jelas, kadang cepat, kadang lambat, kadang panjang, kadang pendek, kadang bagus, tapi keseringan jelek.

Happy reading folks......



Sebelum kau berharap banyak, aku adalah penjahat di cerita ini. Aku tak mengharapkan kau mengerti kenapa aku melakukan semua ini, aku hanya ingin bercerita bagaimana ini terjadi. Semuanya ini semau dimulai saat Ali, sahabatku sendiri mengenalkanku kepada kekasihnya, idolaku sendiri, Ratu Vienny Fitriliya.


Baiklah, aku akan memulai ceritaku dari sana.


Pagi itu sebenarnya Ali tak mengatakan apapun soal bertemu dengan kekasihnya, kami seperti biasa pergi kuliah lalu pulang untuk mengurus kedai kopi milik kami berdua. Tapi, hari itu aku melihat sesuatu yang berbeda dari Ali, dia terlihat begitu senang, begitu bersemangat, sesuatu yang jarang sekali kulihat dari dirinya.


Aku yang dipenuhi rasa penasaran pun bertanya kepadanya.


“Lo kenapa sih Li? Senyum senyum terus dari tadi. Nggak pegel tuh bibir?” tanyaku.


“Nggak, Cuma...eh hari ini meja 33 gue booking ya.” Balas Ali yang sebenarnya tak menjawab pertanyaanku. Tapi jawabannya yang aneh itu menambah rasa penasaranku, kenapa Ali sampai mengambil meja untuk dirinya sendiri. Terlebih Ali tahu bahwa meja itu adalah salah satu meja terbaik di kedai, meja instagramable yang selalu menjadi rebutan para anak muda untuk berfoto.


“Nggak bisa meja lain, lu kan tahu itu mejanya anak instagram.”


“Hari ini aja, ya? Ya?.”


Ari tahu dia tak harus meminta izinku untuk mengambil meja itu, setengah kedai ini miliknya. Dia pasti melakukannya semata mata karena dia menghargaiku. Lagi pula aku tak punya hak untuk menghalangi kebahagiaannya, entah apapun itu.


“Ya udah ya udah, lu pasang aja sendiri tandanya.” Ucapku sambil melemparkan tanda bertuliskan reserved kepadanya.


“Thanks ya, lo emang sohib gue yang paling sahih.”


“Berisik, buru pasang tandanya. Ntar ada yang ngambil mejanya lu yang ribet.”


Sekali lagi dengan wajah yang berbunga bunga Ali pergi memasang tanda pada meja nomor 33 yang terletak tepat disebelah jendela. Saat kembali senyum itu belum hilang dari wajahnya, membuatku tak tahan dan ingin tahu apa yang membuatnya bertingkah seperti itu.


“Li seriusan lu kenapa sih dari tadi senyum senyum sendiri, terus mejanya buat apaan?”


“Buat pacaran..”


“Hah...pacaran?”


Jika kau mungkin bingung kenapa aku terkejut mendengar Ali mengatakan dia mengambil meja itu untuk pacaran, itu karena Ali tidak pernah dekat dengan wanita sebelumnya. Kami sudah bersahabat begitu lama sampai aku tak bisa mengingat kapan pertama kali kami bertemu. Selama itu juga aku tak pernah melihat Ali dekat dengan wanita, terlebih mendengar dia berpacaran.


Bukan, bukan aku berkata bahwa Ali lelaki yang buruk dan tak pantas untuk dijadikan pacar, tidak, tolong jangan berpikir seperti itu. Ali adalah lelaki yang baik, dia pekerja keras yang membuat kedai kecil kami bisa cukup sukses seperti sekarang. Dan sebagai sahabatnya aku tahu bahwa dia orang yang cerdas, dan dia jauh, jauh lebih tampan dariku.


Dengan semua kelebihannya itu, tentu banyak wanita yang mencoba mendekati Ali. Dan yang kumaksud banyak itu, banyak sekali. Dari para teman kampus hingga pelanggan yang datang ke kedai kami. Meski begitu Ali hanya menanggapi dengan sopan lalu berjalan pergi, tak pernah sekali pun aku melihat Ali menanggapi godaan para wanita cantik itu lebih jauh.


Lalu sekarang, dengan wajah girang dia mengatakan bahwa dia ingin pacaran di kedai kami, aku hanya berharap bahwa para pelanggan wanita yang selama ini mendekatinya tak patah hati lalu bunuh diri.


“Serius lu mau pacaran disini?”


“Iya lah, hari ini bebeb gue mau ngeliat liat usaha calon suaminya kelak.” Balas Ali sambil menaikan salah satu alisnya.


“Tapi ini kan kedai gue juga,”


“Tau, makanya ntar lo juga kenalin sama dia.”


“Ya udah terserah, tapi lu harus tetap kerja.”


“Iya ah..berisik.”


Setelah menjelaskan semaunya, Ali pun pergi dan melanjutkan pekerjaannya, mempersiapkan kedai kopi yang akan kami buka sebentar lagi. Aku sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan Ali yang pacaran di kedai ini, aku sebenarnya senang mengetahui bahwa Ali akhirnya menemukan seseorang untuk menemaninya melewati hari harinya.


Ya, meski Ali adalah lelaki yang hampir sempurna. Dia tetap punya masalah, sama seperti mu, sama sepertiku. Dibalik kesempurnaan fisik dan kepribadiannya itu, Ali selalu kesepian. Seluruh keluarganya terlibat dalam sebuah kecelakaan, dia hanya punya aku sebagai sahabatnya dan aku tak bisa selalu ada disampingnya.


Siapa pun gadis itu, aku harap dia bisa menemani Ali saat aku tak bisa ada disana.


Ya begitu lah pikirku waktu itu, saat aku tak tahu siapakah yang akan duduk bersama Ali di meja nomor 33 itu.


Saat aku benar benar berharap kebahagiaan untuknya.


Saat itu aku baru saja selesai mengecheck stock kopi saat aku melihat Ali sedang duduk dengan seorang wanita di meja yang sudah dia pesan. Aku tak bisa melihat wajah wanita itu, tapi entah mengapa aku merasa sangat familiar dengan punggung wanita itu. Aku juga seperti sering melihat potongan rambut yang dia miliki. Aku seperti mengenalnya.


Saat itu aku tak mau terlalu memusingkannya, mungkin hanya perasaanku saja, pikirku. Hanya ada beberapa orang pengunjung di kedai saat itu, jadi aku membiarkan Ali menikmati waktunya. Setelah semua kerja kerasnya, dia layak mendapat sedikit istirahat dan menikmati waktunya sendiri.


Mereka berdua bercengkrama mesra, senyuman juga tak bisa lepas dari wajah Ali sehingga aku pikir wajah wanita yang bersamanya itu juga penuh senyum. Itu lah pertama kalinya aku melihat Ali begitu bahagia, dan aku menyesal telah mengambil kebahagiannya itu.


Bagaimana aku bisa menyebut diriku sahabatnya setelah aku merenggut satu satunya kebahagiannya . Aku yang terburuk dan aku menyadari itu. Aku tak akan mencoba membela diriku tentang apa yang telah aku lakukan, aku hanya perlu mengeluarkan semuanya dari dadaku. Karena itu lah aku menceritakan ini semua.


Meski waktu itu aku tak memiliki niat buruk apapun, waktu itu aku benar benar merasa senang melihat Ali menemukan gadis yang membuatnya bahagia. Aku rasa niat burukku muncul saat aku mengetahui siapa gadis itu sebenarnya.


Jadi, jika bisa merubah satu hal yang pernah terjadi, aku berharap Ali tak akan pernah mengenalkan siapa kekasihnya waktu itu. simpan saja kawan kebahagianmu waktu itu. Karena saat aku mengenal gadis itu, aku merasakan sakit yang merubahku.


“Ji...Benji, sini !!!” teriak Ali memanggilku. Saat itu aku baru saja mengantarkan pesanan ke meja nomor 26 yang dekat dengan meja tempat Ali dan kekasihnya duduk.


“Apaan gue sibuk,” jawabku waktu itu, saat itu aku tak ingin menganggu Ali, aku ingin dia menikmati waktu bahagianya itu sepenuhnya.


Aku kembali ke meja kasir, tak memperdulikan Ali yang beberapa kali memanggilku.


“Pacaran aja ****** nggak usah manggil manggil gue.” Ucapku dalam hati. Aku juga berpura pura sibuk waktu itu, agar aku punya alasan tak menanggapi permintaan Ali untuk bergabung dengannya.


Tapi dengan sikap pantang menyerahnya itu, Ali datang menghampiriku.


“Benji.” Panggilnya.


“Apaan gue sibuk, pacaran aja udah lu sana.” Balasku.


“Kan udah gue bilang gue mau ngenalin lu sama dia,” ucap Ali sambil menunjuk kearah kekasihnya di meja 33.


“Ah ribet, hari ini lu gue liburin. Sepi juga kayaknya.” Balasku.


“Apaan sih lu, udah ayo bentaran doang.”


Ali dengan tangannya yang besar itu menarikku keluar dari meja kasir, dan menyeretku untuk menemui gadis yang seharusnya tak pernah dia kenalkan padaku.


“Li, meja nggak ada yang jaga, LI..” ucapku mencoba menyakinkannya untuk membiarkanku kembali ke meja kasir.


“Bentaran doang..”


Aku yang kalah kuat dari sahabatku pun tak bisa berbuat banyak, aku diseret hingga ke meja dimana kekasihnya telah menunggu.


“Maaf lama,” ucap Ali.


“Iya nggak apa apa.” Saat itu Gadis yang kurasa pernah kutemui, yang kurasa kukenali berbalik badan dan menunjukan siapa dia. Aku kaget, hampir jatuh kurasa. Dia Viny, gadis yang kemarin kutemui, kutonton penampilannya di FX sudirman.


Aku rasa waktu itu, aku dipenuhi begitu banyak pertanyaan dan rasa terkejut aku membiarkan Ali ‘melemparkan’ ku duduk dikursi yang tepat berada didepan Viny.


Aku masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Viny, dia pacaran dengan Ali sahabatku. Tapi Viny adalah idolaku, salah satu oshiku, dan jika kuingat dia baru mendapatkan hukuman karena dia ketahuan berpacaran. Lalu kenapa dia berada didepanku sekarang, sebagai gadis yang dikenalkan sahabatku sebagai kekasihnya.


Apa Viny kembali melanggar peraturan yang membuatnya menjadi siswa trainee sekarang?


Wow? Begitu pikirku.


“Hehehe...Viny,” ucapnya memperkenalkan diri dan mengulurkan tanganya untuk bersalaman.


Tentu aku tahu kau Viny, kau sudah melakukannya berulang kali disetiap pertunjukanmu yang kusaksikan.


“Oiii, ngajak kenalan tuh, begong aja.” Ucap Ali menyadarkanku. Aku begong, tentu saja aku butuh waktu untuk mencerna ini semua.


“Kesemsem tuh dia sama aku,” balas Viny.”Hehehehe..”


“Jangan ganjen.” Ucap Ali mengingatkan Viny untuk tidak berbuat nakal, andai dia tahu.


“Lagian dia begong aja, pegel nih.” Ucap Viny setengah merengek. Aku rasa, atau itu hanya gimmick, aku tak tahu, aku tak tahu lagi bagaimana harus memandang Viny.


“Ben....Setiaji.” ucapku sambil menyambur uluran tangan Viny dan menyalaminya beberapa saat.


“Panggil aja Benji,” ucap Ali tiba tiba menimpali perkenalan diriku.


“Huss..jangan gitu,” ucap Viny kali ini seperti dia mengingatkan Ali untuk tidak nakal, dia bahkan menunjuk dan memasang wajah galak.


"Iya maaf, tumben tumbenan pake nama Ben, biasa Benji juga."


"Iya panggil aja Benji." ucapku mengiyakan kata kata Ali, pikiranku masih dipenuhi oleh banyak hal dan aku tak mau memusingkan sesuatu seperti nama panggilan.


Jika ingin digambarkan dengan kata kata, perasaanku waktu itu adalah seperti rasa shock yang aneh. Aku merasa dikhianati oleh Viny, karena sekali lagi dia membuang rasa percayaku dengan berpacaran, tapi tetap ada rasa senang dihatiku untuk Ali. Dia pantas mendapatkan yang terbaik, dan itu mungkin Viny.


"What’s happening....!!!!"teriakku dalam hati.


"Eh haus nih," ucap Viny.


"Ya udah tunggu.”


Ali pun pergi meninggalkan kami berdua, Viny menatapku dengan pandangan yang berbeda. Seperti memastikan sesuatu. Lalu aku tak akan pernah lupa kata katanya setelah itu, itu seperti terukir di otakku.


“Gue tahu siapa lu, gue tahu siapa oshi lu, gue nggak peduli apa yang lu pikirin, apa yang mau lu lakuin, mau tubirin gue, mau nyebar ini di sosmed. Gue cinta sama Ali, Cuma itu yang harus lu tahu.
Harusnya aku senang, Viny tahu siapa aku. Diwaro, itu lah istilahnya. Tapi saat itu aku tak yakin apakah waro yang selalu aku harapkan dari member, yang Viny berikan waktu itu. Dia menatapku dengan pandangannya yang menusuk, hingga saat itu mungkin aku lebih takut daripada senang.

Ya, aku takut kepada gadis cantik yang ada didepanku.

“Lu kaget ya?” ucap Viny datar.

Aku hanya diam waktu itu, tak tahu harus berkata apa. Mungkin karena kepalaku dipenuhi begitu banyak hal yang masih coba untuk kupahami.

“Jawab dong, salah satu oshi lu nih yang nanya.”

Ya, mungkin aku benar benar takut waktu itu. Viny dengan tatapan tajam dan nada datarnya. Aku merasa seperti melihat sesuatu yang berbeda, dia tak seperti Vinyku. Dia tidak lucu, tidak artistik, tidak...dia sosok yang lain.

“Gue....” suara seperti hilang dari kata kataku, membuat mereka menjadi sebuah kesunyian kosong. Aku ingat aku ingin menjawab pertanyaan Viny waktu itu, tapi aku tak bisa.

“Ben...ji sayang.” Lalu sebuah senyuman muncul diwajah Viny, dan sama seperti tatap matanya, itu menakutkan. Senyum itu terbentuk perlahan lalu, aku hanya bisa melihat senyum itu, dan takut karenanya.

“Vin...gue, gue.....”

“Stttt...” diletakan jari telunjuknya dibibirku lalu dia berkedip.

Aku mengangguk, seperti seekor anjing yang mengerti perintah majikannya. Aku mengerti waktu itu Viny menyuruhku diam dan memperhatikannya.

“Gini...biar lu tahu, gue cinta mati sama Ali jadi apapun yang terjadi gue akan tetap jadi pacarnya. Sebagai sahabatnya lu pasti ingin Ali bahagia kan?, jadi lu simpen baik baik ya rahasia ini.” Viny mengakhiri kata katanya itu dengan senyuman, dan kali ini gue kenal dengan senyumannya itu. Senyumannya itu terasa familiar.

Tentu saja aku ingin Ali bahagia, dia pantas untuk itu. tapi gimana aku bisa nyimpan rahasia ini, aku seorang fans, aku tahu bagiamana perasaan fans lain jika tahu ada member yang terkena skandal, aku tahu mereka marah, sedih, kecewa, aku juga merasakan hal itu.

“Atau lu mau ini kesebar, lalu Ali dibully sama fans gue yang marah? Atau yang lebih parah kalo kedai ini sampe dihancurin?” Viny mengatakan itu semua dengan senyuman, bagaimana mungkin?

“Tapi Vin....gue, fans...lu ngancem?”

“Nggak lah, gue cuma bilang kemungkinan yang terjadi doang.” Ucap Viny, kali ini dengan nada dan ekspresi polos. Padahal dua detik lalu dia natap gue dengan tatapan tajam dan nada datar,.”Bayangin deh, gimana marahnya mereka kalo tahu gue kena skandal lagi. hihihi, terus gue bilang kalo sebenarnya gue terpaksa.”

“Terpaksa? Tapi lu bilang tadi lu cinta sama Ali?”

“Gue cinta kok, cinta banget malahan. Ya...tapi kan bisa aja gue bilang sebenarnya Ali itu cowok posesif yang nggak mau mutusin gue,padahal gue udah mohon mohon karena nggak mau ngekhianatin para fans gue lagi gimana coba? Pasti mereka marahnya ke Ali.”

How the fuck she actually think like that...FUCK....

Saat itu aku hanya bisa natap Viny dan coba mikir gimana bisa Viny berubah jadi sosok yang mengerikan, sosok yang aku tak mengerti bagaimana Viny bisa menyembunyikannya selama ini.

“Vin....”

“Iya sayang.”

“Gue ngerti,”

“Ngerti apa coba?”

Apa dia menghina ku? Aku tak tahu, saat itu aku hanya takut dengan ucapan Viny. Tentang Ali dan juga kedai, waktu itu aku benar benar takut dengan Viny. Dia berhasil mengalahku dengan kata katanya.

“Gue bakalan diam, gue akan nyimpan rahasia ini sampe mati.”

Viny tersenyum penuh kepuasan.

“Bagus kalo lu paham,”

Aku hanya ingin Ali bahagia, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepada Ali. Dia pantas bahagia, dia sahabatku.

“Ali tahu?”

“Tahu soal apa?”

Tentang sosok mu yang sebenarnya, sosok dibalik kecantikan dan senyum indahmu itu. Tentu aku tak akan berkata seperti itu, aku tak tahu apa yang akan dilakukan Viny jika aku membuatnya marah.

“Soal lu dan JKT48, soal golden rules dan sebagainya?”

“ Nggak, dia tahunya gue ini mahasiswi cantik dan lucu biasa.”

“Terus kalo ada yang ngeliat kalian pacaran?”

“Kepergok wota maksudnya? Ya gue nggak ****** kali, gue udah ketahuan sekali, ya gue belajar lah. Gue cuma pacaran di apartemen Ali atau rumah gue, jadi nggak mungkin ketahuan.”

“Lalu Ali nggak curiga kalian nggak pernah keluar?”

“Nggak kok, Ali cowok yang nggak banyak nuntut makanya gue sayang.”

Aku bingung, apa mungkin Viny benar benar cinta kepada Ali? apa sebenarnya semua ancamannya itu hanya untuk menjaga agar hubungannya dengan Ali tak ketahuan? Deklarasi cinta yang tadi dia katakan, tentang dia tak peduli apa yang terjadi karena dia mencintai Ali. Apa aku hanya perlu menerima bahwa sahabatku saling mencintai dengan salah satu gadis idolaku?

“Eh...serius amat ngobrolnya, ngomongin apa sih?”

Aku belum menemukan jawabanku, saat Ali datang dengan tiga gelas kopi dan bergabung kembali bersama kami.

“Nggak, tadi cuma nanya nanya soal design kedainya. Mau jadiin referensi tugas,” jawab Viny berbohong, dia tak mungkin mengatakan hal yang sesungguhnya.

“Oh...kirain,”

“Kirain apaan ih, cemburuan.”

“Cemburu kan tanda sayang.”

“Gombal.”

Aku senang melihat mereka berdua begitu mesra, meski aku tak tahu jika Viny benar benar tulus dan tak hanya berpura pura didepan Ali.

“Eh..Benji masih jomblo kan?” tanya Viny yang kemudian berkedip kepadaku. Aku tak tahu maksud kedipannya waktu itu.

“Kenapa? mau selingkuh sama Benji,” jawab Ali.

“Apaan sih nggak lucu tahu dari tadi bilang aku selingkuh terus.” Ucap Viny marah, dia memasang wajah kesalnya dan membuang muka.

“Maaf deh, becanda doang,” ucap Ali ditengah tengah usahanya menenangkan Viny kembali.

“Nggak, kamu becandanya jahat. Aku cinta banget sama kamu dibilang selingkuh lah, apalah. Aku nanya sahabat kamu aja dibilang mau selingkuh.”

“Aku tahu Vin, aku juga cinta banget sama kamu. Aku janji nggak akan begitu lagi.” Ali berkata seperti itu sambil mengulurkan jari kelingkingnya keluar, mengajak Viny melakukan pinky swear.

“Becanda jangan kelewatan makanya, untung sayang.” Balas Viny sambil mengaitkan jari kelingkingnya kepada jari kelingking milik Ali.

“Lagian kenapa tadi nanya nanya gitu?” tanya Ali dengan wajah penasaran.

“Gini, kan temen temen aku banyak yang jomblo tuh. Aku mau ngajak salah satu buat ikutan double date bareng kita, nanti Benji aku kenalin sama temen aku biar mereka bisa lanjut sampe pacaran gitu. Aku yakin kok Benji itu cowok yang baik, dia kan sahabat kamu.” Jelas Viny.

“Oh....gitu bilang dong, kalo aku sih setuju setuju aja, lagian kasihan si Benji jomblonya udah menahun.” Ucap Ali membalas penjelasan Viny. “Ji lu nya mau?”

“Boleh...boleh.” jawabku.

“Ok fix ya, nanti aku kenalin sama temen aku. Cantik banget loh, enggak deng masih cantikan aku. Tapi beneran cantik kok.”

“Cie....Benji dikenalin sama cewek cakep.”

“Makasih Vin,” ucapku berterima kasih kepada Viny, Viny hanya tersenyum lalu sekali lagi berkedip. Apa kencan ganda ini adalah maksud kedipannya tadi? lalu untuk apa Viny melakukannya? Tidak seperti kami berdua punya perjanjian dan Viny harus melakukannya.

Aku tak terlalu peduli tentang rencana Viny untuk kencan ganda, aku lebih peduli atas kebahagian Ali waktu itu.

“Ya udah, gue mau jaga meja dulu.” ucapku yang kemudian pergi meninggalkan mereka berdua, membiarkan mereka menikmati waktu mereka. Meski aku masih sedikit shock tentang perubahan sikap Viny, tapi aku mencoba percaya kepada rasa cintanya kepada sahabatku.

Tak ada hal yang terjadi disisa hari itu, setelah beberapa jam akhirnya Ali izin mengantarkan Viny pulang. Ali tak datang kembali ke kedai, mungkin mereka berpacaran dulu disana seperti perkataan Viny tadi.

Itu ada saat pertama aku mengetahui tentang hubungan Viny dan Ali, disaat itu juga adalah awal dari cerita ini. Tak banyak yang terjadi beberapa hari setelahnya, Viny beberapa kali berkunjung ke kedai, dan dia selalu bersama Ali setiap kali dia ada disana.

Lalu sekitar satu minggu setelahnya, sesuatu terjadi. Hal kedua yang kuharapkan tak pernah terjadi. Semua dimulai saat aku menemukan Viny berbaring disebelahku saat aku bangun.

“VINY!!!” teriakku yang tak mengerti kenapa Viny sudah berbaring disebelahku.

“Berisik ah...” ucap Viny sambil menarik selimutku untuk menutupi dirinya.

Aku benar benar yakin kalau Viny tak ada disebelahku semalam saat aku tidur, maksudku bagaimana mungkin aku bisa lupa jika aku tidur diranjang yang sama dengan member jeketi. Tidak, tidak mungkin aku lupa.

“Vin..Viny.” panggilku. Aku coba membangunkan Viny yang masih tertutupi selimut.

“Apaan sih...” Viny dengan kesal menurunkan selimut yang menutupi badannya lalu memandangku dengan kesal.”Kenapa sih, bukannya senang tidur bareng oshi lu,”

“Tidur.....tidur bareng.” Kata kata Viny terdengar tak nyata bagiku, tidur bareng? Aku yakin aku tak melakukan itu dengannya.

“Iya...gue numpang tidur dikasur lu, kan namanya tidur bareng.” Balas Viny dengan datarnya, apa dia tak tahu dia hampir menghentikan napasku saat dia bilang kami tidur bareng.

“ah.....kirain.”

“Kirain apa? Kita ngentot gitu? Nggak lah, atau lu mau ngentot sama gue? Mau?”

Viny memandangku dengan pandangan mengoda, lalu dia melemparkan selimut yang menutupi badannya. Dia merangkak mendekat sedangkan aku tak bisa bergerak. Dia sudah membuka dua kancing kemejanya saat akal sehatku.....akhirnya kembali..

“Nggak..nggak Vin, lu pacar Ali. Gue nggak mungkin ngelakuin hal itu sama lu.”

Ya, aku masih bisa mengendalikan akal sehatku. Lagipula aku tak tahu jika Viny benar benar mau jika aku berkata iya, Viny terlalu sulit untuk ku prediksi.

“Oh....gitu, padahal kalo lu bilang iya gue mau mau aja kok ngentot sama lu. Kan cuma casual sex doang, padahal gue lagi sange loh sekarang. “

Aku bangkit berdiri dan mencoba tak memikirkan kata kata Viny barusan. Aku masih belum tahu apa yang sebenarnya Viny inginkan. Dan yang jauh lebih penting apa yang Viny inginkan dan kenapa dia ada disini sekarang. dikamarku.

Tunggu bagaimana dia bisa masuk kemari, aku yakin selalu mengunci pintu apartemenku saat malam hari, dan Viny tak mungkin memanjat lewat jendela. Ini lantai 20.

“Gimana lu bisa masuk kesini?”

“Kunci cadangannya Ali,” jawab Viny sambil mengeluarkan sebuah kunci dari kantong celananya.”Gue juga tahu apartemen lu dari Ali.”

Oh iya benar, aku dan Ali saling bertukar kunci candangan apartemen kami. Ali memaksa melakukannya karena dia membaca artikel tentang seorang pria yang mati sendirian, dan baru ditemukan beberapa hari kemudian. Dia takut aku akan mengalami hal yang sama.

Baiklah itu menjawab satu pertanyaanku, tapi masih ada satu yang belum terjawab.

“Terus lu ngapain datang kemari?”

“Gue mau minta tolong.”

“Tolong?”

“Iya, tapi lu mandi dulu, bau.”

Aku tahu apa yang Viny inginkan, apa maksudnya dengan meminta pertolonganku. Meski begitu aku tetap mengikuti permintaannya, mungkin dengan begitu aku bisa mengetahui apa yang sebenarnya yang Viny inginkan dan mungkin menghilangkan keraguanku padanya.

Setelah satu jam perjalanan kami sampai disalah satu gedung kosong yang berada di pinggiran kota Jakarta. Meski aku punya kecurigaan kenapa Viny mengajakku kemari, tapi aku mencoba menghilangkan itu dan berpikir positif.

“Nggak usah takut, gue nggak bakalan ngebunuh lu kok. Kalau gue mau, gue bisa bunuh lu waktu lu tidur tadi.” setelah sekali lagi mengatakan sesuatu yang mengerikan dengan wajah yang polos, Viny berjalan pergi dan aku mengikutinya.

Perkataan Viny tadi ada benarnya, aku tak tahu berapa lama dia menyaksikanku tidur sebelum aku bangun. Aku yakin itu cukup lama baginya untuk membunuhku jika benar dia mau.

Kami berdua naik ke lantai tiga, disana aku melihat Viny berbicara dengan dua orang pria. Mereka nampak mendiskusikan sesuatu, Viny juga sempat menunjukku beberapa kali sementara aku hanya bisa diam dan menunggu.

Akhirnya diskusi mereka selesai, kedua pria itu pergi membereskan barang barang mereka sebelum pergi meninggalkanku berdua bersama Viny.

Ok, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa kedua pria itu pergi dengan wajah kesal?

Aku pun menghampiri Viny yang nampak sibuk dengan sebuah buku sketsa di ujung ruangan, dia nampak sedikit kesulitan dengan buku sketsanya itu. Dia beberapa kali menghapus dan mengambar ulang sesuatu di buku sketsanya yang aku tak tahu apa, dia juga beberapa kali mengaruk kepala dan menepuk mukanya sendiri.

Viny nampak begitu manusiawi sekarang, apakah seperti ini lah Viny yang sebenarnya? Tanpa make up, tanpa seifuku, hanya Viny dan buku sketsanya.

“Ben.” ucap Viny memanggil namaku.

“Ya,”

“Bantuin gue dong,”

“Bantuin gimana?”

“Sini makanya,”

Aku pun menghampiri Viny, dan dari dekat baru aku tahu yang sedang dikerjakan Viny adalah sebuah design rancang bangunan. Ternyata Viny tak hanya jago dalam hal mengambar hal hal astetik tapi juga mengambar sesuatu yang lebih serius seperti rancang bangunan.

“Bantuin apa?”

“Gini, gue kemaren salah ngitung jadi dinding yang ini salah, harusnya maju 17 senti lagi.” ucap Viny sembari menunjuk dinding yang dia maksud.

“Jadi?”

“Jadi tolongin gue robohin dindingnya, biar besok bisa dipasang lagi sama abangnya. Bisa kan?”

Jadi untuk itu lah Viny mengajakku kemari, itu lah bantuan yang diinginkan Viny. Meski aku mengharapkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang bisa membantuku lebih mengenalnya.

“Ngerobohin dindingnya, diancurin gitu?”

“ Iya, masa abang abangnya bilang kalo kontrak kerja mereka cuma ngebangun doang bukan ngerobohin, jadi katanya gue disuruh ngerobohin sendiri kalo salah. Kan gue kurus mana kuat.” Ucap Viny dengan bibir manyun.

“Hmmm....”

“Bisa ya,” ucap Viny kali ini dengan memayunkan bibirnya lebih jauh.

“Ya gue bantuin.”

“hehehe..maacih banyak loh,”

“Iya....iya nggak usah manyun jelek.”

Setelah memakai sarung tangan dan kacamata pelindung, aku mulai menghantamkan palu yang kugengam ke dinding yang Viny tunjuk tadi. Aku butuh beberapa kali hantaman untuk bisa membuat lubang di dinding itu.

“Ganbatte.” Ucap Viny dari belakang, suaranya hampir tertutup oleh suara palu yang kuhantamkan ke dinding.

“Vin?”

“Apa!!!” jawab Viny, kali ini berteriak.

“Ini buat tugas kuliah?” suaraku cukup besar hingga aku tak perlu berteriak.

“Iya!!!”

“Terus gedungnya?”

“Punya orang, gue nyewa lantai ini doang!!!”

“oh...”

“Kok oh sih!!!”

“Terus?”

“Nggak apa apa.”

Viny tak lagi menjawab, aku berbalik sebentar dan melihat Viny sudah sibuk lagi dengan buku sketsanya. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda, dia terlihat sedih? Apa aku baru saja membuatnya sedih.

Aku tak pernah suka melihat wajah sedihnya itu, bahkan sebelum aku tahu dia berpacaran dengan Ali. Aku selalu berharap bahwa yang ada diwajah Viny adalah senyuman, itu cantik dan aku suka.

Lalu aku tersadar suatu hal, yang harusnya kusadari sejak tadi. Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku melihat Viny dengan seifuku, sudah lama sejak terakhir kali senyumnya itu disorot lampu panggung.

Ya, harusnya aku sadar betapa sulitnya ini semua bagi Viny. Menjadi Trainee yang hanya berharap bisa menjadi penganti dari member lain yang berhalangan, betapa sedihnya dia hanya bisa melihat teman temannya yang terus maju meninggalkannya. Semua itu, ditambah dengan tugas kuliah yang seakan tak pernah selesai.

Sebuah pujian, aku harusnya tahu itu hal kecil yang membuatnya tetap bertahan. Itu lah kesalahanku, aku harusnya menyadari usaha kerasnya dan bagaimana dia ingin orang lain menyadari hal itu.

“Vin...sorry.”

“Berisik, lagi konsentrasi nih.” Viny bahkan tak memandang wajahku, dia.....harusnya aku lebih peka.

“Iya maaf, gue lanjut ya.”

Aku rasa tak ada gunanya minta maaf sekarang, membantunya menyelesaikan ini semua mungkin akan membuat dia merasa lebih baik. Setidaknya hanya ini lah yang bisa aku lakukan untuknya sekarang.

Aku ambil lagi paluku dan kembali memukuli tembok, berusaha menghancurkan mereka.

Sekarang hanya ada bunyi dentuman paluku, meski akan lebih menyenangkan jika Viny terus berbicara denganku. Setelah cukup lama, akhirnya aku berhasil menghancurkan seluruh tembok seperti yang Viny inginkan.

Sekali lagi aku berbalik dan kali ini Viny sudah tersenyum kembali.

“Makasih,” ucap Viny pelan. Dia berdiri disebelahku memeluk buku sketsanya erat erat.

“Maaf ya,”

“Buat?”

“Gue harusnya sadar kalo ini semua berat buat lu, maaf gue nggak sadar betapa kuatnya lu.”

“Nggak apa apa kok, juga harusnya sadar kalo nggak semuanya sesuai dengan apa yang kita inginkan.”

“Gue janji bakal ngebantu lu sebisa mungkin.”

“Udah ah, gue nangis nih.”

Saat itu Viny terlihat begitu sempurna, meski tanpa hiasan make up diwajahnya, tanpa seifuku warna warninya. Hanya dengan celana jeans dan kemeja biru muda, Viny terlihat luar biasa. Begitu luar biasa hingga jantungku berdetak kencang saat melihatnya. Sesuatu yang tak pernah kualami sebelumnya.

“Napa? Gue cemong ya,” ucap Viny yang langsung memeriksa wajahnya dengan cermin kecil yang dibawanya.

“Nggak kok, gue cuma baru sadar betapa cantiknya lu tanpa make up dan seifuku theater.”

“Ihh apaan, tadi gue ajak ngentot nggak mau, sekarang ngegombalin gue.” Ucap Viny.”Apa lu mau ngerebut gue dari Ali ya? Oiii kan gue udah bilang gue cintanya ama Ali.”

“Iya maaf, kan gue cuma coba jujur doang Vin.”

“Dah ah, mending gue traktir lu makan daripada makin ngelantur. Lu lapar banget gue rasa,”

Viny pun berjalan meninggalkanku dan aku terpaku sebentar melihatnya melangkah pergi.Saat itu aku tak mencoba membuat Viny jatuh cinta atau apapun, aku hanya mencoba menjawab jujur pertanyaannya. Tapi mungkin Viny memang benar benar cinta kepada Ali, dan mencoba membentengi dirinya dari pria lain.

Tak ada yang bisa kuceritakan tentang makan malam kami waktu itu, kami memutuskan untuk kembali ke apartemenku dan memesan makanan. Awalnya kami ingin makan disebuah restoran, tapi diparkiran aku melihat fans jeketi yang lain dan memutuskan lebih aman untuk makan di apartemenku.

“Mandi dulu bau.” Ucap Viny saat aku mengambil sepotong pizza yang ada dimeja.

“Ntar lapar nih,” jawabku sambil mengigiti pizza kejuku.

“Nggak mandi dulu, ntar keringatnya kena makanan.” Balas Viny yang langsung mendorongku menjauh dengan kaki panjangnya.

“Iya...iya, jangan dihabisin.”

“Nggak janji,” ucapnya sambil menjulurkan lidahnya.

Aku yang tak ingin berdebat dengannya pun membawa sepotong pizza ku dan pergi ke kamar mandi, lalu mandi agar aku bisa cepat cepat makan. Setelah berpakaian, aku kembali ke ruang tamu dan melihat semua makanan masih belum disentuh.

“Lu nggak makan?” tanyaku saat melihat makanan yang ada di meja.

“Nggak, ntar lu nya ngambek.” Jawab Viny santai.

Apa dia benar benar memikirkan perasaanku? Aku belum tahu jawabannya waktu itu. Waktu itu aku kelaparan.

“Ya udah geser,”

“Ihhh sempit.”

Kami pun duduk berdua disofa kecilku, aku tak punya banyak tamu hingga ini lebih sering jadi pajangan. Aku ambil lagi sepotong pizza keju yang ada diatas meja dan mulai mengigiti pingirannya.

Aku makan tanpa ada rasa curiga waktu itu, sebagian besar karena rasa lapar yang kurasakan setelah kerja keras yang kulakukan. Harusnya juga aku curiga karena waktu itu Viny hanya minum milkshake sambil sibuk memainkan Handphonenya.

“Kok nggak makan?” tanyaku, sekali lagi menanyakan hal yang sama.

“Ntar lagi bacain mention nih,” jawab Viny yang fokus pada layar handphonenya..

Saat itu aku teringat lagi dengan siapa aku duduk waktu itu. Sampai satu minggu lalu Viny masih member JKT48 yang hanya kukenal dengan nama, sekarang dia juga kekasih dari sahabatku yang membuatku somehow lebih dekat dengannya. Sampai beberapa hari yang lalu aku sangat rajin mengirimkan mention ke akun twit**ternya, aku terpikir seberapa banyak mentionku yang dibacanya.

“Eh..kenapa lu nggak pernah mention gue lagi sih?” tanya Viny, sekarang dia memandangku.

“Nggak kenapa kenapa,”

“Ih...sombong sekarang, mentang mentang punya japri gue.” Balas Viny yang mengalihkan lagi pandangannya ke layar handphone miliknya.”Eh malam minggu kita jadi kan?”

“Jadi apaan?”

“Kok nanya sih? Kan gue mau kenalin ke member lain?”

“Member lain? Member jeketi?”

“Cherrybelle,” ucap Viny kesal.” JKT48 lah, emang siapa lagi temen gue.”

“Ya....tapi kan jeketi nggak...”

“Ben lu polos atau...gue aja pacaran apalagi member yang lain.” Viny nampak terganggu dengan kepolosanku, yang sampai saat itu masih melekat kepadaku.

Oh iya, boodhnya aku. Harusnya aku tahu lebih baik.

Aku ambil sepotong lagi pizza keju yang ada dimeja dan menjejalkannya ke dalam mulutku.

Harusnya aku tahu lebih baik.

Viny yang ada didepanku saja masih berpacaran dengan sahabatku. Bagaimana mungkin aku mengharapkan member lain tidak melakukan hal yang sama. Ya, golden rules itu hanya mitos, sebuah gimmick marketing yang sudah mulai usang.

“Siapa emang?” tanyaku yang penasaran.

“Oshi lu,”

“Ikha?”

“Ya Ikha, makanya dandan yang ganteng ya.” Ucap Viny dengan menaikan salah satu alisnya.

Kau tak tahu betapa senangnya aku waktu itu,

masa bodoh dengan golden rules, ucapku dalam hati.

Ini adalah kesempatanku untuk bisa berpacaran dengan salah satu member JKT48, terlebih dia adalah oshiku, member favoritku. Terserah dengan fans lain, mereka semua kalah beruntung dariku.

“Cieee...udah ngebayangin aja,”

“Apaan sih,” jawabku.

“Mukanya merah...duh sabar dong...hahaha.” Viny tertawa puas melihatku.

“Dah ah....makan makan.” Ya mungkin aku hanya ingin menutupi rasa maluku, aku jejalkan burger, kentang goreng dan yang lainnya ke mulutku.

Makan malam kami tak berakhir sampai disana, ada sedikit hal lagi yang ingin kuceritakan kepada kalian. Semua dimulai saat aku mulai merasa hal aneh pada tubuhku, entah mengapa aku merasakan badanku mulai panas dan napsuku yang mendadak meningkat.

Saat itu, untuk pertama kalinya aku merasakan napsu yang besar kepada Viny, perasaan kuat ingin merasakan tubuhnya. Aku menyukai Viny, memfavoritkannya, menjadikannya Oshi bukan karena aku bernapsu padanya, aku menyukainya karena wajah lucu dan senyuman manisnya.

Tapi saat itu, aku merasa aku sangat ingin menyetubuhi Viny, sangat sangat ingin.

“Vin..lu balik buru,” ucapku waktu itu yang masih mampu menahan napsuku.

“Apaan sih, tiba tiba ngusir,” jawab Viny.

“Udah lu pulang sana.”

Aku pun bangkit dan mencoba menarik Viny keluar, tapi Viny berusaha bertahan.

“Ben...lu kenapa?”

“Gue.....”

Pada saat itu harusnya aku tak menyentuh Viny, harusnya aku tak menyentuh kulit mulusnya itu.

“Vin gue...” aku sudah benar benar diambang batas, aku sudah merasakan betapa kerasnya batang kontolku dan aku berharap Viny menuruti perintahku dan pergi.

“Ben...Ben woiiii...” ucap Viny menepuk nepuk pipiku dengan cukup keras, mungkin mencoba menyadarkanku. Mungkin seharusnya dia tak melakukan itu.

“Vin...pergi...”

“Nggak....”

FUCKKKKK

Aku tak tahan lagi, aku tarik Viny dan aku kudorong dia ke dinding.

“AWW....”

Sebelum Viny bisa berteriak, aku cium bibirnya. Dia tak melawan dan membiarkan lidahku masuk dan bermain didalam mulutnya.

Aku lepaskan ciumanku dan kuturunkan kelehernya...

“Ish......Ben....ah......”

Viny mendesah? Aku tak peduli dia mau menikmatinya atau tidak, aku sudah memberikannya kesempatan untuk lari tapi dia tak menghiraukannya.

Kuremas remas kedua payudaranya yang kecil itu, aku yang menginginkan lebih kurobek kemejanya, juga bra putih yang menutupi payudaranya.

“AU.......Ben...ah.....”

Kugigiti putingnya serta kuhisap payudaranya, aku juga meremas payudaranya secara bergantian. Aku ingin merasakan setiap inci badannya. Aku menjamahnya tubuh putihnya. Aku ingin tubuhnya.

Puas dengan payudaranya kubuka paksa celana jeansnya.

“Jangan....jangan....Ben...”

Dengan sedikit bersusah payah aku berhasil menurunkan celana Viny serta celana dalamnya yang punya warna sama dengan bra miliknya. Meski tertutupi bulu aku tetap menjilati memeknya yang tak lagi tetutupi kain, kumasukan lidahku kedalamnya dan mulai menjilatinya kuat kuat.

“Ah...jangan....ja...jangan...jangan....”

Kulepaskan jilatanku pada memeknya lalu kutusukan jariku masuk sebagai gantinya, kutusuk tusuk memeknya itu sekuat tenaga, aku ingin membuat dia menyemburkan semua seperti yang pernah kulihat disalah satu video Jepang kutonton.

“AH....aha...ah...aha..ahh..ah....ahhh.....memek gue.....akkhhhhhhh...”

Viny menyemburkan air kencingnya dari memeknya dengan deras, lalu jatuh lemas bersandar pada dinding.

Napsuku sudah tak dapat kutahan, kubuka celanaku lalu kupaksa Viny untuk berdiri lalu menunggingkan pantatnya.

“Ben...Ben...jangan....AWKKHHHHH...”

“Berisik lu,”

Kudorong kontolku masuk kedalam memeknya, terasa sempit tapi aku tak peduli. Saat itu aku hanya ingin merasakan memeknya.

“CABUT......AKHHH...AHHHHHH....”

Kudorong kontolku kuat kuat saat aku merasakan sesuatu menganjalnya....

“AKHHHH....SAKIT.......”

Sejujurnya aku tak peduli jika Viny masih perawan dan aku lelaki pertama yang mengambilnya. Waktu itu, aku hanya ingin merasakan nikmat dari memeknya. Beruntungnya aku jika itu memang benar.

Memeknya terasa sempit seperti ingin menelan kontol dan hangat membuatnya terasa nikmat, begitu nikmat sampai aku membiarkan kontolku diam tak bergerak menikmati sensasinya.

“Cabut...cabut....” ucap Viny sambil berusaha memukulku.

Aku tak peduli, aku sudah memberinya kesempatan untuk lari.

PLAKKKK

Kutampar pantatnya keras keras hingga meninggalkan bekas.

“Berisik!!!” teriakku yang merasa terganggu.

“Sa...sakit...”

Aku gerakkan pantatku maju mundur, membuat kontolku keluar masuk memek Viny yang terasa legit dikontolku.

“Ah...udah...ah...”

“Memek lu enak banget...Vin.”

Kutahan pinggangnya dan mulai mengenjot memeknya kuat kuat.

“Udah...ah..ah...”

“Berisik...”

Aku tak memperdulikan perkataan atau rengekan Viny lagi, aku sudah terbakar napsuku sendiri dan aku hanya ingin mengentot memeknya sampai puas.

Kugenjot terus memeknya, Viny terus saja merengek memintaku untuk melepaskannya, tentu aku tak akan melakukannya, karena aku terus menusuk nusuk memeknya dengan kontolku.

“Ben...Ben....akhhhh........”

Viny tegang lalu lemas dan jatuh ke lantai. Aku rasa itu yang disebut orgasme. Aku yang belum puas membuka paha Viny lebar lebar dan kembali menusukkan kontolku yang masih tegang kedalamnya.

“Akh...” Viny mendesah pelan.

Kugenjot lagi memeknya dan Viny hanya diam, kurasa dia tak punya tenaga untuk melawanku.

“Enak banget Vin...”

“Ah...ah..terserah...”

Apa itu persetujuan? Baguslah.

Aku yang bersemangat mengenjotkan kontolku lebih cepat, kucium juga bibirnya yang kali ini dibalas oleh Viny.

Hanya ada suara kontolku yang menghujam kedalam memek Viny yang ditemani oleh suara desahan pelannya. Memeknya yang terus menekan kontolku membuat aku merasakan sensasi yang kuat diujung kontolku, perasaan aku ingin menyemburkan semuanya.

“Ah...mau...nyampe....”

Kupercepat hujaman kontolku, tiba tiba sebuah perasaan jahat muncul di otakku, aku ingin menghamili Viny dan....

“JANGAN DIDALAM...”

Teriakan Viny membuatku sadar dan cepat cepat mencabut kontolku yang sedetik kemudian menyemburkan isinya ke badan dan wajah Viny.

“ANJING HAMPIR AJA GUE HAMIL.......”

Aku tak mendengar sisa narasi kemarahan Viny karena setelah menyemprotkan isi kontolku semuanya menjadi gelap.
Semua yang terjadi sejak Ali memperkenalkan Viny kepadaku sebagai kekasihnya masih terasa tak nyata bagiku. Well, Ali memperkenalkan Viny sebagai kekasihnya saja masih terasa tak terlalu nyata bagiku.

Sampai satu minggu yang lalu, Viny masih gadis yang sempurna dimataku. Dia cantik, punya senyum indah dan menawan, dia juga tatapan mata yang sanggup membuatku gesrek tak karuan. Sebagai seorang performer, Viny salah satu member yang selalu tampil luar biasa, juga ekspresi yang akan kugambarkan juga akan kugambarkan sebagai hal yang luar biasa.

Tapi semenjak satu minggu yang lalu, Viny seperti sosok yang berbeda bagiku. Aku merasa dia bukanlah Viny yang selama ini aku tahu. Viny seperti memakai topeng yang menutupi sifat aslinya yang jauh lebih mengerikan. Aku....

Meski, mungkin semua itu hanya perasaanku saja. Aku tak tahu, aku bahkan tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Ok...baiklah, kalian datang bukan untuk semua kegilaan yang ada dikepalaku, kalian datang untuk mengetahui apa yang terjadi setelah aku pingsan bukan? Baiklah, kita lanjutkan saja ceritanya dari sana, lebih tepatnya pagi setelahnya, setelah aku sadarkan diri.

Aku bangun diatas kasurku dengan berbalut selimut, sendirian. Hal pertama yang terlintas dipikiranku adalah bagaimana aku bisa sampai disini? Bukankah semalam aku pingsan setelah aku memperkosa Viny?

Viny, dimana dia?

Aku turun dari kasurku, dan menyadari bahwa aku sudah berpakaian lagi.

Apa Viny yang melakukan ini semua?

Aku yang butuh jawaban pun berlari keluar dari kamarku dan menemukan Viny sedang memasak di dapur.

“Eh...udah bangun,” ucapnya dengan senyuman. Bagaimana bisa?

“Vin...” ucapku yang berjalan mendekat. “Lu nggak apa apa?”

“Gue baik,” ucap Viny yang sedang memasak sesuatu, dia juga masih tersenyum seakan tak terjadi apa apa. Kau tahu, seperti dia melupakan bahwa aku baru saja memperkosanya semalam.

Aku hanya berdiri memandanginya, mencoba memikirkan alasan logis untuk sikap Viny sekarang. Tapi sama seperti semalam, aku tak menemukan jawabannya.

“Lu masih mikirin yang semalam?” tanya Viny yang menatapku dengan tatapan matanya yang indah itu.

“I.....ya.” jawabku.

“Santai aja kali, yang pentingkan semalam lu nggak nyemprot didalam, jadi aman aman aja.”

Viny mengucapkan itu semua tanpa beban. Seperti itu hal yang wajar baginya untuk diperkosa oleh seorang lelaki.

“Tapi Vin, gue udah....”

“Sttt berisik deh ah. Kalo emang mau ngomong sambil makan aja, lapar nih gue.”

“Vin...”

“Ben...udah diem.”

Aku bisa saja terus berdebat dengan Viny, aku juga bisa mempertanyakan sikapnya sekarang kepadaku, tapi aku pikir itu tidak ada gunanya. Jika memang Viny tak mempermasalahkan apa yang terjadi semalam,kenapa aku harus?

Viny, gadis yang baru saja kurenggut keperawanannya secara paksa, sedang berdiri didepanku dan memasak sarapan untukku. Satu minggu yang lalu aku bahkan tak memikirkan bisa begitu dengannya. Tapi takdir itu lucu, dan nampaknya dia baik kepadaku.

“Pedes atau nggak nih?”

“Pedes atau?”

“Ini gue lagi masak nasi goreng, lu maunya pedes atau nggak?”

“Serah lu deh.”

“OK.....beb,” balasnya sambil mengedipkan sebelah matanya. Apa dia baru saja menggodaku? Setelah apa yang aku lakukan padanya, dia masih menggodaku? Entahlah, aku tak peduli waktu itu.

“Thanks ya.”

“Iya sayang, tunggu aja didepan bentar lagi siap.”

Meski aku merasa ini semua begitu aneh, tapi aku menikmati ini semua. Breakfast after sex dengan oshi sendiri itu sesuatu yang seorang Yamada pun tak akan pernah dapatkan. Mungkin aku hanya perlu menikmati ini semua, menikmatinya selagi bisa.

“Udah sana jangan diliatin terus, malu tau..”

“Iya...iya,”

Aku meninggalkan Viny dan berjalan ke ruang tengah, disana aku menemukan bahwa semua bekas makanan semalam juga sudah dibersihkan. Membuatku berpikir sejak jam berapa Viny bangun untuk melakukan ini semua.

Setelah beberapa saat Viny datang dengan senyuman lebar diwajahnya, dia terlihat begitu bahagia seperti tak ada sesuatu yang buruk yang baru terjadi padanya.

“Geser....” ucapnya sambil menjatuhkan diri tepat disampingku.

“Sempit ah...pantat lu sih gede amat.”

“Gede...gede, lu cium cium juga.” Ucap Viny dengan santainya seperti itu hal yang wajar untuk diucapkan olehnya. “Nih gue buat pedes.”

“Makasih...sayang.” balasku.

“Apaan sih lu sayang sayang, gue masih pacar orang.”

Ya aku tahu itu, aku tahu dia pacar sahabatku. Tapi aku tetap ingin memanggilnya dengan sayang, itu membuatku merasa senang. Lagipula Viny barusan berkata masih bukan? Yang artinya itu bisa saja berakhir.

Pagi itu kami sarapan dengan nasi goreng buatan Viny. Rasanya biasa saja jika aku boleh jujur, tapi apalah pentingnya rasa jika kau bisa makan bersama seorang gadis secantik viny, yang begitu mesra kepadamu. Viny sendiri nampak menikmati nasi goreng buatannya, dia bahkan membanggakannya dengan berkata bahwa dia membuat semuanya dengan cinta.

Ya, dia bahkan mengejanya C.I.N.T.A.

Jujur, aku bisa saja mati gesrek jika terus digoda Viny seperti itu. Dan Viny nampaknya begitu menikmati itu semua, dia terus mengodaku karena dia tahu aku suka kepadanya.

“Eh...ntar antarin gue latihan ya?”

“Latihan? Bukan lanjut tugas kemaren?”

“Nggak, hari ini gue harus latihan besok jadi tambelan team T,” jawab Viny dengan sedikit nada ketir disuaranya.”Bisa kan?”

“Ya...ya, ntar gue anterin.”

“Sangkyu....”

Waktu itu, aku begitu kagum bagaimana Viny mau menerima konsekuensi perbuatannya, meski dengan semua hardikan dan pandangan sebelah mata yang diterimanya. Viny tetap tegar mengulang kembali karirnya dari nol, meski aku tahu jauh didalam dirinya, dia pasti merasakan sakit harus kembali ke titik awal.

“Langsung atau gue antar balik dulu?” tanyaku.

“Balik dulu lah, masa gue latihan bau keringet.”

“Ya bau lu..”

“Lu...lu gue tusuk garpu ya..mata lu,” ancam Viny yang menunjukku dengan garpunya, waktu itu aku memang sengaja membuatnya marah. Aku ingin melihat ekspresi lucunya saat marah, itu mengemaskan.

Tak banyak yang terjadi setelahnya, kami makan sambil beberapa kali saling melempar candaan. Itu sarapan yang menyenangkan, membuatku melupakan apa yang telah terjadi sebelumnya. Hampir, melupakan. Bagaimana mungkin aku lupa apa yang kulakukan semalam, itu momen yang sudah terpatri di otakku.

Setelah selesai sarapan aku pun mengantarkan Viny ke rumahnya. Viny tinggal cukup jauh dari apartemenku, butuh waktu mungkin satu jam untuk sampai kesana.

“Ayo masuk,” ajak Viny saat kami sampai di depan rumahnya.

“Gue tunggu disini aja,” jawabku, meski aku suka berada didekat Viny tapi aku rasa hak untuk dikenalkan kepada kedua orang tua Viny masih milik Ali. Aku belum punya hak itu.

“Oh gitu....tapi ntar kalo gue ditanyain sama Mama kemana aja gue semalam, terus gue keceplosan bilang gue diperkosa sama lu gimana? Gue kadang suka keceplosan gitu.”

Aku, sekali lagi harus menatap Viny erat erat untuk memastikan dia benar benar serius mengatakannya. Mungkin mencoba mencari petunjuk bahwa dia hanya bercanda, tapi aku tidak bisa menemukan apapun selain senyumannya.

Come on honey, i try to love you here. Don’t make it harder.

“Iya...ya, gue temenin.”

Sialan, aku lupa betapa mengerikannya Viny. Bagaimana dia tidak terlalu suka jika aku membantah perkataannya.

“Hehe....gitu dong, ayo masuk.”

Kami berdua pun masuk dengan Viny yang mengandeng tanganku, aku tidak tahu kenapa, aku tidak mau berdebat dengannya soal itu, aku menerimanya saja.

Baiklah, ayo kita main tebak tebakan sebentar. Menurutmu apakah yang terjadi selanjutnya, apa yang terjadi saat aku dan Viny melangkah melewati pintu masuk rumahnya? Apa yang menurutmu terjadi saat kedua orang tua Viny berserta adik laki lakinya melihat Viny datang bersamaku setelah semalam dia tidak pulang dan tidak memberikan kabar?

Jika kau menebak adik laki laki Viny akan langsung memukuliku saat melihat aku masuk mengandeng kakaknya, selamat kau benar.

Tepat satu detik aku melangkah masuk bersama Viny. Sang adik lelaki yang bernama Vidy, yang kutahu dari teriakan Viny saat adiknya melompat dan mulai menghajarku. Aku bisa mendengar Viny berteriak saat adiknya mulai memukul wajahku.

Aku mencoba menghalangi pukulan yang datang ke wajahku, tapi nampaknya aku kalah cepat dengan Vidy yang selalu berhasil mendaratkan pukulan lebih cepat dari pada aku bisa mengantisipasinya.

man... look like i got shitty reflex.

“Vidy...jangan, dia pacar gue!!!”

Teriak itu menghentikan Vidy, dia melepaskan tangannya dari kerah bajuku dan membiarkanku jatuh ke lantai. Waktu itu pandanganku sudah mulai kabur, mungkin Vidy memukuliku terlalu banyak hingga sekarang aku hampir kehilangan kesadaran.

“Lu gila ya, tiba tiba mukulin pacar gue!!!”

“Lu semalam nggak pulang, ditelpon nggak diangkat. Kami semua panik!!!”

Viny dan sang adik mulai saling berteriak. Aku juga bisa mendengar kedua orang tua Viny mencoba menenangkan keduanya.

Benji, kau baru disini satu detik dan kau sudah membuat mereka semua bertengkar. Permulaan yang bagus.

Akhirnya Viny pergi meninggalkan adinya yang masih saja berteriak dan menghampiriku. Wajahnya nampak sedih, dan wajahku mulai basah karena air mata yang jatuh dari pipinya.

“Ben...Ben...ini gue...Viny...Ben...”

Waktu itu Viny memanggil manggil namaku dengan sendunya, airmatanya juga deras membasahi pipinya. Viny menangisi ku seperti sesuatu yang buruk baru saja menimpaku. Waktu itu aku belum tahu kenapa, aku baru mengetahui jauh setelahnya. Jawaban dari semuanya.

“Iya gue tahu lu Viny,” jawabku yang masih berusaha bercanda untuk menahan rasa sakit diwajahku.

“Lu nggak apa apa?”

“Nggak...ish...gue baik,” jawabku berbohong pada Viny, dan nampaknya dia sadar karena dia terlihat memanyunkan bibirnya. setahuku dia lakukannya saat dia merasa kurang senang akan sesuatu.

“Nggak usah sok, ayo gue bantuin.” Ucap Viny yang membantuku untuk berdiri.”Ayo gue obatin.”

Aku pun berdiri dengan Viny yang menopang badanku, aku melingkarkan tanganku pada bahunya yang kecil itu. Harusnya aku yang meminjamkan bahuku untuknya, seperti itu lah peraturannya.

“Kak...sorry, gue tadi....”

“Awas lu, gue mau ngobatin cowok gue.”

Viny mendorong adiknya menjauh, tak memperdulikan permintaan maafnya. Sementara kedua orang tuanya hanya diam seperti tak ingin memperburuk keadaan.

“Ayo ke kamar gue aja,”

“Tapi Vin....”

“Lu nggak usah ngebantah gue sekali kenapa?” tanya Viny yang bahkan belum menghapus airmata dari pipinya.

“Sorry...” jawabku yang kalah oleh tatapannya yang nampak begitu khawatir. Bagaimana mungkin aku bisa membantahnya setelah melihat dia yang nampak begitu khawatir kepadaku.

“Di kamar gue ada kotak P3K,” jelas Viny.

aku membiarkan Viny menuntunku naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ternyata kamar Viny berada di loteng rumahnya. Sehingga kami masih harus naik tangga kecil untuk naik ke kamarnya. Kamar itu penuh dengan alat gambar dan mereka semua berserakan di lantai kamarnya.

“Masih sibuk nugas gue, nggak sempat beberes.” Ucap Viny yang mencoba menjelaskan kondisi kamarnya.

“Iya...gue ngerti,”

“Masa?”

“Hah...maksudnya?”

“Nggak, hati hati jangan sampe keinjek.”

“O....K.”

Aku pun berusaha tak menganggu tata letak dari barang barang Viny, terutama setelah mendapatkan peringatan darinya. Viny mendudukanku di atas kasurnya, lalu pergi mengambil kotak P3K yang disimpan dibalik cermin besar yang bisa dibuka.

Aku mengagumi bagaimana Viny mengatur letak barang barangnya. Meski sekarang terlihat berantakan, tapi aku tetap bisa melihat bagaimana kamar ini didesign dengan seksama. Itu semua dapat kulihat dari bagaimana dia membuat rak kecil diatas meja belajarnya, itu adalah sebuah rak sepatu dari plastik tembus pandang yang dialih fungsikannya menjadi rak buku. Lalu bagaimana dia menempelkan sebuah cermin besar di dinding tepat di tembok yang ada di depan ranjang tempat tidurnya. Juga sebuah bean bag yang diubah Viny menjadi tempat tidur untuk kucingnya.

Mungkin menjadi seorang mahasiswi design interior membuat Viny bisa membuat kamarnya begitu menarik, meski dengan bahan seadanya. Mungkin aku harus meminta Viny mendesign ulang kedai kopiku. Dengan begitu aku punya alasan untuk bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya. Mungkin setelah tugas akhirnya selesai.

Viny pun kembali dan membuat perhatianku kembali kepadanya. Disaat itulah aku menyadari bahwa pipinya masih basah oleh airmata. Aku pun berinisiatif menghapus airmatanya itu, kedua bola mata kami bertatapan waktu itu.

“Sorry ya, gue udah buat lu khawatir tadi.” ucapku, disela mengusap airmata dari pipinya.

Viny tak menjawabku, dia hanya mengangguk.

“Tapi, gue bisa ngerti kenapa adik lu bisa khilaf kayak tadi. Kalo gue punya kakak secantik lu, dan nggak pulang tanpa kabar. Pasti gue khawatir, apalagi lu Idol.

Entah itu bisa disebut berbohong atau tidak. Aku tak punya saudara untuk tahu bagaimana perasaan sebenarnya. Bagaimana perasaan khawatir yang dirasakan saat saudaramu tak memberikan kabar, Ali lah yang selalu khawatir tentangku.

“Udah nggak usah dibelain, Vidy emang emosian orangnya.”

“Ya....mungkin dia takut kalo sampe hal buruk menimpa lo.”

“Udah...ah.” ucap Viny yang tiba tiba menempelkan kapas yang sudah dilumuri alkohol ke lukaku.

“Aduh....” Aku meringis saat Viny mulai membersihkan luka lukaku secara tiba tiba.

“Manja ih....”

“Sakit pe’a....”

“Tahan dikit...ngentot aja kuat lu.” balas Viny, kali ini menatapku tajam.

“Iya...iya...iya, gue tahan.”

Aku pun berusaha menahan rasa perih yang menjalar ke seluruh tubuhku. Viny nampaknya tak terlalu suka jika aku terus mengeluh, juga aku tak mau jika Viny kembali membicarakan apa yang terjadi semalam. Biarlah itu semua hilang dalam kenangan.

“Dah...selesai, kan ganteng lagi.” ucap Viny setelah memasangkan sedikit perban pada lukaku.

“Thanks.” Balasku.

“Iya sayang.”

Meski aku akui ada perasaan senang yang muncul dihatiku saat Viny begitu mesra kepadaku. Juga dia mengakuiku sebagai kekasihnya kepada keluarganya. Tetap ada tanya dihatiku, mengapa?

“Vin...”

“Iya?”

Oh...betapa mudahnya memikirkan apa yang ingin kukatakan, tapi begitu sulit mengucapkan. Kata kataku, tersangkut tepat di ujung lidahku.

“Ada apaan sih?” tanya Viny yang nampaknya mulai penasaran. Dia menatapku dengan pandangan mata yang penasaran sekarang.

Ayo Ben...kau laki laki....Teriakku pada diriku sendiri.

Ada perasaan yang muncul dihatiku. Bagaimana aku menikmati apa yang terjadi sekarang, aku menikmati kedekatanku dengan Viny dan aku ingin menjaganya. Meski semu, aku ingin terus Viny mesra kapadaku. Mungkin itu yang membuatku tak bisa menyebutkan kata kata itu.

“Ikha suka cowok yang gimana?” Ucapku berbohong. Aku tak ingin tahu tentang Ikha waktu itu, aku hanya menanyakan hal yang masuk akal bagi Viny.

“Oh.....jadi lu serius pengen macarin Ikha?”

“I...iya.” kata kataku sulit terucap karena aku sendiri ragu atas jawabanku.

Tentu dengan seluruh akal sehatku, aku ingin menjadikan Ikha kekasihku. Dia cantik, dia juga selalu nampak ceria yang membuatku menyukainya. Tapi, Viny begitu mesra kepadaku, meski aku tak tahu kenapa dia melakukannya tapi aku menikmatinya. aku sedikit banyak berharap bahwa kemesraan yang Viny berikan akan bertahan dan nyata bagiku.

“Gimana ya....” ucap Viny yang nampaknya berpura pura lupa.”Nanti aja deh, gue mau mandi dulu.”

“OK.” Jawabku datar karena aku tak benar benar menginginkan jawaban.

“Ya udah keluar...”

“Hah?”

“Keluar gue mau mandi,”

“Ya mandi aja kenapa.” jawabku.

Entah kenapa waktu itu aku sempat berharap bisa berhubungan badan di kamar oshi sendiri. Aku pikir itu pasti mempunyai sensasi yang berbeda.

Man, I’m a piece of shit.

“Ngga mau ntar lu intipin, lu kan wota mesum yang suka perkosa perkosa member....”

“Oiii jaga mulut lu oii, kalo ada yang denger gimana?”

“Biarin, mesum sih lu.”

Sial!!!!

Aku tak mengharapkan respon seperti itu, aku tak mengharapkan Viny menggunakan itu sebagai alasan. Terlebih aku takut jika salah satu anggota keluarga Viny mendengarnya. Aku pasti dalam masalah besar saat itu terjadi.

“Iya...gue keluar.”

Aku yang sekali lagi kalah oleh ucapan Viny pun berjalan keluar kamarnya, atau begitu yang aku pikirkan. Karena tepat sebelum aku membuka pintu, Viny menarik tanganku.

“Ya udah ayo.” Ucap Viny.

“Ayo apa?”

“Nggak usah sok polos,”

Viny pun menarik tanganku dan aku baru paham maksud ucapan Viny saat kami masuk kedalam kamar mandi.

“Bentar aja ya,”

“O.....K.” sambil mengangguk dengan cepat.

Quick sex...Hell yeah baby.
Harusnya aku tak berharap terlalu banyak, terutama berharap bahwa fantasiku akan menjadi kenyataan. Well, Viny memang menarikku ke kamar mandi lalu dia....

Kau tahu akan jauh lebih mudah jika aku ceritakan saja, apa yang terjadi setelah Viny menarikku ke kamar mandi.

Jadi saat aku dan Viny berdua saja dikamar mandi, aku sudah sangat berharap bahwa apa yang kubayangkan akan terjadi. Meski harusnya aku tahu jika itu terlalu bagus untuk bisa terjadi, tapi sudah terlalu banyak hal terlalu bagus untuk bisa terjadi, yang telah kualami beberapa waktu ini. Jadi mengapa yang satu ini tidak? Begitulah pikirku.

“Jangan ribut ya.” Ucap Viny sedikit berbisik.

“I...ya.” jawabku yang sudah tak sabaran.

Disaat itu fantasiku sudah melayang jauh, situasinya sudah terlalu bagus untuk semuanya tidak terjadi. Lagi pula untuk apa Viny memintaku untuk tidak ribut, jika bukan untuk itu. ya kan?

Lalu Viny berjongkok didepanku, lalu dengan ekspresi mengoda dia mulai membuka kancing celana lalu menurunkan reslentingku perlahan lahan.

“Duh udah gede aja,” ucap Viny sambil mengelus elus batang kejantananku yang masih tertutup celana dalam. “Pantesan tadi malam rasanya penuh banget.”

Penuh? Apa kau memikirkan, apa yang aku pikirkan?

Aku hanya menahan napasku saat Viny menurunkan celana dalamku dan mulai mengocok batang kemaluanku. Rasanya begitu nikmat saat kulit mulus tangan Viny naik turun mengocok kontolku.

“Enak?”

“Ah...iya..enak.” jawabku.

Viny pun mempercepat gerakannya dan aku hanya menutup mataku dan menikmati ‘siksaan’ yang diberikan Viny pada kontolku. Lalu kocokan Viny berhenti, aku pun membuka mataku berniat protes.

“Duh ribet,” ucap Viny yang sibuk merapikan rambutnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih mengengam batang kontolku.”Potong aja kali ya?”

“Jangan dipotong, gila lu.”

“Bukan kontol lu, tapi rambut gue.” Ucap Viny. “Ya kali gue potong kan sayang, mending dibuat keenakan.”

“Keenakan?”

“Iya dong.”

Aku pikir yang dimaksud Viny dengan membuat kontolku keenakan adalah dengan melanjutkan kocokannya yang sempat terhenti, tapi ternyata dia memasukan kontolku kedalam mulutnya dan memberikanku sebuah blowjob.

Expect a handjob, get a blow job. I’m not even mad.


Viny dengan lihainya membuat kontolku merasakan nikmat. Hangatnya mulutnya ditambah dengan kocokan dibatang kontolku, membuatku merem melek.

“Oh..yeah baby..”

Waktu terasa hilang bagiku, pikiranku melayang, karna batang kontolku dikerjai oleh orang yang kusayang. Sebuah nikmat Tuhan yang patut disyukuri.

Aku menikmati tiap detiknya, itu adalah pertama kali aku mendapatkannya dan aku tak akan pernah lupa rasanya. Hangatnya mulut Viny yang memainkan kontolku, juga bagaimana Viny juga mengocok batang kontolku.

“Ash...ah...Vin.....mau keluar....akh....” ucapku tanpa sadar.

Viny yang mendengar itu menghentikan blowjob yang dia berikan pada kontolku, lalu dia mempercepat kocokannya pada batang kontolku yang membuatku tak bisa bereaksi. Aku hanya terdiam mendapat serangan yang begitu cepat dan kuat dari Viny.

“Vin...Vin...akhhh......”

Aku menyemprotkan semuanya, lima? Enam? Aku tak tahu, aku tak memikirkan apapun selain meresapi kenikmatan yang menjalar dari batang kontol keseluruh tubuhku.

Setelah menikmati semuanya, aku masih menginginkan lebih. Tentu kau tak berpikir sebuah blowjob akan memuaskan napsuku. Dengan kontol yang masih tegang mengacung aku menarik Viny untuk berdiri, dan mencium bibirnya.

Viny yang awalnya menerima dan membalas ciumanku, tiba tiba mendorongku mundur.

“Jangan..” tolak Viny.

“Kok jangan, nanggung nih.”

“Kan udah barusan, udah keluar lagi.”

“Nanggung Vin, bentar aja.” Ucapku yang masih ingin melanjutkan semuanya.

“Nanti aja ya, ntar gue telat. Tadi gue pikir kalo udah keluar sekali kontol lu bakalan lemes, ini melah tegang gitu.”

“Nggak bisa bentar aja gitu?” pada saat itu aku masih mencoba bernegosiasi dengan Viny karena aku sangat ini merasakan memeknya meski hanya sebentar.

“Ben, lu cuma mau memek gue aja ya? Lu nggak benar benar sayang sama gue?”

“Gue.....nggak gitu, maksud gue....”

“Kalo memang gitu...”

Aku peluk dia, mencoba memberi tahunya aku menyesal melalui pelukanku. Aku tak perlu dengar semua yang Viny katakan untuk tahu apa maksudnya. Saat aku melihat Viny dengan pandangan mata yang basah dan suara yang pecah, aku tahu aku sudah berbuat salah. I pushed my own damned luck.

Mungkin aku terlalu egois tentang semua ini. Aku telah memperkosa Viny dan tak hanya dia memaafkanku, dia seolah olah ingin menyembunyikan semuanya dan menjadikan itu rahasia kecil kami berdua. Iya, Viny memang mengancamku dengan itu, tapi mungkin itu hanya sebuah paksaan kecil darinya. Jika dia benar benar ingin melaporkanku, dia bisa melakukannya tadi saat seluruh keluarganya ‘menyambut’ kami datang.

Aku tak seharusnya memaksa Viny untuk melayani napsuku, siapa aku memaksanya untuk itu? aku seharusnya bersyukur Viny masih ingin berbicara denganku setelah apa yang kulakukan padanya, tak seharusnya aku memaksanya melayani napsuku. Aku sepertinya sudah lupa bahwa dia adalah idola bukan lacurku.

“Maafin gue Vin...” ucapku sambil memeluknya erat. ”Gue peduli sama lu, nggak seharusnya gue maksain napsu gue sama lu. Maafin gue ya.”

“Ini yang terakhirnya, tolong jangan buat gue nangis lagi.” ucap Viny yang membalas pelukanku.

“Gue...janji, gue akan biarin air mata lu jatuh lagi.

“Janji lu...berat.”

“Gue..akan, coba....nggak..gue akan berusaha.”

“Tolong tepatin.”

Itu adalah pelukan pertamaku dengannya, aku masih ingat hangatnya, dan aku masih ingat aroma tubuhnya. Itu adalah salah satu pengalaman yang menyenangkan yang pernah terjadi dalam hidupku.

Setelah beberapa detik berpelukan, aku melepaskannya. Semua yang menyenangkan akan berakhir, begitu juga pelukan kami itu.

“Udah mandi sana, bau.”

“Ih...lu, baru juga romantis romantisan.” Protes Viny, aku rasa.

“Eh..,lu masih pacarnya Ali ya.”

“Iya tahu, tapi kan lu yang udah dapat semuanya dari gue.”

“Apaan sih, dah ah...gue tunggu diluar.”

Aku pun keluar dari kamar mandi dan sebelum aku menutup pintu aku bisa mendengar Viny berkata.

“DASAR...TSUNDERE.....”

Tentu aku bukan tsudere. Aku tahu, aku punya perasaan kepada Viny dan aku rasa aku tak menutupi itu dari nya. Hanya saja, aku teringat kepada Ali dan status hubungannya dengan Viny. Kau tahu? ada perasaan bersalah yang tiba tiba menyerangku, saat aku menyadari rumitnya perasaan yang kupunya untuk Viny.

Entah sejak kapan tapi aku tahu perasaan yang kupunya untuk Viny bukan hanya sekedar napsu. Aku tahu dia adalah kekasih sahabatku, dan aku tahu dia tak seharusnya menjalin hubungan asmara dengan siapapun. Tapi aku punya dan ingin dia membalas perasaan yang kurasakan untuknya, aku menginginkan dia.

“Bang.”

“Vidy?”

Waktu itu aku memutuskan untuk menunggu di ruang tamu rumah Viny, karena aku pikir jika aku melihat dia telanjang saat berganti pakaian, aku akan memperkosanya lagi. Meski aku tak ingin melakukannya, tapi aku sudah kalah oleh napsuku dua kali dan aku tak yakin aku bisa sadar sebelum semuanya terlambat seperti yang terakhir kali.

Lalu saat aku duduk dan memeriksa timeline twit**terku, Vidy yang sebelumnya memukuliku datang menghampiri.

“Iya..” jawabnya pelan, dia menundukkan kepalanya mungkin merasa bersalah karena sudah memukuliku.

“Gue pengen minta maaf soal tadi.”

“Iya gue paham, lu khawatir dengan kakak lu. Apa lagi dia cewek.” Balasku.

“Iya itu, juga karena kak Viny....”

“Viny kenapa?”

“Hmm.....”

Vidy mengatupkan bibirnya dan ekspresinya seakan menyesal sudah mengatakan apa yang seharusnya tak dia dikatakan. Tingkah Vidy semakin aneh karena dia melihat kearah tangga, kearah kamar Viny seakan ingin memastikan Viny tak mendengar apa yang ingin dia katakan.

“Kak Viny itu....”

Sebelum Vidy bisa menyelesaikan kalimatnya handphonenya berbunyi dan aku bisa melihat ketakutan tergambar jelas diwajahnya. Dengan tangan bergetar dia keluarkan handphone dan dari kantong celananya, dan dia menangis saat melihat apa yang tertulis dilayar handphonenya.

Vidy menjatuhkan handphonenya, dan aku bisa melihat apa yang tertulis disana, Viny. Cepat cepat Vidy mengambil kembali handphonenya dan menyimpannya kembali kedalam kantung celananya.

“Gue....balik....balik ke kamar dulu.” ucap Vidy yang berusaha sekuat tenaga menghapus air matanya.

“Tapi...yang mau lu omongin?”

“Lu....lupain aja.”

Entah apa yang terjadi dan aku tak mengerti perubahan yang Vidy alami setelah melihat nama Viny dilayar handphonenya. Sebuah panggilan dari Viny dan Vidy menangis? Bukankah tadi dia dan Viny masih saling berteriak?

Mungkinkah?

“Oii!!!”

“Viny?”

“Iya gue Viny emang siapa lagi? Ayo berangkat.”

“O....OK.”

Sejak kapan Viny berdiri dibelakangku? Aku yakin sebelumnya tak ada seorang pun dibelakangku? Lalu bukankah tadi Viny masih bersiap siap untuk latihan? Apakah aku sudah memeriksa timeline twit**terku cukup lama sebelum Vidy datang?

“Malah begong, ayo..”

“Iya...ya maaf.”

Viny menarik tanganku dan kami berdua pun berangkat menuju tempat latihan team T. Awalnya aku mengira aku akan mengantarkan Viny untuk latihan di FX Sudirman, karena aku mengira setiap latihan JKT48 dilaksanakan disana. Tapi Viny memintaku untuk pergi menuju daerah *******karena disanalah latihan team T dilaksanakan.

Tentu aku tak akan memberitahu kalian dimana tepatnya mereka berlatih, aku tak terlalu mempercayai kalian.

“Nggak di FX?” tanyaku yang penasaran.

“Nggak, FX penuh. Jadi team T disuruh latihan di *******.”

“Oh...team T doang?”

“Nggak sih, kadang K3 kesana juga. Anak Dance project sama Accoustic juga latihan disana.”

“J?”

“Nggak lah, team J mah di FX trus latihannya.”

“Kok gitu?”

“Au ah gelap.”

Viny nampaknya sudah cukup terganggu dengan pertanyaanku, aku harusnya sadar kalau aku bukan siapa siapa untuk tahu terlalu jauh. Aku juga tak mau terlalu jauh masuk kedalam urusan rumah tangga JKT48. Aku merasa mengetahui terlalu banyak akan membunuh rasa tertarikku pada mereka. Sama seperti saat aku mengetahui trick trick sulap, menontonnya tak akan menyenangkan lagi. Aku masih ingin memiliki euphoriaku untuk JKT48.

Selama perjalanan Viny mengisi waktunya dengan mengambil beberapa foto selfie, dia berfoto dengan berbagai ekspresi dan itu menjadi hiburan tersendiri saat harus menyusuri jalanan Jakarta yang riuh rendah.

“Foto yuk..” ucap Viny yang tiba tiba bersandar dibahuku dan mengarahkan handphonenya ke wajahku.

“Nggak, ntar jadi bahan tubir. Kalo lu skandal lagi diturunin jadi apa lu, ticketing?” Ucapku menolak ajakan Viny.

“Ye... lu kan bukan cowok gue, jadi bukan skandal dong namanya.” Balas Viny sambil menusuk nusuk pipiku dengan jari telunjuknya.

“Emang yang lain peduli? Kalo lu foto sama cowok kesebar ya jadi skandal.”

“Oh...jadi gitu cara kerjanya, baru tahu gue.” Ucap Viny.

“Ya gimana ya.....”

“Tapi lu perhatian banget sih sama gue, jadi gemes.” Ucap Viny yang tiba tiba merubah serangannya dengan mencubit cubit perutku.

“E...lu, gue lagi nyetir ******.” Ucapku reflek.

“Biarin...wlekkk.”Ejek Viny sambil menjulurkan lidahnya.

Puas mengangguku Viny, memutuskan untuk fokus kembali ke layar handphoneya. Aku pun kembali memfokuskan pandanganku ke jalan raya, meski sebenarnya aku lebih menikmati perjalanan ini saat Viny bersandar dibahuku.

“Iya sayang...iya, aku lagi dijalan..”

Sayang? Aku menoleh dan ternyata Viny sedang menjawab panggilan dari seseorang.

“Sama siapa? Si Benji...iya tadi pagi ketemu waktu aku nunggu bus.....iya aku todong lah, aku bilang......kalo nggak mau nganterin, aku batalin double datenya, eh dia langsung mau. Hahahaha...iya jomblo akut kali ya...eemmm...iya, kalo dia nakal sentil aja kupingnya? Langsung nurut tuh? Hahahaha ada ada aja. Iya...bye...love you...”

Viny menyelesaikan panggilannya dan mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Viny baru saja berbohong kepada Ali tentangku, tentang bagaimana aku mengantarkannya sekarang. Selain statusnya sebagai member JKT8, apa lagi kebohongan yang Viny berikan kepada Ali?

“Lo dibilang jomblo akut tadi sama si Ali.”

Si Ali? Really? He’s your boyfriend.

“Kok bohong?” tanyaku.

“Iya...emang lu mau gue cerita sama Ali soal itu? Ben come on, we in this shit together, jangan sok naif lah .

“Sorry.”

Aku mulai berpikir, bahwa tak ada gunanya mempermasalahkan ini semua. Mungkin, seharusnya aku menikmati ini semua sambil berusaha mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku menginginkan Viny dan untuk bisa mendapatkannya, aku harus berhenti menjadi naif.

Ali memang sahabatku, tapi hanya ada satu orang yang akan memiliki Viny dan aku akan memastikan bahwa itu aku. Maaf maaf saja kawan, soal asmara hanya ada lawan. Tak ada waktu untuk dibuang, aku pun memulai usahaku sekarang.

“Vin..” panggilku.

“Hah?”

“Selesai latihan jam berapa?”

“Kenapa emang?” jawab Viny yang sekarang mengalihkan pandangannya kepadaku.

“Gue pengen nonton Thor, lu mau ikut?”

Mendengar ucapanku, sebuah senyuman muncul diwajah Viny. Itu memang cantik, tapi itu tak menjawab pertanyaanku.

“Jadi lu ngajak gue ngedate nih ceritanya, lu mau ngajakin gue selingkuh sama lu?”

Tentu aku ingin bilang iya. Tapi ini masih terlalu cepat, dan Viny masih berstatus kekasih Ali. Entahlah, selingkuh itu terdengar buruk. Aku ingin mereka berdua putus terlebih dahulu sebelum Viny memulainya lagi bersamaku.

“Nonton doang,” jawabku yang tak ingin mengakui niat buruk yang kumiliki.

“Oh....ya udah... nanti aja kita selingkuhnya, sekarang kita pendekatan dulu gitu. Hihihi.”

Yeah i can do that. Kita berdua selingkuhnya nanti saja.

“Ya terserah, jadi jam berapa selesainya?”

“Nggak tahu, mending lu nungguin gue aja selesai latihannya. Sekalian lu bisa cuci mata ngeliatin anak anak team T joget joget gitu. Lu kan wota mesum.”

“Emang boleh, gue nungguin lu latihan?”

“Boleh kok, cowok gue dulu sering nungguin.”

“OH.....” Aku lupa kenapa Viny latihan dengan team T hari ini, bodohnya aku.

Setelah perjalanan yang cukup berwarna akhirnya kami sampai di tempat latihan yang kami tuju. Itu sebuah rumah dua lantai dengan pagar yang cukup tinggi, sesuai perintah Viny aku memarkirkan mobilku di area garasi.

Aku tak ingin membuang waktuku untuk bertanya kepada Viny, kenapa dia masih dengan santainya membawa seorang lelaki ke tempat latihannya saat dia masih dalam masa hukuman. Viny pasti tak akan memberikan aku jawaban seperti yang sudah sudah, aku sudah tak ingin lagi mempermasalahkan hal tak penting seperti itu.

Saat kami sampai para anggota team T yang lain sedang melakukan pemanasan, yang berarti Viny sudah terlambat. Awalnya mereka sedikit terkejut saat melihatku datang bersama Viny, tapi satu detik kemudian mereka sudah memfokuskan diri mereka kembali pada latihan mereka.

“Tunggu situ aja.” Ucap Viny sambil menunjuk salah satu sudut ruangan.

“OK.”

Selain Viny juga ada Manda dan Okta yang juga baru menjadi trainee, berlatih bersama team T. Saat Viny masuk kedalam barisan, Manda dan Okta langsung berbisik kepada Viny. Mungkin mereka bertanya kenapa ada aku yang sedang menyaksikan latihan mereka.

Menyaksikan para member tampil di panggung adalah pengalaman menyenangkan yang selalu ingin kuulang. Menyaksikan mereka latihan adalah suatu kesenangan yang berbeda. Selain mereka tampak lebih seksi dengan kaos dan celana pendek, melihat mereka berkeringat dengan pakaian minim itu adalah sebuah kenikmatan.

Fuck...Ben....they’re kids. Sejak kapan kau jadi serendah ini. lu emang mesum tapi lu bukan sampah. FUCK!!!!!

Tak ingin dipenuhi rasa bersalah karena sempat bernapsu pada anak anak SD dan SMP di team T, aku pun mengalihkan pandanganku kepada member lain yang sudah cukup umur untuk bisa kulihat tanpa rasa bersalah. Aku pun memutuskan untuk memfokuskan pandanganku pada Viny, Manda, Okta, dan Melody....

Oh sial...aku lupa soal Melody, dan sekarang dia sedang memandangku dengan pandangan yang mengerikan. Apa dia sedang marah karena aku seharusnya tak ada disini? Sial.....sial...sial...

“Viny!!!” panggil Melody.

Suasana pun berubah tegang, semua orang saling berpandangan lalu mengalihkan pandangan mereka ke Viny yang ada dibarisan belakang.

“Iya.”

“Ambil alih...”

“O....K...”

Viny pun maju ke depan barisan mengambil alih pemanasan yang sempat dipimpin oleh Melody. Melody sendiri sedang berjalan menghampiriku. Aku merasa seluruh hidup lewat didepan mataku, aku rasa hidupku akan berakhir waktu itu juga.

Well, at least i fucked Viny.

Aku tak melihat ada pilihan lain, aku ingin kabur tapi kakiku berubah menjadi selembut Oki jelly. Sebelum aku bisa kabur, Melody sudah berdiri didepanku.

“Ikut gue!!” ucap Melody. Singkat, jelas, dan padat.

Aku tak menjawab, aku hanya mengikutinya naik ke lantai dua. Entah lah kenapa Melody yang hanya setinggi bahuku bisa sangat menakutkan sekarang. Aku tanpa bersuara mengikuti masuk ke dalam kamar lalu hanya diam saat Melody menguncinya.

“Jadi....Ben kan?”

“I...ya.”

Aku terlalu takut untuk memikirkan kenapa Melody bisa tahu namaku. Saat hidupmu dalam bahaya, kau cenderung tak memikirkan banyak hal.

“Trus lu mau apa?”

“Ma...mau?”

“Jangan pura pura ****** deh, lo mau apa macarin Viny?”

“Kami nggak pacaran.”

“Nggak usah bohong!!!” Bentak Melody, dia nampaknya berpikir aku berbohong tentang hubunganku dan Viny.

“Sumpah.....gue..gue se...teman Viny.”

Melody yang masih belum percaya mendorongku mundur hingga punggungku menempel ke dinding. Lalu dia berdiri tepat di depanku begitu dekat, hingga aku terjebak diantara tempat yang keras dan lembut.

“Kalau lo cuma temannya Viny, kenapa dia sampe ngajak lo kemari. Apa lo liat member lain bawa temen mereka kemari? Enggak kan? Jadi gue tanya sekali lagi dan lo jawab yang jujur. Mau apa lo macarin Viny?”

Gue nggak bisa jawab gila, gue belum pacaran dengan Viny!!!!

Untung saja Melody bukan sejenis mutan yang bisa membaca pikiranku sekarang, kalau tidak dia pasti tak suka mengetahui aku berteriak padanya. Tapi ya, aku tak bisa menjawab pertanyaan itu, aku tak mau berbohong atas statusku dengan Viny.

“Jawab!!! Begong aja!!!”

Melody kembali mendekat dan menekankan dadanya ke perutku yang harusnya kunikmati tapi tak bisa karena aku takut kalah oleh napsuku. Aku yakin jika aku bernapsu disini sekarang, hidupku akan selesai. Melody bukanlah Viny yang akan memaafkanku dengan mudahnya.

“Viny...”

“Iya...apa?” potong Melody.

“Dia pacar sahabat gue.”

PRAKKKK

Melody menampar wajahku. Aku hanya diam, tak tahu apakah harus marah atau diam dan menerimanya saja.

“Gue bilang jangan bohong.”

“Gue nggak bohong.”

Aku tangkap tanganya sebelum Melody bisa menamparku lagi. Dia mencoba melepaskan tangannya tapi aku menahannya karena tahu Melody hanya akan mencoba menamparku lagi.

“Lepas!!! Lepasin nggak!!!”

Melody berusaha keras melepaskan tangannya, dia bahkan mencoba memukul dan menendangku. Aku tangkap satu lagi tangannya sebelum Melody mencoba menamparku, lalu aku angkat keduanya keatas dan kuputar badanku dan mendorong Melody mundur ke dinding.

“Lepas....”

Aku tutup mulut Melody dengan tangan kananku karena aku tak mau mendengar teriakannya yang mulai menyakiti telingaku.

“Diam dulu.”

Melody tak menjawab, dia masih sibuk berusaha melepaskan diri.

“Bisa diem nggak sih? Kuping lu itu dipake nggak? Atau gue potong aja?”

Melody masih tak mau mendengar ucapanku, nampaknya aku harus sedkit kasar.

PRAKKKK

Satu tamparan untuk yang sebelumnya dan juga untuk membuat Melody diam. Aku tak ingin jadi lelaki yang kasar, tapi Melody tak mau mendengar perkataanku. Aku hanya ingin bicara dan dia menamparku, sekarang aku harus menamparnya hanya untuk membuatnya mendengarkan ucapanku.

Tamparanku berhasil membuatnya diam, dan sekarang dia dengan kedua bola mata coklatnya itu memandangku. Sepertinya aku sudah keterlaluan karena terbawa emosi sesaatku.

“Maaf soal tamparannya, gue tadi emosi. Maaf.”

Aku pun melepaskan peganganku dan mundur beberapa langkah darinya. Melody memandangku lalu menutup matanya untuk menarik napas yang dalam. Mungkin mencoba menenangkan dirinya, setelah apa yang kulakukan kepadanya.

“OK....Jadi kita tadi sama sama emosi. Gue kebawa emosi karena ngeliat Viny bawa cowok padahal baru kemaren kena hukuman......lalu ternyata cowoknya lo Ben, Fans yang seharusnya tahu itu nggak boleh, itu salah.”

“Iya...gue...”

“Jangan...jangan dipotong dulu.”

“O...K.”

“Gue dulu juga salah, dan hukuman gue lebih berat dari Viny, dari Okta, dari....dari...Manda, dari An...intinya. Intinya gue nggak mau Viny atau member lain ngelakuin kesalahan yang sama kayak gue, mereka harusnya...cukup gue aja gitu.”

Melody duduk dan menangis. Aku tahu apa yang telah Melody lalui dan apa yang dirasakannya saat melihat Viny mengandengku masuk kesini. Aku merasa jahat sekarang, karena sebenarnya aku ingin benar benar ingin memacari Viny.

“Ben...”

“Iya?”

“Lo bisa bantuin gue nggak?”

“Iya..apa aja.”

“Gue tahu sebagai sahabatnya lo pasti mikir ini permintaan jahat, tapi bisa nggak lo nyuruh Viny putus dengan cowoknya?”

Ennui

Aku tak perlu berpikir dua kali untuk menyanggupi permintaan Melody. Kenapa tidak? Aku akan melakukannya cepat atau lambat, seperti yang kukatakan, aku tak berniat menjadi selingkuhan Viny, aku berniat menjadi kekasihnya.

Tapi, aku tak bisa langsung setuju saat itu juga. Aku sudah mengaku kepada Melody bahwa Ali adalah sahabatku, dan langsung setuju untuk merusak hubungan sahabatmu bukanlah hal yang bagus. Aku merasa aku masih butuh kesan baik didepan member member JKT48, aku merasa akan buruk jika mereka berpikir aku orang jahat. Bagaimana pun juga aku masih berencana menyaksikan pertunjukan mereka di theater, dan bersalaman dengan mereka di Handshake event. Jadi, aku akan sedikit bersandiwara, entah berapa rendah lagi aku akan buat diriku jatuh hanya untuk para gadis idola.

“Mel.” Ucapku pelan, aku juga berusaha terlihat tak terlalu bahagia mendengar perkataan Melody.

“Iya gue paham kalo ini sulit bukan lo, tapi Ben lo tau kan apa yang bakal terjadi kalo Viny ketahuan lagi.”

Melody bangkit berdiri dan memegang kedua bahuku, dia memberikanku tatapan yang lembut tapi juga kuat disaat yang bersamaan. Mungkin dia berusaha menyakinkanku bahwa idenya itu adalah hal yang benar. Aku tetap menjaga ekspresi sedihku, aku ingin membuat Melody berpikir bahwa aku ini adalah sahabat yang baik, yang sebenarnya tak ingin merusak hubungan cinta sahabatnya sendiri.

“Ali....Ali...sahabat gue, Mel...”

“Iya...tapi gue minta tolong lo ngerti, gue nggak ingin ada member yang ngerasain apa yang gue rasain.”

Melody melepaskan pegangannya pada bahuku, lalu berbalik badan. Dari punggungnya aku masih bisa melihat bahwa Melody berusaha keras menghapus air matanya. Aku tak tahu apa, tapi nampaknya Melody teringat kembali akan hal buruk yang terjadi kepadanya, setiap kali dia mengatakan ‘apa yang gue rasain’.

“Mel...” panggilku.

“Iya,” jawab Melody, dan setelah sekali lagi menghapus air matanya dia berbalik. Matanya merah, dan kesedihan belum hilang dari wajahnya.

“Gue seneng lu GM, meski katanya lu galak tapi nyatanya lu perhatian.”

“Apaan sih.....”

Aku rasa aku sudah bersandiwara cukup bagus, dan Melody sudah memberikanku alasan yang cukup untuk setuju pada ide ‘jahat’nya. Aku hanya perlu memasang wajah orang yang hatinya luluh oleh kebaikan Melody, dan aku rasa itu cukup sebagai alasanku untuk setuju dengannya.

“Gue bakal bantuin....”

“Serius, Ben...” ucap Melody yang terlihat tak percaya.

“Iya, tapi gue minta tolong satu hal.”

“Apa...apa?” tanya Melody tak sabaran.

“Tolong...tolong jangan kasih tahu Viny, tolong jangan kasih tahu Viny kalo gue yang ngerusak hubungan dia, gue nggak mau dia, Ali ngebenci gue. Terutama Ali.” Aku bersandiwara sedikit lagi, just in case Melody merasa alasan belum cukup kuat untuk mengkhianati sahabatku sendiri.

“Maaf gue buat lo ngekhiatin sahabat lo sendiri, gue emang egois....”

“Udah, nggak usah nyalahin diri lu sendiri.”

Aku bisa melihat air mata, sekali lagi mengalir turun diwajah Melody, kali ini dia tak berusaha menyembunyikannya. Lalu dia memelukku, menyandarkan wajahnya di dadaku.

“Makasih...” ucap Melody sebelum dia menangis di dadaku. Aku balas pelukannya, dan membiarkan dia menangis disana, didalam pelukanku.

Jujur aku menikmati apa yang terjadi, pelukan Melody itu hangat dan aroma tubuhnya menyenangkan untuk dihirup. Selain itu dia baru saja memberikanku alasan untuk membuat Viny memutuskan hubungannya dengan Ali. Aku tak bisa meminta hal yang lebih baik dari ini sekarang.

Setelah beberapa saat, Melody melepaskan pelukannya, dia hapus air matanya dan melihatku dengan tatapan lembut yang menyenangkan. Aku hanya sedikit berharap aku bisa memeluk tubuhnya lebih lama, bersentuhan dengannya adalah hal yang kusuka.

“Jadi...jadi, kita omongin lagi nanti soal rencana kita.”

“Iya.”

“Contact lo?”

“Oh ya.”

Cepat cepat ku keluarkan handphoneku dan kuserahkan kepada Melody, lalu dia mengetikan sesuatu dihandphoneku, sebelum mengembalikannya lagi kepadaku. Aku bisa melihat contact baru di handphoneku, ditulis atas nama Imel.

“Imel?”

“Biar temen lo nggak curiga kalo misalkan mereka minjam handphone lo.”

“Oh...ngerasa kayak Frieska aja.”

“Kok Frieska?”

“Ya, kalo di twit**ter kan dia sering manggil lo Imel atau Baim.”

“Hahaha, emang gitu dia.”

Sedikit senyum sudah kembali ke wajah Melody, itu jauh lebih baik, dia juga tampak lebih cantik.

“Ngapa ngeliatnya gitu? Jadi takut.” Ucap Melody yang mundur beberapa langkah sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya dibuat menyilang. Seperti orang yang takut akan diperkosa, tunggu, apa Melody tahu apa yang telah kulakukan pada Viny bukan?

“Nggak gitu, maaf tadi...”

“Udah jangan salting, becanda doang abdi mah.” Ucap Melody yang kelihatan berusaha keras untuk tidak tertawa.

“Gimana salting coba, sampe mundur gitu.” Balasku.

“Iya maaf, jangan marah gitu dong. Apa mau peluk lagi?” ucap Melody sambil mengulurkan kedua tangannya kedepan.

“Nggak, bau kelek.”

“Ihhh harum!!!” ucap Melody sedikit berteriak.

Jika dalam keadaan normal, aku tak akan mungkin menolak tawaran seperti itu. Tapi aku rasa kami sudah pergi cukup lama, dan aku khawatir member member yang lain akan mulai curiga.

“Udah balik sana latihan, ntar yang lain curiga kita pergi kelamaan.”

“Yakin nggak mau peluk?”

“Ih...napsuan.”

“ENAK AJA.” Protes Melody sekali lagi.

“Ya makanya sana,”

“Ya udah peluk peluknya kapan kapan aja.”

Melody pun akhirnya pergi dan meninggalkanku sendirian, meski aku sangat tergoda oleh tawaran Melody. Aku yakin, aku tak akan puas hanya dengan pelukan, aku pasti menginginkan lebih. Aku bersyukur aku masih bisa berpikir jernih, meski hanya untuk sesaat.

Aku pun melangkah keluar kamar dan memutuskan untuk pergi ke balkon belakang untuk merokok. Semua yang terjadi, antara aku, Ali, Viny, dan sekarang Melody terlalu banyak membebani pikiranku, dan aku butuh waktu untuk menenangkan diri.

Sebelum aku sampai di balkon, aku dapat mencium aroma nikotin dan asap putih yang membumbung, yang menandakan ada orang lain yang telah lebih dulu merokok disana. Aku merasa cukup senang karena selalu menyenangkan punya teman untuk merokok.

“Manda?” ucapku yang sedikit terkejut melihat dia sedang menyemburkan asap putih dari mulutnya.

Manda sendiri hanya menoleh lalu memutuskan untuk mengambil satu hisapan lagi pada rokoknya. Aku sempat merasa terkejut tapi memutuskan tetap menyalakan rokokku dan mengikuti Manda untuk bersandar di dinding.

“Kaget lu?” tanya Manda.

Aku mengambil satu hisapan panjang dan menikmatinya sebelum menjawab pertanyaan gadis yang berdiri disebelahku. Beberapa jam yang lalu aku memutuskan untuk berhenti naif terhadap member JKT48 dan rahasia mereka. Jadi member perokok adalah satu hal lagi yang bisa kuterima.

“Dikit.” Ucapku yang akhirnya menjawab.

“Oh....”

Kami berdua kembali menikmati batang rokok yang kami bakar, aku tak akan bertanya kepada Manda alasan dia merokok atau mengapa sebagai member JKT48 dia merokok. Aku tak peduli, aku tak ingin mencampuri urusannya.

“Bagi rokok lu,” pintanya. Aku pun memberikan rokok yang ada dikantong celanaku padanya. “Cuma Malboro? Nggak ada yang lain?”

“Mau beli clasmild tapi kosong tadi.”

“Ya udah daripada manyun gue.”

Aku membantu Manda menyalakan rokok yang ada di bibirnya, dari dekat aku bisa melihat betapa seksinya bibirnya itu.

“Thank you.”

“Sure.”


Kami melanjutkan aktivitas itu seperti itu adalah hal yang normal. Memang tak ada yang melarang seorang gadis untuk merokok, tapi sampai sekarang tak ada konotasi yang bagus bagi mereka. Hal yang lucu karena sekarang, seperti Viny, Manda sedang menjalani masa hukuman.

“Lu cowok barunya Viny?”

Soon, i hope.

“Nggak, gue cuma sahabat cowoknya Viny.”

“Oh....gitu kirain, soalnya lu berdua kayaknya mesra banget gitu.”

Aku mengembuskan asap rokokku ke udara, sebelum aku menolah kembali kearah Manda. Dia melihatku dengan sebatang rokok di bibirnya, dan dia tak pernah terlihat lebih seksi.

I think i wanna fuck her.

“Perasaan lu aja kali,”

“Berarti lu jomblo dong?”

“Ya gitu....”

Manda tersenyum lalu menjatuhkan rokok yang ada di bibirnya, dia mengambil rokok yang ada di bibirku, membuangnya, lalu menciumku. Aku dilanda perasaan aneh saat bibir kami bertemu, itu lembut tapi dipenuhi rasa pahit oleh rokok yang baru kami hisap.

Ciuman tetaplah sebuah ciuman dan aku menikmati ciuman lembut dan basah yang diberikan oleh Manda. Tak puas hanya mencium bibirnya, aku mainkan lidahku didalam mulutnya, Manda yang sepertinya jauh lebih berpengalaman membalas dan membuat ciuman kami makin panas.

Lalu ku putar tubuhku, membuat tubuh Manda bersandar di dinding. Aku cium lagi dia dan dia dengan cepat membalas ciumanku. Aku mengaitkan lidahku dan Manda membalasnya dengan cepat, kami bertukar liur, terus berciuman hingga berhenti karena kehabisan napas.

“Anjing, diciumin aja sange gue.” Ucap Manda yang melihatku dengan tawa kecil diwajahnya.

Saat itu napsuku sudah sampai ke puncaknya. Aku sudah tak peduli alasan kenapa Manda menciumku, aku hanya ingin merasakan tubuhnya.

“Ayo.” Ajaknya.

Kembali kudepap dia, kupertemukan lagi bibirku dengan bibirnya. Rasa manis muncul mengantikan rasa pahit yang tadi kurasa. Aku tak pernah bosan dengan rasa lembut dari bibirnya, aku seperti menemukan candu yang lebih kuat dari pada nikotin.

Manda melepaskan ciumanku dan dengan cepat mengarahkan bibirku ke leher putih, jenjang miliknya. Kuciumi itu, sedikit asin karena keringat, tapi napsuku menyuruhku untuk menciumi, menghisap leher putih itu.

“Ah.....,” desahan pendek kudengar dari bibirnya.

Kuturunkan ciumanku dan aku sampai pada buah dadanya. Kuangkat kaos putih yang menutupi mereka, kuturunkan bra hitam yang menghalangi mereka, hingga aku bisa melihat payudara putih dengan puting berwarna merah muda miliknya.

Tiba tiba Manda menurunkan lagi kaos putihnya, menutupi payudara indah yang ingin kuremas dan kuhisap kuat kuat.

“Kita quickie aja, kalo kelamaan ntar ketahuan.”

Quickie?” Tanyaku yang meski telah memperkosa seorang gadis masih tak tahu banyak soal seks dan istilahnya.

“Langsung ngentot aja gitu, nggak pake foreplay.” Jawab Manda yang coba menjelaskan.”Lama ih...mau nggak?”

“Ya ayo.”

Tentu saja aku mau, bisa berhubungan seks dengannya itulah yang terpenting. Aku tak peduli apakah itu quickie atau yang lainnya. Aku pun mengeluarkan batang kontolku dan mengocoknya sebentar untuk membuatnya tegang.

Aku pun berdiri dibelakang Manda yang sudah menunggingkan badannya, dia mengunakan rok pendek waktu itu jadi dia hanya perlu menurunkan celana dalamnya. Batang kontolku yang sudah tegang kudorong masuk kedalam memek Manda yang sudah menunggu.

“Ish.....ak....akk....AKHHH.....”

Sama seperti Viny kemarin, aku merasakan sesuatu yang menganjal kontolku untuk terus masuk. Dan sama seperti kemarin, aku dorong kontolku keras keras dan aku sempat mendengar Manda berteriak sebelum menahannya.

“LU nggak apa apa?” tanyaku.

“Ng...nggak, ayo..genjot.”

Mungkin aku bodoh karena bertanya, pada waktu itu aku yakin bahwa itu bukanlah saat pengalaman seks pertama Manda. Dia berteriak mungkin karena kontolku adalah kontol terbesar yang pernah masuk kedalam liang memeknya.

Aku pun mulai mengenjot memek Manda secara perlahan, aku ingin merasakan tiap senti memeknya sebelum aku menghantamnya dengan keras.

“AH........” desah Manda panjang, nampaknya dia begitu menikmati batang kontolku didalam memeknya.

Perlahan lahan kunaikan tempo genjotanku, dan desahan Manda juga bertambah cepat seiring dengan gerakan kontolku.

“Enak....Man...memek lu...enak..”

“AH....Cepetan....nanti.....ketauan...ah...kon...tol.”

Aku menuruti permintaan Manda dan mempercepat gerakanku pada memeknya, aku pegang pinggangnya dan mengenjot memeknya kuat kuat.

“Ah....ah...ah..”

Hanya ada suara desahan Manda dan genjotanku pada memeknya, aku tak akan pernah bosan menikmati sensasi memek yang menelan kontolku. Setiap genjotan kontolku pada memek Manda akan disambut oleh pijatan yang seakan ingin menelan kontolku kedalam, dan aku menikmati sensasi itu.

“Terus....yang....kuat.” ucap Manda ditengah desahannya. Aku tak tahu seperti apa kuat atau cepatnya kontol lain menghujam memeknya, aku tak tahu seliar apa seks yang pernah dia rasakan tapi saat itu, aku sudah mengenjot memeknya sebisaku.

Aku hujamkan terus batang kontolku ke memeknya sekuat dan secepat yang aku bisa, sensasi memeknya itu seperti narkoba yang memberiku perasaan nikmat yang amat sangat, dan desahannya itu terus memacuku.

“Akhhh...gue keluar...AKHHHH....”

Aku merasakan cairan hangat memenuhi kontolku, dan sebelum Manda jatuh lemas karena orgasme, aku menahan badannya untuk tetap berdiri.

“Capek....gue..”

“Bentar....gue...belum.”

“Tapi......ah....ah....capek...ah...”

Aku tak peduli dengan rengekan Manda, aku yang belum terpuaskan kembali mengenjot memeknya.

“AH...”

“AH....”

“Memek...lu...mantap...anjing....”

Aku terus mengenjot memek Manda, sementara Manda hanya bisa pasrah saat tubuhnya kupaksa untuk tetap berdiri.

Entah berapa lama kontolku sudah menghujam memeknya, dan berapa lama Manda sudah mendesah kenikmatan. Mungkin itu tak bisa lagi disebut quickie, tapi saat kau menikmati sesuatu kau cenderung melupakan waktu.

“BENJI!!!!!”

Jantungku serasa berhenti saat melihat Viny berdiri dan melihat aku sedang berhubungan seks dengan Manda.

“Lepas....lepas...”

Manda yang juga panik melepaskan peganganku pada dirinya, dan cepat cepat merapikan dirinya.

“Vin...ini..”

“Diem...lu berdua.” ucap Viny.

Manda yang awalnya ingin ‘menjelaskan’ apa yang terjadi kepada Viny, mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk diam. Manda memukul perutku dan menunjuk kontolku yang masih mengacung bebas tanpa penutup.

Aku yang tersadar langsung memakai lagi celanaku, meski terasa sesak karena kontolku yang masih tegang. Aku tak bisa berbuat apa apa, aku tak pernah ketahuan sedang berhubungan badan dengan seorang gadis sebelumnya.

Viny berjalan mendekat, dan seperti Manda, aku memutuskan untuk menundukan kepalaku dan menghindari tatapan Viny. Aku merasakan ketakutan yang berbeda waktu itu, saat tadi aku takut kepada Melody, aku takut karena dia terkenal galak dan sering marah kepada member lain. Tapi waktu itu, aku takut karena aku tahu Viny bisa berbuat apa saja kepadaku.

“Manda lu balik, gue disuruh kak Melody nyariin lu tadi.”

Manda mengangguk cepat lalu berlari meninggalkanku, berdua bersama Viny yang aku tak tahu akan berbuat apa.

“Jadi.....Ben,”

HOLY FUCK SHE CALLED ME....

“Maafin......”

“Stttttt....diem, tadi gue suruh lu diem kan.”

Aku mengangguk menandakan aku paham.

Suara Viny terasa dingin, dan aku merasa kata kata itu setajam pisau yang sedang mengiris iris telingaku. Viny berjalan perlahan disekitarku, aku bisa mendengar jelas langkah kakinya karena waktu itu semua begitu sunyi.

“Tadi bukannya lu sama Melody? Kok barusan lu ngentot dengan Manda?”

“Tadi....gue...gue mau ngerokok.”

“Ngerokok kok ngentot. Nyari alasan yang pinteran dikit napa?”

“Nggak gitu, tadi pas ngerokok ketemu Manda terus...”

“Terus? Terus apa?”

Aku tak mungkin berkata bahwa Manda tiba tiba menciumku, itu akan membuat Manda terdengar seperti seorang pelacur didepan Viny. Itu juga akan membuatku terdengar seperti pengecut yang melimpahkan kesalahn kepada seorang gadis.

Meski aku takut, tapi aku akan melindungi Manda untuk kali ini. Aku juga salah karena tetap memaksanya walaupun dia sudah lemas, aku harusnya berhenti pada saat itu dan ini semua tak akan terjadi.

Ya ini salahku, dan aku harus bertanggung jawab.

“Terus gue sange berat ngeliat dia pake rok pendek, ngeliat pahanya putih, apalagi tadi gue sempat ngeliat celana dalam dia waktu latihan.”

“Terus dia mau mau aja gitu?”

“Nggak sih, gue rayu rayu dulu, gue paksa dikit juga. Pas akhirnya dia nya mau, lu muncul.”

TOKKKKK

Viny menjitakku dengan keras. Aku dengan reflek mengelus elus kepalaku yang sakit karena jitakannya.

“Gila ya lu, dua member udah lu perkosa...”

“Gue...”

TOKKKKK

“Diem, dasar sangean bener sih lu, kasian gue sama Manda. Kalo Eve yang disini lu lu paksa ngentot juga?”

“Nggak lah, gila lu.”

TOKKKKK

Sekali lagi Viny menjitakku, dan sekali lagi aku hanya bisa diam dan mengelus kepalaku.

“Kalo kak Melody atau member yang lain yang ngeliat gimana?”

“Ya....ya gimana.”

Viny hanya mengelengkan kepalanya, seperti seorang Ibu yang mendengar kalau anaknya yang nakal sekali lagi berbuat ulah.

“Lu harus minta maaf sama Manda, nggak mau tahu gue.”

“Iya..”

“Jangan iya iya aja, sana..”

“Iya..iya.”

Aku pun berlari meninggalkan Viny, masuk kedalam rumah untuk mencari Manda. Aku tak mengerti tapi nampaknya ini berakhir lebih baik dari dugaanku. Aku sudah bersiap untuk yang terburuk, tadi aku hanya berharap bisa melindungi Manda dan nampaknya aku berhasil.

Tepat sebelum aku turun ke lantai satu, sebuah tangan menarikku masuk kedalam kamar yang sama saat Melody membawaku masuk. Berbeda dengan sebelumnya kali ini yang menarikku masuk itu Manda.

“Makasih ya,”

“Makasih buat?”

Aku kira Manda akan marah saat dia melihatku, setalah kami berdua ketahuan sedang berhubungan badan oleh Viny. Tapi sekarang Manda tersenyum kecil dan barusan dia berterima kasih padaku.

“Iya, tadi lu pasang badan buat gue depan Viny.”

Jadi Manda menguping pembicaraanku dengan Viny, entahlah tapi aku senang aku berusaha melindungi Manda tadi, bayangkan reaksi Manda jika aku menyalahkannya tadi.

“Oh...itu, itu tadi salah gue udah maksa lu jadi kita ketahuan.”

“Emang salah lu sih,”

“Nyebelin.”

“Hahaha, ya udah makasih ya.”

Manda pun berjalan pergi tapi sebelum dia membuka pintu kamar, dia berbalik dan menghampiriku.

“HP lu siniin.”

“Buat apaan?”

“Udah cepet,”

Aku memberikan Handphoneku kepadanya meski aku tak tahu kenapa, tapi aku mengerti setelah Manda mengetikan sesuatu di handphoneku sebelum menyerahkannya kembali kepadaku. Sebuah contact kembali ditambahkan ke handphoneku, dan kali ini atas nama ‘kesayangan’.

Great.

Tak berhenti disitu, Manda tiba tiba mengecup pipi kiriku.

“Ntar kita lanjutin yang tadi ya,” ucap Manda sebelum benar benar pergi meninggalkanku sendirian.

What did i get myself into?

Mungkin aku sudah memperburuk situasiku yan sudah sangat kusut, mungkin harusnya aku tak merokok tadi. Oh...Benji, kau benar benar mengacaukan semuanya.
 
Terakhir diubah:
Lanjutannya...
Raillery

“Ah...ah...terus Ben...terus yang kencang...” desah Manda.

Aku percepat gerakan kontolku yang keluar masuk menusuk memek Manda, aku tak ingat sudah berapa lama kami melakukannya tapi aku masih belum puas mengenjot memek gadis cantik yang ada didepanku.

“Memek lu enak....enak banget...”

Aku remas payudara nya, mereka berdua terasa pas dan lembut ditanganku. Sambil mengenjot memeknya, aku remas payudara dan ku tarik tarik puting pinknya.

“AKHHHH.....”

Kucium bibirnya, sebelum Manda bisa berteriak lebih keras. Sekali lagi aku merasakan sensasi lembut dan manis bibirnya itu. Manda membalas ciumanku, membuat sekali lagi ciuman kami menjadi panas membara. Sejujurnya aku tak sepandai Manda dalam berciuman, dia lebih mendominasi, dan aku tak keberatan sedikit pun, aku menikmati ganasnya ciumannya pada bibirku. Itu menyenangkan.

Manda mengaitkan lidahnya pada lidahku, aku membiarkan dia mempermainkan lidahku, membuat liur kami bertukar, lidah kami saling terkait, dan bibir lembutnya pada bibirku membuat berciuman dengan Manda tak pernah membosankan. Aku menikmati, aku sangat sangat menikmatinya, kami hanya berhenti karena kami berdua kehabisan napas.

“Hah..kok berhenti...genjotlah...” ucap Manda yang mengoyang goyangkan pinggulnya.

“Lupa.” Jawabku polos.

Mungkin karena aku terlalu menikmati ciuman kami berdua, aku lupa bahwa batang kontolku masih menancap di dalam memek Manda. Aku pun kembali gerakan pinggulku, membuat batang kontolku kembali menusuk nusuk liang memek Manda.

“AHH...MANTAP....JING.” teriak Manda.

I didn’t expect that.

Kupercepat lagi gerakanku, aku menikmati sensasi pijatan dari memek Manda pada kontolku saat aku mengenjotnya dengan cepat. Aku rasa Manda juga menikmatinya, desahannya yang seksi itu sebagai buktinya.

“AH....YES....”

“AHHH..”

“AH..”

Desahannya itu tak pernah terdengar lebih seksi di telingaku, membuat aku semakin ingin terus menghujamkan batang kontolku kedalam memeknya, kuat kuat.

“Gue...mau...kel..uar..”

“Bareng....” ucapku yang juga merasa sudah hampir sampai.

Kupegang pinggang Manda dan kupercepat hujaman kontolku pada memeknya, seperti yang kukatakan aku ingin menyemburkan spermaku bersamaan saat dia orgasme.

“Gue nyampe...AKHHHHH...”

Manda menyemburkan cairan hangat orgasme darinya, memenuhi batang kontolku, membuat spermaku tak tertahankan lagi...

“AKHHH....AKH..AKH...”

Aku tembakan semua spermaku kedalam liang memek Manda, aku tak tahu berapa banyak yang aku tembakan. Aku menutup mataku, membiarkan kenikmatan menjalar keseluruh tubuhku, dan membuat pikiranku melayang. Setelah merasa cukup puas kucabut batang kontolku dari memeknya dan kulemparkan tubuhku berbaring disebelah Manda.

“Ben...” panggil Manda yang berbaring disebelahku.

“Huh...” jawabku seadanya, aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan yang tertinggal dibadanku.

“Sangean banget sih lu, kan gue tadi kesini mau minta bantuan lu buat ngerjain tugas gue. Eh...malah lu kentot gue.”

“Salah lu sendiri cakep,”

TOKKKK

“Sakit gila,” protesku saat tiba tiba sebuah jitakan mendarat dikepalaku. Pelakunya, Manda nampak puas dengan senyum diwajahnya.

“Dasar cowok sangean,”

“Namanya juga cowok...”

Manda hanya mengeleng gelengkan kepalanya, dan aku bisa melihat senyuman terkembang diwajahnya

“Nih jangan lupa minum, ntar lu hamil lagi.” ucapku sambil memberikan botol berisi Plan B pill, yang kuambil dari atas meja kepada Manda.

“Siapa juga mau hamil anak lu, ntar sangean kayak bapaknya. Bisa bahaya.” Balas Manda saat mengambil botol pil itu dari tanganku. Dia mengambil dua buah pil dari dalam botol dan menelan mereka, lalu aku menyerahkan segelas air putih kepadanya untuk membantunya menelan pil pil itu.

“Iya iya gue mesum terus sangean,” ucapku yang mengakui betapa bangsatnya diriku sebagai lelaki.

“Wah..wah cepat ya lu sadar.”

“Tapi sangean aja lu mau apa lagi......Eittss,” ucapku saat berhasil menghindar dari jitakan Manda.

Entah kenapa Viny dan Manda sama sama suka menjitak kepalaku saat mereka kesal, kalau terus terusan dijitak aku rasa aku akan jadi ******. Eh...bukannya aku sudah menjadi ******, karena berpikir mengunakan kontolku bukan otakku.

“Siniin rokok gue,” ucap Manda yang nampaknya sebal karena tak berhasil menjitak kepalaku.

“Rokok gue,” koreksiku.

“Bawel ah, siniian aja napa. Udah dikasih memek juga.”

“Iye bawel.”

Aku ambil sekotak rokok yang ada dimeja yang ada tepat disebelahku, lalu kuberikan kepada Manda, aku pun duduk dan membantu Manda untuk menyalakan sebatang rokok yang ada dibibirnya. Lalu aku menyalakan rokok untuk diriku sendiri dan ikut duduk bersandar.

Oh ya, kalian belum tahu kenapa sekarang aku dan Manda duduk berdua ditemani rokok yang menyala dibibir kami berdua, ya kan? Ya Manda sudah mengatakan bawa dia ingin meminta bantuanku untuk mengerjakan tugasnya, tapi apakah kalian tahu bagaimana tepatnya kami bisa berakhir seperti ini sekarang? Untuk tahu jawabannya kita harus mundur cukup jauh, tepatnya setelah Manda menuliskan contactnya atas nama ‘kesayangan’ di handphoneku. Mungkin memang seharusnya aku mulai cerita ini dari sana, tapi ya sudahlah, paling tidak kalian sudah tahu bahwa aku dan Manda akan kembali berhubungan badan.

Ini semua terjadi tepat sesudah Manda memberikan contactnya kepadaku.

Aku masih memandangi daftar contact di handphoneku, ada tiga contact member jeketi disana. Aku tak pernah berharap keberuntunganku akan sebagus ini, tak hanya punya contact mereka, aku sudah berhubungan badan dengan dua dari mereka. Kadang aku berpikir jika ini semua terlalu bagus untuk jadi kenyataan, mungkin aku akan bangun sebentar lagi, tapi sebelum itu aku akan menikmati tiap detiknya.

“WOIII,”

“Viny?”

“Iya siapa lagi? Dhike? Udah graduate.” Jawab gadis yang memulai ini semua, Viny, kepadaku.

“Santai aja kali, nggak usah bawa bawa oshi pertama gue.” balasku.

Viny pun melangkah masuk dan menutup pintu kamar, menguncinya lalu datang menghampiriku.

“Napa lu kunci sih?”

“Stt.....” Viny meletakan jari telunjuknya dibibir, menyuruhku untuk diam.

Viny dengan senyum tipis dibibirnya berjalan menghampiriku, aku hanya diam duduk diatas kasur tak tahu harus bagaimana.

“Masih tegang ya? Pasti sempit.” Ucap Viny

Viny pun berjongkok tepat didepanku, lalu menurunkan resleting celanaku.

“Vin kalau ketahuan bahaya.” Ucapku.

“Santai aja, kan lagi break. Paling dua jam lagi mereka balik.”

Break? Vin seriusan?”

“Iya, udah nikmatin aja.”

Yang Viny minta aku nikmati adalah sebuah blowjob darinya, sebuah blowjob yang sulit untuk kunikmati. Kenapa? well, kau tahu, aku baru saja ketahuan sedang berhubungan badan dengan Manda beberapa saat yang lalu, dan itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Dan meski Viny berusaha menyakinkanku dengan mengatakan bahwa semua sedang pergi karena break, jujur saja itu tak banyak membantu.

“Vin....Vin....stop dulu.”

Mendengar perkataanku Viny menghentikan blowjobnya, dan memandangku dengan wajah sebal.

“Napa sih, lu nggak cinta lagi sama gue.”

“Bukan, bukan gitu,” jawabku.

“Trus kenapa? bukannya lu bilanglu baru mulai ngentotin Manda pas gue ngeganggu? Jadi harusnya lu masih pengen dong? Lu kan sangean.”

“Iya gue sangean, tapi gue takut ketahuan member lain.” ucapku menjelaskan kenapa aku menolak blowjob darinya. Meski tak pernah terpikir olehku untuk menolak sebuah blowjob sebelumnya.

“Dibilangin mereka lagi break, nggak percaya?”

Viny pun bangkit berdiri dan mengeluarkan handphone dari kantong celananya, lalu menelpon seseorang.

“Halo..”

“Halo Vin, kenapa?” jawab seseorang suaranya terdengar, Viny meneruskan panggilannya dalam moda loudspeaker, mungkin agar aku bisa mendengar semuanya.

“Makan dimana?” tanya Viny.

“Ini di soto dekat halte, kenapa Vin?”

“Mau nitip teh.”

Teh? Teteh? Apa orang yang sedang menjawab panggilan Viny adalah Melody? Lalu jika yang dimaksud Melody adalah warung soto dekat halte yang terkenal itu, maka perkataan Viny itu benar karena warung soto itu sendiri terletak cukup jauh dari tempat ini.

“Viny bilangnya tadi nggak laper, sekarang minta titip.”

“Lapernya baru dateng teh, hehe.”

“Hmmm....Ya udah maunya apa?”

“Soto aja dua.”

“Minumnya?”

“Nggak usah teh, tadi bawa minum.”

“Iya..iya nanti pas pulang dibawain, sekarang jaga anak anak dulu pada riweh semua.”

“Makasih teh.”

“Iya, “

Viny pun menyelesaikan panggilan pada handphonenya lalu kembali menatapku.

“Udah percaya sekarang?”

Aku hanya mengangguk karena tak tahu harus bilang apa. Aku juga merasa sedikit malu kerena tak mempercayai perkataan Viny sebelumnya.

“Masih mau?”

“Iya.” jawabku. Mana mungkin aku menolak kesempatan untuk berhubungan seks dengan seorang gadis.

Viny dengan sebuah senyuman yang sudah kembali ke wajahnya mendorongku, membuatku jatuh berbaring diatas kasur. Lalu dia melompat dan mendarat tepat diatas perutku.

“Aduh....Vin lu mau ngapain sih?” protesku.

“Ngentot aja kuat, didudukin dikit aja protes. Percuma nih perut sixpack.” Ejek Viny sambil memukul mukul perutku yang sedang dia duduki. ”Udah nurut.”

Viny menciumku, dan aku membalas ciumannya itu. Sekali lagi aku merasakan manis dan lembutnya bibir seorang gadis, dan aku menikmatinya dengan tiap senti bibirku. Viny tak mendominasi seperti Manda, membuat aku lah yang mendominasi dalam pertarungan ini. Aku kaitkan lidahku, dan meski awalnya Viny terkejut pada akhirnya dia ikut memainkan lidahnya.

“Belajar dimana lu?” tanya Viny, saat akhirnya ciuman kami terlepas.

“Berisik.”

Aku kalungkan tanganku pada lehernya dan kutarik wajahnya mendekat, kali ini aku lah yang mengajak Viny untuk berciuaman. Ada kenikmatan yang berbeda yang kudapatkan dari berciuman, kenikmatan yang tak kudapatkan saat kuhujamkan batang kontolku kedalam sebuah memek.

Saat aku mencium bibir seorang gadis, aku merasa sangat dekat dengannya. Aku menyukai lembutnya bibir mereka dibibirku, aku menikmati rasa manis yang kurasakan saat bibir kami bertemu. Semua itu adalah sensasi yang memabukan, dan aku menikmati tiap detiknya.

“Udah...udah...lu mau nyiumin gue terus atau ngentot nih?” tanya Viny yang masih berusaha mengantur napasnya. Mungkin aku menciuminya terlalu lama.

Aku hanya tersenyum karena aku tak masalah dengan keduanya.

“Ngentot aja ya?”

“Yuklah...” jawabku.

“Tapi..inget jangan buang didalam,”

“Iya bawel.”

Viny pun mengangkat kaos yang dipakainya keatas, lalu membuka bra putih yang dipakainya. Saat Viny mulai melucuti pakaiannya, aku yang berada dibawahnya mendapatkan salah satu tontonan terbaik yang pernah kulihat.

Setelah Viny melepaskan bra putih miliknya, aku bisa melihat kedua payudara dengan puting berwarna merah muda yang mengemaskan. Aku yang tak tahan melihat kedua putingnya itu pun langsung menariknya.

“Akh.......” desah Viny panjang, aku mengira dia akan berteriak tapi ternyata dia mendesah menikmatinya.

“Oh.....ternyata tetek lu sensitif,” ucapku.

“Apaan...nggak..” ucap Viny, yang kurasa mencoba menutupi kenyataan bahwa aku berhasil menemukan titik lemahnya.

“Nggak usah bohong.” Aku yang tak percaya dengan ucapan Viny pun menarik putingnya lebih keras lagi.

“Akh....ah...iya.....tetek...gue sensitif....ahhh..duh...sakit...”

Viny mengeleng gelengkan kepalanya dengan cepat, mungkin dia sedang dilanda rasa nikmat dan sakit disaat yang bersamaan, sehingga otaknya bingung bagaimana harus memproses perasaannya. Aku yang berhasil menemukan titik sensitif Viny, menariknya dan mendekatkan wajahku ke payudaranya.

“AHH....Jangan....ahhhh..” desah Viny saat aku hisap putingnya yang sensitif, aku mainkan kedua putingnya bergantian, aku hisap tonjolan merah muda di payudaranya itu dengan lidahku. Aku ingin membuat Viny mabuk kenikmatan.

“Ah...udah...udah...udahhhh....AKHHHHHH.....”

Badan Viny tegang dan dia mendesah panjang, beberapa saat kemudian dia roboh dan jatuh ke dalam pelukanku.

“Ja..hat...gue...udah keluar....padahal belum...ngentot...” Ucap Viny sambil memukulku pelan.

“Enak kan?”

“Jahat...” jawabnya lagi.

Aku pun membalikan tubuhku dan membuat Viny berbaring diatas kasur, kubuka celana trainingnya yang sudah basah beserta celana dalamnya dan kubuang jauh.

“Jangan dibuang,” protes Viny.

“Udah....ngentot aja dulu.”

Aku sekali lagi mengocok batang kontolku untuk membuatnya tegang lalu mengarahkannya ke memek Viny yang sudah basah.

“Nikmatnya ngentotin oshi....” ucapku saat kepala kontolku berusaha memasuki memek Viny.

PUKK...

Viny melemparkan sebuah bantal dan tepat mengenai wajahku.

“Wota sangean lu.” Ucapnya sambil tertawa kecil.

“Iya...tau..”

Kudorong batang kontolku masuk lebih dalam, yang direspon oleh memek Viny dengan pijatan pijatan yang menyambut dan menelan kontolku untuk masuk lebih dalam.

“AKHHHHH...IYA...TERUS....”

Kuturuti perkataan Viny dan terus mendorong batang kontolku masuk kedalam memeknya, memek Viny masih sesempit sebelumnya, meski tak ada lagi yang menghalangi kontolku untuk masuk lebih dalam seperti sebelumnya.

“Ahhhh...Mantap.” desahku saat akhirnya berhasil mendorong seluruh kontolku masuk.

Sambil terus menarik narik kedua putingnya secara bergantian, aku hujamkan kontolku masuk ke memek Viny.

“Ah...ah...enak,” desah Viny yang nampaknya menikmati perlakuanku pada tubuhnya. Dia mengeleng gelengkan kepalanya sambil terus mendesah kuat. “Genjot, genjot...trus.” desah Viny yang sangat menikmati hujaman kontolku.

Tak hanya kutarik, aku pilin puting merah muda yang menjadi titik lemah Viny. Tak lupa terus ku gerakan pinggulku maju mundur, karena memek Viny terus menelan kontolku tiap kali aku mendorong kontolku masuk. Pijatan dari memeknya itu menelan kontolku dan memberikan rasa nikmat yang menjalar dari sana ke seluruh badanku.

“Ben...Ben...” panggil Viny ditengah desahannya.

“Apa..apaan sih,”

“Ganti gaya,”

“Apaan? Ganti gaya?” tanyaku yang ingin memastikan bahwa aku tak salah dengar.

“Iya,”

“O..K,”

Aku mencabut kontolku yang masih mengacung tegang dari memek Viny, lalu melangkah mundur dan membiarkan Viny untuk bangkit berdiri.

“Mau gimana?” tanyaku.

“Itu loh yang cowok baring terus ceweknya naik diatas perutnya.”

Wowan on top?”

“Nggak tau namanya, pokoknya gitulah.”

Berdiskusi tentang posisi seks yang akan kami lakukan dengan Viny bukanlah sesuatu yang kuharapkan terjadi, tapi sudahlah aku sudah memaklumi semua hal yang tak pernah kuharapkan sebelumnya untuk terjadi, bisa terjadi. Lagi pula ini bukan hal yang paling gila yang terjadi padaku hari ini, Viny baru saja memergokiku sedang berhubungan badan dengan Manda beberapa menit yang lalu. Dan itu cukup gila.

“Jadi gue baring nih?” tanyaku.

“Iya, cepet.”

“OK.”

Aku pun berbaring dan membiarkan Viny memanjat keatas badanku, dia pun mengunakan tangan kirinya untuk mengarahkan kontolku untuk masuk kedalam memeknya.

“AHHH....FUCK...”

“Enak....enak kan? Tanya Viny saat berhasil memasukan batang kontolku ke dalam memeknya.

“I...ya enak,”

“Gantian...sekarang gue...yang genjot.” Ucap Viny dengan senyuman lebar diwajahnya.

Dengan berpegangan pada kedua pahaku, Viny mulai menaik turunkan badannya. Aku mendapatkan sensasi yang lebih setiap Viny menurunkan badannya, saat memeknya turun dan membuat kontolku menusuknya dari bawah. Setiap tusukan dari batang kontolku disambut oleh pijatan yang kuat dari memek Viny, dan saat Viny menaikan tubuhnya, batang kontolku terhisap keatas seakan memek Viny tak mau melepasnya pergi.

“AH...VIN...ENAK....MANTAP....”

“Rasain....keenakan kan lu?”

Viny makin liar mengerakan tubuhnya, tak hanya naik turun, Viny juga mengerakan tubuhnya maju mundur yang memberikan perasaan nikmat yang baru, yang begitu kunikmati.

“AH...VIN...GILA...”

“Rasain...rasain....gue bakal buat lu keluar yang banyak...”

Aku diam saja membiarkan Viny menyiksaku dengan gerakan liar dan tekanan dan hisapan kuat dari memeknya. Mungkin dia masih dendam soal putingnya yang kutarik dan kuhisap, dan sekarang dia ingin membuatku enjekulasi hebat dengan memeknya. Jujur saja, aku bersyukur dia balas dendam seperti ini.

“Vin...vin...gue...mau nyampe.” Ucapku mencoba memperingatkan Viny, tapi nampaknya dia tak mendengarkanku dan terus saja naik turun diatas batang kontolku.

“VIN...GUE....AKHHH.........FUCK.....”

Aku yang tak sanggup lagi menahan gerakan liar Viny pada batang kontolku, menyemburkan semuanya, aku semburkan seluruh spermaku kedalam memeknya.

“KOK...KELUAR...AKHHHH.....”

Badan Viny sekali lagi menegang dan sekali lagi jatuh menimpaku. Sekali Viny orgasme.

“KOK..LU ****** SIH, KALO GUE HAMIL GIMANA”

“Tadi...gue suruh stop lu nggak denger,” jawabku menjelaskan.

“Terus...terus...sekarang gimana!!!”

“Kita..kita cari obat.”

PRAKKK

Viny menampar pipiku kuat kuat. Cepat cepat dia bangkit berdiri dan menghapus air matanya.

“Gue nggak mau ya jadi pembunuh,” ucap Viny.

“Nggak bukan ******, kita cari obat pencegah kehamilan, sebelum spermanya jadi janin.”

Aku tak tahu apa tepatnya obat yang kami cari, tapi aku sering melihatnya di TV atau film. Mungkin bukan hal yang bagus untuk percaya pada apa yang kau lihat di TV, tapi sekarang kami tak tahu harus bagaimana.

“OK...tapi kalo sampe gue hamil, lu harus tanggung jawab.”

“Iya...sekarang yang penting kita cari dulu obatnya.”

“******...BANGET JADI ORANG.”

Kami pun berpakaian dan merapikan hasil perbuatan kami pada kamar itu, Viny harus memakai celana ganti tanpa celana dalam karena dia tak membawa gantinya untuk yang sudah basah. Setelah itu kami berangkat menuju apotek untuk mencari obat yang mungkin menyelamatkan kami berdua.

“Plan B, nama nya plan B pil.” Ucap Viny yang masih memandangi layar handphonenya.

“OK...dimana nyarinya?”

“Apotek lah ******!!!”

“OK...OK, maaf.”

Aku tak menyalahkan Viny, karena sama seperti dia aku juga panik. Viny tak bisa hamil sekarang, tidak sewaktu dia masih menjadi seorang idola. Aku harus memastikan bahwa dia meminum pil plan B itu, entah bagaimana pun caranya.

“Itu apotek,” ucap Viny menunjuk apotek yang terletak dipinggir jalan.

“OK, lu tunggu di mobil.”

Cepat cepat kutepikan mobilku, turun dan berlari menuju apotek. Aku harus mendapatkan pil itu secepatnya karena aku tak tahu berapa lama waktu yang Viny punya sebelum spermaku berubah menjadi janin.

“Plan B pil,”

“Untuk pencegah kehamilan pak?” tanya sang apoteker.

“Iya...cepetan,”

“Iya pak iya.”

“Makanya pak kalo main pake kondom, nih kita juga jual.” Ucap apoteker itu sambil mengambil sekotak pil dari dalam laci. “ Semuanya 180,”

Tak mau berdebat dengan apoteker sialan itu, aku letakan dua lembar uang 100 ribu lalu segera kembali ke dalam mobil dimana Viny sudah menunggu.

“Lama amat sih,” ucap Viny yang cepat cepat merebut pil itu dari tanganku dan membukanya. “Berapa banyak minumnya?”

“Maaf, gue lupa nanya.”

“OH MY GOD....i could not believe i fucked an idiot like you.”

Tidak, aku tak merasa marah atau terhina dengan semua teriakan dan hinaan yang Viny lontarkan. Aku merasa dia hanya takut atas apa yang sudah terjadi dan apa yang mungkin terjadi. Aku merasa Viny hanya sedang ketakutan sekarang.

Setelah semua itu aku putuskan untuk mengantar Viny pulang, aku sudah mengirimkan pesan kepada Melody bahwa Viny mendadak sakit kepala dan tak bisa melanjutkan latihan. Viny sendiri tak bicara setelah meminum dua buah pil itu, dia hanya melamun dengan wajah yang murung.

“Vin sorry, gue udah salah.”

“Diem,”

“Maafin gue soal tadi.”

“Ben gue capek, gue pengen cepat cepat pulang.”

“Iya....kita pulang,”

“Bukan kita, gue.”

Setelah itu tak ada lagi kata yang terucap dari bibir Viny, hingga kami sampai ke rumahnya dia masih terus diam. Dia bahkan menolak untuk kuantar masuk, dia berkata aku juga harus pulang dan istirahat. Aku putuskan untuk menuruti kata katanya itu, karena tak ada lagi yang bisa kulakukan.

Entah ada apa dengan Viny dan semua perubahan sikapnya, entah apa dengan Viny dan semua yang dia lakukan, entah apa dengan Viny dan semua yang dia inginkan, dia anomali paling aneh yang terjadi dalam hidupku. Entahlah apakah aku harus bersyukur atau tidak dengan apa yang terjadi denganku dan dirinya.

Perubahan sikap Viny yang begitu mendadak kadang membuatku berpikir bahwa dia adalah orang lain. Jika kalian bingung kenapa Viny bisa bersikap seperti itu, kau tak sendirian, aku juga memikirkannya. Mungkin jika Viny begitu takut untuk hamil, harusnya dia tak mengodaku dan mengajakku untuk berhubungan seks dengannya. Kau tahu, jangan bermain apa jika kau tak siap untuk terbakar.

Aku pun pulang karena tak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku mencoba menghubungi Viny untuk menanyakan kabarnya, tapi tak ada jawaban yang kudapatkan. Disaat aku pikir hariku sudah telah berakhir, Ali berdiri didepan pintu apartemenku.

“Kemana aja lu? Seharian nggak datang ke kedai?”

“Gue...tadi ada kuliah tambahan.” Jawabku. Tentu saja aku tak bisa memberitahu Ali menghabiskan waktu seharian bersama kekasihnya.

“Benji, gue tahu lu. Lu nggak bakalan ngambil kuliah tambahan, kalo terpaksa lu bakalan nitip absen. Jadi jawab gue sekali lagi, lu kemana aja seharian?”

Ali memandangku dengan wajah penuh curiga, dia tahu bahwa tadi aku mengantarkan Viny berangkat latihan. Dia mungkin berpikir bahwa aku mencoba berbuat sesuatu kepada Viny, yang lebih buruk dia mungkin berpikir aku mencoba merebut Viny darinya. Aku memang berencana merebut Viny darinya, tapi Ali tak boleh tahu tentang itu.

“Gue...gue nonton perform jeketi,” jawabku. itu memang masih sebuah kebohongan tapi bisa menjadi alasan yang cukup bagus untuk diberikan kepada Ali.

“Lu seharian ngidol? Sampe lupa ama kerjaan?”

“Sorry...tadi ternyata performnya telat, terus gue diajakin nongkrong dulu sama fans lain.”

Ali mengeleng gelengkan kepalanya seperti aku baru saja mengakui aku melakukan sesuatu yang bodoh. Aku memang melakukan sesuatu yang bodoh, tapi bukan seperti yang Ali pikirkan sekarang.

“Benji, sampe berapa lama lagi sih lu ngelakuin hobi bodoh lu itu. Sampe kapan lu mau ngabisin duit buat cewek cewek yang bahkan nggak kenal lu? Nggak bisa lu nyari hobi lain yang lebih produktif dari itu, lu belajar jadi barista kek kayak gue atau apa kek? Damn dude, stop wasting your life.”

Ali memang tak pernah suka aku ngidol, sedari dulu dia mengatakan itu hal bodoh untuk dilakukan. Cukup ironis jika memikirkan kekasihnya sendiri adalah seorang member jkt48, statusnya sekarang itu adalah impian dari banyak orang yang kukenal di lantai 4 FX Sudirman.

“Ya udah lah, tapi besok lu yang jaga kedai seharian.”

“Kok seharian?” ucapku mencoba protes.

“Gantian tadi gue jaga seharian, lagian besok gue mau pacaran sama Viny.”

“Viny?”

“Iya Viny pacar gue, tadi dia bilang dia tiba tiba ngajak jalan.”

“Oh....OK.”

Mungkin Viny sedang dilanda rasa bersalah yang besar, karena itulah dia tiba tiba mengajak Ali untuk menghabiskan waktu bersama besok. Mungkin dia menganggap bahwa apa yang terjadi antara aku dan dia itu hanyalah sebuah kesalahan, dan sekarang adalah saatnya untuk menebus kesalahan tersebut.



“Ya udah besok gue jaga.”

“Ya udah gue balik, jangan lupa besok buka kedai.”

“Iya...iya.”

Jika benar Viny dilanda rasa bersalah yang besar dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Ali, itu akan mempersulitku untuk merusak hubungan mereka. Meski aku tak sepenuhnya mengerti Viny, perasaanku masih tetap tak berubah kepadanya. Aku masih tetap ingin memilikinya, aku masih tetap ingin menjadikannya milikku.

Keesokan harinya, hujan turun deras sehingga tak ada seorang pun yang datang ke kedai. Aku sempat berpikir tak ada gunanya membuka kedai hari itu, tapi aku sudah berjanji kepada Ali akan menjaga kedai seharian dan aku merasa bersalah jika aku juga mengikari janjiku kepadanya. Aku sudah memperkosa dan mungkin menghamili kekasihnya, jadi paling tidak aku ingin memegang janjiku kepadanya.

Lalu seperti sebuah bagian dari cerita, aku melihat seorang gadis yang familiar berteduh di depan kedaiku. Waktu itu hari sudah mulai gelap dan aku berencana untuk tutup sebentar lagi, aku pun pergi keluar untuk memeriksa siapakah gadis itu dan ternyata dia adalah Melody.

“Benji, kok disini?”

“Ini kedai gue,” jawabku.

“Waduh...asik dong.”

Sepertinya aku memberikan ide yang salah pada Melody, harusnya aku berkata bahwa ini adalah kedai yang kumiliki bersama dengan Ali. Itu lah yang seharusnya kukatakan.

“Mel ayo masuk aja, ujan.” Ajakku.

“Tapi lagi nungguin Frieska,”

“Di dalam aja nunggunya, ayo. Ntar sakit loh.”

Tanpa menunggu persetujuan dari Melody, aku menariknya masuk ke dalam kedai. waktu itu, aku hanya merasa khawatir kepada Melody dan tak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepadanya.

“Tunggu disini aja,”

“IH...mau kemana? Barusan ngajak masuk kok ditinggal.”

“Ngambil handuk sama baju ganti diatas,” jawabku.

“Tapi serem ih, nggak ada siapa siapa disini.”

Memang tak ada siapapun di kedai selain kami berdua, hari ini hujan turun seharian dan bisnis berjalan lambat.

“Mau ikut keatas?” tanyaku.

“Daripada sendirian.”

“Ya udah tunggu dulu,”

Aku pun pergi dan mengunci pintu kedai dan memasang tanda tutup disana. Aku tak mungkin meninggalkan kedai tanpa pengawasan, tadinya aku berharap Melody mau menunggu dan mengawasi kedai saat aku mengambil handuk dan baju ganti di lantai dua.

“Kok dikunci, mau macem macem ya?” Melody memandangku dengan pandangan itu lagi, pandangan yang dia berikan saat mengerjaiku kemarin, aku rasa Melody ingin melakukan hal yang sama seperti kemarin.

“Nggak, kalo lu ikut keatas nggak ada yang jagain, jadi tutup aja sekalian.”

“Terus nanti gue pulangnya gimana?”

“Pintu samping.”

“Bohong, ayo ngaku lo punya niat jahatkan?”

Sudah kuduga, Melody mencoba mempermainkanku lagi.

“Kalo lu takut, tunggu disini aja udah.”

Melody diam, aku rasa dia sedang bingung apakah masih ingin mengerjaiku. atau menunggu sendirian seperti yang awalnya aku harapkan.

“Ya udah, tapi awas macem macem.”

“Yang napsuan kan lu Mel, kemarin aja minta dipeluk.”

“IH...NGGAK, ENAK AJA.”

“Ya udah ayo, ntar keburu masuk angin lu.”

Masih dengan ekspresi wajah yang curiga, Melody mengikutiku naik ke lantai dua. lantai dua dari kedaiku tak hanya berfungsi sebagai ruang penyimpanan kopi, tapi juga ada sebuah kamar tidur yang kadang kugunakan saat aku malas pulang ke apartement.

Sesampainya di kamar, Melody hanya berdiri di depan pintu, masih dengan ekspresi curiga di wajahnya. Tak mau ambil pusing, aku lebih memilih memeriksa lemari pakaian untuk mencari apa yang mungkin dikenakan oleh Melody, karena ukuran baju kami yang jauh berbeda.

“Nggak ada kemeja yang ukurannya S jadi pake kaos aja mau?” tanyaku kepada Melody yang masih saja berpura pura curiga.

“Ukuran gue M kok,” balas Melody yang nampaknya merasa terhina saat aku mengira ukuran bajunya S.

“Iya tapi semua kemeja gue ukurannya L pasti nggak muat sama lu.”

“Ya udah siniin kaosnya.” Balas Melody dengan ketus.

Aku berikan kaos yang kupegang kepada Melody, dan dengan cepat disambarnya dari tanganku, nampaknya masih merasa kesal kepadaku.

“Handuknya? Basah kuyup nih,”

Saat Melody mengangkat kedua tangannya dan menunjukan dirinya yang sudah basah kuyup, aku baru menyadari bahwa kemeja putih yang dia kenakan sudah menjadi tembus pandang. Dari kemejanya itu tak hanya aku bisa melihat bra, tapi juga belahan dada Melody yang tak tertutupi oleh bra merah muda yang dipakainya. Melihat semua pemandangan itu, membuat batang kontolku naik.

“Ih...kok naik,” ucap Melody yang dengan ekspresi kaget atau mungkin takut menunjuk kearah batang kontolku.

“Nggak ini...maaf,”

Aku pun mencoba menutupi fakta bahwa aku tiba tiba sange, karena melihat keindahan tubuh Melody yang tampak dari balik kemejanya yang basah.

“Ih...dari tadi ya ngeliatin,” ucap Melody saat sadar bahwa kemejanya yang basah menjadi tempus pandang.

“Nggak...nggak.” ucapku mencoba mengelak. Aku bahkan mencoba tak menatap kemeja Melody yang basah dan apa yang ada dibaliknya. Aku tak ingin membuatnya marah.

“Bohong!!!” bentak Melody. “Itu buktinya naik,” ucap Melody yang sekali lagi menunjuk kearah kontolku.

“Maaf Mel, nggak sengaja liat.”

“Dasar, tadi aja ngatain gue napsuan, buktinya lo baru ngeliat dikit aja udah napsu sampe itunya naik.”

“Namanya juga cowok Mel, mana ada cowok yang nggak nganceng ngeliat lu sekarang.”

Aku tak tahu kenapa aku mencoba membela diriku, dengan mengatakan semua cowok itu mesum sekarang. Ya, mungkin kalian yang membaca cerita inilah yang mesum. Aku? Aku hanya lelaki bangsat.

“Maksudnya gue napsuin gitu? Jadi ini salah gue ya?”

Aku memandangi Melody yang sekarang sedang marah kepadaku, aku tak punya jawaban untuk pertanyaannya barusan. Apakah dia membuat orang bernapsu? Tentu saja, tapi apakah itu salahnya orang menjadi bernapsu kepadanya? Aku tak tahu.

TOOOKKKK

“ADOHHH....”

“Jangan diliatin terus,” ucap Melody setelah menjitak kepalaku, mungkin dia mengira aku memandanginya tadi.

“Tadi gue...” aku batalkan niatku untuk membela diriku, apa gunanya pikirku. “Ya udah maaf, mending gue keluar aja. lu ganti baju, terus kita tungguin Frieska dibawah.”

Aku tak mau berdebat lebih lama dengan Melody, selain kekalahanku sudah dipastikan, aku juga tak ingin merasakan sakit dikepalaku karena terus terusan dijitak.

“Ben..” panggil Melody.

Aku pun berbalik dan kali ini Melody memandangiku dengan tatapan mata yang berbeda, dia terlihat bingung, ragu atau bimbang.

“Apa lagi Mel.” Tanyaku.

Sekali lagi Melody diam, dari wajahnya aku bisa melihat ekspresinya bimbang. Jika dia masih berpura pura untuk mengerjaiku, dia melakukannya dengan sangat baik.

“Kemaren, waktu lo ngangkat tangan gue keatas kayak gini.” Ucap Melody yang kemudian mengangkat kedua tangannya keatas. Aku bisa melihat seluruh tubuhnya dari balik kemejanya yang basah itu dengan jelas, tanpa terhalang apapun. “Gue ngerasa deg degan gitu Ben, gue ngerasa ada perasaan aneh dalam hati gue. Apa lagi pas lu tampar gue, gue ngerasain perasaan itu makin kencang.”

“Lu senang gue tampar gitu?”

“I....ya...dikit,”

Aku bisa melihat dengan jelas kalau Melody malu mengakui dia merasa senang ditampar olehku, yang membuatku berpikir apakah Melody menyukai sesuatu lebih extrema seperti, kau tahu BDSM? Apa mungkin Melody seorang masokis?

“Terus...apa lu mau gue kasarin lagi? Gue kasarin kayak kemaren?”

“Nggak tahu...tapi, pengen....pengen nyoba.”

“Nyoba apaan?” tanyaku.

“Itu kemaren, pas gue nonton bokep...”

“Bokep!!!”

Ya, kau tahu mendengar salah satu idola seperti Melody mengakui dia menonton video porno, itu membuatku sedikit kaget. Karena itu lah aku berteriak.

“Stttt....jangan keras keras, ya namanya juga udah dewasa kan, jadi kadang kadang juga pengen tau apa sih....seks, jadi gue nonton....tapi dikit doang kok.”

“Ya terus? Kenapa lu kasih tau gue soal itu.”

“Duh...gimananya.”

Aku menyukai arah pembicaraan ini, Melody baru saja membwa topik seks kedalam pembicaraan kami berdua, dan nampak kami akan membahasnya lebih jauh.

“Mel, ngomong aja. Gue nggak bakalan ngasih tau orang lain kok, percaya sama gue.”

Melody masih terlihat ragu, dia pandangi aku cukup lama. Mungkin dia sedang bertanya kepada dirinya sendiri, apakah dia bisa mempercayaiku atau tidak.

“Ya udah kalo emang lu nggak mau ngomong juga nggak apa apa kok, gue paham ini kan bukan hal yang wajar lu omongin sama orang lain.”

“Ya...tapi gue malu Ben.”

“Malu?”

“Iya.”

“Oh...gue tahu, gue bakalan kasih tau lu satu rahasia malu maluin gue, biar nanti kita impas. Gimana?”

“O..OK, lo duluan.”

Tentu aku harus membuat Melody percaya dulu kepadaku, dan dari buku yang pernah ku baca. Cara tercepat membuat orang lain percaya adalah memberitahu mereka salah satu rahasia mu. Jadi ya, mengapa tidak.

“Jadi....dulu, dulu gue sering...gue sering coli pake photopack lu Mel,”

“IH....IH...IH...JOROK, MESUM IH...GELI...AH.”

Ya kalian bisa bayangkan sendiri reaksi member JKT48, saat kau beritahu mereka kau coli dengan photopack mereka. Melody? Dia terlihat jijik.

“Ya makanya itu rahasia malu maluin gue Mel, awas lu jangan kasih tau yang lain.” ucapku.

Melody yang tadinya mundur kembali maju mendekat, kali ini dia terus tertawa kecil dan tak tahan menatap wajahku lama lama.

“Emang gue secantik itu ya? Sampe lu ngayalin gue?” Melody bertanya tetap dengan tawa kecil diwajahnya.

“Iya...Mel, lu cantik banget. Dulu gue sampe kebawa mimpi bisa ngent.....”

“STOP...STOP. Ya gue paham, nggak usah dilanjutin.”

“Ya udah sekarang giliran lu,”

Apa aku berhasil membuat Melody percaya? Membuatnya cukup percaya untuk memberitahu rahasianya itu kepadaku?

“Jadi gue nonton kan kemaren, terus ada bagian yang....yang bikin gue deg degan, gue ngerasain hal yang sama pas lo nampar gue kemaren.”

“Bagian yang mana?”

“Jadi pas ada bagian ceweknya dikasarin, diiket iket gitu...gue...”

“Pengen nyoba,” ucapku, mencoba melengkapi perkataan Melody yang tak bisa dia ucapkan.

Sebuah anggukan Melody berikan sebagai jawaban.

Damn i hit a jackpot.

Jika aku bisa terus mengarahkan pembicaraan ini kearah yang kuinginkan, aku mungkin bisa berhubungan badan dengan Melody. Itu akan menambah daftar member yang berhasil kutiduri, oh...ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan, aku coba menampar diriku sendiri untuk memastikan ini adalah kenyataan.

Aku pun mendekatkan diriku, lebih dekat dengan Melody, dia nampak malu untuk menatapku setelah mengakui fetishnya itu.

“Cantik banget sih Mel...”

“Gombal ih,” ucapnya sambil memukulku pelan.

Aku sendiri tak pernah mencoba BDSM sebelumnya, bukan pengemar berat darinya tapi demi bisa tidur bareng Melody, aku lebih dari senang mempelajarinya.

“Udah punya first kiss?” tanyaku.

Kali ini Melody mengelengkan kepalanya. Itu sesuatu yang diluar dugaanku, tapi itu menambah perasaan senang dalam hatiku. Jika Melody bahkan belum pernah berciuman, bayangkan semua hal pertama yang akan dilakukannya bersamaku, oh aku menginginkan......ANAL.

“Boleh gue jadi yang pertama?”

Dia masih tak menjawab, sekali lagi dengan ekspresi yang malu malu dia mengangguk. Aku pun mengalungkan kedua tangan Melody dileherku, kupeluk dia sebagai balasan. Lalu dengan perlahan kuarahkan bibirku hingga aku mengecup bibirnya.

Bibir itu terasa basah, itu lembut dan rasa manis yang membuatnya terasa sempurna dibibirku. Aku cium bibir itu dengan perlahan, aku ingin memberikan ciuman pertama yang berkesan bagi Melody, ciuman pertama yang ingin terus dia ulang.

Setelah akhirnya bibir kami terlepas, Melody memegang bibirnya dan memandangku dengan malu malu.

“Beruntungnya gue dapat ciuman pertama lu Mel.”

“Gom...balin aja terus. Mau bikin gue jatuh cinta ya?”

Aku tak menjawab, aku hanya mengangkat kedua bahu sebagai jawaban. Sekarang Melody menatapku dengan tatapan yang lembut, lalu dia tersenyum yang membuat dia begitu cantik dimataku.

“Boleh nggak sekali lagi gue cium lu Mel.”

“Sekali lagi? emang yang tadi kurang?”

“Nggak tahu, gue cuma pengen ngerasain lembut dan manisnya bibir lu lagi.”

Senyuman Melody semakin lebar, lalu dia kalungkan lagi tangannya dileherku lalu dia cium bibirku. Kali ini, dia lah yang memulai dan aku hanya menikmati saja saat bibir tipis, lembut, dan manis itu mencium bibirku. Aku yang lebih menyukai ciuman lebih dari apapun, terus mencium bibirnya itu. Aku tak tahu berapa lama, tapi aku tak membiarkan Melody lepas dari pelukanku.

“Udah...capek,” ucap Melody.

“Salah sendiri, ciuman lu manis.”

“GOMBAL......” ucapnya sambil mencubit perutku.

“Duh...duh..” begitu lah reaksiku.

Aku membiarkan Melody mencubiti perutku untuk beberapa saat, aku ingin dia menikmati ini dan membuat dia dengan sukarela bercinta denganku.

”Boleh lanjut nggak?” tanyaku.

“Lanjut.....lo mau kita? Maksudnya lo sama gue gituan?”

“Takut ya? Ya udah nggak apa apa kok Mel, gue bisa nyium lu aja udah bersyukur banget. Cewek tercantik se-jeketi loh ini yang gue cium.”

“Apaan sih,”

Tentu aku menginginkan lebih sekarang, aku menginginkan batang kontolku menghujam memeknya, menusuk lubang pantatnya. Tapi, aku tak mungkin memperkosanya, seperti yang pernah kubilang. Aku tak tahu apakah Melody bisa semudah Viny memaafkanku jika aku memperkosanya, jadi aku berharap dengan sandiwaraku sebagai lelaki yang baik berhasil membuatnya mau berhubungan badan denganku.

“Tapi...”

“Tapi apa Mel?”

“Gue...pengen nyoba, tapi gue....”

“Ya udah nggak usah lu paksain, nanti pas lu udah kawin lu kan bisa nyoba sama suami lu.”

Aku pun mengambil handuk yang ada dilemari dan mengalungkannya dileher Melody, lalu aku berjalan dengan sangat lambat berharap Melody akan menghentikanku.

“Ben...”

YES...YES...YES.

“Iya?”

“Katanya sakit ya, awal awalnya. Terus nanti...nanti katanya enak,”

“Nggak tahu Mel, mungkin? Tapi lu nggak bakalan tau sesuatu sebelum nyobain sendiri.”

Sekarang Melody tersenyum dan membuang handuk yang aku kalungkan dilehernya.

“Ya udah sini bantuin gue nyoba,”

“Dengan senang hati.”

Aku pun kembali berjalan menghampiri Melody, lalu kupeluk dan kukecup lehernya.

“AH....”

Kuciumi terus leher putih Melody, sementara kedua tanganku meremas bongkahan pantat Melody. Puas dengan lehernya, bibirku kembali kuarahkan untuk mencium bibirnya, yang meski tipis menjadi candu yang kusukai. Tanganku juga sudah bergerak lebih jauh dengan berhasil menurunkan rok dan celana dalam Melody, sekarang kedua tanganku sedang meremas pantat Melody tanpa ada penghalang satu pun.

Ciuman kami hanya berlangsung sebentar, bibirku yang menganggur kuarahkan untuk menghisap buah dada dan mengigit kecil puting Melody yang sekarang juga tanpa penghalang. Aku berhasil menelanjangi Melody ditengah ciuman kami berdua, saat aku berhenti sebentar dan Melody sadar tak ada lagi benang yang menutupi tubuhnya dia sedikit terkejut.

“Malu.....”

“Lu itu cantik Mel, badan lu sempurna, lu nggak perlu malu tentang apapun.”

Mendengar ucapanku Melody menjadi tersenyum malu malu.

“Buka juga....biar impas,” pinta Melody sambil menunjukku yang masih memakai pakaianku.

“Bukain dong,”

“Ih manja,” balas Melody “Ya udah sini.”

Melody pun menarikku lebih dekat, lalu dia naikan kaos yang kupakai dan dia berhenti untuk mengelus dada dan perutku.

“Lucu...ih, geli juga.”

“Lu ngomong apa sih sayang.”

“Ih...sayang sayang, tapi nggak apa apa deh. Lucu juga dipanggil sayang.

Setelah puas dengan dada dan perutku, Melody pun melanjutkan usahanya untuk menelanjangiku. Saat telah berhasil membuka dan menurunan celana jeans biruku, Melody berhenti dan memandangi batang kontolku yang masih tertutup celana dalam.

“Kok berhenti?” tanyaku.

“Gede....jadi takut kalo dimasukin ke.....va..vagina gue sakitnya gimana.”

“Ayo dong lanjut, nanggung nih.”

“Iya...iya, bawel nih. Untung sayang.”

“Gombal.” Balasku.

Akhirnya Melody menurunkan celana dalamku, lalu batang kontolku yang sudah mengacung bebas tanpa penghalang.

“Kan gede,” ucap Melody saat melihat apa yang keluar dari celana dalam yang baru saja dia turunkan.

“Mel,”

“Ya?”

“Pas nonton kemaren, kamu liat adegan pas kontol cowoknya diisapkan?”

“Iya liat...dikit.”

“Pengen,”

“Pengen, aku ngelakuin kayak gitu juga?” tanya Melody. ”Punya kamu kegedean, nggak bakal muat dimulut aku.”

“Kan kalo nggak dicoba nggak akan tau.”

Tunggu dulu, sejak kapan aku dan Melody mulai saling memanggil dengan aku dan kamu? Biar lah, dengan begini aku merasa lebih mesra dengannya.

“Ya..udah,” balas Melody dengan sedikit cemberut.

“Tunggu...tunggu.”

“Apa lagi sih?”

“Tangan kamu diiket dulu dibelakang, kan kamu pengen nyoba diiket kayak bokep yang kamu tonton kemaren.”

“Ya udah boleh.”

Melody lalu duduk bersimpuh didepanku, dengan kedua tangannya ditaruh kebelakang. Aku pun mengambil bra merah muda yang tadi Melody pakai, dan mengunakannya untuk mengikat kedua tangan Melody.

“Kalo rusak ganti ya BH aku.”

“Iya sayang, nanti aja itu. sekarang buka mulut kamu lebar lebar.”

Melody menuruti perintahku dan membuka mulutnya selebar yang dia bisa, lalu aku arahkan batang kontolku masuk kesana. Aku mendorong kontolku berlahan lahan untuk masuk, aku tak ingin menyakiti Melody jadi aku hanya akan memasukkannya sejauh yang bisa dia tahan.

“AHHH.....” desahku saat berhasil memasukan kira kira setengah batang kontolku.

Lalu dengan sedikit menjambak rambut Melody, aku maju mundurkan batang kontolku didalam mulutnya. hangat dan basahnya mulut Melody, membuatku menikmati apa yang aku lalukan pada mulutnya dengan kontolku. aku maju mundurkan terus kontolku pada mulutnya seperti aku mengenjot sebuah memek, yang awalnya perlahan berubah menjadi cepat. Hingga saat aku merasa ingin menyemburkan spermaku, aku dorong seluruh kontolku masuk kedalam hingga aku merasa menyentuh bagian terdalam dari mulut Melody. Aku bisa mendengar Melody berteriak, tapi teriakannya tertahan oleh batang kontolku yang menyumpal mulutnya. Setelah seluruh spermaku kusemburkan kedalam mulut Melody, batang kontolku kucabut dari mulutnya.

Melody pun batuk sesaat setelah kucabut kontolku dari mulutnya, dia juga berusaha memuntahkan sperma yang kusemburkan kedalam mulutnya.

“Asin....pait.” ucap Melody.

“Kamu nggak apa apa sayang?”

“Nggak apa apa....tapi...tapi yang terakhir kena tengorokan aku.”

“Maaf ya, keenakan soalnya.”

Melody hanya mengangguk sambil berusaha memuntahkan sisa sisa sperma yang ada dimulutnya. Mungkin tadi dia berteriak karena kaget, saat batang kontolku mengenai tengorokannya.

“Anal ya, mau?”

“Anal? Eh...yang dari pantat?” tanya Melody mencoba memastikan.”Katanya sakit.”

Aku, masih dengan senyuman diwajahku mengelus pipi Melody. Lalu membersihkan sedikit sisa sperma diwajahnya, aku ingin merayunya untuk mau melakukannya denganku.

“Sayang, kalo sakit kamu teriak aja, aku bakalan berhenti.”

“Janji ya?”

“Iya, aku janji. Sekarang nungging dong,”

Melody hanya mengangguk lalu menunggingkan badannya, dia juga berpegangan pada kasur untuk bersandar. Lalu kuarahkan batang kontolku untuk masuk ke lubang pantat Melody, terasa sempit, hingga aku hanya bisa mendorong kontolku masuk perlahan lahan.

“Be...Ben....pelan...pelan.”

“Tahan ya sayang, dikit lagi kok.”

Kau tahu, aku pernah baca, jika kau ingin melakukan anal, kau harus menstimulasi atau mempersiapkan sang wanita terlebih dahulu, sebelum kau menusukan kontolmu masuk. Tapi, aku yang sudah terlanjur ingin melupakan hal itu. well, ya sudah lah.

“Ben...ben....udah...udah...SAKIT.....”

“Dikit lagi sayang, dikit lagi.”

“SAKIT....UDAH....SAKIT.....”

Tak mau menyakitinya lebih lama, aku dorong batang kontolku sekuat tenaga.

“AKHHHHH......SAKIT...SAKIT...UDAH..”

“Mel...sayang....udah...udah, udah tahan dikit lagi ya,”

Melody terus mengelengkan kepalanya, dia terus bergerak, mungkin mencoba melepaskan dirinya dariku. Tapi dengan tangan yang diikat kebelakang, Melody tak bisa berbuat apapun. Ya memang aku sudah berjanji akan melepaskannya jika Melody berteriak, tapi jujur saja, kapan lagi aku bisa melakukan anal dengan Melody.

Setelah berapa lama, akhirnya Melody diam. Mungkin dia lemas karena rasa sakit dan lelah.

“Mel...sayang,”

“Nggak usah sayang sayang!!!” Bentak Melody. Jelas dia marah kepadaku.

“Jangan..jangan marah dong, maaf aku bohong, tapi kapan lagi gue punya kesempatan kayak gini Mel.”

Aku menjawab dengan jujur, apa alasan aku tak menepati janjiku kepadanya beberapa detik yang lalu. Aku pikir tak ada gunanya berbohong kepada Melody sekarang.

“Makanya jangan napsuan.”

“Lanjut ya?”

“Ya udah...terlanjur juga.”

“Makasih ya Mel, hehehe.”

WAIT A MINUTE.

Setelah mendapat persetujuan Melody, aku mulai mendorong kontolku maju mundur. Saat aku melakukannya, aku merasakan bagaimana batang kontolku dipijat dengan kuat oleh lobang pantat Melody. Itu sensasi yang berbeda saat aku menusukan kontolku ke memek Manda dan juga Viny, lobang pantat Melody terasa jauh lebih sempit, jauh lebih nikmat.

“AHH.....” desah Melody panjang saat aku menusuk lobang pantatnya dalam dalam.

Mengetahui Melody mulai menikmati ini semua, aku pun semakin bersemangat mengenjot lobang pantatnya itu. Itu sempit dan ingin terus menghisap batang kontolku, tiap kali aku tusukan masuk.

PRAKKK

PRAKKK

PRAKKK

Kutampar beberapa kali pantat mulus Melody, pantat mulus yang seakan menantangku untuk terus mengenjotnya.

“Lu nakal Mel....lu idol nakal yang harus gue hukum.”

Ku percepat genjotanku, aku ingin merasakan perasaan nikmat saat lobang pantat Melody menghisap batang kontolku, aku yang ingin merasakan itu terus mengenjot lobang pantat yang terus saja menghisap batang kontolku.

PRAKKK

“Ayo ngaku, lu nakal kan,” perintahku.

“IYA...iya....ah...ah...iya gue nakal,” jawab Melody ditengah desahannya.

PRAAKKK

“Ayo ngaku lu senengkan lobang pantat lu....lobang pantat lu gue kentot.”

“Iya...iya....lobang pantat gue...AHHH..enak...terus...kentot lobang pantat gue terus.”

Aku terus bergantian, mengenjot dan menampar pantat Melody. Hingga akhirnya pantat putihnya berubah menjadi merah. Dan setelah sekian lama mengenjot lobang pantat Melody, kontolku menyerah.

“Mel....gue keluar, AKHHHHH....”

Kusemprotkan semua isi kontolku kedalam lobang pantat Melody, hingga akhirnya aku berbaring lemas, bersandar disebelahnya.

“Itu...itu tadi hangat,” ucap Melody. “Di pantat nggak bakalan...hamil kan?”

“Nggak...kok, Mel.”

“Bagus deh, eh tapi ini lepas dong,” pinta Melody.

“Tunggu, gue masih pengen.”

“IH...naspuan banget jadi orang,”

“Tapi Mel, lu kan belum keluar?”

“Keluar?”

“Iya, lu belum ngerasain nikmatnya ini semua.”

Setelah akhirnya aku mendapatkan tenagaku kembali, aku berdiri dan mengambil sesuatu dari dalam laci. Dua buah penjepit kertas dan lilin yang sudah kuhidupkan.

“Buat apa?”

“Bikin kamu enak.”

Aku pun membuka ikatan tangan Melody yang ada dibelakang badannya, lalu mengantinya menjadi ikatan yang ada didepan.

“Harus ya diiket? Aku nggak bakalan kabur kok,”

“Sayang, kan kamu sendiri yang pengen nyoba diiket iket.”

“Iya sih, ya udah aku nurut.”

Setelah aku selesai mengikat kedua tangan Melody, aku angkat tangan itu keatas kepalanya membuat Melody nampak tak berdaya.

“Aw.....panas.” protes Melody saat kutetesi putingnya dengan lelehan lilin, aku ingin merangsang Melody dan aku berpiikir mungkin saja putingnya juga sensitif seperti Viny. ”Aw..duduh...duh...” Kuteteskan beberapa kali lagi di kedua puting Melody, tapi nampaknya itu tak berhasil membuatnya terangsang. Lalu aku turunkan target lelehan lilinku ke pusar Melody.

“AHHH....jangan disitu.” Meski hanya sebentar, aku yakin aku mendengar Melody mendesah saat aku teteskan lilin panas ke lobang pusarnya.

“AH.....panas...AH...Ben...udah..”

Melody terus mendesah tiap kali lelehan lilin panas jatuh ke pusarnya, itu memberitahuku bahwa titik lemahnya adalah pusar.

“Nikmatin aja sayang.”

“Panas....tapi enak.”

BINGO

Aku teruskan rangsanganku pada Melody, aku teteskan lilin panasku ke pusarnya, aku juga menjepit kedua putingnya dengan penjepit kertas. Aku tahu itu bukan titik lemahnya, tapi aku tiba tiba ingin melakukannya saat menyadari ditangan kiriku ada dua buah penjepit kertas. Melody tak bisa berbuat apa apa, dia mencoba menghindar saat aku ingin memasangkan penjepit kertas pada puting merah mudanya, tapi gagal karena kedua tangannya masih terikat.

Mendengar semua desahan nikmat dan teriakan rasa sakit Melody, membuat batang kontolku kembali tegang. Dan kali ini aku menginginkan hadiah utama dari ini semua, memeknya. Aku pun membuka kedua kaki Melody lebar lebar, dan mulai mengarahkan kontolku ke memeknya.

“AH....Iya sayang, kentot gue.” Desah Melody saat kontolku mulai masuk. Itu tak sesempit lobang pantatnya, tapi itu tetap saja sempit dan kontolku menyukainya. Lalu dengan satu dorongan keras.

“AKH....MANTAP....NJING.” teriak Melody panjang. Mungkin karena memeknya yang sudah basah, batang kontolku tak sulit untuk menerobos masuk.

Setelah berhasil masuk, aku diamkan batang kontolku untuk sesaat. Aku ingin merasakan pijatan lembut memek Melody pada kontolku, sebelum aku mulai mengenjotnya.

“Kok diem? Katanya ngentot.”

“Sabar sayang, memek kamu terlalu enak untuk langsung digenjot.” Balasku.

“Lama ih, ayo kentot.”

Melody nampak mulai gusar, aku tak menyalahkannya, aku begitu menikmati pijatan lembut dari memeknya sampai aku lupa, aku sedang ingin memuaskannya.

“AH..AH...AH...iya...gitu terus.” Desah Melody saat aku mulai mengenjot memeknya, dengan cepat karena memeknya sudah cukup basah.

Melody memang tak mendominasi saat kami berciuman, dia membiakanku mengambil alih dan mengarahkan ciuman yang kami lakukan. Tapi saat kami bercinta, Melody memutuskan untuk mengambil alih.

Jadi saat aku mulai mengenjot memeknya, mungkin Melody merasa belum cukup puas dengan bagaimana aku melakukannya. Jadi dia, masih dengan tangan terikat, membalik posisi kami berdua dan merubah gaya permainan kami dari misionaris menjadi wowan on top.

Melody terus mengerakan badannya naik turun dengan liar, dan aku hanya diam menikmati ini semua. Aku menikmati sensasi sempitnya memek Melody dan bagaimana itu terus memijat batang kontolku, aku juga menikmati gerakan liar Melody yang membuat perasaan nikmat yang amat sangat.

“AH.....enak....ah...ah....kontol lu enak.” Desah Melody. “Ben tarik tetek gue Ben, tarik yang kenceng.” Melody bahkan tak menunggu jawabanku, dengan tangan yang masih terikat dia arahkan satu persatu tanganku untuk menarik penjepit kertas yang ada di putingnya.

AH.......

AH.......

AH.......

AKH............

Aku tak sempat memperingatkan Melody bahwa aku akan enjekulasi, aku kalah oleh gerakan liar Melody pada kontolku dan itu membuatku menyemburkan spermaku kedalam memeknya. Setelah itu aku pingsan, tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Aku bangun dengan sebuah kecupan di pipiku, itu adalah Melody. Dia tampak lucu dengan kaos putihku yang nampak kebesaran dibadannya.

“Bangun juga, kirain mati.”

“Apaan lu gila, masih hidup nih gue.” Balasku. “Eh...maaf soal semalam.”

“Kok minta maaf?” tanya Melody dengan wajah yang nampak bingung ”Kan kamu semalam udah buat aku enak.”

“Ya, tapi kan gue..”

“Oh...yang nembak didalam itu?”

“I....ya Mel, gue minta maaf. Gue beneran nggak ada niat buat...”

“Santai aja,”

“Kok gitu,”

Melody dengan senyum lebar datang menghampiriku, lalu membisikan jawabannya di telingaku.

“Aku lagi masa nggak subur, jadi nggak bakalan hamil.”

“Oh....”

“Kok oh sih?”

“Pantas kamu gila banget semalam.”

“Ih...kamu tuh yang gila, tetek aku pake dijepit, pantat aku juga masih sakit.” Melody memayunkan bibirnya, tapi itu segera berganti dengan sebuah senyuman yang hangat. “Untung sayang.”

“Gombal.”

Tak banyak yang terjadi setelahnya, aku dan Melody sarapan bersama dengan pancakes yang dibuat oleh Melody. Lalu aku mengantarkannya pulang ke Bandung, seperti niat awalnya semalam. Perjalanan yang cukup panjang itu, kami isi dengan obrolan santai dan sesekali bernyanyi bersama jika lagu yang muncul di playlist ku juga disukai oleh Melody.

“Mau langsung pulang? Nggak mau mampir dulu?”

“Kapan kapan aja ya, masih ada kerjaan di kedai.” jawabku.

“Ya udah.....hati hati ya dijalan.”

“Makasih ya.”

“Buat?”

“Semalam, itu hal terbaik yang terjadi dalam hidup aku.”

“Gombal,” balas Melody sebelum akhirnya turun.

Aku pun kembali melakukan perjalanan panjang pulang ke Jakarta, dan kali ini aku hanya sendirian tanpa Melody. Jujur saja aku lebih menyukai perjalanan panjang itu berdua dengan Melody, kali ini perjalanannya terasa cukup sepi.

Setelah semua itu, marilah kita kembali ke saat aku dan Manda duduk bersandar ditempat tidurku dengan rokok dibibir kami berdua. karena aku ingin menceritakan sedikit hal menarik yang terjadi setelahnya.

“Man...” gantian aku yang memanggilnya.

“Apaan sih, mau lagi? ntar gue masih capek.”

“Ye...lu kira otak gue cuma memek doang.”

“Bukannya iya.”

Fuck....

aku kesal karena itu ada benarnya.

“Seriusan ini,”

“Ya ngomong aja napa.”

Mungkin seharusnya aku tak terlalu memikirkan ini semua, mungkin aku seharusnya menikmatinya saja. Tapi, rasa penasaran yang ku punya, membuatku merasa harus tahu kenapa Manda mau melakukan ini semua? Apa yang Manda lihat dariku?

“Lu kenapa mau kayak gini sama gue?”

“Maksudnya?”

Manda melihatku dengan wajah yang penasaran, dia letakan rokok yang ada dibibirnya dan memfokuskan seluruh perhatiannya kepadaku.

“Ya.... kenapa mau mau aja jadi friend with benefit sama gue? Padahal lu baru kenal sama gue, lu nggak tahu gue orangnya gimana? bahkan nggak tahu tanggal ulang tahun gue.”

“OH....kirain apaan.”

“Kok apaan, Man...gue ngerasa nggak seharusnya...”

“Sttttt..”

Manda meletakan jari telunjuknya dibibirku, menghentikanku untuk berkata lebih jauh. Dia pun mengeleng gelengkan kepalanya, seperti aku baru saja mengatakan hal yang bodoh.

“Nama lu Ben Setiaji Williams, lahir 24 maret 93, apa lagi ya? Oh ya lahir di Newark, New Jersey, Amerika serikat. Lu tinggal di Indonesia sendirian semenjak Ibu lu meninggal.....”

Kau tahu apa yang kupikirkan saat itu? saat Manda mengucapkan semua itu dengan polosnya, seperti hal yang wajar baginya untuk tahu semua itu? aku memang merasa cukup aneh saat Viny dan Melody tahu namaku bahkan sebelum aku memperkenalkan diri, tapi aku menanggap itu hanya sebuah waro karena aku rajin ke theater. Tapi aku tak pernah memberi tahu siapa pun dimana aku lahir, terlebih soal kepergian Ibuku.

Hell, aku bahkan tak pernah memberitahu siapapun tentang nama keluargaku, selama ini aku selalu memperkenalkan diri sebagai Ben Setiaji, seperti nama kakekku. Dan jika ada yang bertanya soal rambut pirangku, aku selalu mengatakan aku mewarnainya. Ali sempat curiga tentang hal itu, tapi aku punya cara untuk menyakinkannya.

Tapi itu tak penting sekarang, yang penting adalah kenapa Manda bisa tahu semua itu, sesuatu yang bahkan Ali pun tidak tahu.

“Stop stop stop....darimana lu tahu semua itu? apa lu.....apa lu nyari tahu tentang gue atau?” tanyaku mengkonfrontasi Manda.

“Nggak sih.” Jawabnya polos.

“Terus?”

“Ada deh...”

Sebelum aku bisa mengintrogasinya lebih jauh, Manda mencium bibirku, aku mencoba mendorongnya karena saat itu berciuman dengannya adalah hal terakhir yang ada dipikiranku. Tapi Manda bersikeras dan terus mencium bibirku, memainkan lidahnya didalam mulutku, hingga akhirnya aku kalah, kalah oleh lembut dan manisnya bibirnya itu dan aku membalas ciumannya itu.....

Anguish

Aku bangun di apartementku sendirian, yang pertama kali aku lakukan adalah coba mencari keberadaan Manda. Aku coba mencari keseluruh kamar, tapi tak kutemukan. Aku coba cari keluar kamar, tapi hasilnya tetap sama, tak ada seorang pun disini. Aku masih memikirkan apa yang terjadi semalam, dan aku menginginkan jawaban untuk itu semua. Aku masih tak tahu bagaimana dia bisa tahu nama lengkapku, bagaimana dia bisa tahu dimana aku lahir, dia bahkan tahu soal Ibuku.

Aku mencoba memikirkan alasan bagaimana Manda bisa tahu itu semua, mungkin dia tahu soal page linkedlnku karena disana aku menulis biodata lengkapku. Tapi, bagaimana mungkin dia tahu soal Ibuku, tidak ada yang tahu soal itu. Aku tak mencoba melupakan tentang Ibuku atau mencoba menutupi semua hal tentangnya, hanya saja tak ada yang pernah tahu bahwa aku pindah ke negara ini semenjak Ibu pergi. Hal seperti itu tak akan bisa Manda ketahui, bahkan jika dia tahu page linkedlnku.

Aku juga merasa bodoh bisa begitu cepat kalah oleh ciuman Manda, aku tahu aku sangat menyukai rasa manis dan lembut yang diberikan oleh bibirnya. Tapi, bisa kehilangan akal sehatku dan melupakan semuanya itu bodoh, setelah aku membalas ciuman Manda, semua terjadi begitu saja. Aku ciumi seluruh tubuhnya, dari dari atas hingga ke ujung kakinya lalu aku tusukan batang kontolku ke memeknya, mengenjotnya entah berapa lama, hingga akhirnya aku pingsan. Aku bahkan tak ingat apakah aku sempat mencabut batang kontolku sebelum aku keluar, bisa saja aku menghamili Manda dan merusak hidupnya.

Fuck, kenapa aku terus berpikir dengan batang kontolku bukan dengan batang otakku.

Ini adalah cara yang buruk untuk memulai pagiku, aku harusnya memulai pagi dengan sesuatu yang membuatku senang, seperti yang diajarkan Ibu kepadaku. Karena itu aku mencoba memperbaiki pagiku dengan membuat sesuatu untuk dimakan. Tak banyak, hanya sebuah sunnyside egg, yang ditambah dengan beberapa potong bacon. Meski sebenarnya aku tahu itu buruk, tapi aku memutuskan untuk menambahkan bourbon kedalam menu sarapanku. Well, sedikit demi sedikit aku mulai mirip seperti Ayahku.

Sambil sarapan aku pun mengecheck handphoneku, dan aku menemukan ada banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Melody. Kutelpon dia karena mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakannya.

“Kemana aja!!!” teriak Melody dari ujung telpon. “Aku telponin nggak diangkat, aku kirim sms sama chat nggak dibalas.”

“Maaf,” ucapku, aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku mungkin sudah membuat Melody khawatir, meski sebenarnya kami baru bertemu dua hari yang lalu.

Sebelum kau berpikir bahwa ada sesuatu yang tak kuceritakan kepadamu, dan bagaimana sebenarnya aku sudah menjalani hubungan serius dengan Melody. Tidak, aku tidak melakukannya. Aku menceritakan semua apa yang kujalani semenjak aku bertemu dengan Viny beberapa hari yang lalu. Aku juga tak tahu kenapa Melody begitu mengkhawatirkanku, aku tokoh utama cerita ini dan begitu sedikit yang kutahu; aku tokoh utama yang buruk.

“Sama cewek lain ya?” tanya Melody. Kenapa dia terdengar begitu cemburu? Seolah kami berdua adalah pasangan kekasih, dan itu memberikan hak kepada Melody untuk cemburu kepadaku.

Tentu aku tak akan jujur dan berkata aku bersama Manda semalam, apa yang mungkin dipikirkan Melody saat mendengar Manda semalam disini bersamaku? tentu dia akan berpikir Manda adalah seorang gadis bermoral rendah dan aku tak ingin Melody berpikir seperti itu tentang Manda. Aku tak ingin Melody berpikir buruk tentang Manda, meski masih ada hal yang tak kutahu tentang Manda. Ditambah Melody sedang marah sekarang, aku tak yakin Melody akan diam saja jika mendengar Manda bersamaku semalaman. Aku tak ingin merusak Manda lebih jauh, aku tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.

“Nggak Mel, aku sendirian.”

“Bohong, face time sekarang.”

“Iya...iya,” jawabku yang sebenarnya tak ingin melakukannya.

Aku menuruti permintaan Melody dan beralih ke facetime, sekarang aku bisa melihat jelas dia sedang marah. Raut wajahnya jelas mengambarkan emosi yang ada dalam hatinya, meski begitu dia terlihat lucu saat memayunkan bibirnya.

“Tunjukin seluruh ruangannya, siapa tahu dia kamu suruh ngumpet,”

“Nggak ada siapa siapa Mel,”

“Udah lakuin aja!!!” Melody sedikit meninggikan suaranya, pertanda dia sedang tak ingin dibantah.

Aku tak mengerti kenapa aku melakukan ini sekarang, aku berkeliling ke setiap sudut apartemenku dan menujukannya kepada Melody. Dia juga memintaku untuk menunjukan lemari dan bagian bawah tempat tidurku, seperti kata kataku tak cukup untuk meyakinkannya.

“Udah puas?” tanyaku yang sedikit kesal karena Melody tak mempercayai ucapanku. Kau tahu, ada perasaan kesal dalam hatiku saat Melody bahkan tak sanggup percaya pada ucapanku.

Aku bisa melihat raut emosi telah hilang dari wajahnya, manyun bibirnya yang lucu itu juga telah hilang. Air mukanya telihat lebih lembut sekarang. meski aku kehilangan manyun bibirnya, tapi tatapan dari matanya indahnya itu merupakan pengganti yang cukup bagus.

“Maaf...ya, habis kamu aku telponin nggak diangkat...”

“Mel.” Ucapku menghentikan ucapannya. “Lain kali, tolong percaya ya sama aku. Aku nggak minta banyak kok.”

“Maaf ya udah nggak percaya tadi, tapi lain kali jangan buat khawatir aku lagi ya.”

Mungkin kami berdua memang salah, aku telah bersalah karena sudah membuatnya khawatir, dan Melody atas ketidakpercayaannya kepadaku. Kenapa kami seperti sepasang kekasih sekarang?

“Nanti siang bisa jemput nggak?” pinta Melody.

“Jemput? Ke Bandung?” tanyaku ingin memastikan.

“Iya, besok udah kerja lagi soalnya. Tapi kalo kamu sibuk aku nggak maksa kok, aku paham kamu juga punya kesibukan. Nanti aku naik travel aja, kalo nggak minta diantar Ayah.”

Aku cukup merasa senang mendengar Melody memikirkan bagaimana mungkin aku punya kesibukan saat dia memintaku untuk menjemputnya. Jika Viny yang memintaku untuk melakukan sesuatu, dia akan mengancamku untuk memastikan aku melakukannya. Meski sebenarnya aku ingin mendapatkan jawabanku dari Manda, tapi aku lebih ingin menjemput Melody sekarang.

“Nggak apa apa kok Mel, aku jemput aja. Bentar lagi aku berangkat jadi nanti siang aku udah nyampe.”

“Maaf ya jadi ngerepotin.”

“Nggak apa apa kok Mel, aku nggak repot kok.”

“Makasih ya,........sayang.” Melody terlihat malu malu saat akhirnya memanggilku dengan kata itu, kelembutan suara dan ekspresi malu malunya itu cukup untuk membuatku meleleh.

“Ya udah, aku siap siap dulu ya Mel.”

“TUNGGU...” panggil Melody tepat sebelum aku mengakhiri facetime yang kami lakukan.

“Ada apa lagi Mel?”

“Itu....”

“Itu apa?”

“Dari tadi kamu panggilnya Mel terus...sayang kek sekali,” Melody menutup wajahnya karena malu, dan itu hal terindah yang kulihat pagi ini. Ini terlalu sulit bagiku, dia benar benar ingin membuatku jatuh cinta kepadanya. Aku belum bisa melakukan itu sekarang, perasaanku masih terikat pada gadis lain.

“Ya udah, aku siap siap dulu ya....sayang.”

Melody tersenyum lebar untuk beberapa saat sebelum mengakhiri facetime yang kami lakukan. Aku sepertinya memperburuk ini semua, dengan jatuh cinta kepada Viny, lalu terlibat dengan Manda dan semuanya, lalu sekarang Melody. Mungkin, harusnya semua ini tak terjadi, bagaimana caraku keluar dari ini semua tanpa menyakiti salah satu dari mereka.

Dan inilah Ben, inilah kenapa kau seharusnya berpikir mengunakan kepalamu bukan dengan batang kontolmu.

Aku pun bersiap, lalu berangkat ke Bandung untuk menepati janjiku. Sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang terjadi kepada Melody, apa mungkin dia bisa semudah itu jatuh cinta kepadaku? Ini terlalu bagus untuk bisa terjadi, seperti khayalanku yang berubah menjadi nyata. Dan empat jam perjalanan bukanlah waktu yang cukup bagiku untuk menemukan jawaban.

“Udah didepan.” Begitulah pesan yang kukirimkan pada Melody.

“Tunggu,” balasnya.

Beberapa menit kemudian Melody keluar, dia nampak cantik meski hanya dengan celana jeans dan kaos hitam lengan pendek miliknya.

“Masuk dulu,”

“Nggak ah males,” tolakku.

“Nggak boleh gitu, Ayah bilang mau kenalan.”

“Tapi kan...”

“Udah ayo, nanti Ayah mikirnya jelek loh kalau kamu nggak mau kenalan.”

Melody nampak serius dengan ucapannya, dan aku tak punya alasan bagus untuk menolak ajakannya. Aku pun menganggukan kepalaku sebagai jawaban, setelah aku memarkirkan mobilku, kami berdua berjalan masuk ke dalam.

“Eh bang Benji toh, kirain siapa.” Ucap Frieska yang pertama menyambut kami masuk, aku tak tahu jika dia juga ada di Bandung, dan aku pada titik ini sudah tak terlalu peduli jika seluruh member Jeketi mengenalku. Itu salah satu hal yang sudah kuputuskan untuk kuterima saja.

“Hai Fries,” balasku singkat.

Selain Frieska, juga ada Ayah Melody yang hanya tersenyum saat melihatku mengandeng salah satu putrinya. Aku pun mencoba sopan dan mencium tangannya, sementara Frieska, dia hanya sibuk tersenyum dan tertawa kecil saat aku bersalaman dengannya. Aku bisa mengerti kenapa dia terus saja tertawa, aku hanya tak tahu untuk siapa tawanya itu.

“Ayo duduk,” perintah Ayah Melody.

Aku hanya mengangguk dan menuruti perintah yang diberikan kepadaku, aku merasa ini semua akan memperburuk situasi yang kuhadapi. Dengan berkenalan langsung dengan Ayah Melody aku merasa aku sudah mengambil langkah yang jauh dengan Melody, langkah yang aku tak tahu kapan aku mengambil langkah pertamanya. Aku merasa gugup dengan jantungku yang berdetak cepat, meski Ayah Melody hanya menatapku dan tersenyum.

“Buatin minum, Fries.”

“Mbak Mel aja tuh, kan calon suami sendiri.” Ucap Frieska membantah perintah Ayahnya.

“Aku bukan....”

“Ya udah aku yang buatin, dasar malas banget jadi adek.” Ucap Melody memotong ucapanku, ucapanku yang kumaksudkan untuk meluruskan salah paham yang mungkin dimiliki oleh Ayah Melody, salah paham tentang hubunganku dan putri keduanya.

Melody hanya tersenyum sebelum dia pergi meninggalkanku dengan Ayah dan adiknya, bicara tentang adiknya senyuman Frieska makin lebar saat melihat kakaknya berjalan ke dapur. Aku tak tahu Frieska melakukannya hanya untuk bercanda, atau dia benar benar mengira aku memiliki hubungan spesial dengan kakaknya.

“Yah, aku mau siap siap dulu ya,” ucap Frieska.

“Loh hari ini ya balik ke Jakartanya, bukannya masih besok?” tanya sang Ayah.

“Mau nebeng aja sama Kak Mel, biar sekalian hemat ongkos.”

“Oh..gitu, tapi emang udah bilang sama Kakak?”

“Gampang itu Yah,”

Frieska pun seperti kakaknya, meninggalkanku dan pergi naik ke lantai dua, membuatku sekarang hanya berdua dengan Ayahnya. Rasa gugupku yang sedari tadi coba kutahan menjadi semakin besar, aku merasa bahwa aku tak bisa mengacaukannya, aku merasa aku harus meninggalkan kesan baik kepada Ayah Melody, dan aku tak tahu kenapa.

“Udah lama kenal sama Melody?”

“Udah cukup lama kenalnya om...tapi baru dekat sekarang.” begitulah jawabku yang juga masih berusaha untuk tak menunjukan rasa gugupku.

“Oh....baik baik ya sama dia, kamu bisa janji kan?”

“Iya Om.”

“Nggak usah panggil om, panggil Ayah saja kayak yang lain.”

“OK, OK....Yah,”

OK, berapa dari kalian yang pernah punya kesempatan untuk diminta Ayah Melody untuk memanggilnya Ayah, bagi yang pernah mohon angkat tangan kalian. Baiklah, sekarang bagi yang belum, apa perasaan kalian jika kalian punya kesempatan itu? Senang? Gugup?

Well, perasaan bingung lah yang melanda pikiranku. Kau tahu, aku seharusnya tak boleh menjalin hubungan dengan Melody. Aku tak bisa membalas perasaan apapun yang mungkin dimilikinya kepadaku, aku seharusnya tak berkenalan dengan Ayah Melody, terlebih memanggilnya Ayah. Aku tak boleh membuat kesalahpahaman ini berlanjut lebih jauh, aku harus menemukan cara untuk meluruskan semuanya.

“Om...”

“Ayah,” koreksinya.

“Aku sama Melody......”

“AYAH.......” Teriakan itu datang dari Melody, dia datang membawa dua gelas teh bersamanya.

“Huss.....anak gadis nggak boleh teriak teriak.” Ucap Ayah yang nampaknya terganggu mendengar teriakan putrinya.

“Maaf Yah,” jawab Melody “Ben, ikut aku bentar yuk.”

Melody lalu menarik tanganku sebelum aku sempat setuju pada ajakannya, Ayah hanya gelengkan kepala melihat kelakuan putrinya yang menarikku pergi. Kami berdua naik ke lantai dua, lalu masuk ke sebuah kamar. Terakhir kali kami berdua di dalam kamar itu cukup menyenangkan, tapi aku ragu kami akan melakukan hal yang sama sekarang.

“Ben, tolong jangan kasih tahu Ayah yah kalo sebenarnya kita nggak pacaran.”

“Tapi...”

“Maaf kalo aku seenaknya, tapi kemaren aku terpaksa.”

“Terpaksa?”

“Iya, jadi kemaren Ayah nanya nanya terus soal kapan aku mau nikah. Aku kan udah 24 gitu ya, temen temen aku udah banyak yang nikah, jadi Ayah nanya terus. Jadi aku bilang aja aku udah punya pacar, kamu.”

Oh.....Tuhan, ini semua semakin dan terus memburuk. Meski itu menjelaskan reaksi Frieska saat menyambutku masuk dan kesalahpahaman yang dimiliki oleh Ayah, tapi tetap saja itu membuat semuanya semakin kusut. Sekarang bagaimana caranya membuat Ayah mengerti, bahwa hubungan yang dia pikir aku dan Melody miliki bukan seperti yang dia pikirkan. Oh....ini pasti karma karena aku sudah memperkosa Viny waktu itu, karma is a bitch but that bitch always fuck me in the ass.

“Sekarang gimana? Apa mau bohong terus sama Ayah?”

“Ya...sementara aja gitu, sampe....”

“OK, aku paham. Kamu cuma nggak mau nyakitin perasaan Ayah kan?”

Melody mengangguk, memberikan jawaban singkat untuk pertanyaanku. Meski aku tahu akan lebih baik jika aku jelaskan saja semuanya kepada Ayah, tapi sekali lagi aku memutuskan untuk mengikuti perasaan sesaatku. Aku tahu ini semua akan berakhir buruk.

“Maaf ya, aku nyusahin kamu lagi,”

“Nggak apa apa,” ucapku berbohong, aku tahu ini akan semakin menyusahkanku, tapi untuk melihat senyuman manisnya itu meski hanya untuk sesaat, aku rela.

Kami berdua pun memutuskan untuk kembali, kerena tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tak banyak yang terjadi setelahnya, hanya sedikit perdebatan antara Melody dan Frieska yang berakhir dengan Frieska yang ikut bersama kami kembali ke Jakarta. Frieska adalah seorang pendebat ulung yang mampu membuat Melody tak sanggup bicara, banyak yang diucapkannya tapi yang memenangkannya adalah ‘kalo mau berduaan nanti aja pas udah kawin trus pergi bulan madu,’ setelah itu Melody diam, tak lagi sanggup membalas.

Aku sempat ingin tertawa saat melihat Melody tak sanggup lagi membalas perkataan adiknya, tapi tatapan menusuk dari Melody membuatku membatalkan niatku itu. Setelah mempersiapkan semuanya, dan berpamitan kami berangkat kembali menuju Ibu kota.

“Bukannya kemaren lu fansnya Dhike bang, kok sekarang bisa pacaran dengan mba Imel?” tanya Frieska yang duduk disebelahku. Ya Frieska duduk didepan bersamaku, dengan suatu cara dia berhasil membuat Melody duduk dibangku belakang.

“Frieska apaan sih,” ucap Melody, nampaknya dia tak terlalu suka dengan pertanyaan itu.

“Ih....mba Imel diam aja, kan pertanyaannya buat bang Benji.”

“Ya tapi kan nggak usah ditanya begituan juga,” balas Melody.

“Apaan begituan, jorok ihhh.....”

“Frieska apaan sih!!!!”

Aku hanya bisa menyaksikan tanpa bisa bersuara, perdebatan antara Melody dan Frieska yang mulai sengit. Meski itu perdebatan yang sengit, aku tak melihat ada amarah didalamnya. Itu hanya sebuah perdebatan antara kakak dan adik yang sudah mereka lakukan ribuan kali, dan kali ini kebetulan topiknya adalah aku. Well...well...well, kapan lagi kau bisa menjadi topik pertengkaran antara Melody dan Frieska.

“Dah ah, aku mau tidur aja. Frieska jangan digangguin terus Benjinya, lagi nyetir dia.” Ucap Melody yang nampaknya sekali lagi kalah dalam perdebatan sengit dengan adiknya. Setelah mengucapkan itu, Melody membaringkan tubuhnya dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

“Iya, tidur aja yang pulas kanjeng Ratu.” Frieska nampak sangat menikmati kemenangannya, dia tak dapat berhenti tersenyum dan tertawa.

Setelah kehilangan tontonan menarikku, aku memutuskan untuk kembali fokus ke jalanan yang nampak cukup lenggang. Aku pun memutuskan untuk memutar playlistku dan sekarang wonderwall dari Oasis mengalun didalam mobilku.

“Eh bang, lu belum jawab pertanyaan gue tadi.”

“Soal gue itu fansnya Dhike?” tanyaku memastikan.

“Iya, kok bisa sekarang lu pacaran sama mba Imel?”

Luck mungkin, gue juga bingung. Tapi gue bersyukur karena bagaimana pun Melodynya mau sama gue.”

Dan tawa kecil Frieska berubah menjadi tawa lantang yang begitu renyah, nampaknya jawabanku itu lucu baginya.

“Bersyukur bisa pacaran atau lu bisa ngentotin dia sampe lu pingsan kemaren?”

“Kok...maksud gue...eh.” aku kehilangan kata dari mulutku, jika aku tak salah dengar Frieska baru saja berkata soal bagaimana aku bisa berhubungan badan dengan kakaknya hingga aku kehilangan kesadaran. Itu tidak mungkin sebuah pertanyaan asal yang ditanyakan Frieska hanya untuk menggodaku. Tidak dengan detail terakhir pada pertanyaannya.

“Nggak usah salting gitu, Baim udah cerita semua kok. Soal gimana lu ngerayu dia, soal iket iketannya, soal analnya, soal lilin, sampe soal jepit kertasnya. Kak Melody kan curhat selalu ke gue.”

FUCK..............

Aku pun membuang mukaku dan berusaha tak memperhatikan Frieska, aku tak tahu harus berkata apa, aku tak tahu harus membalas ucapannya, seperti Melody aku kalah darinya.

“Kok nggak jawab? Malu ya? Nggak usah malu kali. Baim aja nggak malu malu cerita sama guenya.”

“Fries...”

“Iya?”

“Mau berhenti dulu buat beli eskrim?”

“Apaan gue disogoknya pake eskrim, nggak mau gue.”

“Trus...mau lu apa?”

“Tebak dong,”

“Lu mau kontol?”

“Hmm...mau nggak ya, bekasnya kak Melody lagi.”

Aku sendiri tak percaya dengan ucapanku, aku bahkan lebih tak percaya dengan respon Frieska. Kami membicarakan kontol seperti itu adalah hal yang wajar untuk diperbincangkan, dari sekian banyak hal yang bisa kamu bicarakan, hari ini kami memutuskan untuk membicarakan batang kemaluanku.

Frieska terus menatapku dengan pandangan jahil diwajahnya, tatapannya seakan menantangku untuk memperkosanya jika aku berani. Dan seperti tertantang, dengan tangan kiriku, aku remas payudaranya yang masih tertutup kaos.

“Ja....jangan,” ucapnya pelan, kemana semua keberaniannya pergi? dia terdengar seperti anak anjing yang pasrah sekarang.

Totalled

Sekarang, aku sudah terlanjur melakukannya. Aku sudah terlanjur meremas remas payudara Frieska, meski aku sadar dibangku belakang Melody masih tertidur pulas. Frieska, yang awalnya menantangku dengan ucapan dan tatap matanya, sudah diam tak berdaya. Dia menutup mulutnya rapat rapat saat tanganku mengelus dan meremas payudaranya, tatap matanya juga seperti seekor anak anjing yang sudah pasrah.

“Ja...ngan,” bisiknya.

Aku hanya mengelengkan kepalaku, aku tak mungkin mundur sekarang. Aku harus menyelasaikan ini semua, atau akulah yang akan hancur. Jika nanti Frieska ingin menyalahkan seseorang, salahkanlah dirinya sendiri yang sudah mengodaku. Janganlah menganggu seekor ular, kalau kau tak ingin dipatuk.

“Kak...Mel...kak Melody,” ucap Frieska, kali ini dia menunjuk kearah Melody yang sedang tertidur dikursi belakang. Mungkin dia berharap aku akan membatalkan niatku karena takut ketahuan Melody, meski itu sedikit mengkhawatirkan bagiku, itu tak cukup untuk membuatku membatalkan niat jahat yang ada didalam hatiku.

“Emang kenapa?” ucapku berusaha terdengar tak peduli. ”Kalo Melody bangun, gue ajak aja gabung, jadi kita bisa mainnya bertiga. Gue aja bisa kok ngerayu dia buat ngasih perawannya ke gue, apalagi cuma ngerayu dia soal ngentot bertiga.” Aku mengucapkan itu semua dengan berusaha terdengar seyakin mungkin, aku juga menatap Frieska langsung ke matanya agar aku terlihat penuh percaya diri tanpa ada keraguan.

Kau tak akan percaya ekspresi Frieska saat aku mengucapkan itu semua, awalnya dia kelihatan terkejut, lalu berubah menjadi tatapan orang yang putus asa. Mungkin kata kataku berhasil membuat seluruh harapannya hilang. Aku sedang berusaha membuat Frieska takut dan berdaya sekarang, karena aku tak ingin niatku gagal. Meski sebenarnya itu sebuah niatan yang buruk.

“Gue....nggak mau bang, tolong.”

“Gue nggak peduli lu mau atau nggak Fries, gue udah sange.”

“Tapi bang....akhhhhhh....”

Aku yang tak ingin mendengar lagi penolakannya, langsung meremas payudaranya yang besar itu, dan Frieska berusaha keras tak berteriak, digigitnya bibirnya keras keras berusaha tak bersuara. Frieska berusaha mendorong tanganku menjauh dari payudaranya, tapi tenagaku yang lebih besar tak mampu dia lawan. Lalu kuangkat kausnya itu dan kuremas payudaranya yang masih tertutup bra.

“Jangan....” ucapnya memohon sambil berusaha menurunkan lagi kaosnya. Aku pukul tangannya karena merasa itu menganggu usahaku.

“Lu nurut aja gue bakal buat lu teriak keenakan, tanya aja sama Melody, atau mungkin lu juga suka dikasarin kayak dia ya?” ucapku sambil menunjuk Melody yang masih tertutup selimut.

Frieska mengelengkan kepalanya dengan cepat, entah dia tak setuju dengan ideku untuk membuatnya keenakan atau dikasari seperti kakaknya kemarin. Yang manapun, aku tetap akan mendapatkan memeknya itu.

Aku naikkan bra putih yang masih menutupi payudara Frieska, hingga terlihatlah putingnya yang masih berwarna merah muda. Frieska yang mungkin tak suka kupandangi putingnya, kembali berusaha menurunkan kembali branya, tapi sekali lagi kupukul tangannya.

“Nurut nggak lu,” ucapku sambil menarik puting merah muda milik Frieska kuat kuat.

Frieska terlihat berusaha keras untuk tak berteriak, dia sumpal mulutnya dengan kedua tangannya kuat kuat, aku rasa dia juga mengigit mereka, semua agar tak ada suara yang keluar dari dalam mulutnya. Dan setelah ku tarik dan kupelintir putingnya, Frieska langsung menganggukan kepalanya kuat kuat, mungkin berharap siksaanku segera berakhir.

“Udah nurut?” tanyaku lagi.

Sekali lagi Frieska menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, dari raut mukanya aku bisa melihat dia kesakitan. Mungkin begitu kesakitan hingga air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Aku yang sudah merasa cukup pun melepaskan tanganku dari putingnya, mengakhiri siksaan kecilku padanya.

“Masih ngelawan?”

Frieska mengelengkan kepalanya kali ini, sepertinya aku berhasil membuatnya takut.

“Sekali lagi lu ngelawan, bukan jepitan kertas yang gue taro di tetek lu, tapi jarum jahit atau gue bakar sekalian.” Ucapku berusaha mengancamnya. Sebenarnya aku tak serius untuk bagian membakar putingnya, tapi aku sedikit berimprovisasi setelah melihat pemantik api di dashboard mobilku.

Frieska tak menjawab, dia tak mengeleng atau mengangguk, dia hanya memandangiku dengan tatapan tak percaya dan mulut yang terbuka lebar. Ya, dia pasti sedang shock. Aku tak membiarkannya bersantai, aku langsung melanjutkan usahaku dengan meremas remas payudara Frieska yang tak lagi tertutup apapun. Dia tetap berusaha tak bersuara dengan menutup mulutnya, dia sumpal mulutnya kuat kuat dengan tangannya sendiri.

Aku menyukai rasa lembut dan kenyalnya payudara Frieska, ini payudara terbesar yang pernah dirasakan tanganku, dan aku menyukainya. Aku juga menarik narik dan memilin milin puting merah jambu miliknya, hingga akhirnya aku merasakan putingnya itu mulai mengeras. Aku alihkan perhatianku kewajahnya, dan tatapan mata Frieska telah berubah menjadi berbinar. Laju napasnya juga sudah berubah menjadi lebih cepat dan pendek, seperti Viny nampaknya payudara juga menjadi titik lemah Frieska.

“Enak?”

Frieska mengelengkan kepalanya, sepertinya dia masih menolak mengakui dia menikmati semua ini.

“Oh...lu masih mau bohong sama gue?” tanyaku sambil memberikan senyuman kepadanya, yang aku harapkan cukup untuk mengintimidasi Frieska, kau tahu seperti seorang psikopat di film yang tersenyum saat membunuh korbannya.

“Gue...gue....nggak....” Frieska kehilangan kata katanya, sepertinya dia tahu aku menyadari kebohongannya dan itu membuatnya takut hingga kehilangan kata kata.

“Jadi enak nggak?” tanyaku sekali lagi, dengan senyuman tentunya untuk efek intimidasi maksimal.

“I....iya enak.”

“Gitu dong ngaku, kalo enak bilang aja nggak usah malu.”

Frieska hanya mengangguk, lalu kembali menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya saat payudara dan putingnya kuremas dan kutarik lebih keras. Setelah cukup puas dengan payudaranya, tangan kiriku pun bergriliya masuk ke dalam rok pendek yang dipakainya, dengan sedikit usaha akhirnya celana dalam Frieska berhasil kulepaskan dan kutaruh diatas dashboardku seperti sebuah piala. Frieska mencoba mengambil celana dalamnya kembali, tapi sebuah tatapan ‘mengancam’ dariku cukup untuk membuatnya membatalkan niatannya itu.

Jari jariku pun kuarahkan masuk kedalam roknya, tanpa adanya celana dalam jariku tak terhalang apapun dan dapat langsung menusuk masuk kedalam liang memek Frieska. Itu terasa hangat dan langsung menghisap masuk jariku, mungkin mulutnya menolak tapi memek Frieska menerima perlakuanku dengan baik.

“Akh.....” desah Frieska yang buru buru dia tahan.

Aku percepat gerakan jariku pada liang memek Frieska, aku ingin merangsangnya, merangsangnya cukup untuk membuat memeknya basah untuk kutusuk dengan batang kontolku. Frieska mengelengkan kepalanya sambil terus berusaha menahan desahan yang keluar dari mulutnya. Air mukanya sudah berubah, pipinya memerah dengan mata yang berbinar. Aku yakin Frieska menikmati apa yang aku lakukan pada liang kewanitaannya, hanya bibirnya saja yang terus berusaha menolak.

“Udah...udah....AKHHHH......”

Frieska mendesah panjang, badannya menegang, dan jariku basah oleh cairan kewanitaannya. Frieska terlihat lemas, napasnya menjadi tipis dan pendek. Dari apa yang aku tahu, Frieska baru saja orgasme, tanda pasti bahwa dia menikmatinya.

“Apaan nggak, memek lu basah gini,” ucapku dengan nada mengejek, aku juga menunjukan jariku yang basah karena memeknya.

Frieska mengelengkan kepalanya, masih menolak mengakui bahwa apa yang kulakukan padanya itu membuat dia merasakan nikmat. Aku tahu dia hanya mempertahankan egonya sekarang, dan itu membuatku semakin ingin memperkosanya. Aku ingin membuat dia berteriak dan mendesah seperti apa yang dilakukan kakaknya, aku ingin dia mengakui kejantanan batang kontolku seperti apa yang dilakukan kakaknya.

Aku buka resleting celanaku, dan kukeluarkan batang kontolku yang sedari tadi sudah berdiri. Batang kontol yang sudah memiliki beberapa pengalaman memasuki liang memek para gadis idola, batang kontol yang telah berhasil membuat mereka mendesah keenakan, dan kali ini juga akan memberikan pengalaman yang sama kepada Frieska.

Entah untuk keberapa kali Frieska mengelengkan kepalannya, kali ini saat melihat batang kontolku mengacung tinggi, dia kembali mengeleng dengan kuat. Aku yakin dia sudah paham apa yang ingin kulakukan, hingga dia takut membayangkannya.

Kutarik tangan kanannya dan kuarahkan ke batang kontolku, meski dia sempat menolak, akhirnya aku berhasil membuat dia mengengam batang kontolku dengan tangannya. Tangan putih dan mulus itu bergetar saat menyentuh kulit batang kontolku, warna tangannya itu terlihat kontras dengan warna batang kontolku yang cenderung kehitaman.

“Kocok dong,” ucapku pelan.

Frieska mengeleng, dia menolak perintahku. Aku yang tak suka dibantah pun mengambil pemantik api dari atas dashboardku dan menyalakannya. Dengan sebuah senyuman yang masih terjaga diwajahku, aku dekatkan pemantikku ke payudaranya. Aku ingin mengertaknya, aku ingin Frieska takut dan menuruti perintahku.

“Kiri ato kanan yang gue bakar,” aku berusaha mengatakannya dengan nada sedatar mungkin, mencoba terdengar sejahat mungkin.

Frieska tak menjawab, dia hanya berusaha mundur sambil mengelengkan kepalanya.

“Jawab!!” ucapku sekali lagi, kali ini aku menaikan sedikit nada bicaraku. Aku mengintip ke kursi belakang dari ujung mataku, berharap Melody tak terbangun.

“Jangan, please.” Ucap Frieska yang berusaha melindungi puting merah jambunya.

Aku mematikan pemantikku, lalu sekali lagi kupaksa Frieska untuk mengengam batang kontolku.

“Kocok makanya.”

Frieska mengangguk kali ini, lalu perlahan mulai mengerakkan tangannya naik turun, mengocok batang kontolku. Aku bersyukur jalanan ini sepi, aku bersyukur jalanan yang tak ada seorang pun ini membuatku bisa menikmati handjob yang diberikan Frieska kepadaku.

Handjob yang diberikan Frieska itu buruk, dan batang kontolku tak butuh rangsangan lagi untuk berdiri. Aku menyuruh Frieska untuk melakukannya, hanya karena aku ingin mengerjainya. Membalasnya karena sudah menantangku.

“Sekarang hisap kontol gue.” Perintahku.

“Nggak bang, nggak mau.”

Tak mau dibantah, kujambak rambut Frieska memaksanya untuk menghisap batang kontolku, tapi Frieska masih terus berusaha menghindari kontolku. Aku yang kesal tanpa sadar menampar pipinya. Aku bisa melihat bekas tamparanku di pipinya, Frieska yang nampak terkejut memegangi bekas tamparanku di pipinya. Cepat cepat kututup mulutnya sebelum Frieska menangis keras, sebelumnya hanya tangis tipis yang dia lakukan. Aku tak bisa membiarkannya menangis sekarang, aku yakin suara tangisnya akan membangunkan Melody dan mengacaukan ini semua. Meski sebelumnya aku berkata tak peduli jika sampai Melody bangun kepada Frieska, kenyataannya aku takut jika itu terjadi.

“Fries, lu mau Melody ngeliat lu kayak sekarang? apa coba yang bakal dipikirin Melody? Lu lagi telanjang Fries, kontol gue juga lagi ngacung keluar, mungkin dia bakalan mikir kita habis macem macem.”

Aku berusaha mengucapkan itu semua seyakin mungkin, aku tahu situasiku sedang terjepit dan satu satunya harapanku adalah Frieska mau berhenti menangis. Aku berusaha mempengaruhi Frieska, berusaha meyakinkannya, jika Melody bangun maka dia juga akan kesulitan. Aku memasang poker face terbaikku, aku juga setengah berdoa agar Frieska terpengaruh ucapanku.

Tatapan mata Frieska perlahan melemah, tangisannya juga perlahan berhenti. Sepertinya kata kataku berhasil mempergaruhinya, dan itu cukup untuk membuat dia berpikir ulang untuk membangunkan kakaknya. Setengah bertaruh, kutatap matanya dan kulepaskan tanganku yang menutup mulutnya. Frieska diam, dia hanya memandangku dengan tatapan kosong. Dia nampaknya sudah pasrah atas ini semuanya, mungkin dia berpikir tak ada lagi jalan bagiku untuk lolos dari ini semua.

Aku harusnya merasa kasihan melihat dia sekarang, kau tahu, melihat seorang gadis yang sudah pasrah untuk diperkosa. Napsuku masih tinggi tapi keraguan mulai tumbuh dalam hatiku, dan itu cukup untuk mengembalikan akal sehatku. Petir tak akan menyambar dua kali ditempat yang sama, keberuntunganku tak akan terus datang dan aku bisa terus lolos dari semua hukuman jika tetap melanjutkan niatku untuk memperkosa Frieska.

Aku tak bisa melakukannya, aku tak bisa membiarkan diriku kalah oleh napsu sesaatku. Kuperbaiki celanaku, lalu berikan celana dalam Frieska kembali padanya.

“Sorry Fries gue udah kurang ajar, tolong maafin gue ya.”

Frieska terlihat bingung, dia hanya mengangguk sebentar lalu memperbaiki pakaian yang dikenakannya. Dia memandangku cukup lama, aku bisa melihat dia ingin bicara tapi memutuskan untuk membatalkan niatnya itu. Suasana kembali menjadi sepi setelahnya, tak ada satu pun kata yang terucap dari kami berdua, satu satunya suara yang terdengar adalah lagu it was a good day dari Ice cube yang diputar di playlistku. I don’t know dude, it’s probably not a good day for me.

Apakah kau tahu betapa akwardnya suasana disisa perjalanan itu? Bagaimana anehnya suasana saat pandangan mataku dan Frieska tak sengaja bertemu? Aku juga tak tahu apakah harus bersyukur karena Melody masih terlelap dikursi belakang, atau perjalanan ini yang memakan waktu cukup lama.

“Bang....” ucap Frieska yang akhirnya memecah keheningan antara kami berdua.

“I...ya?”

“Sorry ya,”

“Nggak Fries, gue yang salah, gue yang harusnya minta maaf.”

“Ya gue tahu lu ngerasa bersalah soal tadi, tapi gue juga mau minta maaf udah ngegodain lu tadi. Harusnya gue sadar kalo kucing garong kayak lu nggak bisa dikasih ikan asin, pasti gigitlah.”

Frieska mengucapkan itu semua dengan tatapan yang tak lagi kosong, ada kehidupan di tatap matanya sekarang. Aku merasa Frieska sudah mengumpulkan lagi perasaannya yang sempat pecah, saat aku mengancam dan memaksanya tadi. Meski begitu, apakah mungkin dia sudah secepat itu memaafkanku atas tindakanku tadi? Meski aku tak sampai melakukannya, tapi mencoba memperkosanya juga merupakan tindakan yang tak seharusnya secepat itu dimaafkan.

“Nggak Fries, lu nggak buat salah apapun, gue yang salah.”

Lalu dia tersenyum simpul, sesuatu yang tak kuharapkan muncul secepat ini. Meski ada perasaan senang dalam diriku saat melihatnya, tapi aku tak mengerti kenapa dia melakukannya. Kau tahu, aku baru saja mencoba memperkosanya jadi harusnya yang dia lakukan adalah marah, memukulku, atau hal lain yang menunjukkan bahwa dia tak terima atas perlakukanku, bukan malah tersenyum. Aku tahu dia gadis yang baik, tapi ayolah ini sudah keterlaluan.

“Ya kalo lu ngerasa bersalah, traktirin gue jajan dong. Lapar nih gue,” ucap Frieska dengan santainya, seperti tak ada sesuatu yang buruk baru saja terjadi padanya.

Aku hanya memandanginya untuk sesaat, sambil mencoba memikirkan alasan bagaimana dia sudah dapat memaafkanku sekarang. Aku cukup yakin dia sudah memaafkanku, jika tidak bagaimana mungkin dia bisa bertingkah seramah itu. Mengapa para gadis idola yang sudah dan hampir kuperkosa bisa dengan mudahnya memaafkanku? Seperti diperkosa oleh seorang lelaki yang baru kau kenal itu wajar bagi mereka. Aku mulai berpikir jika mereka semua benar benar kuperkosa, aku masih bisa menonton pertunjukan mereka di theater keesokan harinya.

“O...OK.” cuma itu yang bisa kuucapkan, sebagian besar karena aku masih memikirkan perubahan sikap Frieska yang begitu tiba tiba, juga bagaimana Viny, Melody, dan Manda juga melakukan hal yang sama.

Aku pun mengedarai mobilku dengan perasaan aneh yang mengelayut di kepalaku, tentang para gadis idola yang membuat hidupku aneh.
 
Terakhir diubah:
Kelanjutannya lagi
Excruciate

Aku harusnya merasa seperti sejuta dollar saat aku bangun pagi ini, tapi tidak, aku merasa buruk. Aku merasakan sakit disekujur tubuhku, seperti yang Yona katakan setiap dia harus latihan keras di theater. Yona? Ya benar, kemana dia? Dia bersamaku disini semalam, tapi dimana dia sekarang? Hei kau tahu, aku juga berhasil tidur dengan Yona, dan itu menambah satu lagi gadis idola dalam daftarku. Aku akan menceritakan detailnya nanti, jangan khawatir, yang penting sekarang adalah aku ingin mencari keberadaan Yona dulu.

Aku pakai lagi bajuku lalu pergi keluar dari kamar Yona, dan menemukan Yona sedang berdiri bersandar di meja makan. Sekarang dia memakai piyama putih yang tak dia kenakan semalam, nampaknya setelah apa yang kami lakukan semalam, dia memutus mandi dan berganti dengan piyama. Aku bisa melihat bongkahan pantat Yona dari balik celana putih yang dipakainya, dan itu membuatku ingin merasakannya lagi, meremas dan menampar pantat putihnya itu.

Aku pun berjalan perlahan berusaha mengendap dibelakang Yona, dia nampak sibuk dengan handphonenya , itu bagus, itu akan mengalihkan perhatiannya cukup lama. Aku yang masih berusaha tak membuat suara apapun, mengeluarkan batang kontolku dan mengocoknya sedikit untuk membuatnya tegang.

“Aduh....Ben jangan!!” teriak Yona saat kudekap dia dari belakang, kudorong tubuhnya ke meja makan dan membuat dia tak bisa bergerak. “Ben...Akhhhh....” Dengan sedikit usaha, aku berhasil menurunkan celana putih dan celana dalam Yona, lalu kudorong batang kontolku masuk kedalam memeknya yang bahkan belum basah.

“Ben....BEN....cabut...sakit,” ucap Yona setengah berteriak. Dia mencoba mendorongku tapi tak berhasil karena tenagaku yang jauh lebih kuat darinya, lalu dia memukul mukul dan mencubit pahaku, tetap tanpa hasil karena aku sudah terlalu dipenuhi oleh napsu.

Meski tanpa izin Yona, aku mulai mendorong dan mengenjot memeknya, dan sensasi yang sama seperti semalam kembali menyelimuti tiap senti batang kejantananku, itu menekan dan menelannya dalam dalam. Kelembutannya dari dinding memeknya membuatku terdiam, dan membiarkan kontolku merasakan semua. Aku bahkan tak memperdulikan Yona yang masih terus memberontak dan mencoba melepaskan diri dari dekapanku.

“Ah...Yon diam dulu,” ucapku yang mulai merasa terganggu dengan semua cubitan dan usahanya untuk melepaskan diri dariku.

“Ben...Ben...udah cabut...capek gue,”

Yona masih belum mau menyerah, dia masih seperti semalam.Sebelum kau pikir aku memperkosanya, tidak, aku tidak melakukannya. Aku rasa Yona memang sedikit terpaksa semalam saat akhirnya dia berhubungan badan denganku, tidak, aku juga tidak mengancam dan memaksa Yona untuk tidur bersamaku semalam. Aku rasa Yona melakukannya karena dia merasa tertantang untuk melakukannya. Bagaimana pun itu tidak terlalu penting bagiku, memuaskan napsuku yang sudah memuncak sekaranglah yang penting. Kupegang pinggangnya, lalu kupercepat genjotanku pada memek Yona dengan atau tanpa izin darinya.

“Ben....udah...udah...ah...ah...ah..udah jangan,” ucap Yona ditengah desahannya, meski dia menolak tapi desahan seksi yang keluar dari mulutnya itu tak bisa berbohong.

PRAKKK

PRAKKK

Kutampar kedua bongkahan pantat yang sedari tadi membuatku bernapsu, mungkin aku menamparnya terlalu keras karena bekas tamparanku tercetak jelas berwarna merah.

“Udah Yon, nikmatin aja,” ucapanku benar benar terdengar seperti seorang pemerkosa sekarang.

“Nggak lepas!!!” teriak Yona.

Aku tak peduli kali ini, kemarin aku melepaskan Frieska setelah aku merasa kasihan dengannya, dan aku melewatkan sebuah tubuh yang sangat indah untuk kunikmati. Kali ini aku tidak berniat bermain sebagai lelaki baik lagi, ‘nice guy finish last’ they said. Aku pun tetap mengenjot memeknya yang akhirnya basah itu.

“Ah....udah...” desah Yona masih mencoba menolak.

Aku tahu dibalik penolakannya itu, Yona menikmati tusukan batang kontolku yang memenuhi liang memeknya. Memeknya sudah basah, dan dia terus saja mendesah, aku akan membuat Yona mengakuinya, seperti yang dia lakukan semalam.

“Ben...Ben...udah...ah....ah..udah,”

Kugenjot memeknya itu cukup lama, hingga aku merasa bosan dengan gaya bercinta yang kami lakukan. Aku cabut batang kontolku dari memek Yona, dan sebelum dia bisa lari, kupaksa dia berbaring diatas meja makan. Lalu kubuka kedua kakinya dan kembali kudorong batangku masuk kedalam memek Yona.

“AKH.....” desah Yona, dia yang masih belum mau mengakuinya cepat cepat menutup mulut dengan kedua tangannya.

“Udah ngaku aja Yon, gue tau lu juga keenakan?”

Yona mengeleng gelengkan kepalanya, masih berpegang teguh pada gengsinya. Setelah semua yang aku lakukan untuknya semalam.Ya sudahlah, aku hanya perlu mengenjotnya lebih keras seperti semalam.

“Tenang aja, gue bakal buat lu keenakan kok Yon, kayak semalam.” Ucapku.

Aku rasa Yona ingin protes, tapi itu sudah terlambat karena sebelum dia bisa berbicara. Kugenjot lagi batang kontolku maju mundur kedalam memeknya, kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Yona pun berusaha keras untuk tidak mendesah, dia tutup rapat rapat mulutnya, dia juga terus mengeleng gelengkan kepalanya, mungkin mencoba menolak rasa nikmat yang kuberikan padanya.

Dari posisi ini, aku juga bisa memainkan kedua payudara indah miliknya. Payudara Yona tidaklah sensitif seperti Viny, titik lemah Yona ada dibelakang telinganya, dan dia tak bisa berbuat banyak saat aku menemukan hal itu semalam. Meski begitu, aku menikmati waktuku memainkan payudara milik Yona. Itu terasa lembut dan aku menyukainya, aku remas perlahan lahan karena aku ingin menikmatinya, perasaan lembut yang memenuhi telapak tanganku, saat aku meremas kedua payudara indah itu.

PRAKK

Kepalaku dipukul dengan keras dari belakang.

“Pinter lu ya, pagi pagi udah ngentotin anak orang,”

Aku kenal suara itu, aku pun menoleh untuk memastikan dugaanku. Dan ternyata benar itu adalah suara cempreng Dhike yang kudengar, dan dia juga lah yang barusan memukul kepalaku. Dia tampak tak terlalu senang sekarang, mungkin dia tak terlalu suka dengan apa yang kulakukan sekarang.

“Sakit....gila,” protesku.

“Itu Yona juga kesakitan, dari tadi dia teriak teriak nggak lu lepasin, lepas sekarang.” perintahnya dengan nada tinggi dan wajah galak.

“Iya...iya,”

Aku merasa aku tak punya pilihan lain dan menuruti perintahnya untuk mencabut kontolku dari memek Yona. Meski aku bilang aku tak akan kalah lagi dan akan memuaskan napsuku, tetap saja, aku tak bisa melawan perintah Dhike, aku tak sanggup melawan perintah oshi pertamaku.

“Dasar lu, disuruh Dhike aja baru berhenti,” ucap Yona yang ikut ikutan terlihat kesal, dia bangkit berdiri dan memakai lagi celana dalam lalu celana putih miliknya.

PRAKKKK

Kali ini Dhike menampar keras wajahku, air mukanya masih terlihat kesal.

“Belum puas semalam?” ucap Dhike, nadanya tak lagi tinggi meski wajahnya masih saja kesal.

“Tau yang semalam emang masih kurang? Hah? Lima orang loh, nggak sakit itu burung,” sambung Yona, nampaknya dia tahu aku lemah dan tak akan membantah perkataan Dhike, dan dia melihat itu sebagai kesempatan untuk meluapkan seluruh kekesalannya padaku.

Aku tak bisa memikirkan jawaban yang tepat, jika aku mengatakan aku belum puas bisa tidur dengan lima gadis semalam, aku akan terdengar seperti seorang lelaki brengsek yang hanya memikirkan selangkangan, jika aku berkata aku sudah puas, aku yakin mereka akan menganggap itu sebuah kebohongan, terlebih karena apa yang baru aku lakukan kepada Yona.

“Kok lu berubah sih Ben, dulu lu nggak mesum, dulu lu biasa aja, sekarang kok lu jadi PK,” ucap Dhike.

“PK?” tanyaku polos.

“Penjahat kelamin,” jawab Dhike lantang.

“Iya bener penjahat kelamin lo,” sambung Yona.

“Enak aja, gue kan nggak ada maksa ku semua semalam.” Ucapku membela diri, well, secara teknis aku tak membela diriku sekarang, karena apa yang kuucapkan itu adalah kenyataannya. Kau mungkin tidak percaya, dan kau tak punya alasan untuk percaya atas apa yang akan kukatakan, tapi aku berhasil tidur dengan mereka berdua, tanpa memaksa mereka untuk mau melakukan itu. Aku hanya mengunakan sedikit......

“EIII kak Dhike, Kak Yona, kenapa? kok udah ribut pagi pagi?” ucap Shania yang tiba tiba memutuskan untuk bergabung bersama pembicaraan kami bertiga, seperti yang dia lakukan semalam.

Shania sudah memakai lagi celana kargo pendek berwarna hitam dan kaos hitam lengan panjang miliknya. Dia yang baru bergabung terlihat bingung dan bergantian memandangi aku, Yona dan Dhike.

“Jawab eiii, Kak Dhike, Kak Yona,” ucap Shania.

“Ini Nju, si Ben.” Ucap Dhike yang akhirnya menjawab.

“Emang bang Benji kenapa? sakit?” tanya Shania lagi.

“Iya, sakit jiwa,” sambung Yona yang nampaknya masih kesal atas apa yang kuperbuat padanya. Aku hanya diam dan tersenyum karena aku tak ingin membuat Yona bertambah kesal kepadaku. Sementara Shania tak bisa menutupi perasaan bingung yang tergambar jelas diwajahnya.

“Sakit jiwa? Apaan sih Kak Yona? Kak Dhike? Bang Benji?” sekali lagi Shania menatap kami bertiga. Aku sendiri tak akan berkata apapun, aku tak ingin terlihat seperti membela diriku sendiri. Lagi pula jika aku yang menceritakan apa yang terjadi kepada Shania, dia akan perlahan lahan mundur karena takut kepadaku. Jadi ya, akan lebih baik jika aku diam saja.

“Ini si Ben, masa pagi pagi udah ngentotin Yona aja, pake maksa lagi,” jawab Dhike dengan santainya, bahkan tak ada ekspresi jijik atau marah diwajahnya, seperti Dhike sudah menganggap wajar apa yang kulakukan pada Yona.

Dan Shania, dia tak terlihat terkejut, atau marah, atau takut, bahkan ada tawa kecil yang pecah darinya. “Beneran kak Yona? Pagi pagi udah dikentotin sama bang Benji?” tanya Shania, kali ini tawa kecilnya sudah mulai mengembang menjadi besar diwajahnya.

“Iya,” jawab Yona singkat dan ketus.

Shania lalu mengalihkan pandangannya kepadaku, dan dia mengelengkan kepalanya sambil masih tetap tertawa. “Bang Benji, nggak ngilu ya? Semalam aja, abang ngentotin Kak Naomi sampe dia tepar.”

“Iya gue juga sampe keluar berapa kali,” ucap Dhike ikut menambahkan testimoni.

“Lah gue depan belakang,” tambah Shania nampaknya tak mau kalah.”Kak Yona nih, cuma sekali terus kabur,”

“Ya, gue kan lu paksa Shan,” jawab Yona.

“Dipaksa juga keenakan,” balas Shania.

“Enggak, enak aja,” ucap Yona yang tak mau mengakui apa yang sudah terjadi semalam, dia membuang muka tak mau menatapku ataupun Shania.

“Dasar palkon,”

“Apaan tuh kak Dhike?” tanya Shania yang mengalihkan pandangannya kepada Dhike.

“Pala kontol,”

Seketika tawa pecah diantara mereka bertiga, entah dimana Dhike mendengarnya tapi kata katanya itu berhasil membuat Yona dan Shania tertawa lepas bersamanya.Sekali lagi aku tak mengucapkan apapun, meski aku yang menjadi bahan tertawaan mereka, aku senang bisa melihat mereka tertawa. Tawa mereka itu terdengar renyah ditelingaku dan mereka terlihat jauh lebih cantik saat mereka tertawa.

“Oh iya kak Yona, kak Frieska tadi bilang dia mau numpang tidur disini sampe siang. Capek katanya dia, tuh gara gara bang Benji nggak mau berhenti.” Ucap Shania “Masa katanya bang Benji baru stop ngentotnya waktu bang Benjinya pingsan.”

Oh iya, aku ingat bagaimana itu semua berakhir semalam. Bagaimana malam indah yang aku harap tak pernah berakhir, pada akhirnya harus selasai. Mereka bertiga lalu serentak mengalihkan pandangan mereka kepadaku, aku yang tak tahu harus berbuat apa, hanya tersenyum lebar. Entahlah apa yang mereka pikirkan sekarang, lalu sekali lagi serentak mereka geleng geleng kepala dengan tawa lebar menghias wajah mereka.

“Ya udah Shan, nanti gue bawa kunci cadangan gue aja,” balas Yona.“Oh...iya, Naomi nya gimana?”

“Masih tepar dia, entah kapan bangunnya,” balas Shania.

“Gara gara si palkon nih,” ucap Yona, ekspresi wajahnya tak lagi kesal sekarang. Mungkin moodnya sudah jauh lebih baik.

Sekali lagi mereka bertiga tertawa lepas, dan sekali lagi aku hanya diam dan memperhatikan wajah cantik mereka, yang bersinar cerah saat ada tawa disana. Ya semalam itu adalah malam yang gila, aku sendiri masih setengah tak percaya. Tapi melihat mereka berdiri didepanku sekarang, itu menghilangkan keraguanku.

Baiklah, yang ingin kau tahu adalah bagaimana aku bisa melakukannya kan? Kau ingin tahu apa yang sudah terjadi sampai aku ada disini, menatap mereka bertiga tampak tak keberatan atas apa yang terjadi selamam? Kalau begitu, sekali lagi kita harus berjalan mundur kembali pada saat ini semua dimulai, kemarin.

Tak banyak yang terjadi setelah akhirnya aku mengantarkan Melody dan Frieska sampai ke apartemen mereka. Frieska bahkan tak mengadukanku kepada Melody, dia menepati janjinya untuk tutup mulut setelah aku membelikannya banyak cemilan. Mungkin sifat easy goingnya itu terlalu easy going, sehingga apa yang kulakukan padanya itu pun bisa dengan mudah dimaafkannya.

“Makasih ya,” ucap Melody masih dengan senyuman manis diwajahnya, “Fries ayo cepet,”

“Sabar atuh,” balas Frieska yang masih berusaha menurunkan cemilan miliknya dari dalam mobil.

“Kamu itu beli cemilan banyak banget, nanti radang trus nggak bisa perform,

“Ya kan makan buah juga jadi nggak apa apa.”

Perang kata kata kembali pecah antara keduanya, Frieska sepertinya sudah mendapatkan kembali moodnya untuk berdebat dengan kakaknya. Aku cukup bisa memahami kekhawatiran Melody, aku sudah sering mendengar bagaimana galaknya dia terhadap member lain. Dan sepertinya itu didasari oleh keinginannya untuk melihat semua member menampilkan yang terbaik, dan itu termasuk adiknya sendiri.

Dan Frieska, sepertinya dia hanya ingin makan banyak cemilan. Dan aku juga tak bisa membela salah satu dari mereka, aku tak ingin membuat Frieska marah dan dia tak sengaja mengatakannya, membocorkan semuanya.

“Kamu dibilangin yang bener juga, kalo besok pas request hour kena radang awas aja,” ucap Melody, kali ini dengan meninggikan nada suaranya.

Dan itu nampaknya tak terlalu disukai Frieska, air mukanya berubah menjadi kesal. Entah itu karena nada suara atau apa yang diucapkan Melody soal request hour. Apapun itu, aku harap Frieska mampu menahan emosinya.

“Tahun kemaren aja cuma dapat sedikit lagunya,” balas Frieska, tatapannya nampak menyala menatapku dan Melody.

Oh...aku tak suka bagaimana ini mungkin berlanjut.

“Walau pun sedikit, kamu kan harus tetap maksimal tampilnya.”

Oh..ayolah Mel, berhenti lah sebelum ini semua terlambat.

“Udah ah, minggir!!”

Frieska nampaknya kalah kali ini, dia berjalan masuk dengan wajah kesal meski ada setumpuk cemilan ditangannya. Melody ingin langsung mengejarnya, tapi dia berhenti saat menyadari aku masih ada disini.

“Maaf ya, kamu harus ngeliat aku sama Frieska berantem gini,”

“Nggak apa apa kok Mel, dah kamu nggak usah sedih gitu.” Ucapku yang mencoba menenangkannya, lalu kuhapus sedikit air mata yang jatuh di pipinya. Dari air mukanya, nampaknya Melody merasa bersalah atas apa yang baru saja terjadi. “Jangan langsung dipaksa dia nya, biarin sendiri dulu.”

Mungkin itu tadi terdengar manis, tapi aku hanya tak ingin Melody mengejar Frieska yang marah, dan Frieska tak sengaja mengatakan semuanya. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri saat ini,yang kubungkus dengan kepura-puraan yang manis.

“Iya, aku bakalan biarin dia sendiri dulu. Baru nanti, aku ajak dia ngomong,”

Baguslah nampaknya Melody percaya akan kepura-puraan yang kuberikan, dia hapus sisa sisa air matanya lalu berusaha untuk tersenyum. Aku rasa aku sudah menyelamatkan diriku untuk kali ini, meski ada sedikit rasa bersalah yang muncul saat nampaknya sekali aku memanfaatkan perasaan yang mungkin Melody miliki untukku.

“Ya udah, aku balik dulu ya,” ucapku berpamitan.

“Tunggu,” ucap Melody yang menahan tangan kananku.”Cium dulu,”

Melihat wajah Melody yang malu malu membuatku merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan padanya. Aku yang berpura pura bersikap manis didepannya hanya untuk menutupi kesalahan yang aku lakukan. Aku yang memanfaatkan perasaan yang mungkin dia miliki untukku, aku bahkan tak pernah serius dengan ini semua. Aku merasa jahat kepadanya.

“Ayo nanti ada yang liat,” ucapnya lagi.

Aku mendekat dan kucium kedua pipinya, tapi itu tak membuat Melody melepaskan tangan kananku, dan ekspresinya juga tampak memburuk.

“Kok dipipi sih,”

“Trus?”

“Disini,” ucapnya dengan jari telunjuk yang diletakan dibibirnya yang kemerahan.

“Kalo ada yang liat gimana?”

“Makanya cepetan,” jawab Melody yang nampaknya tak sabaran, dia sudah mendekatkan wajahnya dengan wajahku, meski dia harus menjijit tinggi.

Ya sudahlah, satu ciuman seberapa buruk apa yang bisa terjadi.

Aku pun mengalungkan tangan kiriku dibelakang kepalanya, lalu kucium bibir merah mudanya itu. Terasa lembut dan aku membiarkan diriku tengelam didalamnya, rasa manis yang kurasa juga membuatku bersyukur aku bisa merasakannya.

Tapi, sesuka apapun aku dengan rasa bibirnya, semanis apapun itu kurasa, aku harus menghentikannya. Aku tak ingin sesuatu yang terjadi, aku tak ingin ada yang melihat ini semua. Sehingga aku pun melepaskan ciuman dari bibirnya.

“Udah kan?”

“Takut ya? Takut ketahuan?” tanya Melody, kali ini dengan ekspresi jail diwajahnya.

“Udah ah, aku balik dulu.” ucapku yang berjalan pergi meninggalkannya.

“Love you,”

Aku tak menjawab, aku tak bisa. Aku pun berbalik dan hanya tersenyum sebelum aku berjalan pergi meninggalkannya. Aku pun pulang dan kembali ke apartemenku, untuk beristirahat tapi hariku tak berakhir secepat itu. Berdiri didepan apartemenku, berdiri orang terakhir yang ingin kulihat di dunia ini. Tidak, bukan Viny, Ayahku.

What the fuck you doing here, piss off,” bentakku diwajahnya.

“I just wanna talk,”

“Go fuck away before i fucking you, you piece of shit.”


Aku punya seluruh alasan di dunia untuk membenci Ayahku, aku punya semua hak untuk menyuruhnya pergi dan tak kembali dalam hidupku. Untuk memulainya, dia meninggalkan Ibuku untuk wanita lain, dari apa yang kutahu, dia sering berganti ganti pasangan dan Ibu hanya persinggahan sementara baginya sebelum tidur dengan wanita lain, dia bahkan tak datang ke pemakaman Ibuku. Aku memang mungkin seorang sampah atas semua yang telah akulakukan, tapi mungkin karena aku terlahir dari benih seorang sampah sepertinya, aku menjadi seperti ini.

“I’m still your Father no matter what Ben,”

Aku yang tak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulutnya, memutuskan untuk melayangkan pukulanku dan itu mendarat tepat diwajahnya, cukup kuat untuk membuatnya terjatuh.

“Fuck off, and go fuck yourself!!!” teriakku ditelinganya.

“I’m dying son, i got a fuckin’ cancer,”

“I don’t give a fuck, go.”


Aku tak peduli apa yang terjadi kepadanya, dia meninggalkan aku dan Ibu untuk mati membusuk sendirian. Dan jika sekarang badannya membusuk, itu seperti sebuah karma yang pantas dia dapatkan.

“Please...son,”

Dia mencoba menahan kakiku, tapi rasa benci yang kupunya kepadanya itu sudah terlalu dalam. Aku tendang dia, tapi dia berpegang erat pada kakiku.

“One last time, please, one last dinner and i will fuck off and die alone.”

Aku mencoba melepaskan kakiku, tapi dia berpegang begitu erat hingga aku tak bisa melepaskannya.

“One fucking dinner, and if i ever see you again. I....will...kill...you, before whatever cancer you got do it.”

“Yes...Friday night, i’ll come,”

“Whatever,”


Setelah setuju dengan permintaannya, dia akhirnya mau lepaskan kakiku dan aku pun masuk ke dalam apartemenku. Aku tak tahu bagaimana dia bisa tahu alamatku, tapi bertemu dengannya membuat perasaanku buruk. Aku memutuskan untuk menghabiskan satu botol bourbon sebelum memutuskan untuk pergi tidur.

Setelah beberapa jam, aku terbangun oleh sebuah panggilan telpon, dan itu dari sebuah nomor yang tidak aku kenal.

“Halo...”

“Halo bang Benji,”

“Siapa?” tanyaku, yang meski seseorang diujung telpon itu mengenalku, aku masih belum tahu siapa dia.

“Ini calon adik ipar, adiknya mba Imel, Frieska..Frieska,”

Oh....baiklah, nampaknya tak hanya nama, nampaknya semua member jeketi tahu nomor telponku. Kenapa tidak? Mungkin saja semua member jeketi juga tahu ukuran celena dalamku. Jadi aku tak akan mau repot repot bertanya bagaimana Frieska tahu darimana dia mendapatkan nomor telponku.

“Iya Fries, kenapa?”

“Gini, bisa jemput di FX nggak? Mobilnya kak Yona mogok nih, jadi aku, kak Naomi, Shanju, kak Yona, sama Dhike nggak bisa pulang,”

“Dhi...ke?”

“Iya, kami mau nginep di tempatnya kak Yona, Dhike juga mau ikut rencananya, tapi ya gini nggak bisa pulang karena kak Yona lupa ngecheck ke bengkel. Maklum penyakit orang tua.”

“O....K,”

Thank you ya, cepet udah pada rusuh nih anak anak,”

“Iya,”

Well...well...well....begitu lah semuanya, bagaimana malam panjangku akan dimulai. Sebuah panggilan telpon tak terduga dari Frieska, harus kuakui awalnya aku setuju untuk menjemputnya karena aku ingin bertemu lagi dengan Dhike. Aku tentu tak pernah berharap dengan apa yang terjadi selanjutnya, jadi ya waktu itu pergi hanya dengan keinginan bisa bertemu dengan gadis pertama yang membuatku jatuh ke fandom ini.

Aku putuskan hanya menganti pakaianku saja, karena tak ingin membuat para gadis itu menunggu terlalu lama. Dan sepertinya semesta mendukung karena aku hampir tak menemui hambatan dalam perjalananku menuju FX Sudirman, hingga akhirnya aku melihat para gadis yang sudah menungguku.

Mereka semua tampak cantik meski tanpa seifuku yang mereka kenakan saat kulihat mereka tampil. Shania memakai celana kargo berwarna hitam yang dipadukannya dengan kaos lengan panjang yang berwarna senada, lalu Naomi yang mengenakan rok terusan berwarna coklat dengan kemeja yang juga berwarna coklat namun lebih gelap, Frieska dengan kemeja flanel klasik merah hitam dan jeans biru, sedangkan Yona memutuskan untuk memakai memakai kemeja putih dengan kardigan biru muda yang dipadukan dengan rok hitam yang sedikit diatas lutut, dan Dhike, dia nampak menawan dengan rok panjang berwarna hitam dan kaos lengan panjang berwarna merah maroon, rambutnya juga jauh lebih panjang sekarang. Mereka semua membuat daguku jatuh karena terpesona, dan aku menghabiskan beberapa detik hanya untuk memandangi mereka saja.

“Oi bang Benji....kok bengong,” ucap Shania, yang membuatku tersadar dari lamunanku.

“ Ngelamun jorok ya?” tanya Dhike.

“Hush...pacarnya bu GM nih, jangan digangguin.” Ucap Frieska yang kurasa membuat semuanya lebih buruk.

“Udah ayo masuk,” ucapku yang berusaha menyelamatkan diri dari pembicaraan mengarah kearah yang tak kuinginkan.

Setelah memperdebatkan posisi duduk, akhirnya kelima penumpangku naik dan perjalanan bisa kami mulai. Yona berhasil memenangkan perdebatan untuk duduk dikursi depan, dengan argumen kemenangan bahwa dia lah yang akan menunjukan jalan kepadaku. Dhike protes dan mengatakan bahwa mereka semua tahu arah kost-kostan Yona, karena mereka semua pernah menginap disana. Tapi akhirnya Yona tetap berjaya dengan mengatakan sebagai pemilik tempat yang akan dituju, dia lebih berhak untuk menunjukan jalan. Sehingga keempat gadis yang lain harus rela berbagi tempat duduk di kursi belakang, yang harus kuakui tak cukup besar.

Suasana membaik setelah mereka memutuskan untuk bernyanyi, dan tertawa lepas disela sela lagu yang mereka nyanyikan. Aku ingin sekali bergabung, akan tetapi aku tak punya cukup pengetahuan untuk lagu lagu Korea yang mereka nyanyikan. Aku hanya bisa mendengarkan saat para gadis itu bernyanyi sepanjang perjalanan. Setelah satu jam, akhirnya kami sampai di tempat tujuan dengan selamat. Lalu keberuntunganku juga menjadi semakin baik, saat hujan menguyur dengan derasnya dan listrik padam. Para gadis pun memintaku untuk tinggal sampai listrik kembali menyala karena hari yang sudah mulai gelap, tentu saja aku menyetujuinya.

Kamar Yona cukup besar dengan sebuah kasur type kingsize yang tampak lucu dengan bedcover bertema kerokeroppi. Naomi dan Frieska langsung berganti dengan piyama putih putih, sementara para gadis yang lain sibuk dengan cemilan dan ponsel mereka. Aku juga mencoba menyibukkan diri dengan mengcheck timeline twit**terku, dan aku melihat Yona membagikan beberapa foto bersama Shania dan Dhike dan mengirim cuitan yang mengatakan bahwa mereka semua sedang mengatakan acara menginap di tempatnya. Rasanya sedikit lucu mengetahui bahwa aku juga sedang disini bersama mereka, sedang duduk dan memperhatikan mereka.

“Eh...main games yuk,” ajak Naomi memecahkan keheningan yang menyelimuti kami semua.

“Nggak ah, seret batre gue,” tolak Yona sembari menunjukan layar ponselnya.

“Bukan mabar, main games kayak monopoli gitu atau apa. Dari pada sepi gini, serem tau,” balas Naomi.

“Ngga punya monopoli gue, lagian gelap gini. Gimana mau main monopoli bun,” balas Yona.

“Ya apa kek gitu,” ucap Naomi yang sepertinya sangat ingin memainkan sesuatu.

“Kenapa sih bunda emangnya, kok pengen amat maen. Takut banget ya kalo sepi?” ucap Shania yang memutuskan untuk mengoda Naomi.

“Tau lo bun, masih aja penakut kalo soal gelap gelapan, sama anjing berani.” Dhike pun juga ikut mengoda Naomi, sementara aku hanya melihat mereka semua saling mengoda, sejujurnya itu menyenangkan untuk disaksikan.

“Ye..kalo anjing mah jelas bentukannya, kalo gelap gini kan beda.” Ucap Naomi membela dirinya.

Kami memang hanya diterangi oleh sebuah lampu emergency yang diletakkan diatas meja, selain itu hanya ada beberapa cahaya dari layar ponsel yang kami pakai. Ya, secara teknis aku sedang gelap gelapan bersama para gadis idola dan tentu saja apa yang bisa terjadi.

Aku yang sedari tadi memperhatikan mereka, tak sanggup menahan tawaku saat mendengar Naomi yang mencoba membela dirinya. Dan tentu saja itu membuat seluruh perhatian mereka tertuju padaku.

“Kok lu ngetawain gue si Ben?” tanya Naomi dengan wajah yang sedikit kesal.

“Nggak apa apa kok, lucu aja,” jawabku.

Mendengar jawabanku rasa kesal di wajah Naomi menghilang dan berubah menjadi senyuman yang manis.“Ya gue emang lucu sih,” ucapnya.

“Eh kak Naomi, punya kak Melody tuh, jangan digenitin.” ucap Shania.

“Iya bener, punya bu GM tuh. Ntar lu jadi trainee juga kayak Viny,” sambung Yona.

“Ih...amit amit, nggak kok gue nggak genitin Benji, Fries jangan diaduin ya,” ucap Naomi yang langsung memeluk Frieska.

“Aduin nggak ya,” balas Frieska.

Shania, Dhike dan Yona ikut memanasi suasana, ikut mengoda Naomi yang sejujurnya tak terlalu bisa kunikmati. Bukan karena aku merasa kasihan sehingga aku merasa mereka harus berhenti mengoda Naomi, aku tahu mereka hanya bercanda dengannya, aku hanya tak bisa menikmatinya karena pikiranku terpaku pada satu nama, Viny.

Dari Viny lah ini semua dimulai, dan aku kembali teringat bagaimana dia marah dan meninggalkanku setelah kejadian waktu itu. Aku mungkin belum mengerti dengan semua perubahan sikapnya, tapi aku merasa hatiku terikat padanya, aku masih memikirkan bagaimana dia marah kepadaku saat aku tak sengaja mungkin saja menghamilinya.

“Oi...ikut nggak?”

“Hah? Apaan?” tanyaku saat Dhike yang duduk disebelahku bertanya kepadaku dan aku yang tak mendengarkannya mencoba memastikan apa yang dia tanyakan, tak hanya dia, tapi mereka semua memandangiku. Aku rasa, aku sudah melamun terlalu lama hingga aku tak sadar mereka memutuskan untuk memainkan sesuatu, dan mereka mengajakku untuk bergabung.

“Ini mau main truth or dare pake botol, lo mau ikut nggak?” tanya Dhike sekali lagi, dia juga menunjuk botol kaca yang sudah ada ditengah lingkaran. Tunggu sejak kapan kami semua duduk melingkar?

“Ya, ya boleh,” jawabku, ya apa yang mungkin bisa terjadi dari sebuah truth or dare?

“Eh tunggu dulu,” ucap Frieska.”Pake jaminan dong, biar nggak bisa kabur,”

“Kok pake jaminan segala? Nggak mau ah gue,” ucap Yona.

“Biar seru gitu kak Yona, entar kalo nggak pake jaminan nggak mau jujur ato ngelakuin tantangannya,” balas Frieska.

“Ya nggak usah pake jaminan juga, percaya aja napa?” ujar Yona untuk membalas argumen Frieska.

Perdebatan pun mulai terjadi diantara mereka, Frieska tetap bertahan dengan argumennya untuk harus adanya jaminan sebelum permainan dimulai. Yang lain, yang dipimpin oleh Yona menolak untuk adanya jaminan tersebut. Dan jika kau pikir dengan kalah jumlah Frieska akan menyerah, tidak kau salah, dia tetap bertahan, dan yang mengejutkan dia menang. Frieska berdiri sendirian dan berhasil membuat keempat gadis yang lain setuju untuk menyerahkan dompet dan ponsel mereka sebagai jaminan sebelum permainan dimulai. Aku sendiri, aku setuju setuju saja karena aku tak pernah keberatan dengan ide Frieska itu dari awal.

“Jadi, siapa duluan nih?” tanya Frieska kepada yang lain, mereka yang wajahnya masih terlihat masam. “Ya udah, gue jalan duluan.”

Permainan pun dimulai dengan Frieska memutar botol yang berada ditengah lingkaran, semua orang menatap tajam pada botol tersebut, dan itu berhenti pada Yona.

“Lah kok gue sih,” protes Yona. Dia yang nampaknya paling tak menyukai permainan ini.

“Udah ah kak Yona protes terus, capek tau dengarnya,” balas Frieska, dan Yona pun mengatupkan bibirnya, sepertinya juga membatalkan niatnya untuk kembali protes.

“Udah, Frieska, Yona juga. Kan niatnya cuma happy happy doang, jangan berantem terus,” ucap Naomi yang nampaknya tak suka melihat perdebatan antara Frieska dan Yona. Dia memberikan tatapan galak yang mengacam, mungkin untuk menunjukan keseriusannya.

“Dah..dah, sekarang kak Yona milih truth ato dare?” tanya Shania kepada Yona yang duduk disebelahnya.

Yona terlihat ragu, dia meletakkan jarinya dibibir, nampaknya sedang berpikir keras. Aku dan yang lain pun menatap Yona, menunggu jawaban apa yang dia berikan.

“Ya udah gue pilih truth,” jawab Yona.

“OK truth ya? Jadi kak Yona harus jawab jujur ato nggak barang barangnya nggak bakal dibalikin,” ucap Frieska meninggatkan lagi tentang jaminan yang diajukan sebelumnya.

“Iya,iya gue paham.” Balas Yona yang tak terlalu antusias.

“ Jadi pertanyaannya, kak Yona udah pernah ciuman?” tanya Frieska.

“Udah,” jawab Yona santai.

“Sama siapa?” tanya Frieska lagi.

“Eitss..kan satu pertanyaan doang,” ucap Yona, dia nampak tersenyum penuh kemenangan saat melihat ekspresi Frieska yang sadar bahwa yang diucapkannya itu benar.

“Dah...dah ayo lanjut, siapa lagi nih? Kak Dhike lagi kan?” tanya Shania, yang hanya dibalas Dhike dengan sebuah anggukan. Dhike pun memutarkan botol yang ada ditengah dan botol itu berhenti tepat didepanku.

“Nah Ben, truth or dare?” tanya Dhike yang dari senyuman diwajahnya, nampaknya cukup senang dengan berhentinya botol itu didepanku.

Dare aja dare,” ucap Yona yang mencoba memanaskan suasana, sepertinya sekarang moodnya sudah jauh lebih baik.

“Ya udah, gue pilih dare,” jawabku.

And here is my friend, this is the point where the fun begin.

“Kalo gitu buka kaos lo,” perintah Dhike.

“Bu...buka kaos?” tanyaku mencoba memastikan.

“Iya, kata Frieska perut lo kotak kotak, pengen liat gue,” jawabnya.

“Fries...” ucapku sambil memberi tatapan kesal kearah Frieska, dan dia pun membuang muka menghindari tatapanku.

Sejujurnya aku tak keberatan sedikit pun untuk membuka kaos yang kupakai, jika mereka mau, aku juga akan membuka seluruh pakainku, meski begitu, aku tak boleh kelihatan senang untuk melakukannya. Aku harus menyembunyikan kebejatanku selama mungkin didepan mereka, aku ingin menjaga kesempatan yang mungkin aku punya dengan mereka semua.

Setelah aku melepas kaos yang kukenakan, permainan pun berlanjut dengan aku melakukan giliranku untuk memutar botol yang ada ditengah lingkaran. Setelah beberapa saat putaran itu melambat dan sekali lagi itu berhenti dan mengarah ke Yona.

“Kok gue lagi, nggak ah curang, Ben putar lagi,”

“Nggak bisa gitu dong kak Yona, kalo berhentinya didepan kak Yona, berarti kak Yona harus milih lagi, truth or dare,” ucap Shania yang menyangah protes yang diberikan Yona.

“Bener tuh,” tambah Naomi yang duduk disebelah Shania.

“Udah pilih aja napa, lama nih,” ucap Dhike yang menjadi orang ketiga yang membalas ucapan protes Yona.

“Iya..iya, gue pilih truth, puas?” setelah mengucapkan itu, Yona memberikan sebuah tatapan singkat kepadaku, yang meski sebentar bisa kuartikan jelas sebagai sebuah tatapan penuh kekesalan.

Aku tahu, aku tak seharusnya membuat Yona bertambah marah kepadaku. Tapi berhubung aku bisa menanyainya apapun, dan masih ada satu hal yang membuatku penasaran, aku pun menanyainya hal yang seharusnya tak kupertanyakan.

“Sama siapa?”

“Sama siapa apanya?” tanya Yona, dia nampak terganggu karena mungkin dia mengetahui arah pertanyaanku.

“Ciuman pertama lu?”

Yona menatapku tajam, aku tahu, aku tak seharusnya mempertanyakan hal pribadi seperti siapa ciuman pertamanya. Tapi, rasa penasaranku lebih besar daripada logika yang berjalan didalam kepalaku.

“Irfan,” jawabnya. Aku ingin bertanya lebih jauh soal itu, tapi aku teringat bahwa aku hanya bisa menanyakan satu hal.

“Giliran gue lagi kan?” sekarang Yona sudah memegang botol kaca itu dan tatapannya itu, jelas sekali dia masih marah atas pertanyaanku.

Aku mengangguk kepalaku sebagai jawaban, dan Yona dengan sedikit senyuman diujung bibirnya memutarkan botol yang ada ditangannya. Aku tahu Yona marah kepadaku, itu tergambar jelas diwajahnya, yang tidak kutahu adalah Yona berniat membalasku saat itu juga. Dia putarkan botol itu sepelan mungkin untuk memastikan itu berhenti didepanku, dan dia tak bisa menutupi rasa senang diwajahnya.

“Truth ato dare? Cepet jawab,”

“Truth,” jawabku.

Saat itu, aku berpikir bahwa dengan membiarkan Yona bertanya balik kepadaku situasinya akan membaik karena Yona bisa membalaskan apa yang membuatnya marah kepadaku. Dengan begitu kami bisa melanjutkan permainan kecil kami dengan mood yang jauh lebih baik. Tapi itu tidak membuat semuanya lebih baik.

“Jadi Ben, jawab jujur siapa cewek pertama yang ngentot sama lo?”

“Kak Yona kok pertanyaannya kayak gitu, jorok ah,” protes Shania, tak hanya dia tetapi yang lainnya terkejut mendengar pertanyaan Yona.

“Tau lu Yon, kok jadi jorok gini.” Ucap Dhike yang ikut protes.

“Ya kan nggak ada peraturannya, jadi bebas bebas aja dong,” balas Yona. “Udah Ben jawab,”

Aku melihat kepada yang lain, Dhike dan Shania mengelengkan kepalanya nampak tak setuju untuk aku menjawab pertanyaan Yona. Frieska nampak tak terlalu keberatan, karena dia hanya memandangku biasa saja. Dan Naomi, dia lebih memilih memeluk Shania.

“Udah jawab, kan lu milih truth,” perintah Yona.”Tadi lu nanya, gue jawab.”

Dari tatapan matanya, aku yakin Yona tak akan mau mendengar jawaban tidak. Lalu apakah aku harus jujur? Aku dapat membayangkan reaksi yang akan kuterima saat mereka mendengar nama Viny kuucapkan. Mungkin sebaiknya aku berbohong saja.

“Ayo jawab!!!”

“Viny,”

F......U.....C.......K.

Teriakan Dhike yang tiba tiba ditelinga kiriku membuatku terkejut dan tak sengaja menyebutkan nama Viny. Ekspresi semua orang berubah menjadi bingung dan terkejut sekarang, senyuman kecil yang sempat merekah pada bibir Yona pun sudah lenyap.

“Viny? Maksudnya Viny jeketi?”

“Kok lu bisa? Ben lu nggak becanda kan?”

“Ben, Jawab!!”

Help me,

Seluruh mata yang ada di ruangan ini menatap kearahku, dan ekspresi mereka semua sama, terkejut dan tak percaya. Aku tak sengaja menyebutkan nama Viny dan sekarang aku terjebak dengan masalah besar, yang mungkin tak kualami, jika aku tak gampang terkejut.

“Viny? Maksudnya Viny jeketi?”

“Kok lu bisa? Ben lu nggak becanda kan?”

“Ben, Jawab!!”

Mereka baru saja melanggar peraturan permainan Truth or dare ini, aku memang memilih truth sebelumnya, tapi seharusnya hanya boleh satu pertanyaan untuk setiap giliran. Yona sendiri yang berkata seperti itu, karena itulah aku hanya mengajukan satu pertanyaan kepadanya.

“Jawab Ben, siapa Viny yang lo maksud?” tanya Dhike, dia lah yang berteriak ditelingaku tadi dan membuatku tak sengaja menyebutkan nama Viny. Bisa dibilang dia lah penyebab aku terjebak dalam situasi mengerikan ini.

“Beneran Viny jeketi bang?” ucap Frieska yang ikut bertanya. Adanya dia membuatku sadar bahwa aku tak bisa jujur kepada mereka semua, aku sedang terjebak hubungan yang rumit dengan kekaknya dan itu tak butuh Viny untuk membuatnya semakin kusut.

“Bukan,” jawabku.

“Seriusan, lu nggak bohong kan?” tanya Yona, dia nampak tak kalah antusias terhadap ini semua.

“Emang yang punya nama Viny cuma satu doang? Temen SMA gue dulu namanya juga Viny, nah dia itu yang gue maksud, cewek pertama yang mau gituan sama gue,” aku mengucapkan itu semua dengan wajah sedatar mungkin, berusaha menutupi rasa gugup yang mengalir deras diseluruh tubuhku.

“Iya emang nama Viny itu nggak cuman Viny yang ada di jeketi doang, tapi masa iya lu punya temen yang namanya sama dengan member jeketi. Trus temen lu itu cewek pertama yang....”

“Nggak usah curigaan gitu kali, kebetulan doang itu mah. Nama Naomi aja banyak,” ucapku mencoba untuk menyakinkan Naomi dan keempat gadis lain yang sedang menatapku.

“Ya tapi kebetulan banget gitu,” ucap Naomi yang nampaknya masih belum yakin dengan jawabanku.

“Ya mau gimana lagi, emang gitu kenyataannya,” balasku.

Jujur saja, jika aku bisa memahami Viny dan semua perubahan sikapnya itu, maka aku akan dengan senang hati mengakui bahwa memang benar Viny adalah gadis pertama yang tidur denganku. Itu akan menjadi sebuah pencapaian terbesarku sebagai seorang wota, tidur dengan member JKT48, itu mimpi yang jadi nyata. Tapi aku tak bisa, tidak dengan Viny yang kutahu mungkin berbuat apa saja. Jika aku mengakuinya, dan jika salah satu dari mereka menanyakan kebenarannya kepada Viny, siapa yang tahu hal buruk apa yang akan Viny lakukan kepadaku atau salah satu dari mereka.

“Ya kali gue bisa tidur dengan Viny, gue kan wota, udah sombong banget gue kalo bisa ngawe dengan member,”

UHUKKK

Itu datang dari Frieska dan sepertinya dia tak suka dengan apa yang kuucapkan, itu tergambar jelas di pandangannya yang seperti mengatakan, “Gue aduin mba Imel ya lu ngomong giu”, aku tak benar benar ahli mengartikan maksud pandangan seseorang, tapi aku cukup yakin dengan maksud pandangan Frieska kepadaku.

Aku pun mengambil ponselku dan mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Frieska yang berisi “Please jangan aduin gue, gue cuma nggak mau yang lain mikir kalo Melody itu cewek gampangan yang mau mau aja tidur sama cowok kayak gue. Please, ntar gue beliin apapun yang lu mau,” sekali lagi Frieska menatapku, seperti ingin memastikan benarnya ucapanku dengan menatap tepat ke kedua bola mataku. Cukup lama, hingga akhirnya Frieska membalas dengan anggukan penuh arti yang berarti dia setuju dengan proposal yang kuajukan.

“Udah pensiun kali ya lu bang? Udah pernah liat yang lebih soalnya,” ucap Shania, yang dia ucapankan dengan tawa kecil diwajahnya.

“Hahaha...bener lu Shan, kalo udah pernah liat yang nggak pake seifuku, mana mau lagi ngeliat yang masih pake seifuku di theater,” ucap Naomi yang menyetujui omongan Shania.

Beberapa menit selanjutnya diisi oleh candaan bolak balik mereka tentang apa yang akan kulakukan dan apa yang mungkin terjadi jika memang benar aku telah tidur dengan salah satu member JKT. Nampaknya alasanku itu cukup bagus karena mereka mengolok olok nya, sesuatu yang mungkin terlalu mustahil bagi mereka, tapi tak apa, baguslah, dengan begitu mereka tak akan memikirkan lagi tentang Viny yang menjadi gadis pertama yang berhubungan badan denganku.

“Ya udah, siapa lagi?” tanyaku saat deru tawa yang akhirnya mereda.

“Gue dong,” jawab Shania. Dia pun mengambil botol yang ada di tengah lingkaran dan memutarnya, dan itu berhenti pada Frieska. “Truth or dare?”

Dare aja, ntar gue ditanya yang jorok jorok juga sama kak Yona,” jawab Frieska.

“EIII...enak aja,” ucap Yona membela dirinya.

“Ya udah, apa ya.”

Shania nampak bingung menentukan apa yang ingin dia tantang Frieska untuk lakukan, lalu Naomi yang duduk disebelahnya pun membisikan sesuatu kepada Shania. Awalnya Shania nampak tak setuju, tapi setelah satu bisikan lagi dari Naomi, Shania mengangguk.

“Apa tuh Bunda, nyuruh yang aneh aneh ya?” tanya Frieska, yang sepertinya khawatir dengan ide yang Naomi bisikan kepada Shania.

“Nggak kok, nggak aneh aneh,”

“Bohong,”

“Bukan apa apa, suer,” balas Naomi sambil mengangkat kedua jarinya yang membentuk huruf “V”.

“Udah, kak Frieska tantangannya harus nyium bang Benji,” ucap Shania.

O.......K...... aku tak mengharapkan hal itu, entah apa yang Naomi pikirkan saat membisikan Shania ide itu, tapi aku bersyukur dia melakukannya.

“Nyium bang Benji, enakan dia dong,” protes Frieska, dia menatapku dengan tajam, mungkin mengira aku ada hubungannya dengan tantangan yang Shania berikan, lalu dia memberikan tatapan yang sama kepada Naomi.

“Udah kak Frieska, nggak pake tapi tapi.” Ucap Shania.

“Ayo Fries, tadi kan lu yang bilang harus mau, kalo nggak barang barang lu nggak dibalikin,” tambah Yona yang pada awal permainan tadi tak setuju dengan ide jaminan yang diajukan Frieska, nampaknya sekarang dia ingin membuat Frieska menyesal sudah mengajukannya.

“Tapi kan....”

“Ya udah kalo Frieska nggak mau, berarti barang barangnya buat kita, lumayan guys buat belanja belanja,” sekarang Dhike ikut ambil bagian, nampaknya dia hanya ingin mengerjai Frieska karena dia terus saja memasang senyum dan tawa kecil diwajahnya.

“Jangan dong, belum gajian nih.” Ucap Frieska yang berusaha mempertahankan dompet dan ponselnya.

“Ya udah cium aja kenapa?” tanya Naomi yang punya ide ini dari awal.

“Tau cium aja napa,” tambah Yona yang sedari tadi menjadi kompor yang terus memanaskan suasana.

“Iya...iya gue cium,” ucap Frieska, yang jujur saja membuatku tersenyum simpul saat mendengarnya.

“Di bibir,” ucap Naomi dari yang sudah bersembunyi dibalik punggung Shania.

Para gadis yang lain tak dapat menyembunyikan tawa mereka saat melihat Frieska nampak begitu tak nyaman untuk menciumku. Jujur saja aku kira aku tak seburuk itu, mungkin wajahku masuk dalam golongan tampang pas-pasan tapi paling tidak itu bukan wajah terburuk untuk kau cium. Tapi Frieska nampak begitu tersiksa, dia bahkan berusaha tak menatap wajahku saat dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Ciee....Benji dicium member,”

“Suit...suit....”

“Wah skandal nih,”

“Kalo kesebar turun jadi trainee juga nggak nih,”

“Nggak lah, kan adiknya GM.”

Dan yang lain, mereka semua tak membantu, mereka bahkan memperburuk suasana.

“Skandal, skandal, Swallow tuh skandal,”

“Sandal,” balas mereka serentak padaku.

Aku tatap Frieska, dan dia nampak begitu tak nyaman dengan ini semua. Aku tak tahu apakah ini ciuman pertamannya, tapi jika itu benar, aku tak ingin ini menjadi pengalaman yang akan dibencinya, jadi kurasa, aku akan membantunya.

“Eh...apaan,” ucap Frieska yang kaget saat aku mengalungkan kedua tanganku dilehernya.

“Yang penting kita ciuman kan?”

Frieska menangguk, nampaknya dia mengerti apa yang ingin aku lakukan.

“Kalo gitu nggak masalahkan kalo gue yang nyium lu?”

Frieska mengangguk sekali lagi, lalu dia tutup matanya, menungguku untuk memulainya. Lalu kudekatkan wajahku, menghilangkan sisa jarak yang ada antara kami berdua. Sedikit kumiringkan kepalaku, lalu dengan perlahan, kusentuhkan bibir kami berdua. Perlahan kucium bibirnya, aku lakukan perlahan karena aku ingin dia menikmatinya.

Itu terasa lembab, dan ada rasa cherry disana, sepertinya itu rasa lipbalm yang dipakainya. Kupertahankan cukup lama, ciuman kami berdua, hingga itu berakhir karena kami kehabisan napas. Entah apa yang terjadi, tetapi mereka semua terdiam dengan ekspresi tak percaya ada diwajah mereka. Nampaknya ciumanku lah yang membuat rasa terkejut yang ada diwajah mereka. Kualihkan pandanganku pada Frieska, dan dia juga punya ekspresi yang sama.

“Udah siapa lagi?” tanyaku kepada mereka semua, tapi tak ada jawaban yang kudapat. “Siapa lagi,” ucapku, kali ini dengan nada yang lebih keras dari pada sebelumnya.

“Kak...kak Naomi,” jawab Shania yang pertama kali sadar.

“Iya, ayo lanjut,” tambah Dhike yang masih belum bisa melepaskan pandangannya dariku.

Naomi sendiri butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk kembali, setelah beberapa sikutan dari Shania, akhirnya dia kembali dan melaksanakann gilirannya dan memutar botol yang ada di tengah lingkaran. Setelah beberapa saat putaran botol itu melambat, botol itu kembali mengarah kepada Naomi.

“Gue ya? Kalo gitu gue dare diri gue sendiri buat nyium Benji,”

Wow.....that’s a suprised, but a welcome one indeed.

“Enak aja nggak boleh gitu, yang nentuin darenya itu kami, bukan lu,” balas Yona membatalkan dare yang diberikan Naomi untuk dirinya sendiri, dan Naomi nampak sedikit kecewa karena tahu Yona benar.

“Ya udah terserah,” balas Naomi singkat, dari ekspresi kecewa diwajahnya itu membuatku berpikir sebanyak apa dia menginginkan bibirku.

“Kalo gitu dare nya kak Naomi harus ngerayu bang Benji buat mau nyium kak Naomi,” ucap Frieska yang kuyakin mengatakannya untuk balas dendam pada Naomi atas dare yang dia dapatkan sebelumnya, yang cukup aneh karena aku yakin dia cukup menikmatinya.

“Ngerayu doang? Nggak...”

“Ngerayu doang,” potong Yona.

Aku merasa sedikit kecewa kehilangan kesempatanku untuk bisa menyium Naomi, karena Naomi adalah salah satu member yang sering mengisi fantasi malamku. Ya sudahlah, apa yang bisa kulakukan. Aku pun menatap Naomi dan berusaha menyembunyikan kekecewaanku karena tak dapat merasakan kelembutan bibirnya.

Naomi menatapku dengan tatapan mata dan senyum sinis miliknya itu, ekspresi wajah yang begitu kuat yang cukup untuk membuatku membayangkan melakukan hal hal yang akan membuatnya berteriak penuh kenikmatan. Oh Naomi, i wanna fuck you so bad now.

“Benji....” panggil Naomi yang kuyakin dilakukannya dengan setengah mendesah.

“Ya,”

“Gue mau....bibir lo, disini,” ucapnya dengan jari telunjuk berada dibibir, masih dengan tatapan mata yang tajam, masih dengan senyuman yang seakan mengundangku untuk berbuat nekat. Satu rayuan, dan itu cukup membangkitkan napsuku.

“Nggak usah napsu gitu bang Benji, serem ah.”

“Nggak, nggak kok. Ayo lanjut,” Aku harus menarik napas dalam dalam setelah apa yang Shania ucapkan padaku, meski itu benar, aku tak bisa membiarkan para gadis ini mengetahuinya, lalu lari karena ketakutan.

Permainan pun berlanjut sesuai dengan masing masing dari kami mengambil giliran untuk memutar botol dan melaksanakan truth or dare. Tak terlalu banyak yang terjadi, selain tanya jawab tentang hal hal memalukan antara kami satu sama lain, hanya ada beberapa dare biasa untuk dilakukan dan yang terbaik adalah aku hanya memakai celana dalamku sekarang. Dhike memintaku untuk melepaskan celana yang kupakai sebagai dare untuk kulakukan, dan aku dengan senang hati melakukannya.

Dare nya lu harus buka kaos yang lu pake,” ucapku saat Dhike memilih untuk melakukan dare.

“Nggak ah gila lu,” balasnya.

“Lu nyuruh gue buka kaos sama celana gue mau, ya kalo emang lu nggak mau berarti barang barang lu buat kita,”

Sejujurnya setelah rayuan yang Naomi berikan kepadaku, napsuku terus saja naik dan aku ingin melampiaskannya. Tentu aku tak bisa begitu saja meminta Dhike atau yang lain untuk berhubungan badan denganku, aku harus melakukannya secara perlahan lahan hingga akhirnya aku bisa tidur dengan salah satu atau mungkin mereka semua.

“Udah ah si neng buka aja,” ucap Frieska, dia mungkin ingin memanas-manasi Dhike untuk melakukan dare yang aku berikan.

“Masa pake buka buka baju,”

“Gue aja disuruh ciuman tadi mau, masa cuma buka kaos doang nggak mau,” balas Frieska lagi.

Aku tak tahu apa yang terjadi tapi aku menyukai apa yang Frieska lakukan, entah sadar atau pun tidak tapi dia telah membantuku untuk melaksanakan niatku untuk bisa tidur dengan salah satu atau mereka semua.

“Iya...iya...tapi Benji hadap sana dulu,” ucap Dhike, dia nampak sedikit kesal saat mengucapkannya.

Aku pun melakukan apa yang Dhike perintahkan dan mengalihkan pandanganku ke lain arah, dan memutuskan untuk menatap Naomi yang tersenyum padaku. Dhike hanya memakai bra putih yang bahkan tak bisa menutupi seluruh payudaranya saat aku berbalik. Dia berusaha keras menutupi payudara miliknya dengan kedua tangannya, dan dia nampak tak terlalu suka dengan apa yang terjadi padanya.

“Dah kan puas? Ayo lanjut,” ucapnya, dia mungkin tak terlalu menikmati dare yang kuberikan padanya, tapi aku? Aku menikmati tiap detiknya.

“Putih bener dah anak orang,” ucap Naomi.

“Duh beruntung bener bang Benji ngeliat yang beginian,” tambah Shania.

“Apaan sih lu berdua,” balas Dhike, “Lu juga Ben, napsuan amat jadi orang,”

Well, dia tak salah soal aku yang sedang dipenuhi oleh napsu sekarang, tapi tentu aku tak akan mengakuinya.

“Lu sendiri nyuruh gue buka baju,”

“Itu kan beda,” balas Dhike.

“Udah udah jangan berantem, jadi nggak enak nanti maen nya,” ucap Frieska, dia lalu mengenggam kedua tangan Dhike dan tersenyum padanya. “Jangan marah gitu dong, cantiknya luntur nanti,”

“Ya udah, tapi awas ya Bunda sama Shania gue bales ntar,”

“Lah kok gue yang kena,”

“Tau nih kak Dhike, kok jadi main dendam dendaman,”

Setelah Dhike melepaskan kaos lengan panjang yang dipakainya, hal yang jauh lebih menakjubkan terjadi. Para gadis saling menantang satu sama lain untuk melepaskan pakaian masing masing setiap kali mereka memilih dare. Dhike lah yang memulainya, dia menantang Naomi untuk melepas kaos miliknya saat dia memilih dare, lalu Naomi menantang Frieska untuk melakukan hal yang sama, dan itu pun berlanjut hingga semua gadis yang ada di ruangan ini membuka kaos yang mereka pakai.

Sebagai satu satunya lelaki yang ada di rungan ini, aku tak pernah lebih sulit untuk menahan napsuku. Aku bisa melihat mereka berlima hanya dalam balutan celana dalam, ditambah dengan kulit putih yang membuat mereka semua jauh lebih seksi dari apa yang pernah kubayangkan.

“Gila enak banget lu Ben, bisa ngeliat member cuma pake daleman doang,” ucap Yona yang kesulitan menutupi bagian payudaranya, Yona juga ditantang oleh Frieska untuk melepas bra yang dipakainya dan dia juga menantang Frieska untuk melakukan hal yang sama, membuat mereka berdua hanya memakai celana dalam sekarang.

“Gue curiga nih guys, bang Benji sengaja nantang kak Dhike buat bukanya kaos tadi, supaya bisa ngeliat kita semua buka baju,” ucap Shania.

“Tau, jangan jangan dia pengen gituan juga sama kita, makanya kita disuruh telanjang gini,” balas Yona.

“Gituan? Maksudnya bang Benji pengen bisa ngesex sama kita gitu?”

“Ya iya lah Shan, liat aja tuh ada yang berdiri,”

“Ih...iya bener,”

Yona dan Shania pun berpelukan dan mengambil langkah mundur, yang diikuti oleh Naomi dan Dhike yang ikut berpelukan, hanya Frieska yang tetap duduk dan menatapku.

“Gue nggak nyuruh ya, gue cuma ngasih dare doang. Kalo nggak mau ya udah berarti kalah,” ucapku membela diri.

“Udah udah, masih mau lanjut nggak nih? Kalo nggak mau lanjut ya berarti yang menang bang Benji karena dia yang jalan terakhir,” ucap Frieska yang sedari tadi terus saja ada di pihakku.

Para gadis yang lain pun saling berpandangan, mereka juga berbisik kecil sambil sesekali mengalihkan pandangannya kepadaku. Sepertinya mereka sedang berdiskusi alot untuk melanjutkan permainan ini atau tidak.

“Kalo Benji yang menang dia dapat apa Fries?” tanya Yona.

“Apa ya? Jaminannya kali,”

“Waduh gimana dong? Masa barang barang gue buat Benji,”

“Ya gimana? Masih mau lanjut?” ucap Frieska yang balik bertanya.

“Ya udah lanjut aja, giliran Dhike lagi kan?”

“Iya gue lagi,”

Dhike pun melepaskan pelukannya lalu memutar botol itu pelan dan berhenti di depanku, dia melakukan persis seperti yang tadi Yona lakukan. Sepertinya itu bagian dari apa yang mereka diskusikan sebelumnya, memastikan aku lah yang harus memilih truth or dare disetiap giliran.

“Truth,” ucapku sebelum Dhike bertanya apa pilihanku. Aku tak akan melakukan dare, tidak setelah aku melihat mereka berkonspirasi melawanku.

“Ya udah, gue mau nanya, apa bener yang diomongin Yona tadi? lu pengen gituan sama kita?”

Sial..sepertinya aku memilih pilihan yang salah, mungkin seharusnya aku memilih dare saja, karena sekarang aku harus memikirkan sebuah alasan yang cukup bagus untuk pertanyaan mereka.

“Ayo jawab,” desak Yona.

“Iya ayo bang Benji harus jujur,” yang disusul oleh Shania.

Sekali lagi semua pandangan mereka tertuju padaku, aku ragu aku bisa terus membohongi mereka, karena aku sendiri pembohong yang cukup buruk. Mungkin, mungkin aku akan mencoba peruntunganku dengan menjawab jujur pertanyaan mereka.

“Iya, tapi cuma dalam khayalan gue doang. Gue memang pengen bisa gituan sama kalian, tapi gue sadar gue kan cuma wota, cuma fans biasa, jadi nggak mungkin bisa.” well, masih ada sedikit kebohongan disana, tapi sebagian besar itu adalah kejujuranku.

Mendengar jawabanku pandangan mereka pun melunak, tak lagi penuh rasa curiga seperti sebelumnya, sepertinya kejujuranku membawa kebaikan untukku.

“Ya bentar lagi kan bisa bang, kan udah pacaran sama kak Melody tinggal nikahin aja trus bisa gituan sampe puas,”

“Shania!!!!” protes Frieska.

Sorry sorry, lagian bang Benji pake acara mellow segala,”

“Gue lagi disalahin,” balasku.

Shania pun tertawa, yang diikuti oleh mereka yang lain. Kelihatannya mood mereka telah kembali, meski mereka sudah setengah telanjang sekarang. Permainan pun berlanjut dan suasana menjadi lebih panas, karena mood mereka untuk saling memberi dare melepaskan pakaian masih terus berlanjut. Hingga sekarang mereka semua telah polos tanpa sehelai benang pun, aku lah orang terakhir yang masih memakai pakaian dalamku sekarang. Pada titik ini, batang kontolku sudah memberontak dan ingin keluar dari dalam celana dalamku, dan aku harus berusaha keras menahan diriku untuk tak melompat dan memperkosa mereka semua.

“Kak Naomi pake, nggak pake baju tetap aja seksi ya? Bingung gue,” ucap Shania yang mengomentari Naomi yang akhirnya melepaskan seluruh pakaiannya.

“Punya Frieska tuh lebih gede,” balas Naomi.

“Apaan bagusan juga tetek kak Yona,”

“Ya elah Fries, semua orang juga tahu kali kalo tetek lu paling bagus sejeketi,” balas Yona saat mendengar komentar Frieska tentang payudaranya.

“Ehh..gila, ada cowok disini masih aja bahas bahas tetek,” ucap Dhike yang mengingatkan semua orang tentang keberadaanku. Aku yang sedari tadi hanya duduk diam dan menikmati nikmat Tuhan yang ada didepanku.

“Dah lanjut aja, gue tungguin kok,” balasku. Ya, jika mereka ingin, aku akan diam menunggu pembicaraan mereka hingga selesai. Aku menikmati waktuku menyaksikan mereka saling sentuh dan saling membandingkan tubuh mereka sendiri.

Naomi pun memandangku dan pandangannya turun dan tertuju pada bagian bawahku, lalu dia tertawa kecil setelah memandangi celana dalamku untuk beberapa saat.

“Buka aja itu kasihan,” ucap Naomi sambil menunjuk kearah kontolku yang sudah mengacung tinggi dari balik celana dalamku.

Mendengar ucapan Naomi, mereka semua pun mengalihkan pandangan mereka padaku dan batang kontolku. Aku hanya diam dan mencoba tersenyum, karena merasa begitu canggung.

“Iya kasihan,” tambah Shania.

“Wah..wah pengen banget tuh kayaknya,”

“Ih...kak Dhike, jorok,”

“Ya elah Shan, udah gede juga, nggak usah malu malu gitu,” balas Dhike.

Aku suka arah pembicaraan ini, dan aku juga merasa sudah sangat dekat dengan keinginanku untuk bisa merasakan seluruh tubuh mereka.

“Serius? Gue buka nih?”

“Buka aja buka, ato mau dibukain?” ucap Frieska yang aku tak yakin apakah dia sedang mengodaku atau tidak.

“Ya udah gue buka,”

Aku pun berdiri dan melepaskan celana dalamku, membebaskan batang kontolku untuk mengacung bebas tanpa halangan. Dan tak seperti dugaanku, tak ada satu pun dari mereka yang menutup mata atau membuang muka. Mereka semua menatap tepat kearah batang kontolku.

“banyak amat bulunya,” ucap Naomi yang dibarengi tawa kecil darinya.

“Iya, terus banyak uratnya lagi kayak bakso,” tambah Shania yang ikut berkomentar.

Mendapatkan komentar tentang kemaluanku dari member jeketi adalah yang tak terpikirkan olehku, terutama karena aku tak bisa memikirkan alasan mereka mau melakukannya. Tapi itulah yang terjadi, dan sekarang aku sudah tak lagi memakai berpakaian, sama seperti kelima gadis yang ada didepanku.

“Lanjut nggak nih?”

Tentu aku tak akan berhenti setelah aku bisa sejauh ini, aku akan meneruskan permainan ini dan bertaruh pada kesempatanku untuk bisa tidur dengan mereka. Aku tak tahu apakah aku masih hidup setelah berhasil berhubungan badan dengan mereka semua, tapi aku tak keberatan itu akan menjadi hal terakhir yang kulakukan sebelum menghembuskan napas terakhirku.

“Lanjut...” ucap Shania, dia pun memutar botol itu dengan penuh semangat, membuat botol itu berputar cukup cepat. Setelah menunggu cukup lama, botol itu melambat lalu berhenti dan menunjuk Shania yang tadi memutarnya.

“Lah kok gue sih,” ucap Shania yang tak percaya akan keberuntungannya.

“Udah Shan nasib lu emang, sekarang pilih truth or dare?”

“Aduh..ngeri gue kalo kak Yona yang nanya, ntar gue disuruh yang aneh aneh lagi,”

“Udah jangan banyak protes, pilih aja napa. Ayo truth or dare?” tanya Yona sekali lagi, dia nampak bersemangat untuk kali ini dan Shania terlihat tak menyukai hal itu.

“Ya udah dare, gue nggak mau ditanya macem macem sama kak Yona,”

“Ya udah sekarang lu harus ngocokin itu punyanya si Benji,”

Shania sama terkejutnya denganku, mulutnya menganga lebar lalu mengalihkan pandangannya kepadaku. Aku tak tahu kenapa Yona punya ide “menakjubkan” seperti itu, mungkin mereka semua punya pengalaman seks yang jauh lebih banyak daripada yang kukira. Mungkin saja mereka punya pengalaman yang jauh lebih banyak dari pada aku, yang baru saja merasakan nikmatnya ini semua beberapa hari yang lalu.

“Nggak mau!!!” protes Shania. Itu memang reaksi yang kuharapkan darinya, meski aku merasa sedikit aneh karena baru beberapa saat yang lalu dia begitu santainya mengomentari batang kontolku, tapi tentu, aku tak akan membiarkan itu menghentikan niatku untuk tidur dengannya.

“Ya udah, berarti Shania lu kalah ya?” ucapku sambil mengambil ponsel dan dompet Shania dari dalam tumpukan yang ada ditengah lingkaran.

“Eh....dompet, HP gue,” protes Shania sekali lagi.

“Ya lu kan nggak mau ngelakuin darenya Shan, berarti HP sama dompet lu disita,” ucap Frieska yang untuk kesekian kalinya membantuku.

Shania menekuk wajahnya, memandangiku sebentar sebelum mengalihkan lagi pandangannya ke barang barangnya yang ada ditanganku. “Ya udah,” ucapnya.

“Ya udah apanya Shan?” tanyaku.

“Gue kocokin punya lu,” jawabnya yang tak lagi antusias. Dia pun maju mendekat dan berjongkok tepat didepanku.”Berdiri,” perintahnya.

“Cihuy....Benji dikocokin Shania,”

“Mantap jeketi,”

“Makasih lo sama gue Benji,”

“Diem!!!!” teriak Shania kepada teman temannya yang masih punya waktu untuk menganggunya. Dan mereka semua hanya tertawa, melihat Shania yang nampak tersiksa dengan ini semua.

Shania pun mengenggam batang kontolku dengan perlahan, meletakan tangannya pada batang berurat yang tadi dikomentarinya. Dengan wajah yang jelas menunjukan bahwa dia tak ingin melakukannya, Shania perlahan lahan mengerakan tangannya naik turun. Rasanya cukup buruk karena Shania yang jelas ingin ini semua cepat berakhir, genggamannya berubah menjadi keras dengan gerakan yang cepat. Itu hampir seperti sebuah siksaan, satu satunya hal yang membuat semua ini menyenangkan adalah karena Shania lah yang melakukannya.

“Pelan..pelan Shan,” ucapku saat kocokannya mulai terasa menyakitkan.

“Terus gimana?” tanya Shania dengan wajah yang ditekuk.

“Pelan-pelan aja, Shan,” aku pun memegang tangannya lalu mengarahkan tangannya untuk mengocok kontolku dengan benar. “Kayak lagi main aja gitu,”

“Main apaan?” tanya Shania, kali ini dengan wajah yang lebih baik.

“Main kontol lah,”

PRAKKK

“Jorok,” ucap Shania setelah menampar pahaku.”Pasti kak Melody ilfeel nih kalo tau bang Benji mesum banget kayak gini.

Aku angkat kedua bahuku, karena aku tak akan menjawab ucapannya itu. “Udah ayo lanjut,” ucapku.

“Iya sabar,” jawabnya

Shania pun melanjutkan kocokannya pada batang kontolku, kali ini wajahnya tak lagi ditekuk. Setelah beberapa saat, sebuah senyuman kecil muncul diwajahnya, aku rasa dia mulai menikmati batang kontolku ditangannya.

“Sampe kapan nih gue ngocokinnya? Pegel tau,”

“Sampe keluar lah Shan,” jawab Yona.

“Lama dong, nggak ah, udah ya? Udah lama juga gue ngocokinnya,”

“Nggak bisa gitu dong Shan, darenya kan harus sampe selesai,” balas Yona.

“Yang penting sampe keluar kan?” tanya Shania, dia melihat kearahku lalu kepada yang lainnya. “Kayak kak Frieska tadi, yang penting dia ciuman kan? Nah kalo gue yang penting punyanya bang Benji keluarkan?”

“Iya sih bener,” jawab Yona.

Awalnya aku tak tahu kenapa Shania bertanya seperti itu, tapi saat dia mulai memberikanku sebuah blowjob, aku tahu kenapa. Blowjob yang diberikan Shania jauh lebih baik daripada handjob miliknya, itu terasa lembut dan hangat, dan yang terpenting, dia melakukannya dengan sukarela.

“Akh...enak Shan.....”

Aku menikmati tiap detik, apa yang Shania lakukan pada batang kontolku. kuelus kepala dan kurapikan rambutnya yang berantakan dengan jariku. Sesekali dia berhenti dan memberikanku lagi handjob sebelum kembali memasukan batang kontolku kedalam mulutnya, meski begitu, tak ada rasa tak ingin diwajahnya. Aku mungkin salah tapi, aku rasa dia menikmatinya.

“Anjir...Shan, demen nyepong lu ya,” ucap Dhike saat melihat Shania untuk kesekian kalinya memasukan batang kontolku kedalam mulutnya.

“Dhike jahat ih,” balas Naomi

Sorry Sorry, habisnya tuh Shania dari tadi nggak capek capek nyepongin si Ben.”

Shania yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka pun menghentikan blowjob yang diberikannya padaku, lalu memandang Dhike dan Naomi yang sedang membicarakannya. “Kak Dhike, kak Naomi awas ya, tungguin aja,” ucapnya.

“Kok gue terus sih yang diancem,” protes Naomi.

“Udah Shan selesaiin dulu sepongan lu tuh,” balas Dhike.

Shania tak melanjutkan lagi blowjob yang tadi diberikannya padaku, dia hanya mengenggam batang kontolku dengan lembut lalu mengocoknya. Batang kontolku yang sudah mendapatkan kenikmatan sedari tadi tak dapat lagi menahannya lebih lama, hingga akhirnya....

“SHAN....AH.....”

Kusemprotkan semuanya ke wajah Shania, entah berapa banyak sperma yang ketembakan dan mendarat diwajah dan rambut Shania.

“Bang Benji!!!! JOROK....” teriak Shania setengah terkejut, melihat wajah dan rambutnya penuh sperma Shania berlari pergi ke kamar mandi.

“Enak Ben?” tanya Yona, dan aku hanya mengangguk pelan. Aku harus mengatur lagi napasku setelah mengotori wajah Shania dengan spermaku. Lalu, setelah membersihkan dirinya, Shania kembali bergabung bersama kami semua.

“Ayo lanjut, kak Naomi lagi kan?” tanya Shania, setelah semua ini dia masih tak mau berhenti. Aku rasa dia tak ingin permainan ini berakhir dengan aku menyemprotkan sperma ke wajah dan juga rambutnya.

“Masih lanjut nih? Kirain udahan, kan kontolnya Ben udah lemes,” jawab Naomi dengan santainya, nampaknya tak ada lagi rasa canggung bagi mereka setelah dare yang dilakukan Shania.

“Nggak lah enak aja, masa gue dong yang sampe nyepongin bang Ben.”

“Jadi lu mau kita semua nyepongin Ben nih Shan?” tanya Dhike.

“Ya kalo kak Dhike milih dare,” jawabnya. Ya aku tak masalah, mereka bisa bergantian menghisap kontolku sebagai dare jika mereka mau.

“Kalo gitu kita nggak usah milih dare,” balas Frieska.

“Nggak boleh gitu ah, curang,” balas Shania.

“Udah lanjut, seneng amat ngomongin kontol gue. Kalo mau tinggal bilang aja,” ucapku dengan penuh percaya diri, aku juga melanjutkannya dengan senyumku, entahlah kenapa tapi aku ingin saja.

“NGGAK,” ucap mereka semua serentak.

“Pengen amat disepongin,” ucap Dhike.

“Disepongin Naomi baru tau rasa lo,” sambung Yona.

“Udah...udah, ngaco semua. Gue lagi kan?” balas Naomi

Pertanyaan Naomi dibalas dengan anggukan oleh yang lain, Naomi pun memutar botol yang telah dipegangnya. Setelah beberapa saat, botol itu berhenti dan menunjuk kearahku.

“Udah Ben lu dare aja, dari tadi lu truth mulu,” ucap Yona saat melihat botol itu berhenti dan menunjukku.

“Tau lu Ben,” tambah Dhike.

Mereka semua memandangku, seakan ingin menekanku untuk menuruti perkataan Yona dan memilih untuk melakukan dare daripada memilih truth untuk kesekian kalinya. Dan melihat apa bagaimana mereka sudah tak canggung lagi tentang seks denganku, memilih dare mungkin akan lebih baik.

“Ya udah terserah,” jawabku.

Dare nih jadinya?” tanya Naomi memastikan.

“Iya,”

“Jadi, tadi kan Shania udah nyepongin lu tuh, nah sekarang gantian lu yang ngejilatin punya dia, sampe keluar loh kayak dia tadi.”

Sudah kuduga, memilih dare itu akan jauh lebih baik.

“Kak Naomi!!! Ih.....gila,”

“Shan!!! Shan!!! Sakit....” Naomi berteriak kesakitan karena Shania terus mencubiti dirinya.

Aku pun maju dan mengendong Shania, dia coba memberontak tapi dengan tenagaku yang lebih kuat, aku berhasil membuatnya naik keatas kasur.

“Jangan!!!! Bang Ben...jangan!!!”

Shania terus memberontak dan mencoba menahanku dengan menutup kakinya rapat rapat, tapi aku berhasil membukanya dan mengarahkan wajahku tepat didepan lubang memeknya.

“Sorry Shan, tapi ntar gue kalah kalo gue nggak ngelakuin apa yang disuruh Naomi tadi,”

Aku pun mulai mengerakan lidahku dan menyapu memek Shania yang masih terasa sedikit asin, kugunakan jariku untuk membuka memek Shania hingga lidahku bisa masuk dan menjilat bagian dalam memeknya.

“AKH......Bang....AKH......” desah Shania panjang, bersamaan dengan itu dia jambak rambutku kuat kuat, mungkin mencoba menahan rangsangan yang kuberikan padanya.

“Terus Ben..terus,”

“Jilat yang kuat Ben,”

“Udah Shan, nikmatin aja.”

Bersamaan dengan desahan panjang Shania, para gadis yang lain bersorak sorai menyemangatiku. Mendengar itu aku jadi yakin jika aku melakukan sesuatu yang lebih jauh, aku tak akan mendapatkan masalah apapun. Mereka bersorak saat aku menjilati memek Shania, maka tak akan masalah jika aku mengentotinya sekalian.

Kugerakan lidahku lebih dalam, kupercepat juga gerakan lidahku didalam memeknya. Lalu kugantikan gerakan lidahku dengan jariku yang kutusukan dan kugerakan maju mundur didalam memek Shania.

“Bang!!!! Pelan...pelan....akhh....memek...gue....ampun.....”

Shania terus saja mendesah, dia gelengkan kepalanya mencoba menolak rasa nikmat yang kuberikan padanya. Didasari oleh rasa napsu dan bagaimana aku melihat kesempatan emas yang terbentang didepanku, kuhentikan gerakan jariku lalu kuarahkan kontolku untuk masuk ke memek Shania.

“Bang....jang.....AKH.....SA..KIT.....AKH.....”

Kudiamkan batang kontolku, aku ingin merasakan nikmat dan sempitnya memek Shania. Aku tak memperdulikan pukulannya di perutku, mungkin dia masih belum terbiasa dengan kontol didalam memeknya.

“Enak banget...Shan....memek lu,”

“Cabut bang.....cabut...memek gue...memek gue sakit,”

“Ben....udah Ben gila lu, lu ngapain ngentotin Shania,” ucap Naomi yang mencoba mendorongku mundur. Aku bertahan dan mendorong Naomi untuk mundur, aku sudah sejauh ini, mundur sekarang tak akan ada gunanya.

“Yang pentingkan Shania nyembur kayak gue tadi,”

“Wah lu Ben bisa aja nyari kesempatan,” balas Yona.

“Lu gue aduin Melody, sumpah, main kentot kentot anak orang sembarangan.” Tambah Dhike.

Melody, aku lupa ada Frieska yang juga ikut dalam permaian yang telah berubah menjadi penuh napsu ini. Tapi kau tahu, aku tak mungkin mencabut kontolku sekarang lalu minta maaf kepada Frieska, dan berharap dia tak mengadukanku. Pada saat ini aku bertaruh kepada napsu Frieska yang sudah tinggi, dan berharap yang dia inginkan adalah batang kontolku.

“Jangan sampe hamil tuh si Shania, kalo sampe hamil ya mampus lu sama kak Melody,” hanya itulah yang diucapkan Frieska, itu adalah izin yang diberikannya kepadaku, dan aku memang tak berencana menghamili siapapun malam ini.

“OK,”

Setelah mengucapkan itu, aku mulai mengerakan pantatku maju mundur. Kugenjot kontolku di memek Shania, meski dia terus saja memberontak. Aku pegang pinggangnya lalu kupercepat genjotanku.

Kupercepat genjotanku dan kurasakan sempit dan hangatnya memek itu, memek yang menghisap dan menekan batang kontolku kuat kuat. Sekali lagi aku merasakan nikmat itu, perasaan nikmat yang membuat kepalaku ringan dan ingin terus merasakannya.

“Ah.....memek gue.....ah....anjing...enak..”

Desahan Shania itu terdengar manis ditelingaku, setelah kutusukan batang kontolku kedalam memeknya untuk cukup lama, akhirnya dia mengakui rasa nikmat yang dirasakannya. Dia pejamkan matanya dan mengigit sendiri bibirnya, aku yakin dia sangat menikmatinya.

“Enak kan Shan?”

“Iya..enak, terus bang.....terus kentotin gue,”

Aku bisa melihat para gadis yang lain dengan perhatian yang tertuju pada Shania dan kenikmatan yang sedang kuberikan padanya. Aku yakin desahan penuh kenikmatan yang mereka dengar dari Shania membuat mereka juga ingin merasakannya, kenikmatan surgawi yang didapat dari batang kontolku yang menusuk liang memek mereka.

Kutarik Naomi dan kucium bibirnya, dia menerimanya dengan senang hati dan dengan semangat membalasnya. Ini adalah bibir yang kuinginkan dari tadi, dan sekali lagi aku biarkan diriku untuk menikmati tiap detik ciumanku. Hingga...

PUGGG

Sebuah pukulan keras mendarat diperutku, pelakunya adalah Shania, dan dia terlihat kesal.

“Kok lu sibuk sama kak Naomi sih, kan gue bilang terus tadi,”

“So....Sorry,”

Aku pun melepaskan Naomi, dan kufokuskan seluruh perhatianku pada Shania. Lebih baik kuselesaikan dulu urusanku dengan mereka satu persatu, lagipula, satu gadis idola dalam satu waktu lebih baik daripada tidak sama sekali. Threesome? Foursome? Reverse gangbang? Aku pasti gila jika membayangkan bisa melakukannya dengan mereka.

Aku pun mencium Shania, aku lebih ingin merasakan bibirnya lebih dari bagian tubuhnya yang manapun. Kucium dia perlahan, dan tak seperti Naomi, dia tak tahu bagaimana harus membalas ciumanku. Meski begitu, bibir lembut dan manis itu tetap memberikanku sensasi narkotik yang memabukanku. Mungkin karena aku lebih suka berciuman lebih dari apapun.

“Ah....ah...udah capek,” ucap Shania setelah ciuman kami terlepas karena dia kehabisan napas.”Kentot lagi dong ah....”

“AHHHH....terus....bang....terus,”

Memek Shania terus saja menerima dan menarik kontolku untuk masuk lebih dalam menusuk memeknya. Kuremas kedua payudaranya yang terasa pas ditelapak tanganku, dan kutarik dan kupelintir puting merah jambu miliknya.

“Ah....tetek.....gue.....ah...ah...sakit....ah.”

Desahan sekarang terdengar lebih merdu daripada nyanyianya yang pernah kudengar, batang kontolku lah yang menjadi istrumen yang membuatnya menari dan bernyanyi. Tak ada seifuku yang menemani penampilannya kali ini, jelas dia tak butuh itu, tapi mungkin suatu saat aku ingin menyetubuhinya dengan salah satu seifuku theaternya, mungkin salah satu seifuku ame no doubutsuen yang lucu itu. Dan kasur dengan bedcover kerokeropi ini lah yang menjadi panggung pertunjukan bagi kami berdua, dan sejauh ini desahannya itu menunjukkan pertunjukan ini sukses.

“AHHHH.....memek lu Shan....ah.....anjing.......enak...”

“Terus...terus....kentot memek gue terus...ah...ah....ah....ngentot...enak....”

Aku lakukan tepat seperti apa yang dimintanya itu, aku tusukan terus kontolku masuk menusuk memeknya itu kuat kuat dan sedalam mungkin.

“AHH......” desah Shania setiap kali tusukan kuat dan dalam ku itu menghujam memeknya.

“AKH......”

AKHHHHHHHHHHHH........

Setelah genjotanku pada memeknya, badan Shania menegang dan batang kontolku dipenuhi caiaran hangat dari memek Shania. Dia orgasme untuk pertama kalinya, badannya pun lemas dengan napas yang terengah engah. Aku cabut batang kontolku dan karena iseng, aku arahkan ke wajah Shania.

“Bersihin dong Shan, kan udah buat lu enak,” ucapku. Shania tak berkata apapun, dia jilatnya batang kontolku sebelum menghisapnya sebentar.

“Udah...”

“Makasih sayang,” ucapku sambil mengelus pipi putihnya, dia tersenyum sebentar sebelum kembali berbaring diatas kasur dan mengatur kembali napasnya.

One down, four more pussy to go.

Keempat gadis yang lain hanya memandangiku dengan senyuman diwajah mereka, mereka berempat berbaris seperti sedang direct selling, sebuah perasaan yang cukup aneh menghinggapi kepalaku memikirkan bagaimana aku bisa berakhir dengan situasi yang begitu menyenangkan seperti ini.

“Jadi berhasilkan gue ngelakuin darenya?” tanyaku.

Entahlah kenapa aku menanyakan itu, permainan itu tak penting lagi, aku bisa menyetubuhi mereka tanpa perlu sungkan sekarang. Pertanyaanya adalah siapakah selanjutnya?

“Gue oshi lu kan Ben?” tanya Dhike.

“Iya,”

“Kalo gitu lu pengenkan ngentotin gue?”

“I...ya,” jawabku. Dhike pun berdiri dan berjalan menghampiriku, dengan senyuman mengoda diwajahnya. Dia hampir menghampiriku sebelum langkahnya dihentikan Yona yang menahan tangannya.

“Eh...nggak boleh curang gitu dong, pake main oshaoshi segala. Lagian sekarang oshinya Ben kan itu si Ikha,” protes Yona.

“Ya kalo dia nggak ngoshiin gue dulu, dia nggak bakalan ngoshiin si Ikha,” balas Dhike.

Aku memandangi mereka berdua tak menyangka dalam hidupku membayangkan kedua gadis cantik itu akan bertengkar karena ingin berhubungan badan denganku. Tapi disanalah Naomi yang bangkit berdiri meninggalkan Dhike dan Yona yang sedang bertengkar, dia menaruh jarinya dibibir sebagai kode kepada Frieska lalu kepadaku untuk diam. Sepertinya Naomi berhasil membuat perjanjian dengan Frieska untuk membiarkannya mendapatkan kontolku lebih dulu. Naomi pun menarikku keluar kamar lalu kami berdua duduk di sofa yang ada diruang tengah.

“Berisik ya didalam tadi,” ucap Naomi.

“Tau,” balasku.

Naomi pun memandangiku dengan tatapan yang sangat manis, senyumannya tak lagi sinis, itu senyuman manis yang membuatnya nampak begitu cantik. Naomi sedang telanjang didepanku tapi aku lebih terpesona padanya, tetap ada napsu yang kurasa, tapi aku jauh lebih terpana pada senyuman dan tatapan manisnya sekarang.

“Lu cantik banget,” ucapku tanpa sadar, dan itu memunculkan tawa kecil diwajahnya dan itu membuatku jatuh lebih dalam pada pesonanya.

“Jadi lu nggak napsu nih sama gue? Nggak jadi nih kita ngentotnya?”

“Ak....gimana ya? Jadi......jadi kok jadi,” jawabku. Tentu aku ingin merasakan tubuhnya, tapi rasanya begitu aneh saat aku lebih terpesona padanya.

“Pelan...pelan aja ya, belum pernah soalnya,”

Aku mengangguk tanda aku mengerti, mungkin Naomi sering tampil seksi dan membuat para lelaki bernapsu, tapi jika yang dikatakannya itu benar, maka pengalaman seksnya tak lebih baik daripadaku beberapa hari yang lalu.

Aku pun mengalungkan kedua tanganku dilehernya, dia diam saja disana saat aku mendekatkan wajahku, lalu dia tutup kedua matanya, sekali lagi menungguku untuk memulai lagi ciuman kami yang sempat terhenti sebelumnya. Kucium dia perlahan, kali ini aku ingin memastikan dia menikmati ciuman ini lebih baik daripada sebelumnya. Aku ingin dia menikmati ciuman ini seperti aku menikmatinya.

Bibir kami sekali lagi bertemu, rasanya masih tetap saja manis dan hangat. Kali ini kumasukan juga lidahku dan coba kukaitkan pada lidahnya, awalnya Naomi hanya diam tapi setelah beberapa saat dia membalas juga gerakan lidahku. Lidah kami saling terkait dan liur kami tertukar, aku nikmati tiap detik ciuman ini, hingga akhirnya kami berhenti.

“Sekali lagi ya,” pintaku.

“Ciumannya?”

Aku menangguk dan Naomi membalas dengan mengalungkan kedua tangannya dileherku. Dia lalu menarik kepalaku dan menciumku. Dia lah yang memulainya, dia mainkan lidahnya dan mengaitkannya dengan lidahku. Seperti apa yang dia lakukan sebelumnya, aku tutup mataku dan membiarkan dia menguasai ciuman kami kali ini. Itu sensasi yang luar biasa, itu bahkan tak berlebihan mengatakan ini adalah ciuman terbaik yang pernah kurasakan. Seperti semua hal bagus di dunia, ciuman kami berdua harus selesai.

“Udah? Mau lagi?”

Aku ingin berkata iya dan sekali lagi menciumnya, tapi aku tak tahu berapa lama lagi aku bisa berdua bersamanya. Dhike dan Yona bisa saja keluar dari kamar dalam beberapa menit lagi, dan aku harus tidur dengan Naomi sebelum itu.

“Lanjut yuk,” ajakku.

“Lanjut nge....”

Aku tak membiarkan Naomi menyelesaikan kalimatnya, kudekap dia dan kucium leher putihnya dan turun terus hingga ke payudaranya.

“Aw....pelan pelan dong,” ucapnya saat kugigit kecil puting merah muda miliknya. Tak hanya payudara kirinya, kugunakan tangan kananku untuk meremas payudara dan menarik narik puting kanannya.

“Ben....Ben....pelan...pela..AKHH.......”

Tak seperti Shania, Naomi langsung mendapatkan orgasme saat jariku mulai menusuk masuk kedalam lubang memeknya. Cukup dengan jariku, aku berhasil membuat sosok Naomi yang telah lama menjadi bahan fantasiku menyemburkan cairan kenikmatan dari lubang memeknya.

“Enak sayang?” tanyaku.

“Iya....mau lagi,”

“Ditusuk pake jarinya?”

“Nggak,” ucap Naomi sambil mengeleng.”Pake ini dong, pengen kayak Shania tadi,”

Naomi pun mengelus kontolku yang masih lemas, mengocoknya pelan untuk membuatnya kembali berdiri. Cukup aneh karena biasanya hanya dengan membayangkan Naomi saja batang kontolku akan cepat sekali berdiri. Sekarang gadis itu ada didepanku, dan batang kejantananku tak mau bangun.

“Ayo...dong bangun, pengen ngentot nih,” ucap Naomi, yang jelas ditujukan kepada batang kontolku yang masih ada didalam gengamannya.

“Sepong dong sayang biar bangun,”

“Iya...iya, yang pengen disepong terus kontolnya.”

Naomi melakukan apa yang kuperintahkan, awalnya dia jilat kepala kontolku, lalu perlahan lahan dia telan batang kontolku kedalam mulutnya.

“Akh.....iya sayang......terus.....”

Dengan berpegangan pada pahaku Naomi terus mengerakan kepalanya maju mundur, dia begitu bersemangat menghisap kontolku, ingin membuatnya bangkit berdiri lalu menusuk memeknya yang telah basah itu.

“Dah.....dah...Nom...udah,”

Sesuka apapun aku dengan rasa hangat dan lembut yang menyelimuti kontolku saat Noami memberikanku sebuah blowjob aku harus menghentikannya, aku tak ingin aku menyemburkan isi kontolku sekali lagi dan kemudian pingsan. Aku tak pernah kuat setelah kesemprotan kedua sebelumnya, jadi aku ingin menyetubuhi Naomi sepuasnya sebelum aku tak sadarkan diri. Dan batang kontolku sudah cukup keras untuk membobol memek Naomi sekarang.

“Sekarang aja yuk mengentotnya,” ajakku.

Naomi yang sedari duduk berjongkok pun berdiri dan kembali memelukku, kuangkat kaki kirinya lalu kuarahkan batang kontolku masuk kedalam memeknya yang langsung menghisapnya masuk. Batang kontolku masuk cukup dalam sebelum itu terhenti oleh sesuatu, gadisku ini berencana memberikan keperawanannya kepadaku.

“Tahan ya sayang,” bisikku ditelinganya. Naomi hanya mengangguk dan aku bisa melihat dia sedang mengigit bibirnya sendiri, menahan rasa sakit dari batang kontolku yang pertama menerobos masuk kedalam memeknya.

“AKH......” Naomi menahan teriakannya saat aku mendorong masuk lebih jauh, dan “AKH......BE.....” saat aku akhirnya mendorong masuk sekuat tenaga, mungkin karena rasa sakit yang begitu kuat Naomi mengigit bahuku dan mengeleng gelengkan kepalanya.

Aku biarkan Naomi mengigit bahuku untuk beberapa saat, kami berdua tak bergerak dan itu memberikanku waktu untuk merasakan memek Naomi yang perlahan lahan menekan dan menghisap batang kontolku.

“So...sorry,” ucap Naomi pelan saat akhirnya melepaskan gigitannya dari bahuku.

Kucium pipinya sebagai tanda aku tak masalah, aku melakukannya karena aku belum sanggup bicara karena rasa sakit dibahuku. Sesaat setelahnya Naomi telah kembali tersenyum dan membalas dengan memberikan sebuah ciuman di pipiku.

“Ayo.....kentotin....pengen,” ucapnya lagi. Itu adalah hal terbaik yang pernah kudengar terucap dari bibirnya.

Kucium bibirnya dan kubiarkan bibirku bertahan disana, lalu perlahan lahan kugerakan batang kontolku maju mundur menusuk memeknya. Aku tak akan pernah bosan dengan rasa hangat dan lembutnya memek Naomi saat batang kontolku menusuknya. Itu terasa sempit karena itu kugerakan kontolku perlahan, karena ku ingin Naomi juga menikmatinya.

“Ah...Ben....terus....”

Ciuman kami berdua terlepas dan Naomi memutuskan untuk mengigiti dan menjilati daun telingaku, itu membuatku semakin bernapsu padanya, kupercepat gerakan kontolku didalam memeknya untuk juga membangkitkan napsunya lebih jauh. Aku ingin Naomi menjadi liar, dan aku ingin dia liar untukku.

“Ah.....ah.....Ben....gue keluar...AKH..........”

Badan Naomi menegang dan aku harus menahan seluruh tubuhnya agar dia tak jatuh, pergulatan ini baru saja dimulai dan Naomi sudah mendapatkan orgasme pertamannya. Aku bisa merasakan napasnya yang pendek dan cepat ditelingaku, badannya juga masih bergetar setelah orgasme yang baru didapatnya.

“Enak.....banget.....mau...lagi....” ucapnya dengan wajah yang mulai berkeringat.

Naomi mengangkat satu lagi kakinya lalu mengaitkan mereka berdua dibelakang punggungku, sekarang dia bergelantungan erat padaku dengan kontol yang masih menusuk didalam memeknya. Kugerakan pantatnya naik turun yang membuat kontolku menusuk memeknya dari bawah, Naomi yang mengerti pun mengerakan sendiri pantatnya naik turun.

“Ah.....terus....terus.....enak...” desahku, gerakan Naomi semakin cepat dan membuatku kesulitan mengimbangi irama permaiananya. Naomi lah yang memegang kendali atas seluruh persetubuhan ini sekarang, dan aku menikmatinya. Kucium lagi bibirnya, kali ini Naomi langsung mengaitkan lidahnya, dia juga mengambil alih ciuman kami berdua.

Aku yang merasa capek pun membaringkan tubuhnya keatas sofa, dan tanpa membuang waktu kugenjot lagi memeknya. Aku angkat kedua kakinya dan kutaruh mereka dibahuku, dengan posisi ini aku bisa mengenjot memek Naomi lebih dalam.

“Ah....Ben....gue keluar...lagi...akh........”

Sekali lagi batang kontolku dipenuhi oleh cairan hangat yang menyembur keluar dari memek Naomi, dia telah mendapatkan orgasme keduanya saat kontolku masih kuat berdiri dan ingin terus merasakan nikmat memeknya. Aku balikan tubuhnya dan Naomi hanya pasrah saja saat aku menunggingkan pantatnya, batang kontolku yang masih mengacung keras kutusakan masuk kedalam memeknya.

“Akh....Ben.....capek....ah...ah...capek...” desah Naomi saat mulai kugenjot lagi memeknya tak memberikannya waktu istirahat sedikit pun.

“Belum puas gue,”

Kugenjot lagi memeknya yang sempit itu, kali ini dengan doggy style. Dengan posisi ini, tak hanya aku bisa merasakan memeknya yang terus menghisap kontolku, aku juga bisa merasakan lembut pantatnya pada dipahaku. Hanya ada desahan pelan Naomi dan bunyi pahaku yang beradu dengan pantatnya, aku sudah tak peduli apapun, aku hanya ingin merasakan sempitnya memek Naomi pada kontolku.

Satu jam?

Dua jam?

Sudah berapa lama batang kontolku menusuk masuk kedalam memeknya, aku sempat teringat bagaimana aku lupa waktu dan ketahuan Viny saat pertama kali aku berhubungan badan dengan Manda. Kali ini tak akan ada yang menganggu, dan aku akan menikmati memek Naomi sampai aku puas.

Hingga akhirnya,

“BEN.......AKH........”

Sebuah desahan panjang dari Naomi dan dia jatuh ambruk diatas sofa, kucabut kontolku dari memeknya dan kulihat keadaannya. Dia pingsan karena kelelahan, seluruh tubuhnya basah oleh keringat dan aku bisa melihat bagaimana tubuhnya terlihat berantakan karena ulahku. Rambutnya yang tadi sempat kuacak dan kujambak, ada beberapa bekas gigitan dipunggung dan juga bekas merah karena aku mencium dan menghisap terlalu kuat. Naomi terlihat begitu kacau sekarang, tapi meski begitu kontolku masih mengacung keras dan aku masih ingin merasakan sempitnya memek dari seorang wanita, aku belum puas.
 
Masih lanjut..
I’m dying up here

Mungkin aku terlalu kasar, dan terlalu berlebihan kepada Naomi, dia sekarang tak sadarkan diri setelah aku ‘menghancurkan’nya. Tak hanya memaksanya untuk terus berhubungan badan denganku, aku juga baru berhenti setelah dia tak sanggup lagi.

“Shin,” ucapku sambil sedikit mengoyangkan bahunya.

Tak ada jawaban, aku coba melakukannya lagi dan tetap tak mendapatkan jawaban apapun. Melihat apa yang kuperbuat padanya membuatku sedikit menyesal, mungkin harusnya aku sedikit menahan diriku dan tahu kapan harus berhenti.

“Anjirr sampe pingsan,”

Aku berbalik dan menemukan bahwa ketiga gadis lain, sedang berdiri diambang pintu dan melihat kearahku. Mereka bertiga memakai selimut untuk menutupi tubuh mereka yang masih telanjang, membuatku berpikir mereka masih tetap ingin melakukannya denganku. Lalu datanglah Shania yang telah memakai kembali piyama yang tadi dikenakannya, sepertinya dia sudah cukup puas dengan batang kejantananku.

“Itu kak Naomi dikentot sampe pingsan gitu, gila lu bang,” ucap Shania.

“Pe’a lu,” sambung Dhike.

“Sorry nggak tahan,” jawabku.

Dan mereka semua serempak mengelengkan kepala, dengan sebuah tawa yang coba mereka tahan diwajah mereka. Mereka seperti sudah memaklumi bahwa kalah dari napsu adalah bagian dari sifatku.

“Gendong ke kamar itu, kasian,” perintah Yona.

“Tau, entar kalo Naomi sakit, gue aduin kak Melody kalo lu yang udah bikin dia masuk angin,” tambah Frieska.

“Iya...iya bawel,” balasku.

Aku bisa melihat Frieska memandangku dengan sebal, sebelum aku mengalihkan perhatianku kembali pada Naomi. Aku balikan badannya, lalu kugendong dia masuk kembali kedalam kamar, lalu kubaringkan dia diatas kasur, dan disaat itulah Naomi terbangun.

“Ngentot lagi? udah dong ampun, capek nih gue,” ucapnya dengan suara pelan, dengan bibir yang dimanyunkan, dia terlihat lucu sekarang.

“Nggak kok Shin, lu tidur aja lagi,” jawabku yang disambut Naomi dengan senyuman lebar diwajahnya, sepertinya dia senang akhirnya bisa beristirahat. Naomi lalu menarik selimutnya tinggi tinggi, beberapa saat kemudian dia pun tertidur, dia tampak cantik sekarang.

Para gadis yang lain kembali mengelengkan kepala mereka saat aku berbalik, Shania bahkan tak ragu untuk tertawa.

“Ini apaan coba, nggak ngerti gue,” ucap Shania.

“Nggak tau mau gue jijik atau nggak sekarang,” tambah Yona.

Well that’s a bit harsh if you ask me.

“Tau, udah ngentotnya heboh banget tadi. Sekarang mesra mesraan,” sambung Dhike. “Fries, calon kakak ipar lo tuh.”

Dan Frieska, hanya mengeleng gelengkan kepalanya saja. Seperti tak mau ambil bagian dalam pembicaraan ini. Tapi mendengar perkataan Dhike barusan membuatku mempertanyakan dua hal, pertama, apakah mereka semua mendengarkan atau menyaksikan perbuatanku dan Naomi, dan kedua, apakah tadi sikapku itu mesra kepada Naomi. Menilai dari reaksi mereka sekarang, nampaknya aku tak akan mendapatkan jawaban untuk satu pun pertanyaanku.

Aku tahu aku baru saja berhubungan badan dengan Naomi untuk waktu yang cukup lama, tapi sekarang ada tiga gadis cantik yang sedang berdiri didepanku, not to mention they all naked. Dan aku yakin kau sudah tahu apa yang kupikirkan saat melihat itu semua, aku masih bertahan sejauh ini dan aku ingin menyelesaikan apa yang telah kumulai, jadi aku akan berhubungan seks dengan mereka semua meski itu akan membunuhku.

“Jadi gimana sekarang?” tanyaku.

“Apanya gimana?” ucap Yona yang balik bertanya, tapi pertanyaannya itu seperti tak serius, dia jelas sudah tahu jawaban dari apa yang kutanyakan, tapi dia memutuskan untuk berpura pura tak tahu. Itu terlihat jelas dari dia yang berusaha keras untuk tak tertawa.

“Ya ngentotnya, lu semua kan masih telanjang tuh, jadi mau lanjut nggak?” tanyaku.

“Gimana ya Ben, lu kelamaan sih ngentot sama Naominya, jadi udah nggak napsu lai gue,” jawab Dhike, yang disambut oleh anggukan kepala oleh yang lain.

“Jadi kalo gue bisa buat lu semua napsu lagi, kita ngentot nih?” tanyaku.

“Mungkin,” jawab Frieska.

“Eh gue nggak ya, gue mau bobo aja,” ucap Shania yang langsung berbaring disebelah Naomi. Menyisakan tiga gadisku yang tersenyum genit sekarang, ya jawabnya sudah sangat jelas buatku.

Aku mendekati mereka bertiga yang masih mencoba menahan senyum yang ada dilengkungan bibir mereka, Frieska lah yang pertama kali kupeluk. Ku cium bibirnya dan kuremas buah dadanya, aku bisa merasakan dia terkejut pada tindakanku yang tiba tiba, tapi akhirnya dia diam dan pasrah menerima mereka.

“Eh....gue dulu,” ucap seseorang yang kuduga adalah Dhike, yang diikuti oleh sebuah tarikan yang membuat ciumanku dan Frieska terhenti. Itu benar Dhike dan dia melanjutkan aksinya dengan mencium bibirku, yang tentu saja kusambut dengan gembira. Kubalas ciumannya dan kufokuskan seluruh perhatianku kepadanya.

Aku selalu memimpikan momen dimana aku bisa mencium Dhike, membayangkan betapa manis dan lembutnya bibir itu jika bisa kurasakan. Sekarang aku berhasil menciumnya dan itu berbeda dari apa yang pernah kubayangkan, itu tak hanya lembut dan manis yang kurasa, tapi juga ada rasa hangat yang memenuhi bibirku. Itu hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya, ciuman yang dibumbui oleh rasa hangat yang menyenangkan. Kuletakan kedua tanganku dibelakang lehernya, kutarik dia untuk mendekat karena aku ingin ciumanku padanya berlangsung lebih lama.

Cukup puas dengan kehangatan bibirnya, aku turunkan ciumanku dengan lembut ke lehernya, karena bagaimana pun aku ingin membuatnya cukup bernapsu untuk berhubungan badan dengaku. Kuberikan beberapa ciuman dilehernya sebelum seseorang kembali menarikku, kali ini pelakunya adalah Yona dan seperti apa yang Dhike lakukan sebelumnya dia langsung menciumku. Dan seperti sebuah keajaiban aku kembali merasakan rasa yang berbeda, sekarang aku berciuman dengan Yona dan yang kurasakan adalah bibir lembut yang terasa penuh dibibirku dengan sedikit asin sebagai aftertastenya. Mungkin itu basah oleh keringat tapi aku tak bisa membohongi perasaanku yang ingin terus merasakannya, itu berbeda, itu mengairahkan.

Rasa dari bibir Yona membuatku sangat bergairah dan kuputuskan untuk mengaitakan lidahku pada lidahnya. Yona yang sepertinya punya rasa yang sama membalas perlakukanku pada lidahnya dengan penuh semangat, lidah kami saling berkelahi hingga akhirnya aku memenangkan pertarungan dan bisa memainkan lidahnya sesuka hatiku. Ini adalah salah satu ciuman terganas yang pernah kumiliki, dan aku harus berhenti untuk mengambil napas. Disaat itulah aku bisa melihat Yona yang juga ngos-ngosan tersenyum kepadaku dengan pipi yang merah merona, lalu sebuah tangan meraihku dan itu adalah Frieska.

Saat aku pikir aku sudah merasakan semuanya, manis, hangat, lembut, dan asinnya sebuah ciuman, aku salah. Jika ingin kugambarkan dengan kata kata, maka rasa yang kurasa saat mencium bibir Frieska adalah sempurna. Sedikit berlebihan mungkin kau berpikir, tapi aku tak punya kata lain untuk mengambarkan bagaimana perasaan lembut, basah, dan hangat yang langsung menyambutku, seperti lembut dan manisnya sebuah sapuan ice cream vanilla diatas bibirku. Lalu gerak bibirnya yang seakan menari tango dengan bibirku, seperti kedua bibir kami diciptakan untuk saling bersatu, aku sudah menciumnya sebelumnya dan meski begitu yang kurasakan berbeda dan aku jatuh cinta dengan perasaan nikmat yang kurasa dari bibir Frieska.

Berciuman dengan Frieska itu begitu menyenangkan dan aku berharap aku bisa terus merasakan lembut bibirnya, tapi ciuman itu harus berhenti karena aku kehabisan napas. Kualihkan pandanganku pada mereka dan ada sedikit rasa bersyukur yang kurasa, untuk pertemuanku dengan Viny dan semua hal yang membawaku pada saat ini.

“Woi...kok lu ngelamun sih,” ucap Yona.

“Katanya mau ngentot,” sambung Dhike.

“Bingung ya? Siapa dulu? ato takut nggak kuat?” tambah Frieska.

Sepertinya mereka semua sudah cukup bernapsu untuk berhubungan badan denganku sekarang, itu bagus, aku menyukainya.

“Eh...berarti gue dulu dong, udah sange gini masa gue nggak dapet kontol,” ucap Dhike dengan santainya.

“Lu pikir lu doang yang sange,” balas Yona.

Aku sejujurnya tak pernah membayangkan hari dimana aku memilih diantara mereka, siapakah yang akan kuajak berhubungan badan denganku terlebih dahulu. Dhike? Gadis pertama yang menjadi idolaku. Yona? dia lah gadis pertama yang menjadi bahan fantasiku? Atau Frieska? Ayolah jangan bilang kau tak pernah membayangkannya dan payudaranya yang indah itu. Dhike? Yona? Frieska? kenapa aku harus memilih? Aku akan menghajar mereka semua, meski itu hal terakhir yang akan aku lakukan sebelum aku mati.

Aku dorong mereka bertiga jatuh keatas kasur, dan dengan penuh semangat kutarik selimut yang menutupi tubuh indah mereka, dalam sekejap mereka bertiga kembali polos tanpa tertutup apapun.

“Kasar banget sih,” ucap Yona saat kutarik paksa selimutnya. Dhike dan Frieska nampak tak keberatan sedikitpun, mereka hanya tertawa geli melihat tingkahku.

Yona lah yang berada ditengah, dan dia lah yang pertama akan kubuat berteriak dan mendesah kencang. Aku berjongkok tepat didepannya, lalu kusibak bulu bulu lebat yang menutupi belahan memeknya.

“Akh....Ben.....akh...memek gue.....” desah Yona saat lidahku mulai menjilat memeknya yang berwarna merah muda itu. Ada rasa asin yang sama yang membuatku begitu bergairah sebelumnya, dan rasa yang sama itu membuatku begitu bergairah untuk menjilati memeknya yang asin itu. Aku rasa dia menikamtinya karena kepalaku dijepitnya kuat kuat dengan pahanya, seakan tak ingin jilatanku di memeknya itu berhenti.

“Ben...ah....Ben.....ah....” desah Dhike.

“Akh...memek....gue...ah...” dan juga Frieska.

Tentu tak hanya Yona yang coba kupuaskan, maksudku, ada Dhike dan juga Frieska disana, jadi kugunakan kedua jari jari tanganku untuk menusuk dan mengocok memek mereka berdua. Memek Frieska menjepit kedua jariku yang menusuk memeknya, sementara memek Dhike menyambut mereka dan sudah terasa begitu basah dan becek oleh jariku.

“Ben...Ben...gue keluar...AKH......”

Yona lah yang pertama kali orgasme diantara mereka bertiga, badannya kejang untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia jatuh lemas.

“Enak Yon?” tanyaku pada Yona yang masih mencoba mengatur kembali napasnya. Wajahnya nampak begitu merah sekarang, aku rasa itu menunjukan kalau dia benar menikmatinya.

“Nggak,”

What?

“Kok nggak?”

“Biasa...biasa aja,” jawabnya.

Aku tak tahu kenapa Yona menolak mengakui perasaannya sekarang, apa lagi yang coba ditutupinya saat aku sudah pasti akan mendapatkan memeknya. Entahlah apa yang diinginkannya, tapi itu membuatku jadi ingin membuatnya mengakui bahwa dia menikmati apa yang kulakukan padanya. Tapi itu nanti sajalah, masih ada Frieska dan Dhike yang juga akan buat puas. Belum lagi jariku masih belum terlepas dari memek mereka, kerena itu kupercepat gerakan jariku pada memek Dhike dan Frieska, tak seperti Yona, mereka berdua nampak tak sungkan untuk menunjukan apa yang mereka rasakan. Mereka berdua bergerak dengan liar sesuai dengan gerakan jariku pada liang memek keduanya, mereka juga mendesah dan berteriak dengan sama liarnya.

“Ak...memek gue, ak.....enak,” desah Frieska, dia mengeleng gelengkan kepalanya sama liarnya dengan desahan yang keluar dari mulutnya. Itu membuatku bersemangat, aku ingin melihatnya bergerak lebih liar lagi.

“Ahhh....enak....ah........terus Ben....gue hampir......AHH.....AH......AK..AKK............”

Dhike yang sedari tadi memeknya sudah basah tak tahan lagi, dia semburkan semua dari memeknya membuat jari dan tanganku basah oleh cairan orgasmenya. Sama seperti Yona wajahnya menjadi merah, dan dia memandangku dengan lemah.

“Enak Ben...memek gue,” ucap Dhike.

“IH...kok berenti, gue belom,” ucap Frieska setengah berteriak saat aku menghentikan gerakan jariku pada memeknya, hanya dia yang belum mendapatkan orgasme pertamanya dan nampaknya Frieska tak menyukai hal itu.“Kok bengong sih? Ayo,”

“Iya sayang, sabar,” Aku turuti permintaannya dan kembali mengocok memeknya dengan kedua jariku.

“Akkk....Ben..terus.....akk...nggak kuat,”

Sekarang seluruh perhatian dan tenagaku kufokuskan pada Frieska, membuat kocokanku pada memeknya makin liar. Aku ingin membuatnya tak hanya orgasme, aku ingin membuatnya menyemburkan semuanya, cairan orgasme dan air kencingnya, jika aku tak salah itu disebut sebagai squirting.

“Ben...Be...AKHH....AKH....AGGGHHHHHH......”

Badan Frieska menegang, dia majukan pantatnya kedepan, dan dia semburkan semua cairan orgasme dan air kencingnya kuat kuat. Itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah kusaksikan, meski hanya untuk beberapa detik saja. Setelah menyemburkan semuanya, Frieska terbaring lemas bersama Dhike dan Yona. Melihat mereka bertiga terbaring lemas, berbaring telanjang membuat batang kontolku berdiri tegang. Aku rasa mereka semua sudah cukup bernapsu sekarang, ditambah dengan kontolku yang sudah tak sabar lagi ingin merasakan hangatnya memek mereka semua.

Yona lah yang pertama memeknya ingin kurasakan, aku rasa karena aku tak sabar membuat dia mengakui bahwa dia menikmati ini semua. Ku buka kakinya dan kuarahkan kontolku ke bibir memeknya, tapi meski itu sudah cukup basah, kontol masih kesulitan untuk bisa kudorong masuk.

“Agh....Ben....pelan...pelan,” protesnya, aku tak tahu apakah dia benar benar kesakitan saat batang kontolku mulai memasuki memeknya, karena aku yakin aku sudah membuat memeknya cukup basah.

“Ini udah pelan Yon,” ucapku yang masih mencoba mendorong batang kontolku untuk bisa masuk.

“Sa....kit BEN!!! AKH.....”

Meski Yona terus mengelengkan kepalanya tapi aku tetap mendorong kontolku untuk bisa masuk ke memeknya lebih dalam, kucium dia mencoba membuatnya lebih santai tapi dia tak membalas ciumanku. Hingga akhirnya kepala kontolku merasakan ada sesuatu yang menganjal, aku rasa kepala kontolku telah sampai ke selaput daranya.

“Tahan ya,”

“Pelan...pelan,” ucapnya yang terdengar seperti setengah memohon, aku belai lembut pipinya sambari tersenyum mencoba untuk menenangkannya.

“Yon, santai aja. Sakitnya didepan doang,” ucap Dhike yang berbaring disebelah kiri Dhike. Dia tersenyum setelah mengatakan itu, lalu mencium dan berpanggutan dengan Yona. Memek Yona yang tadi terasa begitu tegang perlahan menjadi lebih rileks, sepertinya Yona sama sepertiku juga menikmati hangatnya ciuman Dhike.

Melihat Yona yang menjadi rileks oleh ciuman Dhike, perlahan coba kutembus selaput dara miliknya. Saat itulah memek Yona kembali menegang, aku rasa ciuman Dhike tak cukup untuk menutupi rasa sakit yang dirasakannya. Frieska yang berbaring disebelah kanan Yona pun berinisiatif membantu, dia meremas dan menghisap payudara Yona. Membuatku bisa melihat sebuah adegan lesbian terbaik yang pernah kusaksikan, tak hanya indah, ini juga membuat memek Yona benar benar rileks dan tak lagi menekan batang kontolku dengan begitu keras.

“Ayo kentot kak Yona nya, kalo sama kak Yona aja nggak mulai mulai, sama gue kapan,” ucap Frieska.

“Sorry, sorry,” yang begitu menikmati adegan lesbian yang ada didepan mataku, hingga aku lupa apa yang ada didepan kepala kontolku.

Kudorong kontolku kuat kuat dan itu akhirnya berhasil seluruhnya masuk kedalam memek Yona. Itu terasa hangat dan aku menyukainya, setelah semua perjuangan untuk mendapatkannya, aku diamkan batang kontolku dan kunikmati hangatnya liang memek yang terus menekan nekan batang kontolku. Setelah merasa cukup puas, aku mulai mengerakan batang kontolku. Aku memulainya dengan perlahan, karena sepertinya Yona punya memek yang lebih sensitif daripada memek lain yang beruntung pernah kurasakan. Itu juga masih sangat rapat dan aku yakin Yona akan sangat kesakitan, jika aku langsung mengerakan kontolku kuat kuat.

“Udah, Fries, Dhike, biarin Yona nikmatin dulu,” ucapku pada Frieska dan Dhike, dan mereka pun menuruti perkataanku dan berhenti mencium dan memainkan payudara Yona.

“Penuh...banget anjing,” ucap Yona, dia tak berteriak kesakitan seperti sebelumnya, sepertinya dia sudah jauh lebih rileks sekarang.

Aku cium bibirnya sambil mulai mengerakan batang kontolku dengan lebih cepat, tapi Yona tak bisa fokus membalas ciumanku, karena itu kuputuskan untuk menciumi lehernya.

“Ah....Ben..ge..li,”ucapnya saat ciumanku terus turun hingga sekali lagi payudaranya diciumi.

Kumainkan puting merah mudanya itu dengan lidahku, aku jilat perlahan, lalu kuputar putar lidahku diujung putingnya. Perlahan lahan aku bisa merasakan putingnya itu mengeras, yang membuatku gemas dan kuputuskan untuk kugigit pelan.

“Sakit..ah....kontol...,” ucap Yona yang kurasa kaget atas gigitanku pada putingnya.

“Sorry.....nggak tahan,” jawabku.

“Sakit tau...” dia mengucapkan itu dengan wajah yang sedikit ditekuk dan dengan suara kecil, hampir seperti anak kecil yang baru saja dicubit pipinya.

Duh lucunya.....pacar orang.

Melihat Yona yang tampil lucu dan masih fokus kepadaku seperti itu membuat sebuah ide jail muncul di kepalaku, kudorong batang kontolku dalam dalam, aku ingin membuat Yona merasakan setiap senti batang kontolku.

“AKH....” desah Yona pelan sebelum dia cepat cepat menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan miliknya, dia benar benar tak ingin mengakuinya.

PRAKKK

“Kalo mau kayak tadi bilang bilang dulu!!!” bentak Yona, setelah memukul pinggangku.

Sepertinya Yona marah karena dia hampir saja mendesah saat batang kontolku masuk dan memenuhi liang memeknya, dan itu memberitahuku bahwa tinggal sedikit lagi sebelum Yona berteriak dan mendesah penuh kenikmatan.

“Et dah lo berdua ngentot aja sampe berantem,” ucap Dhike.

“Tau nih, tinggal ngentot aja ribet amat,” tambah Frieska.

“Sorry...sorry, maaf ya Yon, nggak lagi lagi. Suer,” ucapku, aku tak mau merusak suasana sekarang, tidak setelah aku sampai sejauh ini.

Aku pasang senyum diwajahku, setengah berharap itu cukup untuk memperbaiki perasaan Yona, juga karena aku merasa itu hal terbaik yang bisa kulakukan setelah meminta maaf padanya.

“Ya udah, udah tanggung, udah pecah juga nih perawan gue .” Jawabnya.

“Tapi enak kan?” tanyaku.

Dia mengelengkan kepalanya, dia masih belum ingin mengakuinya. aku dorong batang kontolku perlahan dan memeknya itu menekan dan menghisap batang kontolku kuat kuat, hingga tiap kali aku mendorong batang kontolku masuk, memeknya seperti menerimanya dengan senang hati. Aku semakin bernapsu untuk terus mengerakan batang kontolku, meski Yona tak mau melepaskan satu pun desahan dari bibirnya, dan mengakui bahwa dia menikmatinya, memeknya jelas menikmati batang kontolku.

“Eh...udah?” tanya Yona saat aku mencabut kontolku dari memeknya, tapi tentu tidak, aku mengelengkan kepalaku dan membalikan badannya hingga sekarang dia menunggingkan badannya dan bertumpu pada kedua tangannya.

“AKH.....Pelan...pelan,” ucap Yona saat kutusukan batang kontolku dari belakang masuk kedalam memeknya, aku saat menyukai posisi ini dan aku rasa memek Yona sudah cukup siap untuk menerima gerak liar kontolku sekarang.

PRAKKK

PRAKKK

Kutampar beberapa kali pantatnya sebelum aku mulai mengerakan lagi batang kontolku maju mundur menusuk memeknya. Aku tarik Dhike yang sedang menyaksikan apa yang kuperbuat pada Yona, dan kucium bibirnya. Sambil terus mengenjot memek Yona dengan batang kontolku, kucium Dhike dan kuremas payudaranya. Frieska menarikku dan aku merasakan lagi bibir manisnya itu, dalam beberapa menit aku bergantian menciumi mereka berdua sambil terus mengenjot memek Yona, dan aku menikmati tiap detiknya. Meski begitu aku masih mempunyai satu misi, karena itulah aku menghentikan mereka dan kembali fokus pada Yona yang masih terus menahan desahannya.

“Gue bakal terus...ngentotin lu sampe lu ngaku, kalo lu juga keenakan,” ucapku mendeklerasikan niatku. Aku pegang pingangnya dan kubuat gerak kontolku menjadi panjang dan dalam, hingga terdengar suara benturan pahaku dan pantatnya.

“Hm.....”

“Hm......”

“EHMMM....AGHH.....”

Yona menutup mulutnya kuat kuat dengan kedua tangannya, dia tak lagi bertumpu pada kedua tangannya dan membiarkan dirinya jatuh keatas kasur.

“Udah...Yon, lepasin aja, gue tahu lu keenakan,” ucapku berusaha memprofokasinya.

“NGGAK....” bantahnya, dia mengelengkan kepalanya kuat kuat masih berpegang teguh pada gengsi atau alasan apapun yang membuatnya menolak mengakuinya.

Aku pun memeluknya dan kucoba memainkan putingnya, sambil terus mengenjot memeknya yang terus saja menelan batang kontolku. Kuciumi lehernya dari belakang, berusaha membuatnya lepas kendali dan akhirnya mendesah keras. kunaikan terus ciumanku hingga sampai ke daun telinganya.

“AH....jangan...disitu,”

“Oh...kuping lu sensitif Yon,” ucapku yang menyadari ada desahan yang keluar dari bibirnya.

“Ngga...ah...jangan..ah....udah....ah....ah.....ya...udah..ah....”

Kuciumi terus telinganya, kumainkan juga lidahku pada daun telinganya. Aku baru saja menemukan titik lemahnya, dan aku tak akan melepaskannya. Kutarik Yona hingga dia berbaring diatasku, kumainkan, kujilati, kuciumi daun telinganya, sambil terus mengenjot memeknya dari belakang.

“Ah...anjir....ah...enak...ah...iya...iya...terus.”

Mendengar desahan yang akhirnya keluar dari bibirnya membuatku begitu bergairah untuk terus mengenjot memeknya. Memeknya pun begitu hangat dan begitu rapat kurasakan, dan desahannya itu begitu menyenangkan untuk didengarkan.

“AKHH...AKH.....AKH......” Yona mendesah panjang yang diikuti oleh beberapa semprotan dari memeknya, setelah squirt, Yona jatuh lemas diatasku. Dia atur napasnya sementara aku menghirup wangi shampoo dan parfume yang tertinggal dibadannya.

“Enak Yon?” tanyaku dengan penuh percaya diri, aku baru saja membuatnya orgasme dan dia tak punya alasan untuk tak mengakuinya.

“Enggak,”

Oh...come on.

Setelah berhasil mengatur kembali napasnya, Yona memaksa dirinya untuk bangkit dari atasku lalu berbaring disebelah Shania, yang membuat kasur kingsize miliknya penuh. Lalu sebuah ciuman mendarat dibibirku, itu adalah Dhike dan dia menciumku dengan penuh napsu. Aku sempat berharap bisa mendapatkan sedikit istirahat sebelum kembali melanjutkannya bersama Dhike dan Frieska, tapi sepertinya mereka berdua punya ide lain. Frieska memberikanku sebuah blowjob, sesuatu yang dulu sempat tak mau dia lakukan saat aku memintanya, itu blowjob yang buruk tapi blowjob tetaplah blowjob dan aku menyukai setiap blowjob yang bisa aku dapatkan.

Dhike naik dan mengantikan posisi Yona untuk duduk diatasku, dan dia tersenyum kepadaku.

“Jilatin memek gue ya,” ucapnya.

Tentu saja aku mengangguk, apalagi yang aku lakukan saat ada gadis yang memintaku untuk melakukan itu. Senyuman yang ada padanya itu pun semakin lebar, lalu Dhike memposisikan memeknya tepat didepan wajahku. Dia sibak bulu bulu tipis yang menutupi memeknya, hingga aku bisa dengan mudah menjilat dan memainkan lidahku didalam memeknya.

“Ah....ish....aghhhh....” desah Dhike saat aku memainkan lidahku dimemeknya, itu terasa sedikit asin dan itu semakin membuatku bergairah.

Aku bisa merasakan lembutnya memek Dhike dengan lidahku, hanya bulu bulu tipisnya yang terasa aneh dilidahku, tapi memek tetaplah memek, belum lagi itu adalah dari gadis idola yang sampai beberapa bulan yang lalu masih menari didepanku. Kupercepat gerak lidahku dan memeknya juga bereaksi terhadap jilatanku.

“Ben...Ben...AGHHH.....”

Dhike orgasme dan menyemburkan semua tepat kewajahku, cairan asin yang menandakan orgasme keduanya. Setelah orgasme keduanya, Dhike berbaring disampingku sambil mengatur kembali napasnya.

“Fries, titfuck dong,” pintaku.

“Apaan?” tanya Frieska yang menghentikan blowjob yang diberikannya padaku, dia masih mengocok batang kontolku dengan perlahan, tapi dari wajahnya nampaknya dia tak tahu apa itu titfuck yang kubicarakan.

Aku pun bangkit dan kubaringkan Frieska, dia masih nampak bingung dengan apa yang ingin kulakukan.

“Jadi, kontol gue dijepit sama tetek lu trus nanti lu tahan pake tangan waktu gue maju mundurin kontol gue kayak orang lagi ngentot gitu,” ucapku menjelaskan apa itu titfuck pada Frieska, dia hanya mengangguk seperti itu adalah hal yang wajar baginya untuk dipelajari.

Aku selalu ingin melakukan titfuck pada payudara Frieska yang memang begitu indah dan mengairahkan, dan sekarang aku bisa mencoretnya dari bucketlistku. Aku posisikan diriku dan kujepit batang kontolku diantara kedua payudaranya, dan Frieska menahan payudaranya seperti yang kuajarkan kepadanya.

“Ah...Fries...tetek lu enak banget,”

“Apaan ih, ayo cepetan mulai,”

“Iya, iya.” Jawabku.

Aku mulai gerakan kontolku perlahan karena aku ingin merasakan lembutnya payudara indah yang menjepit kontolku, dan juga karena aku ingin menikmati tiap detik titfuck yang selama ini aku impikan. Savor the moment, or in this case enjoy the tits while it last.

“Ah....Fries......mantap.”

Aku mulai meracau keenakan karena lembut dan kenyalnya payudara Frieska yang menekan batang kontolku, sensasinya berbeda daripada memek dan aku menyukainya. Kugenjot terus payudaranya itu hingga aku merasakan kontolku tak tahan lagi, dan kusemprotkan semuanya.

“IH.....lengket, bau...” ucap Frieska yang berusaha membersihkan wajahnya.

Aku atur napasku dan berusaha agar tetap terbangun, itu adalah kedua kalinya aku menyemprotkan air maniku dan dari yang bisa kuingat, aku selalu pingsan setelah yang kedua. Aku tak bisa pingsan sekarang, tidak sebelum aku bisa membuat Dhike dan Frieska mendesah keras saat kontolku menusuk memek mereka.

“Nanti aja dibersihinnya, udah tanggung juga,” ucapku.

“Tapi jijk tau, lengket lengket gini,” balas Frieska. “Kok bisa kak Melody suka yang beginian, gue mah mau kontolnya doang bukan pejunya.”

“Gue dulu, ya kan?” ucap Dhike yang sudah bangkit kembali dan nampak bersemangat. Dia memandang aku dan Frieska, seakan menunggu persetujuan dari apa yang baru saja dia ucapkan.

“Iya deh, duluan sana.” Jawab Frieska yang langsung mendorongku jatuh. “Kocok dulu biar bangun itu kontolnya,”

“Gara gara tetek lu nih kegedean jadi lemes.” Ucap Dhike yang mulai mengocok kontolku untuk membangunkannya.

“Apaan ih, jijik tau dengernya,”

Aku hanya diam saja mendengar dan melihat mereka berdua bercanda soal tetek dan kontol, aku menikmati semuanya sejauh ini dan aku kira mereka berdua juga sama. Setelah beberapa saat kontolku dikocok oleh Dhike, itu sudah kembali mengeras dan siap untuk dipakai.

“Nah udah gede lagi,” ucap Dhike yang kemudian duduk diatasku dan memasukan kontolku ke dalam memeknya. “AGH......BEN.....”

Dhike mulai mengerakan badannya naik turun dengan kontolku yang menghujam memeknya, tiap kali dia menurunkan badannya. Aku tak tahu dimana atau kapan Dhike belajar tentang posisi wowan on top, tapi aku menyukainya, aku suka rasa hangat dari memeknya yang naik turun dikontolku.

“Enak kan?”

“I...iya enak,” jawabku.

Dhike dengan senyum diwajahnya terus saja mengerakan badannya naik turun, mengenjot kontolku dengan memeknya yang hangat dan nikmat dikontolku. Aku menikmati tiap detik momen ini, aku tutup mataku dan kubiarkan kenikmatan menjalar dari ujung kepala hingga ke kuku kakiku.

“AH...Iya.....ah...yes..” desahku penuh kenikmatan, memek Dhike itu terus saja menekan dan menghisap batang kontolku, tiap kali Dhike menurunkan badannya.

“Ah....yahhh...gila kontol lu enak,”

Gerakan Dhike makin liar, dia berpegangan pada kakiku dan tak hanya menaik turunkan badannya, dia juga memutarkan badannya, membuat kontolku terasa tak karuan karena gerakan memeknya. Aku yang tak mau kalah pun mengerakan pantatku naik turun, membuat kontolku menusuk memeknya dari bawah.

“Ah....jangan....gerak...ah....ah....ah.......” desah Dhike saat kontolku menusuk memeknya kuat kuat.

Dhike tak lagi mengerakan badannya naik turun, dia jatuh dan memeluk dadaku sementara gerakan kontolku membuat pantatnya naik turun.

“Ah...ah...memek gue...AGHHHHHH....”

Dhike orgasme dan badannya menegang sebelum akhir jatuh lemas, napasnya menjadi pendek dan matanya nanar. Aku diamkan kontolku didalam memeknya karena itu terasa hangat, dan aku menyukainya.

“Masih...kuat nggak?” bisik Dhike ditelingaku, dan saat kukira aku sudah mendengar semua kata kata indah dari seorang wanita, Dhike baru saja mengucapkan kata indah lainnya. Ditambah lagi dia tersenyum setelah mengucapkannya.

Aku tak menjawabnya, aku bangkit berdiri dan kubaringkan dia. Kubuka kakinya dan kudorong kontolku yang masih berdiri tegang kedalam memeknya.

“AKHHHH....kontol.....enak,”

Setelah mengucapkan itu, Dhike langsung menciumku dan dengan penuh napsu dimainkannya bibir dan lidahku.

“AH......gila....ah....ah....ah...gila,” desah Dhike saat kugenjot kembali memeknya yang sudah basah oleh cairannya sendiri. Kuciumi lehernya dan kuhisap kuat kuat sambil terus kugenjot memeknya yang menelan kontolku.

Tanganku yang bebas kugunakan untuk meremas payudara Frieska yang duduk disebelah Dhike, lalu kutarik dia mendekat dan kuciumi payudaranya itu. Aku menyusu di payudaranya itu, kuhisap putingnya kuat kuat meski aku tahu tak akan ada ASI yang akan keluar.

“AH.....Yes....bang Benji....mainin tetek gue,” desahnya yang menikmati perlakuanku pada payudaranya.

Kontolku masih terus mengenjot memek Dhike, sementara tanganku meremas dan mulutku mencium dan menghisap payudara Frieska. I’m livin’ the dream man, and nothing else matter when you got pussy to fuck and tits to suck.

“Ah.......gue...AGH....”

Dhike kembali mendapatkan orgasmenya dan itu membuat sekali lagi kontolku dipenuhi cairan hangatnya. Dhike menatapku dengan senyum lebar diwajahnya, dari raut mukanya, aku kira dia senang karena baru saja merasakan nikmatnya orgasme. Aku pun mencabut kontolku dari memeknya lalu kuarahkan ke mulutnya, aku ingin Dhike membersihkan kontolku dengan mulutnya seperti yang Shania lakukan, tak ada alasan khusus, itu hanya sedikit pemuas egoku.

“Bersihin dong, kan udah buat lu enak,” ucapku.

Dhike memandangku untuk sesaat sebelum melakukan apa yang kukatakan, dia hisap kontolku sebentar sebelum menjilatnya untuk memastikan itu benar benar bersih.

“Dasar lu, mentang mentang bisa ngentotin anak anak jeketi.” Ucapnya.

“Tapi enak kan?”

“Iya..sih, gue sampe keluar dua kali.” Ucap Dhike yang akhirnya tersenyum lagi. “Gue bobo ya? Pegel nih,”

“Iya udah bobo sana,”

“Lu juga sama Frieska mainnya jangan kelamaan, kasian dia besok masih ada latihan ato theater.”

Aku tak menjawab, aku hanya mengangguk. Aku tak bisa menjanjikannya apapun untuk urusan seks, aku tak mau berbohong padanya karena aku tak pernah bisa mengontrol napsuku. Dhike nampaknya mengerti karena dia tertawa kecil sambil mengelengkan kepalanya, sebelum pergi tidur. Lalu Frieska memelukku dari belakang dan dia menyandarkan dagunya di bahuku, pelukannya itu hangat dan itu membuatku nyaman. Aku bisa mencium sisa aroma shampoo yang dipakainya, itu ringan dan menyenangkan untuk dihirup.

“Lu mau ngentot sama gue nggak?” ucapnya pelan sebelum mendaratkan sebuah ciuman di pipiku, aku tak tahu maksud pertanyaan dan ciumannya di pipiku itu, tapi aku tahu dia tak perlu menanyakan apakah aku mau berhubungan seks dengannya atau tidak.

“Fries, buat apa sih lu nanya kayak gitu? Gue kan cowok jadi....”

“Stt.....jangan pake alasan gue kan cowok, atau wajarkan gue napsu sama cewek secantik lo. Jawab aja, lu mau ngentot sama gue nggak?”

“Iya mau,” jawabku cepat.

“Trus kak Mel?”

“Melody? Kenapa emangnya? kan kita cuma ngentot doang, bukan selingkuh.”

Frieska diam dan aku bisa mendengar dia menarik napas panjang sebelum menghembuskannya kembali. Apa mungkin aku baru saja mengatakan hal yang salah? Karena sampai beberapa menit yang lalu Frieska masih mendesah karena aku menghisap dan meremas payudaranya. Bukankah itu tanda dia menikmati ini semua?

“Bang Ben mungkin cuma manfaatin keadaan yang kebetulan buat bang Ben berhasil ngentot dengan Shania, kak Naomi, kak Yona, kak Dhike, tapi bang gue takut kalo lu jadi nggak serius dengan kak Melody. Gue tahu dia cinta sama lo karena dia mau ngasih memeknya buat lo, tapi kalo lo udah bisa dapatin memek member yang lain. Gue takut kak Melody jadi nggak ada artinya buat lo, gue nggak keberatan kok ngentot sama lo, gue juga udah sange sekarang tapi gue ngga mau suatu saat gue atau member yang lain jadi alasan kak Melody nggak kebalas cintanya. Gue nggak mau bang,”

Aku tak tahu harus berkata apa, karena sampai saat ini aku masih belum tahu apakah perasaan yang mungkin Melody miliku untukku itu bisa kubalas, perkataan Frieska membuatku kembali mengingat bahwa tak hanya ada memek dan sperma semenjak aku ‘bertemu’ dengan Viny, juga ada keadaan kacau yang membelit semuanya. Aku benar benar menari diatas kesengsaraanku, i’m dancing with my own misery.

“Fries,” ucapku.

“Ya,”

“Lu pikir rasa yang gue punya buat Melody itu bisa hilang hanya karena seks? Hanya karena gue ngentot dengan cewek lain?” Rasa apa? Aku tak tahu. Aku hanya mengatakan apa yang terlintas dipikiranku.

“Ya tapi kan bang? Kalo ada banyak cewek cantik yang ngentot sama lo, kak Melody jadi.....ngga ada...beda...nya,” Frieska hampir tak sanggup mengucapkannya, dia bahkan tak berani menatap mataku saat mengatakannya. Aku tahu dia tak ingin menghina Melody saat mengucapkan hal itu, aku tahu bahwa dia hanya khawatir karena kakaknya memutuskan untuk memberikan perasaannya untuk lelaki bejat sepertiku.

“Fries, bukan memeknya yang buat gue suka sama Melody, dia buat gue suka karena dia itu baik dan punya hati yang tulus, ditambah lagi senyumannya itu yang buat gue nggak bisa berpaling.”

“Lu nggak bohong kan? Lu serius dengan semua kata kata lu barusan?”

“Iya, dan itu buat gue sadar kalo seharusnya gue jaga perasan itu dengan nggak macam macam kayak gini,”

“Maksudnya?” tanya Frieska dengan wajah yang berubah bingung.

“Ya ini manfaatin keadaan, ngentot dengan cewek lain, apalagi lu adiknya. Harusnya gue jaga perasaan gue ke dia,”

Terlalu mellow dramatis untukmu? Ya aku tahu itu, tapi aku tak bisa langsung mencium Frieska dan lanjut tidur dengannya. Aku masih ingin tidur dengannya, tapi seperti sang kakak, aku merasa, aku harus bersandiwara dahulu dan berpura pura menjadi lelaki yang baik. Meski aku baru saja tidur dengan keempat temannya beberapa menit yang lalu. Aku harus membuatnya mau tidur denganku tanpa memikirkan tentang sang kakak, aku harus membuatnya lupa untuk sementara waktu. Aku tahu aku memang lelaki sampah yang hanya memikirkan cara untuk memuaskan napsuku saja, jadi kau punya semua hak di dunia untuk membenciku.

“Maaf ya Fries, tapi gue tidur di sofa aja,” ucapku, tapi sebelum aku bisa bangkit berdiri Frieska menahanku.

Dia menatapku dengan bola mata coklatnya itu, dengan tatapan yang tak lagi sedih. Lalu dia melengkungkan diwajahnya, sambil mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Apa sandiwaraku berhasil membuatnya luluh?

“Tadi katanya mau ngentot sama gue, kok lu pergi sih?”

“Tapi kan...”

“Udah gue tau lu cinta sama kakak gue, tapi karena gue udah terlanjur sange dan lagian ini cuma one night stand, kita lupain dulu itu kak Melody, kita ngentot aja dulu biar kita berdua sama sama enak,” jawab Frieska, sepertinya sandiwaraku berhasil.

“Lu yakin Fries?” tanyaku yang masih memainkan sandiwaraku sedikit lagi.

“Udah, ayo ngentot. Masa gue harus mohon mohon,”

Tentu dia tak perlu memohon, aku cium dia dan Frieska membalas ciumanku dengan liar. Ini ciuman kami yang ketiga malam ini, dan nampaknya Frieska makin mahir setiap kalinya. Ciuman kami hanya berlangsung sebentar, karena kudorong Frieska hingga dia jatuh, berbaring diatas kasur. Aku rasa sudah cukup basa basinya, kubuka kakinya dan kudorong batang kontolku masuk kedalam memeknya yang sudah basah.

“A...gila....pelan...pelan!!”

Memek Frieska itu sempit dan hangat, tapi itu membuat kontolku sulit untuk masuk lebih dalam.

“Memek lu sempit banget...”

“Makanya pelan-pelan.”

Kucabut kontolku dan kuludahi sedikit kepala kontolku, seperti yang pernah kulihat dibeberapa film yang pernah kutonton. Setelah itu kudorong lagi batang kontolku masuk ke memek Frieska, sambil berharap ludahku itu akan membuat kontolku lebih gampang masuk.

“Sakit...Ben...cabut!!!”

Sekali lagi kucabut kontolku dari memeknya karena Frieska nampak begitu kesakitan, itu masih sama sempitnya seperti sebelumnya, dan itu membuatku bingung karena aku yakin memeknya itu sudah cukup basah sebelumnya.

“Nggak apa apa?” tanyaku, dia hanya mengangguk mencoba mengatakan dia baik baik saja, meski begitu, aku tahu dia tak merasa baik. Frieska menatapku dan aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, mungkin dari rasa sakit yang dirasakannya.

“Ayo...lanjut,”

“Nggak usah maksa,”

“Tapi kan......gue pengen,”

“Fries.....memek lu itu tegang dan nggak ada gunanya maksain sekarang,” balasku yang meski sangat ingin merasakan tubuhnya, juga merasa kasihan kepadanya. Aku sudah tidur dengan beberapa gadis malam ini, dan aku rasa aku bisa tidur dengannya lain kali. Ya aku tahu, aku bilang bahwa perhatianku kepadanya sebelumnya itu adalah sebuah sandiwara, tapi aku benar benar merasa kasian kepadanya sekarang. Hey, aku orang yang masih memiliki hati, aku bukan psikopat atau semacamnya.

“Bang....”

“Besok aja gue janji, sekarang lu tidur karena besok lu harus latihan buat request hour kan?”

Dia menganguk pelan lalu beranjak pergi ke kamar mandi, aku rasa dia kecewa tapi aku rasa itu yang terbaik. Dia mencoba tersenyum kepadaku saat dia keluar dari kamar mandi, sekarang dengan piyama yang melekat dibadannya.

“Baru selesai?” Itu Shania, aku rasa dia terbangun. Dia memandang aku dan Frieska, dan aku rasa dia bertanya seperti itu karena aku masih polos tanpa pakaian.

“Iya Shan, tadi aja baru berenti pas dia pingsan, ini baru gue bangunin karena mau gue suruh pake baju. Kalo dia masuk anginkan bisa panjang urusannya sama kak Melody.” jawab Frieska, aku tak tahu kenapa dia berbohong, tapi dia berkedip padaku.

Frieska, sama seperti Viny, aku tak mengerti apapun tentang dirimu.

A broken hearted man

Setelah semua yang terjadi, aku merasa seperti hidup di dalam sebuah telenovela yang buruk. Aku tahu, aku cukup beruntung bisa tidur dengan para member jeketi setelah sekian lama membayangkannya, tapi Ayahku telah kembali ke dalam hidupku setelah aku membuang semua memoriku tentangnya. Untuk semua keberuntungan yang kudapat, ada sebuah kesialan yang menunggu di ujung jalan. Apa aku harus bersyukur? Tentu saja, tapi jika aku bisa menukar keberuntunganku bisa tidur dengan member jeketi, dengan hidup tanpa kehadiran Ayahku lagi. Aku lebih memilih hidupku tanpa kehadiran pria tua sialan itu. Aku tak tahu tentangmu, tapi tak ada cukup memek di dunia ini yang cukup untuk mengantikan rasa sakit hatiku padanya.

Oh ya, kau tak peduli tentang hal itu. kalau begitu, aku akan menceritakan apa yang terjadi setelah kemarin malam. Setelah mengantarkan Dhike dan Yona ke FX Sudirman, aku mengantar Shania pulang. Dia tak ada jadwal di FX hari ini, karena itu dia memintaku untuk mengantarkannya pulang. Awalnya aku merasa cukup aneh karena dia begitu santai berada di dekatku, seakan aku adalah teman yang sudah dikenalnya cukup lama.

“Eh bang Benji, lo beneran pacaran sama Kak Melody?” tanya Shania yang mengalihkan perhatiannya dari layar handphonenya kepadaku.

“Kenapa emang?” ucapku, dia terlihat canggung saat aku yang balik bertanya kepadanya.

“Ya, dulu kan lo naksir berat sama Kak Dhike, ya gue bingung aja gitu, tiba tiba lo nya pacaran sama Kak Melody.”

Aku ingin tertawa mendengar perkataanya itu, karena aku sendiri tak tahu kenapa Melody memutuskan status hubungan kami secara sepihak. Apa dia jatuh cinta padaku? Mungkin saja, tapi kenapa? itu lah yang menjadi pertanyaannya. Karena kau tahu, lelaki bangsat sepertiku bukanlah lelaki yang seharusnya dia cintai.

“Dhike kan udah punya cowok Shan, bentar lagi juga mau nikah. Ya karena gue sadar kalo cinta gue bertepuk sebelah tangan, ya gue move on,” itu adalah kebohongan pertamaku pagi ini, dan aku yakin akan ada lebih banyak lagi.

“Oh....tapi minimal lu udah pernah ngentot sama dia ya bang?”

Fuck, Shania sudah begitu vulgar pagi ini. Aku harap itu tak menjadi kebiasaan barunya. Bayangkan reaksi orang orang jika Shania sevulgar itu di theater, atau di sebuah acara televisi.

“Lemes banget itu mulut, lu itu cewek Shan,”

“Udah nggak usah sok,” balasnya.

“Ntar jadi kebiasaan,”

“Iya, iya, udah ah nggak usah diterusin, ntar gue jadi badmood sama lo bang,”

Ya sudahlah, setidaknya aku sudah memperingatkannya, lagipula aku tak mau dia badmood dan marah padaku, masih terlalu pagi untuk itu semua. Kami pun melanjutkan perjalanan itu dengan atmosfir aneh yang mengelayut diantara kami berdua, aku merasa kalau aku harusnya memulai percakapan dengannya, menghilangkan suasana aneh yang ada diantara kami berdua.

“Bang,”

Ah thank fuck.

“Ya Shan?”

“Lo udah berapa kali ngentot sama Kak Melody?”

Sepertinya dia tak lagi canggung dan malu membicarakan hal itu denganku, dan aku tak akan mau capek capek memberitahunya untuk tak bicara sevulgar itu. Aku sudah mencoba itu sebelumnya, dan itu tak terlalu berhasil.

“Sekali,”

“Seriusan? Kok gue nggak percaya ya bang, lu aja kuat ngentot sama lima cewek semaleman. Kok sama pacar sendiri baru sekali, apalagi pacar lu itu secantik Kak Melody,”

Tentu aku ingin melakukannya lebih dari sekali, aku akan berhubungan badan dengan Melody sebanyak yang aku bisa. Tapi mengingat hubungan kami yang bahkan belum satu minggu, jika memang hubungan kami berdua itu dimulai saat aku merasakan hangat tubuhnya beberapa hari yang lalu, aku rasa aku akan bisa merasakan lagi hangat tubuhnya nanti. Untuk sekarang, aku harus memastikan Shania merasa senang bersamaku.

“Nggak apa apa Shan, gue kan suka sama Melody bukan karena memeknya doang,”

“Sok romantis lo buaya,” ucapnya yang ditemani oleh senyum kecil diwajahnya.

“Buaya buaya juga lu mau,”

“Nggak, gila, najis gue.”

Kami berdua pun tertawa, Shania bahkan memukul lenganku. Sejalan dengan tawa itu, suasana aneh yang tadi kami rasakan pun perlahan menghilang. Aku merasa itu lebih baik, karena aku tak suka suasana sebelumnya. Kami melanjutkan perjalanan itu dengan bincang dan tawa hangat, Shania punya banyak topik pembicaraan tentang Skye, anjing kecilnya, hingga Saktia yang mulai dekat dengannya, semua itu membuat perjalanan kami menyenangkan. Saat akhirnya kami sampai, aku merasa sedikit kecewa.

“Mau masuk dulu?” ajaknya.

Sebenarnya aku ingin berkata iya dan melanjutkan perbincangan kami didalam, tapi ada perasaan canggung yang menahanku. Aku bukanlah teman atau lelaki yang menjalin hubungan apapun dengannya, hingga aku merasa aneh jika tiba-tiba aku berkunjung ke rumahnya.

“Nggak ada siapa siapa loh kayaknya.” Ucap Shania yang diucapkannya dengan mengedipkan sebelah matanya.

Well, itu menambah alasan bagiku untuk tak masuk kedalam, tapi aku takut aku tak sengaja memperkosanya. Ya, tidak sengaja.

“Nggak usahlah, takut gue ngapa ngapain lu ntar,”

Dan Shania tak sanggup menahan tawanya, sepertinya dia tak lagi khawatir jika aku mungkin saja memperkosanya. Fakta bahwa semalam dia mendesah penuh kenikmatan, mungkin menjadi alasannya.

“Ya kalo lo pengen tinggal minta aja bang, gue juga suka kok bang sama rasa kontol lo.”

Aku yang tak tahu harus menjawab apa, hanya diam dan mengangguk. Aku tak pernah menyangka bahwa seorang gadis akan mengucapkan itu padaku, dan kau bisa membayangkan betapa senangnya aku mendengar hal itu. Aku pun mengikutinya masuk kedalam, aku tak akan berbohong dan mengatakan bahwa aku mengharapkan rasa manis bibirnya.

Ah

Ah

Ah


“Fuck.....Yes.”

“Fuck....terus....”

“Ah...Shan..memek lu...fuck....”

Aku angkat sebelah kakinya keatas meja agar aku lebih gampang mengenjot memeknya dari belakang, memeknya itu yang begitu dalam menelan batang kontolku.

Prak..

Prak..


“Sakit...******,” protes Shania saat kutampar kedua bongkahan pantatnya yang putih itu, tapi aku yang tak ingin mendengar protesnya pun mendorong kontolku dalam dalam.”AKH...anjing...ah....ah..gila...”

Kugigit pelan daun telinganya, sambil terus mengenjot memeknya yang terasa begitu nikmat itu.

AHHHH....

AHHHHH.....

AHHHHHHH.....

Saat kami berdua sibuk mengadu napsu, saling berciuman dan mendesah penuh kenikmatan, ponsel Shania yang ada diatas meja pun berdering.

“Stop...dulu...ah...ah..HP gue bunyi.”

“Nanggung.” Balasku yang tak ingin momen menyenangkan ini terganggu.

“Lepas dulu.”

PRAKKKK

Shania memukul keras pahaku lalu melepaskan dirinya dari pelukanku, aku yang sibuk mengelus-elus pahaku tak bisa berbuat apa apa saat melihat Shania berjalan menghampiri ponselnya.

“Biru Shan.”

“Mampus, makanya nurut kalo dibilangin.” Balas Shania yang kemudian memanyunkan bibirnya.

Shania nampaknya masih mampu memakai akal sehatnya meski ditengah candu kenikmatan dunia. Berbeda denganku yang bahkan tak mampu menahan diriku untuk tak menyemburkan sperma kedalam rahim seorang wanita dan hampir membuatnya hamil. Mungkin aku harus bertanya bagaimana dia bisa melakukannya nanti, terutama karena aku lebih sering mendengarkan batang kontolku dibandingkan dengan otakku.

Setelah mengelus-elus pahaku mencoba menghilangkan rasa sakitnya, aku pun menghampiri Shania karena ingin tahu siapa yang menelponnya. Shania mencoba mendorongku menjauh saat aku memeluknya dari belakang, tapi aku tak peduli karena aku ingin merasakan hangat tubuhnya.

“Jangan.” Ucap Shania saat aku mengecup pipinya.

"Jangan apa Shan?” tanya sebuah suara dari ujung telepon, sepertinya dia mengira penolakan Shania itu ditujukan padanya.

“Nggak itu tadi si Skye naik keatas sofa, baru mandi dia nanti basah sofanya.” Jawab Shania yang masih berusaha mendorongku menjauh.

“Oooo...kirain.” ucap seseorang itu, aku belum tahu siapa dia, tapi dari suaranya nampaknya dia seorang wanita.

Aku ciumi dan kugigiti daun telinganya yang membuat Shania tak dapat fokus mendengarkan siapapun yang berada disisi lain telepon itu. kuremas remas kedua payudaranya, dan kumainkan puting merah jambu miliknya, dan itu membuat Shania berusaha keras menahan desahan tak keluar dari bibirnya. Untung saja seseorang yang berada disisi lain telepon ini terus saja berbicara, sehingga Shania tak harus mengucapkan apapun.

“AKGG........” desah Shania cukup keras yang langsung ditahannya saat kontolku tiba tiba menusuk kembali memeknya.

“Shan!!! Shan!!! Lo nggak apa apa?” teriak seseorang itu yang tiba-tiba terdengar panik.

“Ngga apa apa kok Sak, tapi Skye tiba-tiba lompat, kaget gue.”

Sak? Saktia? Sedekat apa dia dengan Shania yang membuatnya menelpon sepagi ini? tapi biarlah, mengerjai Shania seperti ini menyenangkan. Sengaja kudiamkan batang kontolku di memek Shania, aku dia merasakan batang kontolku hingga dia tak bisa fokus dengan teleponnya. Wajah Shania mulai berubah, tatapannya menjadi sayu dan ekspresi wajahnya memelas seperti mengatakan kepadaku untuk mengerakan batang kontolku.

“Please.” Bisiknya kepadaku. Aku gelengkan kepalaku, semata karena aku ingin mengerjainya.

“Tadi katanya nggak mau.” Bisikku padanya.

“Ben....please.” Bisiknya sekali lagi, kali ini dia mengerakan pantatnya maju mundur dan aku berusaha keras untuk tidak mengerakan pantatku karena sensasi dari memeknya itu begitu luar biasa.

Aku cium pipinya dan kali ini dia tidak menolak, Shania goyangkan lagi pantatnya maju mundur tetapi aku tetap diam.

“Ben.....” ucap Shania sekali lagi.

Tidak, aku tidak dendam kepada Shania karena menolak dan memukul pahaku tadi, aku melakukannya karena alasan yang lebih sederhana. Selain karena aku suka melihat ekspresi wajahnya yang begitu menginginkan batang kontolku menusuk memeknya dalam dalam, aku juga melakukannya karena aku ingin salah satu keinginanku. Kau tahu, untuk bisa merasakan memeknya saat dia dalam balutan seifuku, karena itu aku akan melakukan sedikit negosiasi.

“Gue pengen ngentotin lo waktu lagi pake seifuku Shan.” Bisikku sambil sedikit mengigit daun telinga.

“Hah.” Balas Shania yang nampak bingung mendengar perkataanku.

“Iya, gue pengen kita ngentot tapi lo nya pake salah satu seifuku theater.” Bisikku sekali lagi menjelaskan keinginanku padanya.

Shania tak langsung menjawab, dia diam, dia memandangku sebentar, lalu tersenyum dan tertawa kecil. Entahlah apa yang membuatnya bisa tersenyum dan tertawa kecil seperti itu, yang ingin kutahu adalah jawabannya.

“Ya ampun Sak, kayaknya nanti siang gue nggak bisa deh. Besok aja gimana?”

“Ya udah mau gimana lagi, besok ya.”

“Iya besok.”

Setelah itu Shania mengakhiri panggilan telepon itu dan meletakan ponselnya diatas meja, dia lalu mengalihkan perhatiannya kepadaku.

“Jadi gue harus setuju dulu nih, baru lo mau lanjut ngentotin gue?”

“Ya....”

“Padahal banyak loh yang mau ngentot sama gue, lo tinggal ngentot aja susah amat.” Ucap Shania yang masih memasang senyum kecil diujung bibirnya.

Aku tahu dia hanya bercanda, tapi lucu juga memikirkan bahwa dua minggu yang lalu aku masih berharap bisa berhubungan badan dengan salah satu member jeketi, dan sekarang aku diam meski kontolku sedang menusuk memek dari member jeketi yang sering membuat sempit celana banyak pria.

“Ya pengen aja gitu.”

“Dasar.”

“Jadi?”

“Ya udah, udah sange banget nih gue bangsat. Tanggung jawab lo, sekarang lo kentot gue sampe memek gue perih.”

“Nah gitu dong.”

Aku pegang pinggangnya dan mengenjot memeknya kuat kuat.

“Akhhhh Fuck!!!”

Tak hanya Shania, aku juga sudah tak kuat lagi menahan napsuku. Kau pikir itu mudah menahan diriku untuk tak mengenjot memek Shania yang memeluk kontolku dengan begitu erat ? memek yang begitu hangat, yang terasa seperti nikmat Tuhan.

AHHH.....

AH...........

AHHH.....FUCK......

Hanya ada suara desahan Shania dan genjotanku pada memeknya, aku tak akan pernah bosan menikmati sensasi memek yang begitu hangat di kontolku. Setiap genjotan kontolku pada memek Shania akan disambut oleh pelukan yang seakan ingin melepas kontolku, dan aku bersyukur atas nikmat itu.

“Terus....kentot gue yang keras anjing....” ucap Shania ditengah desahannya.

PRAKK

PRAKK

“Nakal banget lo jadi idol.”

“Berisik anjing...untung kontol lo enak.”

Aku hujamkan terus batang kontolku ke memeknya sekuat dan secepat yang aku bisa, sensasi memeknya yang memberiku perasaan nikmat, dan desahannya itu terus memacuku, desahan dari gadis idola yang terus memintaku untuk mengenjot memeknya.

Kugenjot memeknya itu cukup lama, hingga aku merasa bosan dengan gaya bercinta yang kami lakukan. Aku cabut batang kontolku dari memek Shania dan kubaringkan diatas meja, lalu kubuka kedua kakinya dan kembali kudorong batangku masuk kedalam memek Shania.

“AKH.....” desah Shania.

“Tenang aja, gue bakal buat lu keenakan kok Shan, kayak semalam.” Ucapku.

“Buat gue melayang Ben.”

Melayang? Aku tak tahu, tapi aku tahu pasti bahwa aku bisa membuatnya mendesah keras penuh kenikmatan. Kugenjot lagi batang kontolku maju mundur kedalam memeknya, kali ini dengan tempo yang lebih cepat.

AHHHHH.......FUCK....KONTOL ENAK......

Tak hanya mengenjot memek Shania, aku juga bisa memainkan kedua payudara indah miliknya. Aku menikmati waktuku memainkan payudara milik Shania, itu terasa lembut dan aku menyukainya. Aku remas perlahan lahan karena aku ingin menikmatinya, perasaan lembut yang memenuhi telapak tanganku, saat aku meremas kedua payudara indah itu.

Bibirnya yang nakal itu, bibir yang terus mendesah keras penuh kenikmatan itu pun kupertemukan dengan bibirku. Dan rasanya masih sama, manis, basah, dan hangat. Aku perlambat gerak pantatku, kurubah genjotanku menjadi lambat dan dalam. Aku genjot memeknya itu sembari bergulat dengan bibir manisnya itu, hingga akhirnya...

AKHHHHHHHHHHHH.....

Shania melentingkan badannya, memeknya menekan kontolku kuat kuat sebelum itu dipenuhi oleh hangat orgasme milik Shania. Aku cabut batang kontolku dan kubiarkan dia menikmati orgasmenya itu, Shania menatapku dan kupasangkan senyum di bibirku.

“Lo jadi pacar gue aja mau nggak? Gue pengen ngentot tiap hari sama lo.”

“Hah?” itulah responku, aku sungguh tak menyangka dia akan berkata seperti itu.

“Iya gue pengen pacaran sama lo, trus gue pengen kita ngentot tiap hari, kalo sampe hamil gue tinggal kawin sama lo”

“Hah?”

“Hah...hah...terus, mau nggak?”

Aku letakan telapak tanganku di dahinya, karena mungkin saja Shania kelelahan dan itu menjelaskan kenapa dia mulai bicara hal-hal aneh.

“Gue nggak apa-apa.”

“Trus kenapa ngomong lo ngaco?” tanyaku.

“Emang nggak boleh cewek nembak cowok?” ucap Shania yang balik bertanya kepadaku, dia terdengar serius meski belum yakin akan hal itu.

“Ya nggak masalah sih, tapi omongan lo tuh soal ngentot tiap hari sama kalo hamil tinggal kawin. Lo kuliah aja belum lulus udah ngomongin kawin.”

“Ya gue kan cuma...

Sebelum Shania bisa menyelesaikan perkataannya ponselku berbunyi dengan keras, kuambil ponselku dari dalam jaket dan tebak siapa yang menelponku? Viny. Aku tahu, aku tak bisa menolak panggilan ini, karena itu lah aku berjalan menjauh agar Shania tak bisa mendengar pembicaraan kami berdua.

“Ke rumah gue sekarang.” Hanya itu yang diucapkan oleh Viny, aku bahkan belum sempat membalas perkataannya dan dia telah menutup teleponnya. Itu terdengar buruk, aku tak tahu alasan Viny menginginkanku datang ke rumahnya, tapi itu terdengar buruk. Kau berdo’a saja Viny tak membunuhku, agar cerita ini dapat terus berlanjut.

“Siapa?” tanya Shania saat aku kembali menghampirinya.

“Dosbing, gue disuruh ke kampus.”

“Serius? Gue kan baru keluar sekali, kontol lo juga masih tegang.”

Ya itu benar, tapi aku tak ingin membuat Viny menunggu dan memperburuk keadaan yang aku belum tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi. jadi ya, seingin apapun aku menjamah dan menikmati tiap lekuk tubuh Shania, aku harus pergi.

“Ngentot bisa besok-besok Shan, ini dosbing gue datang ke kampus setahun sekali, kalo nggak gue temuin sekarang bisa gagal skripsi.” Ucapku sambil memakai kembali pakaianku, yang Shania sempat coba tahan.

“Lebay.”

“Lo aja belum pernah ketemu dosbing gaje Shan, udah ah gue pergi dulu.”

Setelah memakai kembali pakaianku, aku pun pergi meninggalkan Shania yang nampak tak terlalu suka akan hal itu. aku juga tak pernah menyangka akan pergi saat Shania masih ingin aku menghujamkan batang kontolku kedalam liang memeknya.

Aku berusaha untuk sampai ke rumah Viny secepat mungkin, sepanjang perjalanan aku mencoba memikirkan alasan kenapa Viny ingin aku datang. Banyak yang terpikir olehku, seperti mungkin saja Viny ingin aku membantunya mengerjakan salah satu tugasnya. Jika memang benar itu alasannya, aku akan dengan senang hati membantunya. Alasan lain yang sempat terpikir olehku adalah Viny tahu apa yang terjadi semalam antara aku, Yona dan yang lainnya, mungkin salah satu dari mereka iseng bertanya apakah Viny adalah gadis pertama yang berhubungan badan denganku, jika itu terjadi maka ini akan menjadi update terakhir dari cerita ini, karena aku tak tahu apa yang akan Viny lakukan jika memang itu terjadi.

Kau tahu ada satu alasan yang tak terpikir olehku, dan itu mungkin saja alasan kenapa Viny memanggilku. Jadi saat aku datang, ada mobil Ali disana dan mungkin saja dia tahu apa yang terjadi antara aku dan kekasihnya. Aku tak tahu bagaimana Ali bisa tahu, tapi aku mulai berharap dia tak pernah tahu, setidaknya hingga aku berhasil mendapatkan Viny.

“Gue udah diluar.” Itu adalah bunyi pesan singkat yang kukirimkan kepada Viny.

Pesanku dibacanya tapi tak ada balasan yang kudapat, beberapa detik kemudian Viny keluar dan menyambutku dengan lambaian tangan dan sebuah senyuman.

“Lama amat.” Sambut Viny.

“Jakarta Vin.”

“Ya udah masuk, Ali udah nungguin.”

“Ali?”

“Iya Sujali Firmansyah, calon suami gue, sahabat lo.” Jawab Viny yang belum melunturkan senyum manis itu dari wajahnya.

“Calon suami?”

“Iya makanya masuk dulu, biar gue sama Ali jelasin.”

“OK.”

Ini bukanlah sesuatu yang kuharapkan, mendengar Viny mengatakan calon suami dengan begitu riangnya meninggalkan rasa aneh di mulutku. Setelah semua yang terjadi anatara aku dan dirinya, apakah Viny akan berpura-pura bahwa semua itu tak pernah ada? Setelah semua....Fuck, apakah Viny benar hamil dan dia menikah dengan Ali agar anak itu punya nama Ayah di akte kelahirannya nanti? Jika benar begitu kenapa tidak namaku saja yang tertulis disana? Karena dia anakku, darah dagingku.

“Vin...apa lo...”

“Iya, dan lo boleh ikut ngasih nama nanti tapi tetap nama Sujali Firmansyah yang bakalan jadi nama Bapaknya.”

“Tapi dia kan...”

Cepat-cepat Viny letakan jari telunjuknya di bibirku, kata-kataku berhenti saat melihat sedikit air mata turun di pipinya.

“Sejujurnya lo udah berhasil ngambil hati gue Ben, tapi lo bukan sosok Ayah. Lo labil, lo nggak pernah bisa ngontrol emosi dan napsu lo. Bukan cuma Manda, gue udah tau soal Yona, Shania, Frieska, Naomi, Dhike, Melody. Ben, lo bukan orang jahat dan gue ngelakuin ini bukan karena gue benci sama lo, tapi anak gue butuh sosok Ayah yang bisa ngejaga gue dan anak gue nanti. Lo bukan sosok itu Ben, lo orang baik kok tapi bukan sosok yang gue butuhin.”

“Vin...” ucapku yang mengenggam kedua tangannya.

“Ben please.”

“Biarin gue jadi orang pertama yang ngasih selamat buat lo, gue juga mau minta maaf soal waktu itu. Maaf gue nggak bisa jadi sosok yang lo butuhin, maaf karena lo yang harus tanggung jawab buat atas kesalahan gue. Dan sebelum terlambat, gue mau bilang kalo sebenarnya yang lebih dari sekedar napus buat lo, perasaan bodoh yang harus gue kubur dalam-dalam sekarang. Sekali lagi, selamatnya.

Nemu segitu doang
Bye bye :bye:
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd