Disclaimer
Cerita ini adalah cerita alternatif dimana Revival Story ditiadakan. Karena secara personal, saya kurang menyukai apa yang ada dalam cerita tersebut.
Hope this story entertaining for all of readers
P. S.
Thanks for Danz13
You make me great again!
Part 1
Aku tidak bisa mengingat kejadian setelah aku tercebur di sungai. Yang terakhir aku ingat adalah aku menabrak sebuah batu besar dan tidak ada setelahnya. Aku ditemukan di tepian sungai dimana aku di tolong oleh penduduk lokal di sana. Aku pun juga mengalami cedera pada kakiku yang membuatku tidak dapat bergerak selama beberapa waktu. Pengobatan tradisional berjalan lambat dalam penyembuhannya.
Aku ditolong oleh keluarga Pak Kasdi. Bersama Ibu Kasdi dan anak perempuannya, Menik. Mereka merawatku dengan baik dan penuh kasih sayang. Kadang, Pak Kasdi bersenda gurau denganku setelah bekerja menggarap lahan orang lain. Di situ lah, aku prihatin kepadanya. Ia pun tetap bersemangat menjalani hidupnya.
Setelah beberapa waktu, aku mulai bisa berjalan dan mulai membantu Pak Kasdi bekerja di ladang. Jujur saja, aku tidak terbiasa melakukannya. Pak Kasdi memakluminya.
“Kasdi, enek wong soko tivi mrene. Ndang budhal nang bale deso.” Teriak temannya.
“arep opo aku mrono?”
“wis lah penting – penting. Iso mlebu tv awakmu.”
Aku bertanya ke Pak Kasdi.
“ada apa, Pak? Sepertinya seru sekali.”
“Itu, Nak. Katanya ada orang televisi di balai desa.”
“orang televisi? Apakah Zizi...?”
“Nak Joko kenapa?”
Pak Kasdi memanggilku Joko karena aku tidak ingin menyebutkan nama asliku. Aku menunggu waktu yang tepat untuk itu.
“tidak, Pak. Cuma saya penasaran aja sama orang tv nya.”
“Nak Joko ke balai desa saja. Biar bapak di sini. Masih banyak yang di garap.”
“saya permisi dulu, Pak.”
Aku meletakkan cangkul di balai tengah sawah dan bergegas menuju ke balai desa. Warna kulitku agak berubah karena sengatan matahari. Keingintahuanku didorong rasa penasaranku. Sepanjang perjalanan, aku melihat sebuah mobil tengah berusaha keluar dari lumpur. Jalanan di sini tidak ramah untuk kendaraan. 3 orang berdiri di luar mobil. Salah satu di antara mereka adalah perempuan.
“permisi ada apa ya?” aku membuka capil, tudung kepala yang biasa di pakai petani.
“ini mobilnya terjebak lumpur.” Seru salah satu dari mereka.
“udah mau telat nih acaranya. Nanti kita kena damprat.” Perempuan itu berkacak pinggang.
“maaf mas dan mbak. Saya akan bantu. Sebentar ya mas.”
Kebetulan ada sebuah balok kayu yang cukup kuat menahan beban. Aku meletakkannya di atas ban depan yang terperosok. Mereka mengamatiku melakukannya.
“coba di nyalakan mesinnya. Semoga bisa keluar.”
Mereka menyalakan mesin dan putaran roda membuat kayu berpindah ke bawah dan roda depan terangkat. Roda belakang mengikuti setelahnya.
“Makasih mas, sudah tolongin kami.”
“sama – sama, mas.”
“ayo buruan! Udah harus di mulai acaranya.”
“mas nanti ke balai desa ya.”
Mobil itu melaju meninggalkanku di sini. Aku membawa balok kayu tadi untuk berjaga – jaga apabila mobil itu terperosok di depan. Langkahku masih kuat menyusuri jalan ini. Sesampainya di sana, acara sudah selesai. Namun, warga masih berada di sana. Ternyata, perempuan itu menjadi host sebuah acara pemerintah.
“mas sini!” seseorang memanggilku.
Ia adalah orang aku tolong tadi. Dia bersama beberapa orang lainnya tengah minum kopi.
“ngopi mas? Saya suruh bikinin.
“enggak, mas. Makasih.”
“jangan di tolak. Hey, kopi satu lagi.”
Ia mempersilahkanku duduk bersama kru tv lainnya.
“dia nih yang nolongin gue waktu mobilnya Selena kejebak lumpur. Cuman modal kayu doank. Pinter nih orang.”
“mas nya ngelebih – lebihin aja.”
“loh, mas bukan asli sini?”
Aku keceplosan dengan aksenku yang tidak berbeda dengan mereka.
“tidak, mas. Cuma saya ngikutin aja.”
“Saya Ruzari. Mas namanya siapa?”
“Saya Gr.....Joko.”
“bentar ya mas Joko. Saya ada telepon.”
Ruzari berbicara di dekatku. Suara teleponnya terdengar di telingaku. Entah mengapa, aku mengenali suara ini. Suara yang tidak asing bagiku. Tiba – tiba, seorang kru tv tergesa – gesa.
“Ruz, gawat nih. Streaming-nya enggak bisa di upload. Gimana ini?”
“yang bener aja sih.”
Ruzari mengutak – atik pengaturan jaringan di laptopnya.
“kenapa ya? Enggak sepeti biasanya?”
“bisa saya lihat?” aku bertanya.
“elo tahu? Cobain dah.”
Aku sibuk mengutak – atik laptopnya. Sementara, Selena perempuan yang tadi bersama Ruzari mendatangi mereka.
“gimana udah bisa di upload? Zizi nanyain tuh.”
Mendengar kata Zizi membuatku tersentak. Berarti, mereka adalah kru tv yang sama. Aku kembali mencoba memperbaikinya.
“selesai. Sepertinya sudah bisa.”
“masa’? Sini liat. Koq bisa di upload sama elo.”
“iya. Tadi server host nya yang bermasalah. Itu pake jaringan backdoor di server host. Mohon di kasih tahu kalo takutnya di detect sebagai hacking process. Padahal, bukan.”
Ruzari masuk ke dalam bersama Selena.
Aku pergi dari balai desa begitu selesai dengan Ruzari. Kaki kiriku mendadak sakit. Terpaksa aku berjalan terseok – seok menuju rumah.
“dimana tuh orang?”
“siapa yang tadi?”
“Iya. Selena. Tuh orang desa tapi canggih. Kita butuh orang kayak dia selama di sini.”
“nanti kita ketemu lurahnya sekalian cari tahu.”
Di lain tempat, Zizi tengah sibuk memandangi foto terakhirnya bersamaku yang di cetak dan di bingkainya.
“sudah beberapa bulan enggak sama kamu rasanya aneh. Aku enggak bisa terus – terusan bohongin diri aku dalam kenikmatan semu.”
Malam hari, di depan rumah Pak Kasdi. Aku bersama Pak Kasdi berbicara tentang kegiatan hari ini ditemani oleh teh hangat.
“gimana tadi di balai desa?”
“saya telat datengnya, Pak.” Kataku jenaka.
“Nak. Bapak mau ngomong sama kamu serius.”
“ada apa, Pak?”
“Bapak bukannya mau mengusir kamu. Tapi, kamu mau di sini sampai kapan? Lambat laun kamu juga akan pergi dari sini. Tempat kamu bukan di sini, Nak Grha.”
“bapak tahu nama asli saya?” aku terkejut.
“Bapak sudah tahu sejak lama. Bapak merahasiakannya dari orang sini. Tunggu di sini.”
Pak Kasdi masuk ke dalam rumah. Perkataan Pak Kasdi ada benarnya. Aku tidak mungkin di sini selamanya dan menyembunyikan semuanya.
“ini, Nak Grha. Di kotak ini ada barang milik kamu.” Pak Kasdi menyerahkannya kepadaku.
Di dalamnya terdapat ponselku yang rusak terkena air. Dompet yang berisi kartu atm dan identitas. Sejumlah uang masih utuh di dalamnya.
“maafkan bapak tidak terus terang sama kamu. Bapak tunggu waktu yang tepat.”
“enggak apa, Pak. Bapak sudah melakukan hal yang benar.”
Aku mengambil semua uang yang berada di dalam dompetku dan menyerahkannya kepada Pak Kasdi.
“bapak pakai uang ini untuk beli kambing.”
“tidak perlu, Nak. Bapak masih kerja.” Pak Kasdi menolaknya.
“bapak sudah baik sama saya. Anggap saja rezeki bapak lagi dititip ke saya. Saya kasihan sama bapak yang garap lahan orang terus.”
“makasih, Nak. Bapak senang sekali.”
“besok saya mau izin ke kecamatan. Semoga kartu atm ini masih bisa di pakai.”
Keesokan hari, aku hendak menuju ke kecamatan berharap ada yang memberi tumpangan saat aku berjalan. Sebuah mobil berpapasan denganku.
“Mas Joko!” sapa Ruzari.
“Mas Ruzari.”
“mau kemana ? Kemarin saya cariin juga.”
“maaf, Mas. Saya mau ke kecamatan. Mau ke bank.”
“ikut aja. Kita sekalian mau ke kantor kecamatan.” Selena mengajakku.
“ayo naik, Mas.” Ruzari bersahut.
Sepanjang perjalanan, aku berbincang dengan Ruzari. Selena sesekali nimbrung dalam obrolan kami. Kami berbicara seperti seorang teman lama. Tiba di bank, aku masuk ke mesin atm.
“Selena, elo perhatiin dia deh. Kayaknya dia agak beda sama penduduk sana. Walau ditutupin, gaya bicaranya malah terkesan udah tinggal lama di kota.”
“perasaan elo aja, Ruz. Elo ke kecamatan sendirian yak. Gue mau belanja dulu. Idenya tadi nggelitik kepala gue.”
“dasar cewek. Ya udah ntar gue kabarin kalo udah selese.”
Di dalam atm, aku memasukkan kartu atm dan mengingat pin atmku. Meski sulit mengingatnya, aku mendapatkan kembali kombinasinya. Aku melakukan cek saldo dan senyum terkembang di bibirku. Ia menepati janjinya kepadaku.
“mbak Selena masih di sini? Mas Ruzari di mana?”
“dia ke kecamatan. Aku pengen belanja di pasar sama kamu. Kayaknya seru.”
“mbak Selena ndak apa – apa? Pasar sini bukan kayak mall.”
“udah yuk. Enggak sabar nih.”
Pasar terletak cukup dekat dari sini.
“saya ndak enak ngajak mbak Selena jalan kaki sebenarnya.”
“panggil Selena aja. Belum tua – tua amat akunya.”
“iya, mbak..eh maksudnya Selena.”
“Mas Joko tinggal di mana sih?”
“saya tinggal sama Pak Kasdi. Rumahnya ada di ujung ladang.”
Masuk ke dalam pasar, aku membeli berbagai keperluan untuk keluarga Pak Kasdi.
“kamu yakin mau beli sebanyak ini?”
“iya buat stok. Selena enggak beli sesuatu?”
Ia membuka ponselnya di sana yang langsung di ambil oleh Jambret yang kabur.
“ponsel gue.....”
“kamu tunggu disini. Aku bakal ngejar dia.
Aku mengejarnya hingga ia terpojok. Tidak ada pilihan lain selain melawannya.
“aku harus menjatuhkannya dengan singkat.”
Ia menyerang dengan pukulan yang langsung aku tangkis. Aku bergerak ke samping membekap lehernya dan menginjak lututnya dari belakang. Terjatuh mengikuti tanganku, aku menghantam wajahnya berkali – kali. Setelah mengambil ponsel Selena, aku pergi dari tempat itu.
“Ini ponsel kamu, Selena.”
“kamu enggak apa -apa?”
“enggak apa – apa. Beli baju yuk. Baju aku masa gini – gini aja.”
Selena tertawa. Kami menuju ke sebuah toko baju dan memilih baju yang cocok.
“Selena, bagaimana menurutmu?” aku menyerahkan selendang merah transparan.
“cocok sih. Tapi, buat siapa?”
“buat kamu, Selena.”
Katanya langsung membuatnya leleh hati Selena.
“dan juga kamu kayaknya cocok sama kain jarik ini.”
Aku menyerahkan beberapa pilihan kepadaa Selena.
“kamu enggak beli sesuatu gitu?”
“udah. Nih. Aku udah ambil kaos 2 dan lainnya untuk yang di rumah.” Aku menunjukkan beberapa potong pakaian.
Setelah berbelanja, panasnya matahari membuat kami kelelahan.
“laper...haus...” pekik Selena.
“sampe lupa ajak kamu makan.”
“makan itu yuk.” Selena menunjuk sebuah warung makan yang cukup bagus.
“boleh. Yuk kalo gitu.” Mantapku.
Perut yang kosong kini telah terisi. Tenggorokan yang kering sudah basah kembali. Makanan yang dihidangkan benar – benar mengenyangkanku. Selena menjaga makannya dan memilih – milih makanannya.
“kamu enggak beliin apa gitu buat pacarnya.”
“saya enggak punya pacar. Lha wong saya item begini.”
“boong nih, kamu pasti udah punya.”
“liat aja mata aku. Apa aku boong?”
Selena menatap mataku dalam. Ada sebuah pesan yang tersirat di sana. Namun, sulit untuk diungkapkan.
“kamu ngapain sih ngeliatin aku kayak gitu?” Selena tersipu.
“ya maaf abisnya kamu enggak percaya.”
“aku percaya koq sekarang.”
Setelah makan, Selena mengabari Ruzari bahwa ia telah selesai. Sayangnya, Ruzari masih lama. Kemungkinan ia balik sore hari. Selena pun bingung.
“aku hendak menumpang mobil sayur itu. Biasanya, mereka searah dengan kampung.”
“aku ikut. Ruz masih lama.”
“kamu yakin? Aku duduk di bak nya. Bukan di kursi penumpang. Tapi sebentar ya...”
Aku berbicara dengan sopir tentang keinginanku menumpang. Tentu saja, dengan sejumlah uang yang aku berikan. Aku menaruh barangku di bak mobil dan memanggil Selena.
“kau bisa duduk di depan. Aku duduk di belakang.”
“aku ikut sama kamu aja.” Rengeknya.
Mobil berjalan menyusuri jalanan berkelok dan naik turun. Bersandar pada mobil, aku menatap jalanan yang aku tinggalkan.
“Joko! Kamu ngelamunin apa?”
“cuman mikir aja. Kita sebenarnya tengah berjalan di sebuah jalur yang udah ditentuin oleh Sang Pencipta. Mau bagus atau enggak kita mesti tetap jalanin itu jalurnya.”
“inget juga, kadang ada pertemuan antar jalur itu kemudian berpisah lagi.”
Sepoi angin menentramkan jiwa. Hawa panas tercerai terbawa angin semilir. Selena membiarkan dirinya larut dalam istirahat. Bersandar pada badanku, aku tidak perlu mengganggunya. Biarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Aku tidak memungkiri bahwa kecantikan Selena sedikit banyak mempengaruhiku. Memberikan efek serotonin yang mendamaikan pikiran.
Sampai tujuan, mobil berhenti di balai desa.
“Selena, bangun. Sudah sampai di balai desa.”
Selena mengumpulkan kesadaran dan menatap gedung yang menjadi tempat syutingnya. Aku turun dan membantunya juga turun dari mobil. Dari sini, aku berpisah dengannya. Barusan, aku kepikiran mengapa aku tidak membeli ponsel. Tapi, biarlah.
“Joko! Tunggu!” seseorang memanggilku.
“Selena. Kenapa disini?”
“aku ikut sama kamu sampe rumah. Boleh kan?”
“boleh sih.”
Sementara itu Ruzari bertemu dengan koresponden regional yang pernah bertemu dengan Zizi.
“kalau saya ingat nona Zizi. Pasti saya merasa kasihan yang menjadi kameramennya waktu itu.” Kata koresponden itu.
“memangnya kenapa, Pak?”
“beberapa bulan sebelumnya, nona Zizi bersama kameramennya datang untuk meliput OW xxxx yang akhirnya berimbas pada pengungkapan kasus Danaran. Demi menyelamatkan nona Zizi, kameramen itu melawan gerombolan orang yang menghalangi kami dan jatuh ke sungai.”
“kenapa tidak di usut kasusnya, Pak?”
“kameramen itu bukan pers resmi. Jadi, mereka mendaftarkan kasus ini sebagai orang hilang semata. Tapi berkat dia, Nona Zizi berhasil mengungkap praktik pelacuran Danaran.”
“ia tidak pernah bercerita hal itu kepadaku.”
“mungkin saja, Nona Zizi ingin hal ini tidak terlalu diumbar.”
“baiklah. Terima kasih. Oh iya, kau tahu ciri – ciri orang itu?”
“aku tidak mengingatnya dengan jelas.”
Sampai di rumah, Pak Kasdi sudah berada di sana. Ia terkejut dengan barang bawaanku dan mengajak Selena. Aku membantu Ibu Kasdi memilah barang dan Pak Kasdi menemani Selena di luar.
“Pak Kasdi, Joko itu anak bapak?”
“bukan. Dia keponakan bapak.”
“orangnya pinter loh. Saya aja bingung.”
“dia dari dasarnya sudah begitu.”
Aku menemui Selena di luar. Pak Kasdi menyarankanku untuk mengajaknya ke telaga di balik bukit yang tidak jauh dari sini. Aku mengiyakannya. Perjalanan ke tempat itu tidak memakan waktu banyak. Sebuah telaga bening dan airnya tenang.
“disinilah aku sering menghabiskan waktu. Tenang dan sepi.”
“kamu pandai cari tempat yang bagus buat pikiran.”
Suara kicau burung menjadi suara alam yang melengkapi keindahan telaga ini. Aku ingin mandi di telaga ini. Aku melepaskan pakaian atasku dan membiarkan celanaku tetap terpakai. Selena mengenakan Jarik yang aku beli tadi dan masuk ke dalam air. Aku tidak berani dekat dengannya. Pesonanya terlalu kuat untuk aku abaikan. Kulitnya bersih kontras dengan kulitku yang terbakar matahari.
“makasih buat hari ini udah nolongin aku dan ngasih aku perhatian.”
“iya. Sama – sama, Selena.”
Aku menatapnya lembut. Ia melakukan hal yang sama. Ia menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Jarak wajah kami saling dekat dan Selena menutup mata menguncupkan bibirnya.
“ccccllluupppphhhhh........cccccllllluuuuuuppppphhhhh.....ccccccllllluuuuupppppphhhhh........”
Aku mencabut ciumanku kepadanya. Meski hal ini menyenangkan, rasanya tidak mungkin aku melakukannya.
“maafkan aku. Aku tahu harusnya ini enggak terjadi.”
“terdengar konyol. Tapi, aku menyukai kamu, Joko.”
Pasrah, Ia kembali menciumku dan meraba setiap inci badanku yang bisa dicapainya. Aku memegangi lehernya menjaganya agar ciuman ini tidak terlepas.
“cccclllllluuuuuupppphhhhh........ccccccccllllluuuuuuuppppphhhhhh........cccccccccccllllluuuuuupppppphhhhh..........ccccccccccclllllllluuuuuuppppphhhhhhhh.......”
Aku membaringkan tubuhnya di tepian telaga. Badan kami masih basah. Aku mendaratkan ciumannya lagi bibirnya. Kali ini, aku menyasar leher dan bahunya.
“ssssssssshhhhhhhh..........mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhh............uuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhh”
Tangannya mendorongku menjauh dari tubuhnya. Aku terduduk dan melihatnya masih memakai jarik basah. Ia berada di sampingku. Salah satu tangannya masuk di sela celanaku.
“aaaahhhh....” aku melenguh saat tangan halusnya mengeram penisku.
Selena menghisap putingku dan tangannya mulai mengocok lembut penisku. Aku menurunkan sebagian celanaku sehingga penisku terlihat olehnya.
“mmmmmmmmhhhhhhhhhh.........mmmmmmmmmmhhhhhhhh........”
“Selena, aku masih enggak percaya kalo........ooooooohhhhhhhh......”
Penisku dikulumnya tanpa ampun olehnya.
“sssssllllloooorrrrppppppp........ssssssslllllllllloooooorrrrrpppppp........sssssslllllllloooooorrrrrrpppppppp.....”
Aku memegangi rambutnya agar wajahnya terlihat kepadaku. Sapuan lidah dan kulumannya membuatku merinding.
“cccrroookkkk......ccccccrrrrooookkkk.......cccccccrrrroooookkkkkk.....cccccrrrrooookkkk....”
Penisku telah basah oleh liurnya membuatnya semakin licin dipegang dan menaikkan nafsuku drastis. Kocokannya semakin cepat dan berat untuk aku tangani.
“aaahhhh......aaaaarrrgggggghhhhhhh.......”
“cccccrrrrroooottttssss..........ccccccccrrrrrrrroooootttttttsssss......ccccccccrrrrrroooottttssssss.....”
Pejuhku menyembur ke atas dan jatuh ke sembarang tempat. Selena masih terus mengocoknya hingga tidak ada yang tersisa. Ia tersenyum melihatku kelelahan.
“so much cum, so much fun.” Pekiknya.
Setelah tidak ada yang tersisa. Ia kembali menciumku lembut. Aku turut memeluk pinggangnya.
“aku suka kamu, Joko. Entah mengapa hal ini bisa terjadi.”
“aku cuman pemuda desa, Selena. Enggak ada yang bisa kamu banggain.”
“memang enggak ada, tapi aku pasti nemuin itu nanti.”
Waktu semakin petang. Aku kembali ke rumah Pak Kasdi. Mereka menawari Selena makan malam. Namun, ia menolaknya karena sebentar lagi ada siaran. Berpamitan untuk mengantarnya ke balai desa, aku meminjam sepeda milik tetangga dan memboncengnya.
“sakit nih pantat aku. Keras boncengannya.”
Aku berhenti dan mengecek boncengannya.
“iya. Aku pegang juga keras.” Candaku.
“bercanda nih kamunya. Iya lah keras.” Ia membalasnya dengan tertawa.
“ya udah dilapisin sarung biar empukan dikit.”
“boleh.”
Sarung yang melingkar di badanku berpindah ke boncengan sepeda.
“gimana?”
“enakan sekarang.” Ia senang.
Tangannya melingkar di pinggangku. Di balai desa, sudah penuh dan ramai warga yang ingin menyaksikan acara off air televisinya. Acara berlangsung cukup seru walaupun harus dikoordinasi secara teratur. Dengan anggunnya, Selena menjadi host acara yang menarik setiap mata memandangnya. Setelah kejadian tadi, sampai kapankah aku harus menyembunyikan identitasku sebenarnya?.
“sepertinya aku melihat seseorang. Apakah itu dia? Ah mungkin aku kecapekan sehingga berhalusinasi.” Kata Jamin, koresponden yang membantuku meloloskan Zizi yang kebetulan berada di sana.
Esok paginya, aku bekerja di ladang bersama Pak Kasdi. Jujur saja, aku masih segan bertemu dengan Selena yang sudah menyatakan perasaannya. Matahari cepat meninggi dan panasnya begitu terik. Kami beristirahat di saung seperti biasanya.
“panasnya sampai ke ubun – ubun, Pak.” Aku menyeka dahi
“Minum dulu airnya biar segeran.”
Aku meminum dari kendi yang disediakan. Dinginnya menuntaskan dahagaku.
“Nak Grha...maksudnya Joko.”
“panggil saja Grha, Pak.”
“saya berterima kasih Nak Grha udah beliin saya dan keluarga sembako dan baju. Seumur – umur saya belum pernah membeli barang segitu banyak.”
“enggak apa, Pak. Itu balas budi saya ke bapak sudah menyimpan barang saya.”
“Joko! Joko! Joko!” Selena memanggilku dari jauh.
“itu bukan Nak Selena? Kamu ada hubungan apa dengan dia.”
“enggak ada, Pak. Kami kebetulan dekat saja.”
Selena tergopoh – gopoh mendatangiku. Keringatnya bercucuran terkena sengatan matahari.
“kenapa enggak ke balai desa? Aku nungguin kamu, tahu enggak!” Selena kesal padaku.
“maaf, aku kan harus bekerja juga, Selena.”
“enggak mau tahu, kesel aku pokoknya.” Ia menyilangkan tangannya dan memasang wajah cemberut.
“Selena, aku minta maaf.” Aku mendekatinya dan merapatkan kedua telapak tanganku.
“pokoknya aku kesel.”
Pak Kasdi tertawa melihat tingkah sepasang muda – mudi ini. Mengingatkan pada masa mudanya.
“sudah – sudah. Kalian jangan bertengkar.”
“kamu kesini sama siapa?” tanyaku
“tadi sama Ruzari sih. Tapi, enggak tahu dia langsung ngilang kemana.”
“berarti aku harus nganterin kamu balik?”
“tentu!” ia mencubit pipiku dan langsung berlari menjauhiku.
“tunggu, Selena.” Aku mengejarnya.
“ckrek....ckrek.....ckrek.....ckrek....” suara kamera mengambil fotoku dari balik semak – semak.
“aku penasaran denganmu, Joko. Siapa kau sebenarnya.” Ruzari menghilang.
Kejar – kejaran dengan Selena membuatku kelelahan. Selena masih berlari. Aku sengaja menjatuhkan diri ke tanah.
“ayo kejar aku....”
Selena melihatku ambruk di sana.
“Joko!”
Panik, ia membangunkanku dengan menggoyang – goyangkan badanku dan menampar wajahku.
“Joko! Bangun! Joko! Bangun!......”
Paniknya berubah menjadi tangis.
“Bangun, Joko! Bangun.....jangan tinggalin aku.....”
“aku sedang tidur sebentar. Bangunin akunya nanti aja.” Aku membuka mata.
Selena bangkit mengusap air matanya yang berlinang dan beranjak pergi.
“enggak lucu yang kamu lakuin ke aku.”
“seenggaknya aku tahu bagaimana tulusnya kamu ke aku.” Aku berdiri.
“bau sawah....” Selena mengomentariku saat memeluk badanku.
“terus kenapa dipeluk?”
“enggak boleh lepas dari aku pokoknya.” Selena egois.
Aku kembali ke rumah dan keadaannya sepi. Selena duduk di dipan kayu.
“kamu duduk dimana aku tidur, Selena. Ya udah aku mandi dulu.”
To Be Continued.......
Cerita ini adalah cerita alternatif dimana Revival Story ditiadakan. Karena secara personal, saya kurang menyukai apa yang ada dalam cerita tersebut.
Hope this story entertaining for all of readers
P. S.
Thanks for Danz13
You make me great again!
Part 1
Aku tidak bisa mengingat kejadian setelah aku tercebur di sungai. Yang terakhir aku ingat adalah aku menabrak sebuah batu besar dan tidak ada setelahnya. Aku ditemukan di tepian sungai dimana aku di tolong oleh penduduk lokal di sana. Aku pun juga mengalami cedera pada kakiku yang membuatku tidak dapat bergerak selama beberapa waktu. Pengobatan tradisional berjalan lambat dalam penyembuhannya.
Aku ditolong oleh keluarga Pak Kasdi. Bersama Ibu Kasdi dan anak perempuannya, Menik. Mereka merawatku dengan baik dan penuh kasih sayang. Kadang, Pak Kasdi bersenda gurau denganku setelah bekerja menggarap lahan orang lain. Di situ lah, aku prihatin kepadanya. Ia pun tetap bersemangat menjalani hidupnya.
Setelah beberapa waktu, aku mulai bisa berjalan dan mulai membantu Pak Kasdi bekerja di ladang. Jujur saja, aku tidak terbiasa melakukannya. Pak Kasdi memakluminya.
“Kasdi, enek wong soko tivi mrene. Ndang budhal nang bale deso.” Teriak temannya.
“arep opo aku mrono?”
“wis lah penting – penting. Iso mlebu tv awakmu.”
Aku bertanya ke Pak Kasdi.
“ada apa, Pak? Sepertinya seru sekali.”
“Itu, Nak. Katanya ada orang televisi di balai desa.”
“orang televisi? Apakah Zizi...?”
“Nak Joko kenapa?”
Pak Kasdi memanggilku Joko karena aku tidak ingin menyebutkan nama asliku. Aku menunggu waktu yang tepat untuk itu.
“tidak, Pak. Cuma saya penasaran aja sama orang tv nya.”
“Nak Joko ke balai desa saja. Biar bapak di sini. Masih banyak yang di garap.”
“saya permisi dulu, Pak.”
Aku meletakkan cangkul di balai tengah sawah dan bergegas menuju ke balai desa. Warna kulitku agak berubah karena sengatan matahari. Keingintahuanku didorong rasa penasaranku. Sepanjang perjalanan, aku melihat sebuah mobil tengah berusaha keluar dari lumpur. Jalanan di sini tidak ramah untuk kendaraan. 3 orang berdiri di luar mobil. Salah satu di antara mereka adalah perempuan.
“permisi ada apa ya?” aku membuka capil, tudung kepala yang biasa di pakai petani.
“ini mobilnya terjebak lumpur.” Seru salah satu dari mereka.
“udah mau telat nih acaranya. Nanti kita kena damprat.” Perempuan itu berkacak pinggang.
“maaf mas dan mbak. Saya akan bantu. Sebentar ya mas.”
Kebetulan ada sebuah balok kayu yang cukup kuat menahan beban. Aku meletakkannya di atas ban depan yang terperosok. Mereka mengamatiku melakukannya.
“coba di nyalakan mesinnya. Semoga bisa keluar.”
Mereka menyalakan mesin dan putaran roda membuat kayu berpindah ke bawah dan roda depan terangkat. Roda belakang mengikuti setelahnya.
“Makasih mas, sudah tolongin kami.”
“sama – sama, mas.”
“ayo buruan! Udah harus di mulai acaranya.”
“mas nanti ke balai desa ya.”
Mobil itu melaju meninggalkanku di sini. Aku membawa balok kayu tadi untuk berjaga – jaga apabila mobil itu terperosok di depan. Langkahku masih kuat menyusuri jalan ini. Sesampainya di sana, acara sudah selesai. Namun, warga masih berada di sana. Ternyata, perempuan itu menjadi host sebuah acara pemerintah.
“mas sini!” seseorang memanggilku.
Ia adalah orang aku tolong tadi. Dia bersama beberapa orang lainnya tengah minum kopi.
“ngopi mas? Saya suruh bikinin.
“enggak, mas. Makasih.”
“jangan di tolak. Hey, kopi satu lagi.”
Ia mempersilahkanku duduk bersama kru tv lainnya.
“dia nih yang nolongin gue waktu mobilnya Selena kejebak lumpur. Cuman modal kayu doank. Pinter nih orang.”
“mas nya ngelebih – lebihin aja.”
“loh, mas bukan asli sini?”
Aku keceplosan dengan aksenku yang tidak berbeda dengan mereka.
“tidak, mas. Cuma saya ngikutin aja.”
“Saya Ruzari. Mas namanya siapa?”
“Saya Gr.....Joko.”
“bentar ya mas Joko. Saya ada telepon.”
Ruzari berbicara di dekatku. Suara teleponnya terdengar di telingaku. Entah mengapa, aku mengenali suara ini. Suara yang tidak asing bagiku. Tiba – tiba, seorang kru tv tergesa – gesa.
“Ruz, gawat nih. Streaming-nya enggak bisa di upload. Gimana ini?”
“yang bener aja sih.”
Ruzari mengutak – atik pengaturan jaringan di laptopnya.
“kenapa ya? Enggak sepeti biasanya?”
“bisa saya lihat?” aku bertanya.
“elo tahu? Cobain dah.”
Aku sibuk mengutak – atik laptopnya. Sementara, Selena perempuan yang tadi bersama Ruzari mendatangi mereka.
“gimana udah bisa di upload? Zizi nanyain tuh.”
Mendengar kata Zizi membuatku tersentak. Berarti, mereka adalah kru tv yang sama. Aku kembali mencoba memperbaikinya.
“selesai. Sepertinya sudah bisa.”
“masa’? Sini liat. Koq bisa di upload sama elo.”
“iya. Tadi server host nya yang bermasalah. Itu pake jaringan backdoor di server host. Mohon di kasih tahu kalo takutnya di detect sebagai hacking process. Padahal, bukan.”
Ruzari masuk ke dalam bersama Selena.
Aku pergi dari balai desa begitu selesai dengan Ruzari. Kaki kiriku mendadak sakit. Terpaksa aku berjalan terseok – seok menuju rumah.
“dimana tuh orang?”
“siapa yang tadi?”
“Iya. Selena. Tuh orang desa tapi canggih. Kita butuh orang kayak dia selama di sini.”
“nanti kita ketemu lurahnya sekalian cari tahu.”
Di lain tempat, Zizi tengah sibuk memandangi foto terakhirnya bersamaku yang di cetak dan di bingkainya.
“sudah beberapa bulan enggak sama kamu rasanya aneh. Aku enggak bisa terus – terusan bohongin diri aku dalam kenikmatan semu.”
Malam hari, di depan rumah Pak Kasdi. Aku bersama Pak Kasdi berbicara tentang kegiatan hari ini ditemani oleh teh hangat.
“gimana tadi di balai desa?”
“saya telat datengnya, Pak.” Kataku jenaka.
“Nak. Bapak mau ngomong sama kamu serius.”
“ada apa, Pak?”
“Bapak bukannya mau mengusir kamu. Tapi, kamu mau di sini sampai kapan? Lambat laun kamu juga akan pergi dari sini. Tempat kamu bukan di sini, Nak Grha.”
“bapak tahu nama asli saya?” aku terkejut.
“Bapak sudah tahu sejak lama. Bapak merahasiakannya dari orang sini. Tunggu di sini.”
Pak Kasdi masuk ke dalam rumah. Perkataan Pak Kasdi ada benarnya. Aku tidak mungkin di sini selamanya dan menyembunyikan semuanya.
“ini, Nak Grha. Di kotak ini ada barang milik kamu.” Pak Kasdi menyerahkannya kepadaku.
Di dalamnya terdapat ponselku yang rusak terkena air. Dompet yang berisi kartu atm dan identitas. Sejumlah uang masih utuh di dalamnya.
“maafkan bapak tidak terus terang sama kamu. Bapak tunggu waktu yang tepat.”
“enggak apa, Pak. Bapak sudah melakukan hal yang benar.”
Aku mengambil semua uang yang berada di dalam dompetku dan menyerahkannya kepada Pak Kasdi.
“bapak pakai uang ini untuk beli kambing.”
“tidak perlu, Nak. Bapak masih kerja.” Pak Kasdi menolaknya.
“bapak sudah baik sama saya. Anggap saja rezeki bapak lagi dititip ke saya. Saya kasihan sama bapak yang garap lahan orang terus.”
“makasih, Nak. Bapak senang sekali.”
“besok saya mau izin ke kecamatan. Semoga kartu atm ini masih bisa di pakai.”
Keesokan hari, aku hendak menuju ke kecamatan berharap ada yang memberi tumpangan saat aku berjalan. Sebuah mobil berpapasan denganku.
“Mas Joko!” sapa Ruzari.
“Mas Ruzari.”
“mau kemana ? Kemarin saya cariin juga.”
“maaf, Mas. Saya mau ke kecamatan. Mau ke bank.”
“ikut aja. Kita sekalian mau ke kantor kecamatan.” Selena mengajakku.
“ayo naik, Mas.” Ruzari bersahut.
Sepanjang perjalanan, aku berbincang dengan Ruzari. Selena sesekali nimbrung dalam obrolan kami. Kami berbicara seperti seorang teman lama. Tiba di bank, aku masuk ke mesin atm.
“Selena, elo perhatiin dia deh. Kayaknya dia agak beda sama penduduk sana. Walau ditutupin, gaya bicaranya malah terkesan udah tinggal lama di kota.”
“perasaan elo aja, Ruz. Elo ke kecamatan sendirian yak. Gue mau belanja dulu. Idenya tadi nggelitik kepala gue.”
“dasar cewek. Ya udah ntar gue kabarin kalo udah selese.”
Di dalam atm, aku memasukkan kartu atm dan mengingat pin atmku. Meski sulit mengingatnya, aku mendapatkan kembali kombinasinya. Aku melakukan cek saldo dan senyum terkembang di bibirku. Ia menepati janjinya kepadaku.
“mbak Selena masih di sini? Mas Ruzari di mana?”
“dia ke kecamatan. Aku pengen belanja di pasar sama kamu. Kayaknya seru.”
“mbak Selena ndak apa – apa? Pasar sini bukan kayak mall.”
“udah yuk. Enggak sabar nih.”
Pasar terletak cukup dekat dari sini.
“saya ndak enak ngajak mbak Selena jalan kaki sebenarnya.”
“panggil Selena aja. Belum tua – tua amat akunya.”
“iya, mbak..eh maksudnya Selena.”
“Mas Joko tinggal di mana sih?”
“saya tinggal sama Pak Kasdi. Rumahnya ada di ujung ladang.”
Masuk ke dalam pasar, aku membeli berbagai keperluan untuk keluarga Pak Kasdi.
“kamu yakin mau beli sebanyak ini?”
“iya buat stok. Selena enggak beli sesuatu?”
Ia membuka ponselnya di sana yang langsung di ambil oleh Jambret yang kabur.
“ponsel gue.....”
“kamu tunggu disini. Aku bakal ngejar dia.
Aku mengejarnya hingga ia terpojok. Tidak ada pilihan lain selain melawannya.
“aku harus menjatuhkannya dengan singkat.”
Ia menyerang dengan pukulan yang langsung aku tangkis. Aku bergerak ke samping membekap lehernya dan menginjak lututnya dari belakang. Terjatuh mengikuti tanganku, aku menghantam wajahnya berkali – kali. Setelah mengambil ponsel Selena, aku pergi dari tempat itu.
“Ini ponsel kamu, Selena.”
“kamu enggak apa -apa?”
“enggak apa – apa. Beli baju yuk. Baju aku masa gini – gini aja.”
Selena tertawa. Kami menuju ke sebuah toko baju dan memilih baju yang cocok.
“Selena, bagaimana menurutmu?” aku menyerahkan selendang merah transparan.
“cocok sih. Tapi, buat siapa?”
“buat kamu, Selena.”
Katanya langsung membuatnya leleh hati Selena.
“dan juga kamu kayaknya cocok sama kain jarik ini.”
Aku menyerahkan beberapa pilihan kepadaa Selena.
“kamu enggak beli sesuatu gitu?”
“udah. Nih. Aku udah ambil kaos 2 dan lainnya untuk yang di rumah.” Aku menunjukkan beberapa potong pakaian.
Setelah berbelanja, panasnya matahari membuat kami kelelahan.
“laper...haus...” pekik Selena.
“sampe lupa ajak kamu makan.”
“makan itu yuk.” Selena menunjuk sebuah warung makan yang cukup bagus.
“boleh. Yuk kalo gitu.” Mantapku.
Perut yang kosong kini telah terisi. Tenggorokan yang kering sudah basah kembali. Makanan yang dihidangkan benar – benar mengenyangkanku. Selena menjaga makannya dan memilih – milih makanannya.
“kamu enggak beliin apa gitu buat pacarnya.”
“saya enggak punya pacar. Lha wong saya item begini.”
“boong nih, kamu pasti udah punya.”
“liat aja mata aku. Apa aku boong?”
Selena menatap mataku dalam. Ada sebuah pesan yang tersirat di sana. Namun, sulit untuk diungkapkan.
“kamu ngapain sih ngeliatin aku kayak gitu?” Selena tersipu.
“ya maaf abisnya kamu enggak percaya.”
“aku percaya koq sekarang.”
Setelah makan, Selena mengabari Ruzari bahwa ia telah selesai. Sayangnya, Ruzari masih lama. Kemungkinan ia balik sore hari. Selena pun bingung.
“aku hendak menumpang mobil sayur itu. Biasanya, mereka searah dengan kampung.”
“aku ikut. Ruz masih lama.”
“kamu yakin? Aku duduk di bak nya. Bukan di kursi penumpang. Tapi sebentar ya...”
Aku berbicara dengan sopir tentang keinginanku menumpang. Tentu saja, dengan sejumlah uang yang aku berikan. Aku menaruh barangku di bak mobil dan memanggil Selena.
“kau bisa duduk di depan. Aku duduk di belakang.”
“aku ikut sama kamu aja.” Rengeknya.
Mobil berjalan menyusuri jalanan berkelok dan naik turun. Bersandar pada mobil, aku menatap jalanan yang aku tinggalkan.
“Joko! Kamu ngelamunin apa?”
“cuman mikir aja. Kita sebenarnya tengah berjalan di sebuah jalur yang udah ditentuin oleh Sang Pencipta. Mau bagus atau enggak kita mesti tetap jalanin itu jalurnya.”
“inget juga, kadang ada pertemuan antar jalur itu kemudian berpisah lagi.”
Sepoi angin menentramkan jiwa. Hawa panas tercerai terbawa angin semilir. Selena membiarkan dirinya larut dalam istirahat. Bersandar pada badanku, aku tidak perlu mengganggunya. Biarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Aku tidak memungkiri bahwa kecantikan Selena sedikit banyak mempengaruhiku. Memberikan efek serotonin yang mendamaikan pikiran.
Sampai tujuan, mobil berhenti di balai desa.
“Selena, bangun. Sudah sampai di balai desa.”
Selena mengumpulkan kesadaran dan menatap gedung yang menjadi tempat syutingnya. Aku turun dan membantunya juga turun dari mobil. Dari sini, aku berpisah dengannya. Barusan, aku kepikiran mengapa aku tidak membeli ponsel. Tapi, biarlah.
“Joko! Tunggu!” seseorang memanggilku.
“Selena. Kenapa disini?”
“aku ikut sama kamu sampe rumah. Boleh kan?”
“boleh sih.”
Sementara itu Ruzari bertemu dengan koresponden regional yang pernah bertemu dengan Zizi.
“kalau saya ingat nona Zizi. Pasti saya merasa kasihan yang menjadi kameramennya waktu itu.” Kata koresponden itu.
“memangnya kenapa, Pak?”
“beberapa bulan sebelumnya, nona Zizi bersama kameramennya datang untuk meliput OW xxxx yang akhirnya berimbas pada pengungkapan kasus Danaran. Demi menyelamatkan nona Zizi, kameramen itu melawan gerombolan orang yang menghalangi kami dan jatuh ke sungai.”
“kenapa tidak di usut kasusnya, Pak?”
“kameramen itu bukan pers resmi. Jadi, mereka mendaftarkan kasus ini sebagai orang hilang semata. Tapi berkat dia, Nona Zizi berhasil mengungkap praktik pelacuran Danaran.”
“ia tidak pernah bercerita hal itu kepadaku.”
“mungkin saja, Nona Zizi ingin hal ini tidak terlalu diumbar.”
“baiklah. Terima kasih. Oh iya, kau tahu ciri – ciri orang itu?”
“aku tidak mengingatnya dengan jelas.”
Sampai di rumah, Pak Kasdi sudah berada di sana. Ia terkejut dengan barang bawaanku dan mengajak Selena. Aku membantu Ibu Kasdi memilah barang dan Pak Kasdi menemani Selena di luar.
“Pak Kasdi, Joko itu anak bapak?”
“bukan. Dia keponakan bapak.”
“orangnya pinter loh. Saya aja bingung.”
“dia dari dasarnya sudah begitu.”
Aku menemui Selena di luar. Pak Kasdi menyarankanku untuk mengajaknya ke telaga di balik bukit yang tidak jauh dari sini. Aku mengiyakannya. Perjalanan ke tempat itu tidak memakan waktu banyak. Sebuah telaga bening dan airnya tenang.
“disinilah aku sering menghabiskan waktu. Tenang dan sepi.”
“kamu pandai cari tempat yang bagus buat pikiran.”
Suara kicau burung menjadi suara alam yang melengkapi keindahan telaga ini. Aku ingin mandi di telaga ini. Aku melepaskan pakaian atasku dan membiarkan celanaku tetap terpakai. Selena mengenakan Jarik yang aku beli tadi dan masuk ke dalam air. Aku tidak berani dekat dengannya. Pesonanya terlalu kuat untuk aku abaikan. Kulitnya bersih kontras dengan kulitku yang terbakar matahari.
“makasih buat hari ini udah nolongin aku dan ngasih aku perhatian.”
“iya. Sama – sama, Selena.”
Aku menatapnya lembut. Ia melakukan hal yang sama. Ia menggenggam tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Jarak wajah kami saling dekat dan Selena menutup mata menguncupkan bibirnya.
“ccccllluupppphhhhh........cccccllllluuuuuuppppphhhhh.....ccccccllllluuuuupppppphhhhh........”
Aku mencabut ciumanku kepadanya. Meski hal ini menyenangkan, rasanya tidak mungkin aku melakukannya.
“maafkan aku. Aku tahu harusnya ini enggak terjadi.”
“terdengar konyol. Tapi, aku menyukai kamu, Joko.”
Pasrah, Ia kembali menciumku dan meraba setiap inci badanku yang bisa dicapainya. Aku memegangi lehernya menjaganya agar ciuman ini tidak terlepas.
“cccclllllluuuuuupppphhhhh........ccccccccllllluuuuuuuppppphhhhhh........cccccccccccllllluuuuuupppppphhhhh..........ccccccccccclllllllluuuuuuppppphhhhhhhh.......”
Aku membaringkan tubuhnya di tepian telaga. Badan kami masih basah. Aku mendaratkan ciumannya lagi bibirnya. Kali ini, aku menyasar leher dan bahunya.
“ssssssssshhhhhhhh..........mmmmmmmmmmmmhhhhhhhhhh............uuuuuuuuuuuuuhhhhhhhhhh”
Tangannya mendorongku menjauh dari tubuhnya. Aku terduduk dan melihatnya masih memakai jarik basah. Ia berada di sampingku. Salah satu tangannya masuk di sela celanaku.
“aaaahhhh....” aku melenguh saat tangan halusnya mengeram penisku.
Selena menghisap putingku dan tangannya mulai mengocok lembut penisku. Aku menurunkan sebagian celanaku sehingga penisku terlihat olehnya.
“mmmmmmmmhhhhhhhhhh.........mmmmmmmmmmhhhhhhhh........”
“Selena, aku masih enggak percaya kalo........ooooooohhhhhhhh......”
Penisku dikulumnya tanpa ampun olehnya.
“sssssllllloooorrrrppppppp........ssssssslllllllllloooooorrrrrpppppp........sssssslllllllloooooorrrrrrpppppppp.....”
Aku memegangi rambutnya agar wajahnya terlihat kepadaku. Sapuan lidah dan kulumannya membuatku merinding.
“cccrroookkkk......ccccccrrrrooookkkk.......cccccccrrrroooookkkkkk.....cccccrrrrooookkkk....”
Penisku telah basah oleh liurnya membuatnya semakin licin dipegang dan menaikkan nafsuku drastis. Kocokannya semakin cepat dan berat untuk aku tangani.
“aaahhhh......aaaaarrrgggggghhhhhhh.......”
“cccccrrrrroooottttssss..........ccccccccrrrrrrrroooootttttttsssss......ccccccccrrrrrroooottttssssss.....”
Pejuhku menyembur ke atas dan jatuh ke sembarang tempat. Selena masih terus mengocoknya hingga tidak ada yang tersisa. Ia tersenyum melihatku kelelahan.
“so much cum, so much fun.” Pekiknya.
Setelah tidak ada yang tersisa. Ia kembali menciumku lembut. Aku turut memeluk pinggangnya.
“aku suka kamu, Joko. Entah mengapa hal ini bisa terjadi.”
“aku cuman pemuda desa, Selena. Enggak ada yang bisa kamu banggain.”
“memang enggak ada, tapi aku pasti nemuin itu nanti.”
Waktu semakin petang. Aku kembali ke rumah Pak Kasdi. Mereka menawari Selena makan malam. Namun, ia menolaknya karena sebentar lagi ada siaran. Berpamitan untuk mengantarnya ke balai desa, aku meminjam sepeda milik tetangga dan memboncengnya.
“sakit nih pantat aku. Keras boncengannya.”
Aku berhenti dan mengecek boncengannya.
“iya. Aku pegang juga keras.” Candaku.
“bercanda nih kamunya. Iya lah keras.” Ia membalasnya dengan tertawa.
“ya udah dilapisin sarung biar empukan dikit.”
“boleh.”
Sarung yang melingkar di badanku berpindah ke boncengan sepeda.
“gimana?”
“enakan sekarang.” Ia senang.
Tangannya melingkar di pinggangku. Di balai desa, sudah penuh dan ramai warga yang ingin menyaksikan acara off air televisinya. Acara berlangsung cukup seru walaupun harus dikoordinasi secara teratur. Dengan anggunnya, Selena menjadi host acara yang menarik setiap mata memandangnya. Setelah kejadian tadi, sampai kapankah aku harus menyembunyikan identitasku sebenarnya?.
“sepertinya aku melihat seseorang. Apakah itu dia? Ah mungkin aku kecapekan sehingga berhalusinasi.” Kata Jamin, koresponden yang membantuku meloloskan Zizi yang kebetulan berada di sana.
Esok paginya, aku bekerja di ladang bersama Pak Kasdi. Jujur saja, aku masih segan bertemu dengan Selena yang sudah menyatakan perasaannya. Matahari cepat meninggi dan panasnya begitu terik. Kami beristirahat di saung seperti biasanya.
“panasnya sampai ke ubun – ubun, Pak.” Aku menyeka dahi
“Minum dulu airnya biar segeran.”
Aku meminum dari kendi yang disediakan. Dinginnya menuntaskan dahagaku.
“Nak Grha...maksudnya Joko.”
“panggil saja Grha, Pak.”
“saya berterima kasih Nak Grha udah beliin saya dan keluarga sembako dan baju. Seumur – umur saya belum pernah membeli barang segitu banyak.”
“enggak apa, Pak. Itu balas budi saya ke bapak sudah menyimpan barang saya.”
“Joko! Joko! Joko!” Selena memanggilku dari jauh.
“itu bukan Nak Selena? Kamu ada hubungan apa dengan dia.”
“enggak ada, Pak. Kami kebetulan dekat saja.”
Selena tergopoh – gopoh mendatangiku. Keringatnya bercucuran terkena sengatan matahari.
“kenapa enggak ke balai desa? Aku nungguin kamu, tahu enggak!” Selena kesal padaku.
“maaf, aku kan harus bekerja juga, Selena.”
“enggak mau tahu, kesel aku pokoknya.” Ia menyilangkan tangannya dan memasang wajah cemberut.
“Selena, aku minta maaf.” Aku mendekatinya dan merapatkan kedua telapak tanganku.
“pokoknya aku kesel.”
Pak Kasdi tertawa melihat tingkah sepasang muda – mudi ini. Mengingatkan pada masa mudanya.
“sudah – sudah. Kalian jangan bertengkar.”
“kamu kesini sama siapa?” tanyaku
“tadi sama Ruzari sih. Tapi, enggak tahu dia langsung ngilang kemana.”
“berarti aku harus nganterin kamu balik?”
“tentu!” ia mencubit pipiku dan langsung berlari menjauhiku.
“tunggu, Selena.” Aku mengejarnya.
“ckrek....ckrek.....ckrek.....ckrek....” suara kamera mengambil fotoku dari balik semak – semak.
“aku penasaran denganmu, Joko. Siapa kau sebenarnya.” Ruzari menghilang.
Kejar – kejaran dengan Selena membuatku kelelahan. Selena masih berlari. Aku sengaja menjatuhkan diri ke tanah.
“ayo kejar aku....”
Selena melihatku ambruk di sana.
“Joko!”
Panik, ia membangunkanku dengan menggoyang – goyangkan badanku dan menampar wajahku.
“Joko! Bangun! Joko! Bangun!......”
Paniknya berubah menjadi tangis.
“Bangun, Joko! Bangun.....jangan tinggalin aku.....”
“aku sedang tidur sebentar. Bangunin akunya nanti aja.” Aku membuka mata.
Selena bangkit mengusap air matanya yang berlinang dan beranjak pergi.
“enggak lucu yang kamu lakuin ke aku.”
“seenggaknya aku tahu bagaimana tulusnya kamu ke aku.” Aku berdiri.
“bau sawah....” Selena mengomentariku saat memeluk badanku.
“terus kenapa dipeluk?”
“enggak boleh lepas dari aku pokoknya.” Selena egois.
Aku kembali ke rumah dan keadaannya sepi. Selena duduk di dipan kayu.
“kamu duduk dimana aku tidur, Selena. Ya udah aku mandi dulu.”
To Be Continued.......