Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG #1

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
1 kata buat suhu enyas ... MASTERPIECE .. karya suhu enyas emang selaku worthy buat di tunggu :) .. semangat suhu enyas
 
Wuih baru tau ada kelas gratis disini. Numpang ikutan belajar Pak Dosen :semangat:
 
baru baca chapter 1 aja dah kaya kebawa kedalam cerita,penggunaan bahasanya dalam banget mengajarkan kita buat tidak asal menjudge seseorang dalam profesinya,nice and good story suhu,updatenye jangan lama2 ya suhu
 
#1

Chapter 3 : Dan Aku


Langit biru membentang cerah siang itu. Teriknya hari itu terselamatkan dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang membuat hawa udara tidak begitu menyengat. Di sebuah gazebo di tengah area kampus swasta yang cukup terkenal, tiga dara sedang asyik bercengkerama. Satu dari ketiga dara itu adalah Maulidina yang siang itu tampak menawan dalam balutan kemeja biru muda berlengan panjang, dipadu rapi dengan celana jeans biru tua, senada dengan warna dasar dari jilbab bermotif bunga-bunga yang dikenakannya.

“Johan tuh baru beli motor. Itu Yamaha R-25 itu tuh,” Ussy, gadis berambut sebahu yang terkenal paling cerewet di antara ketiganya menceritakan kekasihnya dengan sedikit ekspresi berlebihan yang menjadi ciri khasnya.

“Wah asyik dong, kencan dengan motor keren,” timpal Ratna sembari asyik mengunyah biskuit coklat kudapannya. Berbeda dengan Ussy, gadis berkacamata ini lebih terlihat seperti seorang kutu buku berparas manis.

“Apanya?” Ussy mengambil sebuah biskuit coklat dan menggigitnya sedikit. “Johan tuh jadi semacam tebar pesona gitu ke cewek-cewek. Bikin sebel! Apalagi sekarang kalau ngobrol tuh yang diomongin tuh soal motornya melulu. Yang habis pasang sticker lah, ganti ini lah itu lah.”

“Tuh lah tuh lah,” goda Ratna sambil menirukan gaya bicara Ussy. “Yang penting kan dia nggak macam-macam Rat?”

“Apanya?” sekali lagi Ussy menggunakan kata ‘apanya’ sebagai awal ucapannya. “Bolak-balik tuh aku pergokin dia pasang gaya di atas motornya kalau ada Mbak Ingke. Iyuh banget tuh,” kata ‘tuh’ masih tidak lepas dari setiap ucapan Ussy.

“Jealous?” Dina angkat bicara dengan nada menggoda.

“Ya jelaslah Din,” Ratna menghabiskan biskuit coklat di tangannya. “Mbak Ingke kan cantik, ramping, jelas aja Ussy jealous. Makanya Us, pindah kost gih. Cari yang penghuni kostnya jauh lebih jelek darimu,” tambahnya sembari tertawa geli.

“Issh… kalian tuh ya, bisanya malah ngeledek,” Ussy mencibir sebal sembari menggigit biskuit coklatnya. “Kamu sendiri gimana tuh? Si Gringgo?”

“Tau ah,” Ratna melengos. “Lama-lama capek juga pacaran sama cowok yang kepo-nya berlebihan. Semua gerak-gerik diawasi. Rasanya seperti diikuti stalker seumur hidup.”

“Putusin aja,” jawab Dina singkat. “Cowok kok posesif.”

“Nggak segampang itu Din,” ujar Ratna. “Aku terlanjur sayang sih.”

“Wah, kok betah pacaran sama makhluk macam itu?” Ussy ikut menimpali. “Kayaknya dari kita bertiga cuma Dina tuh yang adem ayem,” Ussy memandang ke arah Dina. Ratna juga ikut memandang ke arah Dina.

“Eh? Apaan?” Dina sedikit risih saat kedua temannya memandanginya serempak.

“Ramzi baik, nggak posesif, cakep lagi. Beruntung kamu Din,” Ratna memuji Ramzi yang tidak lain adalah pacar Dina.

“Kalau udah bosan bisa tuh dikasih ke aku,” goda Ussy sembari tertawa.

“Issh… dasar kalian nih.”

Pembicaraan mereka terhenti saat pandangan mata Dina menangkap sosok Ramzi, kekasihnya sedang berjalan menuju ke arah mereka bertiga. Ramzi tampak tampan dengan jaket kulit ala anak motor yang dikenakannya. Ramzi tersenyum saat Ratna dan Ussy juga melihat ke arahnya.

“Aku duluan ya,” Dina beranjak dari duduknya dan bergegas melangkah ke arah Ramzi. Mengabaikan pandangan iri dari Ratna dan Ussy.

“Sorry agak lama,” ucap Ramzi seraya mengelus rambut Dina yang tertutup jilbab.

“Nggak apa-apa. Kita mau kemana?” tanya Dina. Gadis itu tampak bersemangat.

“Nonton yuk?” tawar Ramzi yang segera dijawab dengan anggukan.

*_*_*​

Kini dua insan yang berpacaran itu duduk berdampingan di dalam gedung bioskop. Seolah menikmati kebersamaan di bawah naungan remang cahaya ruangan. Deretan kursi di samping Ramzi kosong, sedang di sebelah Dina ada tiga orang pria seumuran mereka. Dina tampak menikmati film drama yang sedang mereka tonton. Berbeda dengan Ramzi yang justru lebih sering memandangi wajah manis Dina.

“Apa sih?” bisik Dina lirih saat menyadari Ramzi sedang memandanginya.

Ramzi mendekatkan bibirnya ke samping telinga Dina yang tertutup jilbab sebelum dengan lembut ia berbisik. “Kamu cantik sayang.”

Kalimat Ramzi membuat Dina tersipu dan melancarkan cubitan kecil ke lengan Ramzi. Tanpa perlawanan Ramzi merentangkan tangannya, merangkul bahu sang kekasih dan menariknya pelan hingga kepala Dina tersandar di bahunya. Satu kecupan lembut mendarat di jilbab Dina.

Seakan terbius oleh perlakuan sang kekasih, Dina diam saja saat satu tangan Ramzi masuk ke dalam jilbabnya dan menyentuh buah dadanya dari luar kemeja. Dina mendongakkan wajahnya ke arah Ramzi saat buah dadanya mulai diremas-remas oleh tangan Ramzi.

“Sayang…” Dina mengingatkan Ramzi bahwa ini bukan tempat yang tepat untuk melakukan hal tersebut.

“Sudah tenang saja,” jawab Ramzi tanpa berhenti meremas-remas dada kekasihnya.

Dina menyandarkan kembali kepalanya ke bahu Ramzi. Memejamkan matanya menikmati rangsangan yang mulai terasa akibat permainan tangan Ramzi di dadanya. Nafasnya mulai terdengar berat. Ramzi membuka lima kancing kemeja Dina dan tanpa menunggu waktu lama, tangannya kini bergerak masuk, langsung menyusup ke balik bra yang dikenakan Dina.

“Emh..” Dina berusaha menahan lenguhannya saat ia merasakan sentuhan telapak tangan Ramzi di kulit payudaranya. Tubuhnya mulai tidak bisa diam saat telapak tersebut meremas payudaranya. Gesekan antara puting dan telapak tangan membuatnya makin tidak bisa diam. Tubuhnya kini tersandar sepenuhnya ke sang kekasih. Ramzi tidak menyia-nyiakan kepasrahan itu untuk terus memberi rangsangan sekaligus menikmati kencangnya payudara Dina.

Ramzi tahu betul bahwa Dina sudah mulai larut dalam rangsangannya. Nafas Dina kini terasa semakin berat setiap kali Ramzi memilin putingnya. Dadanya terasa kembang kempis seiring remasan nikmat pada payudaranya. Ramzi menarik tangannya dari buah dada Dina, sekilas ia melihat paras cantik kekasihnya yang kini memejamkan mata dengan nafas memburu. Di remangnya cahaya bioskop, tangan Ramzi dengan cekatan bergerak turun, melepas kancing celana jeans Dina dan menurunkan resletingnya.

“Ah!”

Dina tak bisa menahan pekikan sesaatnya saat jari jemari Ramzi menelusup ke celana dalamnya dan menyentuh klitorisnya. Gadis itu buru-buru menutup mulutnya dengan tangannya, menahan erangan-erangan keluar dari mulutnya saat Ramzi mulai memasukkan satu jari ke dalam liang nikmatnya yang telah basah oleh cairannya sendiri.

“Mmh… mmhh…,” jari Ramzi mulai bergerak keluar-masuk. Sesekali menekuk dan berputar di dalam liang surgawi Dina. Sedang mata Dina semakin terpejam dengan tangan masih menutup mulut, menahan agar ia tidak terlalu merintih. Sesekali tubuh gadis itu bergetar mengikuti kenikmatan rangsangan yang diberikan. Gerakan tubuh gadis itu kontan menarik perhatian pria yang duduk tepat di sebelahnya. Dalam keremangan lampu bioskop memang tidak begitu jelas apa yang terjadi, namun ekspresi dan bahasa tubuh Dina seolah menjelaskan kenikmatan yang saat ini tengah melandanya.

Saat Ramzi memandangi ekspresi Dina, tanpa sengaja matanya bertemu dengan pria yang duduk tepat di sebelah Dina. Pria itu memandang ke arah Ramzi dan seolah berbicara tanpa kata, Ramzi mengangguk. Seolah mengiyakan arti pandangan pria tersebut.

Entah apa Ramzi memang mengijinkan, tapi kini tangan pria itu mendarat di buah dada Dina, menyadari kancing kemeja Dina yang terbuka, tangan itu menyusup masuk ke dalam bra dan meraba langsung payudara kencang Dina. Mendapat sentuhan yang tak diduga, Dina membuka matanya, memandang ke pria di sebelahnya yang kini menikmati kekenyalan buah dadanya. Dina menoleh ke arah Ramzi dengan pandangan meminta pertolongan.

“Sudah nggak apa-apa,” bisik Ramzi pada Dina. Membuat mata gadis membelalak tidak terima.

“Mmh!” belum sempat Dina melakukan perlawanan, Ramzi memasukkan jarinya lebih dalam, memberi sengatan kenikmatan yang menggetarkan tubuh Dina. Pria tak dikenal di sebelahnya menambah rangsangan tersebut dengan pilinan pada putingnya. Dina tak bisa menolak, meski dia tidak menginginkan rabaan dari pria yang tak dikenalnya. Tidak ingin kehilangan momen, Ramzi mempercepat kocokan jarinya, membuat rintihan Dina semakin cepat dan tubuh Dina mulai bergelinjang-gelinjang, pria yang memainkan bukit kembarnya juga tampak makin bersemangat, remasannya semakin kencang. Kini tangan lain pria itu ikut bergerak membuka kancing-kancing kemeja yang tersisa sebelum menyampirkan ujung kemeja itu ke samping dilanjutkan dengan mengangkat bra milik Dina, membuat buah dada gadis itu kini terpampang bebas di depan matanya.

Ramzi mempertahankan ritme kocokannya sementara mata sang gadis makin terpejam dan tubuhnya tak lagi dapat diam. Pria tak dikenal di sebelahnya menarik tangannya dari buah dada Dina, bukan untuk menghentikan aksinya, tangan pria itu kini bergerak ke punggung Dina, menarik lepas kaitan bra dengan cepat, membuat bra itu semakin mudah dinaikkan.

Kini pria itu dengan leluasa meremas payudara Dina, tidak berhenti di situ, sebelah payudara yang lain kini jatuh dalam hisapan mulut pria tak dikenal itu. Dalam rangsangan kenikmatan yang diberikan oleh dua pria, Dina memandang kekasihnya, tak ada ekspresi penolakan di wajah kekasihnya atas perbuatan pria tersebut. Dina memalingkan wajahnya dan sekilas memandang pria yang kini asyik menjilat dan menghisap putingnya. Seluruh tubuh gadis itu seolah dialiri getaran kenikmatan yang sangat, getar nikmat yang semakin kuat… semakin kuat… hingga…

“Enghhhh!”

Dina menyambut orgasmenya dengan tubuh mengejan beberapa kali. Ia dapat merasakan aliran cairan kenikmatan dalam liang kewanitaannya, tubuhnya bergetar, kemaluannya berkedut beberapa kali sebelum punggungnya kembali ambruk ke sandaran kursi. Ramzi mendiamkan jarinya dalam lubang surga kekasihnya untuk beberapa saat, kemudian mulai menariknya keluar. Ramzi menatap wajah sayu kekasihnya yang nafasnya kini tersengal-sengal, keringat tampak bergulir dari kening sang gadis.

“Ah!”

Menyadari Ramzi tak lagi bermain di kewanitaan Dina, pria tak dikenal yang sedari tadi masih menghisap buah dada Dina menyusupkan jarinya ke celana dalam Dina. Gadis itu dapat merasakan jari gemuk pria itu dengan mudahnya masuk ke kewanitaannya yang memang makin basah. Jari itu bergerak keluar-masuk dengan cepat, membuat tubuh Dina kembali menggelinjang.

“Jangh…” Dina hendak menghentikan perlakuan pria tak dikenal itu, namun Ramzi menarik dagunya dan memotong kalimatnya dengan sebuah ciuman yang dalam dan panas. Lidah keduanya beradu, membuat erangan Dina setiap kali jari gemuk pria itu mengocok vaginanya teredam dalam ciuman sang kekasih. Ciuman di bibirnya, hisapan di putingnya dipadu dengan kocokan jari gemuk di kewanitaannya mengembalikan getar kenikmatan yang amat sangat terasa ke tubuh muda sang gadis.

Dan benar saja, tidak butuh waktu lama bagi Dina untuk kembali mengejan, bergetar dan mencapai klimaksnya. Rintihan klimaksnya tertahan dalam ciuman Ramzi. Tubuhnya bergetar beberapa saat sebelum kembali jatuh ke sandaran kursinya. Ramzi melepaskan ciumannya, memberi kesempatan pada sang gadis untuk mengatur nafas. Pria tak dikenal itu menarik lepas jarinya dan menghentikan hisapannya dari buah dada kencang sang gadis. Dina menoleh lemah ke arah sang pria tak dikenal. Tampak pria itu tersenyum penuh arti ke arahnya. Yang cukup mengejutkan Dina adalah dua pria lain yang duduk di sebelah pria tak dikenal ternyata ikut memandanginya!

Dengan lemas Dina menarik ujung kemejanya, berusaha menutupi buah dadanya dan memasangkan kembali kancing-kancingnya, wajahnya menunduk menahan malu mengingat ada tiga pasang mata pria tak dikenal yang dengan bebas menikmati tubuh bagian atasnya dalam keremangan bioskop. Ia terkejut saat hendak membenarkan celana jeansnya. Entah sejak kapan jeans dan celana dalamnya telah turun sampai mata kakinya. Yang berarti sedari tadi seluruh bagian tubuh paling intimnya telah menjadi tontonan pria-pria tersebut. Dina berusaha secepat mungkin menarik celananya dan mengenakannya kembali.

“Mas, ayo pulang,” bisik Dina pada kekasihnya. Tampak sekali ia merasa sangat malu berada di sana. Tiga pria tak dikenal baru saja menyaksikan bagian paling privasi dari tubuhnya, apalagi ia dua kali mendapat orgasme di depan pria-pria itu.

Seolah mengerti, Ramzi membantu Dina beranjak dari kursinya dan mereka berdua melangkah meninggalkan ruangan bioskop tanpa sekalipun menoleh ke arah pria-pria tak dikenal itu.

*_*_*​

Tidak ada kalimat yang terucap sepanjang perjalanan saat motor Yamaha Byson milik Ramzi melintasi jalan raya. Ramzi diam, sedang Dina sendiri tampaknya terlalu lemas untuk bicara, gadis itu hanya dapat memeluk kekasihnya erat-erat, pipinya tersandar ke punggung kekasihnya. Mungkin Dina belum dapat melupakan kegilaan yang baru saja ia alami di dalam bioskop. Ia dapat merasakan tubuhnya sedikit bergidik mengingat beberapa menit yang lalu, jari gemuk seorang pria yang tak dikenal masuk ke dalam liang nikmatnya.

Ramzi mengarahkan motornya ke sebuah pekarangan rumah bertingkat dua yang terlihat cukup mewah. Motor itu lantas berhenti di depan garasi rumah tersebut.

“Ini ke mana?” Dina yang merasa asing dengan tempat itu bertanya heran.

“Ini kontrakannya Eza,” Ramzi menyebut nama seorang teman yang beberapa kali bertemu dengan Dina saat mereka hang out bersama.

“Ngapain ke sini Yank?” Dina melepas pelukan dan menegakkan punggungnya saat Ramzi menurunkan stander samping motornya. Dina turun dari atas motor sebelum pertanyaannya terjawab.

“Aku pengen, sayang,” jawab Ramzi sembari beranjak turun.

“Pengen?” tanya Dina. “Ya sudah ayo ke hotel saja,” ajaknya.

“Jangan,” Ramzi menggeleng. “Minggu-minggu ini semua hotel rawan razia,” jelasnya kemudian. “Lagipula sayang uangmu kalau dihabiskan buat bayar hotel.”

“Terus?”

“Santai saja, kita bisa pinjam kamar Eza kok. Di sini bebas dan teman-teman juga sering pinjam kamar ke Eza. Dia juga nggak masalah kok.”

“Tapi kan?”

Protes Dina terhenti karena Ramzi telah menggandeng tangannya melangkah masuk melalui pintu depan rumah. Di ruang tamu tampak ada lima orang pria dengan gaya busana serupa dengan Ramzi. Mereka tampak asyik bermain kartu. Dina mengenal lima pria itu sebagai teman main Ramzi, meski dari kelima itu hanya Eza yang paling sering bertemu dengannya dan paling dikenalnya.

“Halo Bro!” sapa salah satu diantara kelima pria itu. Ramzi tersenyum dan menyalami kelima pria tersebut. Dina mengikuti apa yang dilakukan oleh kekasihnya.

“Wih… Dina, tumben main ke sini,” Eza angkat bicara sembari tersenyum lebar. “Tambah cantik aja Din, ngomong-ngomong, kalian dari mana? Tuh kancing kemeja ada yang salah tuh,” tambahnya sambil menunjuk ke kemeja yang dikenakan Dina.

Terkejut dan salah tingkah, Dina buru-buru melirik ke arah kancing kemejanya, ternyata memang ada satu kancing yang salah. Dina segera berbalik membelakangi mereka untuk membenarkan posisi kancing kemejanya.

“Za, sini sebentar deh,” Ramzi mengajak Eza sedikit menjauh, meninggalkan Dina dengan keempat kawannya yang lain. Dina memandang ke arah Ramzi dan Eza yang kini tampak berbicara dengan suara pelan.

“Bagaimana kuliahmu Din?” pertanyaan salah satu dari keempat pria di dekatnya membuyarkan perhatian Dina.

‘Eh? Apanya yang gimana Mas?”

“Ya… kamu kan baru tahun pertama, sudah betah belum di kota ini?” terang sang pemberi pertanyaan.

“Ooh, ya harus dibetah-betahkanlah Mas, namanya juga kuliah,” jawab Dina sembari tersenyum.

“Jelas betahlah, kan ada pacarnya di sini?” timpal seorang yang lain sembari tertawa.

“Hahaha, jarang pulang kamu Din?” pria lain ikut bertanya.

“Sebulan sekali biasanya Mas, itupun kalau kuliah nggak banyak tugas,” sekali lagi Dina menjawab pertanyaan sambil tersenyum manis.

“Heh, jangan godain pacar orang,” pembicaraan mereka terhenti saat Ramzi melangkah mendekat diikuti Eza. “Ayo sayang,” ujarnya seraya menggandeng tangan Dina. “Aku pinjam sebentar ya, Za?” Ramzi berkata pada Eza.

“Yo’I” Eza menjawab sembari mengangkat jempolnya. “Santai saja bro, bebas-bebas saja,” tambahnya kemudian.

Dina mengikuti langkah Ramzi memasuki salah satu kamar tidur di lantai satu rumah kontrakan milik Eza tersebut. Ramzi menutup pintu kamar tepat setelah Dina masuk dan seperti biasa, ia mulai memeluk kekasihnya dari belakang sembari menciumi tengkuk Dina yang masih tertutup jilbab.

“Buka bajumu sayang,” Ramzi melepaskan pelukannya dan melepas jaketnya, melemparkannya ke sebuah meja di sudut kamar tersebut. Pria itu kemudian menarik lepas kaosnya, menampakkan tubuh bagian atasnya.

Dina melakukan hal serupa, tanpa diminta dua kali ia melepas peniti jilbabnya. Rambutnya terurai hingga punggung, berikutnya, tanpa banyak bicara Dina menanggalkan kemeja, celana jeans berikut bra dan celana dalam. Tampaknya Dina sedikit risih bermain di kamar yang bukan kamar hotel. Tidak seperti biasanya, kali ini sepertinya ia ingin melayani Ramzi secepatnya dan keluar dari rumah kontrakan Eza.

Hanya dalam hitungan detik keduanya telah telanjang bulat, Ramzi memandang tubuh telanjang Dina dengan seksama. Meski telah berkali-kali melihat dan menggaulinya, tubuh Dina selalu tampak indah dengan lekuk pinggang dan buah dada kencang membusung yang menambah keseksian tubuhnya. Ramzi melangkah mendekat, Dina dapat melihat batang kejantanan Ramzi telah berdiri tegak, mungkin kejadian di bioskop telah menaikkan birahinya. Dina memejamkan matanya, mencoba mengusir perbuatan gila yang baru saja ia alami di bioskop.

Dengan lembut Ramzi melingkarkan tangannya ke pinggang Dina dan mulai mengecup bibir sang kekasih. Dina memejamkan mata, menikmati pagutan dan sapuan lidah kekasihnya, ia dapat merasakan telapak tangan kekasihnya meremas bulatan bokongnya dengan keras namun lembut. Ciuman dan pelukan mereka terjadi beberapa saat, gesekan puting dan dada telanjang menambah rangsangan dan kenikmatan percumbuan mereka berdua.

Ciuman panas dalam posisi berdiri dan berpelukan tanpa busana itu baru terhenti saat Ramzi melepaskan pagutan bibirnya. Ia lalu duduk di tepi ranjang dan memberi isyarat pada Dina untuk menghisap kemaluannya. Dengan patuh Dina berlutut di antara selangkangan Ramzi, tangannya menggenggam penis sang kekasih, mengurutnya perlahan, memberi ujung penis tersebut sebuah kecupan. Berikutnya Dina mengurut penis itu tidak dengan tangannya melainkan menggunakan lidahnya. Menyapu rata dari ujung hingga pangkal batang kejantanan tersebut, hal itu diulanginya berkali-kali hingga akhirnya ia memandang ke kepala penis Ramzi dan mulai membuka mulutnya.

“Ouhh…” Ramzi melenguh keras saat penisnya mulai masuk ke dalam mulut Dina. Dina menelan masuk batang kejantanan itu dengan hati-hati. Bergerak pelan hingga seluruh batangnya berhasil masuk. Dina memejamkan mata mencoba menahan sodokan batang itu di tenggorokannya. Dengan sengaja gadis itu mendiamkan penis tersebut sebelum mulai menarik lepas dan mengatur nafas.

“Ouhh… sshh…” lagi-lagi Ramzi tidak berusaha menahan lenguhannya sedikitpun. Terdengar keras dan cukup menggema saat Dina memasukkan kembali penis itu, kali ini tak sedalam sebelumnya. Dina mulai menaik turunkan kepalanya, mengurut batang kejantanan itu dengan bibir seraya memijit kepala penis dengan lidah dalam mulutnya. Ramzi masih saja melenguh keras kala Dina mempercepat gerakannya dan menambah hisapannya. Gadis itu dapat merasakan kemaluannya mulai basah karena reaksi nikmat yang digambarkan oleh Ramzi seolah merasuk ke dalam tubuhnya.

“Cukup,” Ramzi menahan kepala Dina dan menarik keluar penisnya dari mulut Dina. Pria itu beranjak dari duduknya dan membantu Dina kembali berdiri. Setelah keduanya kembali berdiri, Ramzi melangkah ke belakang Dina dan mendorong punggung Dina hingga kedua tangan Dina menyentuh tepi ranjang. Dina mendesis tertahan dengan tubuh yang sedikit bergetar saat ia merasakan kepala penis Ramzi menyentuh bibir kemaluannya. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, gadis manis itu memejamkan matanya saat ia merasa kepala penis Ramzi mulai menekan masuk bibir liang nikmatnya.

“Aahh…” Dina tidak bisa tidak mengerang saat tubuhnya dimasuki oleh batang kejantanan Ramzi dari arah belakang. Ramzi memantapkan pegangan tangannya ke lekuk pinggul Dina dan mulai menggenjot tubuh telanjang kekasihnya dari belakang. Badan Dina terdorong-dorong dan berayun mengikuti genjotan Ramzi yang terasa lebih bertenaga dari biasanya. Entah apa yang membuat kekasihnya jadi lebih buas dari sebelumnya. Buah dada Dina terayun-ayun bebas. Setiap pompaan batang penis Ramzi memberi kenikmatan yang sangat pada tubuhnya, apalagi genjotan demi genjotan terasa semakin bertenaga membuat Dina tak lagi mampu menahan erangannya.

“Ahh… ahh… pe..lan… oouhh…” diantara erangannya, Dina meminta Ramzi untuk memperlamban temponya namun sepertinya Ramzi tak mendengarnya. Pria itu terus saja menggenjot liang nikmat Dina dengan penuh tenaga.

“Ahh… ahh… ahh…” erangan Dina makin terdengar keras, menggema di seisi ruangan. Tubuh telanjangnya berayun makin kencang. Sekencang kenikmatan yang kini memburunya.

Ramzi mendorong kuat penisnya hingga Dina tertelungkup di atas ranjang, dengan cepat pria itu mencabut batangnya, membalik tubuh Dina hingga terlentang dan kembali menikmati liang nikmat gadis itu.

“Ahh… Sa.. yanghh… Pe..lanhh… ahh..” Dina masih saja meracau saat Ramzi tidak mengurangi tenaga genjotannya meski mereka telah berganti posisi missionaris.

“Hhh… hhh… enak kaan? Hh…” tanya Ramzi tanpa mengendurkan genjotannya sama sekali.

“Nghh… iyyaahh…” jawab Dina dengan tubuh yang terdorong-dorong.

“Di.. hh… diobok-obok samahh cowok lainhh tadi enak kan??” tanya Ramzi lagi. Kali ini Dina tidak menjawab, ia terlalu sibuk dengan erangannya mengingat goyangan Ramzi yang terus bertambah kencang.

“Memekmu… Hhh… Toketmu… dinikmatin mereka semua.. Hhh…” Ramzi masih saja meracau.

Tempo genjotan penis Ramzi yang semakin bertambah kencang itu rupanya menjadi penghantar kenikmatan yang amat berbeda dari biasanya ke tubuh Dina. Terbukti tidak lama kemudian tubuh Dina mengejan hebat. Dina tak lagi mengerang atau mendesah, kali ini gadis itu menjerit kencang, seolah menumpahkan orgasme kenikmatan yang tak dapat dibendungnya. Tubuhnya melengkung hebat, namun itu tak berlangsung lama karena Ramzi tak juga mengendurkan tenaganya.

Dina kini benar-benar lemas tak berdaya, tubuhnya tak lagi dapat merespon genjotan penis sang kekasih. Keringat membasahi sekujur tubuhnya, ia hanya mengerang lemah sembari memejamkan mata. Kenikmatan hebat yang baru saja didapatnya dalam beberapa detik tampaknya cukup untuk merenggut seluruh tenaganya.

“Oh! Yeahh!” Ramzi mendorong masuk seluruh penisnya dalam satu hentakan keras. Badannya bergetar. Dina dapat merasakan batang kejantanan Ramzi berkedut-kedut hebat dalam liang nikmatnya, diikuti semprotan-semprotan hangat dan kuat menghantam sisi dalam kewanitaannya. Gadis itu menggelinjang setiap cairan hangat menghantam dinding rahimnya. Usai menyemprotkan seluruh benihnya, Ramzi mencabut penisnya dan duduk terengah-engah di samping Dina yang terbaring lemas tak berdaya.

Maulidina hanya bisa melirik lewat sudut matanya saat ia mendengar suara pintu kamar terbuka kemudian Eza dan empat pria yang tadi mereka temui di ruang tamu masuk ke dalam kamar. Tubuh Dina masih terlalu lemas untuk bergerak, ia memandang ke arah kekasihnya yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya.

“Maaf sayang, aku nggak punya pilihan lain…” kata-kata Ramzi sontak mengejutkan Dina.

*_*_*​
 
Terakhir diubah:
Wah ada update :baca: dulu suhu
Asiknya rame-rame nih, hm.. Dina sepertinya pasrah diperlakukan begitu
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd