Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pesantren Series (Remake)

Status
Please reply by conversation.
Semangat nerusin karyanya hu. Sebetulnya idenya udah pol banget, tinggal dikurangin kesalahan penulisannya aja. Apalagi karakter banyak klo ada salah2 jadi makin bingung. Intinya sih kita semua dukung suhu berkarya.
 
20:00



Mariska baru saja selesai shalat, ia melihat kearah Suaminya yang baru saja menerima telpon. Tampak dari raut wajah Reza yang terlihat gelisah, seakan sedang ada yang ia pikirkan saat ini.

Segera Mariska menghampiri Suaminya, naik keatas tempat tidur mereka.

"Kenapa Mas? Siapa yang nelpon?" Tanya Mariska.

Reza menghela nafas perlahan, sembari melihat kearah Istrinya. "Mbak Lisa yang nelpon." Jawab Reza, sedetik kemudian ia membuang muka.

"Mbak Lisa? Ada apa dengan Ibuku Mas?"

Reza meraih tangan Istrinya, menggenggam dengan erat. "Ibu di larikan ke rumah sakit lagi, dan katanya... Ibu harus segera di operasi." Reza sebenarnya tidak tega memberitahu kan kondisi mertuanya di kampung kepada Istrinya.

"Innalilahi..." Mata Mariska berkaca-kaca, mendengar orang tuanya kembali harus dirawat di rumah sakit.

"Untuk operasi, kita membutuhkan biaya kurang lebih 50 juta." Lirih Reza, entah dapat dari mana mereka uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

"Ya Allah! Apakah kita masih punya tabungan Mas?" Tanya Mariska harap-harap cemas, Reza menggeleng lemah. "Jual saja seluruh perhiasan saya Mas." Usul Mariska, demi kesembuhan ibunya apapun akan ia lakukan.

"Semua harta benda berharga kita sudah dijual sayang! Sudah tidak bersisa." Ujar Reza, membuat Mariska tertunduk lemas.

"Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini."

"Kamu yang sabar sayang! Mas yakin pasti ada jalan keluarnya." Reza mencoba menguatkan Istrinya yang terlihat sangat frustasi.

Sebagai seorang anak Mariska merasa dirinya tidak berguna. Di saat Ibunya membutuhkannya, ia malah tidak bisa berbuat apa-apa. Di saat seperti inilah, iman seseorang di uji, mampu atau tidaknya mereka melewati semua cobaan ini.

Reza sendiri juga tidak tau harus berbuat apa, semua harta yang mereka miliki sudah dijual untuk kesembuhan Ibu mertuanya dan kebutuhan sekolah adik-adiknya.

*****


Salma

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

"Sayang, aku keluar..." Erang Furqon.

Ia menumpahkan spermanya di dalam rahim sang Istri. Dari raut wajahnya yang bermandikan keringat, Furqon terlihat sangat puas. Bahkan malam ini adalah ML ternikmat setelah malam pertama yang mereka lalui.

Sementara Salma diam-diam malah merasa hambar, jauh lebih hambar dari malam-malam sebelumnya.

"Kamu puaskan sayang?" Tanya Furqon.

Salma mengangguk. "Iya Mas, aku puas banget." Jawab Salma berbohong.

Furqon merebahkan tubuhnya di samping sang Istri. "Tadi pengobatan nya gimana sayang?" Tanya Furqon, sejujurnya ia merasa sangat penasaran apa yang terjadi terhadap Istrinya sehingga membuat istri nya mengerang-erang seperti kesetanan saat berada di dalam ruangan bersama sang Dukun.

Salma terdiam, pertanyaan yang di sampaikan Furqon, membuatnya kembali teringat dengan apa yang telah terjadi dengan dirinya bersama sang Dukun. Sampai detik ini Salma tidak mengerti kenapa dirinya bisa terperdaya oleh dukun tersebut dan mau melakukan zina dengan motif pengobatan.

Tetapi kalau wanita Soleha itu boleh jujur, permainan sang Dukun benar-benar membuatnya terlena. Seumur hidupnya dari awal ia menikah, baru kali ini Salma merasakan yang namanya nikmat bercinta, baru kali ini ia bisa menggapai orgasmenya.

Mengingat bagaimana dirinya berteriak keenakan, mengingat bagaimana ia memberikan servis terbaiknya yang tidak pernah ia berikan ke Suaminya, membuat Salma merasa bersalah.

Selama ini Reza sering membujuk Istrinya untuk menghisap kemaluannya, ML dengan berbagai gaya, tapi Salma selalu menolaknya karena ia merasa itu menjijikan. Tapi anehnya ia melakukan itu semua dengan sang Dukun, dan parahnya ia menikmatinya.

"Maafkan aku Mas!" Lirih Salma.

"Sayang... Kok kamu diam? Mas perhatikan semenjak pulang dari sana kamu selalu diam." Ujar Reza merasa heran dengan sikap Istrinya yang tidak biasa itu.

Salma memejamkan matanya perlahan, menguatkan hatinya untuk berbohong kepada Suaminya. "Aku merasa berdosa Mas! Bagiamana pun juga apa yang kita lakukan tadi siang sudah termasuk syirik." Jawab Salma.

"Lagi-lagi kamu membahas masalah itu." Kesal Reza.

"Maaf Mas."

"Kata sang Dukun kemarin dia baru memasukkan dua sukma ketubuh kamu, masih ada satu sukma lagi yang belum ia masukan ke tubuh kamu. Kira-kira kapan kita akan menyelesaikan ritual ini. Lebih cepat lebih baik."

Salma terlihat panik. "A-aku gak mau lagi ke sana Mas... Sudah cukup Mas." Mohon Salma, ia takut kejadian tadi siang terulang kembali.

"Kita sudah setengah jalan Sayang! Masak harus mundur." Ucap Reza kesal, ia merasa sangat yakin dan percaya dengan kemampuan sang Dukun.

"Astaghfirullah Mas..."

"Sayang... Tolong sekali ini saja, turuti kemauanku. Seperti janji Mas, kalau ini gagal aku tidak akan lagi memaksamu melakukannya." Mohon Reza.

Salma terdiam, ia menatap kecewa kepada Suaminya yang begitu egois, yang hanya mau di dengar, tapi tidak mau mendengar penjelasannya. Salma merasa sangat kecewa dengan sikap Suaminya yang semena-mena.

"Andai kamu tau apa yang telah dukun itu lakukan kepadaku, mungkin kamu tidak akan sesemangat ini mas." Rutuk Salma di dalam hatinya. Ia memutar tubuhnya memunggungi Suaminya.

Tanpa Reza sadari, Salma menangis dalam diam, meluapkan kekecewaannya terhadap Suaminya.

*****

00:23

Rayhan baru saja pulang dari asrama Hamza, untuk menemui seorang santri yang sedang sakit. Sebagai petugas kesehatan, sudah menjadi tugasnya merawat dan memberikan obat untuk santri yang sedang sakit.

Walaupun pekerjaannya itu melelahkan, tetapi Rayhan bersyukur karena tugasnya itu untuk menyelamatkan orang lain.

Saat dalam perjalanan pulang, Rayhan memilih lewat jalan belakang melewati kantin dan dapur putra. Saat berada di depan asrama Fatimah, Rayhan berharap bisa melihat seorang santriwati yang belum tidur tapi sayangnya kamar mereka tampak sudah gelap.

Ia berbelok ke kiri menuju rumahnya, ketika melewati gudang, tiba-tiba Rayhan mendengar suara minta tolong dari dalam gudang.

Suara tersebut terdengar samar-samar, membuat Rayhan sempat tidak yakin.

Tetapi karena ia merasa penasaran, Rayhan nekat mendekati gudang tersebut. Ada rasa takut kalau nanti melihat hantu di dalam gudang, karena biasanya di film-film horor suka ada penampakan di dalam gudang, tapi karena rasa penasarannya yang tinggi, Rayhan tetap nekat melihat ke dalam gudang tersebut dengan tujuan agar ia tidak mati penasaran.

Bukannya hantu yang di lihat Rayhan, tetapi seorang santriwati yang nyaris telanjang bulat sedang di rudak paksah oleh seorang pria bertopeng.

Bruaaak...

Tanpa pikir panjang Rayhan menjebol pintu gudang dengan satu tendangan.

Pria bertopeng itu menoleh kebelakang, melihat Rayhan yang baru saja mengganggu kesenangannya. Segera pria bertopeng itu melepaskan sang Santri dan rencananya ia akan langsung menyerang Rayhan, lalu melarikan diri.

Tetapi ternyata tidak semudah itu ia melarikan diri. Dengan sigap Rayhan menangkis pukulan, dan melepaskan tendangan memutar hingga menghantam wajah pria bertopeng tersebut. Andai saja pria itu orang biasa mungkin ia sudah tak sadarkan diri.

"Hehehe... Boleh juga." Ucap pria tersebut.

Rayhan tersenyum sinis. "Malam ini tamat riwayatmu." Ujar Rayhan sombong.

Rayhan maju lebih dulu, ia melepaskan tendangan lurus kearah perut sang pemerkosa, tetapi mampu di tahan oleh pria tersebut.

Tidak mau kalah, pria bertopeng itu melakukan gerakan tendangan keatas, dengan sigap Rayhan memblok tendangan pria itu dengan kedua tangannya sehingga ia terhindar dari cidera.

Tidak mau kehilangan momen, pria tersebut langsung melepaskan hook kiri kanan membuat Rayhan kesulitan menghindar. Pemuda itu hanya mampu menunduk, melindungi wajahnya dari pukulan beruntun yang dilepaskan oleh pria tersebut.

"Wow... Kamu hebat juga." Ucap pria bertopeng.

Rayhan langsung melakukan tendangan keatas, kewajah pria bertopeng, tetapi pria itu dengan cepat menghindari nya, langsung menyerang balik Rayhan dengan tendangan kearah perut.

Tab...

Rayhan menangkap kaki pria tersebut, dan membalasnya dengan sapuan kaki.

Buk...

"Anjing...." Pria tersebut terpaksa mencium lantai.

Rayhan kembali menendangnya, tetapi pria itu dengan cepat menghindarinya.

Saat Rayhan melayangkan tinjunya, pria tersebut dengan sengaja menerimanya, tapi sebagai gantinya ia ikut memukul wajah Rayhan. Alhasil keduanya sempoyongan.

"Hehehe..." Tawa si pria.

Rayhan yang emosi kembali maju ke depan, ia melayangkan pukulan hook kanan ke wajah pria tersebut, dengan tangkas ia menarik wajahnya ke belakang untuk menghindarinya. Tetapi serangan Rayhan belum usai, ia melakukan pukulan menyilang dengan tangan kirinya, yang tidak dapat di hindari musuhnya, lalu di susul dengan uppercut tangan kanan.

Tampak pria tersebut keleyengan setelah menerima kedua pukulan Rayhan. Alhasil ia harus menerima tendangan kearah perutnya.

"Houk..." Pria tersebut tersungkur.

"Cuman segitu?" Ejek Rayhan.

"Cuih..." Pria tersebut meludahkan daranya. "Bocah ingusan, kamu akan menyesal karena telah membuat orang sepertiku marah." Katanya dengan tatapan tajam.

Pria tersebut kembali berdiri, ia mengambil kuda-kuda dan siap menyerang. Dengan gerakan penipu lalu di susul dengan tendangan T melesat lancar mengenai ulu hati Rayhan hingga membuat pemuda itu tersungkur.

Dengan cepat pria tersebut menyergap Rayhan, ia menduduki perut Rayhan, mengunci kedua kaki Rayhan dengan kakinya.

"Mati aku..." Gumam Rayhan.

Dari atas pria tersebut memukuli wajah Rayhan, dan sebisa mungkin Rayhan melindungi wajahnya dari hujaman pukulan pria bertopeng.

Bak... Buk... Bak... Buk...

"Hahahaha... Mau lari kemana kau sekarang." Umpat Pria bertopeng.

Sembari menahan pukulan pria bertopeng, Rayhan mengayunkan pinggulnya, berusaha membebaskan kedua kakinya, tapi usahanya masih belum menemui hasil.

Ia memutar kesamping tubuhnya, walaupun sulit tapi akhirnya ia berhasil. Tapi sayang posisinya belum aman, dan sekarang ia malah membuat bagian kepala dan punggungnya terbuka.

Tanpa ampun pria tersebut memukul punggung dan kepala Rayhan. Tidak hanya menggunakan pukulan, tapi juga sikutan.

Lama kelamaan tenaga Rayhan mulai melemah, rasa sakit yang di derita Rayhan membuat pemuda itu nyaris menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba berdiri, melepaskan dirinya dari kuncian kedua kaki si pria bertopeng.

Dengan satu sentakan akhirnya ia berhasil melepaskan diri. Ia berjalan sempoyongan mundur ke belakang, berusaha memulihkan kesadarannya.

Rayhan sempat melihat pria tersebut tersenyum, lalu tiba-tiba sebuah tendangan belakang tepat mengenai rahangnya yang membuat tubuh Rayhan kembali terhempas ke ubin, Rayhan ingin kembali berdiri, tetapi tubuhnya sudah tidak mampu lagi.

Sebelum ia kehilangan kesadarannya, Rayhan melihat pria tersebut kembali mendekati Santriwati yang hanya bisa menjerit pasrah.

*****


Nadia

Suara gaduh di belakang rumahnya membangunkan Nadia dari tidurnya. Ia mencoba membangunkan Suaminya, tapi sayang suaminya sama sekali tidak bergeming. Dengan rasa penasaran ia keluar dari kamarnya menuju pintu belakang.

Baru saja ia membuka kunci pintu belakang rumahnya, tiba-tiba seorang pria bertopeng menyerobot masuk. Tidak sampai di situ saja, ia mengunci leher Nadia dengan lengannya.

"Jangan teriak, atau kupatahkan lehermu." Ancam Pria tersebut saat mendengar suara derap langkah mendekati rumah Nadia.

"Coba cari yang benar, dia tidak mungkin lari jauh."

"Mungkin di balik pohon itu."

"Gak ada Ustad."

"Di sini juga tidak ada."

"Sembunyi kemana pria itu."

Di balik topeng hitam yang di kenakannya, tampak pria tersebut pucat Pasih. Ia bisa mati kalau persembunyian nya sampai ketahuan.

Tok... Tok... Tok...

"Assalamualaikum... Ustad... Ustadza..."

Pria bertopeng itu mengambil sebuah pisau dapur yang terletak di atas meja. "Buka, dan bilang kalau aku tidak ada di sini." Bisik pria tersebut.

Nadia yang ketakutkan karena berada di bawah ancaman, terpaksa menuruti kemauan pria tersebut. Ia segera membuka sedikit rumahnya. Tampak di luar rumah terlihat begitu ramai.

"Ya Pak Girno ada apa?" Tanya Nadia.

"Anu maaf Ustadza, apakah Ustadza liat pria bertopeng kabur ke sini?" Tanya Pak Girno satpam pesantren.

Pria bertopeng itu menempelkan pisau tersebut di pinggang Nadia. "Gak lihat Pak!" Jawab Nadia cepat, ia khawatir terlalu lama mengobrol dengan sang Satpam akan membuat pria bertopeng marah kepadanya.

"Kalau ada yang mencurigakan, tolong Bu Ustadza beri tau kami."

"Iya Pak."

"Permisi Bu Ustadza, hati-hati."

Setelah keremunan tersebut pergi mejauh, Nadia segera menutup dan mengunci pintu rumahnya. Nadia berharap pria bertopeng itu segera pergi meninggalkan rumahnya.

Tapi tiba-tiba Nadia merasakan remasan di payudaranya, dan hembusan nafas khas seorang pria yang sedang birahi.

"Jangan melawan!" Perintah pria tersebut.

Tubuh Nadia gemetaran, ia sangat ketakutan. "Tolong Mas, di rumah ada Suami dan anak saya." Mohon Nadia, berharap pria tersebut takut dan akhirnya memilih untuk pergi dari rumahnya.

"Makanya jangan berisik, atau... Kamu, Suami dan anakmu akan saya bunuh." Ancamnya lagi.

Nadia terdiam membisu, ia tidak menyangkah kalau dirinya akan berada dalam kondisi yang sulit seperti saat ini. Kalau ia berteriak, bisa saja bukan hanya dirinya yang menjadi korban, tetapi juga Suami dan anak gadisnya juga akan menjadi korban.

Wanita Soleha itu hanya memejamkan matanya ketika pria bertopeng itu meremas sepasang buah dadanya. Bahkan ia tidak bisa mencegah tangan kanan pria tersebut yang menyusup masuk kedalam celananya.

"Ya Tuhan..."

Jemari-jemarinya membelai rambut kemaluan Nadia, terus turun menuju bibir kemaluan Nadia. Ia membelai bibir kemaluan Nadia, membuat sang Ustadza terlihat merinding.

Satu persatu kancing piyama Nadia ia lepaskan, di balik piyamanya Nadia tidak memakai Bra, hingga pria tersebut semakin leluasa menjamah payudara Nadia yang membulat sempurna. Ia membelai puting Nadia yang perlahan mulai mengeras.

"Sudah basah... Kamu menyukai." Goda si pria.

"Tidak..." Tegas Nadia.

Pria tersebut terkekeh pelan, ia semakin intens menjamah tubuh Nadia. Tangan kanannya dengan gencar menggosok-gosok clitoris Nadia, sementara tangan kirinya tampak sibuk memainkan payudara Nadia, meremas dan memilin putingnya.

Nadia mulai terlihat gelisah, sesekali ia menggigit bibirnya menahan gejolak syahwat yang mulai membakar birahinya.

"Ya Tuhan... Mana mungkin aku terangsang dalam keadaan kondisi seperti ini." Keluh Nadia.

Tiba-tiba pria tersebut memutar tubuh Nadia, hingga mereka berhadap-hadapan. Kemudian pria tersebut menyosor bibir Nadia, mencium bibir merah Nadia dengan ganas, sementara kedua tangannya memeluk pinggang Nadia dengan erat.

"Layani saya, atau semua keluargamu mati." Ancam pria itu lagi.

Nadia yang mengkhawatirkan keluarganya terpaksa membalas pagutan si pria asing itu. Ia membuka mulutnya membiarkan lidah pria itu menjelajahi bagian dalam mulutnya, menggelitik rongga mulutnya, membelit lidahnya dengan ganas, hingga menelan air liur pria bertopeng tersebut.

Sembari berciuman, tangan kanan pria tersebut terjulur ke bawah, membelai dan meremas-remas pantat Nadia yang terasa kenyal dari luar celana piyama yang di kenakan Nadia.

Walaupun Nadia tidak ingin mengakui, tetapi pada kenyataannya sentuhan pria tersebut membangkitkan birahinya.

Tangan pria tersebut menyusup kedalam celana Nadia, meremas kembali pantat Nadia yang kini tanpa penghalang, lalu turun menuju memek Nadia. Ia menggosok-gosok bibir memek Nadia, membuat tubuh Nadia belingsattan.

"Aaahkk... Eeehmmppsss... Ehmmmppss..." Desah Nadia diantara ciuman mereka.

Pria tersebut tampak senang mengetahui mangsanya mulai terbakar api birahi. Kemudian ia menuntun Nadia menuju meja makan, ia meminta Nadia berpegangan di kedua sisi meja makan.

Nadia menggelengkan kepalanya ketika kedua jari pria tersebut berada di bagian karet elsastis celana yang di kenakannya.

Dengan satu tarikan, pria tersebut menarik turun celana piyama berikut dengan dalamannya.

"Jangan sentuh itu..." Mohon Nadia.

Tentu saja pria bertopeng itu tidak perduli, ia membuka cela kemaluan Nadia yang tampak semakin basah karena birahinya.

Kemudian pria itu berlutut di belakang pantat Nadia, sembari memperhatikan kemaluan Nadia.

"Indah sekali." Bisik pria tersebut.

Nadia menggigit bibir bawahnya ia merasa sangat malu. "Jangan di lihat saya mohon." Melas Nadia, seraya memandangi pria tersebut.

Pria itu mendekatkan wajahnya dan mulai menjilati kemaluan Nadia. Dengan ujung lidahnya ia menyapu bibir kemaluan Nadia, sembari meremas-remas bongkahan pantat Nadia. Yang bisa Nadia lakukan, hanyalah membekap mulutnya, agar suara desahannya tidak keluar.

Sapuan lidah pria tersebut membuat Nadia panik. Harus di akui, bagian itu sangat sensitif bagi Nadia.

"Oughk... Tidak! Ya Tuhan... Jangaaan... Aaahkk..." Panik Nadia. Pantatnya gemetaran menahan nikmat yang luar biasa.

Lidah pria tersebut terjulur mencari clitoris Nadia, menjilati biji kacang tersebut, hingga membengkak dan memerah. Sesekali ia menyeruput lendir kewanitaan Nadia yang keluar semakin banyak.

Lidah pria tersebut naik keatas, menyapu lobang anus Nadia. Sementara kedua jarinya menusuk lobang memek Nadia yang masih terasa rapat walaupun sudah melahirkan satu orang anak.

Sembari menjilati anus Nadia, pria tersebut mengocok lobang memek Nadia.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Erang Nadia tertahan.

"Ya Tuhan... Ada apa dengan tubuhku, kenapa ini enak sekali." Erangan hati Nadia.

Sloookksss... Sloookkss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

Sloookksss... Sloookkss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

"Aaarrrtt.... Ouugk...." Nadia melolong panjang.

Kedua kakinya melejang-lejang, dan tampak cairan cintanya merembes keluar hingga menetes jatuh keatas lantai dapurnya.

Ploopss...

Nadia baru saja orgasme, ia benar-benar tidak mengerti kenapa dirinya bisa orgasme di tengah-tengah ancaman pria tersebut. Seharusnya rasa takut membuatnya kehilangan gairah bukan malah semakin bergairah.

Pria bertopeng itu mencabut kedua jarinya dari dalam lobang memek Nadia.

"Bersihkan." Suruhnya.

Nadia terpaksa membuka mulutnya lalu mengulum kedua jari pria tersebut. Ia dapat mencium dan merasakan aroma memeknya.

Setelah di rasa cukup, pria tersebut memaksa Nadia berlutut di depannya. Lalu pria itu membuka celananya, membiarkan kontolnya terbebas dari belenggu celananya. Tanpa di suruh Nadia paham apa yang di ingin pemerkosanya itu.

Sembari menatap melas kearah pria tersebut, Nadia menggenggam kontolnya, mengurut pelan kontol pria tersebut. Pria itu menekan bagian belakang kepala Nadia, memintanya untuk langsung mengoral kontolnya yang sudah sejak tadi ingin mencicipi mulut Nadia.

Dengan sangat terpaksa Nadia membuka mulutnya, melahap kontol pria tersebut.

Kepalanya maju mundur menghisap kontol pria tersebut. Lidahnya menari-nari menggelitik kepala kontol pria tersebut.

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss....

Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss... Sluuuppsss....

Nadia berfikir dengan membuat pria tersebut orgasme, maka kemungkinan besar pria tersebut akan kehilangan hasratnya untuk memperkosa dirinya. Sehingga Nadia mencoba berbagai cara untuk membuat pemerkosanya orgasme.

Dengan menggunakan payudaranya, ia menjepit kontol pria tersebut. Mengurut kontol pria tersebut menggunakan payudaranya, sembari menjilati kepala kontolnya.

"Siapa sangka ternyata Ustadza juga tau teknik yang sering di gunakan pelacur." Ledek Pria tersebut.

Nadia tidak mau mengubrisnya, ia hanya ingin masalah ini cepat selesai. Tapi sayang usahanya tidak membuahkan hasil.

"Kamu harus cepat! Atau Suamimu dan anakmu akan keburu bangun." Ujarnya, membuat Nadia panik.

Ia sangat takut kalau ada yang bangun, dan itu bisa membuat Suami dan anaknya terancam. Tidak ada pilihan lain, Nadia harus melakukannya demi menyelamatkan keluarganya.

Nadia berdiri, kemudian ia kembali memutar tubuhnya menghadap ke meja dengan posisi sedikit menungging kearah sang pria bertopeng.

"Bagus... Bagus... Ini yang saya mau." Ujarnya.

Pria tersebut mendekati selangkangan Nadia. "Sekarang apa yang harus kulakukan? Katakan sekarang, sebelum mereka bangun." Suruh pria tersebut, sungguh sangat mempermainkan perasaan Nadia.

"Setubuhi aku." Pinta Nadia dengan suara gemetar.

"Hehehe... Saya tidak mengerti, apa itu setubuhi! Katakan dengan benar."

"Tolong masukan penis Tuan ke vagina saya."

"Hampir benar, tapi itu masih salah."

Nadia memejamkan matanya, berpose dengan gaya menungging seperti ini saja harga dirinya sudah hancur, apa lagi harus memohon dengan kata-kata kotor. Sebagai seorang Ustadza ia merasa pria tersebut sudah keterlaluan. Tetapi Nadia sadar ia tidak punya pilihan.

Tangan Nadia menarik salah satu bongkahan pantatnya, memperlihatkan cela memeknya.

"Tuan... Saya mau kontol tuan masuk ke dalam memek saya! Tolong zinahi saya." Ucap Nadia, ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya ketika ia harus berkata begitu vulgar, merendahkan harga dan martabat dirinya sebagai wanita Soleha.

"Hahaha... Baiklah Bu Ustadza saya akan ngentotin Bu Ustadza." Jawab pria tersebut.

Nadia mendesah pelan ketika merasakan gesekan kepala kontol pria tersebut di bibir kemaluannya. Kemudian dengan perlahan kontol besar pria tersebut menyeruak masuk ke dalam lobang memeknya yang hangat dan licin.

Tanpa kesulitan berarti pria tersebut berhasil memasukan kontolnya hingga mentok.

"Aaahkk..." Desah Nadia.

Sembari memegangi pinggul Nadia, pria tersebut melakukan penetrasi. "Sssss... Aaahkk... Aaahkk... Enak sekali memek Bu Ustadza." Racau Pria tersebut, sembari menghentak-hentak pinggulnya.

"Ughk... Ya Tuhan... Aaahkk..." Erang Nadia.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Tubuh indah Nadia yang bermandikan keringat tampak terhentak-hentak ketika pria tersebut meningkatkan tempo sodokannya ke dalam memek Nadia yang semakin banyak mengeluarkan precum, hingga makin memuluskan pergerakan kontol pria tersebut.

Sungguh sulit di percaya bagi Nadia, ia tidak menyangka kalau pemerkosaan yang ia alami malah membuatnya makin bergairah.

"Aaahkk... Tuan! Aaahkk... Pelan-pelan... Aaahkk..." Erang Nadia.

Plaaaak... Plaaaak... Plaaak...

"Sshh... Aaahk... Nikmat sekali memekmu Ustadza." Racau pria tersebut.

Semakin lama laju kontol nya semakin cepat, keluar masuk, keluar masuk, sembari meremas dan menampar-nampar pantat Nadia.

Nadia tidak kalah panasnya, ia ikut menggoyangkan pantatnya menyambut hentakan kontol pria tersebut. Bahkan ia harus berusaha mati-matian untuk meredam suara erangannya.

"Ughk... Nikmat sekali memekmu Ustadza." Pria tersebut merasa kontolnya seperti di peras-peras di dalam memek Nadia.

Sementara Nadia sendiri dapat merasakan kepala kontol pria tersebut yang menubruk-nubruk rahimnya. Bagian yang tidak mampu di capai oleh Suaminya yang memiliki kontol tidak begitu besar.

"Ya Tuhaaaaan... Jangan lagi." Jerit Nadia tertahan.

Pantatnya bergetar hebat, ia merasa sudah hampir mendekati orgasmenya.

Melihat hal tersebut pria itu makin gencar menyodok-nyodok memek Nadia, bagaikan mesin jahit, menusuk tanpa henti, hingga membuat Nadia gelagapan. Tubuh indahnya meliting, sembari menggigit bibirnya lendir cintanya meluncur deras.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Orgasme barusan adalah orgasme ternikmat yang pernah ia rasakan. Tubuhnya lunglai, seakan tulang-tulang remuk sanking dasyatnya orgasme barusan.

Pria tersebut membantu Nadia berdiri, lalu ia menidurkan Nadia di atas meja.

"Sudah cukup, jangan lagi..." Mohon Nadia.

Pria tersebut tentu tidak mengubrisnya. "Kamu belum membuatku ejakulasi! Jangan sampai Suami dan Anakmu terbangun, Ustadza pasti tau akibatnya." Ujarnya dengan nada ancaman.

"Tidak... Saya mohon jangan sentuh keluargaku." Melas Nadia, dari raut wajahnya ia terlihat sangat mengkhawatirkan keluarganya.

"Kalau begitu bantu saya mendapatkannya. Mungkin kamu bisa menggodaku." Nasehat pria bertopeng.

Kemudian pria tersebut kembali menggenjot memek Nadia, tangannya terjulur menggapai payudara Nadia, meremasnya dengan perlahan, membuat birahi Nadia kembali berkobar.

Nadia sadar, tidak ada gunanya melawan pria yang ada di hadapannya. Ia harus segera membuat pria itu segera ejakulasi.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...


"Tuaaaan... Aaahk... Enaaak, terus Tuan! Oughk... Aaahk... Terus Tuan..." Erang Nadia, sembari menggoda pria tersebut agar segera menyelesaikan kegilaan mereka malam ini.

"Bagus... Bagus, kamu membuatku semakin bersemangat." Ujar Pria tersebut.

"Maafkan Umi Abi, maafkan Umi Helena, Umi terpaksa melakukan ini semua demi kalian." Jerit hati Nadia.

Pria tersebut mengangkat kedua kaki Nadia, dan meletakkan nya diatas pundak nya.

"Aaahkk... Tuan! Enaaak... Kontol Tuan enaaak... Memek saya suka kontol Tuan." Erang Nadia dengan suara di buat manja.

"Kontol saya pasti jauh lebih enak ketimbang Suamimu! Hahaha..." Ejek pria tersebut.

Walaupun apa yang di katakan pria itu benar, tetapi tetap saja Nadia merasa tersinggung. Andai saja ia tidak memikirkan keluarganya, tentu Nadia lebih memilih mati dari pada menikmati pemerkosaan yang ia alami. Tapi apakah benar begitu?.

Raut wajah Nadia menandakan kalau dirinya memang benar-benar menikmati pemerkosaan yang ia alami. Semakin kasar pria itu menjorokan kontolnya ke dalam memeknya, maka terasa semakin nikmat. Semakin ia di lecehkan oleh pria tersebut, maka semakin birahi Nadia.

Pria tersebut menarik tangan Nadia, lalu meletakannya di lehernya. Kemudian ia mengangkat tubuh Nadia ke dalam gendong.

"Ya Tuhaaaaan... Auwww... Aaahkk... Aaahkk..." Jerit Nadia ketika ia berada di gendongan sang pria.

"Bagaimana?" Goda Pria itu.

Nadia merasa kontol pria tersebut menusuk semakin dalam ke dalam relung memeknya. Kepalanya terbanting ke kiri dan kanan sanking nikmatnya.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Pantat Nadia berayun-ayun di udara, menyambut kontol si Pria yang bagaikan tombak, menusuknya dari bawah dengan sangat keras.

"Aaahkk... Memekku... Oughk..."

"Ustadza aku mau keluar..." Erang pria tersebut.

"Yeaaah... Aku jugaaaa... Aaahkk... Aaahkk..." Nadia memeluk semakin erat tubuh pria tersebut.

Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss... Plooookss...

Hingga akhirnya secara bersamaan kedua mencapai puncak mereka. Tubuh Nadia bergetar hebat di dalam pelukan pria tersebut. Ia dapat merasakannya hangatnya sperma pria bertopeng itu di dalam memeknya.

Croootss... Croootss... Croootss...

*****

04:30


Zaskia

Rayhan tersadar dari pingsannya, saat membuka mata Rayhan sedikit kebingungan melihat sekelilingnya. Aku di mana? Gumam hati Rayhan, mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya. Ia membuang tatapannya ke depan, dan melihat kearah Zaskia yang baru saja selesai shalat.

Wanita cantik itu dengan santainya membuka mukenna yang ia kenakan, dan di balik mukenna itu Zaskia hanya memakai dalaman berwarna cream, di hiasi pita berwarna merah muda.

Rayhan tersenyum kecil, kini ia sadar kalau dirinya ada di dalam kamar Kakak Iparnya.

"Kak..." Lirih Rayhan.

Zaskia yang hendak mengenakan pakaiannya, tiba-tiba menoleh ke belakang, melihat kearah Rayhan yang tengah memandangnya.

Tanpa memperdulikan keadaannya yang hampir telanjang, Zaskia langsung menghampiri adiknya, lalu memeluknya dengan perasaan legah. Sejujurnya ia merasa sangat khawatir takut terjadi apa-apa terhadap adik iparnya walaupun sahabatnya Haifa sudah memberitahukannya kalau Rayhan akan baik-baik saja.

"Ya Tuhan terimakasih..." Zaskia terisak, ia mencium sekujur wajah Rayhan, seakan lupa kalau mereka berdua bukanlah muhrim.

"Sakit Kak!" Erang Rayhan.

Dalam keadaan normal, tentu Rayhan akan sangat senang mendapatkan pelukan dari Zaskia tapi saat ini kondisinya berbeda.

Bayangkan saja, tubuhnya yang remuk setelah di hajar habis-habisan oleh pria bertopeng, di peluk oleh Zaskia dengan sangat erat, membuat Rayhan kembali merasakan sakit di tubuhnya.

Buru-buru Zaskia melepaskan pelukannya, saat sadar kalau pelukannya telah menyakiti adiknya.

"Maaf Dek, kamu gak apa-apakan?" Tanya Zaskia mengkhawatirkan kondisi adiknya.

Rayhan menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa kok Kak! Sstttt... Kok aku ada di sini Kak?" Tanya Rayhan, seingatnya terakhir ia berada di gudang.

"Tadi Ustadza Haifa dan beberapa santri yang membawa kamu ke rumah."

"Kok aku gak di bawak ke rumah sakit?" Protes Rayhan, karena biasanya orang terluka suka di bawak kerumah sakit atau ke puskesmas terdekat. Setidaknya itulah yang ia lihat di film-film.

Pertanyaan itu sukses membuat Zaskia yang tadinya tampak sedih, berubah menjadi gelak tawa. Pertanyaan Rayhan cukup masuk akal.

Rayhan mendengus kesal melihat Kakak Iparnya yang tertawa renyah.

"Jadi kamu pengen ke rumah sakit? Manja..." Goda Zaskia, sembari menahan tawa.

"Diih... Di kira enak di pukulin."

"Ya Tuhan... Hihihi... Lagi sakit gini kamu masih bisa ngelawak." Tawa renyah Zaskia, diam-diam Rayhan tersenyum melihat Zaskia yang sudah kembali bisa tertawa. "Tadinya Kakak juga mau membawamu ke rumah sakit! Tapi kata Mbak Haifa kamu akan jauh lebih baik kalau di rumah aja." Jelas Zaskia, seraya mengambil kain kompresan di kening Rayhan lalu menggantinya dengan yang baru.

"Bilang aja gak mau rugi." Rutuk Rayhan, dan lagi-lagi membuat Zaskia tertawa.

"Rumah sakit mahal Dek! Hihihi..."

Tapi apa yang di katakan Ustadza Haifa memang benar, lebih baik ia di tawat di rumah, di rawat langsung oleh Zaskia Kakak iparnya.

Tak ingin hanya dirinya saja yang di olok-olok, Rayhan sengaja menggoda Zaskia.

"Tapi memang ennakkan di rawat di rumah Kak! Apa lagi kalau yang ngerawat cuman make dalaman." Balas Rayhan menggoda. Ia menatap seluruh tubuh Laras dengan senyuman misterius.

Zaskia langsung terdiam, dan sedetik kemudian ia berteriak kesal.

"Adeeeek..."

*****


Laras

Hari ini Rayhan tidak masuk sekolah, setelah di hajar habis-habisan tadi malam. Azril berniat menjenguk sahabatnya itu, sementara Doni, Nico dan Riko akan menyusul setelah makan siang.

Tapi naas, belum juga sampai di rumah Rayhan, tiba-tiba ia di cegat oleh Dedi dan teman-temannya.

"Ikut aku sekarang." Ujar Dedi sembari mencengkram kera leher Azril.

Azril yang ketakutan hanya pasrah ketika Dedi membawanya ke asrama Hamza. Kemudian Azril di seret masuk ke kamar 01.

Dedi menatap tajam kearah Azril yang tampak ketakutan, dan tiba-tiba ia melayangkan tinjunya kearah wajah Azril, lalu di susul dengan tendangan kearah perut Azril membuat pemuda itu tersungkur ke lantai.

"Bangun anjing! Kemarin kamu kayaknya jagoan banget." Suruh Dedi.

"Bikin dia kapok bos."

"Hahaha..."

Dedi menarik tangan Azril agar pemuda itu berdiri, setelah Azril berdiri ia kembali memukuli Azril berkali-kali hingga membuat Azril babak belur.

Saat Azril tersungkur di lantai, Dedi dengan sadirnya menendang perut dan kepala Azril.

"Kamu bilang apa ke Clara? Hah... Emang kamu pikir Clara akan percaya, terus gak mau ngentot lagi sama aku! Hahaha... Jangan mimpi." Umpat Dedi, ia menjambak rambut Azril hingga wajah Azril terangkat.

"Azril... Azril... Cowok cupu kayak kamu mimpi punya pacar! Hahaha..." Ejek Efran.

"Hahahaha...."

"Zril... Memek Clara enak Lo..." Bisik Dedi, membuat hati Azril semakin panas.

"Tai..." Umpat Azril marah.

"Bagus..."

Bak... Buk... Bak... Buk...

Secara membabi buta Dedi memukuli Azril, bahkan ia terlihat seperti berniat membunuh Azril yang sudah tidak berdaya.

Beruntung teman-temannya Dedi segera menahan pemuda yang sedang emosi itu, menyiksa Azril bagi mereka memang menyenangkan, tapi membunuhnya itu cerita lain. Tentu mereka tidak ingin berurusan dengan polisi karena ulah Dedi.

"Cuih..." Dedi meludah kearah Azril.

"Sana pergi kamu! Sebelum kamu mati di sini." Ferdi mengusir Azril, sembari menendang bagian belakang Azril.

Tidak memperdulikan rasa sakit di tubuhnya, sembari berlari sempoyongan Azril pergi meninggalkan asrama Hamza dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Dalam perjalanan pulang, Azril menangis, bukan karena rasa sakit di tubuhnya, melainkan karena dirinya begitu lemah dan penakut, yang membuat dirinya selalu di tindas oleh mereka yang kuat.

Tangis Azril baru redah ketika ia memasuki rumahnya, buru-buru Azril menenangkan dirinya sebelum memasuki rumahnya. Ia berharap tidak ada orang rumah yang melihatnya dalam kondisi seperti saat ini. Dengan cara mengendap-endap ia masuk ke dalam rumahnya.

"Astaghfirullah Azril."

"Eh, Umi." Azril nyengir kuda sembari menggaruk-garuk kepalanya.

Ustadza Laras mendesah pelan sembari menghampiri putranya yang pulang dalam keadaan berantakan. "Duduk sini." Suruhnya, meminta Azril duduk di sofa, di samping dirinya. Dengan patuh Azril duduk di samping Ibunya.

Ia memegangi wajah putranya yang tampak memerah, dan mata kiri Azril sedikit bengkak. Terakhir kali ia melihat Azril bonyok seperti saat ini ialah dua bulan yang lalu, dan kali ini kembali terulang lagi. Sebagai seorang Ibu tentu saja ia merasa sangat khawatir.

Setelah memeriksa luka di wajah Azril, Laras berlalu ke kamarnya untuk mengambil kotak p3k, dan air hangat untuk mengompres luka Azril.

"Kamu berantem lagi." Tanya Laras.

Azril memilih diam, ia tidak tau harus mengatakan apa kepada Ibu tirinya. Ia tidak mungkin berbohong, tapi ia juga tidak berani untuk berkata jujur.

Dengan menggunakan kain kasa, Laras mengompres wajah memar Azril membuat pemuda itu meringis kesakitan menahan pedih di wajahnya. "Aduh sakit Mi." Rintih Azril meringis menahan pedih.

"Tahan ya sayang! Sini peluk Umi." Ujar Laras.

Azril memeluk pinggang Laras, sembari membenamkan wajahnya diatas payudara Ibu tirinya yang terasa empuk. "Maafin Azril ya Mi." Lirih Azril, ia merasa sangat nyaman berada di dalam pelukan Laras, apa lagi ia bisa merasakan tekstur empuk payudara Laras.

"Sudah umi katakan berulang kali, jangan berkelahi." Ujar Laras, sembari membersihkan luka di wajah Azril.

"Iya Umi."

"Kali ini Umi akan adukan kamu sama Abi." Ancam Laras. Membuat wajah Azril mendadak pucat pasi.

Dia menatap Ibunya sembari menggelengkan kepalanya. "Ja-jangan Umi. Nanti Abi marah sama Azril." Mohon Azril kepada Ibunya yang baru saja selesai mengobati luka di wajahnya yang memar.

"Biar kamu jera." Cetus Laras.

Wajah Azril berubah memelas di hadapan Laras. "Umi tega lihat Azril di pukul Abi?" Melas Azril, dengan tatapan sedih. Bukannya merasa kasihan, Laras malah terlihat kesal melihat tingkah putranya yang begitu kekanakan.

"Siapa suruh kamu bandel."

"Azril janji tidak akan mengulanginya lagi." Azril membentuk huruf V dengan kedua jarinya.

Laras menggelengkan kepalanya. "Kemarin kamu juga bilang begitu! Sudah-sudah sana kamu mandi dulu, habis itu makan bareng Umi." Titah Laras, Azril hanya pasrah menuruti perintah Ibunya. Ia berjalan gontai menuju kamarnya dengan raut wajah yang tidak bersemangat.

Setelah Azril kembali ke kamarnya, Laras merubah ekspresi wajahnya menjadi datar.

Sebenarnya ia juga tidak ingin mengadukan kelakuanku Azril kepada Suaminya. Tapi Azril memang harus di kasih hukuman agar ia jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Laras menyenderkan punggungnya di sofa sembari terus berfikir mencari solusi yang lebih baik dari pada harus mengadukan perbuatan Azril hari ini kepada suaminya.

Mengingat Suaminya, membuat emosi Laras semakin menggebu-gebu. Ia sangat kesal terhadap Suaminya yang lebih memintingkan Istri mudanya, sementara dirinya sendiri malah harus mengurus kedua anak Suaminya.

Setelah berfikir cukup lama, akhirnya Laras menemukan solusi yang tepat untuk membuat Azril jera tanpa harus memberi tau kan Suaminya.

Ia segera menyusul Azril ke kamarnya, tanpa mengetuk pintu Laras membuka kamar Azril. Pemuda berwajah inoncent tersebut tampak kaget melihat Ibunya masuk ke dalam kamarnya.

"Sini kamu Nak." Panggil Laras.

Azril yang mengenakan handuk menghampiri Laras yang tengah duduk di tepian tempat tidurnya. "Ada apa Umi?" Tanya Azril keheranan.

"Telungkup di pangkuan Umi." Suruh Laras.

Walaupun ia tidak mengerti tapi Azril tetap menuruti perintah Laras. Ia tidur terlungkup diatas paha Laras.

Laras menarik nafas dalam, ia merasa tak tega untuk melakukannya. Tapi demi kebaikan putranya, ia harus melakukannya. Bukankah lebih baik dirinya yang menghukum Azril dari pada Abinya.

Plaaakk...

"Aaauuww..." Jerit Azril.

Sebuah pukulan keras mendarat di pantat Azril, hingga terasa pedih di pantat Azril. berulang kali Laras memukul pantat Azril hingga handuk Azril terlepas dari pinggangnya, tetapi Laras tidak begitu memperdulikannya, ia terus saja memukul pantat Azril, meluapkan amarahnya kepada Azril yang tidak tau apa-apa.

Laras dapat melihat bekas merah di pantat putranya, tapi itu tidak mengendurkan pukulannya dari pantat putranya. Ia benar-benar kesal terhadap Suaminya yang mulai tidak perduli lagi kepadanya, hingga pemerkosaan Daniel terhadap dirinya bisa terjadi.

Tanpa sadar ia melampiaskan kemarahannya kepada Azril, ia memukul pantat Azril walaupun anaknya menjerit kesakitan.

"Aduh Umi... Sakit!" Mohon Azril.

Plaaakk... Plaaakk... Plaaakk...

"Ini hukuman buat anak Umi yang gak mau nurut apa kata Umi." Ujar Laras dengan raut wajah emosi.

Plaaakk... Plaaakk... Plaaakk...

"Auww... Uhkk... Ampun Umi." Mohon Azril.

Jeritan manja Azril malah membuat Laras semakin bernapsu memukuli putranya. Yang awalnya tidak begitu keras, kini ia melakukannya sekuat tenaga seakan ia lupa kalau yang ia pukul saat ini adalah anak kesayangannya. Kekesalannya terhadap KH Umar, benar-benar membutakan mata hatinya.

Tapi anehnya Azril malah merasakan sensasi yang sulit di jelaskan. Rasa sakit dari pukulan Laras, malah membuat pemuda itu terangsang. Sadar atau tidak kontol Azril kini telah tegang maksimal.

Puluhan pukulan di layangkan Laras ke pantat putranya, sampai ia merasa capek sendiri, barulah Laras berhenti memukuli pantat putranya yang kini memar memerah akibat kerasnya pukulan Laras. Tapi anehnya Laras malah merasa lega melihat pantat putih putranya kini berwarna merah.

Emosinya yang tadinya memuncak, perlahan menghilang, seakan ia lupa terhadap kemarahannya kepada KH Umar dan Daniel yang terlah menodainya.

"Ayo duduk!" Perintah Laras. Ketika Azril hendak kembali memakai handuknya, Laras mencegahnya. "Tidak usah di pakai, toh Umi juga sudah lihat." Ujar Laras sembari memandangi kontol Azril yang tidak berbulu, karena Azril sangat rajin mencabut habis rambut kemaluannya.

Laras tersenyum geli melihat selangkangan putranya. Sudah botak dan ukuran kontol Azril juga sangat kecil, seukuran jari kelingkingnya, padahal saat ini Azril sudah tegang maksimal.

Melihat kontol Azril, mengingat kannya dengan kontol Suaminya yang juga kecil dan lembek, membuat Laras bertanya-tanya, kenapa kontol sekecil itu ingin memiliki Istri yang banyak. Mungkin Laras bisa memaklumi kalau kontol Suaminya sebesar Daniel.

"Sakit Mi." Rengek manja Azril menyadarkan lamunan Laras.

"Ya Tuhan apa yang kulakukan barusan? Apa salah Azril hingga ia harus menyakiti putranya." Lirih hati Laras, yang sadar atas apa yang baru saja ia lakukan kepada Azril.

Laras memeluk putranya yang tengah merengek. "Habis kamu bandel si Dek, makanya Umi pukul." Ujar Laras enteng.

"Iya Umi!" Lirih Azril. "Azril sayang Umi." Sambungnya.

"Umi juga sayang Azril."

Mereka berdua mengakhirinya dengan cara berpelukan penuh kasih sayang.

*****


Mariska


Irma

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam... Ustadza Mariska? Ayo masuk." Suruh Hj Irma.

Segera Mariska masuk ke dalam rumah Hj Irma. Bukan tanpa alasan kenapa ia menemui Hj Irma. Ia bermaksud meminta bantuan Hj Irma untuk meminjam uang demi penyembuhan Suaminya. Mariska merasa hanya Hj Irma yang bisa membantunya saat ini.

Walaupun agak canggung, Mariska mulai menceritakan masalahnya saat ini dan berharap Hj Irma mau membantunya. Tentu saja Hj Irma merasa prihatin dengan musibah yang di alami Mariska.

Hj Irma meraih tangan Mariska. "Maafkan saya Ustadza Mariska! Saya turut prihatin mendengar kabar Ibu kamu di rawat di rumah sakit." Ujar Hj Irma yang tampak menyesal karena tidak bisa membantu mengurangi penderitaan Mariska.

"Saya harus meminta bantuan siapa lagi Umi?"

"Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang bisa membantu masalah yang kamu hadapi saat ini, tapi Umi tidak yakin kamu mau menemui orang itu." Jelas Irma, seraya menghela nafas.

"Siapa orangnya Umi?"

"Kamu sangat mengenalnya! Pak Sobri..." Ucap Irma.

Mariska terhenyak mendengar nama itu di sebut oleh Hj Irma. Pria mesum yang ingin menidurinya, tentu saja Mariska tidak sudih meminta bantuan kepada orang yang menjijikan seperti Pak Sobri.

Melihat reaksi Mariska, Irma sama sekali tidak terkejut, ia sadar kalau Mariska adalah sosok yang memiliki pendirian teguh.

"Tidak akan pernah Umi."

"Kenapa kamu begitu membenci Pak Sobri? Apa hanya karena ia pernah meminta mu tidur." Ujar Irma dengan sikap tenang.

"Umi sudah tau jawabannya."

Irma menghela nafas perlahan. "Pria manapun pasti ingin tidur dengan mu Mariska, kamu cantik." Ujar Irma, membuat Mariska tidak habis pikir kenapa Hj Irma terkesan membela Pak Sobri.

"Istighfar Umi."

"Apa yang salah Mariska? Itu sudah menjadi kodratnya manusia." Jelas Hj Irma.

"Maaf Umi, saya sudah menikah! Di agama kita itu di sebut zina dan hukumnya dosa." Jawab Mariska, andai saja lawannya bukan Hj Irma, mungkin ia sudah pergi dari tadi meninggalkan sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Mariska tidak mengerti kenapa Hj Irma seakan mendukung perzinahan, mengingat Hj Irma adalah Istri dari KH Sahal.

"Berzina memang membuat kita berdosa, tapi tidak kalau kita melakukannya dengan pernikahan!"

"Masalahnya saya sudah menikah."

"Kamu bisa saja melakukan kawin kontrak dengan nya." Usul Irma, membuat Mariska makin terhenyak mendengar jawaban Hj Irma.

"Astaghfirullah Umi..."

Irma tidak mengubrisnya, ia kedalam rumahnya, lalu kembali sembari membawa beberapa buku karangan syekh Jamak.

Kemudian Irma membuka buku tersebut dan memperlihatkannya kepada Mariska.

Wanita cantik itu menggelengkan kepalanya. "Umi Taukan, kalau penulis buku ini di anggap sesat, bahkan ia sampai terusir dari negaranya." Kecam Mariska yang tidak habis pikir dengan Hj Irma. Bagaimana mungkin Hj Irma menjadikan tulisan syekh Jamak yang di kenal sesat oleh sebagian besar ulama sebagai referensi untuk membenarkan ucapannya.

"Kalau memang benar sesat, lantas kenapa pengikutnya sekarang bertambah banyak?" Tanya Hj Irma, kini Mariska yang terdiam.

"Saya tidak tau Umi."

"Ustadzah, siapa yang bisa menilai orang lain itu sesat atau tidak? Siapakah kita? Apakah karena mereka berbeda dari kita, lantas kita bisa menghakimi orang tersebut sesat." Jelas Irma, ia menatap mata Mariska, seraya tersenyum hangat.

"....." Bibir Mariska terasa keluh.

"Umi ingin sekali membantu kamu, tapi uang 50 juta itu sangat besar! Satu-satunya orang yang bisa membantu kamu adalah Pak Sobri." Ujarnya lagi, kini ia kembali menggenggam tangan Mariska.

"Tapi Umi..."

"Ini bukan demi kamu, tapi demi orang tua kamu yang telah membesarkan kamu, yang rela berkorban nyawa untuk kamu! Apa menurut kamu dengan tidur bersama Pak Sobri itu sebuah pengorbanan besar?" Tanya Irma, sedetik kemudian Irma menggelengkan kepalanya. "Tidak Ustadza... Pengorbanan orang tuamu tanpa batas." Nasehat Irma dengan nada pelan.

Mariska menunduk, ia merasa sebagai seorang anak ia belum melakukan apapun untuk membahagiakan orang tuanya. Tanpa sadar Mariska menitikan air matanya, membayangkan Ibunya meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan.

"Umi tidak memaksamu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan mu! Tapi... Umi hanya ingin bilang, nyawa orang tuamu jauh lebih berharga dari hanya sekedar mempertahankan keyakinanmu yang belum tentu kebenarannya." Sambung Hj Irma membuat hati Mariska kian menjerit.

"Aku tidak tau Umi." Lirih Mariska sembari menghapus air matanya.

Irma menyodorkan bukunya kepada Mariska. "Kamu simpan saja dulu buku ini, kalau ada waktu cobalah untuk membacanya." Pinta Irma.

Mariska menerimanya dengan perasaan bimbang. "Terimakasih Umi."

"Umi akan mencoba membantu sebisanya! Kalau nanti kamu berubah pikiran, kemarilah... Umi selalu ada untuk kamu." Irma berdiri, lalu memeluk hangat Ustadza Mriska yang hanya berdiam diri.

Pikirannya kini berkecamuk, antara ingin menyelamatkan nyawa Ibunya, atau mempertahankan keyakinannya selama ini.

*****

Jadwal update 2 hari sekali
Dasar iblis betina ini Hj Irma, jangan² uang 50 juta itu juga hasil korupsi

Dia umpanin tubuh mariska ke Sobri
Tapi disaat yang bersamaan dia juga mau pengen nyari sekutu

Kalo ketangkep polisi, Mariska juga kena


Eh tapi belum tentu juga sih, bisa aja Hj Irma ditekan Sobri dan suaminya juga. Kalo gak nurut, bisa² nyawa Irma hilang

Ah Rayhan sama Azril, cupu

Digebukin orang kalah

Hu.. kapan mereka jadi pahlawan =)) =))
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd