john robert
Senpai Semprot
- Daftar
- 24 Nov 2013
- Post
- 920
- Like diterima
- 708
HARI YANG MUDAH HANYA KEMARIN
“Only The Dead Have Seen The End of War.”
- Plato
“Only The Dead Have Seen The End of War.”
- Plato
BAB 1
“What the hell, kenapa kamu tidak bisa mengatur vice president agar meninjau pos kami?” bentakku dalam bahasa Inggris kepada seorang anggota Secret Service bernama Billy. Billy pria berkebangsaan Amerika, memiliki postur gagah dan hidung mancung. Dia berdiri tegak mengenakan kacamata hitam pekat dengan earphone menempel di telinga. Tubuh Billy lebih dari 190 cm. Sedangkan tubuhku yang hanya setinggi 170 cm tampak seperti anak kecil ketika berhadapan dengannya.
“Lettu Dewi, come on, apa yang membuatku harus memperpanjang waktu kunjungan vice president? Apalagi hanya demi mengunjungi pos kalian? Memangnya siapa kalian?”
Sudah cukup.
Kalimat tadi menyentuh sisi sensitifitas hati seorang wanita militer sepertiku.
“Don’t fuck with me!” telunjukku mengacung tinggi, “Apa katamu? Kamu mau melecehkan negara kami, hah?”
Bukan main-main, aku masih mengenakan seragam loreng cokelat pasukan perdamaian PBB ketika membentak seorang Secret Service. Baret biru laut dengan logo United Nation menempel erat di kepala. Pada bagian bawah, sepatu boot hitam tampak mengkilap terkena terik mentari dan membuatku terlihat garang.
Sebenarnya aku tidak sendiri. Empat orang rekan kontingen Indonesia berdiri mengamati kami di belakang, mereka adalah Letnan Susi, Sersan Anton, Sersan David, serta Sersan Hamzah. Letnan Susi, rekan satu angkatanku di akademi. Seorang perwira wanita berkulit putih khas Sunda. Karena warna kulitnya, Susi biasa dipanggil Amoy. Cara bicaranya sangat blak-blakan, topik apapun mampu dibahas secara bebas.
Sersan Anton, anak buah pletonku, berusia tiga puluh lima tahun dan memiliki tatapan mata setajam elang. Tepat di samping Anton, berdiri juga Sersan David, driver spesialis kami. Laki-laki berkepribadian tenang. Cocok menjadi driver militer karena selain tenang cara mengemudinya, dia juga sangat handal dalam bermanuver pada situasi pertempuran. Terakhir ada Sersan Hamzah. Laki-laki bertubuh hitam keling, karena sejak pertama kali menjadi tentara, ia terus-menerus bertugas di lapangan. Anak buahku rata-rata berusia 35 tahun. Mereka jauh lebih tua dari aku dan Susi yang baru memasuki usia 27 tahun. Tapi karena pangkat, aku dan Susi menjadi atasan mereka.
“Memangnya kalian ada di bagian mana pada peta dunia?” balas laki-laki anggota Secret Service itu tidak mau kalah.
Sial baginya karena aku, Letnan Satu Dewi, paling tidak suka diremehkan. Apalagi ketika lambang bendera merah putih tertempel di lengan bajuku, tidak seorangpun boleh meremehkan negaraku. “Goddamn it! Kamu menghina negaraku lagi! Jangan main-main! Kamu tidak akan lolos dari ini! Akan kulaporkan kau pada atasanmu, atas tindak pelecehan kepada negara lain!” tukasku.
Susi bergerak maju bersama tiga orang anak buah kami. Susi tahu persis reputasiku sebagai perwira wanita bermulut pedas. Namun, sebelum si amoy dapat melerai, seorang pria bule berseragam militer lain datang mendekat.
“Ada apa, Billy?”
Suara itu berasal dari seorang tentara bule yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada Billy. Bila ditaksir, mungkin tingginya mencapai 195 cm. Bahunya tampak lebar seperti perenang bertubuh kekar dihiasi wajah tampan berbola mata biru. Sebersit lesung pipit terpahat di pipinya. Lambang Trident Poseidon yang melekat di pakaian pria tampan membuatku terkesima. Dia adalah seorang Navy Seal. Pasukan Elite Angkatan Laut Amerika.
“Sir, wanita ini memaksa agar vice president berkunjung ke pos mereka,” Billy menjawab sambil memberikan hormat sebagaimana layaknya bawahan kepada atasan.
Pria berbola mata biru itu mengenakan tanda pangkat seorang Letkol. Pangkat Perwira menengah. Jauh di atas pangkatku. Nama Erick tertera pada bagian atas bajunya. Berdasarkan peraturan kehidupan militer, aku wajib bersikap hormat kepada sang perwira. Tapi setiap emosi melanda, akal sehat selalu meninggalkanku. Alih-alih menghormat kepada perwira kekar yang usianya kutaksir hampir memasuki kepala empat namun terlihat masih sangat bugar ini, aku justru berdiri tegak dengan sikap tubuh menantang. Hanya Susi dan tiga anak buah kami yang menghormat kepadanya.
“Terima kasih,” ucap Letkol Navy Seal setelah melihat Susi dan rekan lainku menghormat. Perwira tampan itu melihat sikap kurang ajarku, tapi tidak tampak sedikitpun kemarahan dalam dirinya. Perwira bernama Erick hanya mengangguk dan menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
“Kenapa VP tidak boleh ke pos kami?” tanyaku sebagai upaya merespon kalimat Billy. “Kami sudah delapan bulan di sini, lebih lama dari tentara perdamaian negara mana pun, termasuk tentara Amerika.”
“Letnan kamu sadar, aku bisa saja menamparmu di sini untuk menghentikan segala bullshit yang kamu ucapkan?” tukas Billy.
“Damn it! Kamu mau menamparku? Coba saja kalau kamu berani. Ayo!” Aku maju menantang. Sersan Anton dan Hamzah mencoba membelaku bersamaan.
Melihat keadaan menjadi sedemikian runyam, perwira kekar bernama Erick merentangkan tangan kepada rekan-rekanku. Dia berkata, “Kalian, tenanglah! Semua terkendali! Biarkan aku, Billy dan Letnan Dewi membereskan segala kesalahpahaman kami ini!”
Karisma Letkol Erick membuat seluruh rekanku tersihir untuk mematuhi ucapannya, termasuk Susi. Ia terdiam, bahkan tampak terpukau.
“Nona, kupikir masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik,” perwira berlesung pipit mendekatiku. Aroma parfumnya menonjolkan pesona maskulinitas nan pekat. Simbol eliksir tubuh laki-laki jantan.
“Tidak bisa! Dia telah menghina negaraku!” selain mudah marah, aku juga terkenal sebagai wanita yang tidak mau kalah dalam perdebatan.
“Percayalah, aku kenal Billy. Dia pernah menjadi bawahanku di Seal. Billy bukan orang yang suka melecehkan siapa pun, apalagi sebuah negara besar seperti kalian.” Erik menatap lurus mataku sebelum melanjutkan, “Bukankah kau juga seorang anggota Pasukan Khusus, jika kulihat dari lencanamu, Letnan?”
“Ya, sama sepertimu, aku juga seorang Navy Seal di negaraku.”
Perwira berbola mata biru mengernyitkan dahi. “Kamu seorang Seal?”
“Ya, memang kenapa? Apakah wanita tidak boleh menjadi seorang anggota Navy Seal?”
“Well, tidak di Amerika.”
“Kalau begitu negaramu masih kalah dalam menjunjung emansipasi wanita dari negaraku.”
“Jaga sopan santunmu!” Billy memotong. Aku tahu ucapanku ketika berbicara dengan atasannya sangat tidak sopan. Akan tetapi, seperti inilah karakterku. Kalau sudah berdebat, Letnan Dewi akan terus berdebat sampai menang.
“Sudahlah,” Letkol tampan menyela kami lagi. “Anggaplah ini impas.”
“Impas apanya? Enak saja!”
“Maksudku, tudingan saling melecehkan antar negara tadi! Kita anggap impas saja.” Erik menawarkan.
“Tidak! Enak saja!”
“Well, kamu, aku, dan Billy, kita sama-sama Seal. Minimal itu persamaan yang membuat kita bisa berdamai.” Letkol Erick memegang bahu kami berdua dan mendekatkan kami sebagai isyarat mendamaikan. “Lagi pula ini aspirasi berharga bagi kami, bahwa wanita juga layak menjadi seorang anggota pasukan khusus.”
Billy dan aku sudah sama-sama berhadap-hadapan.
“Ayo Billy, tidak ada salahnya kamu menyampaikan permohonan maaf kepada Letnan Dewi yang cantik ini!”
Kalimat gombal.
Khas laki-laki.
Menurutku, standar kecantikan bagi bule setampan Erik atau Billy pasti berbeda. Mereka lebih memandang wanita blonde berpinggang ramping dan tubuh layaknya model victoria secret sebagai gambaran wanita cantik. Sedangkan aku, jauh dari gambaran wanita seperti itu. Sejak dulu aku selalu beranggapan sebagai wanita, pesonaku biasa saja. Padahal cukup banyak orang berkata padaku, bahwa wajahku sangatlah cantik dengan ciri khas hitam manis berhidung mancung dan bibir sensual. Tapi aku tidak pernah mau mempercayai pendapat orang lain.
“Jangan coba merayuku!” tukasku.
“Oh tidak! Aku tidak sedang merayumu. Kamu memang cantik, dan sudah selayaknya Billy mengajukan permohonan maaf. Sekarang juga!” kalimat terakhir dilontarkan Erick sambil sedikit membentak. Billy langsung patuh. Dia menyodorkan tangan.
“Nona Dewi, aku minta maaf.”
Aku buang muka kesal. Tidak semudah itu.
“Ayo, Wi, maafkanlah dia!” Susi datang mendekat sembari memaksa tanganku untuk bersalaman.
“Apa-apaan sih, Kamu?” protesku.
“Ayolah, terima permintaan maafnya!”
Sedikit dipaksa, akhirnya aku menyambut tangan Billy, lalu kami saling berjabat tangan.
Letkol tampan tersenyum melihat tingkah laku kami berdua yang seperti anak kecil. “Ini sebuah kemajuan besar.” kata Erick.
“Tapi salaman ini belum memenuhi permintaanku!”
“Apa permintaanmu?”
“Aku ingin VP mengunjungi pos kami!”
Pegangan tangan Susi di lengan terasa semakin kuat. Dia mencengkeramku. Apakah permintaanku ini terlalu berlebihan?
Billy sudah siap memprotesku. Sedari tadi dialah yang paling keras menentang rencanaku.
“Sudah,” perwira kekar berlesung pipit menyadari ini dan memotongnya di tengah jalan. “Aku akan mencoba menyampaikan kepada pimpinan Secret Service di sini agar VP mengunjungi pos kalian!”
“Tapi bagaimana? Bagaimana kalau kau ingkar janji, dan vice president tidak mengunjungi pos kami?” tanyaku.
“Hei jaga ucapanmu. Sadarkah kamu sedang bicara dengan seorang perwira berpangkat lebih tinggi darimu?” anggota Secret Service berkacamata hitam terpancing.
“Aku tidak bicara denganmu, son of a Bitch!” tunjukku tepat di mukanya.
Susi langsung menarikku agar tidak terpancing lagi.
“Ayolah! Kalian berdua seperti kucing dan anjing,” untuk pertama kali perwira berlesung pipit terlihat gusar menghadapi tingkah kami. “Ini janjiku Letnan, kalau memang nanti VP tidak berkunjung ke pos kalian, maka aku berhutang padamu.”
“Serius? Jangan sampai kamu tidak menepati janji, Letkol! Jika tidak, kamu akan ...”
“Hush, Kamu keterlaluan, tahu!” Susi menginjak sepatuku.
“Ahh ... Susi! Apa-apaan kamu?” si amoy menginjak dengan kuat sekali sebelum aku selesai bicara. Kuku kakiku bisa copot karena injakannya.
Erick menepuk Susi di bahu sambil memberikan senyum lebar sebelum bicara, “Jangan begitu kasihan kaki temanmu!”
Diajak senyum oleh perwira kekar, temanku langsung tersipu malu. Rona merah muncul di pipinya. Benar-benar gampang dibuat ‘ge-er’ temanku ini.
Letkol tampan beralih kepadaku kemudian berkata, “Aku selalu serius, Letnan Dewi! Sekarang kembalilah bersama rekan-rekanmu! Kamu bisa memegang ucapanku.”
Aku memandang mata Letkol Erick sekali lagi. Wajar saja Susi dibuat tersipu olehnya. Laki-laki ini memang sangat mempesona.
BAB 2
Markas pasukan PBB di Kindia, Guinea, sudah siap menyambut kedatangan Wakil Presiden Amerika. Kindia baru memasuki musim kemarau setelah beberapa bulan diselimuti hujan tiada henti. Sebuah kondisi ideal untuk negara tropis yang memiiliki tingkat kesuburan tanah teramat tinggi. Secara geografis, kondisi Kindia tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah di Indonesia yang subur dan diberikan karunia kekayaan alam berlimpah. Di sejauh mata memandang selalu tersaji hijaunya pemandangan alam, tumbuhan beraneka ragam, hutan belantara, disertai satwa beraneka jenis.
Matahari selalu bersinar terang di sini. Udara terasa kering di musim kemarau, namun guyuran hujan di bulan-bulan sebelum ini membuat transisi musim menjadi terasa nyaman. Bagi rekan-rekan tentaraku yang berasal dari wilayah Eropa memerlukan transisi lebih lama dalam menghadapi udara di Guinea. Sedangkan kami, tentara asal Indonesia, diuntungkan karena Indonesia pun memiliki iklim tropis.
Negara tropis hanya memiliki dua musim. Pergantian cuaca membuat tanah menjadi lebih subur dan mampu menumbuhkan berbagai jenis tanaman. Laju pembangunan Kindia belum segencar di Indonesia. Nuansa alam Kindia yang indah belum dibabati oleh tuntutan kemajuan jaman.
Markas Pasukan Penjaga Perdamaian PBB terletak di pinggiran Kota Kindia. Kondisi markas kami pun diselimuti oleh suasana alam indah ini. Kami hidup di sebuah area berhuruf U di mana markas utama PBB terletak di bagian garis datar huruf U. Indonesia mendapatkan bagian sayap kanan markas, bersebelahan dengan kontingen Australia dan Belgia. Lokasi kunjungan Vice President Harris nantinya berada tepat di markas besar. Letkol Navy Seal bernama Erick kemarin menjanjikan Secret Service dapat membawa VP bergerak ke sayap kanan untuk mengunjungi markas pasukan Indonesia.
Layaknya di tanah air, sebelum kedatangan tamu berkategori “VVIP”, para Secret Service akan membangun parimeter pengamanan sampai lima ring. Ring pertama beradius terdekat dengan lokasi kunjungan VP sudah disterilkan sejak malam hari. Jaring kedua berjarak tidak sampai lima ratus meter dari jaring pertama. Secret Service dibantu oleh tentara bersenjata lengkap bersiaga di sektor ini.
Ring ketiga melibatkan sebagian pasukan PBB yang dilengkapi sarana teknologi terkini untuk berjaga-jaga apabila terjadi ancaman menggunakan kekuatan cyber. Jaring keempat terdiri dari kendaraan militer canggih, termasuk keterlibatan satelit serta drone yang beterbangan di atas kepala. Jaring terakhir meliputi pengawalan oleh para sniper, atau tentara berkemampuan menembak jarak jauh di atas rata-rata. Para sniper sudah memanjat titik tertinggi di sekitar kawasan, jauh dari pandangan manusia awam.
Kami kontingen Indonesia sudah berbaris rapih di sayap kanan lokasi acara. VP dijadwalkan akan masuk dari pintu utama, lalu turun di depan markas besar pasukan PBB untuk melakukan pembicaraan dengan pimpinan pasukan gabungan PBB dari Tunisia, General Salman Abid. Setelah itu wakil presiden akan mengunjungi satu per satu barisan Pasukan Penjaga Perdamaian PBB berseragam lengkap.
Namun, hal melelahkan dari sebuah kunjungan wapres adalah menunggu. Jika kuhitung, sudah lebih dari satu jam kami menunggu kedatangan VP. Berdiri sambil memanggul senjata, terjemur terik mentari musim kemarau Kindia. Rasanya sangat melelahkan. “Fuck!”
“Kamu maki apa?” Lettu Susi yang berdiri di sampingku sedikit terkejut.
“Menunggu sangat menyebalkan!”
“Bersabarlah! Lagi pula kita bisa mencuci mata. Lihat itu! Letkol tampan yang kemarin berdebat denganmu sudah ada di depan markas PBB.” Lettu Susi menunjuk ke arah Erick menggunakan dagunya.
Kami dapat melihat jelas seluruh kawasan markas berpola huruf U ini. Letkol Erick memang sudah terlihat di lokasi. Dia tampak mengomando seluruh anak buahnya agar membereskan segala urusan sebelum kedatangan wapres wanita pertama Amerika.
“Kamu hebat bisa bicara dengan laki-laki seganteng itu,” si amoy bicara lagi.
“Aku tidak bicara dengannya, tapi berdebat! Dan dia kalah dalam perdebatan itu!”
“Berani sekali kamu, Wi. Bagaimana kamu bisa bersikap tidak hormat ketika berbicara dengan seorang perwira berpangkat jauh lebih tinggi? Kamu sudah gila, ya?”
“Aku hormat, kok.”
“Kemarin, tidak ada satu pun sikap atau perkataanmu menunjukkan bentuk penghormatan kepadanya.”
Tertunduk sambil menatap sepatu, hanya itu yang dapat kulakukan ketika menyadari sebuah kebenaran.
“Kalau di tanah air, aku sudah disuruh berenang melintasi Selat Sunda bila melawan senior,” ujarku lirih.
“Bolak-balik!” Susi menekankan. “Merak-Bakauheni, berenang bolak-balik, mengingat kesalahan sefatal itu.”
Kami masih menunggu sembari berdiri gontai.
“Kamu masih berenang?” si amoy bertanya.
“Masih.”
“Di mana? Kenapa kamu tidak pernah ajak aku?”
“Di hotel bagus dekat sini. Fasilitas kolam renang mereka lengkap dan terjangkau.”
“Pantas saja badanmu sexy, Wi. Ternyata karena masih rajin berenang.”
“Tubuhku jelek! Jauh dari kata sexy.”
Susi menatapku, “Badanmu bagus. Kamu sudah seperti artis berkulit eksotis. Seperti Beyonce! Aku berani bertaruh, waktu kamu berenang di hotel, banyak mata laki-laki yang berupaya manatap ke arahmu.”
Pikiranku berusaha membuka ingatan tentang apa yang dimaksud Susi. Dia tidak salah.
“Kamu benar.”
“Banyak laki-laki yang terpana melihat tubuhmu, kan?”
“Tidak sebanyak itu. Tapi ada dua orang yang terus melihatku tanpa berkedip. Aku memang berenang memakai bikini merah tempo hari.”
Si amoy menoleh penasaran. “Siapa mereka? Laki-laki kaya?”
“Kalau mereka kaya, memang kamu mau sama mereka?”
“Kenapa tidak. Kamu tahu, bercinta dengan laki-laki berkulit hitam yang perkasa dan kaya tujuh turunan adalah salah satu fantasi favoritku.”
“Kalau begitu kau ambil mereka. Dua-duanya!”
Susi tertawa lebar tanpa suara, “Aku tidak setamak itu, Wi. Lagi pula apakah mereka memang benar orang kaya?”
Anggukanku menjadi jawaban paling tepat untuk si amoy, “Bukan hanya kaya, setelah kuselidiki, mereka merupakan panglima militer di sini!”
“Di Kindia?”
Aku mengangguk, “Iya, tapi jangan lupa! Ada dua orang. Kakaknya yang panglima Kindia, namanya Mutombo. Tinggi badannya lebih dari dua meter dan kekar. Tapi pandangan matanya, aku tidak akan lupa cara dia menatapku! Ibarat banteng menatap kain merah milik matador, terlalu bernafsu, seperti ingin melahapku. Sedangkan adiknya, pejabat militer di Conakry, namanya Muzamba.”
“Terus penisnya sepanjang apa, ya?” pertanyaan vulgar khas si amoy yang selalu menyerempet hal-hal berbau esek esek.
“Sepanjang penis kuda.”
“Hei, memangnya kamu tahu penis kuda sepanjang apa?”
Lenganku menyenggol Susi, “Sudahlah! Pertanyaanmu itu tidak bermutu. Lagi pula, mana aku tahu barang pribadinya!”
Kami tertawa kencang, beberapa orang memelototi kami. Akan tetapi, tentu saja aku merasa cuek ketika dipelototi seperti itu. Biasanya aku semakin melawan kalau dimarahi. Sayangnya Susi mencubit lenganku sembari berkata, “Kita harus diam. Rombongan wapres sudah datang.”
Sirine mobil pengawalan wapres terdengar elegan. Bukan bunyi sembarangan, melainkan menunjukkan kerapihan serta kedisiplinan rombongan mobil pengawal yang berderap mendampingi seorang pimpinan tinggi negara adikuasa. Iring-iringan mereka terlihat sangat mewah, mobil-mobil berkelas membentuk barisan. Irama mesin-mesin dengan performa kualitas wahid terdengar halus. Kekuatannya bisa menjelajahi seluruh medan di darat. Seumur hidup aku belum pernah melihat konvoi mobil seelegan ini.
Ketika iring-iringan tiba di depan markas, vice president segera turun bersama rombongan pejabat lain. Tidak seorangpun dari rombongan pejabat utama dapat kulihat, karena terhalang oleh pagar betis Secret Service.
Seluruh anggota Secret Service bergerak taktis dalam melindungi wapres. Mereka mengawal wapres untuk bersalaman dengan pimpinan pasukan PBB, lalu VP langsung diarahkan masuk markas. Vice president dijadwalkan akan bercengkarama sejenak dengan pimpinan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, General Salman Abid, sebelum meninjau pasukan. Awalnya kupikir acara di dalam akan lama, namun dugaanku salah. Tidak sampai sepuluh menit, wapres sudah keluar dari markas utama.
Masih menggunakan iring-iringan ketat seperti sebelumnya. Rombongan vice president mulai bergerak ke sayap kanan guna melakukan defile pemeriksaan pasukan. Melihat ini, aku bersikap sempurna, menegakkan bahu sembari memegang erat senjata M4. M4 merupakan salah satu senjata favoritku, versi pendek dan memiliki bobot lebih ringan dari M16. Cocok dipegang oleh kami kaum wanita. Di Guinea, pasukan PBB dipersenjatai oleh senjata Amerika.
Iring-iringan vice president terlihat semakin dekat. Derap sepatu pantopel berderu ketika memijak tanah dalam tempo cepat, menimbulkan jejak-jejak debu panas yang beterbangan. Aku berusaha melirik. Pada saat itu di antara rombongan pejabat VVIP, aku melihat Letkol Erick. Mataku terpaku kepadanya.
Entah mengapa aku masih dapat mengenali sosoknya, meskipun ia tersembunyi di antara lautan manusia. Bahkan aku masih dapat mengagumi caranya berpakaian. Hari ini dia mengenakan seragam loreng lengkap ditemani topi komando. Tatapan mata kalem Erick yang penuh kedewasaan selalu membiusku. Sosok pria kekar berbola mata biru ini sangat mencuri perhatian, fokus pandanganku betul-betul tertuju pada si Letkol Navy Seal, bahkan wapres menjadi tampak buram di sampingnya.
Padahal wakil presiden terus tersenyum manis sambil menyapa pasukan PBB yang berbaris paling depan. Terlebih, wapres menyapa pasukan baris depan dengan sangat ramah. Begitu fokusku pulih, aku menyadari posisi berdiriku pun berada pada baris terdepan. Aku pun bisa memperoleh kesempatan yang sama, mendapatkan sapaan serta pertanyaan dari Wapres.
Seandainya vice president bertanya padaku, aku harus siap.
Mungkinkah ia akan menanyakan asal kontingen kami? Apakah vice president akan menanyakan jumlah pasukan atau mungkin ketersediaan makan dan minum bagi pasukan? Otakku terus membuat sederetan pertanyaan yang justru membuat cemas. Apalagi ketika aku menyadari bahwa rombongan itu sudah semakin dekat. Vice president sudah melewati pasukan dari Inggris, India, dan Afrika Selatan. Tinggal pasukan Australia, lalu ia akan sampai di pasukan kami.
Hatiku berdegup kencang. Tinggal satu lagi, setelah itu Indonesia.
Rombongan terus mendekat.
Tinggal beberapa langkah saja. Satu jengkal lagi.
Namun, sebelum vice president tiba di pasukan Australia, seorang Secret Service menghampirinya dan berbisik.
Sebuah pertanda buruk.
VP tampak menyimak sejenak berita yang disampaikan kepadanya, lalu mengangguk. Sesaat beliau mengatupkan tangan dan tersenyum kepada pasukan PBB yang tersisa, kemudian melambaikan tangan sembari beranjak pergi begitu saja.
Letkol Erick terlihat berusaha menanyakan informasi kepada anggota Secret Service yang berbisik pada VP. Dia tampak mengangguk setelah mendapatkan jawaban singkat. Aku dapat melihat raut wajahnya berubah kecewa, kepalanya beberapa kali menggeleng.
Janjinya kepadaku gagal.
Kalau Perwira kekar ini saja terlihat kecewa, maka yang timbul dalam dadaku adalah rasa murka. Tentu saja, sasaran kemurkaanku hanya satu orang. Kemarin dia telah berjanji padaku.
Go to hell, Erick!
Aku mengumpat tepat ketika dia menoleh ke arahku.
Sial. Sebuah kebetulan tidak menyenangkan.
Erick berujar lirih, “I am really sorry.”
“Fuck you! Go to hell with your promise!” aku menatap tajam tepat pada kedua matanya.
“I owe you. I am sorry.”
Kalau saja senjata MP4 bisa kulemparkan ke kepala Erick, pasti kulempar dia dengan gagang senjata ini.
Aku tidak suka orang ingkar janji. Apa pun alasannya.
Dan Erick adalah seorang pengingkar janji.
BAB 3
Keesokan harinya, vice president sudah pergi. Tidak ada kenangan untuk kubagikan kelak yang dapat menyatakan bahwa pasukan kami pernah dikunjungi serta disapa langsung oleh Wakil Presiden Harris. Vice president wanita pertama Amerika sepanjang sejarah.
Dasar pengingkar janji kamu, Erick! Hampir selama dua belas jam sisa hariku dipenuhi makian dan kekesalan kepada perwira tampan berbola mata biru. Meskipun hanya dapat kulakukan di dalam hati.
Aku mengenakan seragam loreng lagi. Kali ini dilengkapi helm dan rompi anti peluru, tentu saja masih sambil bersungut-sungut. Rasanya memang lebih ringan mengawali hari dengan memaki seseorang. Apalagi hari ini tugas berat telah menantiku.
Kami harus mengamati demonstrasi di ibu kota Guinea, Conakry. Negara Guinea berbatasan dengan negara Siera Leone. Sama seperti di negeriku, suhu udara paling tinggi di Guinea mencapai 35 derajat celcius, sementara itu titik suhu paling rendah 22 derajat celcius. Bedanya, cukup banyak masyarakat buta huruf di Guinea. Negara ini memiliki tingkat melek huruf paling rendah di Afrika.
Padahal sumber daya alam mereka berlimpah. Tembaga, nikel, bauksit, emas. Guinea berlimpah semua itu. Dalam perjalanan menuju ibu kota, aku dapat melihat orang-orang desa berangkat menuju lokasi penambangan atau perkebunan. Di Guinea, kopi, karet, cokelat tumbuh subur menjadi sejumlah komoditas unggulan. Seharusnya mereka bisa hidup makmur sebagai sebuah bangsa.
Hanya saja kudengar dari pembicaraan sesama rekan pasukan perdamaian, korupsi menggerogoti kehidupan bernegara secara fatal. Kekayaan alam hanya dinikmati oleh segelintir orang hingga selalu mengakibatkan gelombang ketidakpuasan.
Demonstrasi besar hari ini adalah salah satu cara mengekspresikan ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahnya. Ketidakadilan yang terjadi di beberapa wilayah membuat rakyat berteriak, “Abattre le Président!” (Turunkan Presiden!). Demonstran yang berjalan terus berteriak sampai kendaraan kami tiba tepat di depan stadion General Lansana Conte dé Nongo. Sebuah stadion megah. Seperti GBK di Jakarta, namun memiliki kapasitas lebih kecil.
Masyarakat menjadikan stadion termegah di Guinea ini sebagai tempat menyuarakan pendapat. Tatapan lautan manusia di luar stadion begitu berapi-api, aspirasi mereka hanya satu, secara tegas menyuarakan keinginan pergantian kepala negara. Selama delapan bulan tinggal di Kindia, aku sedikit mempelajari bahasa Prancis hingga dapat memahami perkataan para pendemo.
Begitu turun dari kendaraan, aku dan rombongan pasukan perdamaian lain langsung berjaga di depan stadion. Udara panas musim kemarau bercampur hawa tubuh lautan manusia terasa semakin menusuk kulit. Perjalanan dari Kindia ke Conakry memakan waktu dua jam setengah ditambah medan yang cukup sulit dilewati membuatku cukup kelelahan. Akibatnya, aku mengalami mabuk darat. Fisikku tidak terlalu sanggup mendengar teriakan lantang dari pengeras suara para pendemo. Aroma keringat para pendemo yang berbau amis membuat hidungku mengantarkan rasa mual ke pencernaan.
Biasanya aku kuat menghadapi bau seamis apa pun. Akan tetapi hari ini perutku terasa sensitif bagaikan air pasang di lautan. Naik turun membuat bingung untuk mencari titik keseimbangan terbaik. Pada titik ini aku merasa lemah sebagai seorang manusia. Tidak kuat lagi menahan gejolak aroma amis yang membuat pusing kepalaku, pada akhirnya aku berlari menuju sebuah tempat parkir tersepi di samping stadion. Duduk bersandar untuk sekadar menghirup udara segar sebelum kembali bertugas.
“Letnan Dewi kamu sakit?” sebuah suara yang kukenal menyapa. Dia berdiri gagah di dekatku. Letkol Navy Seal. Bola mata biru dan lesung pipitnya selalu bisa menggetarkan hatiku setiap saat.
“Kau?” seruku tertahan sambil mengumpulkan tenaga yang tersisa untuk berdiri kembali dan menjauh darinya.
Akan tetapi, belum sempat aku berjalan, Letnan Kolonel Erick sudah berdiri di sampingku. Dia mengenakan kaos polo biru tua berkerah serta celana jeans hitam. Barangkali dia sedang menyamar.
“Kamu sakit?”
“Aku tidak sakit!”
Kedua lengan perwira kekar memegang bahuku dengan kuat. Postur jangkungnya dengan sepasang tangan penuh otot membuatku merasa tidak berdaya. “Ada apa? Wajahmu sangat pucat! Kamu punya obat? Kalau tidak, ikut aku! Di dekat sini ada kedutaan Amerika, mereka punya dokter terbaik.”
“Letkol aku baik-baik saja. Go to hell with your aid!” teriakku sampai air ludah mengenai wajahnya. Aku tidak sudi mendapat bantuan dari seorang pembohong.
Dia bergeming, tatapannya tetap penuh kekhawatiran.
“Kamu marah kepadaku?”
Erick masih memegang kedua bahuku dengan erat. Aku menggeleng sebagai sebuah jawaban.
“Dewi.”
Menggunakan kedua tangan, kutepis tangan pria berlesung pipit dari bahuku. Aku sama sekali tidak tertarik menjawab pertanyaannya.
“Aku berhutang padamu ...” Erick berkata lembut setelah melihatku tidak merespon.
“Kamu tahu, persetan denganmu! Kamu telah membuatku kehilangan muka di depan seluruh anggota pasukan negaraku. Janji palsumu membuatku terlihat seperti wanita murahan yang mudah tertipu. Kamu memang keparat!”
Perkataanku membuat bulu kuduk di tengkuk berdiri sendiri. Jika ini kulakukan di negaraku, aku pasti sudah dihukum sangat berat.
Akan tetapi perwira berbola mata biru tampak tenang menghadapi segala tingkah polahku. Sebersit senyum terbit ketika dia berkata, “Dewi, gaya bicaramu itu membuatmu makin mirip wanita Amerika.”
“Bullshit!” kataku lantang. “Pergilah! Aku sangat kecewa padamu!” kutepis upaya pendekatannya.
“Aku berhutang padamu. Itu janjiku. Kamu tidak percaya padaku?”
“Aku tidak percaya! ”
“Tapi kamu sedang sakit.”
“Aku sehat,” ujarku. “Tidak pernah aku merasa sesehat ini! Yang terpenting, aku tidak percaya padamu, sedikit pun! Kamu pembohong! Pengingkar janji!”
Letkol tampan tiba-tiba tersenyum.
“Kenapa kamu senyum?” tanyaku.
Dia tersenyum lagi. Sekarang lebih lebar. Ia malah mengambil sebungkus permen dari dalam saku kausnya, dan memakan permen itu dengan santai. Ia memakannya sendiri, tanpa berbasa-basi untuk menawariku.
“Sorry, tapi kamu sangat manis, mulutmu lebih cepat daripada kereta shinkansen. Bahkan ketika kamu sakit, mulutmu terus saja melontarkan kata-kata begitu cepat.” Bibir pria berlesung pipit bergoyang menikmati sensasi manis permen. Padahal saat ini akulah yang lebih membutuhkan permen itu.
“Kamu meledekku? Mulut ini milikku. Apa urusanmu mempermasalahkannya.” Untuk pertama kalinya seorang pria demikian tampan menyebutku manis. Jantungku bergedup sangat kencang, tapi aku terus menutupi kegugupanku dengan berbicara tanpa henti.
“Mulutmu sensual.” Erik melontarkan satu kata yang membuatku terhenyak. “ Gaya bicaramu eksentrik. Aku suka gayamu.”
“Eksentrik pantatmu!” tudingku dengan setengah hati. Hatiku berada di persimpangan. Goyah di antara dua perasaan, berbunga oleh pujian dan tatapannya atau keinginan untuk terus membencinya. “Ini gaya bicaraku. Aku bangga dengan gayaku sendiri.”
“Tentu. Aku tidak mencela gaya bicaramu, tapi kalau kamu tidak mau kuajak berobat, itu akan menyakti dirimu sendiri, Dewi.”
“Kamu tahu. Aku tidak pernah melihat laki-laki yang lebih menyebalkan daripada dirimu!” Aku menuding jari ke arah Letkol tampan. Yang mengejutkan Dia sengaja menekuk tubuh agar dekat dengan jariku. Sial, lagi-lagi pria ini terlalu mempesona untuk kubenci!
“Aku benci kamu! Benci ... Benci!”
Sebelum aku bisa mengucapkan kata benci ketiga, Erick menekan tubuhku pada tembok stadion. Secara sengaja dia semakin merapatkan tubuhnya padaku, telingaku bahkan dapat mendengar debaran jantungnya yang semakin cepat. Aroma woody bercampur bunga irish dari tubuh Erick serta dada bidangnya yang terasa hangat, seketika meredakan pusing di kepalaku. Semua kenyamanan itu membangkitkan alarm dalam otakku. Ini tidak boleh terjadi, tidak boleh terjadi! Otakku terus berkata seperti itu, tapi hatiku menyukai apa yang perwira kekar lakukan padaku, bahkan menginginkannya.
Sebagai pertahanan terakhir, kedua tanganku berupaya memukulnya. Sayangnya gerakan Erick lebih cepat. Dengan taktis dia menangkap kedua tanganku dan menguncinya tepat di samping badanku. Letkol tampan hanya memerlukan sebelah tangan serta dadanya untuk membuat kedua tangan serta tubuhku tidak bergerak. Mungkin akulah yang membiarkannya mengunciku.
Erick menundukkan wajah dan perlahan mulai mencium bibirku. Otakku tiba-tiba membeku, mungkin aku mengalami hipotermia. Namun, bibir kami yang saling terpaut, serta perpaduan napas kami yang membentuk simfoni menggelora, seolah berteriak menegaskan bahwa aku ... Normal.
Bibir pria berlesung pipit terasa sangat manis, hangat dan beraroma mint. Lembut namun kuat. Sangat dominan, menuntut, memburu, seakan ingin menuangkan seluruh isi hatinya kepadaku dalam sebuah ciuman. Dia menggigit lembut bibir bawahku, saat itulah sang laki-laki pemenang menatap mataku dengan lembut.
Bibir cerewetku seketika terbungkam.
Tidak seorangpun sanggup menahan laju bibirku, tapi Erick mengunci bibirku dengan ciuman membara. Sebuah ciuman panas di udara panas kota Conakry. Perwira kekar kemudian menyelipkan lidahnya ke dalam mulutku. Sebuah benda bulat yang terasa seperti permen mendarat ke dalam mulutku, bersamaan dengan cairan saliva beraroma mint yang terasa manis dan hangat. Lidahnya menari, menyeruak, dan memainkan permen di setiap sudut rongga mulutku, menuntut sebuah pengakuan padaku. Ciumannya membuatku merasa seperti diserbu, didominasi, sekaligus dicintai.
Aku tidak suka didominasi oleh lelaki, tapi Erick berbeda. Meskipun dominan, dia tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Ia mengetahui pasti ke mana lidah itu harus menjelajah sambil mengantarkan simpul kenikmatan di dalam kepalaku. Hembusan napasnya membelai wajahku dengan cara paling sensual. Ciumannya, dan permen yang terselip menjadi obat penyembuh dari segala rasa mualku tadi.
Penuh rasa sayang dia memeluk tubuhku, mendekatkan jarak di antara kami, hingga dadaku menempel erat pada tubuh kekarnya. Seakan seluruh tubuh telah mengkhianati akalku, kedua tanganku telah melingkar erat pada leher Erick, menuntut kedekatan yang lebih dalam. Deru suara pendemo tetap keras terdengar di telinga. Akan tetapi telingaku seolah membuat selubuh tebal dan enggan mengantarkan impuls suara kepada otak. Aku terjatuh semakin dalam pada kenikmatan ciuman dari seorang pria tampan berdaya pikat mematikan. Aku tidak ingin mengakhiri ciuman ini, tapi dialah yang pada akhirnya melepas ciuman panas kami.
“Letnan,” kata Erik sambil mengatur nafas. “Kalau kamu hendak melaporkanku atas dugaan pelecehan seksual, maka aku akan siap menerima konsekuensi itu. Tapi sekarang aku harus mengajakmu ke dokter! Kamu terlihat sangat pucat!”
Aku terdiam. Mulutku tidak bisa bicara. Bibir cerewet ini benar-benar terbungkam oleh sebuah ciuman. Mungkin itu yang membuatku terlihat pucat pasi. Rasa terpukul akibat ciuman dari orang yang berbohong padaku atau rasa kecewa karena ciuman itu berakhir secara tiba-tiba. Dalam kebingungan, aku berjalan gontai menjauh darinya.
“Ayo kita ke dokter!”
Tanganku mengibas sebagai isyarat penolakan. “Kamu berhutang padaku, Letkol!” kataku sambil menjauh.
“Kalau kamu bersedia, aku akan menjemputmu sore ini di markas, setelah kamu lepas jaga. Untuk membayar hutangku, Letnan!”
Langkahku semakin menjauh darinya.
“Come on!” Dia terdengar frustasi.
Mendengar suaranya yang mengiba, aku menghentikan langkah dan menoleh padanya sambil berujar, “Jam enam sore.”
“Apa?”
“Aku lepas jaga jam enam sore.”
Erik tersenyum lebar dan berkata dengan lembut, “Aku akan tiba sebelum jam enam sore dan menunggumu di gerbang markas, Cantik!”
Pujiannya betul-betul terdengar seperti gombalan para lelaki buaya.
Masalahnya, hatiku selalu senang setiap kali dia memujiku.
“Dewi!” sekali lagi dia memanggilku,
“Apa lagi?” tanyaku dengan tidak sabar.
“Semoga perment mintnya bisa menjadi obat untukmu!” Letkol Erick menyunggingkan senyum menggoda padaku.
Dengan cepat kubalikkan badan dan berlari.
Sial! mulai hari ini, setiap melihat permen mint, aku akan selalu teringat padamu dan mengingat ciuman pertama kita!
BAB 4
Markas Pasukan PBB sore ini lebih cerah dari biasa. Dari kejauhan, lengkingan kijang hutan jantan yang memanggil anggota kerumunannya cukup menarik hati, bahkan suara kepakan sayap burung shoebill terdengar indah seperti lantunan melodi. Namun sayang, keindahan alam Kindia kali ini tidak dapat mencegah kegundahan hatiku. Sejak ciuman itu, seluruh otakku dipenuhi oleh nama Erick, sang Letkol Navy Seal. Sejak pertama kali ia muncul dalam hidupku, sosoknya selalu menggelisahkan sekaligus membuatku penasaran. Siapa dia sebenarnya?
Padahal dia perwira pasukan elite Angkatan Laut Amerika. Pangkatnya jelas jauh lebih tinggi. Usianya jauh lebih tua. Barangkali lebih dari sepuluh tahun di atasku. Kenapa kok dia menerima saja makianku? Pertanyaan ini terus singgah di dalam pikiranku. Kami tentara Indonesia hanya tahu dari film-film Hollywood tentang keberadaan pasukan elite bernama US Navy Seal. Anggota mereka hanya terdiri dari para laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan dapat bergabung dalam pasukan mereka. Konon pasukan elite ini dilatih teramat keras, sampai-sampai tingkat kelulusan calon siswa untuk menjadi anggotanya sangat rendah.
Tempat latihan mereka berada di Coronado, California. Sebuah kawah candradimuka bagi para pria yang ingin menjadi seorang ksatria. Kawah ini menggodok mereka, melatih keras, dan mematangkan para pasukan khusus. Mereka disimbolkan sebagai singa laut dan pengebom bawah laut (Seal / UDT).
Semua pikiranku dipenuhi oleh segala hal berbau pasukan elite angkatan laut Amerika. Demikian pula segala hal tentang perwira tampan berbadan kekar bernama Erick mendadak singgah di kepalaku. Mungkin aku merasa cemas memikirkan kemungkinan berkencan, jika ini bisa disebut kencan, dengan seorang perwira dari kesatuan itu. Bukan laki-laki bule sembarangan. Sebenarnya sejak awal pertemuan kami, kesanku padanya adalah dia teramat tampan. Terkadang Erick tampak begitu bersinar, berwibawa, dewasa, terlebih ia sangat .. Jantan. Aku tidak boleh memalukan ketika bertemu dengannya.
Jadi setelah tiba di barak aku segera mandi, membersihkan diri secara total sebelum mengenakan jeans ketat dan kaos kuning pas badan. Butuh waktu bagiku untuk memilih pakaian apa yang layak untuk kupakai. Kami tentara militer wanita tidak terbiasa dandan berlebihan. Tuntutan tugas malah meminta kami berpenampilan sporty layaknya kaum laki-laki. Namun untuk urusan ini, kami tetap seorang wanita. Kodrat kami menjadi feminin. Kami diharuskan tampil rapih dan enak dipandang saat bertemu lawan jenis dalam keadaan apa pun. Tidak terkecuali pertemuan malam ini, tentu saja aku ingin menjadi cantik di mata seorang perwira bule tampan.
Aku sadar jeans ketat yang kukenakan, pasti memamerkan salah satu aset tubuhku yang paling berharga, yaitu pinggul lebar dan bokong bulat sempurna akibat disiplin melakukan jogging dan berenang. Bisa saja perwira tampan menganggapku sebagai wanita murahan akibat jeans ini. Namun demikian, sekali-kali aku ingin menunjukkan lekuk tubuh kepada seorang laki-laki yang menerbitkan ketertarikan di hatiku. Begitu pula dengan kaus kuning ketat yang membalut bagian atas tubuhku. Kaus ini memamerkan lengan serta leher jenjangku secara jelas. Aku ingin dia dapat melihat bagaimana keeksotisan kulit cokelatku bersanding dengan tubuh kencang yang kumiliki.
Tubuhmu memang indah, Dewi. Kamu harus lebih menghargai dirimu sendiri. Kamu itu cantik, sexy dan memiliki tubuh idaman setiap wanita. Lebih percaya dirilah di hadapan Erick! Lagi-lagi, nama itu muncul di benakku. Aku sudah menjadi tergila-gila rupanya.
Segera kutepis semua pikiran dan memandang sekeliling. Sebagai perwira pertama, aku mendapat jatah kamar berdua bersama sahabatku, Susi. Sedari tadi aku belum melihat batang hidungnya. Kalau tadi pasukan kami bertugas ke Conakry. Susi mendapat penugasan di tempat lain. Kami jarang bisa bertemu kalau sudah ditugaskan oleh Pimpinan.
Karena kami cuma tinggal berdua sudah menjadi tuntutan bagi kami untuk mengabarkan apabila ingin pergi di malam hari. Aku mengambil sebuah ballpoint lalu menulis pesan pada secarik kertas yang kuletakkan di atas meja kerja Susi.
Aku pergi jalan-jalan sebentar ke Ibu Kota.
Setelah itu kugantungkan kertas di papan kecil samping jendela, kemudian beranjak keluar dari kamar. Akan tetapi, baru saja melangkah keluar, seseorang mengejutkanku.
“Hei!” si amoy menudingku.
“Loh?” terkejut, kutuding balik dia.
Sore ini Susi mengenakan kemeja panjang merah dan rok berwarna senada yang membalut ketat tubuhnya. Warna merah sangat cocok dipakai oleh si Lettu Amoy, karena kulit putihnya terlihat semakin mempesona. Kalau aku tidak tahu bahwa Susi adalah seorang pasukan khusus, aku akan mengira dirinya adalah seorang model. Walaupun tinggi Susi hanya mencapai 165 Cm, sedikit lebih pendek dariku, Susi memiliki tubuh langsing dan kencang.
“Mau ke mana kamu?” serempak kami berdua menanyakan pertanyaan yang sama.
“Mau pacaran kamu, ya?” lagi-lagi kami bertanya secara serempak sambil menunjuk satu sama lain. Pada akhirnya, kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kami seperti seorang remaja yang kepergok sedang melakukan kenakalan.
“Biar aku dulu yang bicara!” setelah puas tertawa, Susi berinisiatif. “Kamu mau ke mana?”
“Mau jalan.”
“Sama siapa?”
“Kamu mau jalan sama siapa?” tidak mau terpojok, kuserang balik dia.
“Ini giliranku yang bertanya, Wi!”
Menghembuskan nafas panjang kuanggap sebagai sebuah jawaban paling mengesalkan dariku untuk si amoy.
“Mau jalan ke mana kamu?” Susi mengulang pertanyaannya.
“Ke ibu kota.”
“Sama siapa?”
“Jangan mulai bersikap seperti penyelidik!”
“Sudah jawab! Sama teman sendiri saja main rahasia-rahasian!”
Cukup lama aku terdiam sambil menatap lekat teman sekamarku. Padahal dia sendiri sudah berdandan sedemikian cantik. Pasti dia juga mau berkencan. Dasar!
“Ayo jawab!”
“Erick!” aku menjawab sambil menundukkan kepala.
“Hah? Letkol tampan itu? Wow kamu memang playgirl, Wi. Hebat kamu!”
Kusikut pinggang teman angkatanku. “Playgirl?” ujarku dengan mata melotot. “Kamu yang playgirl!”
“Hebat kamu! bisa dapat perwira seal ganteng!”
“Kamu sendiri mau jalan sama siapa?” selidikku.
Susi merunduk malu-malu. Kakinya merapat. Kedua tangan putihnya yang terbalut kemeja lengan panjang saling bertautan di depan perut, menunjukkan sikap malu.
“Hei, jawab!”
“Billy.”
“Hah?” gantian aku yang terkejut. “Si Secret Service itu?”
“Iya,” si amoy masih saja tersipu sambil memandang ke lantai.
“Dia tidak terlihat sama sekali kemarin.”
“Tugas Billy hanya menyurvei lokasi sebelum VP datang, Wi.”
Mendengar perkataannya seperti mendentingkan lonceng di atas kepalaku. “Jangan-jangan kamu sudah jalan sama si Secret Service sejak dari kemarin?”
Susi mengangguk kemudian menjawab, “Sejak semalam kami jalan.”
Kupukul lengannya, “Kamu tidak cerita-cerita lagi!”
“Kenapa harus cerita-cerita sama kamu?” Jawab Susi sambil tersenyum. “Kamu saja tidak pernah cerita soal hubunganmu sama si Letkol.”
“Itu bukan urusanmu! Lagi pula aku tidak jadian sama dia!”
“Sama, aku juga!” jawab Susi.
“Ah, kalau kamu pasti sudah jadian!”
Si Amoy menggeleng-geleng persis seperti gadis SMA yang kepergok pertama kali pacaran, “ aku tidak jadian, Dewi!”
“Jangan bohong! Kuadukan nanti pada ibumu!”
Kami berdua sudah seperti saudari sekandung. Kehidupan di akademi telah mengakrabkan hati kami begitu erat. Keluargaku dan keluarga Susi sudah saling mengenal satu sama lain. Jika terjadi sesuatu pada Susi selama di Guiena ini, Ibunya pasti menghubungiku, demikian pula sebaliknya.
“TIdak seru kamu, Wi!” Susi merapihkan rambut pendeknya. Pesona temanku sangat alami, cukup sedikit berdandan kecantikannya langsung terpancar.
“Kamu harus ceritakan hubunganmu dan Billy, segera!”
Mendengar kalimat itu, si amoy melotot, “Sama! Kamu juga harus menceritakan kencanmu sama Letkol tampan itu! SEGERA!”
“Kalau sudah begini kamu terdengar lebih galak dariku!” pujiku kepada Susi.
“Kamu kan hanya galak pada bule saja, Wi!”
“Enak saja!”
Kuraih bahu temanku sembari melingkarkan lengan di lehernya.
“Ah, sakit tahu!” Susi memberontak.
Aku tidak pernah tega kepadanya. Sejak di akademi, Susi sudah kuanggap sebagai adik sendiri. Dia selalu kujaga dari segala kekerasan kehidupan militer.
“Aku pergi dulu!” ujarku setelah melepas pelintiran di bahunya.
“Kamu mau ke mana?”
“Kan tadi sudah kubilang mau ke ibu kota, aku juga sudah menulis pesan di kamar. Kalau kamu mau ke mana sama si Secret Service?”
“Sama, mau ke ibu kota juga. Jangan-jangan kita nanti bisa ketemu!”
Tanganku melambai sebagai sebuah isyarat. “Sebaiknya jangan sampai bertemu!”
“Kenapa?”
“Bisa-bisa Billy kumaki-maki lagi nanti!”
Susi tertawa terbahak sambil memohon agar aku tidak lagi memperlakukan Billy secara kasar. Permintaan aneh. Sulit bagiku untuk memenuhinya.
Kami berpisah di pintu keluar barak kontingen Indonesia. Aku menarik napas panjang, mencoba untuk berjalan dengan tenang menuju gerbang markas pasukan perdamaian PBB, tempat yang telah dijanjikan Erick untuk bertemu denganku. Tapi semakin dekat jarakku dengan gerbang markas, semakin bergemuruh pula dada ini.
Apalagi ketika sudut mataku menangkap sosok perwira berlesung pipit telah menungguku di depan sebuah mobil Hummer hitam. “Selamat malam, Letnan Dewi, apakah ada orang yang pernah mengatakan bahwa kamu memiliki wajah yang sangat cantik?” seperti seorang gentleman, Erick meraih tanganku lalu mengecupnya dengan lembut.
Aku memandang Erick, rasa sesak di dalam dada semakin membuncah. Terlebih ketika melihatnya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang telah ia lipat hingga siku, disertai celana bahan kecoklatan, bahkan rambutnya telah ditata lebih rapih dari biasanya. Pria berbola mata biru yang sedang berdiri di hadapanku tampak seperti seorang pangeran.
Aku tersipu, kecupannya membuatku merasa bagai seorang putri. Tapi bagi diriku, sebuah pujian selalu kuartikan sebagai pancingan. Pancingan untuk menjawabnya dengan tingkat kecerewetan membabi buta, “Kamu tidak perlu menggombaliku. Sudah jelas-jelas dusta, atau kamu memang pendusta. Kami semua orang Asia tahu selera para lelaki Amerika seperti dirimu. Kalian menyukai wanita blonde berdada dan bokong besar. Aku tidak memiliki keduanya.”
Letkol Navy Seal mengernyitkan dahi, “Faktanya bokongmu sangat hot dan kamu tidak perlu rambut blonde untuk mempunyai bokong seindah milikmu!”
“Hei, jaga mulutmu!”
“Maafkan aku,” dia tertawa. “Kamu terlalu banyak menonton film Hollywood.”
“Tapi bukankah kalian memang seperti itu?” tanyaku.
Pria berlesung pipit menggeleng sebagai sebuah jawaban.
“Masa?”
“Hollywood telah berjasa membuat citra yang salah tentang kami di mata kalian.”
Tatapan mataku memintanya melanjutkan.
Perwira kekar meraih kedua tanganku sambil berbicara dengan lembut, “Kebanyakan kami tidak suka dengan wanita yang kamu gambarkan tadi. Sebaliknya kami sangat suka wanita bertubuh alami. Wanita yang memiliki warna kulit seeksotis dirimu adalah impian bagi kami.”
“Jadi maksudmu menjadi impian bagi kebanyakan pria, tapi tidak bagimu. Begitu kan?”
“Kamu itu sangat cerdas, Letnan.” Katanya sembari tertawa lebar. “Seluruh kalimat yang kuungkapkan diproses cepat sekali oleh pikiranmu, lantas kamu balikkan kepadaku dalam hitungan detik.”
“Itulah kenapa mereka bilang Lettu Dewi adalah seorang wanita yang cerewet,” mataku menghindar dari tatapan perwira tampan.
“Tidak!” tukasnya. “Bagiku, kamu adalah seorang wanita impian.”
Perkataan Letkol tampan bisa membuat setiap wanita tersipu. Tidak terkecuali, diriku. Seandainya Erick jeli, pasti melihat pipiku telah merona merah karena malu. Hanya saja aku adalah tipe wanita yang tidak mudah menyerahkan perasaan pada lelaki, apalagi menunjukkan bahwa aku tengah tersipu. “Hentikan segala gombalanmu! Kamu berhutang padaku!” sambil melepaskan genggaman kedua tanganku padanya.
“Tentu saja,” pria berbola mata biru tersenyum simpul. Lesung pipit dan belahan dagunya ketika tersenyum membuatnya terlihat makin mempesona.
“Kamu berhutang sangat banyak kepadaku.”
“Sure. No worries. Akan kubayar semuanya.”
Kepalaku menggeleng, “Kamu pasti kewalahan membayar hutangmu.”
“Mmm. I will try.”
“Janji yang sebelumnya saja sudah gagal kau tepati.”
Letkol Navy Seal mengangguk.
“Apa jaminan kalau kamu tidak akan ingkar janji lagi?”
“Kami punya sebuah pepatah di Coronado.”
Tatapanku serius menyimak baik-baik perkataannya.
“Untuk menjadi seorang pasukan singa laut, kami harus melalui setiap tantangan satu demi satu.”
Wajah bingungku memintanya melanjutkan. “Artinya kita tidak boleh berpikir terlalu jauh. Walaupun tantangan kehidupan sangatlah banyak. Kita hanya harus menjalaninya satu demi satu. Malam ini adalah malam pertama aku berusaha melunasi hutang kepadamu!”
Aku terpana. Biasanya bibir ini akan cepat sekali merespon. Sering kali tanpa berpikir. Kini bibirku terdiam seribu bahasa menyimak ucapannya.
“Bagaimana kalau kita jalan saja sekarang, Cantik?” katanya sambil meraih kembali tangan kananku dan melingkarkannya di lengan. Gerakan sang Letkol tampan sangat lembut dan penuh penghormatan. “Kita nikmati malam ini bersama. Aku akan berupaya menepati janjiku kepadamu. Bagaimana?”
“Terdengar seperti sebuah rencana meyakinkan, tapi kalau kamu ingkar janji lagi. Surely I will kick your ass.”
“Sepertinya dalam kehidupan sebelum ini, kamu memang terlahir sebagai wanita Amerika.”
Sambil cemberut, aku menjawab, “Kiss my ass!”
“Oh tentu, aku akan menciumi setiap senti bokongmu, Sexy!”
Mataku membelalak, rupanya ucapanku sudah menjadi bumerang. Aku benar-benar tidak bisa membalas kata-kata pria jantan di sampingku.
Terakhir diubah: