Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Yona dan hal majestik bernama Cinta (2nd Majestic)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
gue bantu dah biar tambah page, nungguin dari semalem sampe jan dara habis 4 4 nya itu film nih


ayo dong, why gitu lho :v
 
Part 7
Tears Fall
DUKhOYBV4AACpWb

Dunia membuka mata, di ufuk timur mentari tersenyum hangat. Lengan lengannya yang panjang itu menembus celah celah kecil gorden kamarku, menyeka wajahku dengan lembut membuatku terjaga.
Sebelah mataku terbuka melihat jam dinding menunjukan pukul 06:30 pagi.
Ku rentangkan kedua tanganku ke atas, sedikit menggeliat dan membuka lebar lebar mulutku membiarkan uap itu keluar sampai aku puas.

Aku bangkit dari tempat tidurku, membuka lebar tirai gorden dan jendela kamar, mempersilahkan udara segar menyeruak masuk dan segera ku hirup dalam dalam.

"Semoga satu hari ini bisa dipenuhi oleh senyum"
Ucapku penuh harap.

Aku menyegerakan diriku untuk mengambil mandi, berhias diri kemudian menjemput si gadis bulan.
Kemarin, aku sudah membulatkan tekadku untuk menyelesaikan apa yang kutinggalkan pada malam Yona menyatakan secara jujur tentang perasaannya. Hari ini aku akan mencoba jujur dengan perasaanku seperti yang Yona lakukan.
Semoga semuanya berjalan dengan lancar.

"Bi... Hari ini bibi libur ajah dulu,
Ngapain kek, nonton kek atau apa terserah bibi" kataku sambil menyerahkan beberapa lembar seratus ribuan kepada si bibi asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku.

"Loh tumben nih nak Rehan, ada apa?"
tanyanya heran.

"Ada deh, pokonya bibi balik lagi besok aja, sekarang libur dulu..." Kataku kemudian.

Meski sedikit bingung, si bibi yang baru saja sampai terpaksa menurut dan berlalu pergi meninggalkan rumahku.
Sekarang giliranku meninggalkan rumah, menggunakan motor matic kesayanganku menuju ke kediaman Yona.

oOo​

Jalanan sempat macet tadi, untungnya tak begitu lama.
Aku lupa hari ini weekday, jadi pengguna jalan selain orang kantoran, anak sekolah, juga angkot angkot yang suka ngetem seenak udel mereka berjubel menjadi penyebab macet harian.
Hampir merusak mood, tapi tak jadi begitu ku lihat Yona sudah berdiri di depan rumahnya.
Yona tampil cantik hari itu, ya setiap hari memang Yona cantik sih.
Tapi jujur kali ini memang Yona tampak lebih anggun dari biasanya, dress putih susu dengan bagian bahu yang berlubang tergerai hingga ke pangkal lengannya disambung ke atas berbentuk seperti seutas tali yang menyangkut di pundaknya. Dipadu padankan dengan rok sedikit di atas lutut dengan warna senada.
Rambutnya yang mulai panjang dibiarkan tergerai dengan bebas, sementara sisi rambutnya dikaitkan di telinganya memamerkan anting mutiara yang menempel disitu.

"Duh...yon, kalo tau lu bakal secantik ini gue bawa mobil ajah tadi..."
ucapku sedikit menyesal.

Yona tak menjawab, kedua tangannya dilipat di depan dadanya. Jari telunjuk tangan kanannya mengetuk ngetuk lengan di bawahnya seraya memandangku dengan wajah kesal.

"Masih marah?" ujarku pelan, sambil menyerahkan sebuah helm pada Yona.

Yona merebut helm dari tanganku dengan kasar membuatku sedikit terkejut, kupikir dia mau membanting helm itu dengan kepalaku sebagai alasnya, ternyata tidak, sedikit rusuh dia memasang helm itu di kepalanya lalu menaiki motorku dengan posisi duduk menyamping.

"Ah...oke...
Pegangan ya"
Aku menunggu Yona mendaratkan tangannya di pinggangku, tapi apa yang aku tunggu tak kunjung datang.

"Yon...?
Kalo ngga pegangan gue ngga jalan nih"
Aku mengintip dari kaca spion, Yona mendengus, wajahnya berpaling.

"Yon...
ey..."

"Yonaa...heyyy"

"YonaAAAAAWWWWH"
Aku terpekik kaget ketika tangan Yona mencengkram kuat pundakku dengan tiba tiba.

"Berisik! Katanya pegangan! Nih udah!"
kata Yona sambil tetap mencengkram pundakku dengan kuat, tenaga yang cukup untuk mengupas kulit kelapa dengan tangan kosong.

"Iya sih...tapi ngga kaya gitu juga...
Emang pundak gue mau dibikin abon apa?"
kataku sambil meringis.

"Bawel ah, buru jalan!" runtuk Yona.

Akhirnya aku pun menarik tuas gas motorku membonceng Yona dengan posisi yang awkward.
Cara berpegangan Yona tentu mengundang perhatian banyak orang, sepanjang perjalanan tak sedikit orang yang memperhatikan sambil nyengir nyengir mesem.
Di lampu merah misalnya, ada seorang bapak bapak bermotor yang tiba tiba menegurku.

"Aku ini bingung loh mas, yang sampeyan bonceng ini kalo pacar mestinya pegangan meluk pinggang,
Kalo tukang ojek juga ngga mungkin, si mas nya keren begini kok" ujarnya heran.

"Ohh gini pak, dia ini tuan putri yang pengennya naik kuda... Tapi ngga kesampean, yang dateng pangerannya do...adawhh"
Aku tak sempat menyelesaikan candaanku keburu helmku disundul sama helmnya Yona dari belakang.

Aku melotot, tapi batal, Yona melotot lebih ngeri lagi soalnya.

"Ngerti aku sekarang mas, hahaha
Dasar anak muda" timpal si bapak bapak itu sambil tertawa lebar dan berlalu pergi mengingat lampu sudah berubah hijau.

Mungkin kata kata bapak itu sedikit membuat Yona malu,di sisa perjalanan kami Yona tak lagi mencengkeram pundakku melainkan turun ke bawah.
Kedua tangannya berpegangan di pinggangku dengan tangan terkepal, iya terkepal.
Ya sudahlah, sebentar lagi juga kami tiba di tujuan, batinku setelah melihat tugu kujang yang ikonik.

"Selamat datang,
Satu motor dan dua orang, tiketnya jadi Rp.35.000,00 mas"
ujar petugas tiket ramah.

Aku membayar dengan selembar uang lima puluh ribuan setelah menerima tiket masuknya.

"Kenapa disini?"
sahut Yona yang masih duduk di belakangku.

"Adem" timpalku singkat sambil menerima kembalian dan membalas senyuman si penjaga tiket.

"Ya namanya Kebun Raya Bogor ya pasti adem lah, apaan sih" runtuk Yona.

Tak jauh dari loket aku memakirkan motorku, seorang petugas mengarahkanku untuk menempati tempat yang tersedia di sana. Baru ada dua motor selain motorku yang terparkir, wajar sih ini kan masih lumayan pagi.

Yona turun lebih dulu, menyerahkan helmnya kemudian berkaca melalui spion motorku merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena tertiup angin di jalan tadi.

"Nih, siapa tau suasana di sini masih kurang adem"
Aku menyerahkan setangkai bunga yang dari rumah tadi kusembunyikan di balik bajuku.

"Apaan nih?"
Yona berbalik dari konsentrasinya ke kaca spion menjadi ke bunga yang sedang ku pegang.

"Bunga..."

"Iya tau bunga, maksudnya buat apaan?"

"Hmm... Ini White tulipe, kalo bahasa bunganya ini sebagai bentuk permohonan maaf"
jelasku.

"Maaf buat apaan?" tukas Yona dingin.

Tak sabar melihat reaksinya, aku menarik sebelah tangannya kemudian memindahkan bunga itu ke genggamannya.

"Pegang dulu, kita sambil jalan..."

Meski sedikit terpaksa Yona akhirnya menggenggam bunga itu di tangan kanannya.
Langkah kecilnya nampak ragu mengikuti ku berjalan disampingnya, menapaki jalanan aspal yang sedikit menurun.

Udara pagi yang segar ditambah rimbunnya tanaman tanaman hutan di dalam kebun raya sedikit banyak menghipnotis suasana hati Yona yang awalnya mendung. Belum berapa lama kami berjalan sebuah senyuman mulai tersungging di sudut bibir tipisnya.
Kami terus berjalan, melewati kumpulan berbagai jenis pohon palem yang tersebar di sebelah kanan jalan.
Yona masih mengikuti langkahku berbelok di sudut jalan, melewati jembatan putih besar yang di bawahnya mengalir sungai yang tak begitu deras.
Bunga white tulipe itu masih digenggamnya, apa itu artinya dia menerima permohonan maafku?
Maksudku, bisa saja dia membuang bunga itu kan?

"Duduk di situ yuk"
Aku menunjuk pada sebuah bangku dari batu buatan yang sengaja di letakkan di pinggir sebuah kolam kecil tempat kami bersinggah sekarang.

Bangku itu nampak teduh di payungi dedaunan yang berasal dari pohon besar yang merunduk, cabangnya melebar, ditiap rantingnya daun daun hijau keputihan memayungi kolam itu.
Kesan sejuk bertambah lantaran riak air kecil akibat gerak renang ikan ikan kecil yang hilir mudik di dalam kolam yang airnya sangat bening itu. Beberapa tanaman teratai tumbuh dan tampak kuncup bunganya bersiap untuk mekar.

Yona mengangguk lalu mengikutiku duduk di bangku tersebut.

"Gue ngga begitu pinter ngomong sih...
Jadi gue langsung ke intinya aja ya?"
ucapku memulai obrolan.

Yona menghadapkan tubuhnya ke arahku, mata bulatnya nampak siap menyimak apa yang akan kuucapkan selanjutnya.

"Seperti yang gue bilang tadi...
Bunga yang sekarang lu pegang itu sebagai wujud permohonan maaf gue"

Yona memperhatikan bunga itu dengan seksama, kelopaknya putih melambangkan ketulusan si pemberi, menguncup dan tiap kelopaknya saling rangkul, meski rapuh tapi tampak kokoh.

"Maaf karena malam itu gue pergi gitu aja...
Gue egois dan sama sekali ngga mikirin perasaan lu saat itu...
Gue salah, gue mengaku salah
Maka rasanya wajar gue menerima sikap dingin lu tadi..."

Aku berhenti sejenak, melihat apa Yona masih mendengarkanku atau tidak.
Ternyata masih, pandangannya tetap tertuju padaku.

"Gue punya alasan buat itu, alasan egois memang, kalo lu ngga keberatan mendengarnya" lanjutku kemudian.

"Terusin, aku dengerin kok"
timpal Yona singkat.

"Makasih..."
Ku hela nafasku berat
"Gue punya pengalaman yang cukup buruk tentang cinta...
Cukup buruk untuk membuat gue enggan mengenal lagi apa itu cinta...
Jujur gue kaget, seorang idola tempat gue melarikan diri dari hal itu malah menyimpan perasaan itu buat gue"

Ikan ikan kecil di kolam itu terus berlarian, mereka terus bersenda gurau. Tak perduli di atas air, di dekat mereka, dua insan tengah dalam suasana yang begitu kontras.

"Semua orang punya masa lalu..." sergah Yona.

Aku terenyuh mendengar responnya.
"Benar, semua orang punya masa lalu..
Gue terlambat menyadarinya. Dan malah menimpakan masalah gue ke lu yang sama sekali ngga bersalah...
Ngga seharusnya gue lari...
Ngga seharusnya gue bersikap begitu sama lu Yon..."

Yona dengan cepat menggeleng, tanpa sadar tangannya menepuk punggung tanganku lalu mengelusnya lembut memberiku sedikit kekuatan. Padahal aku yakin dia lebih rapuh.

"Ngga apa apa,
Kan sekarang kak Rehan disini"

Air mataku hampir mengalir keluar saat melihat Yona memeluk bunga yang digenggamnya itu di depan dadanya, di bawah hidung bangirnya seraya mengendus aroma harumnya.
Sejurus kemudian bibirnya merekah melemparkan senyum sehangat pelukan induk burung saat anak anaknya keluar dari cangkang telur.

"Apa itu artinya lu maafin gue?"

Yona menggembungkan sebelah pipinya, lesung kecil tergores di sudut dekat bibirnya.
Matanya mendelik melihat wajah tegangku yang cemas dan penuh harap.
Tawa kecil terlepas dari mulutnya.

"Iya...
Aku maafin"

Suara ledakkan kembang api bergemuruh di dalam batinku demi mendengar jawaban Yona. Letupan demi letupan terus meledak diikuti riuh peri peri kecil membunyikan terompet saling bersahutan menggambarkan rasa senang yang tak terkira.

"Tapi kamu ngga ngajak aku ke sini cuman buat minta maaf kan?"

Pesta kembang api itu berakhir, riuhnya redam mengembalikan kesadaranku seperti semula.
Tentu saja, mendapatkan maaf itu bukan satu satunya tujuanku, mendapatkan maaf adalah gerbang menuju pintu langkah selanjutnya.

"Ya ngga dong, bentar...
Gue masih gesrek nih"
kataku sambil berusaha menyembunyikan cengiran canggung dari wajahku yang membuatku tampak konyol.

"Apaan sih ah, norak..."
Yona mencubit punggung lenganku, tak terasa sakit, tapi cukup untuk membuatku tak lagi merasa canggung.

"Terus, mau ngomong apa lagi?"
tanyanya tak sabar.

"Iya, waktu malam itu kan gue masih ragu dan ngga bisa jawab...
Sekarang, izinkan gue menyelesaikan apa yang gue tinggalkan waktu itu"

Yona mengedipkan matanya lebih banyak dari biasanya.
Mengaitkan kembali helai sisi rambutnya di telinganya.
Bola matanya berkilauan cahaya, sorot itu membuatku yakin aku bicara dengan orang yang tepat.

"Jujur...
Gue dari awal udah suka sama lu Yon,
Sebagai oshimen tentunya"

Yona mengangguk kecil.

"Gue suka cara lu menunjukan keseriusan lu dalam mengejar sebuah mimpi, disaat gue hampir menyerah, kata-kata, semangat, dan usaha keras lu itu sedikit banyak berhasil merubah diri gue...
Mungkin lu sering denger ini dari fans lu yang lain"

Yona menggeleng. Alisnya sedikit mengkerut dan matanya menyipit.
Senyuman kecil dari bibirnya itu menunjukan kesan kerendahan hatinya.

"Pertemuan pertama yang mengubah tentang kita itu memang terkesan salah, tapi mulai detik ini kita harus berhenti menyalahkan itu... Karena bagaimanapun takdir selalu punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua manusia"

Aku memandang teduh wajahnya, wanita di hadapanku ini tetap setia mendengarkan setiap kata yang meluncur dari ujung lidahku.
Ada dorongan yang membuatku menggenggam tangan Yona, menyatukan kedua tangannya lalu ku tutup dengan genggamanku.

"Takdir itu yang membawa kita sampai disini kan?
Takdir itu pula yang membawa gue melihat Yona yang sekarang...
Bukan Yona si pemimpi yang pantang menyerah tapi,
Viviyona si gadis bulan"

Aku mengambil nafas sejenak, fikir ku pun menerawang jauh ke malam saat Yona menyatakan perasaannya.

"Malam itu gue kalah sama lu Yon, lu punya sesuatu yang saat itu gue ngga punya"

"Apa itu?" tanya Yona.

"Keberanian.
Keberanian untuk bisa mengungkapkan isi hati dengan jujur" jawabku lugas.

Yona mengusap tanganku dengan ibu jarinya, memberi sedikit lagi keberanian yang dia punya.
Detak jantung ku berpacu begitu cepat, jika bukan karena suara desir dedaunan dan gesekan ranting yang tertiup angin, mungkin suaranya akan nyaring terdengar.

"Hari ini gue akan menjawab pertanyaan lu waktu itu..."

Aku mengambil satu tangannya lalu menaruhnya tepat di dada kiriku, persis seperti yang Yona lakukan waktu itu.

"Gue punya perasaan yang sama dengan lu Yon"

Yona ternganga mendengarnya,
Bola matanya berkaca-kaca, buru buru dia menggeleng, mengalihkan pandangannya dari wajahku.

"Hei...lihat sini"

Aku menyentuh lembut pipi Yona dengan telapak tanganku, jari jemariku secara otomatis mengait sisi rambut dekat telinganya, kini wajahnya kembali satu garis lurus dengan wajahku.
Dari sudut ujung matanya bulir kecil airmata menetes keluar.

"Lama kamu mah..." katanya lirih

"Maaf...maafin gue Yon.."

Yona menggeleng, dengan cepat dia menarik tubuhku, merangkul diriku dengan kedua tangannya.
Aku menyambut tubuhnya, membiarkan tubuh mungil itu terbenam dalam pelukanku.

Sesaat waktu terasa berhenti.
Setidaknya bagi kami, yang saling meresonansi detak jantung satu sama lain, menciptakan nada yang bahkan musisi tersohor pun tak bisa membuatnya.
Nada nada itu menyihir ku untuk terus mendekapnya, perasaan ku yang dulu terbelenggu masa lalu kini terbuka kembali, ku curahkan pada gadis rapuh di pelukanku.

"Yona...
Gue ngga mau lagi nyembunyiin perasaan ini, lu yang berhasil buka pintu hati yang udah lama gue tutup...
Jadi... Lu mau kan jadi penghuni tetap hati gue yang kosong ini?"

Di punggungku, aku merasakan jari jari Yona sedikit mencengkram bajuku.

"Tapi aku punya beberapa sifat jelek yang belum kamu tahu..." bisiknya pelan

"Ngga apa apa" balasku.

"Aku juga ceroboh dan pelupa.." suara Yona mulai terdengar bergetar

"Ngga apa apa" balasku lagi.

"Aku bisa jadi pemarah, kadang aku layu dan sendu, mood ku bisa berubah tanpa alasan yang jelas..." getaran suara Yona semakin jelas terdengar, aku mengusap lembut belakang kepalanya memberinya penguatan.

"Iya, ngga apa apa" sekali lagi aku menjawab dengan tegas.

Bahuku tempat Yona menyandarkan wajahnya mulai terasa hangat, meski pelan aku dapat mendengar isak tangis dari bibirnya.

"Aku...aku juga kadang... Bisa jadi cengeng kaya gini..." ucap Yona disela tangis harunya.

Ingin sekali aku mengucap kata 'ngga apa apa' sekali lagi, tapi suaraku tercekat, terbawa oleh haru yang tercipta dari isak tangis Yona.
Aku menjawab dengan mengeratkan pelukanku, membiarkan Yona menumpahkan air matanya lebih banyak lagi, mengalir dari pelupuk matanya sampai sanubarinya merasa lega.

Gemericik air tak lagi terdengar.
Ikan ikan kecil di kolam itu terdiam menatap dan terkesan atas harmoni dua insan yang berada di atasnya.
Perlahan Yona mengendurkan pelukannya, membuat sedikit jarak dari tubuhku.
Aku melihat kantung matanya menggelayut dari kelopaknya yang mulai sembab. Dengan punggung tanganku aku membantu menyeka pipinya yang basah.

Yona tersenyum, senyum yang memang seharusnya selalu tergores di bibirnya.
Senyum terbaik yang pernah ada, senyum yang selalu menyiratkan kehangatan.
Kali ini bahkan, senyum itu mengandung makna yang lebih dalam lagi.

"Aku selalu nyaman berada di dekat mu kak,
Aku tak pernah takut untuk meluapkan emosiku di depan mu,
Aku bahkan bisa menjadi diriku sendiri
Yang ngga banyak orang yang tau"
ucapnya dengan sisa getaran yang masih terasa.

"Jadi ?" tanyaku penasaran dengan jawabannya

Yona mengaitkan jemarinya dengan genggaman tanganku, senyumannya yang belum pudar itu membuatku semakin gelisah.

"Aku mau..." ujarnya setengah berbisik

"Eh...?"

Yona berdehem, membasahi leher seraknya agar suara yang berikutnya keluar dapat terdengar dengan jelas.

"Aku mau ... Aku bersedia"
ujarnya, kali ini suaranya mantap.

Secara reflek, aku menarik lagi tubuh Yona kedalam pelukanku.
Menenggelamkannya lebih dalam dari sebelumnya.
Merangkulnya lebih erat, tapi tetap menjaga agar dirinya tak tersakiti.

"Makasih Yona...makasih..."
ucapku lirih.

Ada begitu banyak perasaan bahagia yang ingin kusampaikan, tapi sayang aku bukan pujangga.
Aku tak begitu pandai merangkai kata.
Apa yang aku lakukan kini justru caraku untuk mengungkapkannya.
Yona nampaknya mengerti hal itu, desir tawanya terdengar beberapa kali saat dia mengusap punggungku dengan tangan mungilnya.

"Ngga, makasih..."
begitulah Yona menjawab ucapanku.
Perasaan bahagia ini kusadari bukan milikku seorang.
Yona, yang perasaannya bersambut denganku sama bahagianya.
Apa yang kami ungkapkan memenuhi syarat untuk menjalin tali kasih di antara kami.
Tali itu mengikat dua hati, mengikat dengan kesucian, mengikat dengan kuat.

"Yona..."

"Iya kak?"

"Gerah"

"....."

oOo​
Aku dan Yona pergi dari tempat itu, meneruskan jalan-jalan kami yang tertunda.
Berjalan dengan canggung, awalnya, tapi terbiasa kemudian.
Bersenda gurau, atau terkadang sekedar berbasa basi sok tahu mengenai asal usul suatu pohon.
Berlarian seperti dua anak kecil di hamparan rumput nan hijau di Taman Astrid, naik dan turun melewati gundukan tanahnya yang sedikit membukit.
Hal sesederhana itu, hari ini adalah kebahagiaan bagi kami.
Sekitar satu jam setengah tanpa terasa sudah terlewati, matahari semakin terik dan Yona mulai terlihat lelah.

Aku mengajaknya untuk pulang dan Yona setuju.
Tak seperti saat berangkat tadi, kini Yona memeluk pinggangku dengan kehendaknya sendiri. Tangannya melingkar, tubuh mungilnya bergelayut manja dipunggungku.
Dan fakta bahwa kini Yona telah menjadi kekasihku membuat jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
Norak? Biarin, ini pengalaman pertama setelah lima tahun lamanya menjomblo kok.

"Loh, ini kemana ?" tanya Yona heran, melihat jalan yang kutempuh bukan jalan menuju rumah Yona.

"Ke rumah gue" jawab ku singkat.

Yona mencubit perutku membuatku sedikit berjengit.
Rona wajah jengahnya memantul di kaca spion.
Aku terkekeh setelahnya, kemudian memacu sepeda motorku lebih cepat.
Tak berapa lama kami akhirnya tiba di rumah ku.
Yona mengikutiku masuk, dengan langkah kakinya yang terlihat kikuk.

Aku menuntunnya menuju dapur rumahku.
Yona memandang sekeliling, nampak mencari cari sesuatu.
Dia ku persilahkan duduk di kursi yang menghadap meja dapur, di balik meja itu tempat aku berdiri, menyiapkan segelas air putih dingin yang ku ambil dari kulkas kemudian memberikannya pada Yona.

"Gue tinggal sendiri Yona..."
ujarku menghentikan rasa penasarannya.

"Oh...
Pantes sepi"
Yona menaruh bunga tulip yang sejak tadi dipegangnya ke dalam gelas air yang telah diteguk setengahnya.

"Kamu lagi ngapain?" tanyanya ketika melihatku meletakkan dua wadah yang tertutup alumunium foil ke dalam microwave.

"Nyiapin makan siang, laper kan?"
Aku menuju ke kursi di sebelahnya setelah mensetting timer pada microwave tadi.

Yona tersenyum dan mengangguk kecil.
Sambil menunggu makanan yang tadi kusiapkan matang, aku menghampiri dan duduk di kursi sebelah Yona.
Kami mengobrol, atau lebih tepatnya aku mendengarkan cerita Yona.
Cerita tentang apa yang dilakukannya selama seminggu tanpa kabar dariku sejak malam dia ku tinggalkan begitu saja.
Beberapa kali Yona kesal dan meninju bagian tubuhku, entah bahu, dada, bahkan kadang kepalaku kena jitak juga.
Aku sih berkali kali meminta maaf dan menegaskan bahwa aku menyesal serta tak akan mengulangi hal tersebut.

Tanda dari selesainya tugas microwave ku berbunyi. Aku bergegas menyiapkan dua buah piring, kemudian memindahkan isi dari wadah tadi ke atas piring itu, sedikit menatanya baru kemudian ku geser ke hadapan Yona.

"Risotto ya?" tanyanya sambil menerima sendok yang kuserahkan.
Sendok itu ia gunakan untuk mengaduk ngaduk, mencari tahu apa tebakannya benar.

Aku mengangguk, menyiapkan gelas baru untuk Yona dan untukku, lalu ku tuangkan teh sakura ke dalamnya.
Kemudian mengajaknya untuk segera menyantap makanan yang ku hidangkan.
Yona, seperti biasa makan dengan lahap.
Melihat Yona makan sudah pasti akan menambah selera makanku.
Sesekali dia berhenti untuk sekedar memuji makanan buatanku, enak katanya, dan suatu saat dia akan memintaku membuatkannya lagi.
Aku hanya bisa tersenyum, lebih tepatnya nyengir, sumringah karena berhasil membuat Yona menyukai masakan sederhana buatanku.


oOo​
Di tepi kolam renang di belakang rumahku. Yona duduk bersandar di kursi santai yang tersedia. Terdapat dua kursi yang tengahnya dipisah oleh meja kecil. Khas kursi yang banyak tersedia di kolam renang umum atau bahkan di pinggiran pantai yang bagian bawahnya memanjang hingga kaki tak perlu menjuntai kebawah. Baik kursi maupun meja itu sama sama terbuat dari rotan, yang telah dipernis dan dicat hitam. Alas dari kursi sender itu terbuat dari matras yang dilapisi kulit sintetis anti-air, dibelakangnya terdapat payung dwi warna yang terkembang menutup terpaan sinar matahari.
Aku membawa dua gelas sirup berperisa jeruk, menyerahkan salah satunya untuk Yona kemudian duduk di kursi sebelahnya, menghadap Yona yang tengah santai berselonjor kaki.

"Mau berenang?" tawarku.

Yona yang sedang menyeruput minumannya menggeleng.
"Aku lebih suka melihat air, daripada berada di dalam air"

Aku manggut manggut.
"Sama kaya lebih suka melihat bulan daripada berada di bulan ya?"

"Nah itu" katanya menyetujui

"Dulu juga gue gitu sih..."
Aku meletakkan minuman ku di meja, Yona pun demikian.
Dia menghadapkan tubuhnya ke arahku, berniat menyimak apa yang ku ucapkan.

"Disaat banyak orang mengumbar jalur pribadinya dengan idolanya, gue justru lebih nyaman dengan jarak yang tercipta.
Gue lebih suka melihat Yona, daripada berada bersama dengan Yona"
ucapku.

"Itu dulu kan ya, sekarang?"
tanya Yona, ada rasa khawatir dalam nada bicaranya.

"Sekarang..."
Aku menyapu lembut pipinya, mendekatkan diriku padanya yang tengah berbaring menyamping di kursi itu.

Yona menyambut tanganku, menuntunnya untuk tetap diam di pipinya karena merasa sentuhanku membuatnya nyaman.
Kedua matanya terpejam, mengundangku untuk mendekatkan wajahku dengannya.
Sejurus kemudian tahu tahu bibirku sudah mengecup lembut bibir tipisnya.
Yona masih tak bergeming, terhipnotis oleh suasana romantis yang tiba tiba datang.
Aku terdiam mencoba menerka apa yang baru saja ku lakukan, tepat di depan wajahnya.

"Sekarang?" ujar Yona membuka kedua matanya.
Menatapku yang tiba tiba terdiam setelah apa yang ku lakukan.

"Kamu merasakannya kan, yang barusan?"
kataku membalas tatapannya.

Yona mendelikkan matanya kesamping, lalu mendadak goresan senyum terlukis di bibirnya.

"Iya, perbedaan itu yang aku tunggu.
Kenapa berhenti?"

"Gue kaget, ini pertama kali setelah sekian lamanya gue ngga ngerasain hal seperti ini lagi"

Yona menarik wajahku, menabrakkan bibirnya dengan bibirku dengan sengaja.
" You don't need to stop..."
Kemudian bibirnya mengecupku lebih dalam.
Membuat bibir ku terbuka, pada akhirnya kami saling memagut.

Aku memang tak harus berhenti, perasaan yang kubawa lewat kecupan itu tak salah.
Aku tak perlu takut lagi membawa perasaan itu lewat ciuman ini. Karena hari ini bukan lagi malam itu. Hari ini aku dan Yona adalah sepasang kekasih. Tak ada lagi keraguan yang memberi jarak antara kami. Keraguan itu sudah hilang mengabur dari sanubari bagai bunga dandelion terhembus angin.

"Sekarang gue gak mau cuman melihat lu dari kejauhan" ujarku disela sela ciuman kami.
"... Yona" lanjutku menegaskan orang yang ku maksud.

Genangan air di bola mata Yona beriak, pantulan darinya menyilaukan sebetulnya, tapi aku tak keberatan menatapnya lama.
"Aku disini" ujarnya lembut.

Lengan Yona mengalung melewati tengkukku.
Kami kembali larut dalam ciuman, kali ini bahkan lebih panas dari sebelumnya.
Yona mendorong lidahnya masuk mencari lidahku untuk kemudian dihisapnya, desah nafasnya itu terasa sangat dekat dan hangat memancingku untuk bertindak lebih jauh.
Aku menyambut lidah Yona yang tengah menjilat lidahku di dalam mulutnya, lidahku menari memutari lidahnya yang terasa basah dan manis.

Sebelah tanganku naik, mengusap tulang selangkanya yang sedikit menonjol lalu turun ke bawah, mengikuti bentuknya tanganku menanjak di bulatan dada Yona yang menonjol.
Bulatan itu kemudian ku tekan lembut tapi cukup untuk membuat Yona bereaksi.
Yona melepas pagutannya, wajahnya yang berpaling membuat bibirku mendarat di pipinya kemudian aku susuri perlahan hingga ke samping leher tepat dibawah telinganya.
Saat area itu ku kecup, Yona mendesis geli.

"Nakal ah..." ucapnya lirih

Tapi aku tak berhenti, justru aku semakin gencar menciumi area lehernya yang jenjang.
Yona, tentu, semakin tak karuan. Karena kini tanganku pun sudah menyelusup ke balik dress putih susunya, mencengkram gemas kantong susunya yang masih terkemas BH putihnya.

"Hei... Sudah berapa lama gue ngga ngegrepe toket lu yon?" bisikku di telinganya

"Ngga tau..."

"Cukup lama gue rasa"

Yona tak menjawab, dia tengah meresapi sensasi yang datang dari remasan ku pada payudaranya.
Sebelah tanganku yang lain menyusuri punggungnya kemudian dengan satu gerakan cepat melepas pengait yang menahan BH Yona.
Pengait itu lepas membuat payudara Yona menggantung bebas di balik bajunya.

"Buka..." bisik Yona
Dia mengangkat tangannya keudara, aku meraih ujung bajunya kemudian meloloskannya ke atas melalui kedua tangannya hingga terlepas.
Tersuguhlah pemandangan yang sudah lama tak ku lihat.
Buah dada kembar Yona yang membulat indah, puting kemerahannya mencuat setengah tegang.
Dan favorit ku, garis garis biru terang kontras dengan daging payudaranya yang seputih salju membayang tampak memusat menuju ke puncaknya.

"Kaya baru pertama kali liat ajah" tegur Yona menyadarkanku yang tengah terpana karena perhiasan tubuhnya yang indah.
Wajahnya merona merah karena malu.

"Ngga akan ada kata bosen buat mengagumi keindahan toket lu Yon"
Iya, Apalagi di bawah terpaan sinar matahari langsung seperti sekarang ini, high definition resolusi 4k juga kalah ini.

Yona yang merasa jengah menutup payudaranya itu dengan kedua tangannya. Buru buru aku mendekat dan menyingkirkan kedua tangannya itu. Serta merta ku lumat kembali bibir ranumnya dengan rakus, dan tentu saja dada telanjangnya tak luput dari jamahan tanganku.
Yona yang bersender pasrah hanya bisa mendesah menerima perlakuanku.
Tanganku dengan tekanan yang pas menangkap kedua payudara besarnya, mendorongnya keatas kemudian dibiarkan terjatuh, kulakukan itu berulang ulang sambil menghindari titik sensitif payudara Yona, putingnya, belum saatnya.
Desahan mulai terdengar dari mulut Yona membuatku semakin bersemangat mengolah payudara Yona, kali ini aku meremasnya dari sisi bawah, meremas sambil mengikuti lingkar bentuknya hingga ke atas.
"Kebiasaan kamu mah, jahat..." katanya disela sela desahannya.

Aku pura pura tak mendengar keluhannya, tapi aku tahu itu tanda bahwa putingnya sudah gatal minta dijamah, tapi belum, belum saatnya kuberikan.
Aku menurunkan wajahku tepat diantara kedua payudaranya, kemudian kuciumi lembut celah itu dengan bibirku tanpa menghentikan gerakan meremas payudaranya.
Ciuman bibirku kugeser menuju samping payudaranya, sensasi lembut kulit payudaranya membuat ku gemas, kubuka mulutku kemudian melahap daging payudara Yona dengan gemas.

"Awhhh...nhhh...ngapain sih kamu ahhh"
erang Yona merespon perlakuanku.

Hampir semua area payudara Yona basah karena lumatan mulutku, bahkan di beberapa titik tertinggal noda merah.
Tubuh Yona semakin bergelinjang, desahannya semakin parau, rasa gatal itu pasti sudah cukup menyiksanya, kurasa inilah waktu yang tepat.
Aku menjilat payudara kirinya, menyusuri daging bulat itu hingga ke tengah.
Di atas Yona memperhatikan apa yang sedang kuperbuat.
Saat hampir sampai di aerolanya, aku menjilatnya memutar, mengelilingi area itu.
Yona masih memperhatikanku dengan tatapan nanarnya.
Kini lidahku telah mendarat di aerolanya, dan ku lakukan gerakan yang sama.
Ku lihat wajah Yona memerah, dia menggigit bibir bawahnya gemas.
Pada waktu yang sama aku menggaruk aerola Yona satunya, Yona merem melek mendapati rangsangan itu.
Dengan tiba tiba aku menggigit puting kiri dan mencubit puting kanan Yona.

"Awhhh... apaan... Nhaahhh... keluuaarrr"
Yona menjerit dengan keras, tubuhnya menggelepar seketika.
Alih alih membiarkannya larut aku justru terus mengenyot puting kiri Yona yang sangatlah sensitif. Aku menghisapnya tanpa ampun, menyedotnya dengan kuat, membuat badai orgasme pertama Yona bertambah panjang.

"Rese... Kamu mah ..."
protes Yona saat orgasme pertamanya berlalu. Nafasnya masih belum teratur dan rona merah wajahnya masih jelas terpampang.

"Tapi Yona suka kan ?"
Gara gara meledek seperti itu perutku jadi sasaran cubitan Yona yang lumayan menyakitkan.

"Sini...giliran kamu"
Yona menyentuh penis tegangku yang masih tersembunyi di balik boxerku. Sebelum datang ke kolam memang aku sudah lebih dahulu melepas jeans belel dan kemeja flanel ku, kini aku hanya memakai kaos oblong dan celana boxer.

"Boleh juga..."
ujarku sembari melepas bawahanku kemudian aku naik ke kursi tempat Yona bersandar.
Aku mengangkangi Yona tepat di atas payudaranya.
Mengerti keinginanku Yona meletakkan penisku di antara kedua payudaranya.
Dialirkannya liur dari lidahnya turun menuju tempat penisku terhimpit, baru kemudian Yona mengeratkan himpitannya dengan menekan sisi sisi payudaranya ke tengah.
Penisku langsung merasakan sensasi yang luar biasa. Sensasi yang berasal dari kombinasi hangat, lembut, dan kekenyalan payudara Yona.

"Uhhh... Enak banget Yona..."

Yona tersenyum mesum mendengar desahanku.
Dengan tangannya dia gerakkan payudaranya seolah sedang menggiling penisku, dia naik turunkan kanan dan kiri bergantian.
Secara reflek aku menggerakkan pinggulku seirama dengan gerak payudaranya.
Lama bergesekkan kurasakan panas menjalar di sekujur batang penisku, ku lihat penisku sudah bersemu merah.
Yona terus menggoyangkan payudaranya, menekannya semakin sempit menjepit penisku yang mulai terasa gatal.

"Yon berhenti... Gue mau di memek lu..."

Entah Yona pura pura tak mendengar atau terlalu asik dengan penisku, yang jelas dia tetap mengocok penisku yang semakin gatal dengan payudaranya.

"Yona... Oii... Stop..."

Pandangan mata Yona tetap terfokus pada penisku yang terjepit di antara payudaranya yang semakin ganas menggiling.
Merasa tak dihiraukan aku mencengkram kedua tangan Yona supaya menghentikan kegiatannya.

"Eehhhh...?" seloroh Yona
Matanya menatapku penuh tanya.

"Ahh ehh ahh ehh, hampir ajah gue muncrat"
Omelku padanya.

"Ohh... Mau di dalem ya, maaf...
Abis seru"
Seru jidatmu yon.

Aku beringsut turun, memposisikan diri dibawah di antara kedua kaki Yona yang ku lebarkan.
Kusingkap rok Yona, kulipat menggulung di pinggangnya lalu segera kulepas celana dalam putih berenda yang menghalangi tujuanku.
Ku posisikan penisku di depan vagina Yona yang terlihat agak basah.

"Tunggu kak..." sergah Yona
dengan satu tangannya dia menghalau laju penisku yang hendak memasuki lubang vaginanya.

"Kenapa?"

"Aku cuma mau memastikan, kita akan melakukannya sebagai pasangan kan?
Maksudku... sebagai pasangan kekasih"

"Tentu saja"

"Hmmm... kamu mah jawab begitu biar cepet dapet yang kamu mau ajah kan ?
Pasangan atau bukan ngga penting juga buat kam..."
Aku membungkam mulutnya dengan sebuah kecupan.

"Percayalah, it means alot to me too, gue juga sudah berubah sama seperti lu Yona.
Hanya saja gue ngga pandai mengungkapkannya lewat kata kata"

Yona menatap mataku lurus mencari kebenaran kata kataku di sana.
Tentu saja aku berkata apa adanya, jadi aku tak perlu takut untuk membiarkannya menatapku seperti itu.

"Bener?" selidiknya

Aku menghela nafas sejenak.
"Gini deh, kita bisa stop ini sekarang sampai lu yakin kalau mau, mungkin ajah emang terlalu cepat"

"Ngga, jangan. Iya aku percaya...
Tapi jangan disini ya, aku mau di tempat yang nyaman"

Aku tersenyum mendengarnya, ku bantu Yona bangkit dari kursi kemudian aku menggendongnya di depan dadaku.
Yona memekik kaget saat tiba tiba kuperlakukan begitu, tapi akhirnya dia mengalungkan tangannya di leherku menjaganya agar tidak terjatuh.
Ku bawa Yona ke kamarku di lantai atas, setelah sampai segera kubaringkan Yona di atas kasur ukuran king size milikku.

"Kamu kuat juga ya..."

"Ngga sih, lu nya ajah yang keentengan"

"Kalo aku gendot gimana?"

"Gelindingin hehe"

"Jahad kamu mah hihh"

Aku mengecup bibirnya, Yona yang terbaring dibawahku menyambut bibirku lalu memagut dengan bibir manisnya.

"Can we do it now?" tanyaku

Yona mengangguk, kedua tangannya terbuka ke arahku.
Aku yang mengerti segera merangkul tubuhnya, memeluknya dengan erat pun demikian dengan Yona yang melingkarkan tangannya dengan erat mengunci di punggungku.

"Aishiteru" bisik Yona di telingaku, suaranya rendah namun tegas.

"Aishiteta"

Tangan Yona mengendur dari rangkulannya, menyelusup turun untuk menjangkau penisku kemudian mengarahkannya ke depan liang senggama miliknya.
Aku mengecup kening Yona lembut, menatapnya sebentar saat dia melemparkan senyuman manisnya.

"Gue masukin ya yon..."
Aku mendorong pinggulku perlahan, membuat kepala penisku bergerak maju menembus vagina Yona.
Kuteruskan dorongan itu hingga penisku benar benar masuk seluruhnya.

"Enghhh... Kak Rehan... " Yona mendesah tertahan.

"Ngga usah pake 'Kak' lagi Yon, Rehan ajah"
ujarku

Agak ragu ragu, Yona mencobanya
"Mhh... Rehan... ?"
Yona memanggil namaku tanpa tambahan 'Kak' untuk pertama kalinya, meski terdengar canggung tapi cukup menyenangkan. Hanya dengan begitu saja aku merasa ada satu jarak lagi yang terhapuskan.

"Ngga apa apa, nanti juga terbiasa"
kataku seraya mengelus kepalanya.

"Iya Rehan... Hehe"

Penisku yang sudah terbenam mulai kutarik perlahan lalu kudorong lagi masuk.
Kuulangi terus dengan tempo lambat.
Membiarkan Yona terbiasa lagi dengan penisku dan aku terbiasa lagi dengan liang vaginanya.
Setelah sekian genjotan barulah ku naikkan sedikit temponya, lenguhan mulai terdengar dari mulut Yona, tanda dia mulai menikmatinya.
Tak bisa ku pungkiri aku pun menikmatinya.
Kedua pahanya ku genggam dengan tanganku, sesekali aku mengelusnya lembut, sambil tetap menjaga tempo genjotan penisku.
Lendir dalam vagina Yona semakin lama semakin membasahi penisku, membuatku semakin leluasa menjelajahi isinya, menggaruk titik titik sensitif Yona membuatnya bergelinjang nikmat.
Lendir itu juga menjaga penisku tetap bebas bergerak keluar masuk meski dinding dinding vagina Yona menjepitku dengan erat, memeras batang penisku dengan kuat.

"Enak Yona...?"

"Enak... Enak banget, terusin"

Aku merapatkan kedua paha Yona di depan dadaku, kuciumi betisnya yang mulus.
Genjotanku semakin kupercepat, akibatnya tubuh Yona seperti terbawa oleh gerakanku naik dan turun.
Ku rasakan di dalam vaginanya semakin menyempit, pertanda Yona sebentar lagi akan sampai.

"Anhhh... Dikit lagi...dikit lagi Rehan"

Dengan bertumpu pada kasur di sisi sisi tubuh Yona, kuhujamkan semakin dalam penisku.
Bunyi kecipak terdengar nyaring dari peraduan kelamin kami, bunyi itu timbul tenggelam dengan cepat seirama dengan pompaan penisku yang menusuk vagina Yona dengan gencar.

"Keluaarr... Nyampeee... Aku nyampeee... Hnghhhhh"
Yona mengerang begitu keras.
Dari dalam vaginanya menyemprot cairan yang membasahi sekujur batang penisku yang kubiarkan terbenam di sisi terdalam vaginanya.
Tubuh Yona menggelepar beberapa detik, diikuti kedutan kedutan dari dinding dinding vaginanya.

Aku meremas remas payudaranya agar Yona cepat rileks, ku ciumi juga pipi gembilnya yang merona merah.

"Umhh... Aku mau di atas"
Yona bangkit menggeser tubuhku ke bawah menggantikan posisinya tadi.

"Ceritanya mau balas dendam ya?"
Ledekku

"Iya wleee, kubikin kamu gampang keluar sekarang"
balas Yona memeletkan lidahnya.

Yona mengaitkan rambut sampingnya ke telinganya.
Penisku yang masih berdiri tegak dengan gagahnya ia tuntun masuk dengan mudahnya ke dalam vagina gemuknya.

"Ahhhh... Kontol kamu enak banget sih, menuhin memek aku gitu" puji Yona

"Iyakah? Punya lu ajah yang kesempitan" jawabku merendah.

Yona mulai melakukan tugasnya, dengan bertumpu pada kedua pahaku ia mulai memompa penisku naik dan turun.
Dengan lihai Yona memposisikan penisku untuk menggaruk ke titik yang ia suka, karena dia berada di atas dia punya kuasa untuk itu.
Perlahan tempo genjotannya mulai naik, rasa nikmat itu mulai menjalar di pori pori penisku.
Sensasi panas terasa kental menyelimuti batang penisku terutama saat Yona menjatuhkan tubuhnya membuat penisku melesak semakin dalam.
Lelah memompa, Yona kini mengulek penisku dengan gerakan maju mundur.

"Yon... Jangan kaya gitu ah curang...nghhh"

"Ohh? Lemah ya kalo gini?"

Sialan, aku salah ngomong.
Yona semakin intens mengulek, goyangan maju mundurnya itu bahkan kini diselingi gerakan memutar.
Akibatnya rasa gatal pada penisku datang lebih awal.
Yona tersenyum bangga melihat dibawahnya aku tengah merem melek keenakan.

"Jangan ditahan ayo... Pejuin memek aku Rehan" godanya mesum.

"Nyesel lu Yon nantangin gue kaya gitu"

Aku mencengkram pinggang Yona, kaki ku yang semula lurus kini ku tekuk, sehingga aku punya kekuatan untuk melakukan gerakan balasan.

"Ehh... Ngapain sekarang kan giliran. .. anhhhh... Rehaaann!"
Yona tak dapat menyelesaikan kalimatnya karena dari bawah aku menggenjot vaginanya dengan kasar.
Pinggang Yona yang ku cengkeram membuatnya tak bisa terpental jauh saat aku menghujam penisku.
Intensitas genjotanku yang tinggi membuat vagina Yona menyempit lagi.
Dinding dinding vaginanya mencengkram mesra penisku yang juga semakin gatal.

"Rehan... Aku mau nyampe lagi ahhhh... Nakal kamu mahh... Mmhhhh"

"Bareng Yona...gue juga dikit lagi"

Yona mencoba mengimbangi genjotanku dengan goyangannya yang tak beraturan, sayangnya itu cukup berhasil untuk membuatku keenakan.
Kuhujamkan penisku dengan satu gerakan ke dalam vagina gemuk Yona, Yona menjerit nikmat saat aku tak lagi bisa menahan gelombang orgasme pertamaku.

"Aku keluuuaaaarrrr hnghhhhhhhh!!"

"Gue juga yon...aaahhhhhh"
Penisku menyemprotkan sperma kental dengan derasnya ke dalam vagina Yona.
Semprotan pertama dan kedua kurasakan berhasil menembus rahim Yona, ketiga keempat dan seterusnya hanya membanjiri seisi liang vagina Yona yang juga menyemprotkan cairan kewanitaannya.
Buih buih berwarna putih tercecer di antara pangkal penisku dan juga disekeliling bibir vagina Yona.

Tak kuasa menahan derasnya gelombang orgasme kesekian kalinya tubuh mungil Yona ambruk menimpa tubuhku, getaran tubuhnya begitu terasa begitupula desah nafasnya yang tersengal. Ya, aku juga dalam kondisi yang sama.

"Kamu curang ahh... Aku juga sekali kali pengen menang huuhh" kesal Yona manja.

Aku menggulingkan tubuh Yona kesamping kananku, membuatnya tiduran menyamping dengan posisi tubuh menghadap diriku.

"Emang lu kira gue udahan?"

Penisku yang masih tertancap dalam vaginanya kembali ku genjot perlahan.

Yona tersentak kaget, matanya melotot ke arahku seakan tak percaya dengan apa yang ku lakukan.
"Rehan... Masih mau lanjut?"

Kaki kaki Yona yang terlipat di depan dadaku mulai bergetar akibat ritme genjotanku.
Kukaitkan jari jemariku dengan salah satu tangannya sebagai tambahan tumpuan agar aku semakin leluasa menggenjot vagina Yona.
Vagina beceknya kembali ku aduk dengan penis tegangku, Yona mendesis nikmat.
"Uhhhh... Rehan..."

Suara peraduan kelamin ku dan Yona kembali menggema di kamarku bercampur dengan suara desahan dan erangan bergantian.
Yona merem melek menikmati rangsangan yang diterima vaginanya. Aku terus memompanya membuat sebagian lendir campuran sperma dan cairan wanita Yona bercipratan membasahi sprei dibawahnya.
Dengan hati hati aku menggeser lagi tubuh Yona, tanpa menghentikan genjotanku kini Yona berada dibawahku.
Payudaranya yang terguncang itu segera ku tangkap, ku remas dengan kasar bongkahan dagingnya yang membulat indah. Kumainkan puting kirinya yang sensitif, Yona semakin blingsatan.

"Rehan aku mau nyampe lagi nih... Hmmhh"
Kedua kaki Yona melingkar dipinggulku membuat tubuhku semakin menempel dengan tubuhnya dan penisku melesak semakin dalam di vaginanya yang mulai berkedut kedut.

"Tahan sedikit lagi... Gue juga mau"
Aku memagut bibir Yona, agak kesulitan karena tubuhnya terus berguncang dengan hebohnya. Lidah kami saling membelit, tanpa ragu Yona menghisap air liur yang menjuntai dari lidahku.
Yona merangkul ku kemudian, dia hampir mencapai klimaksnya.
Dinding dinding vaginanya berkedut semakin sering, memeras batang penisku yang sudah menggembung siap memuntahkan isinya lagi.
Kupercepat genjotanku di detik detik terakhir pertahananku yang semakin menipis tatkala servis vagina Yona semakin tak mengenal ampun, sekejap kemudian Yona melolong panjang.

"Uuwaaahhhhh..... Rehaannn...... Mmmhhhhh"

Kedutan vagina Yona betul betul meruntuhkan pertahananku kali ini, kubenamkan penisku hingga mencium bibir rahimnya kemudian kubiarkan penisku meledak di dalam sana.
Semprotan demi semprotan mengalir deras, tak sebanyak orgasme pertamaku, tapi tetap banyak hingga vagina Yona tak sanggup lagi menampung spermaku akibatnya sebagian luber merembes keluar membasahi kasurku.

Kujatuhkan tubuhku ke samping Yona, penisku yang tercabut dari vaginanya membuat segala cairan yang tadi tertahan mengalir keluar dengan bebasnya.
Nafas kami sama sama tak beraturan, butuh waktu cukup lama sampai kami bisa kembali ke keadaan normal.
Di luar jendela semburat langit kemerahan mulai terlihat. Aku bahkan tak mengira kalau kami bertempur selama itu. Ku kira baru satu atau dua jam berlalu.

"Mau mandi?" tanyaku pada gadis cantik di sampingku.

"Mau... Badan aku lengket banget nih" ujarnya.

Aku bangkit lebih dulu kemudian membangunkan Yona serta menuntunnya masuk ke kamar mandiku yang tak jauh dari kasurku.
Di kamar mandi kami sempat bermain satu kali lagi, awalnya karena Yona membersihkan penisku dengan mulutnya.
Lalu karena tubuh moleknya yang terguyur air shower terlihat begitu menggoda aku meminta izin untuk menyetubuhinya lagi.
Tentu saja Yona tak menolak. Akhirnya aku menyetubuhinya dengan posisi berdiri dan klimaksnya ku keluarkan spermaku di bokong Yona.

Selesai mandi langit sudah berubah gelap. Aku berpakaian ala kadarnya, kembali berboxer ria dengan atasan kaos putih polos.
Sementara Yona memakai kemeja putih milikku yang ternyata kebesaran, hingga menutupi sebagian pahanya, dibalik itu dia memakai lagi celana dalamnya tapi tanpa memakai bra, ini permintaanku tentunya.
Aku dan Yona duduk di tepi ranjang, bibir kami sedang saling berpagutan.
Bibir Yona yang kering segera lembab karena teroles liur dari ciuman kami. Aku mengaitkan jemariku di rambut Yona yang masih sedikit basah membuat ciuman ku semakin dalam.
Tangan Yona bergerilya ke arah boxerku, menggosok penisku dari luarnya.
Sementara tanganku menngerayangi payudaranya yang membayang dari balik kemeja yang ia kenakan.
Ciuman ku turun ke lehernya, Yona bergelinjang geli, wangi sabun di lehernya membuatku semakin getol menciumi seluruh area terbuka itu.
Yona tetap aktif menggosok penisku yang sudah setengah bangun saat aku meremas remas kedua payudaranya.
Akibat rangsangan itu kedua putingnya menegang tercetak jelas di kemeja putih yang Yona kenakan.
Yona mengeluarkan penisku dari sarangnya kemudian mengocoknya perlahan.

"Liat... Kontol kamu masih berdiri tegak kaya gini padahal udah main banyak tadi"
ujar Yona kagum.

"Ah.. Dia bakal selalu sesemangat itu kalau di dekat Yona kok"

Aku membaringkan Yona di kasur kemudian memposisikan diriku di depan selangkangannya.
Yona yang terbaring pasrah dengan kemeja putih kebesaran yang setengah berantakan sungguh terlihat menggoda. Nafsuku langsung naik ke puncaknya.

"Kenapa...? Mau ngentotin Yona lagi?"
Goda Yona mesum.

"Iya, kalo boleh?"

"Kalau itu kamu kapanpun boleh kok, ayo sini entotin Yona lagi..." ujarnya.

Aku pun menyibakkan celana dalam berrenda itu kesamping, membuat daging segar yang selalu basah dan siap menerima penisku kapan saja itu terpampang jelas.
Segera kulesakkan penisku menembus liang nikmat Yona hingga masuk seluruhnya.

"Ahhnnn... Nikmat banget kontol kamu... Mmhhh"

"Bentar, kayanya gara gara pake kemeja gue lu jadi bitchy gini ya yon?"

"Eh? Mungkin..."

"Ngga apa apa, gue suka kok"

Aku mulai menggenjot vagina Yona untuk kesekian kalinya hari ini.
Sensasi nikmat dari vaginanya sama sekali tak berubah, bahkan selalu terasa seperti baru.
Kehangatan dari cengkeraman dinding dinding vaginanya membuat darahku berdesir.
Yona memintaku menggenggam tangannya, jari jemari kami saling mengait dan mengunci satu sama lain.

Tubuh Yona terguncang akibat pompaanku yang sudah kupercepat.
Yona mendesah heboh, selain karena vaginanya yang kugarap juga karena puting tegangnya yang tergesek gesek kain kemeja memberikan rangsangan tambahan.

"Mmhhh Rehan.... enak banget nih aduhhh"
erang Yona dengan suara parau.

Harus ku akui kali ini mungkin aku tak akan bertahan lama.
Outfit Yona yang menggoda, desahannya yang erotis, kata kata mesumnya itu membuat pertahananku menjadi sangat lemah.
Aku buru buru mengaduk liang vagina Yona dengan kecepatan tinggi.

"Yona sorry... Gue dikit lagi keluar"
kataku memperingatkan Yona agar bersiap.

"He'em, keluarin ... pejuin Yona lagi... penuhin memek aku sama peju kamu... Ohhsshhh" erangan Yona benar benar vulgar melenakan telingaku.

Semangatku semakin meningkat, genggaman tangan Yona kutarik kebawah membuat tubuhnya ikut tertarik hingga penisku semakin menyeruak masuk saat ku genjot.

"Uhh... Yona..."

"Iyah... Rehan... Rehan...

Rehan...

Rehan

Rehan

Oi... Rehan

Rehan! Bangun bege!"

Aku tersentak kaget, suara barusan bukan suara Yona, yang barusan itu suara....

"Santo? Loh... Gue..."
Suara barusan memang suara Santo.
Dia duduk disebelahku di kursi biru yang ku hafal betul ini dimana.
Aku mendapati diriku duduk di barisan ke lima di dalam teater JKT48. Kepalaku terasa berat sulit bagi otakku menerka apa yang terjadi pada diriku.

"Gila lu, bisa bisanya tidur pules begitu ampe show kelar" ujar Santo sambil menoyor bahuku.

Tidur ? Tunggu, jadi aku bermimpi ? Tunggu dulu dari mana aku mulai bermimpi, sejauh mana aku bermimpi.
Pikiran pikiran itu membuatku panik, pikiran pikiran itu membuatku bergidik.

"Nto... Tanggal berapa sekarang?"

"Lu kenapa sih? Sekarang tanggal 15 september"

15 september ? Itu kan hariku bertemu Yona di lift!
Sejauh itu aku bermimpi ? Tidak, aku tak bisa menerimanya!
Aku tak bisa menerima apa yang begitu banyak ku lalui hanya jadi mimpi belaka.
Aku tak bisa menerimanya, aku tak bisa menerima momen momen indah yang ku lalui bersama Yona itu terbias menjadi sebuah mimpi yang sangat panjang.
Tidak... Tidak mungkin...

Air yang terasa hangat mulai mengalir di pipiku, hatiku terasa remuk menyadari kenyataan yang sebenarnya.
Disinilah aku, duduk dan tetap berjarak dengan si gadis bulan.
Disinilah aku pada akhirnya tetap manusia hina yang tak akan mungkin bisa menjangkaunya.
Darah ku naik ke atas membuatku gelap mata, ingin ku berteriak sekuat tenaga, tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Tenagaku hilang, tubuhku lemas, tempat ku berpijak seakan tiba tiba lenyap begitu saja.
Aku mau pingsan.

"Rehan... Lu kenapa woi... Rehan!"

Santo panik melihat tubuhku lunglai, dia buru buru menangkap tubuhku yang hampir mencium lantai abu abu teater yang dingin.
Di sisa kesadaranku dapat kurasakan tangan Santo menepuk nepuk pipiku, meski pelan aku juga masih mendengar dia memanggil manggil namaku.

"Rehan... !

Rehan...

Rehan

Rehan...


Hei... sayang..."
kurasakan pipiku ditepuk lembut, kubuka perlahan mataku dan yang ku lihat adalah wajah Yona yang begitu dekat dengan wajahku. Sosok Yona yang berbaring di sampingku dengan kemeja putihnya di kamar ku sendiri.

"Yona ? Beneran Yona kan?"

"Kamu kenapa sih, iya ini aku kok"

Dengan segera ku peluk sosok di sampingku ini, tubuh mungilnya kudekap erat, ku hirup aroma tubuhnya memastikan sosok yang ku dekap ini hidup dan nyata, bukan ilusi mimpi.

"Rehan, kamu mimpi buruk ya?"
bisik Yona lembut di telingaku.

Tanpa sepengetahuan Yona, aku mencubit lengan ku sendiri, ah... Sakit, jadi yang kali ini nyata. Bodohnya aku kenapa di mimpi itu aku tak menguji dulu itu mimpi atau bukan.

"Iya yon... Serem banget... Gue mau mati aja rasanya di mimpi tadi" ujarku gemetar, bergidik ngeri membayangkan jika mimpi barusan itulah kenyataan yang sebenarnya.

Yona mempererat pelukannya mencoba menenangkanku.
"Udah udah... Itu cuma mimpi, cuma mimpi"

"Iya Yona syukurlah"

Tiba tiba terdengar suara menggeram cukup nyaring dari perut... entah perut siapa, karena tubuh ku dan Yona menempel begitu erat.
Kami berpandangan satu sama lain, mendelik geli, kemudian tawa pecah di antara kita berdua.
Ku lihat jam di dinding menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata sudah selarut ini. Pasti aku ketiduran setelah lelah menggarap Yona kesekian kalinya.

"Hmm... Delivery ajah ngga apa apa ya? Kayanya bahan makanan gue juga udah abis"
saranku pada Yona.
Yona mengangguk setuju, aku segera meraih handphone ku lalu menelepon restoran 24jam langganan ku, memesan beberapa menu untuk kami berdua.

Yona terlihat sedang memandangi langit malam yang remang di luar jendela.
"Kayanya di luar ada bulan deh, lihat yuk?"
ajak Yona.

Aku menyetujuinya, masih ada waktu kira kira setengah jam sampai kurir delivery itu datang.
"Boleh, sini gue punya tempat yang bagus"

Aku meraih tangan Yona menuntunnya berjalan menaiki tangga kayu di sudut kamarku, tangga itu merupakan jalan menuju loteng tepat di atas kamarku.
Loteng ini tak begitu luas, hanya setengah dari ukuran kamarku, terpotong siku mengikuti bentuk segitiga atap rumahku.
Lantainya beralaskan karpet bulu berwarna abu, kemudian di tengah tengah ruangan terdapat sebuah sofa keluarga berwarna coklat muda. Di samping sofa terdapat lampu kamar di atas meja berlaci berukuran sedang, disebelahnya sengaja ku letakkan gitar klasik.

Yona ku persilahkan duduk di sofa itu, sementara aku mencari sebuah tombol di sisi dinding lain.
Tombol itu berguna untuk menggulung tirai yang menghalangi atap kaca di lotengku, ya satu satunya hal istimewa di lotengku adalah atap kaca ini, yang memang sengaja ku minta buatkan agar aku bisa memandangi langit malam.

"Wow keren... Eh lihat, purnama!"
seru Yona takjub menunjuk bulatan emas yang bertengger di gelapnya langit malam.

Aku ikut duduk di sebelah Yona dan melihat ke arah yang ditunjuk Yona.
Menatap bola keemasan nun jauh disana yang kita sebut purnama.
Yona sungguh menatap bulan itu dengan pandangan takjub, cahaya bulan itu memantul sempurna di bola mata Yona.
Bagiku yang memandangnya, bulan itu ada di mata Yona,dan bagiku bulan di mata Yona tak kalah indahnya dengan yang di langit sana.

"Ih... Kamu mah malah ngeliatin aku"
ucap Yona memergoki pandanganku.

"Yah... Mata gue pemilih sih, dia ini bisa otomatis loh"

"Otomatis gimana maksudnya?" selidik Yona heran.

"Iya kalo ada dua pemandangan, mata gue bakal otomatis ngeliat yang lebih indah dari yang satunya"

"Dih gombal... Apaan sih"
Yona melempar bantal sender ke arahku, sayangnya aku berhasil mengelak.
Yona tertawa lepas, tapi rona merah wajahnya tak berhasil dia sembunyikan.
"Tuh ada gitar, daripada gombal mending nyanyi kek buat aku gitu"

Aku mengambil gitar itu, meniup sisi sisinya yang sedikit berdebu.
"Lu yang minta ya, jangan protes loh kalo suara gue ga enak"

Aku mulai memposisikan jariku, kemudian ku petik senarnya sekali, bagus, nadanya masih bisa diterima.
Aku berdehem sejenak, disambut cekikikan Yona.

Jreeeenngg~
Is it naive to make plans that seem so far away?
There's a reason I feel this way,
You're sleeping alone,
I'm awake
When you dream of me tonight, am I close to where you are?

Lay me down,
And tell me everything will be alright,
Things will be alright

Lay me down,
And tell me everything will be alright,
Things will be alright

This could mean everything or nothing at all
You take what is real
I'll give you my all

Is it naive to make plans that seem
So , so , so far?
I think "let's not wait, let's love right now,
Let's love right now"


Oh, here where we lie,
Outstretched to wonder why we don't belong
You deserve much more, and I'll give until I'm all gone
Forever know your face
And ever take your place here by my side,
Like a ghost into the night,
The poisoned apple to my bite,
I'll be the shadow at your door,
I'll be the moth into your light,
'Cause you deserve much more
Yeah, 'cause you deserve much more

Lay me down,
And tell me everything will be alright,
Things will be alright

Thunder storms could never shake us
Lay me down and kiss me like
Things will be alright
Everything will be alright
This could mean everything or nothing at all
You take what is real,
I'll give you my all~


Tiga menit terlama buatku telah berlalu, lagu dari Sleeping with Sirens kunyanyikan dengan vokal seadanya, yang penting saat itu aku menyanyikannya dengan membawa perasaanku pada setiap kata dalam liriknya, lagu yang berjudul Let's Love Bleed Red itu memang mewakili perasaanku terhadap Yona saat ini.

"Uwaaahh... Kok bagus sih... Nyanyinya pake hati ya? Hahaha" puji Yona setengah menyindir.

Aku meletakkan gitar itu di lantai.
"Suka ?"

"Banget! Aku gatau kalau kamu bisa romantis juga... Sini peluuukk"

Yona melompat ke arahku, tubuh mungilnya menggelayut manja dipelukanku.
"Aku tau hari hari kita kedepannya ngga akan selamanya seindah hari ini, tapi untuk tetap bersyukur karena hari ini menyenangkan ngga ada salahnya kan?"

"Ngga lah, justru itu yang bener.
Dan lu juga ga perlu takut kedepannya gimana, bahkan di hari terburuk pun gue ngga akan ninggalin elu yon"

"Bener? Janji ya?"

Dengan tangan ku aku menutup kedua kelopak mata Yona.
Ku kecup keningnya, juga kelopak mata kanan dan kirinya, terakhir aku mengecup bibirnya.

"Iya, janji"

Yona tersipu malu, pipi gembilnya semakin merah matang, tapi senyum lebar tersungging dari bibir merahnya.
Dari pelukanku dia kembali melemparkan pandangannya ke arah purnama.
Purnama masih setia bertengger di gelap langit malam, cahaya keemasannya berpendar sebagian tertangkap bola mata Yona.
Seperti sebelumnya, aku memandang Yona saat dirinya memandangi bulan.
Di bola matanya itu bayangan purnama terpantul sempurna, hanya pendar cahaya emasnya hilang, berganti siluet keperakkan berbentuk kelinci.
Lalu aku menyadari sesuatu.
Aku bukanlah bumi yang suatu saat membiarkan bulan menjauh.
Juga bukan langit malam yang suatu ketika berganti siang dan bulan hilang.
Aku juga tak mau repot repot bepergian jauh ke belahan bumi lain agar tetap melihat bulan namun tetap ada jarak yang tercipta.
Keberadaanku kini lebih dekat dari itu, aku adalah si kelinci perak.
Yang terpahat abadi selamanya bersama si gadis Bulan.


TAMAT
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
OMG NICE ENDING! WORTH TO WAIT!!!

scene romantis yang manis, emosi karena hampir aja pembaca diboongin gara gara cuma mimpi, dan tentu saja, ss yang bikin sange XD

Plis ada encorenya plis
 
ntaps.... ending jg... keren... msh ada epiloguenya kah?? thanks dh membuat thread cerita fiksi warbyasahhh
 
goddamn feels, if i were a producer i'll made this f'n story to a big screen, what a nice way to end a story. My man, congratulation untuk hal majestik nya
 
BRAVO BRAVO BRAVO !!!!!!!!!!

Ga sia sia bener dah ngabisin Jan Dara 4 film :v

This could mean everything or nothing at all
You take what is real,
I'll give you my all~


Tiga menit terlama buatku telah berlalu, lagu dari Sleeping with Sirens kunyanyikan dengan vokal seadanya


di momen Rehan mulai mau bernyanyi, gue kopas ntuh bait pertama sampe kebuka di google dan gue puter full 3 menit 44 detik bareng baca ntu potongan lirik yang lengkap sambil memproyeksikan bagaimana feedback mereka berdua dikala itu, dan sebagai True Lovers yang Silent Read hampir 2 tahun, akhirnya gue menemukan ilham (btw dikurangin bego nya Rehan + Sex Scene beringas :v)

Terimakasih Suhu telah menyadarkan sebuah pencarian jatidiri di forum ini :mantap::ampun::ampun:

Suhu, MASTERPIECE !!! :beer::semangat::ampun:
 
Gokil ini rehan berapa ronde ama yona wkwkwk... kuat ya rehan..

rahasianya apa tuh hu kalo boleh tau?

:semangat:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd