Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Disappear?

Status
Please reply by conversation.
Scene 34
Ngambek


oOo​

“Sayang, sayang, liat deh cincinnya bagus ya?” ucap kekasihku saat itu, saat aku berjalan-jalan di mall bersamanya. Melewati sebuah toko perhiasan yang memajang sebuah cincin unik dan indah sekali.

“Oh, ya, kamu mau sayang?”

“Emang mau kamu beliin?”

“Kalau kamu mau, oke, siapa takut”

“Iiih, tapi paling pake uang papah kamu kan, weeeek. Kalau berani pakai uang kamu sendiri sayang.”

Deg

Jantung serasa berhenti ketika mendengar kata-kata yang keluar dari bibirnya. Walau kata-katanya bercanda, tapi itu sudah sedikit menyinggungku. Aku seorang lelaki yang selalu berpangku pada kedua orang tuaku, terutama ayahku.

“Kok gitu sih, bilangnya?”

“Hi hi hi jangan marah atuh yang, kan aku juga pengen pangeranku berjuang untukku.”

“Eh...”

“Dah yuk, maem lapeeeer banget yang.”

Aku masih terdiam melihatnya berjalan menaduhuluiku. Dinda, perempuan cantik yang membuat hari-hari yang aku lalui selalu indah. Benar apa katanya, seharusnya aku bisa berusahan sendiri untuk dirinya. Untuk Permaisuriku.

“Sayang...” panggilku. Dinda berhenti dan berbalik, tersenyum padaku.

“Iya yang, Ada apa?”

“Aku akan berusaha membelikan cincin itu buat sayang, tapi sayang mau kan menunggu?”

“Eh, sayang ja-jangan diambil hati dunkz, bercanda tadi.”

“Enggak papa sayang, aku juga pengen berusaha mandiri buat kamu,” ucapku tersenyum dan berjalan mendekat ke arahnya.

“Emmm, bener?” aku mengangguk menjawab pertanyaannya.

“Janji?” katanya. Aku langsung memberikan jari kelingkingku ke arahnya.

“Janji.”

oOo​



Jika teringat saat di mall, senyumnya benar-benar manis. Apalagi ketika jari kelingking kami saling bertautan dan dia tersenyum. Indah sekali senyumnya, senyum yang selalu membuat hari-hariku menjadi sangat berwarna. Senyum yang ingin selalu aku pertahankan.

Tapi, hufth... ternyata berat juga mencari pekerjaan. Apalagi aku masih kuliah. Jadi badut tidak masalah, kalau sampai ayahku tahu mungkin dia akan marah besar. Tapi, aku yakin dia pasti akan mau mendengarkannya. Sebenarnya mudah, tinggal kerja diperusahaan ayahku dan pasti dapat gaji tapi tetap saja, aku berpangku pada ayahku. Cuma ini yang bisa aku andalkan untuk mencari penghasilan, selain memberikan les privat ke anak-anak SMA, ya jadi badut. Sedikit-sedikitlah, asal bisa ngumpul.

Aku seperti ini juga karna Dinda, bukan hanya karena dia juga sih, tapi memang akunya juga ingin mandiri. Ingin nunjukin sama Dinda, kalau dia gak salah nerima aku sebagai cowoknya. Gak salah nerima calon suaminya ini. Kepedean sih sebenarnya, tapi aku selalu berharap dia yang bakal jadi ibu dari anak-anakku. Eh, kejauhan ya pikiranku, kuliah aja belum selesai masa udah mikir nikah, he he he.

Tapi... karena semua pekerjaan ini aku jarang bertemu dengannya. Sudah kesekian kalinya aku nolak ajakan Dinda tadi siang buat makan malam. Semua waktuku memang benar-benar tersita untuk pekerjaanku yang satu ini. bahkan ngapel kekosannya juga jarang, sempat marah sih tapi untungnya dia mau ngerti walau lebih sering ngambeknya. Sebenarnya mau aku kasih tahu kesibukannku, tapi nanti gak surprais dunkz cincin yang buat dia. Sudahlah, sekarang dia ngambek dulu gak papa, toh nantinya aku pasti bisa buat dia tersenyum lagi dan paham akan kesibukanku yang sebenarnya hanya untuk dia.

Kenapa sih sekarang susah banget?

Maaf sayang, beneran sekarang gak bisa.

Curiga akunya

Tenang sayang, semua demi kamu kok.
Sabar yah, nanti kalau sudah selesai kesibukanku,
Pasti aku akan selalu ada kok


Love You Sayang

Gak dibales, hufth, aku yakin dia ngambek lagi. Jelaslah dia ngambek, dah beberapa kali aku menolak ajakannya. Cuma bisa berharap kamubisa bersabar sayang. Sabarlah sayang, semua pasti segera berlalu. Dan setelah itu aku akan selalu ada untuk kamu.

Tersenyum sendiri di otakku kebayang pas dia nerima hadiah dariku. Ah, pasti seneng banget dianya. Hufth, ku usap keringat di dahiku, kumasukan lagi sematpon ke dalam kantong. Kembali aku memakai kepala tokoh kartun yang besar ini dan kembali ke keramaian. Kembali ke pekerjaanku pastinya.

Memang gampang tapi ya panasnya minta ampun didalam kostum ini. Sudah hampir satu jam lebih aku berada di keramaian ini. Sedang asyik-asyiknya meladeni anak-anak kecil yang minta bermain, sekilas aku melihat seorang perempuan mirip dengan Dinda. Perempuan itu bersama seorang lelaki, tapi tidak begitu terlihat jelas.

“Ah, aku yakin bukan dia dari belakang memang sama tapi dari depan bukan berarti dia kan,” bathinku.

Saat Anak-anak kecil ini kembali pada orang tua mereka, ku manfaatkan kesempatan ini berjal mendekati perempuan yang mirip dengan kekasihku. Semakin aku mendekat, mereka berdua semakin menjauh. Ah, sial kemana mereka perginya, aku kehilangan jejak mereka. tapi sudahlah, aku yakin perempuan tadi bukan kekasihku. Karena aku selalu percaya kepadanya.

“Lho bukannya itu Burhan?”bathinku.

Saat tadi sedang mencoba mendekati sepasang kekasih, aku malah melihat Burhan yang berdiri dibawah pohon. Mumpung masih sepi, aku mendekatinya. Ku tepuk bahunya dan dia kelihatan terkejut. Ada raut ketakutan di wajahnya.

“Hei, ini gue han”

“Gu-Gue? Gue Si-Siapa??”

Aku melepas kepala badut.

“Lho elu fan? Sial, nakut-nakutin!”

“Ha ha ha ha... kelihatan takut sekali tadi lu, lagian ngapain lu disini? kaya orang ilang.”

“Nunggu Salma, gue suruh jemput disini.”

“Lah kenapa gak lu samperin aja ke tempatnya?”

“Enggak han, takut kalau dia marah. Mending disini saja. Lagian ngapain lu pakai pakaian badut segala?”

“Cari uang,” ucapku sembari duduk disamping Burhan. Burhan kemudian ikut duduk.

“Buat apa? bukannya elu tinggal minta aja sama bokap lu?”

“Biasalah, pengen mandiri. Pengen mbeliin Dinda sesuatu, tapi yah pake uang sendirilah, masa bokap terus?”

Selepasnya aku tidak melanjutkan ceritaku, takut dia tahu apa yang sebenarnya aku lakukan. Ku alihkan fokus dengan bertanya ke Burhan. Dia kemudian bercerita kalau disuruh Salma untuk menjemput. Salma hanya ingin dijemput di tempat dimana Burhan berada sekarang. Memang aneh sebenarnya, sudah sore lagi, kalau aku jadi Salma lebih enak dijemput di lokasi. Nggak tahu jugalah, yang pacaran juga mereka, aku gak perlu ikut pusing. Toh mereka yang menjalani, bukan aku.

Dia bercerita kesana kemari, tapi fokusnya selalu tertuju pada sematpon yang dipegangnya. Tampaknya ada sedikit rasa takut kalau semisal dia telat membalas chat. Chat dari salma keliatannya. Sesekali dia melihat kearahku tapi langsung melihat ke arah sematponnya, padahal juga ada suara notifikasi, kenapa bisa segitunya ya anak ini?

“Fan, aku duluan. Ini Salma dah minta jemput.”

“Lah bukannya dia minta jemput disini?”

“Enggak jadi, dah dulu ya?”

“Okay bro!” Dia langsung bangkit meninggalkan aku.

“Huft, sudahlah sudah saatnya aku kembali ke medan perang. Mencari sebongkah berlian untuk kekasihku, Semangat-semangat.”

Aku bangkit dan kembali ke keramaian. Keramaian anak-anak yang sudah menungguku. Kembali menjadi yang ditertawakan, ya menjadi badut. Sebenarnya dalam kedalaman hatiku masih sedikit ada rasa gelisah, sebuah pertanyaan tentang perempuan yang bersama lelaki tadi. Mirip sekali dengan Dinda. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku tidak perlu mempedulikannya, aku yakin dia adalah perempuan yang setia. Aku memang merahasiakan ini semua, demi memberikannya kejutan. Kejutan yang pasti akan membuatnya tersenyum sepanjang hari.

Setelah pekerjaanku selesai, aku kembali ke ruang ganti pakaian. Berganti dan duduk sejenak. Beberapa pegawai yang lain, serabutan juga, duduk bersama. Gak kenal sebenernya, tapi lama kelamaan akrab juga dengan mereka setelah lama melakoni pekerjaan ini.

“Rokok mas?” tawar seorang dari mereka tapi aku langsung menolaknya.

“Rokok aja mas, pacarnya juga gak bakal tahu,” sahut pegawai yang lain.

“Aku gak ngrokok kok mas.”

“Ha ha ha, ya nyoba dulu siapa tahu ketagihan.”

Aku sedikit tersenyum, ku ambil sebatang rokok. Ada huruf D dibagian filternya. Jadi ingat dengan teman culunku, Arta. Dia selalu merokok merek ini. Apa sih enaknya merokok? Padahal juga gak enak, menurutku, tapi kenapa dia bisa menikmatinya ya? Padahal cuma dibakar, disedot terus dikeluarin, apa coba enaknya? Daripada penasaran mending akum mencobanya.

“Uhuk... uhuk... huekk...”

Ah, sial aku terbatuk-batuk dan ditertawakan mereka semua. Suasana menjadi ramai karena tingkah bodohku. Maklumlah, namanya juga pemula. Ku matikan rokok, mereka masih menertawakanku. Sebenarnya mengejek tapi kelihatannya mereka tertawa untuk melepas lelah bersama. Malu sebenarnya tapi tak apa pemula. Ku ajak mereka ngobrol, pengen tahu juga siapa mereka sebenarnya.

Dari cerita-cerita mereka, ya mereka, mereka yang memang benar-benar bekerja untuk mencari sesuap nasi, berbeda denganku. Walaupun begitu, mereka tetap terlihat bahagia sekali, mungkin aku perlu belajar banyak dari mereka. Belajar berterima kasih atas apa yang sudah aku punyai sekarang. Mereka banyak bercerita tentang perjuangan mereka selama hidup di kota panas ini. Ada yang sudah punya pacar, berkeluarga dan juga jomblo. Kami saling bertukar pikiran dan inilah yang membuatku semakin berterima kasih dengan keadaanku sekarang.

Lama kami mengobrol, melupakan waktu, tak terasa kami sudah merasa lelah. Satu persatu dari mereka pulang. Suasana menjadi sepi dan kini aku sendiri. Ku kirim pesan ke Dinda. Tak ada balasan darinya, ku tunggu cukup lama dan tak ada balasan, padahal dibawah namanya tertulis kata “online”. Mungkin dia memang masih ngambek. Besok aku akan menghiburnya kembali, aku kan badut ha ha ha.

Berjalan ke tempat parkir, mengambil motor. Kunyalakan motor, berjalan menuju kos. Di tengah perjalanan seorang pengendara menyalipku dengan seorang perempuan didepan dan belakangnya. Aku berhenti sejenak, mengamati motor itu yang kemudian berbelok. Kalau aku tidak salah lihat itu adalah motor Andrew, tapi itu kok seperti...

“Culun,”bathinku.

Arta, Arta... kelihatannya dia sedang tergesa-gesa. Tapi siapa perempuan yang ada didepan dan belakangnya? Kalau didepannya kelihatannya masih muda dan seperti pernah lihat, tapi yang dibelakang? Seorang wanita yang menggendong bayi. Hufth, Arta.. Arta... sudahlah. Itu urusan dia bukan urusanku, lebih baik aku segera pulang dan beristirahat. Esok akan lebih melelahkan dari ini.
 
Terakhir diubah:



“Hanhan! Ayas kan dah bilang, jemputnya pake mobil napa pake motor sih?”

“Eh, itu a-anu...”

“Udah ah, gak ada anu-anuan, besok kalau ayas bilang pake mobil ya pake mobil, ayas gak mau tahu, hanhan mau pinjem ato apa! dah cepetan anter Ayas pulanng!”

“I-iya, maaf yas.”

“Huh, jadi rusak ini rambut Ayas,” marahnya.

“iya maaf ayas, maafin hanhan.”

“Tahu gini tadi naik taksi ajah, huh!”

Aku ngiranya dia bakalan seneng dah dijemput, tapi yang terjadi malah marah. Marah lagi, marah lagi. Selalu marah terus Salma. Gak tahu kenapa dia sering marah-marah sekarang. Apa aku kurang perhatian ya sama Salma. Kalau aku inget ya setiap hari aku selalu ke kosnya, bangunin dia, beresin kamarnya. Tugas juga aku kerjakan. Kalau dia marah hanya gara-gara aku pakai motor, karena memang aku gak boleh bawa mobil sama ayahku. Ya udahlah, semua butuh waktu, aku pasti bisa buat dia bahagia.

“Dah cepetan jalan, udah capek duruh naik motor lagi, huh!” gerutunya.

hufst, mau ngomong apa tetap aja salah. Lebih baik dengarkan saja apa yang dia omongin, daripada urusannya tambah panjang. Walau marah dia tetep cantik, menurutku, dan dia juga tetep naik motorku.

Brmmm...

Ku nyalakan motor, dan mulai berjalan menuju ke kos. Untungnya selama perjalanan ke kos dia tidak marah-marah lagi, diem terus. Ditengah perjalanan, tiba-tiba dia memlukku, erat sekali, bikin adem hati yang sebelumnya sudah sempet males. penasaran kenapa dia tiba-tiba meluk, aku hentikan motorku.

“Ternyata dia sedikit tidak sadar, mungkin karena pengaruh minuman yang dia minum”bathinku.

Kembali aku jalankan motorku. Kalau aku ingat memang tadi tercium bau alkohol. Sebenarnya dia itu darimana? Aku tidak pernah tahu tempat dia main, kalau nyuruh jemput juga pasti tidak di lokasinya. Kalau dia sering mabuk seperti ini, bagaimana nantinya? Ah, sudahlah, aku pasti merubahnya menjadi lebih baik lagi.

Sesampainya di kosan Ayas, aku bangunkan Ayas. Dia langsung turun dari sepeda motor begitupula aku. Jalannya sedikit sempoyongan, saat hampir terjatuh aku langsung menangkapnya dan memapah menuju kamar kos. Memang benar apa yang aku pikirkan, dia sedikit mabuk. Mungkin karena pengaruh alkohol, dia jadi marah-marah, tapi sebelumnya juga sama saja tanpa pengaruh alkohol pun dia sering marah-marah kalau aku jemput. Mau telat atau tepat waktu tetap saja marah-marah.

Di dalam kamar kos, aku langsung merebahkannya di atas tempat tidur. ku lepas jaket yang dia kenakan dan menyelimutinya. Ku bawa jaket ke tempat pakaian kotor. Saat mau aku letakan keranjang pakaian kotor, tercium bau menyengat lain. Bau yang sangat familiar buat seorang lelaki. Ku rentangkan jaketnya dan ku cium setiap bagian-bagian. Baunya tepat dibagian belakang bawah jaket, sangat pekat sekali baunya. Memang sedikit basah tapi kelihatannya bau itu seperti aku kenal.

“Ufh... baunya seperti aku kenal, amis. Bau apa ya?” gumamku.

Segera aku masukan ke dalam keranjang pakaian, duduk bersila menghadap ke arah keranjang. Berpikir sejenak, gak tahu juga, susah sekali mengingat bau ini, kalau materi kuliah gampang sih. Sejenak aku berpikir tapi tetap saja tidak ketemu. Segera ku buang pikiran tenang tabu itu, dan langsung berdiri, membuat minuman untuk kekasihku. Segelas susu hangat, mungkin tidak akan diminum sekarang, paling tidak nanti ketika dia bangun. Ku bawa dan kuletakan minuman kesukaannya di meja, di samping tempat tidurnya.

Aku, kemudian duduk dipinggir tempat tidur, tepat disampingnya. Ku elus rambutnya. Wajahnya begitu cantik, tak salah aku memilihnya. Semoga dia bisa menjadi ratu hatiku selamanya. Ku akhiri malam ini dengan kecupan di keningnya, kemudian aku bangkit dan meninggalkannya sendiri dalam kamar. Ku tutup pintu kamar dan ku kunci.

“A’, Aa’ baik banget sih sama Teh Salma,” ucap seorang perempuan teman kos Ayas tiba-tiba dan membuatku sedikit terkejut.

“Eh, kamu dik bikin kaget saja, ya jelas aa’ kan pacarnya teh Salma.”

“Iya sih hi hi hi, semoga saja Teh Salma sadar kalau punya pacar yang baik seperti Aa’.”

“Dia sudah sadar kali dik,” jawabku sambil tersenyum.

“Mmm... iya ya hi hi hi, ya udah A’, aku duluan ya. dah dijemput.”

“Iya,” jawabku tersenyum.

Memang sedikit aneh pertanyaan adik kos Salma. Sadar? Ya jelas sadarlah, masa waktu nerima aku jadi pacarnya tidak sadar? Dasar perempuan aneh. Mataku terus memandang gadis yang baru saja masuk kuliah, baru semester satu. Dia berlari kecil keluar dari gerbang kos, dimana pacanya sudah menunggunya di luar sana. Kadang iri juga, kapan aku bisa jalan-jalan malam bareng sama Salma ya? Jarang aku bisa keluar malam bareng Salma. Tak apalah, mungkin suatu saat nanti aku akan seperti mereka.

Kembali aku melanjutkan langkahku menuju area parkir kos. Naik motor dan kemudian kembali pulang. Aku tersenyum ketika teringat wajahnya yang tertidur pulas. Pikiranku terus teringat semua yang baru saja aku lakukan. Karena teringat ya aku ingat. Dan...

Ciiit...

“Ah, bukannya itu bau sperma? Tapi kenapa bisa jaketnya Salma? Mungkin dia tidak sengaja mendudukinya,” bathinku.

Tiba-tiba, aku teringat bau yang aku cium di jaket Salma. Langsung aku berhenti, menepi dan kumatikan motorku. Sejenak aku berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Salma mendudukinya, atau ada hal yang lain? Ku hela nafas panang.

“Apa mung...”

Ngueeeng...

Sebuah motor melaju dengan cepat melewatiku, membuyarkan lamunanku. Kalau aku ingat itu motor Andrew. Ada ciri khas dari motor Andrew, dibagian lampu belakangnya ada Huruf A yang sebagian menutupi lampu. Memang tidak terlihat jelas, tapi seingatku dengan seringnya liat motor Andrew, ya itu motor Andrwe dan tidak semua motor pakai huruf A di bagian belakang. Tapi kenapa yang bawa bukan Andrew? ada dua perempuan...

“Seperti... Arta,” bathinku.

Sudahlah. Lebih baik aku segera melanjutkan pulang ke kos. Sudah capek seharian nunggu Salma, apalagi besok pagi aku harus ke kosnya lagi buat bangunin dia. Kasihan kalau gak dibangunin, bisa marah besar dan terlambat kuliah nanti. Aku nyalakan kembali motor, menarik gas perlahan. Berjalan kembali menyusuri jalanan berselimutkan hawa dingin. Kembali ke tempat ternyamanku saat ini, Kos.
 
Terakhir diubah:
Scene 35
Keyakinan Sang Peri


Intanian


Alma



Klek..

“Hoaaammmhhh.... pagi mas,” sapanya di pagi hari, setelah keluar dari kamar.

“Pagi... tumben baru bangun?”

“Begadang mas semalam.”

“Makanya kalau tidur jangan malam-malam, Ar,” nasihatku kepadanya.

“Eeeeeh, Raga gak boleh gitu sama Arta,” timpal Tante Inan tiba-tiba dari belakangku. Tante langsung berjalan ke arah Arta, sekilah aku meliat bayangan masa lau ketika melihat cara Tante melangkah mendekati Arta.

“Gak papa kok sayang, mau begadang semalaman juga gak papa. Sini-sini, makan dulu sayang, biar seger. Sudah tante buatin kopi itu,” ucap Tante menggandeng Arta yang kelihatan sedikit bingung dengan sikap Tante.

Aku, Istriku, Ana-Ani, Bibi dan juga Bobo-Baba merasa aneh dengan sikap tante. Kami semua diam memandang tante yang terlihat begitu ceria sekali hari ini. Kami duduk memandang mereka berdua berjalan mendekat ke meja makan. Arta, pemuda yang tidak bisa diprediksi, benar-benar tidak bisa diprediksi.

“Sini sayang, duduk samping tante.”

“Eh, tan... tante ceria sekali, ada apa?” tanyaku

“Eh, Ragaaa... kan ada tamu, ya di jamu dong.”

“Arta sudah sering kesini jenguk adiknya, Tan,” istriku menimpali.

“Hi hi hi ya gak papa kan sekali-kali, bener kan sayang?” balas Tante sambil menarik Arta duduk disampingnya.

“Bener kata mbak Alma, Tan. Sudah biasa aku disini, tuh gara-gara tante, adik-adikku nngambek.”

“Hi hi hi cemburuh nih yeeeee...” ledek tante ke arah Ana-Ani.

“Huuuuuuu...” teriak mereka berdua, Ana-Ani, secara bersamaan.

Aku dan Istriku, Alma, hanya bisa saling pandang begitu pula Bobo-Baba dan Bibi. Mereka juga merasakan hal yang berbeda dengan Tante. Memang Tante baru saja bergabung dengan kami, tapi seakan-akan dia menemukan kebahagiaan baru tapi rasa lama. Kulihat tante dengan senyumannya, mengambilkan sarapan untuk Arta. Kulihat juga pemuda ini saling ejek dengan kedua adiknya, hah... ramai sekali makan pagiku.

“Auuuchh... Tan, sakiiiit,” teriak Arta ketika mengunyah maanan tiba-tiba pipinya dicubit Tante Intan.

“Hi hi hi... lucu sih kamu kalau makan sayang, hi hi hi.”

Sesaat bayangan masa lalu hadir kembali. Bayangan dimana dulu ada gadis cantik yang selalu mengganggu kakek. Mengganggu apapun yang dilakukan kakek, terutama ketika makan. Gadis itu selalu mencubit pipi kakek ketika sedang mengunyah makanan. Aku tersenyum, ternyata apa yang dirasakan Tante sama dengan yang aku rasakan. Alma mungkin tidak pernah tahu hal ini, karena ini kenangan sebelum aku menikah dengannya.

“Tanteeeeeeeeeeeeee!!!”

“Ih, apa sih sayang, masa makan sambil teriak-teriak kasihan tahu bayi tante, kalau bangun gimana?”

“Lha Tante nyubitin pipi terus, gimana cara makannya?”

“Siapa yang nyubit?”

“Hadeh...” kembali Arta makan.

“Auch tanteeee!!!”

Tante tertawa sangat keras, tertawa karena Arta kelihatan jengkel sekali tapi tak bisa membalasnya. Sama, sama seperti kakek, diganggu tapi tak bisa membalas. Ku lirik Bibi yang berdiri terpaku disampingku. Bibirnya tersenyum ketika melihat Arta diganggu tante. Ana-Ani, mereka tidak berani berkomentar, karena mungkin aneh melihat tante yang seakan-akan kembali ke masa mudanya.

“Ada apa Bi?” tanyaku pelan.

“Tuan pasti tahu kan?” jawab Bibi, aku mengangguk.

Suasana pagi yang sempat hilang, kembali lagi walau sesaat tapi aku harap selamanya seperti ini. Pemuda itu telah mengembalikan senyuman yang pernah mewarnai rumah ini, senyuman yang sempat hilang. Senyuman ‘peri cerdas’, nama yang aneh memang tapi itu yang sebutan kakek untuk Tante. Senyuman itu kini membuat acara makan pagi semakin lama selesainya.

“huft, kenyang... sudah ah Tan, Aku mau ngrokok dulu. Oiya mana kopinya tan? Katanya bikinin aku kopi?” tanya Arta.

“Oh iya, sebentar,” jawab tante kemudian mengambilkan kopi untuk Arta.

Kletek...

“Ini kopinya sayang,” ucap tante berdiri disamping dengan senyuman yang...

Arta mengambil kopinya, didekatkannya di mulutnya.

“Eh, Ar.. tung...” cegahku tapi terlambat.

“Bwah... bwahh... buft buft... Tante!”

“hi hi hi...”

“Tante sengaja ya bikin kopi kasih garam?”

Tante tidak menjawab, dia terus tertawa. Sudah kuduga, dia mencampuri kopi itu dengan garam. Tak jauh beda yang dia lakukan ke kakek. Aneh memang, seorang wanita setengah baya mengerjai habis-habisan seorang pemuda. Kalau dulu wajarlah, gadis mengerjai kakek-kakek, lha ini haduh.

Arta langsung berdiri mendekati tante, tapi dia urungkan niatnya ketika tante memperlihatkan wajah judesnya. Sama, sama seperti dulu. Pemuda itu, dengan wajah kesalnya, langsung ke dapur dan membuat minuman sendiri sedangkan tante masih tertawa terpingkal-pingkal. Begitu pula Ana-Ani yang ikut menikmati makan pagi penuh keramaian ini.

“Baru kali ini lihat perempuan senang sekali kalau lihat orang susah, huh!”

“Kakak gak boleh marah, hayo...” ucap Ani.

“Iya, iya,” jawabnya kepada Ani.

“Oia mas, Aku ngopi dulu,” lanjutnya meminta izin kepadaku untuk ngopi.

“Iya Ar...” jawabku.

Arta berjalan ke arah kolam renang. Duduk bersila menghadap ke kolam, lalu menyulut sebatang rokoknya. Aku mengalihkan pandangan ke arah tante yang terus menatap pemuda itu. Ku lihat sorot matanya begitu bahagia, bahagia dengan sedikit haru.

Tante Intanian, wanita yang dulu pernah menjadi bagian keluarga ini dan sekarang pun masih menjadi bagian keluarga ini. Dia adalah peri yang paling disayangi kakek. Peri kecil yang selalu membuat hari-hari di rumah ini menjadi ramai. Beruntung aku masih melihatnya, sejak kabar kematiannya karena kapal yang membawanya dan juga omku, suaminya, aku sangat terpukul. Tapi ternyata semua itu hanya akal-akalan dari musuhku, musuh yang selama ini telah menahan Tante Nian. Dan sekarang, Tante harus dijaga, benar-benar dijaga.

“Kenapa Tan? Sama ya tan?” tanyaku memecah lamunannya, Tante kemudian menoleh ke arahku.

“Kamu juga sadar ya?” aku mengangguk.

“Oia, Ana-Ani berangkat dulu, kakakmu itu kelihatannya hari ini harus membolos dulu,” ucapku kepada Ana-Ani agar pembicaraan ini tidak di dengar oleh mereka berdua.

“Iya Mas!” jawab mereka berdua serentak.

Ana-Ani langsung berlari ke arah kakak laki-lakinya. Memeluknya dan memberi sedikit gangguan waktu santai pemuda itu. Senang sekali bisa melihat keceriaan Ana dan Ani, apalagi sekarang ada Tante disini. Ana dan Ani kemudian pergi meninggalkan Arta, pemuda itu masih duduk menikmati pemandangan kolam. Ah, jadi penasaran dengan apa yang terjadi semalam. Tante sendiri juga tidak menceritakannya secara detail, hanya menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, tapi yang jelas Arta sedikit lebih tenang jika dibandingkan dengan kejadian yang lalu.

“Iiih, tante segitunya liat Arta,” ucap Alma, tante hanya menjawab dengan sedikit senyum dan kembali melihat ke arah kolam.

“Seandainya kalian lihat semalam...”

“Memangnya kenapa Tan? Oh iya Tan, nanti Mas Jiwa mau kesini, tante jangan kemana-mana ya?”

“Iya, Lagian tante gak bakal keluar dari sini, kalau boleh.”

“Ya boleh lah Tan, dulu tante juuga tinggal disini.”

“Tapi tante harus bayar uang sewa kamar gak?” senyumnya mulai terlukis.

“Tanteeee tante... kalau tante sampai bayar, Kakek nanti yang marah sama aku.”

Terdengar sedikit tawanya, wajahnya begitu bahagia sekali. Kembali pandangannya beralih ke kolam renang. Alma yang duduk disampingku, menyenggol lenganku, menyuruhku untuk mengajak ngobrol tante.

“Pertanyaanku belum dijawab lho, Tan,” ucapku, tante menoleh ke arahku dan tersenyum. Menghela nafas panjangnya dan kemudian bersandar dengan pandangannya masih ke arah kolam.

“Semalam. Tatapan matanya. Cara dia bertindak. Cara dia memandang para lelaki yang didepannya. Sebuah refleksi masa muda seseorang. Benar-benar seperti sebuah cermin, hanya...” Kata tante yang membuatku penasaran, walau sebenarnya aku tidak begitu terkejut ketika mendengar kata-kata tante.

“Hanya?”

“Hanya sebagian dari masa muda seseorang itu, sebagian lain dari seseorang yang lain dan sebagian adalah dirinya sendiri. Perbedaannya...”

“Perbedaannya?”

“Dia belum bisa mengendalikan amarahnya, berbeda dengan dua orang sebelumnya. Di dalam dirinya ada dirinya sendiri yang terpenjara tapi sekali keluar, dirinya berubah. seandainya dia bisa mengendalikannya, mungkin dia akan memiliki dirinya sendiri.”

“Dia...” lanjut tante yang kembali tersenyum.

“Dialah yang akan menjaga kita, menjaga kamu...”

“Eh, maksudnya?”

“Ini keyakinan sang peri. Kamu tahu kan apa yang akan di katakan seseorang kalau mendengar kata peri?” aku tersenyum ketika mendengar kata-kata tante.

“Iya, tan... dia akan bilang ‘dasar peri sok tahu, tapi benar juga apa katamu’.”

“Hi hi hi... dasar kamu ya, berani ngatain tantemu sendiri seperti itu.”

“Eh, itu kan anu tan cuma niruin kali.”

Tante kembali tertawa keras, memecah sepi sesaat di ruang makan. Benar-benar terlihat bahagia sekali Tante ku ini. Alma langsung bersandar di bahuku, terdengar tawanya yang sedikit terkekeh.

“Oia Raga, bilang sama Masmu itu ya, kalau kesini sekalian sama istrinya,” ucap tante yang bangkit dari duduknya.

“Kenapa Tan?”

“Biar kalau tante ngobrol bisa lama, ada banyak yang ingin tante bicarakan.”

“Banyak?”

“Iya, tentang seseorang yang ada disana. Seseorang yang sangat berbahaya menurut Tante, kalian harus berhati-hati.”

“Eh, berbahaya?”

“Sudahlah, nanti malam kita bicarakan. Tante pengen ngegoda cowok ganteng itu dulu hi hi hi.”

“Eh, se-sebentar tan...”

“Daaaah.”

“Sudah sayang, nanti malam kan juga bisa. Biarkan tante bahagia dulu hi hi hi,” ucap istriku.

“Iya benar juga, hmmm...”

Tante berjalan dengan langkah seperti ketika masih gadis dulu. Melangkah mengendap-endap, pastinya mau mengangetkan Arta. Begitu bahagia sekali Tante, harapanku hanya satu dengan kehadiran Tante disini adalah awal dari kebahagiaan yang abadi bagi keluarga ini.

“Terakhir aku lihat tante bahagia adalah ketika menikah dengan om, tapi sekarang kelihatannya dia kembali bahagia,” ucap istriku, membuyarkan lamunanku.

“Iya sayang.”

“Gak mau introgasi Arta?”

“Sudahlah, kalau ditanya nanti dia bingung, lagian dia sedang bersama Tante.”

“Katanya semalam penasaran, sayang.”

“Nanti malam saja sayang dan kita juga bisa tanya ke Ana, kan? Ana lebih tahu detailnya. Kalau Arta, kelihatannya dia akan lebih banyak diam.”

Istriku tersenyum, kemudian kami meninggalkan meja makan lalu memberi salam kepada dua orang yang sedang bertengkar di dekat kolam renang. Kelihatannya Arta sangat terganggu tapi tidak bisa apa-apa, sudahlah, lebih baik aku segera pergi ke kantor. Aku dan istriku berangkat ke kantor. Ku biarkan mereka berdua, membiarkan sang peri mengenang masa lalunya. Masa lalu yang terulang kembali. Didalam mobil, Alma bersandar di bahuku. Menikmati perjalanan pagi ini, pagi yang memberikan kebahagiaan.

Dia seperti prajurit,
tapi bagiku dia adalah keluarga
Aku harap dia selalu ada disini
Karena aku memang membutuhkannya
untuk menjaga keutuhan
keutuhan keluarga yang telah dibangun
olehnya
...
Tapi,
Siapa orang yang sangat berbahaya?
Siapa?​
 
Terakhir diubah:



“Tanteeeeee!!!!” teriakku.

Kembali dia mengganggu waktu tenangku. Ah, ada apa sebenarnya dengan tante satu ini. kenapa dia selalu menggangguku. Ada saja yang dia lakukan, ketika aku mau meminum kopi, bagian bawah cangkirnya dia dorong dengan jarinya hingga aku tersedak dan sedikit air kopi masuk ke hidung. Rokok yang ada dalam bungkus, tanpa sepengetahuanku dirobek kecil dekat dengan filter menggunakan kukunya, dan pas aku hisap, sedikit asap yang masuk.

“Tante jangan ganggu dulu, kan aku lagi ngopi! Ini juga rokoknya kan jadi susah kalau mau dihisap, asapnya sedikit yang masuk!” protesku.

Bukannya berhenti dia malah semakin membuatkku jengkel. Semakin aku jengkel, dia semakin tertawa terbahak-bahak, sepertinya dia tipe perempuan yang suka melihat lelaki tersiksa. Tapi saat aku mengamatinya dengan cermat, dia terlihat sangat bahagia dengan ulahnya dan seperti kembali ke masa yang dia rindukan.

“Auuuuch...”

Dia mencubit pipiku, ditarik hingga kepalaku mau menyentuh lantai. Cepat dia berdiri dan menertawakanku. Jengkel sekali rasanya, ditambah dia langsung mengambil kopi dan meminumnya sampai habis. Aku berdiri hendak meraih tangannya tapi terlambat, dia sudah berlari menjauh dariku.

“Dasar tante jelek!”

Deg

Sesaat dia berhenti berlari, membalikan badan perlahan. Tatapan matanya menjadi sangat menakutkan. Wajahnya yang semula ceria menjadi galak, judes, tentunya menakutkan. Dia mendekatiku, aku diam, takut sekali rasanya melihat wanita yang berubah sikap tiba-tiba.

“Auch.”

“Bilang apa tadi?”

“E-e, a-annu... aduh tant sakit, pipiku sakit tan.”

“Bilang apa tadi!”

“End-endak tan, endak, tante cantik.”

“Apa? Tante gak denger?!”

“Tan-Tante cantiiik!”

“Hi hi hi, nah gitu dong. Emang dari dulu tante cantik hi hi hi”

“Ufth... sakit banget Tan.”

“Hi hi hi makanya jangan suka ngledek cewek dengan kata jelek, perempuan itu gak suka dibilang jelek.”

Dia tersenyum manis ketika berbicara. Heran, tiba-tiba marah, tiba-tiba tertawa. Dia kemudian tertawa keras melihat keherananku, kedua tangannya digunakan untuk menutupi bibirnya. Dan sekarang dia tiba-tiba diam. Berjalan mendekat ke arahku, meraih kepalaku dan mengecup keningku, setelahnya dia berjalan meninggalkan aku.

“Tan,” panggilku, dia berbalik dan tersenyum.

“Kamu harus jaga keluarga ini ya?”

“Eh, i-iya.”

“Dah kalau mau pulang, kapan-kapan main lagi. Tante mau ngurus adik kecilmu itu dulu.”

“I-iya tan.”

“Hati-hati pulangnya.”

Aku langsung berjalan ke arahnya, dan menyodorkan tanganku. Salim (cium tangan), kalau di daerahku namanya. Kembali dia meraih kepalaku dan kedua kalinya dia mengecup keningku, kedua pipiku, memelukku sebentar dan setelahnya membetet hidungku. Aku hanya tersenyum mendapat perlakuan darinya.

“Hati-hati, jangan gegabah ya?”

“I-iya tan.”

Oeeek oeeeek...

“Em, tuh adik kamu dah bangun. Dah dulu ya sayang, kapan-kapan ngobrol lagi”

“I-iya tan.”

“Pulangnya hati-hati ya sayang.”

“I-iya tan.”

Dia tersenyum lalu berjalan cepat meninggalkan aku, menuju kamar dimana bayinya menangis. Segera aku mengambil cangkir dan ku bawa ke dapur. Disana ada bibi yang sedang mencuci piring. Kuletakan cangkir di tempat cucian.

“Makanya, jangan sekali-kali bilang tante jelek. Kalau bilang tante jelek, marah nanti tante.”

“Eh, lho kok.”

“Tantemu itu tidak sudak dibilang jelek, dulu kakeknya Mas Raga itu saja ketakutan lihat wajah tantemu tiba-tiba jadi marah.”

“Ooo...”

“Mau pulang?”

“Iya bi.”

“Jaga diri, jaga juga keutuhan keluarga ini ya?”

Aku mengangguk dan salim dengan Bibi. Aneh juga ketika mendengar bibi mengatakan hal yang sama dengan Tante. Aku kemudian melangkah menuju pintu keluar rumah, kembali bersama Varitem, eh salah, dengan motor Andrew. 08.00, waktu yang kulihat saat aku sudah berada di atas motor, masih pagi. Huft, karena sudah berniat untuk membolos kuliah, jadi langsung menuju kontrakan. Bergegas aku keluar dari gerbang yang sudah dibuka oleh penjaga rumah Mas raga.

Ditengah perjalanan, sematponku bergetar tapi tak aku hiraukan sepertinya hanya perasaanku saja. Sering sekali terjadi seperti ini, seakan-akan bergetar dan berbunyi tapi setelah dibuka ternyata tidak ada apa-apa. Baru setelah bergetar beberapa kali dan aku yakin ini getaran dari Sematponku, aku berhenti. Winda.

“Halo Wind.”

“Arta kok gak masuk kuliah? katanya baik-baik saja?”

“Bolos Wind. Ni lagi mau pulang ke kontrakan, oia sampaikan ke Andrew, motornya tukar besok saja”

“Huh! Malah dititipi pesen gak mutu lagi, terus kapan main ke Winda?”

“Eh, i-itu anu Wind. E... besok saja bagaimana?”

“Dasar jelek, sudah kemarin bentak-benatk Winda, gak minta maaf lagi.”

“E... i-iya, Aku minta maaf soal kemarin ya?”

“Huh Telat! Pokoknya besok anterin Winda pulang, kalau sampe diturunin lagi di tengah jalan. Awas! Winda lapor sama papa Winda soal Arta suka pegang-pegang!”

“E... i-iya, iya, nanti ke tempat Winda.”

“Dah ah, dasar jelek, culun!” tuuuut...

“Dasar jelek culun! Hayah,” ucapku menirukan perempuan yang baru saja menelepon.

Kenapa juga aku yang disalahkan gara-gara meremas payudaranya? Bukannya dia yang mulai? Yang di gedung juga dia yang memulai, mulai mau bunuh diri. Itu juga yang di kamar kosnya kan juga dia yang mulai. Enak saja, tapi kalau dilaporkan sama orang tuanya, tetap saja aku salah. Perempuan kan selalu benar? huh!

Aku nyalakan motorku, kembali ke jalanan menuju kontrakan. Terbayang tentang Tanten Intanian, wanita itu seakan mengetahui semuanya. Kata-kata yang dia ucapkan sebelum aku pulang, membuatku harus lebih hati-hati. Aku yakin dia tahu semua yang ada di dalam musuh dari keluarga ini. Tapi, kenapa dia selalu menggangguku ya? aneh sekali, apalagi kata-katanya tentang dua orang semalam. Suatu saat nanti aku pasti tahu siapa dua orang yang sedang dia bicarakan.

Berjarak sekian ratus meter dari gang masuk kontrakanku, aku mampir ke sebuah warung. memesan kopi dan juga membeli rokok. Wajarlah rokokku banyak yang disobek kecil ditas filter gara-gara tante. Duduk didepan warung, memandangi motor-motor yang berjalan. Masih ada sedikit pertanyaan dalam pikiranku. Terutama tentang sedan putih yang berada di pinggir jalan. Laki-laki itu menatapku dengan senyuman, dan wanita yang berada dalam mobil, membuatku semakin pensaran. Dan juga gambar yang ada di bagian samping mobil.

Bunga melati merah​

Siapa sebenarnya laki-laki yang berdiri dan tersenyum padaku? Senyumnya begitu tenang, tatapan matanya seperti tatapan yang menghanyutkan. Dan lagi, kenapa dia berdiri di samping jalan, seakan tahu aku akan melewati jalan tersebut. Jika mobilnya mogok, kelihatannya juga tidak mungkin dengan melihat posisi laki-laki tersebut. Sepertinya, dia sudah tahu, ya dia sudah tahu aku akan keluar dari hutan itu. Dia tahu dan dia berdiri dibawah lampu agar aku melihatnya. Melihat dia dan juga bunga melati merah.

“Ah, iya bukannya Tante Evie pernah cerita,” bathinku.

Benar, tante Evie pernah bercerita tentang bunga melati merah. Nama yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan. Dan yang aku temui kemarin malam, laki-laki dan juga seorang perempuan. Pas sekali. Jika memang benar yang aku lihat itu seperti yang diceritakan tante Evie, berarti mereka berdua adalah.. Sebentar, tidak mungkin kalau mereka berdua bagian dari musuh keluarga Mas Raga. Bisa jadi itu hanya sebuah kebetulan saja. Bisa jadi, tapi aku tetap harus hati-hati. Ah sudahlah, aku malah bingung sendiri. terlalu berbelit pemikiranku.

Cepat aku habiskan rokok dan kopi. Kepalaku terasa pusing memikirkan hal-hal ini. Kenapa harus seperti ini, jalan cerita kehidupan yang tak perah aku pikirkan. Aku kembali ke dalam warung untuk membayar rokok dan kopi, setelahnya aku pulang ke kontrakanku. Aku ingin mandi dan setelah itu beristirahat.

Tulit tulit...

Aku buka sematpon. Desy.

Tepati janji kepada Winda, jangan suka bohong


Desy, dia itu ah, masa bodoh. Kenapa harihariku seperti dibagi, hari ini untuk argh. Lebih baik aku segera pulang saja. Tak ada balasan pesan dari Desy dan aku langsung melanjutkan perjalananku lagi. Memasuki gang kompleks dengan perlahan sampai didepan kontrakan. Ku masukan motor Andrew ke teras kontrakan.

Kontrakan, kangen juga bermalas-malasan di sini. Ku tutup rapat pintu dan kemudian mengambil handuk. Masuk ke dalam kamar mandi, aku berdiam diri sejenak. Yah, memang kadang aku suka berdiam melihat air. Bukan karena apa-apa, hanya ingin mengumpulkan keberanian untuk mengambil air, padahal baju saja belum aku lepas.

Klikk... klikk... klikk...

“Eh... Lampunya kenapa hidup mati sendiri.”

Mataku memandang lampu kamar mandi. Seperti terhipnotis oleh nyala lampu yang menyala-mati. Terus mataku memandangi, tiba-tiba tubuhku bergetar. Nafasku menjadi sangat berat. Takut. Keringatku mulai membasahi tubuhku. Tubuhku semakin gemetar. Merasakan dingin.

“Jangan!!!”

“Jangaan, lepaskan!!!”

“Tolong.. aku mohon... tolong hentikan... jangan sakiti jangaaan...”

“Kenapa? ada apa ini? suara itu. tidak. Kenapa? ada apa? hash hash hash hash.”
 
Terakhir diubah:
Scene 36
Sayap Malaikat


Ainun ... ...

Braaak!!!

Ku hempaskan punggungku ke pintu kamar mandi. Keras. Mataku seakan melihat semuanya, melihat semuanya kembali. Kenapa seperti ini? aku... aku...


Srrssskk...


Aku berungsut turun, duduk. Memegangi kepalaku. Suara-suara itu terus berlarian di kepalaku. Dalam pikiranku. Aku benar-benar tidak tahan.


“HENTIKAAAAAN!!!!!!!!”


“HENTIKAAAAAN!!!!!!!!”


“JANGAN SAKITI! JANGAN SAKITI! JANGAN SAKITI!!!!!!”


“AAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGHHHH!!!!


Dok... dok... dok...


“Sayang... sayang... buka pintu sayang, buka. Kamu kenapa sayang?”


“Hargh!” terdengar suara perempuan. Aku tidak bisa mengingat suara siapa.


“Si-siapa? Si-siapa?!!!” teriakku, berbalik duduk bersandar pada dinding bak mandi.


“Sayang, ini aku Ainun.”


“A-Ainun, Ainun siapa?”


“Sayaaang, Ainun. Kamu kenapa? buka pintunya cepat.”


“A-Ainun, eh, Ainun.”


Ainun, ya Ainun. Aku segera bangkit membuka pintu kamar mandi. Kulihat Ainun dengan gamis putihnya dan juga kerudung berwarna putih. Pandanganku masih sedikit kosong, nafasku masih terasa berat sekali. Keringatku masih terus bercucuran.


“Nun,” langsung aku memeluknya.


“Ke-kenapa ada apa?”


“Ta-tadi, ta-tadi... hash hash hash.”


“Sudah tenangkan dirimu dulu sayang, maafkan aku ya.”


Tubuh kami beringsut turun, aku masih dalam pelukannya. Nafasku sedikit tenang, aku bisa mengendalikannya. Pelukanku semakin erat, elusan lembutnya dikepala memubatku semakin tenang.


“Jangan!!!”


“Jangaan, lepaskan!!!”


“Tolong.. aku mohon... tolong hentikan... jangan sakiti jangaaan...”


“AAARGHHH!”


“Sa-sayang, ke-kenapa tenanglah.”


“Argh!”


Aku melepaskan pelukannya, berlari menuju pintu keluar. Tepat diruang dimana aku selalu berkumpul dengan Samo dan Penjus, suara itu semakin keras terdengar. Kepalaku sakit, seakan semuanya berputar-putar. Aku pegang kepalaku, duduk berlutut.


“Sayang,” Cepat dia meraih tubuhku, memelukku.


“Pergi! Pergi!”


“Sayang kamu kenapa?”


“Pergi! Permmmmhhhh.”


Bibirnya. Sedikit demi sedikit kesadaranku mulai hilang. Pandanganku semakin kabur. Badanku serasa lemas sekali. Tak ada tenaga. Lelah, sangat lelah. Dan semuanya menjadi gelap.

.

.

.

“Ergh... ergh... Haaahmmmmhhh!!!!”


Hash hash hash...


“Sssshhh... ssshhh... sudah tenang.”


Aku terbangun. Terkejut. Bibirnya kemudian langsung menutup bibirku. Lepas dari kepalanya, nafasku sangat berat. Pelan dia menarik kepalaku dan lagsung dibenamkan dalam pelukannya. Nafasku masih terasa berat. Dia terus mengelus kepalaku, dan aku terdiam mengatur ritme nafasku. Setelah nafasku kembali normal, kupegang tangannya, mengelusnya. Lembut sekali.


“Kamu sudah tenang?” aku masih diam, mengelus tangannya yang kini ada dipipiku, sedang satu tangan yang lain memeluk kepalaku.


“Sayang?” aku mengangguk.


“Maaf ya, maafin aku.”


Aku tidak menjawabnya. Aku masih terdiam, masih belum bisa menjawab kata-katanya. Mmasih merasakan kenyamanan dalam pelukannya. Lembut sekali tangan putihnya, tak pernah berhenti mengelus. Setelah merasa tenang, ku pejamkan mata, menghela nafas panjang dan kemudian bangkit dari pelukannya. Duduk membelakanginya.


“Kamu sudah baikan?” aku mengangguk.


“Yakin?” aku kembali mengangguk.


Kurasakan dia menggeser tubuhnya mendekat. Kedua tangnnya melingkar di tubuhku, memelukku. Kepalanya bersandar di punggungku. Pelukannya semakin erat, sesekali dia mengelus dadaku. Bayang-bayang yang baru saja aku lihat, yang baru saja menghampiri ingatanku seakan tak bisa aku ingat lagi. Semuanya tergantikan olehnya, tergantikan oleh kelembutannya. Sedikit ada rasa ingin dimanja olehnya, bukan memanjanya. Tapi... ah sudahlah, kelihatannya memang suasananya sedang tidak mendukung.


“Maaf ya?”


“Aku ingin tidur.”


“Iya, sebentar saja,” pelukannya semakin erat, seakan tak mau membiarkan aku beranjak dari tempatku.


“Pusing.”


“Sebentar. Sebentar saja.”


Pelukannya membuatku sedikit susah untuk bernafas. Aku pegang lembut tangannya, agar bisa mengendurkan sedikit pelukan. Hufth, lega rasanya ketika bisa bernafas normal lagi. Tanganku masih diatas tanganya, lembut aku meremas tangan lembut ini.


“Mau bobo dulu? atau aku buatkan kopi?”


“Tidur dulu.”


“Iya.”


Dia kemudian melepas pelukannya. Aku bangkit, dia masih duduk bersimpuh. Matanya menyipit ketika dia tersenyum. Senyuman berbalas dengan senyuman, kemudian aku berjalan menuju kamar. Baru beberapa langkah, tepat di pintu kamar. Aku terhenti.


“Sedih, didatengi malah ditinggal tidur,” ucapnya, aku menoleh ke arahnya. Dia menggeser duduknya membelakangiku dengan memeluk kedua kaki yang tertekuk. Dagunya disandarkan diantara dua lutut yang berhimpit dan pandangannya lurus kedepan.


“Eh, i-itu.”


“Dicuekin lagi, hmm.”


“Hadeh.”


Setiap kata-kata yang aku dengar darinya seakan merubah setiap rasa lelahku, menjadi semakin lelah. Susah memahami perempuan, atau aku memang yang kurang peka? Aku kemudian mendekatinya, duduk bersila tepat di samping kirinya. Kusandarkan tubuhku pada kedua tanganku, menatap langit-langit kamar. Selang beberapa saat, kepalanya jatuh di lenganku. Ah, semakin pusing kepalaku.


“Maaf ya?”


“Maaf buat apa?”


“Tadi itu mmm...”


“Kenapa?”


“Tadi itu sebenarnya, aku yang mainin saklar lampu.”


“Heh?” aku langsung bangkit dan memandangnya.


“Ja-jangan marah dulu. Ta-tadi itu maksudnya bercanda, kamunya sih ditunggu lama,” belanya dengan bibir sedikit manyun dan kedua jari telunjuk yang berulang kali disentuh-sentuhkan.


“Nunggu?” dia mengangguk.


“He’em, aku kan punya kunci cadangan kontrakan. Makanya tadi pagi aku masuk ke kontrakan, sandalku juga aku masukan. Terus sembunyi di kamar temenmu, habis kamu masuk kamar mandi, ya itu... mainin saklar. Nakutin kamu, bercanda maksudnya tapi maaf ya?”


“Hadeuh.... iyaaaa,” jawabku singkat


“Kamu terlalu lama,” duduknya bergeser, sebentar dia mengankat kepalanya kemudian merebahkannya di dadaku. Satu tangannya meraih tanganku dan meletakannya di pinggang.


“Maaf ya...”


Pelan suaranya aku dengar, sedikit parau. Entah kenapa tiba-tiba dia berubah seketika itu. Ku rubah posisiku dan memeluknya. Seskali aku mengecup ubun-ubun kepalanya. Entah dinamakan apa hubungan antara aku dan dia. Telapak tangannya diletakan di dadaku, merambat naik ke leher. Lembut dia menariknya, kepalanya kemudian menengadah.


“Aku kangen.”


Begitu kata-kata yang keluar, benar kata Desy saat sebelum masuk kelas kemarin. Kalau dia pasti akan mengatakannya langsung. Kata-kata yang keluar sebelum bibirnya tertutup bibirku. Awalnya hanya bersentuhan, namun setelahnya, bibirku memagut bibirnya. Bibirnya kemudian terbuka, lidahnya bertemu dengan lidahku yang tertutup oleh kedua bibir kami yang bertautan. Satu tanganku kemudian mengelus lembut punggungnya, membuat tautan bibir kami semakin erat.


Kakinya kemudian bergeserak, terangkat sedikit, satu demi satu berpindah dia atas kedua pahaku. Tangannya meraih tanganku dan menempatkannya disela-sela antara paha dan betisnya, atau lebih tepatnya di bawah lututnya. Setelahnya, kedua tangannya merangkul leherku, melepas bibirnya dari bibirku. Dia kemudian tersenyum manis sampai matanya tertutup.


Perasaanku mengatakan, aku harus membopongnya berpindah dari tempat ini. Pelan kemudian aku bangkit, mengangkat tubuh ringan Ainun. Setelah aku bangkit, bibir kami kembali bertautan, hanya sebentar, lalu aku berbalik dan berjalan ke arah kamar. melangkah pelan menuju pintu kamarku. wajahnya sedikit menjauh dariku, matanya sedikit menutup ketika bibirnya tersenyum.



Dugh


“Awch.”


Srrt.... Brugh


“Aduh.”


“Eh, ma-maf.”


Tanpa aku sadari, kepalanya terbentur dengan kusen pintu. Terdengar sangat keras sekali. Reflek tanganku yang mengangkat kakinya langsung aku tarik. Maksudku untuk mengelus kepalanya, tapi betapa bodohnya aku. Saat tangan ku tarik dan mencoba mengelus kepalanya, membuat kaki yang sebelumnya aku topang dengan tangan tersebut jatuh diikuti dengan tubuhnya. karena tidak mungkun hanya satu tanganku yang membopong kepalanya saja.


Dia langsung jatuh terduduk, reflek aku langsung berjongkok hendak menolongnya. Bingung ketika harus memulai dari mana, kepalanya atau pinggangnya atau yang lain. Kedua tanganku hanya berhenti didepanku. Benar-benar bingung. Bingung yang lucu sebenarnya.


“Sakiiiit!!!! Egh, egh, egh, egh,” bentaknya dengan berberapa pukulan di lenganku tapi wajah serta bagian tubuhku tak luput dari serangannya. Setelah beberapa pukulan, dia kemudian mengelus kepala, satu tangan yang lain mengelus pantatnya. Wajahnya kesakitan memandangku.


“Huh! Sakit tahu!”


“Eh, ma-maaf, ndak tahu tadi. lha tadi itu kan, anu.”


Bugh...Satu pukulan melayang ke dadaku tanpa aku halangi. Aku tahu, aku yang salah jadi mau diapakan saja tetap diam. Wajahnya kelihatan jengkel sekali.


“Dasar gak romantis! Harusnya itu liat-liat! Huh!” bentaknya sekali lagi dan kemudian bangkit.


“Arghh i-iya ma-maaf,” satu tangannya mencubit pipiku keras hingga aku jatuh terduduk kebelakang.


Dia berbalik dan langsung menuju ke tempat tidurku. Langsung rebah di tempat tidur, dan memeluk guling membelakangiku. Aku masih terduduk dilantai dan masih terus memandanginya yang tak sedikitpun menoleh ke arahku. Dalam hati, aku tertawa terpingkal-pingkal. Bagaiaman tidak? Suasananya yang awalnya sudah benar-benar romantis, tiba-tiba berubah menjadi hal yang sangat konyol.


“Gak boleh ketawa! Huh!” bentaknya, sebentar dia membalikan badannya dengan mata melotok kearahku, wajahnya tampak marah sekali, kemudian dia membalikan tubuhnya kembali membelakangiku.


Langsung batinku berhenti berkata-kata, seakan dia tahu apa yang aku katakan dalam hati. Bentakannya langsung membuatku duduk tegak menghadap kearahnya. Bibirku kemudian tersenyum, pelan kemudian aku mengangkat tubuhku dan mendekatinya. Duduk di pinggiran tempat tidur tanpa ranjang. Sedikit ada tempat untukku, aku langsung merebahkan tubuh disampingnya. Tidur menatap langit-langit kamarku dengan seorang perempuan yang memunggungiku. Tangannya tiba-tiba bergerak, mencengkram kaos di perutku, ku genggam tangan halusnya. Dia berbalik menggenggam tanganku, kemudian menarik ke arah kepalanya.


“Masih sakit banget,” ucapnya tanpa menoleh sedikitpun kearahku.


Tingkahnya membuatku tersenyum, aku memposisikan tubuhku miring menghadap ke arahnya. Mengelus lembut bagian kepalanya yang terbentur. Walau tertutup kerudung, wangi sampo yang dia pakai tercium olehku. Pelan kemudian aku mendekatkan wajahku ke kepalanya, sedikit menyentuhkan bibirku, sentuhan lembut untuk wangi yang aku cium. Setelah bibirku menempel di kepalanya, tangannya kemudian menarik lembut tanganku dan meletakannya dipinggulnya. Aku langsung merapatkan tubuh, memeluknya. Kini ciumanku turun ketengkuk lehernya yang tertutup oleh kerudung.


Tangannya bergerak keatas, mengelus pipiku. Suasana yang semula membuatku gei, kini larut kembali, laruta dalam suasana yang dia ingin kan. Dia, Ainun, ah, mungkin memang dia selalu bisa membuat suasana menjadi seperti sekarang ini. Tubuhnya sedikit bergeser kedepan, berbalik. Bibirku tepat di keningnya. Kupeluk tubuhnya, kudekap erat. Kedua tangannya diletakan didadaku, sedikit medorong tubuhku untuk mengendorkan pelukan. Wajahnya kemudian menengadah ke arah wajahku, sedikit menggeser tubuhku, kini bibirku bertemu dengan bibirnya. Satu tangannya memeluk kepalaku, satu tangannya lagi melalui sela-sela leher dan bantal, ikut memeluk kepalaku. Menariknya, kuat.


Pelan aku rasakan sentuhan lembut jari-jari tangannya turun dari pipi, leher, lengan hingga ke pinggangku. Sentuhan yang membuatku merinding, nyaman. Tangannya kemudian bergerak, sedikit mendorong kebelakang, aku kemudian menggeser pinggangku sedikit kebelakang. Kembali tangannya bergerak ke perutku, mengelus pelan. Terasa ketika dia menarik kaosku sedikit ke atas kemudian mengelus perutku. sebagian tangannya masuk ke dalam celana, kemudian menggenggam kancing celanaku. Pelan dia menggoyang seperti memberi tanda kepadaku. Spontan, satu tanganku turun membantu membuka kancing celanaku.


Tiba-tiba dia melepas ciuman, memandang mataku sembari mengrenyitkan dahi.


“Mau apa?”


“Melepas kancing.”


“Dasar mesum. Siapa yang nyuruh buka celana?”


“Eh, i-itu ta-tadi.”


“Otak kamu itu mesum terus ya?”


“Huft... maaf.”


Srrkk... slrpp...


Sedikit kasar dia menarik kepalaku, mendaratkan bibirnya di bibirku. Cuma sebentar saja, dia langsung menariknya dan tersenyum ke arahku. Aku yang terkejut langsung membalas senyumnya. Bagaimana tidak membalas, senyumnya begitu indah.


“Bukahh,” bisiknya pelan sembari mendaratkan kembali bibirnya.


Tanganku kemudian turun ke bawah kembali, satu yang lainnya memeluk pinggangnya. Kancing celana terlepas, aku langsung menurunkan celana. Cepat tangannya langsung turun, menarik celana dalamku. Sedikit ku angkat pinggangku dan celana dalamku turun.


“Eghh... Nuuunhhh.”


Dia hanya membalasnya dengan senyuman. Pelan didorong tubuhku pelan hingga terlentang dan dia kemudian bangkit, dengan siku tangannya sebagai tumpuan di atas kepalaku, lembut dia mengelus rambutku. Satu tangan yang lain masih berada diposisinya, kadang mengelus, kadang mengocok lembut.



Kembali di tersenyum dan mendekatkan wajahnya, mencium bibirku. Tak sanggup aku membalas ciumannya, hanya bisa menahan rasa nikmat sentuhan-sentuhan lembut dibawah sana. Bibirnya kemudian turun, mencium lembuat leher dengan sedikit jilatan yang membuatku menggelinjang. Tak lama, tangannya yang semula mengelus rambutku menarik kaos ke atas disusul bibirnya yang turun dan bermain diputing dada dengan satu tangannya masih terus mengocok lembut.


“Nuuunhhh... ufth,”


“Kenapa?”


“Ufth...”


Dia tersenyum, tiba-tiba wajahnya menghilang dari hadapanku. Ah, benar-benar lembut sekali, hangat sekali. Aku mengangkat tubuh, duduk, melihatnya sedang mengulum. Memang tidak semua bisa masuk ke dalam mulutnya, walau hanya ujung sudah membuatku, nikmat. Satu tanganku mengelus pipinya yang tengah sibuk mengulum.


Plup..


“Ughhfthhh...” lenguhku.


“Capek yang,” ucapnya sembari medekatkan wajahnya ke wajahku.


Langsung aku menarik dan memeluknya. Ku pagut bibirnya, dia langsung memberikan balasan. Walau aku memeluknya tangannya masih terus mengelus lembut bagian bawahku. Dengan perlahan aku merebahkan tubuh mungil Ainun di sampingku. Kini aku berada diatasnya, kucium bibir lalu pipinya. Dia sedikit tersenyum dan terdengar lenguh pelan. ciumnku turun ke leher yang masih berbalut dengan kerudungnya membuatnya sedikit menggelinjang. Ah, wangi parfumnya begitu menyengat.


Aku terus mencium lehernya dengan tangan meremas lembut dadanya. Terdengar desah manja dari bibirnya, membuat semakin tegang. Tegang karena elusan dan juga desah manjanya. Aku turunkan ciumanku ke arah dadanya, lembut empuk. Ku benamkan wajahku di dada dengan kedua tangan menarik ke atas kaos yang dia kenakan. Tubunya sedikit terangkat, mempermudah untuk menaikan kaosnya. Aku angkat wajahku, sedikit kecewa. Masih ada kaos dalam yang dibelakang kaos yang dia kenakan.


Seakan tahu kekecewaanku, dia tertawa tertahan. Hanya bisa mendengus pelan, dan tanpa menunggu lama, langsung aku naikan kaos dalamnya hingga terlihat penutup payudaranya. Aku tarik ke atas, dia sedikit mengangkat tubuhnya, kedua tangannya kebelakang melepas pengait bra yang dia kenakan. Tak perlu waktu lama, aku langsung membenamkan wajahku diantara dua bukit kembar yang kenyal. Secara bergiliran, aku memainkan puting dan meremas kedua payudara indah ini.


“Ughh... mmmhh... sayanghhh... pelannhhh.”


Rintihanya membuatku semakin bersemangat. Sembari menikmati payudaranya, tanganku menarik ke atas rok yang dia kenakan. Kutarik ke atas, kemudian celana dalamnya aku tarik kebawah. Beberapa kali dia mengangkat tubuhnya dan membantuku untuk melepas celana dalamnya. Aku menggeser tubuhku, memposisikan ditengah-tengah kedua kakinya yang terbuka lebar dengan masih mengulum puting susunya.


“Pehlanh sayanghh,” kembali dia merintih, menyuruhku untuk tidak tergesa-gesa.


Tapi tak bisa, aku tak bisa pelan. Ini yang dulu membuatku hanyut dalam perasaannya. Membuatku dapat bersatu dengannya. Bibirku kemudian turun ke perutnya dengan kedua tangan mengelus lembut paha putihnya. Satu tanganku kemudian mulai bergerak ke tengah, bermain.


“Egh... sayang.. ke atas sedikit mmmhhh.”


Ku geser jaringanku ke atas, dan langsung membuatnya menggelinjang. Wajahku aku turunkan, lidahku kemudian aku julurkan mendekati titik kenikmatannya. Lidahku mulai bermain, dengan jari-jari yang tak tinggal diam, ikut mengelus disekitar ruang kenikmatannya.


“Sa-sayangghhhh... sudahhhhh eghhhhhh... saigghh... yanghhh...”


Tubuhnya menggelinjang beberapa kali, aku langsung menarik wajahku. Matanya terpejam, terdengar desahan dan lenguhan dari bibirnya. Nafasnya sedikit tidak teratur. Perlahan aku mendekatkan wajahku tepat diatasnya, menunggunya membuka mata. Beberapa kali dia mengambil nafas panjang untuk menormalkan pernafasannya. Pelan setelah nafasnya teratur, dia membuka matanya. Tersenyum. Kedua tangannya meraih pipiku, mendekatkannya dan kemudian bibirnya memagut bibirku.


“Masukan Yangh,” lembut dari bibirnya.


Aku tersenyum, kuturunkan pinggulku dan melihat kebawah tapi kedua telapak tangannya yang ada dipipiku menahannya. Satu tangannya kemudian turun, mengarahkan benda tumpul ke ruang kenikmatan. Tepat ketika ujung kepunyaanku didepan ruang kenikmatannya, tanpa menunggu aba-aba, aku langsung menekannya sedikit keras.


“Awmmmhhhh.....” rintihnya kesakitan, sedikit ada air mata yang mengembang dia sudut matanya.


“Eh, nun.”


“Pelaaaaan! Egh egh egh egh,” rengeknya sambil beberaa kali meumkul pelan bahuku.


“Ma-maaf, kan sudah pernah.”


“Iya sudah pernah, tapi punyamu itu besar. Sakit kalau masuk, pelan-pelanh.”


“I-iya, yang.”


Aku dekatkan wajahku diwajahnya, kutekan pelan pinggulku turun. Matanya terpejam, dahinya sedikit mengrenyit menahan rasa sakit. Memang sedikit seret tapi aku enak-enak saja, memang ada rasa nyeri kejepit tapi aku enak-enak saja. Ta-tapi, aku enak-enak saja. dan memang enak sekali rasanya ketika perlahan masuk. rasanya semua saraf tubuhku ikut merasakan gesekan antara kulitku dan kulitnya. Kudorong pelan, kutekan hingga semuanya tertelan olehnya.


“Pelan-pelan yanghh, kerasa penuh, agak nyerih.”


Aku mengangguk kemudian mulai menarik pinggulku dan menekannya secara perlahan. Lirih desah dan rintih aku dengar dari bibirnya. Saat pinggulku menekan, bibir bawahnya digigit seperti merasakan nyeri tapi bagiku terasa nikmat sekali. Awalnya pelan ketika memasuk dan mengeluarkan benda tumpulku, tapi karena terbawa suasana nikmat, aku semakin menambah ritme goyangan.


“Yaaanghhhhh... egghhhh.... ssshhhh.”


Goyanganku semakin cepat, bertambah lebih cepat lagi ketika melihat payudaranya yang naik turun seirama dengan gerakanku. Benar-benar indah sekali. Satu tanganku untuk menopang tubuhku dan satunya lagi memainkan paydaranya. Bibirku pun tak mau kalah, melumat dan memainkan puting susu. Ditengah kenikmatan yang aku rasakan, tiba-tiba tangannya mencoba menahan dadaku. Sepertinya dia ingin menghentikan gerakanku tapi tak bisa, aku sudah mulai terbang tinggi.


“Yanghhh... yanghhh....”


Hanya suara itu yang terdengar dari bibirnya. Aku bangkit dari dadanya, mempercepat gerakan pinggulku. Cepat dan stabil. Matanya terpejam sangat rapat, dahinya mengrenyit. Bibir bawahnya digigit kuat sekali.


“Yangghhhh... aku keluaaaaaarhhh...”


Tubuhnya melengking hingga kepalanya mendongak ke atas. Kedua kakinya memeluk pinggulku, kedua tangannya meremas bantal yang menggajal kepala. Lenguhnya sangat panjang, diakhiri tubuh yang mengejang beberapa kali. beberapa saat tubunya yang melengking kembali menghantam kasur. Nafasnya masih tersengal, matanya masih terpejam dan aku diam tersenyum memandangnya. Sedikit matanya terbuka, kemudian bibirnya melukis senyum kepuasan.


“Huuuffftth... istirahathhh dulu yangh,” sambil mendorong tubuhku untuk lepas dari tubuhnya.


“Ndak yang,” jawabku sembari kepalaku sedikit menggeleng.


“Capekhhh yanghh.”


Aku langsung memeluknya tanpa menggoyang pinggulku. Ku kecup pipinya berkali-kali dengan lembut. Ku elus kepalanya yang masih tertutup kerudung. Bibrnya terus tersenyum padahal baru saja aku menolak untuk melepasnya.


“Hash hash... lepasin kerudung sama kaosku Yang, panas.”


Tanpa menjawabnya, aku langsung membantu melepas kerudung dan kaosnya. kini tertinggal ditubuhnya hanya rok yang masih di sekitar perutnya. Dia kemudian berbisik kepadaku untuk berpindah di belakangnya. Dengan mengangkat salah satu kakinya, aku kemudian memposisikan diriku dibelakangnya tanpa melepas persetubuhan kami.


Aku peluk dia dari belakang, tapi tanganku tak bisa hanya memeluknya. Kedua tanganku dengan nakalnya meremas buah dada yang indah. Ku kecup tengkuk lehernya membuatnya mendesah keras membuat pinggulnya menekan kebelakang. Tanpa menunggu persetujuanya, aku kembali menggoyang pinggulku. Kembali aku mendengar suara desahan dari bibirnya. Tak pernah berhenti bibirnya untuk mendesah, malah semakin membuatku bertambah semangat menggoyang pinggul.


“Eghh Yanghhh... cepet dikeluarhhrinn eghh mmmhh ssshhh.”


Terdengar suara rintihnya ketika aku semakin cepat menggoyang pinggul. Tapi, aku belum merasakan rasa ingin segera menyudahi persetubuhan dengan Ainun. Masih ingin rasanya merasakan persetubuhan ini lebih lama. Beberapa kali dia meminta untuk segera menyelesaikannya tapi aku tetap saja belum bisa. Aku semakin cepat menggerakan pinggulku, semakin liar aku mencumbui tubuhnya.


“Yangghhhh eghhh mmmmhhh sakiiithhhh.”


Seketika itu rasa dalam tubuhku berubah. Kulit kelaminku menjadi semakin sensitif setelah rintihan terakhirnya. Semakin aku cepat menggoyang pinggulku. Pelukanku semakin erat diperutnya. Rintihannya semakin tidak tertahan, terdengar keras padahal suasana masih siang dan diluar bisa jadi ada tetangga. Tapi, aku dan dia, tidak mempedulikan.


“Yanghhh... eghhh keluaaaaaargghhhhh...”


“Aku juga yangh.”


Diawali tubuhnya yang mengejang terlebih dahulu kemudian disusul olehku yang memeluknya sangat erat. Beberapa kali aku rasakan menembakan cairan kedalam ruang kenikmatannya, hingga tubuhku menjadi sedikit lemas begitupula tubuhnya. Hening, hanya terdengar deru nafas yang terdengar. Nafasku, nafasnya sama-sama terasa berat. ku sentuhkan keningku di kepalanya, sembari mengatur nafasku.


Setelah nafas kami teratur, tangannya meraih kepalaku. Mengelus bagian belakang kepalaku. ku cium rambutnya yang terurai, sesekali aku mengelus perut. Ciumanku turun ke pundaknya yang berawarna putih bersih.


“Mmmh... banyak banget keluarnya yang.”



“Cup, ndak tahu,” jawabku sembari mengecupi pundaknya.


“Jarang dikeluarin ya?” aku tak menjawab pertanyaannya tapi hanya menjawab dengan pelukan.


“Sudah Yang dilepasin dulu dong, ngeganjel banget itu kamu.”


“Apanya?”


“Punyamu.”


“Punyaku?”


“Iiiih... kontol kamu!” ucapnya sedikit keras.


“Ih, jorok ngomongnya he he he.”


“Dasar, sukanya godain.”


Aku tarik pinggulku, dia kemudian membalik tubuhnya. Kepalanya diletakan di dadaku. Ku kecup rambut wanginya dan juga menyisir rambutnya dengan jari-jari. Wajahnya kemudian menengadah ke atas, tersenyum. Tubuhnya diangkat sedikit dan kemuian bibir kami bertemu.


“Dasar, sudah keluar masih saja berdiri. Gak puas?”


“Eh, puas yang, Cuma ya begitu itu yang. Nanti kan tidur sendiri.”


“Kalau belum tidur?”


“Mmmm...”


“Masuk lagi? Enak saja, Gede tahu, sakit hi hi hi.”


“Eh, he he he.”



“Hi hi hi... Dah ah yang, peluk dulu,” ucapnya lirih yang kemudian rebah diatas tubuhku. aku kemudian memeluknya.


“Kalau mau lagi, nanti Yang. Capek.”


“Iya sayang,” jawabku.


Aku masih tetap mengelus kepalanya dengan lembut. Nafasnya berangsur menjadi teratur. Sedikit aku menggeser kepalaku, kulihat dia sudah terlelap diatas dadaku. Ku geser tubuhnya hingga dia tidur miring menghadapku, kemudian aku peluk dengan kepalanya tepat didepan dadaku. Aku kembali mengelus kepalanya, pelan hingga aku sendiri terhanyut dalam lelahku. Dan tertidur.

.

.

.

Dengan celana pendek, aku berada di ruang tamu kontrakan. Duduk menunggu segelas teh hangat di sore hari. Asap rokok yang mengepul begitu banyak di ruangan ini. Hufth, dia bangun terlebih dahulu kemudian baru membangunkanku, setelahnya kami mandi bersama. Acara mandi yang begitu singkat.


Kletek..


“Maaf ya Yang? Hi hi hi hi,” ujarnya, kemudian duduk disampingku, rambut basahnya tanpa kerudung.


“Gitu tadi bisanya nawarin lagi?”


“Hi hi hi, udah ah Yang, gak usah dibahas lagi hi hi hi.”


“Eeeeh, jawab dulu,” paksaku


“Hi hi hi... tadi pagi itu udah kerasa sakit dikit perutnya, terus liat kalender, eh mau harinya.”


“Terus?”


“Iiih, kalau pas mau harinya kan biasanya pas pengen-pengennya.”


“Oooo...”


“Udah ah, lagian bukan masalah ‘pengen’ aja.”


“Terus masalah apa?” ucapku sembari memajukan wajahku, menengok ke arahnya.


“Kangen.”



Kata yang singkat dan tidak bisa dibalas. Dia kemudian duduk membelakangiku, bersandar. Tangannya menarik tanganku agar mengelus perutnya. Setahuku kalau pas hari pertama biasanya lagi sakit-sakitnya tapi kenapa dia terlihat santai sekali. Memang aku tadi juga lihat pas dia pakai ‘roti tawarnya’.


“Kok biasa saja, memangnya ndak sakit?”


“Sebenernya sakit, Cuma...” dia berbalik menoleh ke arahku.


“Cuma kalau aku sakit, aku takut kamu semakin ketakutan seperti tadi. sebenarnya ada apa? kenapa kamu bisa sampai seperti itu? dari mana kemarin? Pasti ada hal yang membuatmu ketakutan seperti tadi bukan? ada hal yang kamu lakukan... pasti.”


Aku terdiam ketika mendengar pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Kualihkan wajahku melihat kearah lain, sedikit menunduk. Suasana menjadi hening, keheningan semakin bertambah ketika aku mematikan rokokku. Sudah tak ada lagi suara asap yang keluar dari mulutku.


“Sayaaaang?”


“Eh... i-iya.”


Srrk...



Tanpa memberikan isyarat, dia langsung menarik kepalaku. Bibirnya mencium bibirku, melumatnya. Suasana menjadi meleleh, kedua tanganku langsung memeluknya. Ketika ciuman itu berakhir, aku langsung merebahkan kepalaku dipundaknya yang hangat. Ku pejamkan mataku dan terdengar senyum lirih dari bibirnya. Kadang terasa elusan lembut dikepalaku, sesekali dia menyisir rambut dengan jari-jarinya.


Lirih, suara yang keluar dari bibirku. Menceritakan kejadian yang baru aku alami kemarin. Aku tak bisa ketika bercerita dengannya hanya sepenggal-sepenggal. Semuanya, detail. Tapi aku masih tidka berani menyebutkan nama-nama yang ada dalam kejadian itu, aku masih tidak ingin Ainun ikut berada di dalamnya. Dia hanya cukup tahu kejadian yang menimpaku kemarin, tak perlu tahu yang lainnya. Hingga aku bercerita tentang bayangan masa lalu yang tiba-tiba hadir. Bayangan masa lalu yang begitu jelas aku dengar, suara-suara yang membuatku semakin takut sama halnya ketika berada didalam kamar mandi tadi pagi.


“Aku ada, karena kamu ada.”


“Eh.”


Bibirnya tersenyum, ketika wajahnya menunduk. Wajah anggunya dengan helaian rambut yang sedikit basah menjadikan senyumnya semakin indah. Jari-jarinya kemudian menyapu pipi dan bermain-main di bibirku.


“Masa depan ada juga karena ada masa lalu. Masa lalu tidak menentukan masa depan. Dulu kita pernah membicarakannya. Dulu kita pernah berbicara tentang masa lalu... masa lalumu. Mungkin kamu lupa sayang, mungkin kamu tidak ingat. Karena kamu menjalani hari-harimu, bersamaku ataupun tidak, kamu telah menjalani hari-harimu.”


Jarinya kemudian mengelus lembut setiap permukaan pipi dan berakhir di ujung hidung. Bibirnya masih tersenyum, merah cerah, walau tanpa lipstik.


“Masa depanmu ditentukan oleh hari ini, dan hari-hari yang telah dan akan kamu jalani, bukan masa lalumu. Masa lalu, sepahit apapun, bukan menjadi penghalang, bukan menjadikan kamu takut dan bukan menjadi ukuran untuk menilai seseorang. Tapi menjadikan kamu semakin kuat, semakin kuat menghadapi hari-harimu.”


“Sama seperti halnya aku, aku ada karena kamu, aku pun tak yakin bisa menemanimu selamanya. Jika kamu tidak yakin, aku akan menghilang tapi... Jika kamu yakin, aku akan menemanimu hingga akhir perjalanan hidupmu.”


“Agar aku tidak menjadi salah satu masa lalumu yang pahit,” lanjutnya.


“Aku yakin, aku yakin.”


“Terima kasih.”


Dia kembali mengelusku dengan lembut.


“Sayang, jika bayang-bayang itu hadir. Kamu harus tetap berdiri, karena banyak ingin kamu menjadi bagian dari jalan cerita mereka. teman-temanmu, keluargamu dan salah satunya aku.”


Aku semakin memeluknya dengan erat.


“Capek ya dengerin omonganku yang gak nyambung?” tanyanya dan aku jawab dengan sedikit menggelengkan kepala.


“Aku yakin kita akan menari bersama selamanya Sayang. Aku yakin. Tidur sayang, jangan lepaskan pelukanmu ya? aku masih kangen.”


Aku tersenyum mendengarnya. Pelukanku semakin kuat, semakin erat tapi elusannya semakin lembut terasa diawajahku. Sesekali aku mendengar sedikit erang sakinya, mungkin karena ini hari pertama dia mengalaminya. Lambat laun aku semakin laruta dalam kehangatannya, semakin lama, semakin aku mengantuk. Entah kenapa bersamanya selalu merasa nyaman.

.

.

.

Malam pun tiba. Dia sudah berdiri dibelakang pintu kontrakan yang masih tertutup dengan kerudung yang sudah menutupi kepalanya dan juga sandal yang sudah dia pakai. Berdiri dan tersenyum memandangku. Bukan aku yang menjadi pencuri tapi sekarang dia, dia yang harus berhati-hati ketika keluar dari kontrakanku. Aku mendekatinya dan memeluknya, bibir kami kemudian saling bertautan.


“Sebelum aku pulang, mau dikeluarin lagi?”


“Eh, emang bisa?”



“Pakai ini,” ucapnya sambil menunjuk ke bibirnya.


“Ndak usah yang, tadi dah seneng banget,” jawabku tersenyum.


“Iya... oia sebentar, mundur dulu sebentar Yang,” ucapnya. Aku kemudian melangkah mundur.


Plak... Plak... Plak...


“Auch... Yang kenapa... aduh... sudah, sudah,” aku berjalan semakin menjauh.


“Sini,” ucapnya.


“Eee...”


“Sini atau aku gak mau kesini lagi?” wajahnya sedikit marah.


Aku kemudian mendekat, dia memelukku dan tersenyum kembali. Bibirnya menempel kembali dibibirku. Hingga akhirnya terlepas.


“Jangan tanya, namanya juga baru kedatangan tamu. Wjaar kalau cewek butuh tempat melampiaskan marah. Hi hi hi.”


“Wedew...”


“Biarin.”


Dia lalu berbalik, menarik sedikit korden. Melihat keluar. Aku yang dibelakangnya hanya diam dan tak tahu harus berbuat apa. Setelah dia yakin suasana sepi. Dia menarik gagang pintu lalu membukanya perlahan. Setelah pintu terbuka sedikit, dan cukup untuk tubuhnya menyelinap keluar, dia berbalik. Mendekatiku dengan cepat dan mencium bibirku, aku terdiam dan sekilas senyuman yang terrekam olehku. Setelah aku sadar dari diamku, dia sudah berada diluar sana berjalan menuju rumahnya dan menghilang.


Aku buat segelas kopi dan kemudian duduk diteras kontrakan. Menyulut sebatang dunhill, menikmati malam. Entah apa yang akan terjadi esok hari tak mau aku pikirkan. Hanya diam dan menikmati langit malam. Langit malam yang hadir setelah aku berada dalam pelukan sayap malaikat. Benar-benar hari yang begitu indah. Malam semakin larut, beberapa batang aku habiskan, aku kemudian masuk dan mengunci pintu. Rebah didalam tempat tidur, masih ada bekas aroma parfumnya. Mungkin itu hanya halusinasi tapi sudahlah saatnya tidur.


Klinting


Ku buka aplikasi watsap.


temani aku selamanya


Iya, pasti


kok gak ngucapin met bobo?


Iya, met bobo Ainun Sayang :*


Met bobo Arta Sayang :*




Yakin​


Aku selalu yakin

Dan Yakin

Tidak akan pernah ada yang menghilang

Tidak satupun

Karena

Aku menyayanginya

Dan juga
 
Terakhir diubah:
Akhirnya Om Dh update juga,
tapi kog jgn komen yah apa mau 5 part langsung, seperti kata2 Om Dian,
Btw makasih Om Dh updatenya.
 
Komen dulu, bacanya tar malam aja. Obat malming kelabu.

Tks suhu don updatenya.
:ampun::ampun::ampun:

:dance::dance::dance::dance:
 
Akhirnya suhu nongol jg. Dah serasa setahun suhu. Ni cerbung pertama gw yg gw baca setelah wild love. Ttp semangat suhu. Jgn ampe sakit. Gw ttp setia menunggu karya suhu
 
berarti besok bagian winda...trus dina masuk nih...terakhir kyknya dini...atau boleh dini dulu...atau dini dina barengan...kan 1 kos bareng...
 
Bimabet
Terima kasih suhu dh update nya,,
Sungguh luar biasaaaaaa,,
:mantap::mantap::mantap:
Ditunggu update selanjutnya, semoga semua urusan rl nya lancar dan berjalan dengan baik, sehat selalu,,
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd