Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Pelangi di Sudut Sumatera

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terakhir diubah oleh moderator:
Akhirnya setelah satu purnama bertapa sang guru muncul juga!

Tolong segera guru sirami hamba ini dengan double post updatenya :ampun:
 
"Bila cinta menggugah rasa

Begitu indah mengukir hatiku

Menyentuh jiwaku

Hapuskan semua gelisah" aku memulai bait pertama sambil tersenyum menatap Mala disampingku. Mala tampak menikmati permainanku. Dia tersenyum dengan mata berbinarnya dan mengerti bahwa dia adalah yang kumaksud dalam lagu itu.


"Duhai cintaku duhai pujaanku

Datang padaku tetap di sampingku

Kuingin hidupku

Selalu dalam peluknya" Memasuki bait kedua aku semakin dalam menatapnya. Mala sudah tidak menopang dagunya lagi dan meletakkan kedua tangan diatas pangkuannya. Mala semakin terhanyut dengan lagu yang kunyanyikan. Tampak matanya yang seolah berusaha menerobos mataku yang menatapnya. Menerobos untuk membaca arti dari tatapanku. Menerobos untuk mencari jawaban atas kegundahannya.


"Terang saja aku menantinya

Terang saja aku mendambanya

Terang saja aku merindunya

Karena dia, karena dia begitu indah" diakhir lirik aku mengedipkan sebelah mataku, berusaha menggoda Mala yang makin terhanyut nyanyianku


"Duhai cintaku pujaan hatiku

Peluk diriku dekaplah jiwaku

Bawa ragaku

Melayang memeluk bintang


Terang saja aku menantinya

Terang saja aku mendambanya

Terang saja aku merindunya

Karena dia, karena dia begitu indah" sampai pada bait ini, entah sejak kapan, entah Mala yang makin mendekat atau karena permainan gitarku yang terlalu meresapi membuat posisiku mendekat kearah Mala. Yang jelas saat ini posisi kami semakin dekat. Kakiku sudah bersentuhan dan menempel kakinya. Tanganku bahkan agak sulit memainkan gitar karena menyentuh lengannya.


"Oo.. Oo.. Oo..

Begitu.. Begitu.. Indah.." aku sudah sampai pada akhir lagu. Pada lirik terakhir, aku menatap wajah Mala yang berjarak cukup dekat denganku. Matanya tampak sendu menatapku dan bibirnya tampak sedikit terbuka.


Sambil tetap tak melepaskan pandanganku dari Mala, Aku meletakkan gitar yang telah melakukan tugasnya dengan baik. Dengan perlahan tanganku lalu bergerak menyentuh lembut pipinya, mengusapnya perlahan, membelainya lembut, menikmati setiap mili kehalusan kulitnya. Mala perlahan memejamkan kedua matanya, menggerakkan kepalanya, seolah menyambut belaianku dan merasakan nyaman pada usapanku.


Tanganku lalu bergerak perlahan. Jari lincahku membelai lembut turun kearah bibirnya. Jariku menyentuh dan mengusap pelan indah bibirnya. Bibir tipis berwarna alami yang membuatku tergila-gila. Bibir tipis yang terasa lembut dan hangat. Mala hanya terdiam dan masih tetap memejamkan matanya. Dia bahkan tak menolak ketika jariku merekahkan kedua bibirnya.


Mata yang terpejam dan bibir yang setengah terbuka, seketika membuat darahku semakin panas. Dada semakin bergemuruh kencang. Setelah puas menyentuh dan bermain di bibir lembutnya. Tanganku lalu merayap keatas kembali membelai pipinya. Pipi yang saat ini tampak semakin merona merah. Tanganku lalu kembali bergerak keatas menuju rambutnya. Membelai rambut indah Mala yang kemudian membuatnya membuka kedua matanya, menatapku sayu.


Aku memberikan senyum lembutku yang juga dibalas dengan senyum manisnya. Sebuah senyuman yang membuat tanganku kembali bergerak. Tanganku perlahan bergerak turun ke leher jenjangnya. Menelusuri setiap sisi leher putihnya. Leher putih yang tampak bergerak indah ketika sedang menelan. Leher jenjang yang membuat setiap lelaki normal ingin menjamahnya. Mala sedikit menggeliat ketika jariku bermain disana karena dihinggapi rasa geli. Menyadari itu titik sensitifnya, semakin bersemangat jariku menggelitik dan mengusap tiap bagian lehernya. Membuat Mala semakin menggeliat dan kembali memejamkan matanya.


Merasa cukup dengan semua gerakan jariku di lehernya, tanganku lalu bergeser yang semula mengusap lehernya, sekarang bergerak kebelakang kepalanya. Mengusap tengkuknya dan membuatnya makin menggeliat karena geli. Membelai dan mengusap rambut-rambut halus yang ada disana. Rambut halus yang berdiri karena rasa sensitif dan geli yang dirasakannya. Aku lalu memegang lembut belakang leher Mala, menariknya perlahan agar mendekat kearahku. Perlahan dan sedikit demi sedikit mendekat ke wajahku. Semakin dekat, semakin dekat, dan tak ada gerakan penolakan dari Mala. Mala hanya pasrah mengikuti bimbinganku.


Saat jarak kami sudah sangat dekat, Mala membuka matanya dan menatapku sayu. Terasa hembusan nafasnya yang menerpa wajahku. Seolah tak sabar lagi, aku langsung menangkap bibirnya dengan bibirku. Menghisap dan melumat dengan lembut. Mala masih belum merespon setiap gerakan bibirku. Matanya kembali terpejam dengan nafas yang mulai memburu. Sedikit gemas, aku menggigit pelan bibir bawahnya. Lalu kembali melumat dan menghisapnya lembut.


Aku melepas lumatanku sambil kembali menarik gemas bibir bawahnya. Saat bibir kami terlepas, Mala membuka matanya dan menatapku. Aku membalas tatapannya sejenak lalu memindahkan pandanganku kearah bibirnya. Perlahan-lahan sambil tetap memandang bibirnya, aku mendekatkan kepalaku kearahnya. Saat sedikit lagi bibirku menyentuh bibirnya, aku sengaja menghentikan gerakanku. Menghentikan laju bibirku ke bibirnya. Menunggu respon dan reaksi darinya.


Entah karena sadar akan maksudku, atau memang Mala yang sudah mulai terbawa suasana. Mala lalu menggerakkan kepalanya kearahku. Mengarahkan bibirnya menuju bibirku yang memang sudah menantinya. Aku hanya diam tak merespon. Aku sengaja ingin meresapi dan menikmati permainan bibir Mala. Aku hanya membiarkan Mala mengeksplorasi dan berkreasi pada bibirku.


"ssshhh... aahhh.." Mala tampak benar-benar menghayati permainan bibirnya.


Mendengar desahan Mala dan hembusan hangat nafasnya, membuatku tak bisa lama-lama menahan diri. Gejolak dalam diriku semakin bergelora. Kedua tanganku kembali mulai bergerak. Mengusap, mengelus, membelai dan meremas gemas lengan dan punggung Mala. Langsung kulumat dan kuhisap dalam-dalam bibir Mala. Aku mulai memainkan lidahku. Menjilat dan mengusap bibirnya. Mengorek-ngorek rongga mulutnya semakin dalam. Lidahku juga menari-nari menggelitik langit-langit mulutnya. Membuat Mala makin mendesah dan menggeliat.

"aahh.. Sshh... Mmhh.. "


Lidahku masih menari-nari didalam mulutnya. Berusaha meraih dan mengait lidahnya. Menghisapnya kuat dan menjilatnya rakus. Mala mulai meladeni permainan lidahku. Lidahnya bergerak mengimbangi dan menyerang balik serangan lidahku. Lidah kami saling membelit, menjilat dan menghisap. Air liur kami sudah bercampur menjadi satu dan sebagian ada yang menetes di bibir kami. Kami layaknya orang yang kehausan, seolah saling berebut untuk menghisap liur kami.


Masih melanjutkan ciuman panas kami, kedua tanganku berusaha melepas cardigan yang dipakai Mala. Mengetahui itu, Mala meluruskan punggung dan tangannya mempermudah aku meloloskannya. Lalu tampaklah sebuah pemandangan indah didepanku. Lengan mulus dengan pundak indahnya. Membuatku menghentikan ciuman kami sesaat dan terpukau memandanginya. Ternyata benar dugaanku awal bahwa baju itu bertali kecil. Dan semakin terlihat indah ditambah dengan hiasan tali BH berwarna pink.


Seperti tak sabar, aku langsung menciumi lengan Mala. Mengecup dan menghisap sekujur kulitnya. Kemudian berpindah menuju lengan satunya. Menelusuri sekujur lengannya sampai kepundak. Aku benar-benar memuaskan semua rasa penasaranku pada setiap kulit Mala. Aroma tubuhnya semakin kuat di hidungku. Kepalaku lalu bergerak keatas, mengganti arah seranganku menuju lehernya.


"aaahh... Hmm.." Mala menggelinjang geli begitu lehernya kuserang.


"cup.. Cup.. Muach.. Muach.. " aku mengecup dan menciumi sekujur lehernya dengan rakus.


Mulutku bukan hanya menghisap dan mencium, aku bahkan mulai menjilat sekujur leher Mala yang tampak mulai berkeringat. Aku menjilat dengan gerakan dari bawah keatas. Dari sisi kiri, tengah, kanan, lalu kembali ke tengah dan ke kiri. Tak ada sedikitpun bagian yang kulewati. Aku ingin benar-benar menikmati setiap mili nya. Setiap sisi atau bagian yang membuatku gila selama ini.


"ohh... Hmm... aahh.." Mala hanya bisa mendesah dan kedua tangannya mengusap usap rambutku. Kepalanya yang menengadah membuatku semakin mudah menjelajahi lehernya.


Aku sejenak mengambil nafas dan menghentikan semua seranganku. Aku dan Mala hanya terdiam dengan saling menatap. Dada kami masih bergemuruh dengan nafas yang tersengal. Mala tampak begitu sensual dimataku saat ini. Wajah merona, sedikit berkeringat, bibir sedikit terbuka dan nafas tersengal. Benar-benar sebuah kombinasi yang menghilangkan akal sehatku.


Pandanganku lalu turun kebawah menuju dadanya. Dada indah dengan ukuran sedang yang tampak menantang. Semakin terlihat menggoda seiring dengan gerakan nafasnya yang tersengal. Setelah memandangi dadanya, aku lalu menatap Mala. Seolah meminta izin untuk menjamahnya. Mala hanya diam sambil menggigit bibir bawahnya. Semakin membuatnya sensual dimataku. Kesensualan yang ku artikan sebagai jawaban.


Aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah dada Mala. Dengan perlahan aku mengangkat kedua tanganku. Kedua tangan dengan telapak yang terbuka. Sedikit gemetar tanganku bergerak perlahan menuju sepasang dada Mala. Saat setengah perjalanan atau sedikit lagi akan menjamahnya, aku kembali menatap Mala seolah memastikan. Mala hanya menatapku sayu dan kembali menggigit bibir bawahnya. Membuatku semakin yakin untuk melanjutkan perjalanan tanganku.


"glek" aku menelan ludah


"emmhh..." Mala melenguh agak kuat saat kedua tanganku mendarat di sepasang dadanya. Dada yang kencang dan kenyal. Masih sedikit gemetar, aku mulai mengelus dan mengusapnya perlahan. Dengan lembut dan gerakan memutar mengikuti alur bentuknya.


"sshhh..." Mala mendesis dengan mata terpejamnya, kepalanya mendongak membuat dadanya semakin membusung. Membuatku semakin gemas dan mulai meremas sepasang dadanya. Terasa sangat kenyal walau terhalang baju dan BH nya.


Sambil masih meremas kedua dadanya, aku yang semakin bernafsu langsung membenamkan wajahku kedadanya. Mencium dan menghirup aromanya. Mengusap-usapkan wajahku disana. Mala memegang kepalaku, mengusap rambutku dan menekan kepalaku semakin membenam ke dadanya.


Cukup lama aku bermain dan memuaskan rasa penasaranku pada dadanya. Aku lalu mengangkat wajahku, menatap matanya dan kembali memagut bibirnya. Tak bosan-bosan aku menghisap dan melumatnya. Ciumanku lalu berpindah, menuju telinganya yang belum ku sentuh.


"oohh.." Mala menggelinjang kaget saat aku menciumi telinganya. Kedua tangannya kembali bergerak mencengkram rambutku


"eehmmm... oohh... Lang..." Mala makin mempererat cengkramannya pada rambutku saat aku terus menyerang telinganya. Telinga sensitif yang membuatnya makin menggelinjang. Kembali ku hisap dan kujilat daun telinganya. Menggelitik bagian belakang telinganya dengan ujung lidahku. Menciptakan sensasi geli dan merinding pada Mala.


Kedua tanganku sudah sejak tadi mengusap dan membelai kedua pahanya. Membuat rok gaunnya sedikit demi sedikit tersingkap dan memamerkan kedua pahanya yang ranum. Putih mulus dengan urat kehijauan. Kedua tanganku semakin masuk kedalam, membelai bagian terdalam dari sepasang pahanya.


"hmmpp.. Lang..." Mala tampak refleks mengatupkan kedua pahanya karena rasa geli akibat belaian tanganku. Tapi aku tak mau menyerah. Aku meningkatkan seranganku pada leher dan telinganya. Membuat kedua pahanya perlahan kembali terbuka. Tangan kiriku perlahan masuk menyelusup kebagian dalam pahanya. Sementara tangan kananku kuarahkan mencengkram pinggangnya memantapkan posisiku.


"oohh...Lang... aahhh.."


Tangan kiriku terus mengusap kedua belah pahanya. Sambil sesekali masuk membelai paha bagian dalamnya. Dengan sengaja aku menyentuhkan ujung jariku pada memeknya yang masih terbungkus celana dalam. Terasa empuk dan lembut disana.


"aacch.. aach.." Mala tampak menggelinjang setiap kali ujung jariku menyundul memeknya. Tubuhnya bergetar seperti orang yang demam.


"oohhh... hmmm.. Gilaaanngg..." panggil Mala sambil mengangkat kedua pipiku. Aku menghentikan aktifitas ku dan memandang Mala. Wajahnya sudah semakin merona dan merah padam. Matanya sayu dengan tatapan sendu. Bibirnya yang merekah dengan nafas tersengal.


"kamar kamu mana?" tanyaku dengan suara bergetar karena nafsu


Mala tidak menjawab, melainkan bangkit dan berjalan menuju sebuah kamar dengan pintu tertutup. Aku langsung ikut bangkit dan mengikuti langkahnya. Mala membuka pintu kamarnya dan masuk kedalam. Aku yang sudah tak sabaran langsung memeluknya dari belakang dan menyerang tengkuknya dengan ciumanku.


Mala hanya menggeliat dan mendongakkan kepalanya. Kedua tanganku mulai membelai dan mengusap kedua pahanya. Mengusap perlahan kearah atas. Terus keatas hingga menyentuh ujung celana dalamnya.


Mala seperti kaget dan tubuhnya tersentak. Dengan cepat tangan kananku menelusup naik kearah dadanya dan mencengkram disana. Bersamaan dengan tangan kiriku yang mengusap memeknya dari luar celana dalam. Mala makin menggeliat menerima rangsangan yang kuberikan. Tubuhnya tampak bergetar dan tak kuasa menerima sensasinya.


Aku menurunkan tangan kananku kearah perut halusnya. Menahannya agar tak terjatuh dan terus menyerang memeknya. Tangan kiriku tetap aktif dan konstan mengusap dan menekan disana. Membelai searah dengan garis vertikalnya. Menekan dan mengusap pada posisi itilnya.


"ooh... Lang... Hmm... Aaahh" Mala makin mendesah dan bergetar.


Tangan kananku terus mengusap dan mengelus perutnya yang rata dan terasa lembut. Tangan kiriku terus bermain diluar celana dalamnya.


"ohhh oh.. Lang.. Laaang.. Hmm...." Mala tampak bergetar getar dan mendongakkan kepalanya. Membuatku memindahkan tangan kananku dari perutnya menuju dada. Meremasnya mantap dari luar BH nya sekaligus menopang tubuhnya. Sementara kontolku yang sudah menegang keras, sejak tadi kutekan dan kugesekan pada bongkahan pantatnya.


"Lang. Laang.. Hmmpp sshhh udah.. oh..udah.. Mau pippiiss...Laaang.. "


Mendengar rintihan dan desahan Mala membuatku makin mempercepat semua serangan tanganku, belum lagi ditambah dengan seranganku pada leher, tengkuk dan telinganya. Membuat Mala makin menegang dan bergetar dengan kepala mendongak.


"ach.. ach.. ach... Pipis yaang.. Pipiiiss... aaacchh... " lenguh Mala bersamaan dengan tubuhnya yang bergetar hebat dan memek yang menyemburkan cairan nikmatnya. Tangan kanannya membelit kebelakang, kearah leherku sebagai untuk menopang tubuhnya. Sementara tangan kirinya mencengkram erat pergelangan tangan kiriku.


Beberapa saat tubuh Mala masih mengejang dan bergetar. Aku mendiamkannya agar dia bisa menikmati sensasi pengalaman pertamanya ini. Tangan kiriku terasa agak basah karena semburan cairannya. Begitu juga dengan celana dalamnya yang basah kuyub. Setelah agak tenang dan nafasnya yang mulai teratur, aku memapah Mala menuju tempat tidurnya.


Seperti orang yang kehabisan tenaga, Mala langsung ambruk telentang. Kedua tangannya terangkat memamerkan ketiak putih dan mulusnya. Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka. Rok gaunnya tersingkap memamerkan sepasang paha mulus dan celana dalam berwarna pink nya yang basah.


Aku masih berdiri disamping ranjang sambil memandangi sekujur tubuh Mala. Menikmati pemandangan indah yang ada didepanku. Dari ujung jari tangan, lengan, wajah, ketiak, dada, celana dalam, bentuk cetakan vaginaya, paha, betis, sampai ke ujung kaki. Kupandangi lekat-lekat setiap bagiannya sampai puas. Merekam setiap yang kulihat dan tak akan pernah kulupakan sedikitpun.


Secara perlahan, Mala membuka kedua matanya dan menatapku yang masih tertegun memandangi sekujur tubuhnya. Aku balas menatapnya sambil membuka kaos ku dan melemparkan ke lantai. Kulanjutkan dengan membuka celanaku dan hanya menyisakan celana dalam. Saat aku membuka baju, Mala masih menatapku. Tapi saat aku membuka celana, Mala tampak malu dan memalingkan wajahnya.


Perlahan aku mendekatinya. Membelai rambutnya dan mengecup keningnya. Mala lalu menatapku dan menggigit bibir bawahnya. Membuatku kembali gemas dan langsung naik keranjang menindihnya. Kami kembali berciuman dengan panas. Kedua tanganku menahan kedua tangannya agar tetap terangkat dan terbuka. Sementara kontolku yang menonjol di balik celana dalam, sudah menekan dan menggosok memeknya.


"hmmpp.. eemmmhh.. uuhh.. " Mala menggeliat ketika aku menyerang ketiaknya. Ketiak putih dan halus yang selama ini membuatku penasaran dan mengidamkannya.


Ketiak itu terlihat begitu indah dan sensual dimataku. Kusentuh dan sedikit ku cubit gemas daging lipatannya. Lalu menghirup aroma sedap yang keluar dari sana. Aroma kombinasi antara parfume, keringat dan birahi Mala.


"ssshhh.. udah Laang.. Jangan di situ... Malu.." ucap Mala yang berusaha menutup ketiaknya, tapi gagal karena aku menahannya dan terus menyerangnya.


Ah ketiak Mala, yah inilah ketiak Mala, ucapku dalam hati. Setelah puas menghirup dan menciumi keduanya. Sedikit gemas aku menggigit dan menjilatinya. Aku benar-benar memuaskan hasratku pada ketiak Mala.


"aah.. udah Lang.. geli.. Jangan di situ..." rengek Mala


Setelah puas menikmati ketiak Mala, aku bangkit dan duduk disamping Mala. Menatap matanya sambil memegang ujung bawah gaunnya. Seperti paham maksudku, Mala semakin dalam menatapku. Kembali dia menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk pelan. Sangat pelan.


Melihat gigitan bibirnya dan anggukan kepalanya, membuatku perlahan tapi pasti menyingkapkan gaun Mala keatas. Menampakkan gundukan memeknya yang dibungkus celana dalam pink basah. Lalu perut mulus dan rata dengan dihiasi lubang pusar kecil nan imut. Saat sampai diujung bawah dadanya, Mala bangkit dari tidurnya dan langaung membuka gaunnya. Meletakkannya kesamping dan kembali tiduran ke posisi semula.


Saat ini Mala berbaring hanya dengan di balut BH dan celana dalam dengan warna senada. Tubuh pasrahnya membuatku benar-benar terpukau. Aku hanya tertegun menikmati sekujur tubuh indahnya. Dari ujung kaki sampai kepala. Sebuah karunia Tuhan. Sebuah mahakarya dari Tuhan yang terindah.


Merasa dipandangi sekujur tubuhnya, membuat Mala malu dan berusaha menutupi celana dalamnya dengan kedua tangan. Dengan halus, aku menyingkirkan kedua tangannya. Lalu perlahan, kedua tanganku menyelinap kebelakang punggungnya. Berusaha membuka kait BH nya. Mala sedikit mengangkat badannya mempermudah gerakanku. Setelah kaitnya terbuka, Mala langsung melepas BH nya dan meletakkannya disamping. Dengan kedua tangannya Mala berusaha menutupi dadanya dari pandanganku.


Dengan lembut aku menyingkirkan kedua tangan Mala kesamping. Sehingga terpampanglah sepasang payudara indah didepan mataku. Sepasang payudara dengan ukuran sedang yang kencang. Sepasang payudara putih mulus dengan hiasan puting mungil berwarna coklat muda agak kemerahan. Sepasang payudara terindah yang pernah ku lihat.


Tangan kananku bergerak pasti menuju dada kirinya. Menyentuh lembut dan mengusapnya. Disusul kemudian tangan kiriku yang hinggap ke dada kanannya. Lalu mulai meremas secara perlahan. Kedua tanganku meremas dengan seksama dan hati-hati. Layaknya memperlakukan benda yang sangat berharga. Putingnya yang coklat kemerahan tampak sedikit mengembang bengkak akibat remasanku.


Sedikitpun mataku tak berpaling dari keindahan dadanya. Melihat dan menyentuh kedua dadanya secara langsung seolah memberikan rangsangan yang sangat besar kepadaku. Kontol ku langsung berdenyut kencang dan makin menegang.


"emmhh.. sshh... eehh.. " Mala mulai melenguh dan mendesis saat jariku menyentuh putingnya. Tubuhnya tersentak dan bergetar. Bahkan sedikit melengkung keatas, yang membuat dadanya makin membusung. Kedua pentilnya kubelai, ku usap dan ku pelintir perlahan.


" oohh.. Laaang.. emmhh.."


Aku yang sudah tak kuat langsung menindih tubuhnya. Lalu menjilati puting mungilnya secara bergantian. Mala makin mendesis dan menggeliat. Kepala mendongak dengan dengan kedua tangan memegang kepalaku. Mengusap rambutku dan mencengkram untuk melampiaskan sensasi yang dia rasakan.


Tak henti-hentinya lidah dan mulutku menjilat dan menghisap putingnya. Perlahan lalu makin cepat dan kuat. Kedua tanganku pun terus meremas secara konstan. Aku mencengkram kedua dadanya lalu membenamkan wajahku. Merasai halus dadanya di wajahku. Ku usap-usapkan wajahku terus menerus disana. Dada kenyal dan kencang yang belum pernah terjamah sebelumnya.


Aku merasa kontolku yang menggesek di memeknya terasa makin berdenyut. Boy, sabar Boy. Jangan buru-buru. Kita nikmati ini dulu Boy. Ucapku dalam hati. Gairah yang kurasakan benar-benar berbeda dari yang sebelumnya. Menghadapi biduan dengan goyang mautnya. Menghadapi isteri orang yang binal. Menghadapi seorang guru yang gila seks. Aku mampu bertahan dan meladeni mereka. Tapi entah kenapa, bersama Mala aku tak kuasa menahan gelora dan birahi yang sangat bergejolak.


Setelah cukup memuaskan hasratku pada dada Mala. Aku beringsut mundur kearah selangkangannya. Memandangi sehelai celana dalam pink basah yang membungkus gundukan daging nikmatnya. Nafasku makin memburu dan dada yang bergemuruh. Tanganku menyentuh kedua sisi celana dalamnya dan menariknya perlahan turun. Baru setengah jalan, baru sedikit susunan jembut yang terlihat, Mala menahan kedua tanganku.


Aku menatap Mala yang menatap mataku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan sebagai apa. Yang ada saat ini hanyalah rasa gairah yang memuncak dan segera ingin ku tuntaskan. Mala tak berusaha menahan saat aku melanjutkan menurunkan celana dalamnya. Celana dalamnya kuturunkan sampai sebatas paha. Hanya sebatas paha karena mataku sudah langaung terhipnotis dengan sebuah pemandangan indah di depanku.


"hmm hhaaahh" aku menarik nafas dan menghembuskannya. Terpampang dihadapanku saat ini memek seorang Mala. Mala Primaningtyas. Memek dengan bentuk yang sangat imut. Memek berwarna agak kemerahan dengan garis lipatan yang indah. Semakin indah dengan hiasan bulu jembut yang tipis dan rapi. Sungguh suatu kombinasi yang sangat memukau mataku.


Mataku hanya tertegun dan terus memandanginya. Memandangi setiap bagian keindahannya. Merasa malu karena terus dipandangi, Mala menutupi memeknya dengan kedua tangannya. Merasa pandanganku terhalang, aku menarik dan menggeserkan tangan Mala.


"malu.. Jangan diliatin terus.." ucap Mala manja


"indah banget. Saya gak percaya bisa ngeliat ini semua" ucapku lalu mengambil posisi berjongkok dan mendekatkan wajahku disana.


"mau ngapain... Malu.. Laang.." ucap Mala sambil berusaha menahan kepalaku mendekati memeknya.


Tanpa rasa ragu, tanpa rasa jijik dan tanpa menunggu lagi, aku mengendus dan menghirup aroma memek Mala. Tak kuhiraukan tangannya yang menahan kepalaku. Tidak lama karena tangannya yang menahan kepalaku perlahan lahan mulai mengendur. Membebaskan kepalaku yang semakin dekat dan terus mengendus dan menhirup aroma memeknya. Aroma sabun, parfume bercampur dengan aroma keringat dan cairan memeknya. Menciptakan kombinasi aroma yang membuatku semakin ketagihan.


Semakin ku endus dan kuhirup, semakin aku ketagihan dan ingin terus menikmatinya. Tangan kananku membelai lembut perut halusnya, lalu perlahan turun kebawah kearah jembutnya. Membelai jembutnya dan mengusapnya. Dengan gerakan cepat aku melepas dan melemparkan celana dalam Mala.


"cup.. cup.. cup.." aku mulai menciumi permukaan memek Mala.


"aacch... jangan Laang.. Joroook.. Jangaan.. Di gituin... Udah.." Mala tersentak dan berusaha menahan kepalaku.


Tapi aku tak menghentikannya. Aku malah semakin gencar menciumi setiap sudut dari memeknya. Memek indah yang membuatku tergila gila. Memek pertama yang membuat mulutku sangat ingin menjamahnya.


"sssshhh aahh... jangan Lang... Jangan disitu... Jorrokk.. " rintih Mala. Kedua pahanya menutup dan menjepit kepalaku yang terus menciumi memeknya.


Bentuk, aroma, warna memek Mala benar-benar membuatku gila dan hilang akal. Memeknya tampak berkedut dan perlahan mengalirkan cairan pelumas melalui sela-selanya. Tanpa rasa ragu, aku langsung menjilatnya. Menjilati lipatan memek Mala secara perlahan dari bawah ke atas.


Untuk lebih memuaskanku, kedua tanganku bahkan merekahkan lipatan memeknya. Memamerkan sebuah lubang kecil yang tampak sempit dan basah. Garis vertikal memeknya yang berkilau karena cairan birahi dan air liurku. Diatasnya menyembul sebuah daging kecil merah yang mengintip malu. Lidahku langsung mengarah pada itilnya. Menjilatnya lembut dengan ujung lidahku.


"ohh... eee..." Mala kembali bergetar saat lidahku menyentuh itilnya. Suara erangan Mala justru membuatku semakin bernafsu dan menggebu. Kujilati itilnya sambil sesekali menjilat kebawah searah garis memeknya. Terus kebawah menuju lubang memeknya yang tampak berkedut seperti bernafas. Lubang itu tampak mengalirkan rembesan cairan bening agak kental. Cairan pelumas yang membuat lidahku langsung menjilati dan menghisapnya. Mulutku bahkan berhenti dilubangnya dan menghisap kuat seolah menyedot semua cairan yang ada didalamnya, sambil jariku secara lembut terus menggosok itilnya.


"ooohh.. Laang... Udaah... Laaang.. Udah.. " rintih Mala


Aku terus melakukan seranganku menyadari tubuh Mala yang makin menegang dan bergetar. Lubang memeknya tampak kembang kempis meladeni hisapan mulut dan korekan lidahku.


"Laang.. Mauu.. Mauu.. Pippiiisss... Udaah dduluu Lang..." rintihan Mala justru seperti penyemangat di telingaku.


"pipis... Pipisss.. Pipiiissss yang.. Gilang... Sayyyaaangg..." Mala mengerang dengan tubuh menegang dan pantat sedikit terangkat. Aku melepaskan mulutku dari memeknya tanpa menghentikan gosokan tanganku pada itilnya.


Dengan jarak yang sangat dekat aku melihat lubang memeknya merekah lalu beberapa kali menyemburkan cairan kenikmatanya. Semburannya hampir saja mengenai wajahku yang terpana menyaksikan semuanya. Setelah cairan berhenti menyembur, aku melepaskan gosokan tanganku pada itilnya. Membiarkan Mala menikmati dan meresapi sensasi puncak kenikmatannya.


Memek Mala berkedut perlahan dan berangsur tenang. Begitu juga tubuhnya yang menegang saat klimaks menderanya tadi, sekarang perlahan mulai tenang, hanyabsesekali masih bergetar. Aku berdiri memandangi tubuh telanjang Mala yang masih tergolek lemah menikmati sisa sisa orgasme keduanya. Mata terpejam dengan mulut terbuka dan tarikan nafas yang sedikit tersengal. Aku mengecup lembut bibir Mala lalu membelai kening yang berkeringat. Perlahan Mala membuka matanya dan menatapku. Aku hanya tersenyum lalu mencium keningnya dan mengusap rambutnya yang juga basah karena peluh.


Diiringi tatapan sendu Mala padaku, perlahan aku menurunkan celana dalamku. Membebaskan kontolku yang sejak tadi menegang dan ingin bebas dari belenggunya. Sedikit malu-malu Mala melirik kontolku lalu memandang kearah lain. Kemudian sedikit melirik kembali lalu kembali membuang muka. Mala tampak masih malu untuk melihat kontolku. Kontol yang semakin menegang dan sekarang sedang ku kocok perlahan.


Dengan perlahan aku menggapai tangan kiri Mala dan menuntunnya kearah kontolku. Mala hanya menuruti tuntunan tanganku tanpa perlawanan. Tangannya sedikit kaku ketika ku sentuhkan pada kontolku. Telapak tangan halusnya hanya diam dan pasrah ketika ku gesekkan pada ujung kepala kontolku. Terus ku gesek dan ku kosokan telapak tangannya pada ujung kontolku.


Telapak tangan halus itu lalu ku bimbing untuk menggenggam batang kontolku. Agak gugup dan kikuk Mala menggenggamnya. Wajahnya masih berpaling tak berani menatap kontolku yang sudah berada dalam genggamannya. Secara perlahan aku kembali membimbing tangan Mala untuk mulai mengocok kontolku. Secara perlahan, terus menerus dan teratur. Setelah merasa tangan Mala bergerak sendiri, aku melepaskan bimbingan tanganku. Membiarkan dan mempercayakan kocokan kontolku pada tangan lembutnya.


"sssshhhh.. aah..." aku mulai mendesis nikmat


"oohhh... Malaa... iyaah.. terruuuss" aku meracau sambil menikmati kocokan tangan Mala.


Tangan Mala terus mengocok kontolku secara perlahan dan lembut. Aku melihat Mala sedikit melirik kearah kontolku. Hanya beberapa saat, lalu menatap kebawah karena masih merasa malu.


"eemhh.. iyah.. begitu.. ooh.. " aku melenguh yang membuat Mala kembali menatap kontolku.


" aaahh... heeh.. terusss. teruuss" aku mendesis dan menyemangatinya agar terus mengocok kontolku. Mala lalu menatap wajahku, memperhatikan setiap ekspresi nikmat di wajahku. Melihat wajahku yang sangat menikmati, membuat Mala seolah makin bersemangat. Mala terus mengocok kontolku dengan berirama. Diselingi dengan memperhatikan ekspresiku dan sesekali melihat kearah kontolku. Aku benar-benar menikmati kocokan tangan Mala pada kontolku, sampai beberapa kali aku terpejam karena nikmat yang menderaku.


Mala terus mengocok kontolku sambil memperhatikan ekspresiku dan tanpa malu-malu lagi menatap kontolku. Mala bahkan tampak memperhatikan dengan teliti setiap bentuk kontolku seolah melihat barang antik yang belum pernah dilihatnya.


Dengan nafas makin memburu, aku melepaskan kocokan Mala pada kontolku. Begitu lepas, aku langsung beringsut. Melebarkan kedua belah pahanya dan menatap memeknya. Sepintas aku menatap Mala lalu mengarahkan kontolku ke memeknya. Menyentuhkan kontolku keatas memek hangatnya. Ku pukul-pukulkan kontolku secara perlahan pada memeknya. Mengusapkannya pada rumpunan jembut rapinya. Aku lalu menggesekkan kepala kontolku pada itilnya. Itil yang merah dan mulai merekah indah.


"oohh.. ssshhh..." Mala kembali mendesis begitu kepala kontolku menyentuh itilnya.


Aku terus menggesekkan kepala kontolku lalu perlahan turun membelah garis memeknya kebawah. Kemudian naik lagi menuju itilnya dan kembali menggesek. Begitu terus aku lakukan hingga memek Mala kembali basah dan mengeluarkan suara becek saat kontolku menggeseknya.


Aku membasahi kepala kontolku menggunakan cairan memek Mala yang terus merembes keluar. Membuat kepala kontolku terlihat makin mengkilat. Suara becek karena gesekan kelamin kami, ditambah dengan suara desahan dan erangan Mala membuatku semakin bergelora.


Aku mulai intens menggosokkan kepala kontolku pada lubang memeknya. Menyambut tiap tetes rembesan cairannya dan berusaha mencari sebuah celah sempit disana. Lubang itu sekarang sangat basah dan licin, aku lalu memantapkan posisi kontolku disana. Menancapkannya sedikit dan membiarkannya disana.


Aku lalu memandang Mala yang tampak sangat pasrah pada deraan birahinya. Saat ini aku sudah siap untuk merenggut keperawanan Mala. Mala yang sudah tergolek pasrah dibawahku. Aku sadar 100% tentang semua ini. Aku bahkan ingat akan semuanya. Ibuku, Jenni, ujian dan juga segala resikonya. Aku bahkan ingat dan tau bahwa ini semua adalah dosa. Yah, aku sadar 100%, sangat sadar dan ini bukanlah khilaf. Jadi omong kosong jika ada yang melakukan ini semua dan bilang bahwa sedang khilaf. Bullshit!


Sambil terus menatap Mala, secara perlahan aku mulai mendorong maju kontolku. Mendorong maju berusaha mulai membelah daging memeknya. Mala saat ini juga sedang menatap mataku. Dan saat kontolku perlahan mulai membelah lubang memeknya, Mala mengernyitkan dahinya. Matanya bahkan sampai terpejam menahannya.


Menyadari Mala yang merasa sakit, aku menghentikan gerakanku dan memundurkan kontolku. Lalu perlahan kembali mendorong maju. Begitu terus untuk mengurangi rasa sakitnya. Sedikit demi sedikit setiap dorongan kontolku berusaha masuk lebih dalam.


"aaahhkkk" Mala sedikit berteriak dan menahan nafas ketika kepala kontolku telah berhasil masuk kedalam memeknya. Hanya sebatas kepala dan aku lalu diam tak menggerakkannya lagi. Aku membiarkan agar memek Mala lebih rileks dan membiasakan kehadiran kepala kontolku. Sambil menunggu Mala rileks, aku membelai kedua belah pahanya. Berusaha memberikan rasa nyaman padanya. Sambil menikmati rasa nikmat hangat dan basah pada kepala kontolku.


Setelah Mala lebih rileks, aku kembali sedikit menarik kontolku lalu mendorong kembali perlahan. Terasa sangat ketat dan sempit. Daging dan dinding memeknya terasa sangat kuat menahan laju kontolku. Sambil terus menatapku, Mala kembali mengernyit menahan sakit. Peluh mulai membasahi kening dan lehernya. Sambil saling bertatap mata, aku kembali menarik kontolku perlahan dan kemudian mendorong masuk kembali.


"aaahhkkk!" Mala kembali merintih kesakitan. Tubuhnya terasa kaku dan bergetar. Kedua tangannya mencengkram kedua lenganku kuat.


Aku kembali mendorong kontolku masuk kedalam. Lebih dalam sampai serasa membentur mentok sesuatu. Didera rasa nikmat dan sensasi yang luar biasa. Aku kembali mendorong kontolku, berusaha merobek dan menembus dinding penghalang tersebut.


"aaakkkhhh!!" Mala memekik dengan kepala mendongak dan mulut ternganga.


Melihat ekspresi Mala yang menahan sakit, seketika membuatku tertegun dan menghentikan gerakanku. Yang ada dalam penglihatanku saat ini adalah Mala yang sedang menderita karena rasa sakit. Menahan rasa perih yang serasa merobek tubuhnya.


Entah karena apa, apakah rasa kasihan? Tidak tega? Atau justru karena rasa sayang yang membuatku menghentikan gerakanku dan mencabut lepas kontolku. Begitu kontolku terlepas, kernyitan diwajah Mala yang tegang berangsur menghilang. Matanya masih terpejam dan berusaha mengatur nafasnya. Aku diam memperhatikan semuanya. Berangsur angsur, gelora birahiku dilkalahkan oleh rasa sayangku. Yah, rasa sayang. Aku yakin itulah yang menghentikanku.


Tak lama kemudian, Mala membuka kedua matanya dan menatapku. Aku lalu bangkit dan berdiri disampingnya. tersenyum padanya sambil membelai kening dan mengecup bibirnya. Mala hanya menatapku heran yang kubalas dengan menggeleng sambil membelai rambutnya.


Aku mengedarkan pandangan mencari pakaianku yang berserakan dilantai. Saat akan bergerak, Mala menahan tanganku. Kami kembali beradu pandang. Sedikit terkejut aku saat Mala menggerakkan tangan kirinya menyentuh kontolku. Mengusapnya perlahan dan mengurutnya.


Mala lalu mulai menggenggam dan mengocok kontolku. Cengkramannya terasa nyaman dan gerakannya terasa lancar. Ternyata Mala sudah mulai biasa dan bisa mengocok kontolku. Mala terus mengocok kontolku sampai sekitar lima menitan.


"tangannya pegel.." ucap Mala lembut tapi tetap tak menghentikan kocokannya


"ganti tangan kanan" jawabku berat dengan nafas memburu


Mala lalu duduk beringsut dan mengambil alih tugas tangan kirinya dengan tangan kanan. Saat ini kontolku yang di kocoknya berada tepat dihadapannya. Berjarak sangat dekat sekitar satu jengkal. Mala tampak tidak malu-malu lagi memandangi kontolku. Kepalanya tampak bergerak gerak seolah benar-benar memperhatikan dengan teliti setiap sisi dan bagian kontolku.


"oohh... oohh.." kontolku terasa makin nikmat saat Mala berinisiatif mempercepat kocokannya. Mengetahui inisiatifnya memberi dampak padaku membuat Mala makin berani berinisiatif. Kocokannya kadang di percepat, kadang diperlambat. Juga digerakkan kekiri dan ke kanan saat di kocok. Memberikan sensasi tersendiri pada kontolku.


"aaccch" aku tersentak saat merasa kantong bijiku disentuhnya. Saat kulihat ternyata Mala sudah memakai tangan kirinya untuk menyentuh kantong bijiku. Merasa menemukan mainan baru dan titik nikmatku, dengan wajah berbinar dan memperhatikan terus ekspresi wajahku, Mala makin intens menyentuh kantong bijiku sambil mengocok batang kontolku.


Mala makin kreatif saat dia berani menggunakan ujung jari telunjuknya untuk menyentuh dan membelai kepala kontolku yang mengkilat.


"sssshhh.. oohh.. " aku benar-benar menggigil karena nikmat yang kurasakan. Aku tak sanggup bertahan lebih lama jika begini terus. Usapan pada kantong bijiku, kocokan tangan pada batang kontolku yang diselingi usapan jari pada kepala kontolku, belum lagi tatapan mata dan ekspresi Mala. Membuat birahiku makin bergejolak.


"iyaah.. teruusss terusss.. jangan berenti.. " pintaku dengan suara bergetar sambil memegang belakang kepalanya dan menariknya mendekat kearah kontolku. Jarak kontolku dengan wajah Mala sudah sangat dekat, hanya berjarak sekitar 5 centi. Matanya semakin lekat menatap kontolku. Mulutnya sedikit terbuka seolah ingin menangkap masuk kontolku. Kocokannya semakin cepat dan intens.


"ooohh... terusss jangan berenti.. terusss kocok terusss.. yang cepettt" ucapku sambil menurunkan tangan kiriku menjamah dan meremas dada kanannya. Mendengar rintihan dan permintaanku, Mala makin mempercepat kocokannya. Matanya tak lepas terus lekat menatap kontolku.


"ssshh... emmhh.." Mala ikut mendesis menikmati


"terus.. teruuss.. Bentar lagi.. Mau keluar..." ucapku sambil terus mencengkram kepalanya dan meremas kuat dadanya.


"keluar.. keluar.. Keluarrr" teriakku


Croot! croott! croott!! aku menegang mencapai klimaks dan menyemprotkan sperma kentalku.


Mala terus mengocok kontolku bahkan saat kontolku menyemprotkan sperma kearah wajahnya. Mata Mala bahkan tak berkedip menyaksikan proses semburanku. Mala lalu menurunkan tempo kocokannya saat kontolku telah selesai menyemprotkan spermanya. Tampak sperma kentalku yang menghiasi wajahnya. Menghiasi rambut indahnya. Menghiasi keningnya, matanya, hidungnya, bahkan bibir tipisnya.


Dengan banyak sperma kental hampir di setiap bagian wajahnya, Mala menatapku sambil tersenyum. Sebuah senyum bangga karena berhasil memberikan kenikmatan kepadaku. Aku membalas senyumnya sambil mengusap lengannya. Sebagai ucapan terima kasih atas nikmat yang telah dia berikan.


Dengan masih memegang kontolku, Mala sedikit bergeser mengambil dua lembar tissu diatas meja. Masih dengan wajah penuh sperma, Mala membersihkan ujung kontolku yang masih mengeluarkan rembesan sisa-sisa sperma.


"hihihi... lucu ya bentuknya" ucap Mala sambil tersenyum membersihkan kontolku.


"kayak jamur, tapi ada urat-uratnya" ucapnya lagi sambil terus memperhatikan kontolku, bahkan di bolak balik meneliti setiap sudutnya.


"dah bersih" ucapnya kemudian sambil menatapku tersenyum


"makasih ya" ucapku lembut.


Mala lalu mengambil beberapa lembar tissu untuk membersihkan wajahnya. Mengetahui itu aku lalu menahannya.


"nanti dulu. Saya mau mandangin wajah kamu dulu. Seksi banget kalo kayak gini" ucapku sambil memandangi wajahnya.


"iiihh.. Kamu ini, malu ah" ucap Mala tapi menuruti permintaanku dengan tidak membersihkan wajahnya


"udah belum? lengket tau" lanjutnya kemudian. Aku hanya tersenyum mendengar dan melihat ekspresi imutnya, Mala lalu membersihkan dan menyeka spermaku di wajahnya. Sedangkan aku mengambil posisi tiduran sambil tersenyum memandangi Mala yang sedang membersihkan wajahnya.


"banyak bener keluarnya. Emang banyak gitu ya?" tanya Mala yang kujawab dengan anggukan kepala


"kenceng banget keluarnya ampe ada yang masuk mulut" lanjut Mala


"oh ya?" tanyaku antusias


"he em. Yang pertama keluar itu. kan deket banget, saya juga kaget gak tau bakal keluar" jawab Mala.


"trus?" tanyaku makin penasaran


"ya ketelen"


"kamu telen?!" tanyaku tak percaya


"iya. Kentel gitu, anget. Agak-agak gurih rasanya" jawab Mala


"baunya menyengat ya. Trus mirip kayak bau-bau santen" ucap Mala sambil sedikit mengendus tissu yang habis dipakai membersihkan wajahnya. Tissu itu lalu dibuang kedalam kotak sampah yang ada disudut kamar. Saat berjalan membuang tissu, aku hanya memandangi tubuh telanjang Mala dari belakang.


"geser" ucap Mala sambil naik ke atas ranjang dan tiduran disampingku.


Aku menggeser sedikit posisiku untuk memberinya ruang. Saat dia telah tiduran disampingku, aku langsung mendekapnya. Membenamkan wajahku diantara dada dan ketiaknya. Mala tidak keberatan dengan perlakuanku, Mala bahkan mengusap kepalaku memberikan rasa nyaman.


Usapan tangannya dikepalaku, aroma tubuh dan ketiaknya di hidungku, tubuh bugilnya dalam pelukanku, membuatku benar-benar tenang dan nyaman. Membuatku kemudian perlahan-lahan terlelap.


***


Entah sudah berapa lama aku tertidur. Saat aku terjaga dan membuka mataku, aku melihat Mala menopang wajahnya sedang tersenyum menatapku.


"hehehe udah bangun? Kamu lucu ya kalo lagi tidur, imut" ucapnya sambil masih terus menatapku.


"jam berapa ini? Berapa lama saya tidur?" tanyaku sambil melemaskan otot-otot tubuhku


"setengah jam" jawab Mala


"kamu gak tidur?" tanyaku yang dijawabnya dengan gelengan kepala


"ngapain aja dari tadi?" tanyaku


"ngeliatin kamu tidur" jawabnya


"eh?" aku tertegun mendengar jawabannya


"tidur lagi dong, saya masih pengen ngeliatin muka kamu kalo lagi tidur" ucap Mala


"dasar hehehe" jawabku sambil menggelengkan kepala sambil memunguti pakaianku dan memakai kembali. Setelah berpakaian lengkap, kami lalu keluar kamar dan duduk di sofa depan TV.


"saya mandi dulu ya. Lengket semua" ucap Mala


"iya"


"tunggu bentar ya" ucapnya lalu berdiri


"eh iya, hape kamu tadi kenapa? Rusak?" tanyaku


"gak tau neh. Abis di maenin Raka kok gak bisa kirim sms. Apanya ya?" ucap Mala sambil mengambil hape nya dan diulurkan kepadaku


"oh, biasanya sih nomer pusat pesannya itu" jawabku sambil mengambil hape yang diulurkan kepadaku. Tapi aku sengaja tidak langsung mengambil hapenya, melainkan menyentuh dulu lengannya baru kemudian bergerak mengusap kebawah mengambil hape di telapak tangannya. Mala hanya tersenyum melihat tingkahku, mungkin dia sudah terbiasa dengan semua sikap genitku.


"bentar ya" pamit Mala


"jangan lama-lama, nanti saya keburu kangen lagi"


"mulai deh..." sahutnya sambil berlalu pergi


Sepeninggal Mala, aku lalu memeriksa dan membuka-buka hapenya. Mengutak-utik pengaturan pesan dan memeriksa nomor pusat pesannya. Seperti dugaanku, ternyata nomor pusat pesannya sudah berubah. Aku lalu merubahnya kembali ke nomor pusat pesan yang benar. Dan untuk memeriksa apakah sudah beres, aku mencobanya dengan mengirim sms kepada Bonar.


To : Bonar 'IPS5'

"udah beres belum? Jam berapa kita pulang? Gilang. Bls cpt"


Terkirim! Nah berarti berhasil dan benar dugaanku jika nomor pusat pesannya yang bermasalah. Aku langsung menghapus pesan terkirimnya. Tak lama kemudian masuk pesan balasan dari Bonar


From : Bonar 'IPS5'

"udah, lg masak mie. Isi ulang tenaga dulu coy. Maklum aja, abis kerja keras. Dengkul ampe lemes"


Setelah membaca pesan dari Bonar, aku langsung cepat-cepat menghapusnya juga. Karena menurutku sms dari Bonar terlalu vulgar jika dibaca oleh Mala. Sambil menunggu Mala yang belum kembali, didasari rasa penasaran dan juga merasa Mala sudah sangat dekat dan percaya denganku, maka aku iseng membuka dan membaca sms masuk dan keluar di hape Mala.


Isi sms Mala kebanyakan berasal dari Ibunya dan juga para pengagumnya. Untuk para pengagumnya, ternyata tidak terlalu diladeni oleh Mala. Dari sekian banyak sms masuk yang kubaca, ada yang menjadi perhatianku. Yaitu sms dari seseorang yang ternyata cukup mendominasi jika dilihat dari jumlahnya. Dari waktu dan bahasanya pun menunjukkan bahwa mereka cukup intens berhubungan. Semakin di perkuat saat aku memeriksa sms keluar dan membaca balasan yang dikirimkan oleh Mala.


Jika puisi singkat dan kata-kata selamat pagi atau selamat tidur kuabaikan, maka memang tidak ada kata-kata sayang atau mesra di dalam obrolan mereka. Tidak ada juga kata-kata rayuan atau menggoda. Hanya berisi tentang saling bertanya kabar dan menceritakan kegiatan masing-masing. Tapi menurutku justru itu semakin menunjukkan kedekatan mereka, karena memcerminkan rasa saling percaya dan ketertarikan diantara mereka.


Seberapa jauh Mala mengenalnya? Seberapa dekat hubungan keduanya? Seberapa lama mereka sudah berhubungan? Seketika timbul berbagai pertanyaan dalam benakku. Seketika itu pula aku merasakan sakit dan sesak di dadaku. Seakan merasakan kehilangan sesuatu yang bahkan belum menjadi milikku.


Muncul rasa penyesalan dalam diriku. Seandainya saja aku tidak penasaran dan iseng memeriksa hape Mala, pasti aku tidak akan merasa seperti sekarang ini. Ah seandainya saja aku tidak membaca sms-sms itu. Pasti aku masih baik-baik saja sekarang. Aku bingung harus bersikap bagaimana sekarang. Apakah harus sedih atau justru sebaliknya.


Sisi egois dan lelaki ku menuntut untuk kecewa dan marah. Tapi sisi lain ku berusaha untuk menyadarkan ku dan tenang. Menyadarkan bahwa aku memang tidak pantas untuk seorang Mala, tenang karena aku mengenal siapa sosok orang yang berhubungan dengan Mala tersebut. Sosok seorang kakak kelas yang ku kenal lemah lembut dan baik hati. Sosok ketua OSIS dan ketua Rohis yang bisa menjadi panutan siswa lain. Sosok kebanggaan sekolah yang selalu mewakili sekolah mengikuti kejuaraan akademis. Sosok yang menurutku sepadan dan pantas bagi Mala.


Kembali aku membaca pesan masuk dari orang yang diberi nama 'Kak Arif' di hape Mala tersebut. Berusaha meneliti dan menerka apa yang terjadi diantara mereka, berharap aku salah membaca dan salah menduga. Tapi semakin aku membaca pesan masuk dan keluar, semakin berkecamuk pula perasaanku. Ditambah lagi dengan tidak ada satupun sms masuk atau keluar di hape Mala yang menanyakan tentang diriku pada Bonar. Apakah benar Mala menanyakan tentang ku seperti cerita Bonar? Atau hanya kebohongan Bonar yang sekedar ingin menyenangkan hatiku.


"haahhh..!!" aku menghela napas dan meletakkan hape Mala keatas meja. Aku sudah tak sanggup lagi untuk membacanya. Aku lalu mengambil gitar dan memainkannya, berusaha menenangkan gemuruh dalam hatiku. Tapi percuma, suasana hatiku sudah terlanjur kacau.


Kak Arif, dari namanya dia memang orang yang arif dan bijaksana. Sosok panutan dan contoh yang baik bagi siswa lain. Kakak kelas kami yang telah lulus dan saat ini sedang kuliah. Beberapa kali aku sempat melihat dia dan beberapa alumni lainnya datang ke sekolah. Dengan dandanan khas ala mahasiswa baru, tas gendong, kemeja kotak-kotak dan celana dasar. Masuk ke beberapa kelas untuk menceritakan pengalamannya di bangku kuliah dan memberikan motivasi kepada kami agar giat belajar.


Meskipun dia sosok yang baik dan ideal bagi Mala, tapi apakah aku rela melepaskan Mala untuknya? Merelakan bibir indah Mala di kecupnya? Kulit halus Mala di usapnya? Rambut indah Mala di belainya? Dasar egois! Kenapa aku melihat dari sudut pandang ku saja, bagaimana dengan Mala? Bagaimana dengan pilihan hatinya?


Tapi bukankah dari semua sikapnya kepadaku termasuk perbuatan kami tadi sudah membuktikan bahwa Mala memilihku? Tapi tidak juga, jika melihat sms dan intensitas hubungan mereka, itu sudah menggambarkan bahwa hubungan mereka dekat. Apakah Mala saat ini sedang bimbang? Sedang ragu menentukan pilihan? Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah benar dugaanku terhadap Mala selama ini? Yah, kurasa benar semua dugaanku selama ini.


"hehe maaf ya lama" ucap Mala yang datang sambil tersenyum mengagetkan lamunanku. Aku hanya melirik sepintas kearahnya. Mala tampak segar dan sudah mengganti pakaiannya. Sekarang Mala memakai rok pendek sedikit diatas lutut, dipadukan dengan kaos kuning pres body yang semakin membuatnya tampak berkilau.


"ya, gak papa" jawabku datar tanpa memandangnya. Aku lalu menyalakan sebatang rokok dan berdiri. Mala tampak heran dan seketika berubah raut wajahnya, menyadari perubahan sikap dan nada bicaraku yang dingin. Belum hilang rasa herannya, aku kembali berkata


"saya pulang ya"


"kamu kenapa?" tanya Mala pelan sambil melangkah kehadapanku. Memberikan kesegaran aromanya padaku


"gak papa" jawabku sambil tersenyum. Aku menahan nafasku, mencegah aroma Mala masuk kepernapasanku dan mengganggu akal sehatku. Tapi aku lalu menyadari bahwa perubahan sikapku ini bisa saja membuat Mala gundah dan kepikiran. Hal yang tidak kuinginkan karena takut akan mengganggu konsentrasinya dalam ujian besok. Bisa kacau jadinya jika seorang Mala gagal dalam ujian akhir dan gagal masuk kedokteran. Maka dari itu aku berusaha tersenyum tulus dan biasa saja, berusaha untuk tidak membuatnya cemas.


"kamu kenapa?" Mala mengulangi pertanyaannya. Mungkin menyadari bahwa aku berusaha menutupi sesuatu.


"gak papa, beneran. Ini udah hampir sore, sebentar lagi Raka atau orang tua kamu pulang. Saya gak enak kalo nanti mereka liat saya disini. Bisa di gorok saya sama si kumis, hehehe" jawabku sambil berusaha tetap tersenyum dan biasa saja.


"lagian besok kan kita ujian. Kamu pasti mau belajar kan" lanjutku sambil ingin menyentuh pipinya. Tapi entah kenapa ketika sedikit lagi tanganku akan menyentuhnya, tanganku tiba-tiba terhenti dan tidak jadi menyentuhnya. Seolah ada sesuatu yang mencegah dan menghentikan gerakanku.


Mala tampak terpaku melihat tanganku yang tidak jadi menyentuh pipinya. Mala kemudian menatapku seolah menanyakan dan mencari tahu penyebabnya.


"belajar yang bener ya, awas kalo sampe gak lulus. Saya jewer kamu, hehehe" ucapku yang tanpa menunggu jawaban dan responnya langsung mengambil gitar Santi dan berjalan menuju pintu. Sampai didepan pintu, aku kemudian berhenti dan menoleh kearah Mala yang masih tertegun memandangku.


"oh iya, itu hapenya udah bisa. Cuma nomor pusat pesannya aja kok" ucapku sambil tersenyum lebar.


Mala tampak seperti tersentak dan tersadar akan sesuatu. Seolah menyadari dan teringat akan sesuatu hal yang terlupa. Mala lalu memandang hapenya yang tergeletak diatas meja.

Tiit tiiittt tiiittt.. Bersamaan dengan itu, hape Mala berdering menandakan ada pesan yang masuk.


***
 
Terakhir diubah:
Fiuuuhh... Aku menghembuskan asap rokokku tinggi-tinggi, kembali berharap agar beban pikiranku terbang tinggi bersamanya. Saat ini aku sedang duduk didepan warung depan sekolahku. Tangan kanan memegang rokok, dan tangan kiri memegang gelas ale-ale dingin.


"udahlah.. Yang udah ya udah. Gak usah di pikirin lagi. Nyantai aja, pasti lulus kok kita" ucap Bonar yang duduk disampingku


"Kalo saya tadi dari no 1 sampe 20, saya hajar C semua. 21 sampe 40 saya A. Sisanya baru B semua" lanjut Bonar


"wuih, hebat.. Ada kemajuan temen saya satu ini. Biasanya zigzag, ABCDE trus ke DCBA" ucapku


"itu cara lama coy, sekarang beda. Mending pake cara baru ini. Kalo zigzag, kemungkinan benernya lebih sedikit"


"essay gimana?" tanyaku


"bersih coy. Kosong melompong. Mau diisi apa juga percuma. Punya kamu tadi saya liat penuh ya. Di isi apa? Mengarang bebas?" tanya Bonar


"enak aja mengarang bebas, itu namanya bakat coy. Kecerdasan itu sesuatu yang gak bisa dipelajari. Alami berjalan layaknya air mengalir" jawabku jumawa


"waw keren keren.. Berarti dari 10 soal essay, kamu bisa semua ya. Ngerti semua?" tanya Bonar


"gak"


"jadi jawaban kamu? Katanya gak mengarang bebas" tanya Bonar


"saya cuma nyalin soalnya aja. Saya pindahin ke lembar jawaban, biar keliatan penuh haha" jawabku


"sengklek"


"jangan salah anak muda. Walaupun cuma nyalin soal, setidaknya masih dapet penilaian dari segi kerja keras. Paling enggak tetep dapet nilai, upah nulis lah" jelasku


"masa' sih"


"iyalah makanya jangan dikosongin. nah ini yang kata saya tadi, kecerdasan itu sesuatu yang alami. Kamu gak kepikiran kan? Hahaha"


"bodo' amat" sungut Bonar


"eh?" seketika aku tertegun mendengar ucapan dari Bonar. Ucapan yang mengingatkanku pada seseorang.


"Coy, itu kok ada anak kelas 2 ya? Apa gak libur mereka?" tanyaku sambil menunjuk beberapa siswa kelas 2 yang baru saja keluar gerbang sekolah


"mereka kan ujian juga. Yang libur cuma anak kelas 1 aja karena kelasnya dipake" jawab Bonar


"berarti..." gumamku pelan sambil tersenyum.


"ah, lama amat sih keluarnya!" gerutu Bonar kesal sambil memandang gerbang depan sekolah.


"bukan mereka yang lama keluar. Kita aja yang kecepetan. Waktu ujian 90 menit, tapi setengah jam udah keluar. Emang nungguin siapa sih?" tanyaku


"Santi, mau kencan... Hehe" jawab Bonar lalu merebut gelas ale-ale ku


"katanya mau PS... Gimana sih" protesku


"malem kan bisa. Siang ini saya mau pacaran dulu. Harus pinter bagi-bagi waktu coy antara pacar sama temen, itu baru disebut cerdas" jelas Bonar


"trus nasib saya gimana? Masa' pulang? Kalo pulang ditanyain mamak kamu gimana?" tanyaku


"bilang aja, saya bantuin guru ngoreksi hasil ujian gitu. Atau bilang aja saya les bahasa inggris" jawab Bonar


"gak mungkin percaya lah. Kalo saya bilang kamu maen bilyar, dingdong atau PS baru dia percaya"


"makanya kamu jangan pulang dulu. Maen aja dulu. Nanti kita janjian ketemu dimana gitu, baru kita pulangnya bareng" usul Bonar


"maen PS ama siapa ya.." gumamku


"Asep aja tuh, Asep" ucap Bonar sambil menunjuk Asep yang sedang menuju kearah kami


"woy Sep! Lama amat baru keluar? Biasanya nempel dikit udah keluar" ucapku


"ayak naon sep? Kok mukanya lecek kayak bungkus pecel? Sini-sini cerita sama oom.." ucap Bonar


"soalnya susah-susah! Beda sama yang dipelajarin" gerutu Asep


"pelajarin siapa? Kayak belajar aja" ejek Bonar


"gitu mah udah biasa atuh Asep... Yang diajarin guru apa, contohnya apa, eh yang keluar apa. Terima nasib aja atuh Asep yang kasep" ucapku


"kisi-kisi juga beda semua" gerutu Asep lagi


"kisi-kisi di percaya! udahlah nyantai aja. Sekarang gimana kalo kita PS aja hah? Refreshing kita" ajak ku


"gak ah" jawab Asep


"yang jaga PS cakep Sep. Analog nya gede" bujuk ku


"enggak"


"kalo dingdong? Yang jaga koin seksi lho, bempernya gede. tipe kamu banget Sep" aku terus membujuknya


"males"


"bilyard aja gimana, bilyard. Yang nyusun bolanya together Sep" aku masih belum menyerah


"iya Sep, ampe luber-luber" Bonar menambahi


"huufft.. Bukannya gak mau. Tapi emang saya gak bisa. Saya lagi ada urusan" jawab Asep


"sok sibuk amat Sep, udah kayak artis ibukota aja" ejek Bonar


"emang urusan apa Sep kok kayaknya berat amat? Udah kayak ngurusin negara aja" tanyaku


"Mau bantuin teteh saya angkat-angkat" jawab Asep


"teteh yang mana?" tanyaku


"yang kiri apa yang kanan?" tanya Bonar lagi


"itu tetek!" sahut Asep kesal


"iya iya Sep, ngambek aja. Lanjut" ucapku


"bantuin teteh saya, teh Lia. Angkat-angkat barangnya. Teteh saya kan mau pindahan" ucap Asep


"pindahan kemana teh Lia" tanyaku lagi


"jambi"


"yang di selangkangan?" sahut Bonar


"itu jembi..." sahutku cepat sebelum keduluan Asep


"malem waktu kalian mau minep dirumah itu kan saya sama keluarga lagi ada acara, ya nikahan teh Lia itu. Teh Lia nikah sama Polisi. Suaminya ini dipindah tugas ke Jambi. Jadi ya terpaksa teteh saya ikut pindah juga kesana" jelas Asep


"teh Lia nikah Sep?" tanyaku kaget


"iya. Emang kenapa?" Asep bertanya balik


"eh itu, bukannya dia udah nikah? Udah punya anak dua?" tanyaku beralasan berpura-pura tak mengenal dekat teh Lia


"itu teh Lilis. Ini teh Lia, yang nomor dua" jelas Asep


"oh yang itu ya" ucapku pura-pura tidak paham


"Jambi jauh ya? Pasti bakalan jarang saya ketemu teteh saya. Sedih saya" ucap Asep


"iya Sep, saya juga sedih" ucapku lemah


"hah?"


"maksud saya, saya juga ngerasain kesedihan kamu. Saya pernah ngalamin juga waktu ayuk saya nikah trus pindah ikut suaminya" ucapku beralasan. Tak mungkin kan aku bilang jika aku sedih berpisah jauh dengan tetehnya yang telah merampas keperjakaanku.


"polisi bagian apa Sep? Kenapa kok pindah?" tanya Bonar


"Buser. Dimutasi gara-gara salah nembak orang" ucap Asep


"buset! Ngeri amat kakak ipar kamu Sep" sahut Bonar


"iya.. Glek" aku merinding membayangkan jika dengkulku di tembus timah panas olehnya


"huft.. oke deh, saya duluan ya. Pasti udah ditungguin ini dirumah" Asep berpamitan


"udah tau di tungguin dirumah, ngapain kamu mampir kesini" ucap Bonar


"mau minta rokok aja sebatang" jawab Asep sambil mengambil sebatang rokok Bonar dan melangkah pergi


"dasar rojali! Rokok jarang beli!" gerutu Bonar


"iya Sep. Salam buat teh Lia ya" ucapku


"ati-ati dijalan Sep. Oiya, jadi adek ipar jangan nakal Sep, kena tembak kamu nanti" teriak Bonar.


Ah teh Lia, ternyata dia sudah menikah dan harus pindah mengikuti suaminya. Teh Lia yang telah merenggut mahkota yang selama ini kujaga. Teh Lia yang telah mengajarkan arti surga dunia padaku. Seandainya saja aku masih sempat bertemu dengannya untuk sekedar mengucapkan salam perpisahan. Aku hanya bisa berdoa untuk mu Teh. Doaku untukmu, semoga engkau bahagia disana dan menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Terima kasih untuk semua kenangan dan kenikmatan yang telah engkau berikan biduanku.


Sepeninggalnya Asep, aku dan Bonar sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Menikmati rokok sambil memandang kearah depan, kearah gerbang sekolah yang perlahan mulai ramai. Bonar sudah pasti sedang menunggu pujaan hatinya, Santi. Sedangkan aku sedikit gugup mencari keberadaan dan kemunculan Jenni. Gugup karena lama tak bertemu dan gugup membayangkan reaksi Jenni nanti saat melihatku.


Terakhir kali aku menghubunginya, Jenni tampak sangat marah padaku. Kemarahan yang disebabkan karena melihatku membonceng Mala yang lewat didepannya. Kemarahan karena dia menelponku saat aku sedang 'bercengkrama' dengan Mala. Dan ditambah lagi kemarahan dikarenakan aku pergi selama seminggu tanpa kabar berita. Huft ternyata terlalu banyak alasan dia untuk marah padaku


Membayangkan tentang kemarahan Jenni padaku membuatku sedikit merinding dan berpikir keras mencari solusi mengatasinya. Aku sempat berpikir untuk berpura-pura sedang sakit. Agar lebih meyakinkan, aku akan membeli koyo cabe dan menempelkannya di kepalaku. Dengan demikian aku berharap Jenni akan kasihan dan tidak tega menyiksaku. Tapi kemudian ku urungkan semua rencanaku itu karena menyadari Jenni adalah cewek bertipe bengis yang tidak akan menaruh belas kasihan sedikitpun walaupun aku sedang sakit.


Tapi menurutku sebengis-bengisnya Jenni, dia tetap seorang wanita yang punya hati. Eh, punya gak ya? Anggep aja punya! Jika aku meminta maaf dengan tulus padanya, aku yakin dia pasti akan memaafkan. Cewek mana yang gak akan luluh jika ada cowok tampan yang memohon maaf dengan tulus. Sedikit cubitan atau tatapan tajam darinya akan kuanggap sebagai pengobat rindu saja.


"aah.. Malah keduluan dia.." gumam Bonar kecewa


"ntar sorean aja pulangnya ya. Kalo kamu duluan sampe rumah, bilang aja sama mamak saya, saya lagi kerumah kawan pinjem buku" lanjut Bonar sambil menepuk pundakku dan pergi meninggalkanku.


Aku yang belum paham maksud perkataan Bonar hanya diam memandanginya yang pergi. Aku lalu memandang kearah gerbang sekolah. Mencoba mencari tahu apa maksud dari perkataannya. Apakah Jenni sudah keluar? Sedang menuju kemari? Tapi ternyata bukan itu yang dimaksud Bonar dan membuatnya pergi. Aku melihat di seberang jalan sana, terlihat Mala yang sedang berdiri dipinggir jalan. Dari gelagatnya yang menoleh kiri kanan, menandakan jika dia ingin menyebrang jalan. Apakah dia ingin menghampiriku? atau hanya sekedar ingin ke warung tempatku duduk saat ini? Entahlah.


Sambil memandangi Mala yang ingin menyebrang jalan, aku kembali teringat akan isi dari sms di hapenya kemarin. Sms antara Mala dan cowok berkualitas yang sepadan untuknya, Kak Arif. Sms yang sekarang membuatku bingung bagaimana harus bersikap dan menghadapi Mala. Bingung dikarenakan negoisasi antara sisi egois dan rasional ku yang belum mencapai kata mufakat.


Sejak kejadian dirumah Mala kemarin, Mala beberapa kali coba menghubungiku lewat hape Bonar. Mengirim sms yang hanya kubalas sesekali. Dia juga menelponku, tapi tidak ku tanggapi lama dengan alasan tidak enak kepada Bonar menumpang hapenya.


Aku memandang ke depan, memperhatikan Mala yang tampak kesulitan dan takut-takut ketika ingin menyebrang jalan. Terlihat dari wajahnya yang cemas dan langkahnya yang ragu-ragu. Tangannya sedikit diangkat sebagai tanda meminta kendaraan yang akan lewat untuk mengurangi kecepatannya. Beberapa kali dia harus mundur kembali karena kendaraan yang tidak mau memberinya kesempatan lewat. Jiwa lelaki macho ku tergugah untuk bersikap pahlawan membantunya menyebrang. Nenek-nenek aja di tolongin, apalagi cewek kayak Mala. Tapi sisi lain diriku seolah menahan dan mengingatkanku untuk menjaga jarak padanya. Ahh semoga saja aku tidak dimarahi guru PMP ku.


Sudah kuputuskan, aku tidak akan mengintimidasi Mala dengan sikapku. Aku tidak akan menampakkan kesedihan atau kemarahan. Jika aku terlihat sedih atau marah, aku takut Mala jadi terintimidasi dan akhirnya terpaksa memilihku. Biarkan dia memantapkan hati dan memutuskan dengan tenang. Biarkan dia mengambil keputusan benar-benar berdasarkan pilihan hatinya. Sementara aku, aku akan bersikap biasa saja seolah tak tahu. Aku sangat mengerti dan paham kondisi yang dialaminya saat ini. Mala pasti sedang sulit menentukan pilihan, antara aku atau Kak Arif. Sama denganku yang sulit menentukan antara Mala atau Jenni.


Diiringi tatapan sembunyi-sembunyi dariku yang cemas dan khawatir, Mala akhirnya berhasil menyebrang jalan. Aku dan Mala menghela nafas lega hampir berbarengan. Sebuah proses menyebrang jalan yang panjang dan mendebarkan. Aku lalu sedikit meliriknya, berusaha mencari tahu tujuan langkah kakinya sekarang. Dari hasil lirikan mata tajamku, aku melihat saat ini Mala sedang melangkah kearahku. Melangkah dengan anggun seperti biasanya.


Aku yang gugup dan bingung berusaha untuk tidak melihat kearahnya, berusaha biasa saja dan berpura-pura tidak melihat kedatangannya. Aku lalu membuang puntung rokok ku yang sudah pendek, mengambil sebatang lagi dan menyalakannya. Bungkus rokok lalu ku letakkan diatas bangku sampingku, kuletakkan disana secara spontan sebagai tindakan pencegahan atau mencegah Mala duduk disampingku.


Sret.. Suara langkah kaki yang berhenti tepat dihadapanku. Aku masih tetap menunduk, menatap kebawah memandangi sepasang kaki yang dibungkus sepatu dan kaos kaki putih tinggi itu berdiri dihadapanku. Seperti yang sudah-sudah, aroma parfum nya yang sudah sangat ku kenal mulai memenuhi udara sekitarku. Sedetik, dua detik, tiga detik, tidak ada gerakan atau ucapan dari kami. Sepasang kaki itu masih diam mematung didepanku. Sementara aku masih tetap menunduk, memandang kebawah.


Secara perlahan aku lalu mengangkat kepalaku, memandang keatas dan kemudian beradu pandang dengannya. Mala menatapku dengan datar tanpa ekspresi. Matanya tampak memancarkan kegelisahan. Aku tersenyum kepadanya, berusaha untuk bersikap biasa saja.


Kami masih saling memandang tanpa berkata-kata. Mala tak membalas senyumku, masih memandangku datar. Melihat reaksinya membuat aku bingung harus bagaimana dan akhirnya hanya diam menatapnya. Tatapannya yang dalam seolah menusuk dalam hatiku. Seolah mencoba mencari sebuah jawaban akan kegelisahannya. Tatapannya membuatku tak sanggup untuk terus menatap matanya. Aku mengalihkan pandanganku, menoleh kiri dan kanan untuk menghindari beradu pandang dengannya. Dia cewek kedua yang bisa membuatku kalah dengan tatapannya.


Merasa jengah dengan situasi yang terjadi, aku lalu memandang Mala yang masih tetap pada posisinya dan terus menatapku. Aku kembali memberikan senyum manisku seperti biasa. Tapi entahlah senyum yang menurutku seperti biasanya, apakah juga terlihat seperti biasanya atau tidak dimata Mala. Mungkin saja Mala melihat bahwa senyumku tidak seperti biasanya.


Mala mulai bereaksi, dia menggerakkan tangannya menunjuk kotak rokok yang ada disampingku seperti meminta ijin untuk duduk disampingku. Padahal Kotak rokok itu memang sengaja kuletakkan diatas bangku untuk mencegahnya duduk disana. Aku yang paham maksudnya hanya mengangguk pelan, tapi tetap tidak memindahkan posisi kotak rokokku.


"hmmm.." Mala sedikit menghela nafas. Dia lalu mengambil kotak rokok itu dan duduk disampingku.


Aku mengacungkan rokok yang ku pegang, menanyakan jika saja dia keberatan akan asap rokokku. Mala hanya sedikit mengangkat bahunya, sebuah gerakan yang kuartikan bahwa dia tidak keberatan. Sambil merokok aku menunggu dan menduga-duga apa kira-kira yang ingin disampaikan olehnya. Apa yang ingin dikatakannya olehnya. Tapi lama menunggu, Mala masih tetap diam. Dia hanya diam menunduk sambil memainkan kotak rokokku yang di pegangnya.


Otak jeniusku bekerja keras, berusaha mencari dan berpikir sebuah kata atau kalimat yang ingin kuucapkan padanya. Entah karena otak ku yang sudah lelah bekerja saat ujian tadi, atau karena keheningan Mala, sehingga membuat lidahku menjadi kelu dan membisu.


"mengaku bujangan, kepada setiap wanita... Padahal, pacarnya segudang..!" sebuah lirik lagu yang dinyanyikan dengan suara cempreng dan sengau dari seseorang yang melintas disamping kami. Secara spontan, aku dan Mala melihat kearah orang yang menyanyikan lirik itu. Tampak Komarudin yang masuk kedalam warung sambil menatapku dengan tatapan sinis.


"huh!" Komarudin mendengus dan membuang muka kepadaku sambil seolah mengibaskan rambutnya. Ya Allah, kenapa lagi makhluk satu ini.


Melihat tingkah aneh Komarudin tersebut membuat Mala memandangku dengan penuh tanda tanya.


"mantan pacar" jawabku asal. Berusaha mencairkan suasana kaku diantara kami. Mala hanya tersenyum kecil mendengar jawabanku. Hanya sebentar, karena wajahnya kemudian kembali datar seperti semula


"bisa tadi ujiannya?" tanyaku yang hanya dijawabnya dengan anggukan lemah tanpa melihat kearahku.


"contekannya keluar semua?" tanyaku lagi yang kembali hanya di respon dengan senyum kecil. Kemudian hening lagi. Aku sudah berusaha untuk biasa saja dan membuka obrolan. Tapi Mala masih tetap diam dan menunduk. Kasihan Mala, dia pasti sedang bingung, bahkan sampai bingung ingin berkata apa denganku. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.


Aku memutuskan untuk ikut diam dan menikmati rokok ku saja, tak mau mengganggu Mala dan membiarkannya dengan jalan pikirannya. Aku tak mau memaksa Mala untuk membahas mengenai isi SMS di hapenya kemarin. Selain takut karena belum siap mendengar kenyataan yang ada, aku juga merasa belum siap merasakan sakit dan sesak di dadaku. Sakit karena menahan kecewa dan cemburu. Aku bahkan berharap Mala tidak membahasnya saat ini. Disamping itu aku juga belum siap jika ternyata dia memilihku. karena yang ku tau, aku juga belum menentukan pilihan. Saat ini aku hanya berharap dia bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.


Tapi situasi canggung seperti ini tidak bisa dibiarkan terus, melihat Mala yang tampak muram seperti ini membuatku merasa sedih dan kasihan kepadanya. Aku tak ingin membuat Mala muram, aku ingin melihat Mala seperti biasanya. Mala yang selalu tersenyum dan menebarkan kebahagiaan.


"angkat kepala kamu" ucapku pelan


"hmm?" Mala melirikku heran


"angkat kepala kamu. Tegakin badan kamu" lanjutku


"kenapa?" tanya Mala yang akhirnya bersuara


"saya mau liat Mala yang biasanya. Mala yang anggun. Mala yang selalu senyum. Mala yang menebarkan kebahagiaan buat orang lain. Bukan Mala yang murung, dengan wajah tertunduk" jawabku


"apa kamu sadar kalo daritadi kita diperhatiin banyak orang?" lanjutku.


"enggak. Kenapa?" tanya Mala heran sambil mengangkat kepalanya dan menegakkan posisi duduk tubuhnya menuruti permintaanku. Mala lalu memandang berkeliling, memperhatikan sekitar kami yang ternyata sudah ramai


"kamu liat kan. Murid-murid yang laen pada ngeliatin kita. Gak yang cewek, gak yang cowok pada ngeliatin kita semua. Sampe-sampe cuma kita berdua aja yang duduk disini, gak ada yang berani duduk dikursi panjang kita ini kan" ucapku


"iya. Kenapa?" tanya Mala


"penjelasannya begini, yang cewek pada ngeliatin karena iri sama kamu. Iri karena kamu beruntung banget bisa duduk berdua dengan saya yang rupawan ini. Sementara yang cowok, pada ngeliatin karena iri sama saya yang jadi pusat perhatian seluruh cewek yang ada disini" jelasku


"hehehe.. Dasar.." Mala tertawa lalu tersenyum sambil menggelengkan kepala mendengar penjelasan dariku yang narsis


"teteplah gitu.. Jangan pernah berubah" ucapku sambil menikmati senyum dan wajah ceria Mala


"hmm?" Mala tampak heran mendengar ucapanku


"jangan pernah nunduk lagi, selalu angkat kepala kamu. Jangan sembunyiin wajah kamu dibalik rambut. Jangan ilangin senyum yang ada di bibir kamu" ucapku, Mala tertegun mendengar ucapanku


"Perlu kamu tau, wajah ceria kamu merupakan kebahagiaan buat orang lain. Senyum manis kamu adalah semangat buat orang lain. Jadi, jangan pernah kamu ilangin itu semua. Kayak kata saya tadi, kamu adalah Mala. Mala yang selalu senyum, yang selalu menebarkan kebahagiaan buat orang lain" ucapku. Mendengar ucapanku itu, Mala lalu tersenyum.


"apapun masalah kita, apapun beban kita. Kita harus tetep tersenyum" lanjutku


"kayak kamu ya? Selalu kamu tutupin dengan bertingkah konyol dan ngebanyol" sahut Mala


"hehehe Saya cuma gak mau ngebagi kesedihan dan beban saya ke orang lain. Kesedihan saya dan kegelisahan saya adalah beban saya. Jadi cukup saya aja yang tanggung, gak perlu orang lain nanggungnya juga. Akan sangat keren menurut saya seandainya, sesedih dan sesulit apapun masalah kita, tapi kita masih bisa ngasih kebahagiaan buat orang lain. Keceriaan buat orang lain" jelasku


"hmm.. Seandainya aja ada orang yang kamu percaya buat ikut nanggungnya, pasti dia orang yang beruntung ya" gumam Mala


"beruntung atau gak nya kita, itu semua tergantung dari usaha dan cara pandang kita aja sih"


"maksudnya?"


"maknanya luas sih. Tergantung kamu gimana mengartikannya"


"jujur saya salut deh sama kamu. Dibalik sikap sama kelakuan kamu, ternyata kamu tuh cukup dewasa juga pola pikirnya. Sedikit bijak lah. Hehehe si konyol yang pemikir" ucap Mala


"haha masa' sih? Padahal sebenernya... " aku tidak melanjutkan kata-kata ku karena aku melihat Komarudin yang keluar dari warung. Aku akan menunggunya lewat dulu baru melanjutkan ucapanku.


Tapi ternyata bukannya lewat dan berlalu, Komarudin malah berhenti di depan kami. Dia tampak kesulitan membuka bungkus chiki nya. Aku yakin dia hanya berpura-pura, tujuan utamanya pasti ingin menguping obrolanku dengan Mala


"semalem waktu saya telpon itu, kamu beneran udah ngantuk?" tanya Mala


"eh? Iya" jawabku pendek sambil melirik dan mewaspadai Komarudin yang masih belum berhasil membuka chiki nya


"padahal masih sore. Biasanya aja kamu tidur larut malem kan" ucap Mala lagi yang belum menyadari keberadaan seorang penguping didepannya


"oh iya" jawabku pendek dan berhati-hati


"kenapa? Di sms juga balesnya pendek-pendek" tanya Mala lagi


"oh sebenernya itu karena saya gak enak aja ama Bonar. Hapenya kan dipake dia smsan ama Santi. Takut ganggu kemesraan mereka" jawabku pelan lalu memperhatikan Komarudin yang masih berusaha membuka chiki nya dari bagian atas


"iya juga ya. Emm.. tentang yang kemaren..." ucapan Mala tapi terputus olehku


"bentar" potongku cepat. Aku memotongnya karena aku khawatir jika Mala membahas masalah kemarin dan di dengar oleh Komarudin. Bisa berabe urusannya jika Komarudin melaporkannya pada Jenni.


"sini saya bukain!" ucapku sambil berdiri dan merebut chiki dari tangan Komarudin


"susah amat sih dari tadi! Gak harus dari atas sih! Gini kan bisa neh!" ucapku sambil merobek bungkus chiki dari samping


"nah udah neh! Sana tinggal makan" lanjutku sambil menyerahkan kembali chiki yang sudah ku buka. Tak lupa ku cicip dua buah.


"iih.. apaan sih! Sok care banget! Maen comot aja lagi" gerutu Komarudin


"itu upahnya! Bukannya terimakasih, malah sewot" jawabku


"hadeh.. Orang aneh begini kok ya pada suka" gumam Komarudin sambil melirik Mala lalu melangkah pergi


"perasaan, anehan dia ya" ucapku pada Mala


"sama. Sama-sama aneh kalian itu. Hehehe.. Lagian ngapain juga kamu ngurusin dia buka chiki" ucap Mala


"saya gregetan aja ngeliat cara dia buka chiki. Kan gak harus dari atas sih. Sobek aja dari samping, lebih gampang. Mana jarinya sok lentik lagi, padahal jempol semua"


"hehehe.. yah, itulah kamu ya. Selalu perhatian dengan hal-hal kecil. Dan selalu peduli sama orang lain. Walaupun caranya dan penyampaiannya semau kamu. Orang luar gak akan paham sama niat baik kamu. Cuma orang yang deket dengan kamu yang paham sama kamu. Kamu itu... Apa ya.. Unik" ucap Mala


"unik? Hehe unik ya? Apa kamu tau kalo unik itu langka dan mungkin cuma ada satu-satunya. Dan unik itu gak bisa dibandingin dengan yang lainnya" ucapku


"hmm?" Mala langsung tertegun mendengar ucapanku. Ah, apakah dia menangkap poin apa yang ingin kusampaikan tadi? Ah sial, padahal aku sudah memutuskan untuk tidak mengintimidasi atau mempengaruhi jalan pikiran dan pilihan hatinya. Kenapa juga aku harus berkata seperti itu. Semoga saja dia tidak menangkap poin yang ingin kusampaikan. Bahwa jika memang aku unik, atau jika memang dia menganggap aku unik. Seharusnya dia tidak harus bingung menentukan pilihan. Dan juga tidak harus repot membandingkan diriku dengan si pemuda ideal nya.


"ngobrol doang, minum enggak. Apa gak haus!?" celetuk seseorang yang lewat disamping kami dan masuk kedalam warung. Aku dan Mala yang sedang tertegun kaget mendengarnya. Berbarengan, aku dan Mala melihat kearah suara tadi.


"kayak kenal ya" ucapku pada Mala


"dari kumisnya sih gak asing kayaknya" lanjutku sambil berpikir keras


"itu ayah.." sahut Mala sambil tersenyum dan memukul lenganku pelan


"hah? Ayah kamu!? Saya masukin baju dulu, biar rapi" ucapku sambil cepat-cepat ingin merapikan bajuku


"iih.. Udah biarin.. Gak papa.." ucap Mala tersenyum dan menahan tanganku untuk menghentikan gerakanku


"rambut saya gimana rambut saya? Udah rapi belum" tanyaku sambil merapikan rambut dan membasahi alisku dengan ludah.


"iih.. Apaan sih kamu ini. Jorok" ucap Mala yang tersenyum melihat kegugupanku


"dasi saya gimana dasi saya? Tolong kencengin, rapihin" lanjutku


"mbak, ayo pulang. Ditunggu ibu tuh" ucap Raka, adik Mala yang ternyata sudah berdiri didepan kami sambil menunjuk sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Tampak Ibu Mala duduk didalamnya dan melambaikan tangan kearah kami.


"itu dadah sama siapa? Sama saya bukan? Saya dadah juga gak neh?" bisikku pada Mala


"hehe iiihh.. kamu ini..." ucap Mala gemas dengan senyum manisnya


"lain kali jajan! jangan cuma ngobrol!" celetuk Ayah Mala yang keluar dari warung dan berlalu kearah mobilnya


"i.. iya pak.. om.. Eh pak" jawabku gugup


"Kak Gilang, mbak Mala nya saya bawa pulang dulu ya" ucap Raka padaku


"oh iya. Mau kemana, tumben di jemput?" tanyaku


"kebetulan lewat, jadi sekalian jemput. Hehe maaf ya ganggu" ucap Raka


Tin..! Tin..! Tiiiinn...! Si kumis menekan klakson mobilnya tidak sabaran. Hmm dasar si kumis!! Kerok juga tuh kumis!


"saya pulang ya" pamit Mala padaku sambil menyerahkan kotak rokokku yang masih di pegangnya


"iya. Ati-ati ya" jawabku yang dijawabnya dengan anggukan kepala dan senyuman manis.


"sampe ketemu besok?" ucap Mala yang kujawab dengan anggukan kepala. Mala lalu melangkah pergi menuju mobil dimana orang tuanya telah menunggu.


"belum puas ngobrol ya?" bisik Raka padaku


"eh? Hahaha lumayan" jawabku


"iya.. Keliatan dari mukanya hehe. Maen aja kerumah Kak, masalah Ayah gampang..." ucap Raka sambil mengacungkan jempolnya


"sip sip! Bisa diatur"


"eh kak, masalah yang berantem waktu itu udah beres, aman" ucap Raka


"oh itu. Aman gimana?"


"saya udah cerita semua sama ayah. Mbak Mala juga bantu jelasin. Makanya langsung diberesin sama ayah. Biar gak panjang urusannya. Mereka gak akan nuntut atau macem-macem lagi kok. Pokoknya beres"


"wah sip lah kalo gitu. Hehehe makasih ya" ucapku sambil menepuk pundaknya.


"iya. Hebat ya kak Gilang, bisa menang lawan empat orang gitu. Ayah sempet gak percaya denger ceritanya. Tapi sesudah denger dari beberapa warga yang liat kejadiannya, ayah jadi percaya"


"hehe jangankan empat, sepuluh juga bisa" ucapku jumawa


"bisa menang kak?" tanya Raka


"bisa di opname! Hahaha"


"haha.. Bisaan aja kakak ini. oke deh kak, pulang dulu ya" ucap Raka lalu pergi menuju mobil keluarganya.


Mobil yang dikendarai si kumis kemudian mulai berjalan, aku melihat Mala yang duduk dibangku belakang melambaikan tangannya dan tersenyum kepadaku. Sebuah senyum yang sempat hilang dari bibirnya. Meskipun aku yakin hatinya masih tersimpan keraguan dan kegalauan. Kegalauan hati yang justru semakin menambah beban pikiranku.


Otak jeniusku langsung berandai-andai ini adalah pilihan ganda. Mencari beberapa solusi dan alternatif. Jika Mala memilih Kak Arif, maka aku akan memilih Jenni. Tapi apakah semudah itu? Sesimple itu? Ah kayaknya enggak deh. Tapi bagaimana jika Mala memilihku? Apakah aku harus memilih dia juga. Bukankah akan sangat jahat bagi Mala jika aku nantinya justru memilih Jenni? Kasihan kan Mala. Tapi apakah tidak lebih kasihan jika aku memilih Mala karena atas dasar kasihan padanya. Dan juga jika aku memilih Mala, bagaimana dengan Jenni? Apakah hatiku rela untuk melepaskan Jenni? Argh... Ribet amat sih! Susah bener jadi orang ganteng.


Haah.. Aku menghela nafas dan menyalakan sebatang rokok lagi. Entah sudah berapa batang yang kuhabiskan selama duduk disini. Saat ini yang penting aku sudah berhasil menghapuskan kegelisahan Mala dan mengembalikan senyumannya. Apa dan bagaimana selanjutnya, aku serahkan semuanya pada waktu.


Aku masih ditempatku semula, memperhatikan sekitarku yang ramai. Sudah ada dua orang murid yang duduk dibangku panjangku sambil menikmati jajanan snack mereka. Jajanan mereka sangat banyak, mereka sudah seperti anak kecil yang pulang dari acara ulang tahun temannya.


Aku lalu memandang kedepan, kearah gerbang sekolah mencari sesuatu. Itu dia! Aku melihat Jenni berdiri disana, bersama beberapa orang temannya. Seperti biasa rambut kuncirnya bergerak seiring dengan gerakan kepalanya. Haissh.. Baju dan rok itu, agak sedikit ketat menurutku sehingga menonjolkan lekuk tubuhnya.


Tapi ada yang berbeda. Aku melihat Jenni tampak sedang murung, dia hanya sesekali meladeni temannya berbicara. Senyumnya pun tampak sedikit dipaksakan. Kenapa Jenni murung? Apakah karena aku atau ada masalah lain? Aku harus menemuinya. Menjelaskan semua yang terjadi padanya. Berbicara baik-baik dan meminta maaf. Saat aku berdiri dan ingin menghampirinya, aku melihat Jenni dan beberapa temannya tampak seperti ingin menyebrang jalan kearahku. Membuatku urung menghampirinya dan kembali duduk menunggunya kemari.


Setelah menoleh kiri dan kanan sebentar, Jenni melangkahkan kaki menyebrang jalan. Jenni berjalan paling depan dan diikuti beberapa orang temannya. Dia berjalan dengan pasti seolah tak memperdulikan keadaan jalan raya yang ramai. Hanya sesekali menoleh dan terus melangkah. Berbeda dengan teman-temannya dibelakang yang tampak cemas dan takut menyebrang jalan. Tadi baru juga dua langkah berjalan, dia sudah adu melotot dengan tukang ojek yang lewat. Melihat caranya menyebrang jalan yang sembrono dan semaunya membuatku gugup dan khawatir. Waktu TK apa gak diajarin cara nyebrang jalan neh anak!


Jenni sudah mencapai separuh jalan, ketika memasuki sisi berikutnya, aku melihat ada sebuah motor yang melaju dengan kencang kearahnya. Tapi Jenni tidak menghentikan langkahnya, dia terus berjalan meninggalkan teman-temannya yang berhenti di belakang. Tak dihiraukan peringatan teman-temannya yang mengingatkannya akan bahaya.


Tiiin... Tiiin... Motor itu terus melaju kencang dan membunyikan klaksonnya. Aku melihat Jenni hanya menoleh sepintas dan terus berjalan tanpa menghiraukannya. Sementara motor itu belum juga mengurangi kecepatannya. Jaraknya semakin dekat. Aku yang cemas sampai berdiri dan tak sadar berteriak memanggilnya,


"Jeeenn..!" teriakku melihat motor tersebut semakin dekat. Aku merasa jantungku berhenti berdetak, aliran darahku serasa berhenti mengalir. Suasana yang ramai seolah mendadak hening di telingaku. Aku memejamkan mata rapat-rapat, tak kuasa melihat kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Ya Allah, kenapa jadi kayak sinetron Indonesia gini sih. Please ya Allah, jangan bikin kayak sinetron Indonesia yang diakhir episode selalu ada yang ketabrak mobil atau motor.


***
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd