Mbak Citra,The Ending
Pagi itu aku memasuki kantor disambut Mbak Citra dengan penuh senyum kebahagiaan.
"Tumben2an nih,Mbak? Baru menang togel 4 angka ya?"godaku ketika masuk ke ruangannya. Jangan berharap adegan aneh2. Walau bernama ruangan tapi dindingnya kaca semua. Mirip aquarium. Ruanganku juga sama. Padahal kepengen banget bisa ngintip paha si Agnes,sekretarisku yang keturunan Uzbek (Uzung/Ujung Bekasi) tapi apalah daya,kami ini sudah bagai ikan lohan didalam aquarium. Gimana jidat gak gede,napsu yang tak tersalurkan di kantor ngumpul semua di jidat.
"Gile lu Ndro! Sejak kapan aku main gituan. Weks!"
"Jadi kenapa Mbak senyam senyum gitu kek orang kesurupan? Aku kira Mbak ntah kesambet arwah wong gendeng,"godaku lagi.
"Udahan ah. Kamu duduk dulu,Ri"
"Mbak mo kasih kabar buruk sekaligus kabar baik"
Aku jelas sudah tau apa yang bakal diomongin. Wong sekalipun aku gak pernah ikut turnamen gosip di kantor ini tapi aku tetap boleh nguping toh.
"Mas Anton melamarku. That's the good news," ungkap Mbak Citra.
And the bad news..."
"Mbak mo resign kan? Trus ikut Mas Anton pindah kan?"
"Loh? Kok kamu tau,Ri?"
"Ya ampun,Mbak. Udah kebaca. Kabar buruk apalagi kalau bukan Mbak mo resign?"jawabku sedikit pongah. Padahal aku dibocorin dari Pak Abidin.
Sejujurnya aku sedih Mbak Citra bakal resign dan ikut calon suaminya pindah. Yang jelas aku bakal kehilangan salah satu orang yang memperhatikanku di kantor ini. Siapa lagi malaikat pelindungku? Yang namanya di kantor,iblisnya selalu lebih banyak dari malaikat. Banyak yang mengharapkan kita jatuh agar mereka bisa mengisi posisi kita. Jangankan level pamen keatas,level kroco kek office boy saja bisa libatin dukun buat mempertahankan 'jabatan' mereka.
Lama aku memandang Mbak Citra. Dia 'cinta pertamaku' sekaligus guruku yang kuhormati. Guru yang mengajarkan semua jurus menjadi orang kantoran sejati. Bahkan kalau aku disuruh memilih,pilih seluruh martabak di muka bumi ini musnah atau kehilangan Mbak citra aku pasti langsung memilih seluruh martabak musnah.
Helen juga termasuk anak didik Mbak Citra. Padahal secara usia kami dengan Mbak Citra terpaut tidak jauh. Hanya sekitar 1500an hari. Masih lamaan cicilan KPR rumah.
"Gini,Ri. Mbak kepengen buat acara perpisahan khusus temen2 kantor. Ada ide gk,Ri?"
Pura-pura aku berpikir. Sesaat kemudian aku mengusulkan gimana kalau bikini party. Yang langsung disambit gumpalan kertas sama Mbak Citra.
"Ngasih ide yang bener dong. Masa bikini party. Enak di kamu gak enak diaku," protesnya.
Aku tergelak. "Ya sudah,kalau gak bikin acara makan2 aja di resto X. Pesen kambing guling 5 ekor trus ngundang artis buat hiburannya,"usulku ngawur.
"Ri,kalau pengen aku bangkrut mbok ya caranya lebih etis keles,"semakin kzl aja mbak citra kugodain.
"Mbak...,"panggilku ke mbak Citra.
"Mbak sudah yakin ya mau resign?"tanyaku dengan nada datar setelah tawaku berhenti.
"Memangnya kenapa,Ri?"Mbak Helen memandangku sedikit heran
"Iya,mbak udah yakin. Kan gak mungkin sudah merit mbak masih disini sementara mas anton disana. Mosok udah manten tapi hidup terpisah?"lanjutnya.
"Aku bakal kehilangan,Mbak"
"Siapa lagi yang 'menjagaku' di kantor ini kalau bukan Mbak?"
"Ri,segala sesuatu pasti ada endingnya"
"Sekalipun mbak begitu 'mencintai' kantor ini. Suatu saat, suka tidak suka mbak tetap harus meninggalkannya"
Aku terdiam. Aku menyesal sudah bertanya seperti itu. Aku terlalu egois. Mbak citra memang sudah seperti kakak kandungku sendiri. Tapi sudah sewajarnya sebagai adik harus mendukung kakaknya meraih kebahagiaan.
Dan aku terlalu muluk berharap mbak citra yang begitu bijaksana akan tetap menjadi 'milikku'.
Sorenya,kuusulkan kepada Mbak citra agar mengadakan acara perpisahan sederhana di kantor ini saja. Toh,nanti diacara resepsi pernikahannya dengan mas Anton kami semua juga bakal diundang lagi.
Dan sebagai 'adik' yang baik semua kebutuhan acara aku yang support. Tentunya siapa lagi yang kumanfaatin kalau bukan kedua istriku. Titahku kepada mereka cukup jelas,atur kebutuhan untuk farewell party mbak citra. Harus yang terbaik! Tapi jangan yang mahal mahal. Kedua permaisuriku terbahak mendengar permintaanku. Bokir. Mo nyomBOng tapi kiKIR.
4 hari setelah kabar baik dan kabar buruk di kantornya,Mbak Citra mengajakku hang out sepulang kerja. Istriku berdua sudah paham kalau aku pulang malam2. Kalau gak lembur ya pasti aku lagi entertaint tamu perusahaan. So,aku iyakan aja ajakannya.
Awalnya aku berpikir pasti rame2 seperti biasanya. Rupanya aku salah. Kami hanya berdua saja di mobilnya. Mobilku kutinggalkan di parkiran kantor. Pak Anto,security kantor kesenangan kala kuselipkan selembar 50ribu ketangannya. "Siap Pak! Mobil Bapak akan aman ditangan saya. Saya siap korbankan jiwa dan raga demi menjaga mobil Bapak"
Aku tertawa. Hilang pun aku juga gak rugi2 amat,wong mobil dinas. Palingan ribet aja disidang sana sini. Aku kasihan dengan Pak Anto. Duda,umur sudah hampir 60 tahun. Hidup sebatang kara. Anak2nya merantau semua.
Back to Mbak Citra. Kami berdua kini sudah duduk di salah satu restoran tidak ternama di kota kami.
Banyak yang kami bicarakan. Dan salah satunya mengenai Helen.
"Ri,Helen menurutmu gimana?"
"Maksud Mbak?"aku masih pura2 bego.
"Ayo,Ri. Ya jelas performancenya di kantor. Bukan di kasur,"tegas mbak citra lagi.
"Hah!"aku terkejut. Kenapa Mbak Citra bisa tau mengenai affairku dengan Helen?
"Sudah,Ri. Ngaku aja deh. Mbak udah tau kok"
Aku terdiam.
"Kamu kira Mbak ini anak kecil yang bisa dibohongin? Yang laen sih bisa kamu boongin. Mbak udah lama mengenalmu loh,Ri."
"Gak lah,Mbak. Kami cuma lebih akrab dibanding yang lain. Itu aja kok,"bantahku berusaha menghindar.
"Terus kenapa urusan sepele saja kamu sampai mesti terbang ke kantornya?"
"Bukan sekali aja loh,Ri"
Aku tertunduk. Bagai anak smp yang ketangkap merokok di toilet sekolah.
"Bagi Mbak bukan masalah. Selama kamu bisa menyimpannya sebaik mungkin. Biarkan tetap menjadi rahasiamu,"lanjut mbak Citra bijak.
Perlahan aku mengangkat kepala.
"Mbak ingin Helen menggantikan posisi Mbak. Pak Abidin meminta Mbak mencari pengganti yang tepat."
"Menurutmu bagaimana?"
Angin segar yang dihembuskan mbak citra membuatku bernafas lega. Semangatku timbul kembali.
Dalam hatiku aku kegirangan. Seandainya Helen menggantikan posisi Mbak Citra,kami mungkin bisa sering bersama. Memang selama ini visitku ke berbagai daerah hampir separuhnya kujalani dengan mbak Citra.
"Aku gak keberatan,Mbak. Hanya saja Mbak sendiri menilai performance Helen sampai dimana?"
"Menurut penilaian Mbak,Helen terlalu pintar ditempatkan di kantor cabang. Kantor yang dipimpinnya hampir mendekati zero problem."
"Seandainya dia bisa handle semua kantor cabang dibawahnya,"lanjut mbak citra kemudian.
Makan malam terus berlanjut hingga mbak citra mengajakku lanjut ke karaoke. Aku manut mengikuti keinginannya. Toh bagiku bisa menemaninya disaat2 terakhir sebelum kami 'berpisah' merupakan suatu anugerah.
Di karaoke langgananku,kami memesan 1 jar bir saja. Toh akupun gak berniat lama2 disini.
Lagu demi lagu. Solo maupun duet. Mengalir keluar dari mulut kami berdua. Gelas demi gelas bir jatuh menyirami keringnya tenggorokan kami. Aku begitu menikmati saat saat mbak citra bernyanyi. Saat orang yang pernah 'kucintai' memberikan suaranya hanya untukku. 'Cintaku' yang tak pernah terwujud. Aku tak pernah tahu apakah cintaku ini karena nafsu atau karena aku memang tulus mencintainya.
Mbak Citra berbalik. Lagu I Will Always Love U nya Whitney Houston baru berjalan beberapa bait. Diciumnya bibirku. Aku terkejut. Aku tidak siap.
Bibirku terus dilumatnya. Aku paham apa yang diinginkannya. Kubopong dan kupangku dia. Roknya terangkat dan kedua kakinya terbuka diatas pangkuanku.
Tangannya merangkul leherku. Ciuman kami tidak berhenti. Lidah kami saling berpilin. Saling menghisap.
Aku tersadar. Kuhentikan ciumanku.
"Mbak..."panggilku lirih.
Mbak-ku yang akan segera menikah. Pantaskah aku berbuat seperti ini?
"Ri,berikanlah malam yang terbaik untukku. Inilah hal terakhir yang kuinginkan sebelum aku 'mengabdi' kepada mas Anton"
Kupeluk mbak citra erat-erat. Kusandarkan tubuhnya ketubuhku. Aku ingin tubuhku ini mengingat 'rasa' dari tubuh mbak citra sebelum semuanya berlalu.
Ciuman kami kembali berlanjut. Panas. Tanganku menyusup melalui belakang kemejanya. Kuusap punggung yang begitu mulus sebelum kulepas kaitan branya yang berwarna cream.
Seketika kurasakan payudara seakan jatuh begitu branya terlepas. Tanganku kemudian mengusap turun ke pinggulnya. Kuturunkan resleting roknya kala bibirku sudah mencumbu lehernya.
"Ooohhh...Ri,"Mbak Citra mendesah ketika cumbuanku semakin intens. Tak sabar dibukanya kemejanya sendiri. Dicampakkan bajunya ke sofa. Kini mbak Citra sudah topless.
Disodorkannya payudaranya ke mulutku. Kusambut tawarannya dengan sukacita. Kulumat puting dan payudaranya dengan kasar.
Tanganku masih asyik meremas pantatnya. Nafsu dan desahannya semakin berkobar.
Aku tidak perduli kami sedang bercinta di ruang karaoke. Aku tidak takut sewaktu2 waitress bisa masuk kedalam ruangan ini. Toh,mereka semua sudah mengenalku. Mereka takkan berani mendekat kalau bukan aku yang memanggil.
Tanpa melepaskan celanaku,mbak citra merogoh celanaku. Diraih dan digenggamnya penisku yang bertahun tahun lalu 'terjebak' dalam kemaluannya. Aku tidak tahu apakah mbak citra masih mengingat 'rasanya'.
Remasan dan belaian tangan halusnya membuat kejantananku semakin siaga. Ingin segera kutindih mbak citra dan kuobok obok vaginanya dengan penisku. Tapi kuurungkan. Biarlah dia melakukan apa yang diinginkannya. Tanganku masih meraba dan membelai setiap jengkal tubuhnya.
Mbak citra bangkit dari pangkuanku. Dilolosinya rok dan celana dalamnya. Mbak citra kini telanjang bulat dihadapanku. Vagina dengan bulu yang terpangkas rapi kini berada dihadapanku. Vagina yang bertahun tahun lalu memberikanku pengalaman pertama kini kutemukan kembali. Ya,kutemukan kembali sebelum aku kehilangannya lagi.
Bibirku mencium perut mbak citra yang rata. Sambil berdiri mbak citra,kucumbu vaginanya dengan bibirku. Kakinya merenggang. Tangannya menahan kepalaku agar tetap bertahan dibawah sana.
Tak henti hentinya vaginanya mengeluarkan cairan yang membasahi mulut dan wajahku. Aku tak perduli. Aku ingin wajah ini mengingat cairan cinta mbak citra.
Kemudian aku bangkit dan kubaringkan mbak citra di sofa. Kuusap wajahnya dengan jariku.
Mataku menatap matanya. Kau tak akan terganti...
Perlahan penisku menerobos liang vaginanya. Sempit. Basah. Hangat.
Kudorong dengan segenap kerinduan dan rasa kehilangan.
Meski waktu takkan pernah kembali
Kau tetap citraku seorang
Seolah tak ingin berakhir, kudorong penisku keluar masuk vaginanya begitu pelan dan lembut. Aku mencium bibirnya disela desahannya.
Perlahan Mbak Citra meraih orgasmenya. Dia memelukku erat. Kukunya mencengkram bahuku. Perih. Tapi tak seperih jika kusadari ini saat terakhir kami bersama.
Kucabut penisku dari vaginanya. Aku terduduk dengan penis yang masih tegak berdiri. Mbak citra bangkit dan memelukku. Tanpa sadar airmataku jatuh. Beginikah rasanya kehilangan orang yang kita sayangi?
Mbak citra seolah memahamiku. Berulangkali dia mencium kening dan bibirku.
Mbak Citra membelai penisku yang masih tegang. Sambil tersenyum dia berkata,"Gak nyangka ya,Ri. Otongmu dulu yang pangkat Peltu (Nempel Metu alias Edi) kini udah jenderal. Sampe2 3 cewek takluk."
Aku tersenyum.
"Mbak juga gak nyangka Yunita dulu sempat icip2 otongmu ini"
Kaget aku. Tragedi eek nikmat rupanya juga sampe ke telinganya.
Belum sempat kujawab,Mbak citra sudah duduk dipangkuanku. Penisku digesek2nya sebentar di vaginanya kemudian dimasukkannya. Secelup dua celup,rpm mbak citra makin tinggi. Kugamit payudaranya yang berguncang dan kukulum didalam mulutku.
Berulang ulang penisku bagaikan pompa ban sepeda. Ditarik trus ditekan. Ditarik terus ditekan. Dan kini pompaku hampir meledak. Ingin sekali kutahan tapi apalah dayaku yang cuma manusia biasa ini.
Dan aku lebih kaget ketika tiba-tiba Mbak Citra berhenti memompa. Tubuhnya jatuh telungkup menimpaku. Vaginanya berdenyut2 dan penisku serasa dibanjiri air hangat. Tak ayal pompaku yg sudah mau meledak diperas2 oleh vaginanya semakin kencang ledakannya. Berceceran benih2 cintaku didalam rongga rahimnya.
Kami berdua terkapar lemas. Puas. Bahagia sekaligus sedih.
Di hari H pernikahan mbak Citra,aku didaulat menjadi supir mobil pengantin. Aku tidak keberatan. Bahkan aku memiliki kesempatan terakhir untuk melihat wajah bahagianya. Kubisikkan kepada Mas Anton,"Tolong jaga dan bahagiakan Mbak-ku."
Mas Anton mengangguk dan tersenyum.