Revolusi Hati
Tubuhku terasa ringan, bagaikan melayang tinggi ketempat yang sangat jauh, menembus lorong-lorong gelap, lalu jatuh kesebuah tempat seperti sumur yang tiada dasar.
Otot-ototku kaku. Seakan seluruh persendian telah kehilangan kelenturannya dan tiada sanggup digerakkan lagi. Pita suarakupun seperti telah rusak. Sekuat apapun aku menjerit, suaraku hanya sampai ditenggorokan.
Aku seperti sedang dihukum oleh suatu kekuatan yang Maha dahsyat. Siksaan ini berlangsung cukup lama hingga seberkas sinar kecil menyoroti wajahku. Cahaya kecil itu memancar dari sebuah benda bulat sebesar gelang. Aku berusaha menatap cahaya itu meskipun terasa sangat menyilaukan mata. Benda kecil bercahaya menyilaukan itu nampak bergerak-gerak. Setelah kuamati dengan cermat ternyata benda itu melekat pada tangan halus, entah tangan siapa, karena yang hanya kelihatan tangannya saja, sedangkan bagian tubuh lainnya samar-samar saja terlihat ditempat yang sangat gelap itu.
Tangan yang dilingkari benda bercahaya itu mendekatiku hingga jarak beberapa jengkal saja.
"Dimas..." suara halus nan merdu terdengar memanggil namaku.
Aku terkejut. Siapa yang mengenal namaku ditempat seperti ini? Apakah aku sedang berada di alam barzakh? Dan sosok yang memanggilku adalah malaikat munkar dan nakir?
Tidak! Tak mungkin aku sudah mati. Aku masih hidup.
"Dimas..." Suara itu kembali terdengar. Masih merdu seperti pertama tadi.
"Bangunlah, Dimas. Kita harus pergi..."
Pergi? Aku bertanya, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Pertanyaan itu hanya bergema dalam ruang hati dan pikiranku saja.
"Dimas...." Suara itu kembali terdengar agak keras. "Sudah mau sore. Teman-teman lain sudah menunggu. Cepat bangun..."
Hah?! Aku seperti terlempar kembali dari dalam lubang sumur dan terhempas kembali ke dunia nyata dan jatuh keatas ranjang kamarku dan langsung terlonjak bangun.
"Bangun! Kamu gimana sih!?"
Kulihat sesosok makhluk menakutkan berdiri dipinggir ranjangku memegang gada besar berduri siap dihantamkan ketubuhku. Aku melonjak kaget dan berusaha menghindar.
"Ampun...!" Jeritku ketakutan.
"Hey! Kamu kenapa? Ini aku..., Andy!"
"Andy??!"
"Iya..., Andy. Kamu kenapa?"
Wajah itu lambat laun berubah menjadi wajah sahabat dekatku, Andy. Dan Gada besar berduri itupun berubah menjadi guling.
Ugh. Aku bermimpi. Mimpi yang sangat mengerikan...
"Eh??!"
"Kenapa lagi?" Tanya Andy sambil menatapku bingung.
"Kakiku?"
"Kenapa kakimu?"
Aku memeriksa kakiku sendiri. Mencoba menggerakkannya. Selamat. Kakiku utuh se utuh-utuhnya. Oh iya. Aku hanya bermimpi. Ini sangat mengerikan dan teramat menakutkan, lebih dari rasa takut yang pernah aku alami.
"Fadilah..." Tanpa sadar aku menyebut nama itu.
Andy yang semakin bingung dengan tingkahku saat itu. Tangannya diletakkan kepundakku. Ditatapnya wajahku lekat-lekat.
"Kau bermimpi buruk ya. Makanya tidur siang jangan kelamaan bro..." Andy mengguncang-guncang tubuhku. "Pake sebut-sebut nama Fadilah lagi..."
Senyum usil tersungging dibibir Andy. Aku memaksakan senyum. Dan Andy tahu itu.
"Sudahlah. Cepetan mandi, terus kita ke tempat latihan basket. Teman-teman pasti sudah pada nunggu tuh."
Aku mengangguk lesu. Segera aku turun dari ranjang dan menuju kamar mandi.
"Sehabis latihan kita mampir ke rumah Fadilah..."
Srrrrr
Langkahku terhenti. Tertegun aku memandang Andy. Entah kenapa hatiku berdesir saat mendengar gurauan Andy hendak mengajakku mampir ke rumah Fadilah.
"Emang kamu tahu rumahnya Fadilah?"
"Ya tahulah. Orang dia tetanggaku koq.."
"Ah, yang bener kamu..."
"Ye..., beneran lah." Andy terkekeh "cepetan mandi. Ntar aku buktiin, biar rasa kangen kamu itu segera terobati... hahaha"
Tanpa peduli pada candaan Andy aku segera masuk kamar mandi, membuka pakaian yag sudah basah dengan keringat, lalu mengguyur tubuhku dengan air.
~~~**fadilah**~~~
Dan sore itu, Andy membuktikan ucapannya. Ternyata memang benar bahwa Fadilah adalah tetangga Andy. Tentu saja "kunjungan" kami sore itu tidak dalam keadaan berpakaian kostum basket. Aku sengaja bawa pakaian dari rumah. Pakaian yang mesti dipakai oleh seorang perjaka saat mengunjungi rumah seorang perawan
Sebenarnya ada rasa enggan, lebih tepat rasa 'gengsi' sebagai seorang 'pengganggu setia' si cacat. Namun rasa penasaran memaksaku mengunjungi rumah yang sejak dulu tak pernah aku menginginkan memasukinya bahkan duduk didalamnya.
Tapi, tahukah anda? Ini sebenarnya bukan hanya sekedar rasa penasaran saja. Ini benar-benar sebuah keinginan kuat yang entah sejak kapan menguat dalam hati untuk berbaik-baik dengan Fadilah. Lucu bukan?
Tapi mimpi itu. Sungguh sangat membekas dalam ingatanku, lalu menjelma menjadi semacam sebuah kekuatan yang mendesak aku meruntuhkan segala 'keangkuhan' terhadap Fadilah.
Seperti sore itu saat dengan ragu-ragu aku mengikuti langkah Andy memasuki teras rumah Fadilah.
Tok...Tok...Tok...
Ketukan Andy dipintu rumah Fadilah sedikit membuat pori-pori kulitku terbuka mengalirkan keringat dingin. Aliran keringat semakin membanjir saat kudengar langkah terseret dibarengi ketukan-ketukan dilantai. Pasti ini Fadilah. Si cacat bertongkat yang lagkahnya terseok-seok.
"Eh, Andy?" Seraut wajah cantik muncul saat pintu terbuka. Senyum ramah diwajah itu sangat menyejukkan hati. "Dimas?"
Fadilah. Tatapannya penuh keheranan. Mungkin tak pernah menyangka aku akan datang ke rumahnya.
"Kamu...?" Senyuman itu agak sedikit luntur, sekilas kecurigaan terpancar dari raut wajahnya.
"Aku...Aku..." Gugup. Aku jadi salah tingkah. Ini aneh...
"Ah. Aku malah jadi kaku gini?" Ucap Fadilah berseloroh. Entah mungkin sedang mengatasi keheranannya atas kedatanganku. "Ayo masuk..."
Fadilah membalikkan tubuhnya. Kamipun mengikutinya masuk kedalam.
~~~**fadilah**~~~
Entah bagaimana asal muasalnya, prosesnya demikian cepat dan instan, suasana keakraban express tercipta dalam ruangan yang terasa sejuk dan menyenangkan itu. Segelas teh hangat dan roti isi keju terhidang. Tak ada lagi kekauan. Wajah Fadilah terlihat sangat ceria. Mungkin dia merasa terlepas dari segala beban dan ketakutan atas semua 'keusilanku' padanya. Ah..., ada rasa sesal mencuat dari dalam hatiku.
Suasana ini sangat bersahabat, eh salah, mestinya sangat berkeluarga, eh masih salah. Suasana ini diliputi oleh rasa kekeluargaan. Bukan hanya kami bertiga dalam ruangan itu, tapi ibu dan bapaknya juga ikut ngobrol dengan kami.
Bapak dan Ibu Fadilah ternyata sangat baik. Selalu saja ada kalimat yang membuat kami tertawa.
"Jadi Nak Dimas ini sahabat dekat Fadilah? Koq jarang mampir sih?" Ucap Bapak Fadilah.
Aku tak tahu siapa nama Bapaknya Fadilah, begitupun ibunya.
"Pernah diajak sih, Pak. Tapi Dimasnya sibuk terus. Maklumlah, kapten basket..." Ucap Fadilah sambil tersenyum.
Aku jadi gugup dibuatnya. Sahabat Dekat? Diajak mampir? Waduh! Adanya sih Tukang usil, pengganggu, jahat, dan...
"Wah. Nak Dimas hebat. Bapak dulu pernah masuk tim Basket, tapi tak pernah jadi Kapten." Bapak Fadilah memandangku kagum. "Tapi bapak jago mainnya lho..."
"Oom pasti kalah kalau bertanding sama Dimas..." Andy yang sejak tadi diam tiba-tiba memberi tantangan yang membuat jantungku semakin berdetak tak karuan.
"Tapi sekarang ga jago lagi. Udah tua... hehe..." Bapaknya Fadilah terkekeh.
Suasana semakin akrab ketika pembicaraan dilanjutkan dimeja makan. Maklum, hingga jam sembilan malam kami ngobrol. Saking seriusnya percakapan yang penuh keakraban itu.
Bersambung...