Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT CINTA SAYUR ASEM (by Arczre)

Bimabet
BAB XVIII

Ke Sarang Ular


Ular itu sebenarnya makhluk yang lemah
Karena lemah dia memakai bisa untuk melindungi diri
semakin bisanya mematikan semakin ular itu sejatinya lemah

#Pov Rian#

Aku cari sepatu baru. Rahma ikut. Jalan Doho kota Kediri merupakan sebuah jalan yang sepanjang deretan jalan ini adalah kawasan pertokoan. Pernah lihat Malioboro di Jogjakarta. Mungkin seperti itu. Tapi Jalan Doho ini nggak seperti Malioboro yang penuh dengan cita rasa seninya. Di Jalan Doho yang ada adalah pertokoannya saja. Dan yang paling menyenangkan adalah jalan-jalannya. Koq menyenangkan. Hmm....pertama karena barang-barangnya nggak terlalu mahal. Kedua, karena di pinggir jalan sini ada kuliner pecel yang rasanya nggak kalah enak dengan yang ada di restoran.

Mumpung masih liburan aku dan Rahma jalan-jalan di sini. Sepatuku udah usah. Aku ingin beli yang baru. Beli di Surabaya. Mahal bingiits. Sebenarnya ada yang murah cari sepatu yaitu di perempatan lampu merah jalan Kilisuci mau ke arah Jalan Kaliombo. Di sini ada yang jual sepatu obral. Tapi sayangnya sekalipun murah aku lebih senang ke sini nyari sandal daripada sepatu. Karena modelnya nggak aku suka.

"Rian, tuh belok situ!" Rahma nunjuk ke sebuah toko sepatu.

Aku langsung meminggirkan sepeda motorku dan memarkirnya. Setelah aku amankan sepeda motorku, aku masuk ke dalam toko sepatu itu. Waahh...banyak modelnya.

"Jadi pengen sepatu baru," gumam Rahma.

"Kamu mau?" tanyaku.

"Nggak ah, uangmu mana cukup?"

"Kalau kamu mau aku akan belikan buatmu, biar aku pake sepatu lamaku aja."

"Nggak ah, kamu aja yang beli. Kan aku cuma nemenin kamu."

"Baiklah, beib."

Aku pun milih-milih sepatu, keren-keren modelnya. Setelah hampir setengah jam muterin toko ini, akhirnya aku pun tertarik ama sebuah sepatu. Lalu sama mbak-mbak SPG-nya minta bungkus ini. Lagian harganya juga dapet diskon 40%. Lumayan kan. Rahma ikut andil bagian. Dia milihin sepatu buatku. Yah, sampe dikomentarin segala, "Kamu nggak cocok pake sepatu ini, kakimukan lebar" atau gini "Kamu cocok ini Yan, cuma kaya'nya mahal deh". Baru pacaran aja udah kaya' suami istri milih-milihin apa yang harus dibeli. Tapi begitulah Rahma, selalu tahu apa yang cocok bagiku. Dia tahu sifat-sifatku sejak dulu, dan setelah kami pacaran ia lebih makin tahu sifatku.

Puas beli sepatu kami mau beranjak pulang. Tapi Rahma kepengen jalan-jalan dulu di sepanjang Jalan Dhoho. Aku pun mengiyakannya. Banyak yang berubah ketika aku pergi dari kota kelahiran kami ini. Mall makin banyak. Ruko makin banyak. Lahan kosong makin menipis. Pabrik Rokok Gudang Garam juga sedikit berubah. Setelah dibeli ama American Tobacco, pabrik ini mengalami banyak perubahan terutama ketika direksinya diganti dengan yang lebih muda. Permasalahannya sebenarnya juga bertambah ketika peraturan pemerintah yang membatasi tentang produksi rokok ini, sehingga pabrik ini yang dulunya besar, sedikit-demi-sedikit mulai menjual asetnya. Walaupun masih besar, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa nafas pabrik rokok ini mulai terbatuk-batuk.

Saat aku asyik berjalan bergandengan tangan, tiba-tiba aku disenggol Rahma.

"Eh, Yan. Itu kaya'nya istrinya Mas Yogi deh," kata Rahma.

"Mana?" tanyaku.

"Ituuuuu...ya ampun beneran Yan!" Rahma menunjuk ke sebuah mobil Honda Accord mewah yang terpakir di depan Hotel Surya. Hotel besar yang ada di Jalan Dhoho ini dan satu-satunya. Aku memicingkan mata. Walaupun malam hari tapi lampu-lampu di sekitar hotel sangat terang sehingga aku bisa lihat Salsa keluar dari mobil itu. Dia pakai kerudung warna pink, jeans ketat dan baju warna pink juga serta syal yang dibelitkan di kerudungnya yang juga ikut dibelitkan di lehernya.

"Eh, iya. Kamu bener," kataku. "Koq kamu awas banget?"

"Iyalah. Aku ingat ama orang yang pernah aku lihat. Tuh lihat! Dia jalan ama siapa itu?" kata Rahma.

Salsa tampak gadengan tangan ama seorang Om-om. Aku jadi begidik melihatnya. Dia ngamplok Om-om itu. Pria itu badannya gedhe, tapi perutnya buncit. Dia meluk Salsa kemudian masuk ke lobi hotel.

"Ma, ikutin yuk. Aku jadi penasaran. Ngapain Mbak Salsa di sini," kataku.

"Wah, Yan. Kalau cewek bukan mahromnya, masuk ke sini sambil peluk-peluk gitu ngapain coba?"

"Check-in?"

"Nah, tumben kamu nggak O'on."

"Yah, semakin dekat ama kamu O'onku kan berkurang."

"Hihihihi. Iya deh, iya. Yuk, ikutin!" heran aku koq Rahma yang semangat.

Akhirnya ini menjadi pengalaman pertamaku mengikuti orang. Mbak Salsa sama sekali nggak nengok kemana-mana. Ia konsentrasi ke pria itu. Setelah ngobrol sama resepsionis mereka berdua kemudian melenggang masuk ke dalam lift. Aku yang masih menggotong sepatu yang tadi barusan aku beli agaknya terlalu ribet. Langsung deh aku ke meja resepsionis.

"Ma, kamu awasin lantai berapa liftnya berhenti ya!" perintahku.

Rahma mengangguk.

Aku kemudian ke meja resepsionis dan menyapa petugasnya.

"Selamat malam ada yang bisa saya bantu pak?" tanyanya.

"Mbak, mau nitip sepatu saya dulu ya. Saya mau ketemu ama temen saya di atas," kataku.

"Oh..iya pak, silakan!" kata mbak-mbak resepsionis sambil menerima bungkusan sepatuku. Aku lalu segera beringsut menuju ke Rahma yang mengawasi lift.

"Lantai berapa?" tanyaku.

"Lantai tiga," jawabnya.

"Yuk, ke lantai tiga," kataku.

"Naik lift?"

"Pake tangga aja, biar cepet. Kan kita sering olahraga," kataku sambil menggandengnya. Kami segera menuju ke anak tangga yang ada di sebelah kanan lift.

Seperti dikejar setan kami berdua naik tangga dengan cepat. Rahma tak kalah gesit dari aku rupanya. Dan kurang dari semenit kami sudah ada di lantai tiga dengan sedikit ngos-ngosan. Dan kami masih melihat Mbak Salsa berjalan lambat ama Om-om tadi. Kali ini pemandangannya menjijikan. Mereka berdua berciuman di depan pintu kamar. What the fuck? Aku dan Rahma bersembunyi di balik tembok sambil tetap mengawasi mereka.

"Yan, koq mereka ciuman ya? Mbak Salsa selingkuh?" tanya Rahma.

Aku mengangkat bahu.

"Trus gimana dong? Kamu nggak menghubungi Mas Yogi? Istrinya selingkuh gitu lho," bisik Rahma.

"Bentar, tunggu sampai mereka ada di dalam kamar," kataku.

Kami menunggu. Dan si Om-om itu akhirnya membuka pintu kamar. Sambil masih berciuman mereka pun masuk. Aku menarik nafas panjang. Kemudian berjalan sampai berada di depan pintu kamar itu. Kamar 314. Ada tag tulisan "Do Not Distrub" di gagang pintunya.Uedan. Si Ular ada di dalam sarangnya nih. Kesempatan pikirku. Aku ngambil ponselku. Aku tak pernah menghubungi Mas Yogi selama ini. Akhirnya inilah untuk pertama kalinya aku menelpon dia.

Mas Yogi mengangkat teleponnya. "Halo?"

"Mas Yogi, Iki aku Rian," kataku.

"Ono opo nyuk?"

"Mas, aku bisa minta tolong?"

"Minta tolong apa? Koq wani kowe nelpon aku? Aku wis muak ndelok raimu, nyuk! (Koq berani kamu nelpon aku? Aku udah muak lihat wajahmu, nyet)"

"Bentar dululah mas. Kita kesampingkan dulu dendamnya ini darurat. Beneran. Aku sama Rahma ini."

"Rahma? Mbaknya si Anik?"

"Iya."

"Di mana?"

"Di hotel Surya."

"Lha, lapo awakmu karo Rahma nang hotel? Kenthu kowe?(Lha, kenapa kamu ama Rahma di hotel? ngentot kalian?)"

"Ora mas ora. Masiho aku pacaran karo Rahma, tapi aku ora sampe adoh koyo iku.(Nggak mas, nggak. Meskipun aku pacaran ama Rahma, tapi aku nggak sampe sejauh itu.)"

"Halah, bojoku dewe wae kon kenthu koq. Lapo njaluk tulung? Koq jik eling karo masmu? Matio kono dewe!(Halah, istriku sendiri kamu entot koq. Kenapa minta tolong? Koq masih ingat sama masmu? Mati aja sendiri!)"

"Mas sik talah. Rungokno dhisik. Ini beneran emergency. Sampeyan ke sini. Ke Kamar 314. Pokoke ke sini. Nek sampe aku macem-macem, patenono pisan aku nang kene mas. Suwer! (Mas, sebentar dulu. Dengerin dulu. Ini beneran emergency. Kamu ke sini. Ke kamar 314. Pokoknya ke sini. Kalau sampai aku macem-macem bunuh aja aku sekalian di sini. Suwer!)"

Mas Yogi nggak bersuara.

"Ayo mas! Beneran iki. Mreneo. Aku njaluk tulung."

"Njaluk tulung opo? (Minta tolong apa)"

"Sampeyan mreneo dhisitlah aku nggak iso ngomong nek sampeyan ora mrene (Kamu ke sini dululah, aku nggak bisa ngomong kalau kamu nggak ke sini)"

Mungkin karena penasaran akhirnya Mas Yogi bilang, "Yo wis, tunggu sepuluh menit maneh aku teko."

Aku menutup teleponku.

"Gimana?" tanya Rahma.

"Sebentar lagi masku akan datang. Kita tunggu aja," jawabku.

"Waduh Rian, aku jadi nggak enak. Kita mergoki orang selingkuh kaya' gini."

"Biarin. Mbak Salsa itu orangnya udah nggak bener. Kamu udah bener tadi awas banget bisa tahu Mbak Salsa."

"Iya, tapi kan...."

"Udahlah, orangnya emang pantas dikasih pelajaran."

Sayup-sayup aku mendengar sesuatu. Aku dekatkan telingaku ke pintunya.

"Ahhh...ohhh...hhmmm....enak om. Terusin donnggg!" terdengar suara Mbak Salsa. Uedaaaann...uwonge lagi kentu. Bisa jadi tangkapan besar malam ini.

Rahma ikut-ikutan menguping. Aku heran aja ama tingkah Rahma yang ikut menguping.

"Wuih, kaya'nya seru mereka," bisiknya.

"Udah ah, kita tunggu saja," aku geret Rahma menjauh dari pintu.

Kami hanya berdiri di lorong panjang. Kadang juga bersandar di tembok, kadang juga jalan-jalan, muter-muter nggak jelas. Lama banget sih Mas Yogi. Udah lewat sepuluh menit ini. Akhirnya lima belas menit kemudian Mas Yogi datang. Ia pakai kaos Persik Kediri. Begitu melihatku dan Rahma yang sedang berdiri di lorong ia sedikit heran.

"Ada apa manggil aku ke sini?" tanyanya. Ia agak memelankan suaranya ketika melihat Rahma.

"Sebentar mas, Mas jangan emosi dulu," kataku.

"Ono opo seh? (Ada apa sih)"

Aku kemdian berdiri dan menunjuk ke kamar 314. "Di dalam sini ada Mbak Salsa. Aku mau buktikan kepada mas kalau aku selama ini nggak pernah bohong dan berusaha membela Mas Yogi. Dari dulu aku sudah bilang Mbak Salsa itu wanita yang nggak baik Mas Yogi nggak pernah dengar nasehatku."

"Awakmu ora usah memfitnah uwong, pengen tak hajar maneh? (Kamu jangan fitnah orang, mau tak hajar lagi?)" Mas Yogi mencengkram kerah bajuku.

Tiba-tiba tangan Rahma memegang tangan Mas Yogi. Entah kenapa Mas Yogi lalu perlahan-lahan melepasan cengkramannya.

"Mas, saya tahu perasaannya mas. Tapi jangan pakai kekerasan dulu. Aku yang pertama tahu kalau itu Mbak Salsa, bukan Rian. Kalau Mas Yogi nggak percaya ama Rian, trus kepada siapa lagi? Selama ini Rian baik. Dia sayang sama Mas. Dan nggak mau keluarga mas berantakan."

Mas Yogi menarik nafas dalam-dalam.

"OK, kalau kamu cuma ngerjain aku, aku bakal gorok lehermu di sini," ancam Mas Yogi.

Aku tak takut. Aku benar koq. Aku nggak bohong. Mas Yogi menempelkan telinganya di pintu. Ia mengerutkan dahinya, sampai-sampai alisnya hampir saja menyatu.

"J*nc*k!" umpatnya. Ia dengan kaki kanannya langsung menendang pintu itu hingga gagangnya lepas. BRAK!

Aku melihat pemandangan yang boleh dibilang salting. Om-om itu tampak sedang ngocok batangnya di depan wajah Mbak Salsa. Dan mereka berdua bugil. Ketika pintu didobrak sampai rusak Mbak Salsa seperti wajah seorang pemeran film bokep yang dipause. Melongo, mulut menganga dan dari penis si Om-om itu keluar sperma, muncrat membasahi wajahnya. Tapi mereka berdua mematung. Kaget, bingung.

"OOoo...jadi bener kata Rian, awakmu iki emang LONTE!" kata Mas Yogi masuk ke kamar dengan entengnya.

"Mas Yogi???" Salsa buru-buru mendorong Om-om tadi.

"Lho, lho, siapa kamu?" tanya Si Om-om.

"Saya suaminya, j*nc*k!" Mas Yogi marah. Bogem mentah langsung melayang ke arah Om-om itu. Pria paruh baya itu berguling karena pukulannya. Nggak tahu rasanya pasti sakit. Aku penah dipukul koq ama Mas Yogi, tahulah rasanya kaya' apa.

Mbak Salsa yang nggak pakai apa-apa itu langsung berusaha meraih Mas Yogi yang ngamuk.

"Mas...mas...Mas Yogi, maafin aku mas! Maafin aku!" katanya.

Mas Yogi mendorong istrinya itu hingga kembali ke kasur.

"Mas! Mas maafin aku!" ibanya.

Aku masih berdiri di luar pintu. Dan Rahma langsung memelukku nggak mau melihat apa yang terjadi di dalam ana. Salsa melihatku, ia terkejut.

"Gara-gara lonte kaya' kamu hubunganku sama adikku renggang, ya gara-gara lonte kaya' kamu ini aku sampe mukul adikku. Jadi yang dikatakan oleh adikku selama ini benar. Aku selalu muji kamu Sa, aku selalu bangga-banggain kamu di hadapan orang tuaku, adikku, bahkan di hadapan anak-anak kita. Tapi ini balasanmu? Brengsek bener kamu. Hari ini selesai. Nikmati saja itu kontol-kontol langgananmu. Jiamput!"

"Mas, mas Yogi, maafin aku maass!" Salsa menjerit.

"Ayo Rian, pergi!" ajak Mas Yogi mempercepat langkahnya. Aku ikut di belakangnya.

Salsa mengambil selimut dan menutupi tubuhnya, ia tak sadar kalau wajahnya masih belepotan sperma. Ia berlari melewatiku dan langsung bersujud di bawah kaki Mas Yogi.

"Mas, tolong mas maafin aku. Tolong! Aku masih sayang ama anak-anak mas, maafin aku!" mbak Salsa kembali mengiba.

"Kita cerai hari ini. Mulai detik ini aku ceraikan kamu. Masih banyak wanita-wanita yang baik buat aku," Mas Yogi menghindar dari Salsa. Ia berlari menuruni tangga.

Aku melewati Salsa yang menggelepar di lantai. Ia menangis. "Mas Yogiii...aahhhhhhhhhhhhh....maafin aku maaasss."

Aku hanya menghela nafas panjang. Sambil merangkul Rahma aku meninggalkannya seorang diri.

"Rian, kamu brengsek! Aku bersumpah, aku akan ngancurin hidup kamu. Aku akan balas kamu! Aku akan balaaaasss!" ancam Mbak Salsa. Aku tak takut. Yang penting Mas Yogi sekarang sudah melihat keburukanmu. Dan dia percaya kepadaku sekarang.
 
BAB XIX

Berusaha untuk Masa Depan



Aku adalah pejuang cinta
Berusaha untuk meraih harapan kan cinta
Berusaha mendapatkan bidadari impian

Hubunganku dengan Rahma kian hot. Bahkan saking hotnya setelah liburan itu dan kita kembali ke kampus aku makin berpikir untuk masa depan. Cari kerja sambil kuliah. Keinginanku cari kerja didukung oleh ibuku. Bahkan bapak membantu aku untuk dikenalkan ke temannya yang mempunyai sebuah percetakan besar di Surabaya. Dan, akhirnya aku kerja sambilan di sana.

Dengan bekerja sambilan aku punya uang saku tambahan. Dan dengan bekerja sambilan pula akhirnya aku bawa sepeda motor ke Surabaya. Hal ini semata-mata untuk menghemat pengeluaranku. Dan juga mempercepat mobilitasku. Rahma? Sangat senang dong pergi ama aku pulang pergi Kediri Surabaya ngamplok di motor kaya' cicak hehehe. Dan sekali lagi aku bisa merasakan empuknya payudaranya yang menempel di punggungku.

Sekarang Rahma nggak malu-malu lagi. Selama dua minggu liburan kami benar-benar melepaskan rasa kangen kami. Berciuman dan grepe-grepe. Intinya kita petting. Sebenarnya bisa aja sih aku minta dia untuk oral otongku, tapi aku tak mau memaksanya. Walaupun sebenarnya tinggal aku suruh dia mau aja. Tapi yang membuatku takjub adalah kejadian yang sama seperti apa yang aku dan Anik lakukan. Tapi bedanya adalah kini aku nggak kentang. Ceritanya begini.

Malam itu Hari Jumat. Aku maen ke rumahnya. Ibu Ika sedang keluar. Jadi aku di rumah Rahma sendirian. Saat itu agak beda.

Aku duduk di sofa dan Rahma ada di pangkuanku. Rahma saat itu pakai kemeja warna putih lengan panjang. Baru kali ini dia pake celana legging dengan kerudung warna orange. Kakinya mekangkang. Kami berciuman panas sekali. Tiba-tiba ia menghentikannya.

"Yan, aku mau ngasih sesuatu buat kamu," katanya.

"Apaan?"

Rahma perlahan-lahan melepas kerudungnya. Aku menelan ludah. Aku baru kali ini lihat rambutnya. Lurus panjangnya sepungung dia menguncir rambutnya. Cantik sekali, dan sesuatu yang tidak aku duga adalah dia melepaskan kancing bajunya satu per satu. Aku bisa melihat payudaranya yang tertutup bra sekarang. Ia lepas kemejanya.

"Rahma, kamu??" aku tak percaya.

"Rian, kamu sudah janji bukan untuk serius. Maka ini adalah harga keseriusanku agar kamu semangat. Tolong dibuka dong!"

Aku menurut. Segera aku cari kaitan branya. Setelah dapat kulepas. Dan Rahma melepasan branya. Ia taruh bra itu di kursi. Aku melihatnya. Sungguh pemandangan yang indah. Dua buah bukit kembar, sekal, montok. Iya lebih besar daripada yang aku bayangkan. Ternyata remasanku kemarin itu menipuku. Bentuknya lebih besar. Seolah-olah branya itu menipuku. Aku melihat dada berukuran 34c dengan putingnya berwarna pink kecoklatan terpampang dan tampak mengeras. Aku melotot.

"Rian, aku malu," katanya. Ia menutupi buah dadanya.

"Kenapa malu?"

"Habisnya kamu ngelihatku seperti itu," katanya manja.

Aku tersenyum dan mencium bibirnya. Kali ini legannya melingar di leherku.

"Rahma, punyamu sangat indah. Aku tak pernah menyaksikan bentuk sesempurna ini. Kamu yakin memberikan ini untukku?"

Ia mengangguk. "Yakin, tapi ini aja yah. Kalo yang di bawah, ntar kalau kita udah menikah."

Aku tersenyum. Dan, nggak perlu basa-basi. Karena ia masih aku pangku jadi jarak mulutku ama payudaranya sangat dekat. Aku ciumi teteknya, bagian atas, pangkalnya, lalu yang berada di dekat ketiak. Wangi sekali tubuh Rahma ini. Rahma menggelinjang setiap kali putingnya aku sentuh. Apalagi sampai aku jilat. Lalu aku kenyot.

"Ahh...Rian....nakal kamu!" keluhnya.

Aku sekarang menjadi bayi. Bayi yang kehausan. Kuhisap puting Rahma kiri kakan. Puas sekali aku.

"Riaaann...hhmmm...aku cinta kamu," bisiknya.

"Aku juga Ma," kataku.

Aku puas-puaskan diriku mencumi dadanya dan tanganku mulai beraksi. Kuremas-remas dadanya sambil kusedoti putingnya. Nikmat banget.

"Bentar Yan, aku ingin ngasih kami satu lagi," katanya.

Aku diam. Menunggu kejutannya. Ia turun dari pangkuanku. Lalu dibuka kancing celanaku, resletingku dibuka. Kemudian diloloskannya celanaku. Hah? Mau apa dia?

"Ya Ampuuunnn...Rian, ini punyamu?" Rahma tertegun dengan penisku.

"Kenapa?"

"Bentukya keras, tegang aku pegang ya?"

Ahhh....baru kali ini Rahma memegang penisku. Lalu dikocoknya. Matanya melihat ke arahku. Mata kami bertatapan. Ini, sesuatu yang luar biasa. Dikocok oleh wanita yang dicintai. Ahhh....nikmat banget. Dan kejutan tak sampai disitu. Rahma meludahi penisku. Aaahh...air liurnya membasahi batangku, malah tambah horni. Ia lalu mengocok sambil menggelitiki kepala penisku. tangannya diputar-putar di kepalanya pionnya membuatku lemas, bersandar dikursi.

"Ahh...Rahmaa...adddduuh...kamu belajar dari mana?" tanyaku.

"Dari bokepmu kemarin itu," jawabnya enteng.

"Gila, enak banget Ma," kataku.

Dan...langkah selanjutnya adalah Rahma memajukan badannya. Ini aku tak pernah menduga sebelumnya ia melakukan titfuck. OMG. OMG. OMG. Ini sih nggak cuman enak, uenaaaaaaakkkk banget. Rahma masih melihatku. Tapi buah dadanya sekarang menjepit batangku. Ia naik turunkan dadanya. Waduh, aku nggak tahan nih bisa-bisa. Tangannya yang lembut juga ikut menggelitiki batang pionku. Udah deh, ini sangat enak, terlalu enak. Ahhhhhhkkk....aku nggak tahan.

"Rahma, aku nggak tahan lagi," kataku.

"Iya Rian, keluarin aja!" katanya.

CROOOTTT CROOOTTT CROOOTTT! Tembakan spermaku berkali-kali muncrat, sebagian kena leher dan dagunya. Sebagian meleleh ke dadanya, ke perutku, sebagian mengotori daerah sebagian otongku, terutama rambut-rambutnya. Ini pengalaman baru bagi Rahma. Ia juga terkejut ketika punyaku keluar.

"Gileeeee, banyak bener," gumam Rahma.

Aku tersenyum. Puas rasanya melihat wajah polos Rahma di saat aku muncrat. Ia mengocok pelan batangku.

"Udah Ma, jangan dikocok lagi. Ngilu," kataku.

"Gimana tampangku?" tanya Rahma.

"Belepotan itu," kataku.

"Huu...enak?" tanyanya.

"Iya, Ma. Enak."

"Pengen nyoba blowjob, tapi ntar yah. Takut kebablasan. Aku bersihin dulu," kata Rahma. Ia mengambil tissue. Dilapnya bekas lahar panasku dengan telaten. Baik di batang, tangannya, perutku, leher dan dadanya. Setelah bersih ia melakukan sesuatu yang mengejutkan aku. Kepala pionku diciumnya. Cuupp..

"Aduh! Ma...," desahku.

"Rian, jangan pernah ini digunakan buat cewek lain. Ingat, kamu udah komitmen ama aku. Kalau sampai ini kamu gunain ama cewek lain. Aku potong!" ancamnya. Tapi sambil bilang gitu ia ngocokin punyaku. Waduuuhh...nggak deh, ampun Raham ampuuun.

"I...iya deh," kataku. "Aku janji."

Rahma tersenyum. Kami berciuman lagi kali ini toketnya nyentuh dadaku. Waaahhh....berjuta rasanya. Kenyal-kenyal gimana gitu.

Begitulah. Itu momen yang tak terlupakan. Aku dan Rahma benar-benar lengket seperti apa ya....seperti kertas ama lem. Dan karena aku bawa sepeda motor jugalah aku sering jalan-jalan kalau ada kesempatan ama Rahma. Kuliah, kerja, plus pacaran. Hingga tibalah saat yang kita tunggu ujian skripsinya Rahma. Bulan kemarin dia sudah lulus test untuk ijin kepraktekan sebagai dokter. Yah, punya cewek dokter juga ada enaknya, kalau sakit tahu harus bagaimana.

Aku ada di sidangnya waktu itu sebagai penonton. Memberi semangat kepadanya. Rahma emang luar biasa. Pintar, cerdas. Semua pertanyaan dosen penguji bisa ia jawab dengan sangat memuaskan. Ada yang menarik di dalam skripsinya. Sebagai kata pembukanya, ia memberikan tulisan:

"Ini kupersembakan untuk:

1. Tuhan YME yang selalu memberikan kebaikan kepadaku.
2. Kepada ayah yang selalu memanjakan aku.
3. Kepada seseorang yang akan mengisi hidupku dalam senang, susah, dan yang akan menjadi ayah dari anak-anakku."

Langsung deh seluruh ruangan menoleh ke arahku terutama yang udah tahu hubunganku ama Rahma. "Ciee...ciee....cieee....." gitu soraknya. Erik, Andi dan Totok kebetulan ikutan mereka langsung memukul-mukul bahuku. Aku ketawa saja melihat ulah mereka. Rahma tetep cool, aku tahu ia sangat malu saat itu.

Dan ketika sudah selesai sidangnya para dosen berdiskusi. Kami harap-harap cemas menunggu di luar. Moga aja Rahma dapat nilai yang baik. Aku berdo'a di luar ruangan. Kami yang terdiri dari temen-temenku yang udah kenal Rahma, juga temen-temen Rahma harap-harap cemas. Rahma di dalam juga belum keluar-keluar. Udah lima belas menit ini. Seperti nungguin orang bersalin aja. Begitu pintu terbuka kami melihat dosen penguji senyum-senyum sendiri. Kami melongo. Apaan nih?

Rahma keluar dengan derai air mata. Waduh....gimana hasilnya? Ia menghampiriku.

"Apa? Gimana?" tanyaku.

"Makasih ya Rian, selama ini udah dampingi aku. Hikss...," kata Rahma sambil nangis.

"Trus? Nilainya?" tanyaku.

"Dapat A. Sangat memuaskan," jawabnya.

Kami semua langsung bersorak. Wah, mirip ketika kesebelasan Persik Kediri menjebol gawang lawannya ini. Aku langsung meluk Rahma yang sedang terharu. Kami tertawa bersama. Hari itu, masa depan berubah. Rahma sudah menjadi sarjana sekarang. Bahkan dia juga sudah mengantongi surat ijin praktek. Apalagi punya cowok yang selalu mendampingi dia selama ini. Sempurna hidupnya.

Bulan Agustus, setelah Rahma wisuda. Aku, ibu, bapak dan Mas Yogi pergi ke rumahnya Rahma. Aku sudah bertekad bulat. Melamar Rahma. Rahma tentu saja kaget, tapi ia sangat senang bahwa aku benar-benar menjaga komitmenku. Aku benar-benar memilih dia untuk menjadi pendamping hidupku. Bu Ika tentu saja senang, karena memang sudah tahu kedekatanku ama Rahma. Dan tanggal pernikahan pun ditetapkan 4 November.

#Pov Anik

Capeknya kuliah. Udah tiga tahun ini aku nggak pulang. Ibu juga jarang aku telepon. Lebaran pun aku habiskan di rumah Pak Dhe. Ibu ngerti bahwa buat ongkos pulang pergi saja uangku nggak bakal cukup. Tapi hari ini aku dapat kabar dari Rahma. Kami ketemu di Skype. Aku melihat wajah Rahma di layar monitor.

Ia memberi salam kepadaku. Aku menjawabnya.

"Bagaimana kabarmu di Jakarta? Koq lama nggak pulang?" tanya Rahma.

"Mbak tahu sendiri kan ongkos bolak-balik itu nggak cukup buatku. Makanya aku di sini terus sampai aku lulus," jawabku.

"Iya. AKu mau ngasih banyak kabar nih. Ada kabar buruk, ada kabar baik. Kamu mau pilih yang mana?"

Apaan sih Mbak Rahma ini, ngasih kabar koq ada dua. Tapi wajahnya koq cerah sih? Yang pasti kabar buruknya nggak begitu buruk.

"Apaan sih mbak? kalau ada kabar yang ingin disampaikan ngomong ajalah!"

"Ya udah, aku kasih kabar baik yah. Aku lulus, udah jadi dokter sekarang, nih surat ijin prakteknya. Truss ini dia aku dapet A, ayo jangan sampai kalah sama aku," mbak Rahma memamerkan hasil skripsinya sama surat ijin praktek kedokteran.

"Waaaaaaaa.....selamat mbak! Aku juga senang, Mbak Rahma sih, aku nggak kaget. Emang hebat," kataku.

"Hehehehe. Iya, semua orang ngucapin selamat. Setelah ini aku mau ngabarin ibu."

"Trus, kabar satunya?"

Mbak Rahma terdiam sejenak. Tapi dia raut wajahnya nggak berubah. Tetep ceria. Aku jadi heran, kabar buruknya apa?

"Nik, aku minta maaf ya," kata Mbak Rahma.

"Minta maaf kenapa mbak?"

"Soal Rian."

"Rian? Kenapa dengan Rian?"

"Sebenarnya, aku sama Rian sudah menjalin hubungan selama tiga tahun ini."

Tiba-tiba dadaku sesak. Aku mengambil nafas dalam-dalam.

"Nik, kamu nggak apa-apa?"

Aku menggeleng. Mataku berkaca-kaca.

"Maafin mbak ya. Itu terjadi begitu saja. Aku tahu kamu masih cinta ama Rian. Tapi, Rian malah dekat ama aku dia nembak aku dulu. Maaf aku nggak cerita ke kamu. Karena aku tahu perasaanmu. Aku nggak enak ama kamu, Nik. Aku seperti merebut Rian dari kamu."

Air mataku meleleh. Aku menangis.

"Nik, maaf ya."

"Ini memang salahku koq mbak. Aku harusnya nggak nyakiti Rian seperti itu. Huuuuu.....," tangisku tak bisa dibendung.

"Aku pengen meluk kamu, Nik. Kalau misalnya ini terlalu menyakitkan bagimu,...aku akan paksa Rian untuk kembali kepadamu."

"Nggak mbak! Nggak, jangan!" kataku. "Dia sudah milih mbak. Itu yang terbaik bagi dia. Ini adalah hukumanku mbak. Aku tak bisa berbuat seperti itu. Kalau Rian bahagia bersama mbak aku juga senang. Aku gembira. Apalagi melihat wajah mbak sekarang yang ceria aku ikut gembira."

"Nik,..," aku lihat Mbak Rahma juga menangis. "Kenapa ya kita suka ama cowok yang sama?"

Sakit sekali rasanya mendengar ini.

"Kamu baik-baik di Jakarta ya, cepet selesaikan kuliahnya. Oh iya, ada kabar lagi. Kuharap yang ini kamu siap, Mbak harap kamu lebih rela lagi kalau dengar yang ini."

"Apa mbak?"

"Tanggal 4 November nanti Rian dan aku akan menikah."

JDEERRRR! Jantungku serasa berhenti tiba-tiba. Aku memaksakan senyum.

"Oh ya? Syukurlah mbak. Berarti Rian emang serius ama mbak, aku turut senang," kataku.

Sambil menangis, Mbak Rahma berkata, "Iya, tapi koq aku jadi sedih ya, Dek? Aku mikirin perasaan kamu. Aku juga kaget ketika dua hari yang lalu Rian datang ke rumah buat ngelamar aku. Aku bingung harus bagaimana ketika ingat dirimu, Nik. Hikkss...."

"Sudahlah mbak, aku nggak apa-apa. Kalau mbakku senang, kalau mbakku bahagia, kenapa aku harus sedih?"

"Trus kenapa kamu nangis, Nik? Mbak juga ikut nangis...hikkss..hikss.."

"Mbak Rahma jahat...bagaimana aku nggak nangis kalau orang yang aku cintai nggak milih aku...hikss...hikss...tapi....hikss...aku senang koq dia lebih milih Mbak Rahma. Aku selama ini kagum ama Mbak. Aku jujur sekarang, aku kagum sama mbak. Selalu sempurna. Semuanya selalu sempurna, pelajaran, nilai, bahkan dapat beasiswa. Aku aja nggak bisa seperti mbak...hikss...aku nggak nyesal Rian dapetin mbak...hikss..."

"Aku pengen meluk kamu, Nik."

"Aku juga mbak."

Kami berdua bervideo chat sambil sama-sama menangis.

"Mbak, boleh minta nomor teleponnya Rian?" tanyaku.

Mbak Rahma kemudian mengetikkan di layar chat nomor telepon Rian. Aku menyimpannya di ponselku. Kami tak lama kemudian mengakhiri chat itu.

***

Butuh waktu tiga hari agar diriku tenang. Tiga hari yang berat. Karena dua harinya aku terus menangis di kamar. Menyesal sekali, menyesal kenapa aku dulu nggak nyium Pak Sapto satpam sekolah itu. Aku yang bodoh. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Aku tak pernah berkorban demi Rian. Selama ini justru Rian yang berkorban untukku. Ia sudah berkorban banyak untukku, tapi aku? Sama sekali tidak.

Pada hari ketiga, aku telpon Rian. Dia tak tahu nomor telepon ini. Jadi ia pasti akan mengangkatnya. Dia pun mengangkat.

"Yak, dengan Rian di sini?" aku kangen ama suara itu. Oh Rian, kamu tahu nggak kerinduanku sekarang ini?

"Halo, Rian?" sapaku.

Rian terdiam.

"Kamu masih ingat aku?" tanyaku.

"Anik?"

"Iya," aku terdiam lagi. Cukup lama mungkin. Kemudian aku melanjutkan lagi, "Selamat yah, kudengar dari Rahma kalian akan menikah. Aku turut senang akhirnya kamu menemukan cewek pilihan. Mbak Rahma emang baik. Dia cewek yang cocok buatmu."

"Iya."

"Kamu gimana kabar?"

"Baik. Sekarang sedang di kantor ngurusi percetakan. Kuliah sambil kerja."

"Oh, baguslah. Mbak Rahma emang suka ama cowok yang komitmen," aku sedikit tertawa canggung. Benar-benar canggung. "Jangan sakiti Mbak Rahma ya, kamu harus setia ama dia!"

"Iya, aku akan setia ama dia."

"Kamu masih marah ama aku, Rian?"

"Nggak, aku nggak marah, koq."

"Syukurlah."

"Kamu bagaimana kuliahnya?"

"Yah, begitulah. Aku kepengen jadi reporter."

"Oh, begitu, ya? Sukses ya?"

"Makasih."

"Kamu datang tanggal 4 November nanti?"

"Aku nggak janji."

"Kamu nggak usah merasa bersalah lagi, Nik. Aku sudah maafin kamu koq."

Bukan itu masalahnya Rian, bukan itu. "Iya, makasih ya.....,"

"Datang nggak?"

"Aku usahakan."

"Makasih ya, kedatanganmu nanti aku tunggu."

"Ok, maaf ganggu waktumu."

"Nggak apa-apa."

Setelah itu aku tutup teleponnya. Rian, kamu tetep aja bego. Bukan itu maksudku. Bukan. Kamu menyuruhku datang di hari pernikahanmu itu sama saja dengan membunuhku. Kamu tahu nggak sih? Kamu bego Rian, bego. O'onmu nggak pernah sembuh. Huaaaaaaa.......aku nangis lagi. Nyesal aku menelpon dia barusan.

(bersambung...)

ambil tissu dulu, nangis ane nulis bagian ini. :'(
 
Tissue... Tissue.. Mana tissue..
Mata ama kontie ane meler... :hua:
:konak: dan :galau: membabi buta bertubi-tubi..
:suhu: updetmu :jempol:
 
Salsa.. Muodar kowe cuk..
(Sambil banting hape.. Upzz .. Gk jadi,, sayang ahh..)
 
Bner2 ne updatetan......blum komen yg kmren udh mluncur aja updatetan yang baru......ckckckkck..
Mampus tuh salsa si binatang jalang....
 
Aku terharu bacanya.. Akhirnya Rian dan Rahma akan menikah.. :haha:
Cuma kasihan si Anik, masih tetap mengarapkan cinta dari Rian :sedih:
Tapi akhirnya tertawa di akhir setelah baca komennya bro Lin994.. Salsa Muodar.. :ha:
 
Kalo misal salsa macem-macem gan please izinin ane manggil anak buah azrael sebangsa troll buat ngegangbang salsa. . .
 
sampai merinding bacanya suhu keren+sedihnya jga dapet,,ahh lanjutkn suhu di tunggu updetnya..kyaknya bisa ada poligami lgi nih
 
wah akan mulai banyak konflik, si rahma meninggal di bunuh salsa apa anik nya!? Mudah2 an dua duanya jadi bini nya rian! Team balancer ikut hadir ga ya hahaha!
 
Cerita e apik pol.. sampe detail e toko sepatu obral di prapatan kilisuci n kaliombo dipromosiin... top markotop..
 
Bimabet
wah kalo rahma nikah ane siap jadi hansipnya awas aja salsa brani gangguin ane iket tak buang di sungai brantas hehehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd