Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Wishing Upon A Shooting Star

Chapter 3


Meet Again




Rasaku, bahagia bersamamu.

Sejak setelah engkau mengikrar janji setiamu terhadapku. Hari-hari telah kita lalui bersama, berjalan tanpa terasa telah genap sebulan hubungan ini.

Hari yang dilalui, pun hadirkan kisah indah dihati. Hati bahagia meski harapan tak seperti kenyataan yang sebenarnya.

Perhatian yang diberikan oleh lelakiku, bak laksana secawan air pelepas dahaga musyafir. Begitulah yang terjadi denganku, ketika dahagaku ingin terpuaskan akan hadirnya di sisiku. Hal yang membuatku merasa akulah perempuan yang paling bahagia di dunia ini.

Sangat jarang! Perhatian kosong yang ia berikan.

Kosong adalah hampa, dan ketika hampa telah menggantikan bayangan akan sosoknya. Maka terabaikan semua akal pikiran tergantikan dengan egoku selama ini.


Tetapi lelakiku sungguh sangat pengertian. Mengerti akan keinginanku selama ini.

Misal! Ketika makan siang, kerap kali aku diajak untuk menemaninya di kantin.

Karena keinginanku untuk pulang bersama. Aku pun telah berhasil mengikis kebiasaan darinya yang sering bekerja hingga malam hari. Jarang ia menolak, hal yang terjadi ketika hari yang memang menjadi tanggung jawabnya sebagai Manager Of Duty (MOD) di toko. Yang mengharuskan lelakiku stand by sejak opening toko hingga waktu closing toko.

Aku sama sekali tidak keberatan karena hanya seminggu sekali hal itu terjadi. Tetapi lelakiku selalu berfikir tentangku. Ku tau itu, sebab ketika malam harinya ia membayar dengan menyempatkan menghiburku meski melalui telfon. Hal yang pertama di ucapkan setelah membalas salamku, meminta maaf karena tak sempat mengantarku pulang.

Aku bahagia. Aku selalu senang mendengar cerita tentangnya selama seharian. Aku selalu dibuatnya tersenyum sendiri dalam kamar kos, ketika candaan hal yang selalu saja hadir sebagai penyempurnaan cerita kami.

Untung saja waktu MOD lelakiku, selalu tak bertepatan dengan hari liburku.

Tak pernah terbayang jika hal itu terjadi. Fuhh! Karena telah terbiasa mengisi liburku bersamanya. Hang out bersama, nonton maupun dinner di tempat berbeda tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar. Menimbulkan kekhawatiranku jika saja jadwal MOD-nya bertepatan dengan liburku.

Tak mampu diri ini membunuh sepi dengan duduk sendiri dalam kamar kos.

Bukan karena ku tak mampu untuk sejenak beranjak dari kenyamananku berdiam diri di kamar. Bukan juga karena tak mempunyai kawan selain zona tempatku bekerja.

Tetapi melakukan hal itu adalah sebagai bentuk menahanku dari rasa ego seorang perempuan. Lebih baik tidak beranjak agar tidak terkontaminasi dengan pergaulan di Manado. Dan tidak membuka peluang buat hati ini terketuk oleh lelaki lain.


Hal baru! Setiap hari setelah kabar tentang kami beredar di toko, seperti berita tentang selebriti yang menjadi hot news. Yang menurutku adalah bagian dari para perempuan yang menanam rasa kepadanya, tak jarang ku temui tatapan-tatapan sinis dari mereka.

Setiap kesempatan bertemu, ku ceritakan semuanya tanpa mencoba menutup-nutupin kepadanya. Menurut lelakiku cukup aku abaikan saja, dari pada menjadi beban dalam hubungan kami. Cukup dengan membalasnya melempar senyum, tanpa memendam rasa ketidaksukaan terhadap mereka.


Namun, sejujurnya aku tak bisa.


Apa salahku friend’s? Dulu! Yang selalu tertawa bersama, bercanda bersama, mengolok-ngolok menjadi salah satu acara yang wajib ketika waktu santai berpihak kepada kita. Kini telah tergantikan dengan keegoisan antara sesama perempuan. Tak saling menyapa, tak saling bercanda lagi.

Why? Menurutku, menjalin hubungan dengan lelakiku, bukanlah sebuah aib yang harus di sembunyikan. Kenapa justru kalian menghindar dariku?

Apakah kalian cemburu denganku? Apakah sudah tak ada lelaki lain selain dia? Kita sesama perempuan yang menumpukkan hidup bekerja di toko ini. Ku harapkan sebuah pengertian dari kalian, tanpa mengurangi keharmonisan hubungan pertemanan kita selama ini.

Keegoisan lainnya adalah ketika kesal menghampiriku. Ketika hari itu, hal yang sama seperti hari biasanya ku rasakan. Tatapan sinis, mendengar suara-suara sumbang yang buruk terhadapku. Dari mantan teman. Ku katakan mantan karena tak lagi ingin berteman denganku. Keinginan terus bersama selalu menjadi penyakit dalam membunuh rasa itu.

Dengan begitu cepat, rasa itu menderaku. Padahal sosoknya baru saja menghilang bersama angkot yang mengantarkan kembali ke kosnya.

Dan ketika akupun telah selesai membersihkan tubuh, duduk menyendiri dengan dua lutut tertekuk di atas ranjang. Ku telah memulai bermain dengan khayalanku sendiri. Maka yang mesti ku lakukan, adalah menghubunginya.

“Assalamualaikum. Pasti kamu kesepian lagi, kesal dan hemm.” Terdengar suara merdunya ketika menjawab panggilan telfonku.

“Waalaikumsalam, Hu uh yank. Bete qta eh, sejak tadi nda ada yang mo ajak bacarita.” (Iya yank. Saya BT, karena sejak tadi gak ada yang ngajak ngobrol)

“Perasaan kamu aja tuh. Hehe.” Kesalku setiap kali lelakiku menganggap hal ini adalah sebuah candaan.

“Au ah! bukannya bekeng senang pa qta. Eh malah Cuma da ba terek eh.” (Au Ah! Bukannya nyenengin aku, malah yang ada kamunya ledekin)

“Ba terek?” Aku tersadar ketika mendengar nada tanya darinya. Hihihi! kadang terjadi ketika aku tak sadar berbahasa, tanpa berfikir jika lelakiku bukan berasal dari Manado.

“Itu eh. Apa katu, ledekin gitu artinya yank.”

“Ohh, lumayan nambah-nambah pengetahuan lagi ni.”

Setelahnya ku mulai bercerita keluh kesahku selama seharian. Canda tawa terjadi, dan ku tau jika ia tak lelah mendengarnya.

Selalu saja ia menghiburku dengan pembahasan-pembahasan berbeda dari topik utama kami.

Dilema. Tak di telfon, seakan ketakutan ‘Cliodhna's Waves’ terjadi dalam hiduku. Jika di telfon, menimbulkan rasa ego ku yang mendalam.

Egoku, seiring perasaan ini yang mulai kacau. Aku ingin lebih dari yang sekarang. Aku ingin setiap detik, pandanganku tak pernah teralihkan dari sosoknya yang tampan dan rupawan.

Ku akhiri komunikasi kami dengan wassalam. Meninggalkan rasa yang tak ingin terpisah seperti ini.

Keinginan untuk bertemu setiap hari selalu menyiksa diri ini, Selalu ku menahannya agar engkau tidak menilai bahwa aku perempuan yang tak punya pengertian.

Aku seperti ini, karena takut kehilanganmu. Takut sebuah gelombang atau kejadian yang akan memisahkan kita.



Uhh! Ku pandangi layar ponsel, adalah hal yang biasa terjadi setelah berkomunikasi dengannya melalu telfon. Wallpaper wajahnya sedang tersenyum bagian dari obat penghilang rasa ini.

Mengingat kembali, ketika aku sejak tadi lebih banyak bersuara. Mengeluarkan semua uneg-uneg tentangku selama seharian bekerja. Kalimat-kalimat yang ku dengar selama ini tentang kekasihku, datang silih berganti mencoba menggempur pertahanan hatiku.

Sepi! Kembali hadir dalam kesendirianku saat ini. Sepi bukan berarti hilang. Aku diam bukan berarti lupa akan rasa yang menyiksa.

Ku tau, jauhpun bukan berarti putus. Aku punya dua mata yg selalu saja menginginkan lebih. Keinginan untuk melihatmu setiap detik.

Dua tangan ini yg selalu saja ingin menyentuhmu. Dan lagi, dua kaki yg selamanya ingin berjalan bersamamu.

Terakhir! Satu hati yang akan selalu mengingat dan menyayangimu.

Dalam kertas hati, Kugoreskan ungkapan rasa dengan tinta cinta. Wahai lelakiku.

Kumainkan hati untuk menulis syair. Tentang lelakiku, agar aku dapat merasakan kebahagiaan yang sempurna.

Dalam jiwa, bahagiaku mengenal namamu, adalah sebuah anugrah yang indah disetiap langkah ini. Membaca arti dirimu, telah menghadirkan satu hikmat tak ternilai.

Selain yang maha kuasa, semoga Hermes juga ikut mendengar keinginanku dan segera membawa pesan cintaku kepadanya. Semoga saja!


Meski hubungan kita seumur jagung, namun ku mampu berkhayal akan masa depan yang menunggu kita di depan. Detak jantung ini, seperti sedang menghitung berapa purnama yang akan kita lalui bersama hingga bibirmu berucap sebuah janji kedua.

Mungkin menurut kalian ini lebay. Melankolis atau terlalu sedih yang berkelebihan?

Come on, belajarlah menyayangi orang yang menyayangi mu. Hal itulah yang di namakan cinta sempurna. Dan itulah arti cinta yang sebenarnya.

Fufufu! Maafkan aku yang terlalu lebay dalam pengungkapan perasaan ini terhadapnya. Meskipun begitu adanya yang ku rasakan sekarang.



---©---


“Sayang, kamu sibuk banget sejak tadi,” Sebuah suara mengejutkanku yang sedari tadi asyik memberesi pemasangan tagprice produk. Aku menoleh kearah sumber suara itu. Sebuah senyuman mengawali soreku saat ini.

“Iya Pak. kan bos pusat mo visit kamari eh. Makanya Elsya jaga persiapkan noh samua.” (Iya Pak. kan bos dari pusat akan datang berkunjung kesini. Makanya Elsya sudah persiapkan semuanya) Sebutan ‘Pak’ kepadanya, terjadi jika kami sedang berada dalam zona tempat kerja. Dia cukup mengerti akan hal itu, sebagai bentuk profesionalku terhadap pekerjaan.

“Bukannya mereka dua hari lagi datang ke Manado?” Tanya lelakiku. Tubuhnya tertunduk ketika aku menunduk mengambil POS (Point Of Sale) yang terjatuh di lantai. Ternyata lebih dulu tangannya menggapai kertas kecil itu. “Nih,”

“Eh! Makase Pak.” Aku menerima kertas itu. “Oh iya, tau dari mana dung kalo tuh bos pusat dua hari lagi ru datang kamari Pak?” (Oh iya, darimana bapak tau kalau mereka 2 hari lagi baru datang ke mari?) Ku jawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan ‘juga’ mengenai kedatangan bos besar dari Jakarta.

“Store Manager sudah dapat info dari Jakarta juga, Sya.”

“Ohh bagitu dung,” Nyengirku dibuatnya ketika tertampak senyuman diwajahnya. Aku meleleh! seperti ‘Ucapan yang pernah ku dengar dari salah satu artis di Tv’.

“Oh iya, kamu pulang jam berapa?” Tanya lelakiku selanjutnya. Ku lirik paras wajahnya, hal yang pertama ku rasakan adalah kebanggaan dalam hati. Meskipun tak se-fresh seperti pagi tadi, butiran keringat di kening walau udara dalam toko tidak panas. Menunjukkan sosok lelaki pekerja keras dan mempunyai tanggung jawab penuh terhadap pekerjaannya. Membakar semangatku untuk segera menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda.


“Sya, kamu melamun lagi. Apa yang kamu pikirkan?” Oh! Aku melamun ya? Hihihi, maafkan Elsya sayang. Karena ku telah terhipnotis oleh sosokmu. Pak Darmaku, Sayang!

“Siapa do yang melamun.” Ku manyunkan bibir ini dihadapannya. Pengalihan pandangan adalah hal yang sejujurnya untuk menutup rasa gugupku saat ini.

“Ya kamu. Masa aku sih.” Jawabnya.

“Eh! Iya kah? Hihihi, udah ah Pak. Jang disini terus eh, mo malu qta kalo dapa liat deng tamang-tamang.” (Jangan disini terus, nanti aku malu kalau di lihat ama teman-teman yang lain)

“Ya sudahlah. Aku mau ke ruang EDP dulu kalau gitu.” Katanya.

Ku angkat dua jari membentuk huruf ‘O’. “Oke” Sambil mengerlipkan mata.

Lelakiku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku seperti ini. Ada yang lucu? Padahal spontan aku melakukan hal itu, karena kamu yang ingin pergi.

“Dah. Jangan banyak melamun, aku SP baru tau rasa.”

“Ihhh. Jangan do eh, masa sih sama-“ Sengaja ku gantung ucapanku, Ku lirik kiri dan kanan lalu memutar pandangan ke sekitar. Aman! Untuk melanjutkan maksudku tadi. Hihihihi. “-Kekasih sendiri kamu tega sayang.” Ku mengecilkan suara, seperti berbisik agar tak terdengar oleh orang lain. Aku terkekeh ketika mendapati wajahnya sedikit terkejut.

“Dasar. Udah ya, aku pergi dulu.”

“Oke! Byee.” Cuek. Tapi dalam hati merasa bahagia, meski hanya sedikit waktu yang diberikan kepadaku untuk bercakap-cakap dengannya.


Menghela nafas baru ku lakukan setelah sosoknya telah melangkah pergi. Sedetik ku tatap tubuhnya dari belakang, pundaknya yang kekar dibalik seragam yang ia gunakan. Dua tangan yang telah bersembunyi di dalam saku celana. Lelaki Cool! Dengan langkah tegak darinya, makin membuat lemah pertahananku. Ingin rasanya ku berteriak. Melarangnya bersikap demikian, agar perempuan lain tak merasakan apa yang ku rasakan terhadapnya.

Tapi apa daya, tempat dan kondisi yang tidak memungkinkan untukku mengungkapkan rasa ini yang selalu saja datang menghampiri.

Cukup! Mungkin sudah waktunya aku kembali bekerja. Menyelesaikan apa yang sempat tertunda tadi. Fuuhh! Semangat Sya!


---©---


Segarnyaaaaaa! Aku menyuarakan dalam hati rasa yang menderaku. Segar ku rasakan setelah selesai mandi.

Setelah selesai berpakaian, tak lupa ku bereskan handuk, peralatan pembersih wajah, roll on, dan lainnya ketempat semula.

Menyeduh teh, mungkin hal yang paling nikmat sambil menemaniku duduk di kamar.

Ku pencet remote TV, layar mulai bercahaya dari low menjadi high. Tayangan sebuah sinetron mungkin sejenak menghiburku, dikala menunggu telfon dari lelakiku. Karena hari ini adalah jadwal MODnya. Sehingga aku harus pulang sendiri ke kos.

Pikiranku mulai bergabung dengan film yang sementara ku tonton. Tersenyum sendiri ketika ada hal yang menggelikkan menurutku. Terkekeh sendiri, ketika pemeran lelakinya melempar candaan ataupun sedang ngolok-ngolok pemeran perempuan.

Sedang sibuk-sibuknya menonton, ponselku berdering.

Ternyata ibu sedang menelfonku. Hemm! Mungkin ibu lagi kangen denganku.

“Dimana ngana Sya?” (Kamu dimana, Sya?) Suara ibuku terdengar setelah ku pencet tombol ‘Answer’ dilayar ponsel.

“Di kos bu, hihihi. Pasti ibu so kangen pa qta toh?” (Di kosan Bu, hihihi. Pasti ibu lagi kangen sama aku kan?)

“Salah satunya juga itu Sya, oh iyo. Lusa nanti, ngana nimboleh maso pagi? Biar sore sampe malam qta mo minta tolong pa ngana nak.” (Besok lusa, kamu enggak bisa masuk pagi? Biar sore sampai malam ibu ingin minta tolong ke kamu nak) Pasti ibu ingin ke Manado ni. Hihihi. Dan sebelumnya, aku mengatakan setiap hari Rabu adalah pertukaran jadwal shiftku dengan Arnold. Jadwalku nanti, dari siang sampai malam.

“Hemm, kypa so bu? Mo datang ka manado so?” (Emang kenapa bu? Ibu mau kemanado ya?”

“Bukan bagitu sayang, kebetulan papah yang mo minta tolong pa ngana noh. Lusa itu ada depe tetangga pe anak waktu di jawa dulu da datang kamari. Kage ngana boleh mo temani akang pasiar Manado.” (Bukan sayang, kebetulan papah yang ingin minta tolong ke kamu. Besok lusa kebetulan anak tetangga papa waktu di jawa datang. Siapa tau, kamu bisa menemaninya jalan-jalan di Manado)

“Cewek atau cowok dung?”

“Cewek si Sya, boleh toh?” Oh syukur lah bukan cowok. karena ku tak ingin menimbulkan masalah jika lelakiku bertemu denganku nanti. Akan menimbulkan ruang antara kami berdua, yang dinamakan kecemburuan.

“Oh iyo dung, esok Elsya se kabar pa ibu neh. Mo ba bilang pa tamang biar ba tukar shift,” Pasti Arnold akan setuju, karena tuh anak paling hoby jika mendapat giliran shift siang. Alasannya, sama sih denganku. Sebelum aku dan lelakiku terjalin sebuah hubungan. Malas bangun pagi. Hihihihi.

“Oke dung he, jangan telat makang ngana eh.”

“Beres bos. Hihihihihi,” Ku terkekeh sendiri. Setelahnya, aku membalas salam dari ibu.


Aku sebetulnya tak ingin bepergian bersama orang lain. Aku tak ingin, jika sehari saja tak bersama dengan lelakiku. Namun mengingat hal ini adalah atas permintaan ibu, maka ku niatkan bertanya ke Arnold dan juga meminta izin kepada lelakiku.


---©---


Setelah mengatakan ke Arnold maksudku dua hari yang lalu, dan juga telah mendapatkan izin dari lelakiku. Kini waktunya bertemu dengan seorang perempuan yang telah kudapatkan nomor ponselnya dari SMS ibu.

Saat aku ingin menelfonnya, tiba-tiba sebuah nomor mendahuluiku memencet tombol dial. Hemm, bukankah ini nomornya? Batinku ketika mengetahui nomor si penelfon.

Berbasa basi, berkenalan dan berucap janji bertemu dua jam dari sekarang dengan perempuan itu. Lalu karena merasa bosan sendiri di kos. Akhirnya aku putuskan datang dahulu ke tempat yang telah ia sebutkan tadi.

Minimal membunuh kebosananku sendiri dalam kos. Dan ku yakin, lelakiku yang penuh pengertian tak akan menggangguku terlebih dahulu jika aku tak menyuruhnya.


Sebuah Cafe dengan cat dominan berwarna coklat, tempat yang akan menjadi pertemuanku dengan perempuan yang ku kenal bernama ‘Cindy’.

Satu jam lebih awal ku tiba di tempat ini. Begitu masuk ke dalam, dekorasi dari Cafe ini sendiri sangat apik didominasi dengan warna Dark Brown, suasana yang dirancang seolah-olah kita berada di satu kerajaan.

Bisa dilihat ada sebuah carriage, tanpa kuda tentunya yang bisa digunakan untuk berfoto ria. Ada juga bench yang diatur seolah-olah berada diantara royal garden. Untuk dekorasi, cukup sukses dengan gaya ala eropa.

Hemm, aku pesan apa ni? Sejenak ku berfikir sambil melihat menu. Dan menimbang, isi dalam dompet. Selembar uang seratus ribu. Hihihi. Ahh! Cukuplah.

Takut, jika Cindy lebih lambat tiba dari waktu yang telah kami tentukan. Malu juga jika berlama-lama disini. Minimal aku membayar pesananku sendiri, lalu pergi ke tempat berbeda sampai Cindy tiba nantinya.

“Steak Beef dan sprinkle blue drink, Mas” Pelayan yang telah mencatat pesananku, kini telah pergi meninggalkanku duduk sendiri di meja bagian pojok.

Aku memesan kedua menu tersebut dengan alasan menjaga tubuh agar tetap langsing. Hihihihihi, dasar Elsya.

Iya dong, cantik itu penting. Langsing itu pun perlu untuk menstabilkan proporsional sosok kita sebagai perempuan yang mendekati sempurna.


Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00. Menandakan aku telah 15 menit berada di tempat ini. Dua menu pesananku pun telah tiba, dan kini ku nikmati santapanku sambil memegang ponsel. Suara notif dari Applikasi WhatsApp sejak tadi berbunyi terus menerus.

“Sya, besok plannya seperti apa?”

“Woi. Kamana ngoni besok?”

“Uhh do eh. Sudah jo.”

“Lala mulu ngoni eh,”

Obrolan di beberapa group WA hanya ku baca begitu saja. Tak berniat untuk membalas atau melakukan sahut-sahutan dengan mereka.

Setelah perut terisi full oleh santapan makan barusan. Kedua mataku kini telah sibuk melihat ke sekeliling cafe, sehingga satu meja di sudut seberang menjadi perhatianku.

Deg! Seorang lelaki tak asing bagiku, sedang asyik dengan laptop bermerk Apple berwarna putih dihadapannya. Penampilannya terlihat berbeda. Kali ini, ia berpenampilan casual menggunakan kaos tshirt.

Sesaaat ku enggan memalingkan pandangan. Aku melihat lelaki itu mengambil ponsel yang terletak di samping laptop.

Mengambil beberapa gambar menggunakan ponselnya. Hemm, iseng atau apa tuh lelaki? Seringkali mengambil gambar sepasang muda mudi bahkan beberapa rombongan di meja yang berbeda-beda.

Tersadarku saat ini! Damn! Dia mengarahkan lensa kamera ponselnya ke arahku. Dan apakah dia mengambil fotoku? Duh, kenapa aku jadi grogi begini?

Ihh! Kalem Sya, Kalem. Aku grogi? Tentu saja. Aku malu? Hemm, mungkin saja tidak.

Tetapi kedua pipiku kenapa terasa panas? Pasti rona merah di pipi sudah muncul akibat rasa yang tiba-tiba menderaku karena ulah si lelaki itu yang masih saja sibuk mengarahkan kameranya kearahku.

Eh! Apakah ada orang lain dibelakangku? Hehe mungkin aku GR banget. Maka ku menoleh ke belakang, ke samping kiri dan kanan. Ternyata, meja di samping dan belakangku belum terisi.

Yang membuat diri ini makin grogi tak tertahan. Karena, saat ini hanya aku sendiri yang duduk di pojokan.

Cindy kok lama banget ihh! Gerutuku dalam hati, karena belum mendapatkan panggilan dari Cindy. Ya, minimal konfirmasi kek ke akunya. Jadi atau tidak kita bertemu ditempat ini.

Apalagi ada lelaki yang sok-sok seperti wartawan lagi motret-motret aku. Membuatku merasa tak nyaman berlama-lama ditempat ini.

Mending segera ku meninggalkan tempat ini, maka setelahnya ku beranjak dari dudukku. Melangkah menuju kasir untuk menyelesaikan bill pesananku.

“Mba, minta billnya dung.” Ujarku kepada kasir saat sudah berada di depan mejanya.

“Meja berapa mba?” Tanyanya sambil melempar senyum kepadaku.

“Meja 12 mba,” Jawabku.

“Oke bentar yah,” Kasirnya terlihat beberapa kali menekan layar monitor touch screen dihadapannya, seketika terdengar suara mesin print mencetak billku. “Nih mba, totalnya 127 ribu.” What! Mahal amat. Duhhh! Mana duit aku hanya seratus doang di dompet.

Gemetar kedua tanganku saat ini, mengingat kebodohanku yang tidak menyiapkan semua ini. Mana ATMku ketinggalan di kosan. Duhh! Malu gini jadinya.

Ku lirik sejenak, ternyata kasir itu masih menatapku menanti uang pembayaran dariku. Ya Allah bagaimana ini?

“Maaf mba, bagemana?” Suara kasir membuat pikiranku makin kacau. Mengagetkanku, adalah hal yang telah berhasil membuat raut wajahku berubah. Ketakutan kini menyiksaku.

“Ma-maaf mba. Qta anu, eh Qta dung-” Aku yang hampir saja menyelesaikan kalimat dari jawaban yang memohon belas kasih. Tiba-tiba pundakku ditepuk oleh seseorang yang sudah berada dibelakangku.

Aroma tubuhnya, sepertinya bukan dari parfum yang dijual dipasaran. Perlahan-lahan akupun menoleh kebelakang dan mendapatkan senyuman manis darinya. Seketika, sedikit membuatku terpesona. Duhh! Apa yang dia lakukan disini ihhh.

Dengan tatanan rambut urakan, memakai kaos tshirt dan ditangan kirinya memegang sebuah ponsel. Spechless ku dibuatnya. Tak mampu bibir ini berucap, hanya dalam hati ku menyuarakkan keterkejutanku saat ini.

Dia kan cowok yang tadi beberapa kali memotret aku?

“Hi, Nona. Bengong aja.” Kedua mataku seperti menangkap gerakan telapak tangan yang sedang berlambai-lambai di depan wajahku, kenapa aku belum tersadar dari lamunanku ya? Elsya, sadar Sya. Cepetan sadarnya. Duhhh!

Sayup-sayup ku melihat gerakan menggidik bahu darinya. Lalu membiarkanku dalam diam, mengeluarkan sebuah kartu ATM dari dalam dompetnya untuk diberikan ke kasir. “Biar aku aja yang bayar, mba”

Terdiamku dalam kebodohan.

Terpaku akan sesuatu yang dimilikinya.

Ada apa ini?

Kenapa aku merasakan damai berada di sampingnya.

Aroma maskulin menerobos masuk melalui indra penciumanku menuju ke pusat saraf.

Dengan bersusah payah, akhirnya aku berhasil mengembalikan kesadaranku. Namun, “Maaf sudah membuatmu grogi untuk kedua kalinya. Senang bertemu denganmu lagi, Nona.”

Lelaki itu meninggalkanku begitu saja.

Meninggalkan tanda tanya dalam benak ini.

Arggggg! seakan ingin ku berlari dan memanggil lelakiku untuk membantu menopang tubuhku yang telah lunglai karena lelaki misterius itu.
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Pertalite..

Makasih untuk updatenya suhu Dora:mantap::mantap:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Chapter 4


My First Lie


Dia? Aku akui telah sukses mengalihkan pikiran ini. Ku terdiam memandang tubuhnya, saat telah melangkah meninggalkanku yang masih berdiri terpaku. Kenapa denganku? Sadar Sya! Kamu sudah menjadi milik Pak Darma.

Tadi! Grogi ku dibuatnya. Dua mata belum berpaling dari sosoknya. Kini yang kulakukan adalah terdiam dengan pikiran yang berkecamuk.

Aku tidak jatuh hati kepadanya. Tidak juga telah terpikat oleh sosoknya yang bersahaja. Sendiri dalam diam, tanpa mampu melukiskan dengan pena akan rasa yang telah mampir kepadaku.

Mungkin aku perempuan yang tak mampu menahan rasa ini, jika bertemu dengan lelaki yang mempunyai kelebihan sepertinya. Masih dalam diamku sesaat, teringat apa yang telah ia lakukan tadi. Telah menyelamatkan rasa malu ini, di depan kasir.


Salahkah aku, telah terlupa akan kekasihku? Salahkah aku, jika menilai lelaki itu adalah lelaki misterius?

Dan salahkah aku, jika menganggap dirinya adalah malaikat penolongku tadi?

Entah akan seperti apa, jika kedatangannya terlambat semenit. Mungkin ku telah mendapatkan hukuman, misalkan membersihkan toilet. Atau mencuci semua piring dan gelas di dapur. Meninggalkan sebuah rasa dalam diri. Rasa Malu!

Ahh! Pusing kepala ini memikirkan semuanya. Lebih baik aku segera berpindah tempat.

Memberikan kabar ke Cindy, adalah hal yang jauh lebih baik dari pada makin terpuruk pikiran ini akan sosok lelaki tadi.


Setelah sebuah pesan SMS ku kirimkan ke Cindy. Ku langkahkan kaki ini bergegas menuju ke cafe seberang.

Memilih meja dekat pintu masuk mungkin jauh lebih tepat saat ini. Mengingat aku belum pernah melihat Cindy yang sebenarnya. Sebuah foto yang terdisplay di profile WhatsApp-nya lah yang menjadi patokanku sekarang. Satu kata untuk sosok Cindy. Cantik!

Melupakan lelaki misterius tadi, adalah dengan cara menyibukkan jemariku ke layar ponsel. Bermain game sederhana, sambil mengisi rasa suntuk menunggu kedatangan Cindy.

Aku melihat ada notifikasi di layar ponsel, lalu ku klik. “Sya! Lu dimana?”

Cindy sudah datang! Ku balas pesannya, menjelaskan posisi saat ini. Sambil pandanganku mencari sosok yang mengirimkan pesan SMS. Karena masih belum melihat, maka aku beranjak dari duduk. “Itu dia.”

“Hai!” Itu Cindy. Batin ini berkata, ketika melihat lambaian tangan seorang perempuan.

Dua mata ini tak mampu berpaling dari sosok Cindy. Hati ini tak mampu berbohong, telah membenarkan akan kesempurnaannya sebagai perempuan.

Cindy berjalan ke arahku. Berpenampilan santai dengan kesan elegan. Atasan blouse model sabrina berwarna biru gelap, menampilkan bagian bahunya yang cantik.

Semua begitu nyaman dipandang, karena siluet postur tubuhnya terlihat begitu sempurna. Berpadu padan Rok denim yang terlihat sangat kasual, menambah kesan feminim terhadapnya. Di bagian bawah, kaki yang terlihat jenjang, dengan sepatu boots yang terlihat chic dan sedikit lebih nyentrik.

Ahh! Jika di bandingkan denganku. Maka semua lelaki akan memilihnya. Cindy akan menjadi pemenangnya.

“Hei, kok melamun saja.” Tersadar dibuatnya, ketika suara merdu dengan irama genit menyapaku. Semuanya terkemas dengan baik, dan telah menyempurnakan sosoknya.

Aku perempuan. Tapi aku tak mampu berbohong untuk tidak mengakuinya sebagai perempuan yang menghampiri kesempurnaan.

“Elsya kan?” Cindy bertanya.

“Iya, he he he. Ngana Cindy?” Ku balas uluran tangannya.

“Sorry, tadi ada sedikit kerjaan yang harus gw selesaikan secepatnya. Makanya, gw rada telat kesini.”

“Iya nda apa-apa. Oh iyo, mo pesan apa dung?” Ku lihat Cindy memasang wajah bingung. Ahh! Elsya. Lupa kalau Cindy bukan orang Manado. “Upz! Maaf, maksudnya. Mau pesan apa?”

“Lu jangan rooming kalau ngomong sama gw. Hi hi hi.” Aku terkekeh, lalu ku sodorkan ke Cindy buku menu. Aku sendiri, sebelumnya telah memesan juice alpukat kepada pelayan cafe.

“Hemm! Apa ya.” Gumam Cindy, masih memilih-milih menu. “Lu sudah?”

“Iya, juice alpukat saja.”

Ku lirik lagi wajah Cindy, yang matanya masih fokus ke buku menu. Terlalu cantik, menjadi seorang perempuan. Terlalu anggun wajahnya, serasa ingin berlama-lama memandangnya.

Andai aku lelaki, akan ku katakan bahwa. Aku menyukaimu! Hi hi hi. Lebay deh.

“Gw ice lemon tea saja deh.” Kata Cindy setelah lama memilih-milih. Lalu aku memanggil pelayan tadi untuk memesankan pesanan Cindy.


Setelah semua telah tersedia di meja, kami kembali mengobrol.

“Gimana kabar om Yoga?” Tanya Cindy.

“Alhamdulillah sehat, papa tidak berada di Manado, Cin.” Ku jawab sambil tersenyum, pertanyaan Cindy barusan. Ah! Papa Yoga, aku tiba-tiba rindu dengan papa dan mama di kampung.

“Iya gw tau. Nyokap lu yang nelfon ke nyokap gw kapan hari.” Perempuan modis, dengan bahasa ‘lu gw’. Begini ya cara berkomunikasi orang-orang Jakarta? Entahlah!

“Iya mama juga yang ba telfon ke Elsya, untuk temani kamu selama di Manado.” Ku akui, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang benar. Sangat sulit bagiku. Karena akan tetap ikut terselip dialog Manado. He he he!

“So? Malam ini agenda kita mau kemana, Sya?” Aku nyengir sendiri. Karena belum memikirkan, kemana tujuan kami hari ini.

“Ngana, eh. Kamu mau kemana dung emangnya?”

“Belum ada tujuan si, Sya. Nanti diliat, karena gw belum ngomong ma cowok gw tadi.” Aku hanya manggung-mangguk. Segitunya si Cindy, harus meminta izin ke kekasihnya yang berada di Jakarta. Jika ingin keluar denganku. Perempuan setia. Tentu dong, sama denganku.

“Oh,”

“Kalau lu, rencananya mau ajakin gw kemana?”

“Kemana ya?” Aku berfikir sejenak. Yang jika di terawang dalam pikiran ini, sejujurnya aku masih bleng. He he he. Enggak tau, mau ajak Cindy kemana.

“Atau gini, lu ikut gw aja nanti. Akan kita pikirkan selanjutnya.” Kata Cindy.

“Ok dung, terserah pa ngana jo Cin.”

“Hadeh! Rooming lagi kan.” Aku terkekeh mendengar protes dari Cindy.

“Hi hi hi, maklum kebiasaan.”

Kami terlibat obrolan santai. Cindy lebih banyak bercerita, mengenai dirinya yang saat ini bekerja sebagai Model di Jakarta. Dan hanya sekedar menjawab jika Cindy bertanya mengenai apa yang aku kerjakan saat ini.

Aku terbayang tentang kota Jakarta, dengan hiruk pikuk yang cukup mendebarkan hati. Masyarakat dengan kebiasaan bergaya modern. Kejahatan tentu saja, pun telah merajalela disana.

Kota tanpa mengenal siang dan malam. Selalu ramai di setiap tempat. Mendengar keseluruhan cerita Cindy tentang Jakarta, aku tak mampu membayangkan jika berada di sana.

Apalagi dengan kondisi bahasaku yang masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia. Akan menjadi sasaran empuk para penipu ulung, jika bertemu denganku. He he he, cukup dengan hidup di Manado membuat aku bahagia.


Oh iya, satu hal lagi yang telah di ceritakan oleh Cindy. Kekasihnya. Adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Pantas si, jika Cindy mendapatkan lelaki kaya. Berbeda denganku, karena akupun cukup bahagia menjadi kekasih Pak Darmaku sayang.

Duh! Mengingat kekasihku. Menjadikan diri ini ingin segera berpisah dengan Cindy. Segera menghampiri lelakiku di tempat kerja. Ingin segera menelfonnya, memberikan kabar bahwa pertemuanku dengan Cindy telah berakhir.

Namun aku cukup berbicara dalam hati, mengungkapkan keinginanku yang telah terpikir saat ini.

Saat asyik-asyiknya mengobrol, ponsel Cindy berdering.

“Bentar Sya. Cowok gw nelfon ni.”

“Oke.” Ku lihat Cindy beranjak dari duduknya. Menjauh dariku, yang entah kenapa ia lakukan. Apa yang salah, jika duduk berdua denganku? Kan aku bukan lelaki yang tidak pantas duduk berdua dengannya. Aku kan perempuan, sama dengannya.

Sambil menunggu Cindy sedang sibuk menelfon kekasihnya, yang ku lakukan adalah mengirim pesan kepada kekasihku.

Berbalas chat ku lakukan saat ini. Candaan darinya mampu menghilangkan rasa rinduku kepadanya.

Tersenyum sendiri, terkekeh sendiri ketika membaca chat dari lelakiku. Tentang apa yang seharian ini ia lakukan.

Yang terjadi setelah komunikasi kami terputus adalah, kini sudut sepi telah ku rasakan. Kembali aku merindukannya, sangat rindu. Gundah, resah dan gelisah menari-nari di kalbu. Bercumbu dengan setumpuk rindu yang membelenggu.

Khayalanku telah menari-nari tentang bayangannya. Masih ku ingat saat itu, saat yang selalu ku rasakan. Saat engkau telah membunuhku dengan ketidakhadiran sosokmu di hadapanku.

Kini, kubangan hening telah muncul bersama bayanganmu yang telah hadir dibibir ilusiku. Hadirkan sebersit senyum terindah milikmu, senyum yang semakin memberatkan rindu ini.

Ah! Sya, cukup. Jangan terlalu merindukan dia, karena dia tidak akan kemana-mana. Suara hatiku seakan memberikanku kekuatan agar tidak perlu merasa khawatir. Tidak perlu merindukan kekasihku dengan cara yang berlebihan.

Tetapi! Aku tidak dan tak akan mampu. Wahai engkau, Ku katakan dengan jujur. Sebuah pesan yang ku harapkan bisa tersampaikan kepadamu. Bahwa dengan cara inilah aku mencintaimu. “Aku Merindukanmu”


“Sya!” Suara Cindy, seketika menghapus bayangannya. Mengembalikanku ke titik semula. Kesadaranku telah memulih, seiring pandangan dan wajah tersenyum kepada Cindy.

“Sudah?”

“Sudah. He he he, sorry lama. Biasa, doi tadi berceramah panjang. Hi hi hi.” Ku gelengkan kepala ini dihadapan Cindy. Kami terkekeh bersama, sambil melanjutkan obrolan kami yang sempat terhenti.

Aku mendengar apa yang Cindy ceritakan. Bercerita tentang kekasihnya, menelfonnya untuk menyuruh Cindy kembali ke Hotel.

Dan baru aku mengetahui bahwa kekasihnya, datang ke Manado bersama Cindy. Berada dalam satu kamar, membuat pikiranku telah pergi berterbangan ke mana-mana.

Sebebas itukah kehidupan mereka disana? Ku tak mampu, jika terjadi kepadaku. Meskipun dalam hati kecil ini telah lama menginginkan tidur berduaan dengan kekasihku. Namun keinginanku masih bisa tertahan dengan logika dalam hati. Memutuskan agar terjadi jika telah resmi menikah. He he he, ya iya dong. Mau digantung akunya sama papa dan mama.

“Lu ikut gw ke hotel ya, Sya.” Kata Cindy, ku pasang wajah ingin protes. “Biar gw bisa keluar lagi bareng elu.”

“Oh bagitu dung.”

“Begitu Sya. Bukan bagitu. Dehh, sepertinya elu harus gw ajar berbahasa indonesia yang baik.”

“He he he, biar jo kwa. So ta biasa do eh-“

“Woi. Sadar woi, jangan keterusan ngomong pakai bahasa Manado lu dong. Ha ha ha!” Cindy gerang. Langsung memutus ucapanku.

“Ha ha ha ha,” Kami tertawa bersama. Mengakhiri acara nongkrong kami, dengan ajakan Cindy untuk menemaninya ke Hotel. Ya sudahlah, aku ikut saja apa keinginan Cindy.


---©---

Berdua dengan menggunakan jasa taksi online, kami kini telah tiba di depan Hotel Aston. Letaknya di tengah kota.

Setelah membayar ongkos, Cindy mengajak aku untuk masuk ke dalam.

“Thanks mas!” Cindy berucap, ketika telah membayar ke bapak supir.


Ketika telah tiba di loby, aku menjaga sikap. Tak ingin dua mata ini melihat ke sekeliling dalam ruangan. Tak ingin hati ini, mengucap sebuah ketakjuban akan bangunan hotel. Diam! adalah cara untuk tak membuatku kelihatan kampungan. Meskipun sejujurnya, demikian adanya.

“Sya, tungguin bentar. Gw mau ke kamar dulu.” Oh, aku pikir Cindy akan mengajak bersama ke kamar. Mungkin, kekasihnya berada di sana.

“Sip!” Simple, aku menjawabnya sambil meraih ponsel dalam tas.


Duduk di salah satu sofa, adalah hal yang langsung kulakukan. Membuka pesan masuk dari kekasihku, lalu membalasnya. Senyum terkembang ku rasakan di wajah ini, ketika ada telfon masuk darinya.

“Halo,”

Kami mengobrol santai, seperti biasanya. Saling bertanya kabar, bertanya keberadaan. Dan juga, bertanya apakah sudah makan atau belum. Sebuah pembukaan dalam percakapan kami saat ini.

Berlanjut bercerita tentang yang aku lakukan bersama Cindy. Hingga Cindy mengajakku ke Hotel.

Dia mengolok-ngolok, ketika mendengarku tertinggal sendiri di loby. Ingin ku meraung-raung, meneriakkan kekesalanku kepada lelakiku. Tak pernah habis bahan candaannya terhadapku. Adalah hal yang selalu ku suka dalam dirinya.

Aku ngambek! Malah lelakiku menambahkan candaannya. Menambahkan olok-olokannya terhadapku.

Tapi justru kerinduanku makin bertambah. Ingin ku peluk dirinya. Mengecup pipinya. Mengungkapkan kepadanya perasaanku yang sangat mencintainya.

Hingga tak terasa, obrolan kami harus terputus. Bersamaan adanya sapaan dari lelaki, yang ku dengar di seberang. Adalah atasan langsung kekasihku di toko.


Aku menghela nafas. Keinginan untuk masih tetap mengobrol dengan lelakiku, harus berakhir secepat ini.

Ku kedepankan rasa logika ini, dan menepis jauh-jauh keegoisanku terhadapnya.

Menyisahkan kesendirianku kembali, bermain dengan ponsel. Game sederhana, adalah yang paling berguna membunuh rasa suntuk.

Menunggu kedatangan Cindy, telah terkalahkan oleh rasa ini. Tak ada yang lebih membosankan, kecuali menunggu untuk bertemu kembali dengan kekasihku.

Aku duduk masih menanti kedatangan Cindy, yang entah apa yang ia lakukan di kamar bersama kekasihnya. Membiarkanku menunggu setengah jam lamanya.

Hati ini mulai memunculkan rasa kesal. Enggan untuk menelfonnya, karena ku takut jika mengganggu aktivitas bersama kekasihnya.

Bosan menunggu, ada baiknya aku memilih berjalan-jalan sejenak. Betul, aku sebaiknya beranjak dari sini.

Aku melangkah pelan sambil dua mata memandang ruang hotel yang begitu besar.

Hingga ku tersadar, entah telah berada di sudut hotel bagian mana. Dua pasang kaki, kini berdiri berjarak satu meter dihadapanku.


“Hai nona, kita ketemu lagi.” Suaranya telah sukses merubah pandanganku ke atas.

Itukan dia! Batinku terucap akan satu sosok. Sosok lelaki yang telah tiga kalinya bertemu denganku.

Sya, please! Jangan gugup. Jangan salah tingkah ‘Lagi’ deh.

Tapi! Ahhh, Ada apa ini? Kenapa detak jantungku berubah seperti 'genderang perang' begini?

Tenang Sya, relaaax, tarik nafas pelan-pelaaaan, lalu hembuskan. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku campur aduk begini, setelah kornea mataku berfokus pada sosok yang tersenyum ramah dihadapanku.

“Again.” Ku dengar lelaki itu bergumam pelan. “Lu, tidak sedang melihat hantu kan. Nona!”

“I-iya.” Argggg! Kenapa bibirku terasa kaku berucap dihadapannya.

Kesal dengan diri ini. Masih saja, sebuah rasa menghampiriku. Bahkan untuk mengucapkan sebuah kalimat, pun tak mampu ku lakukan.

Berusaha menjaga sikap, adalah hal yang seharusnya kulakukan. Mencoba tetap tersenyum, untuk membalas senyumannya masih berusaha ku pertahankan.

Jaga sikap Sya, jaga sikap, jangan bikin malu, jangan gugup dan juga jangan pecicilan, Enggak usah pake mangap. Kali ini hati kecilku mengingatkan. Takutnya aku lepas kendali, dan dengan tololnya langsung berlari pergi menjauhinya.

Karena memang benar apa yang lelaki itu katakan. Dia bukan hantu. Namun, hal yang selanjutnya terjadi. Tak disangka, sekejap ku balas tatapannya, dan senyum tipis disunggingkannya ke arahku.


Duhh! cakep banget, Oh My God! Salah tingkah kini telah terjadi kepadaku.

Sya! stay cool, jaga sikap. Kembali hati kecilku seperti menasehati, karna secara 'tidak sadar' dan entah mengapa, tiba-tiba jemari kananku reflek bergerak sendiri, mengelus rambut, kemudian sepintas menyelipkannya di telinga kananku.

“Ngapain disini, Nona?” Pertanyaan terdendang darinya.

“Me Me. Menunggu teman.” Ahh Bodoh!

“Ohh.” Senyum tipis ku lihat di wajahnya. Tak ku ketahui apa arti dari senyumannya. Yang jelas, kini ku telah merasa perempuan paling bodoh di dunia ini. Apakah sebegitu terpesonakah diri ini kepadanya? Ku gerakkan kepalaku ke kiri dan kanan. Mencoba melawan dan juga menjawab pertanyaan batinku barusan.

“...” Aku masih terdiam menatapnya.

“Ya sudah, Gw permisi dulu, Boleh?” Aku memicingkan mata, mendengar nada kata terakhir darinya seperti bertanya dan meminta izin kepadaku.

“Iya.” Satu kata yang bisa terucap dariku. Ku lihat lagi, ia tersenyum.


“Nice to meet you, Nona.”

“Iya.”


Aku menahan nafas, ketika lelaki itu ingin melanjutkan langkahnya. Meninggalkanku dengan kebodohanku saat ini. Hingga terdengar dari belakang suara yang tak asing bagiku.

“Honey.”

“Yap.” Lelaki itu membalasnya.

“Hei Sya, ngapain lu berdiri disini?” Ku menoleh ke belakang. Ahhh! Untung Cindy yang datang dan menolongku dari rasa gugup campur aduk karena lelaki itu.

Namun, lucunya lelaki itu masih berdiri. Seakan menunggu kedatangan Cindy yang melangkah ke arah kami.

“Dia cewek bawel, juga cewek gw. Nona. Stttt.” Bisik lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.


Dan benar saja.

Cindy yang telah berganti pakaian, menggunakan pakaian cukup seksi langsung memeluk lengan lelaki itu. Menggelayut manja dihadapanku, ku ingin muntah karena muak yang tiba-tiba menderaku.

“Honey, kalian sudah saling kenal?” Ku gelengkan kepala ini, mencoba menjawab dengan berbohong kepada Cindy.

Namun, lelaki itu entah karena bodoh atau apa. Ia malah tersenyum sesaat kepadaku. “Iya, kami sudah saling mengenal, Sayang!” Ahhh! Susah ya, untuk mengatakan tidak kepada Cindy. Dasar lelaki aneh bin ajaib.

“Hon, gw izin jalan sama si Elsya ya.” Cindy masih berucap manja kepada lelaki itu. Ada rasa yang tiba-tiba menghampiriku. Cemburu? Enggak! Ku jawab dengan tegas pertanyaan batin ini. Apa hak aku untuk cemburu?, Aduh Sya, kamu tuh harusnya sadar kalo kamu itu bukan siapa-siapanya dia. Kenal saja tidak.

Karna itulah!

Dari pada menyaksikan kemesraan mereka berdua, akupun lebih memilih berdiam diri dengan mencoba mengalihkan 'cemburu dan lara hati' ini, What? Aku katakan, aku tidak cemburu.

“Oke, tapi. Pulangnya jangan terlalu malam. Sekalian pulang pagi, kalau sudah agak telat.”

“Gitu dong, Honey!” Cindy mengecup pipi lelaki itu. Dasar Cindy, tidak bisa menempatkan waktu dan kondisi untuk menahan melakukan kemesraan dengan lelakinya.

“Upz, sampai lupa. Kalian sejujurnya sudah saling kenal atau tidak si?” Tanya Cindy.

Aku hanya diam. Takut salah jawab.


Justru, kekasih Cindy mengulurkan tangan dihadapanku. “Kenal, tapi belum mengenal namanya.”

Ku tatap jari-jarinya sesaat. Menarik nafas ini, sambil membalas uluran tangannya. “Iyan. Sudah pernah mendengar nama itu kan?”

Aku mengangguk. “Elsya.” Setelahnya ku balas, dengan menyebut namaku.

“Ya udah, kalau gitu gw ma Elsya jalan dulu yah. Honey!” Kata Cindy, membuatku melepaskan tangan dari lelakinya.

“Oke!” Singkat, jelas dan berbobot. Jawaban dari Iyan. Ku katakan namanya saja, biar lebih mudah mengucapkannya. He he he!


Setelah berbasa-basi sedikit, kami akhirnya berpamitan ke Iyan. Aku hanya mengikuti kemana tujuan Cindy mengajakku malam ini.

Ketika Cindy yang telah berjalan duluan, yang tanpa aku prediksi dan sadari sebelumnya. Saat sekilas tampak pandangan Iyan tiba-tiba tertuju kembali ke arahku, bermuara tanpa disengaja dengan tatapan senduku.

Tak ku ketahui artinya, ketika sambil ditingkahi dengan menggeleng-gelengkan kepala dan sedikit senyum yang 'nampak' tulus ke arahku, kembali mampu membuat dingin lara hati yang sesaat tadi dipantik cemburu. Terserah kata batin ini, menganggapku cemburu. Padahal tidak demikian adanya.

Namun, terus terang bukannya mampu untuk membasuh kalbu, malah semakin membuatku bingung dan terkungkung dalam pusaran rasa yang tak ku ketahui artinya.


Melangkah bersama Cindy, dan juga Ku ketahui barusan, dari cerita Cindy. Jika Iyan tak bisa join dikarenakan adanya pekerjaan yang mendadak. Iyan ingin bertemu dengan rekan bisnisnya dan sebuah keputusan antara mereka harus diselesaikan malam ini.

Menunggu taksi online di loby hotel. Yang kini telah kami lakukan. Sebuah taksi, yang sejujurnya tak aku ketahui akan mengantarkan kami ke tujuan mana.


Tak begitu lama, kami pun telah berada di dalam taksi.

“Mau kemana Cin?”

“Ikut aja, yang jelas gak bakal bikin lu nyesal kok. Hi hi hi!” Jawaban dari Cindy, tak ku hiraukan sejenak.

Taksi yang telah berjalan, seiring sebuah pikiran dalam diamku. Menghantarkan aku akan ingatan singkat yang hanya bisa kulampiaskan dengan helaan nafas panjang, mengingat awal pertemuanku dengan Iyan yang begitu singkat namun entah mengapa, mempunyai arti tersendiri bagiku saat ini.

Sampai tiba-tiba! Kata batin ini seakan menanyakan suatu hal kepada Iyan. Apa sebenarnya maumu. Iyan? Sesaat seperti itulah pertanyaan yang tiba-tiba muncul mengiringi detak jantungku.

Apa arti dari bahasa tubuh yang dia berikan tadi kepadaku? Bertubi-tubi pertanyaan menggelayut dalam pikiran tanpa ku tau apakah akan mendapatkan jawaban diakhir. Namun, hanya satu yang pasti dan aku tetap yakin. Jikalau Ada Awal, Pastilah Ada Akhir. It's true, and I believe it!

Meskipun pertanyaan-pertanyaan hampa, masih menggelitik dalam pikiran. Aku hanya bisa menjawab dengan hembusan ringan nafasku, karena sejujurnya akupun tak tau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.


“Sya! Sudah sampai gi.” Suara Cindy terdengar, dan berangsur-angsur kesadaranku memulih.

“Loh, dimana kita sekarang?” Tersadar, ketika pandanganku ke satu arah. Sebuah tulisan di papan reklame depan sebuah gedung, tak asing bagiku.

“Kita dugem aja, Sya!” Hah! Belum pernah ku lakukan hal itu. Dan hati ini, ingin menolak permintaan Cindy.

“Kenapa harus dugem si, Cin?” Protesku kepada Cindy.

“Elah ni anak. Sudah, lu ikutin gw aja.” Dongkol kini ku rasakan. Menimbang-nimbang sejenak, apakah aku tetap mengikuti keinginan Cindy atau tidak.

Namun, tarikan dilenganku membuat diri ini tak mampu menolaknya lagi.

“Bentar Cin, mau ba telfon dulu pa paitua,” Terserah, mau bingung atau tidak mendengar dialog Manadoku tadi. Yang jelas, aku ingin menelfon kekasihku. Meminta izin kepadanya.


Dengan berat hati, ku tekan nomor kekasihku.

“Halo, sayang!” Jantung ini seperti ingin mencuat keluar, ketika mendengar suara kekasihku yang begitu lembut di telfon.

Menanyakan tentang keberadaannya saat ini, dan juga bertanya jika ia telah makan atau belum. Sebagai bentuk basa-basiku di awal dengannya.

Setelah ia menjawab, aku melanjutkan mengobrol dengannya.

Lalu! Colekan dilengan dari Cindy, mengharuskanku cepat-cepat menghentikan komunikasiku dengan kekasihku.

Kesal! Cindy tidak mengerti betapa aku merindukan lelakiku. Kenapa si, tidak membiarkan aku sedikit saja bercerita dengannya?


Dengan sedikit paksaan dari wajah Cindy, maka ku menguatkan hati meminta izin kepada lelakiku. Kekasihku yang bijak, dan baik hati. Telah membuat bibir ini terasa kaku.

Hal aneh yang kurasakan, ketika ingin menyebutkan maksudku menelfonnya. Bahkan kalimat untuk mendapatkan sebuah izin darinya, belum mampu terucap.

“Ayo Sya.” Bisik Cindy yang tidak sabar menungguku.

“Iya.”

Lalu, dengan perlahan ku ceritakan keinginanku kepada lelakiku. Meminta izin kepadanya untuk menemani Cindy malam ini.

Rasa bersalahku kini telah terasa, ketika bibir ini mengucapkan sebuah kebohongan kepada lelakiku. Ketika sebuah pertanyaan darinya terdengar, menanyakan keinginanku bepergian kemana bersama Cindy.

Sama sekali tidak ada kecurigaan darinya. Dengan candaan, lelakiku mengizinkan untuk tidak bertemu malam ini. Karena ku beralasan yang sangat tidak masuk akal, adalah menemani Cindy malam ini dihotel. Dan saat ini kami hanya nongkrong di cafe yang berada dekat dari hotel.


Ingin ku berteriak memperdendangkan sebuah kejujuran kepadanya. Namun niatku terelakkan ketika Cindy dengan ketidaksabarannya kembali mencolek lenganku.

Ku akhiri dengan kata wassalam komunikasi dengan lelakiku. Lelaki yang bijaksana. Kekasih yang sabar dan baik hati. Aku tak salah memilih untuk mencintainya.

Sayang, maaf sudah berbohong untuk pertamakalinya.

Akan ku balas dengan cinta yang begitu besar.

Akan ku bayar kebijaksanaanmu, dengan kesetiaanku terhadapmu.

Kekasihku, Lelakiku, Darma! Aku menyesal telah berbohong kepadamu. Hiks!
 
Makasih Tante Dora untuk updatenya..
 
Biar sepi tapi Dora tetap update. hihihihi

di tunggu hari ini Dora update
:panlok4:
 
Bimabet
2cfe9a904010584.jpg



Salam kenal untuk semua suhu di forum Semprot.
:bye:
Mohon ijin buat Admin, Super Moderator dan Moderator. Dora ingin membuat satu cerita yang bisa menambah perbendaharaan bacaan buat para reader di forum ini.

Cerita karangan Dora sama sekali jarang ditemukan di Real Life. Hihihi... Sebetulnya Dora hanya ingin menuangkan apa yang selama ini ada di khayalan Dora sendiri, menjadi bentuk tulisan yang jauh dari kata sempurna. Tetapi Dora akan mencoba berusaha membuat cerita ini agar mudah di cerna dan bisa menghibur rakyat Semprot.​
nemu ini cerita dari profilnya bang beler @lerlah semoga lanjut sampe selesai jangan kaya cerita kosan beler sampe dikunci om momod😋
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd