Chapter 4
My First Lie
Dia? Aku akui telah sukses mengalihkan pikiran ini. Ku terdiam memandang tubuhnya, saat telah melangkah meninggalkanku yang masih berdiri terpaku. Kenapa denganku? Sadar Sya! Kamu sudah menjadi milik Pak Darma.
Tadi! Grogi ku dibuatnya. Dua mata belum berpaling dari sosoknya. Kini yang kulakukan adalah terdiam dengan pikiran yang berkecamuk.
Aku tidak jatuh hati kepadanya. Tidak juga telah terpikat oleh sosoknya yang bersahaja. Sendiri dalam diam, tanpa mampu melukiskan dengan pena akan rasa yang telah mampir kepadaku.
Mungkin aku perempuan yang tak mampu menahan rasa ini, jika bertemu dengan lelaki yang mempunyai kelebihan sepertinya. Masih dalam diamku sesaat, teringat apa yang telah ia lakukan tadi. Telah menyelamatkan rasa malu ini, di depan kasir.
Salahkah aku, telah terlupa akan kekasihku? Salahkah aku, jika menilai lelaki itu adalah lelaki misterius?
Dan salahkah aku, jika menganggap dirinya adalah malaikat penolongku tadi?
Entah akan seperti apa, jika kedatangannya terlambat semenit. Mungkin ku telah mendapatkan hukuman, misalkan membersihkan toilet. Atau mencuci semua piring dan gelas di dapur. Meninggalkan sebuah rasa dalam diri. Rasa Malu!
Ahh! Pusing kepala ini memikirkan semuanya. Lebih baik aku segera berpindah tempat.
Memberikan kabar ke Cindy, adalah hal yang jauh lebih baik dari pada makin terpuruk pikiran ini akan sosok lelaki tadi.
Setelah sebuah pesan SMS ku kirimkan ke Cindy. Ku langkahkan kaki ini bergegas menuju ke cafe seberang.
Memilih meja dekat pintu masuk mungkin jauh lebih tepat saat ini. Mengingat aku belum pernah melihat Cindy yang sebenarnya. Sebuah foto yang terdisplay di profile WhatsApp-nya lah yang menjadi patokanku sekarang. Satu kata untuk sosok Cindy. Cantik!
Melupakan lelaki misterius tadi, adalah dengan cara menyibukkan jemariku ke layar ponsel. Bermain game sederhana, sambil mengisi rasa suntuk menunggu kedatangan Cindy.
Aku melihat ada notifikasi di layar ponsel, lalu ku klik. “Sya! Lu dimana?”
Cindy sudah datang! Ku balas pesannya, menjelaskan posisi saat ini. Sambil pandanganku mencari sosok yang mengirimkan pesan SMS. Karena masih belum melihat, maka aku beranjak dari duduk.
“Itu dia.”
“Hai!” Itu Cindy. Batin ini berkata, ketika melihat lambaian tangan seorang perempuan.
Dua mata ini tak mampu berpaling dari sosok Cindy. Hati ini tak mampu berbohong, telah membenarkan akan kesempurnaannya sebagai perempuan.
Cindy berjalan ke arahku. Berpenampilan santai dengan kesan elegan. Atasan blouse model sabrina berwarna biru gelap, menampilkan bagian bahunya yang cantik.
Semua begitu nyaman dipandang, karena siluet postur tubuhnya terlihat begitu sempurna. Berpadu padan Rok denim yang terlihat sangat kasual, menambah kesan feminim terhadapnya. Di bagian bawah, kaki yang terlihat jenjang, dengan sepatu boots yang terlihat chic dan sedikit lebih nyentrik.
Ahh! Jika di bandingkan denganku. Maka semua lelaki akan memilihnya. Cindy akan menjadi pemenangnya.
“Hei, kok melamun saja.” Tersadar dibuatnya, ketika suara merdu dengan irama genit menyapaku. Semuanya terkemas dengan baik, dan telah menyempurnakan sosoknya.
Aku perempuan. Tapi aku tak mampu berbohong untuk tidak mengakuinya sebagai perempuan yang menghampiri kesempurnaan.
“Elsya kan?” Cindy bertanya.
“Iya, he he he. Ngana Cindy?” Ku balas uluran tangannya.
“Sorry, tadi ada sedikit kerjaan yang harus gw selesaikan secepatnya. Makanya, gw rada telat kesini.”
“Iya nda apa-apa. Oh iyo, mo pesan apa dung?” Ku lihat Cindy memasang wajah bingung. Ahh! Elsya. Lupa kalau Cindy bukan orang Manado. “Upz! Maaf, maksudnya. Mau pesan apa?”
“Lu jangan rooming kalau ngomong sama gw. Hi hi hi.” Aku terkekeh, lalu ku sodorkan ke Cindy buku menu. Aku sendiri, sebelumnya telah memesan juice alpukat kepada pelayan cafe.
“Hemm! Apa ya.” Gumam Cindy, masih memilih-milih menu. “Lu sudah?”
“Iya, juice alpukat saja.”
Ku lirik lagi wajah Cindy, yang matanya masih fokus ke buku menu. Terlalu cantik, menjadi seorang perempuan. Terlalu anggun wajahnya, serasa ingin berlama-lama memandangnya.
Andai aku lelaki, akan ku katakan bahwa. Aku menyukaimu! Hi hi hi. Lebay deh.
“Gw ice lemon tea saja deh.” Kata Cindy setelah lama memilih-milih. Lalu aku memanggil pelayan tadi untuk memesankan pesanan Cindy.
Setelah semua telah tersedia di meja, kami kembali mengobrol.
“Gimana kabar om Yoga?” Tanya Cindy.
“Alhamdulillah sehat, papa tidak berada di Manado, Cin.” Ku jawab sambil tersenyum, pertanyaan Cindy barusan. Ah! Papa Yoga, aku tiba-tiba rindu dengan papa dan mama di kampung.
“Iya gw tau. Nyokap lu yang nelfon ke nyokap gw kapan hari.” Perempuan modis, dengan bahasa
‘lu gw’. Begini ya cara berkomunikasi orang-orang Jakarta? Entahlah!
“Iya mama juga yang ba telfon ke Elsya, untuk temani kamu selama di Manado.” Ku akui, berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang benar. Sangat sulit bagiku. Karena akan tetap ikut terselip dialog Manado. He he he!
“So? Malam ini agenda kita mau kemana, Sya?” Aku nyengir sendiri. Karena belum memikirkan, kemana tujuan kami hari ini.
“Ngana, eh. Kamu mau kemana dung emangnya?”
“Belum ada tujuan si, Sya. Nanti diliat, karena gw belum ngomong ma cowok gw tadi.” Aku hanya manggung-mangguk. Segitunya si Cindy, harus meminta izin ke kekasihnya yang berada di Jakarta. Jika ingin keluar denganku. Perempuan setia. Tentu dong, sama denganku.
“Oh,”
“Kalau lu, rencananya mau ajakin gw kemana?”
“Kemana ya?” Aku berfikir sejenak. Yang jika di terawang dalam pikiran ini, sejujurnya aku masih bleng. He he he. Enggak tau, mau ajak Cindy kemana.
“Atau gini, lu ikut gw aja nanti. Akan kita pikirkan selanjutnya.” Kata Cindy.
“Ok dung, terserah pa ngana jo Cin.”
“Hadeh! Rooming lagi kan.” Aku terkekeh mendengar protes dari Cindy.
“Hi hi hi, maklum kebiasaan.”
Kami terlibat obrolan santai. Cindy lebih banyak bercerita, mengenai dirinya yang saat ini bekerja sebagai Model di Jakarta. Dan hanya sekedar menjawab jika Cindy bertanya mengenai apa yang aku kerjakan saat ini.
Aku terbayang tentang kota Jakarta, dengan hiruk pikuk yang cukup mendebarkan hati. Masyarakat dengan kebiasaan bergaya modern. Kejahatan tentu saja, pun telah merajalela disana.
Kota tanpa mengenal siang dan malam. Selalu ramai di setiap tempat. Mendengar keseluruhan cerita Cindy tentang Jakarta, aku tak mampu membayangkan jika berada di sana.
Apalagi dengan kondisi bahasaku yang masih kesulitan menggunakan bahasa Indonesia. Akan menjadi sasaran empuk para penipu ulung, jika bertemu denganku. He he he, cukup dengan hidup di Manado membuat aku bahagia.
Oh iya, satu hal lagi yang telah di ceritakan oleh Cindy. Kekasihnya. Adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Pantas si, jika Cindy mendapatkan lelaki kaya. Berbeda denganku, karena akupun cukup bahagia menjadi kekasih Pak Darmaku sayang.
Duh! Mengingat kekasihku. Menjadikan diri ini ingin segera berpisah dengan Cindy. Segera menghampiri lelakiku di tempat kerja. Ingin segera menelfonnya, memberikan kabar bahwa pertemuanku dengan Cindy telah berakhir.
Namun aku cukup berbicara dalam hati, mengungkapkan keinginanku yang telah terpikir saat ini.
Saat asyik-asyiknya mengobrol, ponsel Cindy berdering.
“Bentar Sya. Cowok gw nelfon ni.”
“Oke.” Ku lihat Cindy beranjak dari duduknya. Menjauh dariku, yang entah kenapa ia lakukan. Apa yang salah, jika duduk berdua denganku? Kan aku bukan lelaki yang tidak pantas duduk berdua dengannya. Aku kan perempuan, sama dengannya.
Sambil menunggu Cindy sedang sibuk menelfon kekasihnya, yang ku lakukan adalah mengirim pesan kepada kekasihku.
Berbalas chat ku lakukan saat ini. Candaan darinya mampu menghilangkan rasa rinduku kepadanya.
Tersenyum sendiri, terkekeh sendiri ketika membaca chat dari lelakiku. Tentang apa yang seharian ini ia lakukan.
Yang terjadi setelah komunikasi kami terputus adalah, kini sudut sepi telah ku rasakan. Kembali aku merindukannya, sangat rindu. Gundah, resah dan gelisah menari-nari di kalbu. Bercumbu dengan setumpuk rindu yang membelenggu.
Khayalanku telah menari-nari tentang bayangannya. Masih ku ingat saat itu, saat yang selalu ku rasakan. Saat engkau telah membunuhku dengan ketidakhadiran sosokmu di hadapanku.
Kini, kubangan hening telah muncul bersama bayanganmu yang telah hadir dibibir ilusiku. Hadirkan sebersit senyum terindah milikmu, senyum yang semakin memberatkan rindu ini.
Ah! Sya, cukup. Jangan terlalu merindukan dia, karena dia tidak akan kemana-mana. Suara hatiku seakan memberikanku kekuatan agar tidak perlu merasa khawatir. Tidak perlu merindukan kekasihku dengan cara yang berlebihan.
Tetapi! Aku tidak dan tak akan mampu. Wahai engkau, Ku katakan dengan jujur. Sebuah pesan yang ku harapkan bisa tersampaikan kepadamu. Bahwa dengan cara inilah aku mencintaimu. “Aku Merindukanmu”
“Sya!” Suara Cindy, seketika menghapus bayangannya. Mengembalikanku ke titik semula. Kesadaranku telah memulih, seiring pandangan dan wajah tersenyum kepada Cindy.
“Sudah?”
“Sudah. He he he, sorry lama. Biasa, doi tadi berceramah panjang. Hi hi hi.” Ku gelengkan kepala ini dihadapan Cindy. Kami terkekeh bersama, sambil melanjutkan obrolan kami yang sempat terhenti.
Aku mendengar apa yang Cindy ceritakan. Bercerita tentang kekasihnya, menelfonnya untuk menyuruh Cindy kembali ke Hotel.
Dan baru aku mengetahui bahwa kekasihnya, datang ke Manado bersama Cindy. Berada dalam satu kamar, membuat pikiranku telah pergi berterbangan ke mana-mana.
Sebebas itukah kehidupan mereka disana? Ku tak mampu, jika terjadi kepadaku. Meskipun dalam hati kecil ini telah lama menginginkan tidur berduaan dengan kekasihku. Namun keinginanku masih bisa tertahan dengan logika dalam hati. Memutuskan agar terjadi jika telah resmi menikah. He he he, ya iya dong. Mau digantung akunya sama papa dan mama.
“Lu ikut gw ke hotel ya, Sya.” Kata Cindy, ku pasang wajah ingin protes. “Biar gw bisa keluar lagi bareng elu.”
“Oh bagitu dung.”
“Begitu Sya. Bukan bagitu. Dehh, sepertinya elu harus gw ajar berbahasa indonesia yang baik.”
“He he he, biar jo kwa. So ta biasa do eh-“
“Woi. Sadar woi, jangan keterusan ngomong pakai bahasa Manado lu dong. Ha ha ha!” Cindy gerang. Langsung memutus ucapanku.
“Ha ha ha ha,” Kami tertawa bersama. Mengakhiri acara nongkrong kami, dengan ajakan Cindy untuk menemaninya ke Hotel. Ya sudahlah, aku ikut saja apa keinginan Cindy.
---©---
Berdua dengan menggunakan jasa taksi online, kami kini telah tiba di depan Hotel Aston. Letaknya di tengah kota.
Setelah membayar ongkos, Cindy mengajak aku untuk masuk ke dalam.
“Thanks mas!” Cindy berucap, ketika telah membayar ke bapak supir.
Ketika telah tiba di loby, aku menjaga sikap. Tak ingin dua mata ini melihat ke sekeliling dalam ruangan. Tak ingin hati ini, mengucap sebuah ketakjuban akan bangunan hotel. Diam! adalah cara untuk tak membuatku kelihatan kampungan. Meskipun sejujurnya, demikian adanya.
“Sya, tungguin bentar. Gw mau ke kamar dulu.” Oh, aku pikir Cindy akan mengajak bersama ke kamar. Mungkin, kekasihnya berada di sana.
“Sip!” Simple, aku menjawabnya sambil meraih ponsel dalam tas.
Duduk di salah satu sofa, adalah hal yang langsung kulakukan. Membuka pesan masuk dari kekasihku, lalu membalasnya. Senyum terkembang ku rasakan di wajah ini, ketika ada telfon masuk darinya.
“Halo,”
Kami mengobrol santai, seperti biasanya. Saling bertanya kabar, bertanya keberadaan. Dan juga, bertanya apakah sudah makan atau belum. Sebuah pembukaan dalam percakapan kami saat ini.
Berlanjut bercerita tentang yang aku lakukan bersama Cindy. Hingga Cindy mengajakku ke Hotel.
Dia mengolok-ngolok, ketika mendengarku tertinggal sendiri di loby. Ingin ku meraung-raung, meneriakkan kekesalanku kepada lelakiku. Tak pernah habis bahan candaannya terhadapku. Adalah hal yang selalu ku suka dalam dirinya.
Aku ngambek! Malah lelakiku menambahkan candaannya. Menambahkan olok-olokannya terhadapku.
Tapi justru kerinduanku makin bertambah. Ingin ku peluk dirinya. Mengecup pipinya. Mengungkapkan kepadanya perasaanku yang sangat mencintainya.
Hingga tak terasa, obrolan kami harus terputus. Bersamaan adanya sapaan dari lelaki, yang ku dengar di seberang. Adalah atasan langsung kekasihku di toko.
Aku menghela nafas. Keinginan untuk masih tetap mengobrol dengan lelakiku, harus berakhir secepat ini.
Ku kedepankan rasa logika ini, dan menepis jauh-jauh keegoisanku terhadapnya.
Menyisahkan kesendirianku kembali, bermain dengan ponsel. Game sederhana, adalah yang paling berguna membunuh rasa suntuk.
Menunggu kedatangan Cindy, telah terkalahkan oleh rasa ini. Tak ada yang lebih membosankan, kecuali menunggu untuk bertemu kembali dengan kekasihku.
Aku duduk masih menanti kedatangan Cindy, yang entah apa yang ia lakukan di kamar bersama kekasihnya. Membiarkanku menunggu setengah jam lamanya.
Hati ini mulai memunculkan rasa kesal. Enggan untuk menelfonnya, karena ku takut jika mengganggu aktivitas bersama kekasihnya.
Bosan menunggu, ada baiknya aku memilih berjalan-jalan sejenak. Betul, aku sebaiknya beranjak dari sini.
Aku melangkah pelan sambil dua mata memandang ruang hotel yang begitu besar.
Hingga ku tersadar, entah telah berada di sudut hotel bagian mana. Dua pasang kaki, kini berdiri berjarak satu meter dihadapanku.
“Hai nona, kita ketemu lagi.” Suaranya telah sukses merubah pandanganku ke atas.
Itukan dia! Batinku terucap akan satu sosok. Sosok lelaki yang telah tiga kalinya bertemu denganku.
Sya, please! Jangan gugup. Jangan salah tingkah ‘Lagi’ deh.
Tapi! Ahhh, Ada apa ini? Kenapa detak jantungku berubah seperti 'genderang perang' begini?
Tenang Sya, relaaax, tarik nafas pelan-pelaaaan, lalu hembuskan. Entah kenapa tiba-tiba perasaanku campur aduk begini, setelah kornea mataku berfokus pada sosok yang tersenyum ramah dihadapanku.
“Again.” Ku dengar lelaki itu bergumam pelan. “Lu, tidak sedang melihat hantu kan. Nona!”
“I-iya.” Argggg! Kenapa bibirku terasa kaku berucap dihadapannya.
Kesal dengan diri ini. Masih saja, sebuah rasa menghampiriku. Bahkan untuk mengucapkan sebuah kalimat, pun tak mampu ku lakukan.
Berusaha menjaga sikap, adalah hal yang seharusnya kulakukan. Mencoba tetap tersenyum, untuk membalas senyumannya masih berusaha ku pertahankan.
Jaga sikap Sya, jaga sikap, jangan bikin malu, jangan gugup dan juga jangan pecicilan, Enggak usah pake mangap. Kali ini hati kecilku mengingatkan. Takutnya aku lepas kendali, dan dengan tololnya langsung berlari pergi menjauhinya.
Karena memang benar apa yang lelaki itu katakan. Dia bukan hantu. Namun, hal yang selanjutnya terjadi. Tak disangka, sekejap ku balas tatapannya, dan senyum tipis disunggingkannya ke arahku.
Duhh! cakep banget,
Oh My God! Salah tingkah kini telah terjadi kepadaku.
Sya! stay cool, jaga sikap. Kembali hati kecilku seperti menasehati, karna secara 'tidak sadar' dan entah mengapa, tiba-tiba jemari kananku reflek bergerak sendiri, mengelus rambut, kemudian sepintas menyelipkannya di telinga kananku.
“Ngapain disini, Nona?” Pertanyaan terdendang darinya.
“Me Me. Menunggu teman.” Ahh Bodoh!
“Ohh.” Senyum tipis ku lihat di wajahnya. Tak ku ketahui apa arti dari senyumannya. Yang jelas, kini ku telah merasa perempuan paling bodoh di dunia ini. Apakah sebegitu terpesonakah diri ini kepadanya? Ku gerakkan kepalaku ke kiri dan kanan. Mencoba melawan dan juga menjawab pertanyaan batinku barusan.
“...” Aku masih terdiam menatapnya.
“Ya sudah, Gw permisi dulu, Boleh?” Aku memicingkan mata, mendengar nada kata terakhir darinya seperti bertanya dan meminta izin kepadaku.
“Iya.” Satu kata yang bisa terucap dariku. Ku lihat lagi, ia tersenyum.
“Nice to meet you, Nona.”
“Iya.”
Aku menahan nafas, ketika lelaki itu ingin melanjutkan langkahnya. Meninggalkanku dengan kebodohanku saat ini. Hingga terdengar dari belakang suara yang tak asing bagiku.
“Honey.”
“Yap.” Lelaki itu membalasnya.
“Hei Sya, ngapain lu berdiri disini?” Ku menoleh ke belakang. Ahhh! Untung Cindy yang datang dan menolongku dari rasa gugup campur aduk karena lelaki itu.
Namun, lucunya lelaki itu masih berdiri. Seakan menunggu kedatangan Cindy yang melangkah ke arah kami.
“Dia cewek bawel, juga cewek gw. Nona. Stttt.” Bisik lelaki itu tanpa menoleh sedikitpun kepadaku.
Dan benar saja.
Cindy yang telah berganti pakaian, menggunakan pakaian cukup seksi langsung memeluk lengan lelaki itu. Menggelayut manja dihadapanku, ku ingin muntah karena muak yang tiba-tiba menderaku.
“Honey, kalian sudah saling kenal?” Ku gelengkan kepala ini, mencoba menjawab dengan berbohong kepada Cindy.
Namun, lelaki itu entah karena bodoh atau apa. Ia malah tersenyum sesaat kepadaku. “Iya, kami sudah saling mengenal, Sayang!” Ahhh! Susah ya, untuk mengatakan tidak kepada Cindy. Dasar lelaki aneh bin ajaib.
“Hon, gw izin jalan sama si Elsya ya.” Cindy masih berucap manja kepada lelaki itu. Ada rasa yang tiba-tiba menghampiriku. Cemburu? Enggak! Ku jawab dengan tegas pertanyaan batin ini. Apa hak aku untuk cemburu?, Aduh Sya, kamu tuh harusnya sadar kalo kamu itu bukan siapa-siapanya dia. Kenal saja tidak.
Karna itulah!
Dari pada menyaksikan kemesraan mereka berdua, akupun lebih memilih berdiam diri dengan mencoba mengalihkan 'cemburu dan lara hati' ini, What? Aku katakan, aku tidak cemburu.
“Oke, tapi. Pulangnya jangan terlalu malam. Sekalian pulang pagi, kalau sudah agak telat.”
“Gitu dong, Honey!” Cindy mengecup pipi lelaki itu. Dasar Cindy, tidak bisa menempatkan waktu dan kondisi untuk menahan melakukan kemesraan dengan lelakinya.
“Upz, sampai lupa. Kalian sejujurnya sudah saling kenal atau tidak si?” Tanya Cindy.
Aku hanya diam. Takut salah jawab.
Justru, kekasih Cindy mengulurkan tangan dihadapanku. “Kenal, tapi belum mengenal namanya.”
Ku tatap jari-jarinya sesaat. Menarik nafas ini, sambil membalas uluran tangannya. “Iyan. Sudah pernah mendengar nama itu kan?”
Aku mengangguk. “Elsya.” Setelahnya ku balas, dengan menyebut namaku.
“Ya udah, kalau gitu gw ma Elsya jalan dulu yah. Honey!” Kata Cindy, membuatku melepaskan tangan dari lelakinya.
“Oke!” Singkat, jelas dan berbobot. Jawaban dari Iyan. Ku katakan namanya saja, biar lebih mudah mengucapkannya. He he he!
Setelah berbasa-basi sedikit, kami akhirnya berpamitan ke Iyan. Aku hanya mengikuti kemana tujuan Cindy mengajakku malam ini.
Ketika Cindy yang telah berjalan duluan, yang tanpa aku prediksi dan sadari sebelumnya. Saat sekilas tampak pandangan Iyan tiba-tiba tertuju kembali ke arahku, bermuara tanpa disengaja dengan tatapan senduku.
Tak ku ketahui artinya, ketika sambil ditingkahi dengan menggeleng-gelengkan kepala dan sedikit senyum yang 'nampak' tulus ke arahku, kembali mampu membuat dingin lara hati yang sesaat tadi dipantik cemburu. Terserah kata batin ini, menganggapku cemburu. Padahal tidak demikian adanya.
Namun, terus terang bukannya mampu untuk membasuh kalbu, malah semakin membuatku bingung dan terkungkung dalam pusaran rasa yang tak ku ketahui artinya.
Melangkah bersama Cindy, dan juga Ku ketahui barusan, dari cerita Cindy. Jika Iyan tak bisa join dikarenakan adanya pekerjaan yang mendadak. Iyan ingin bertemu dengan rekan bisnisnya dan sebuah keputusan antara mereka harus diselesaikan malam ini.
Menunggu taksi online di loby hotel. Yang kini telah kami lakukan. Sebuah taksi, yang sejujurnya tak aku ketahui akan mengantarkan kami ke tujuan mana.
Tak begitu lama, kami pun telah berada di dalam taksi.
“Mau kemana Cin?”
“Ikut aja, yang jelas gak bakal bikin lu nyesal kok. Hi hi hi!” Jawaban dari Cindy, tak ku hiraukan sejenak.
Taksi yang telah berjalan, seiring sebuah pikiran dalam diamku. Menghantarkan aku akan ingatan singkat yang hanya bisa kulampiaskan dengan helaan nafas panjang, mengingat awal pertemuanku dengan Iyan yang begitu singkat namun entah mengapa, mempunyai arti tersendiri bagiku saat ini.
Sampai tiba-tiba! Kata batin ini seakan menanyakan suatu hal kepada Iyan. Apa sebenarnya maumu. Iyan? Sesaat seperti itulah pertanyaan yang tiba-tiba muncul mengiringi detak jantungku.
Apa arti dari bahasa tubuh yang dia berikan tadi kepadaku? Bertubi-tubi pertanyaan menggelayut dalam pikiran tanpa ku tau apakah akan mendapatkan jawaban diakhir. Namun, hanya satu yang pasti dan aku tetap yakin. Jikalau Ada Awal, Pastilah Ada Akhir.
It's true, and I believe it!
Meskipun pertanyaan-pertanyaan hampa, masih menggelitik dalam pikiran. Aku hanya bisa menjawab dengan hembusan ringan nafasku, karena sejujurnya akupun tak tau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
“Sya! Sudah sampai gi.” Suara Cindy terdengar, dan berangsur-angsur kesadaranku memulih.
“Loh, dimana kita sekarang?” Tersadar, ketika pandanganku ke satu arah. Sebuah tulisan di papan reklame depan sebuah gedung, tak asing bagiku.
“Kita dugem aja, Sya!” Hah! Belum pernah ku lakukan hal itu. Dan hati ini, ingin menolak permintaan Cindy.
“Kenapa harus dugem si, Cin?” Protesku kepada Cindy.
“Elah ni anak. Sudah, lu ikutin gw aja.” Dongkol kini ku rasakan. Menimbang-nimbang sejenak, apakah aku tetap mengikuti keinginan Cindy atau tidak.
Namun, tarikan dilenganku membuat diri ini tak mampu menolaknya lagi.
“Bentar Cin, mau ba telfon dulu pa paitua,” Terserah, mau bingung atau tidak mendengar dialog Manadoku tadi. Yang jelas, aku ingin menelfon kekasihku. Meminta izin kepadanya.
Dengan berat hati, ku tekan nomor kekasihku.
“Halo, sayang!” Jantung ini seperti ingin mencuat keluar, ketika mendengar suara kekasihku yang begitu lembut di telfon.
Menanyakan tentang keberadaannya saat ini, dan juga bertanya jika ia telah makan atau belum. Sebagai bentuk basa-basiku di awal dengannya.
Setelah ia menjawab, aku melanjutkan mengobrol dengannya.
Lalu! Colekan dilengan dari Cindy, mengharuskanku cepat-cepat menghentikan komunikasiku dengan kekasihku.
Kesal! Cindy tidak mengerti betapa aku merindukan lelakiku. Kenapa si, tidak membiarkan aku sedikit saja bercerita dengannya?
Dengan sedikit paksaan dari wajah Cindy, maka ku menguatkan hati meminta izin kepada lelakiku. Kekasihku yang bijak, dan baik hati. Telah membuat bibir ini terasa kaku.
Hal aneh yang kurasakan, ketika ingin menyebutkan maksudku menelfonnya. Bahkan kalimat untuk mendapatkan sebuah izin darinya, belum mampu terucap.
“Ayo Sya.” Bisik Cindy yang tidak sabar menungguku.
“Iya.”
Lalu, dengan perlahan ku ceritakan keinginanku kepada lelakiku. Meminta izin kepadanya untuk menemani Cindy malam ini.
Rasa bersalahku kini telah terasa, ketika bibir ini mengucapkan sebuah kebohongan kepada lelakiku. Ketika sebuah pertanyaan darinya terdengar, menanyakan keinginanku bepergian kemana bersama Cindy.
Sama sekali tidak ada kecurigaan darinya. Dengan candaan, lelakiku mengizinkan untuk tidak bertemu malam ini. Karena ku beralasan yang sangat tidak masuk akal, adalah menemani Cindy malam ini dihotel. Dan saat ini kami hanya nongkrong di cafe yang berada dekat dari hotel.
Ingin ku berteriak memperdendangkan sebuah kejujuran kepadanya. Namun niatku terelakkan ketika Cindy dengan ketidaksabarannya kembali mencolek lenganku.
Ku akhiri dengan kata wassalam komunikasi dengan lelakiku. Lelaki yang bijaksana. Kekasih yang sabar dan baik hati. Aku tak salah memilih untuk mencintainya.
Sayang, maaf sudah berbohong untuk pertamakalinya.
Akan ku balas dengan cinta yang begitu besar.
Akan ku bayar kebijaksanaanmu, dengan kesetiaanku terhadapmu.
Kekasihku, Lelakiku, Darma! Aku menyesal telah berbohong kepadamu. Hiks!