Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Waduh...
updatenya besok pagi???
Wah gawat ini... gawaaat... gawaatt...
Kopral mana kopral? Meski kopral udah mandi, batas Nubie mandi basah kan sahur yak. Bisa batal puasa ini mah gara2 nrmrnin Bu Norma pral pral wkwkwk
Monggo dilanjut Hu
 
Malam Jahannam 1.3.1

"Tidur yang nyenyak, yo," bisik Kopral.

Entah bagaimana, bisikan Kopral menemukan jalan masuk ke alam bawah sadar Bu Norma. Dalam tidurnya, dia—yang sedang bermimpi buruk hendak digauli oleh ayah kandungnya—berteriak manakala kata-kata "Tidur yang nyenyak, yo," mendadak mampir di telinganya. Tanpa wujud. Tanpa rupa. Teriakan itu meminjaminya kekuatan. Keberanian. Untuk melawan. Untuk membela kesuciannya. Dan dia pun bangun sesudahnya.

Berkeringat, Bu Norma terengah-engah. Buah dadanya kembang-kempis. Naik-turun. Naik-turun. Sepasang payudara 36C itu tampak menggoda di mata Kopral, yang duduk di dekat jendela, mengamati dalam diam. Sadar kulit perutnya terekspos, Bu Norma lalu menoleh ke bawah dan napasnya tercekat. Dia... setengah telanjang!

Apa-apaan?

Siapa yang—

Apa yang—


Bu Norma mengedarkan pandang dan hampir berharap dia buta. Di seberang ruangan, seorang laki-laki gempal namun berperut buncit memelototinya. Pria itu berkumis baplang. Rambutnya sedikit botak. Ubanan pula. Selain celana komprang, dia tidak mengenakan apa-apa. Seakan dia sengaja mempertontonkan apa yang dia punya.

Sontak Bu Norma bereaksi. Dia rapatkan lututnya ke dada. Membola. Punggung dia tempelkan pada dinding di belakangnya. Wanita dewasa itu tak ubahnya bocah kecil yang takut akan genderuwo di kolong meja.

"Malam, Mbak," ucap Kopral, merokok pipa yang kemudian asapnya dia tiup ke luar jendela. Nyamuk yang jika bukan karena habis hujan akan mengganggunya, tak tampak satu pun batang hidung mereka. Nyanyian satwa-satwa malam terdengar mengisi udara. Berduaan dengan buruannya, pria itu enggan terburu-buru. Dia ingin si wanita menikmati. Setidaknya untuk malam ini. Sebab, setelah dia nanti diumpankan pada yang lain, Kopral ragu perempuan berhijab itu akan berterima kasih atas takdir yang menimpanya.

"Minum?"

Bu Norma bungkam. Kerongkongannya gersang. Akan tetapi, kendil air di tangan Kopral bahkan tidak dia pandang. Matanya mengunci pandangan si laki-laki. Tampak jelas ada kebuasan di sana. Sebentuk keberingasan. Yang sedang menelanjangi dirinya. Sangat kontras dengan takut yang memancar dari sepasang manik beralis lentik di balik kacamatanya.

"Nama Mbak siapa?" tanya Kopral di sela asap tembakau bakar.

"..."

"Saya Pur." Suara Kopral terdengar lebih enteng. Lebih terbuka. Lebih bersahabat. "Tapi biasa dipanggil Kopral. Boleh panggil Pak Pur apa Kopral. Terserah."

"..."

"Mbak mungkin takut. Bingung. Ndak apa-apa. Wajar. Santai, Mbak."

Ajaib, kata-kata Kopral membujuk Bu Norma agar berani bertanya, "Ini di mana? S-suami saya—"

"Mbak di gubuk saya. Pondok kayu sederhana. Tadi saya temuken Mbak di luar sana. Hampir jadi mangsa para durjana."

"M-maksudnya?" tanya Bu Norma yang belum ingat betul apa yang terjadi. Jilbab, rompi, kemeja, rok, serta stocking yang lembap terasa berat. Mereka mengundang gatal yang seolah sedang menuntutnya untuk lekas mengingat. Untuk segera menjinakkan resah di dalam dada.

"Saya pemburu, Mbak. Lagi ngejar babi hutan. Celeng. Eh, malah ketemu Mbak. Di sana. Di jalan utama." Kopral lancar menguntai dusta. "Karena tahu Mbak ini korban, sebelum bandit-bandit itu muncul, saya bawa Mbak pergi. Ke sini. Sekarang, Mbak aman."

"Suami saya bagaimana?" Seujung kuku pun Bu Norma tidak acuh pada cerita laki-laki di hadapannya. Tidak ada yang penting di sana. Keselamatan dirinya bahkan cuma duduk di nomor dua. Yang menguasai benak wanita berjilbab hitam itu sekarang hanyalah suaminya. Panutan hidupnya. Cahaya hatinya. "Mas Abi—"

"Saya ndak tahu, Mbak." Kopral menggeleng. Jika dia risih dengan cara Bu Norma menanggapi, dia sembunyikan itu dengan rapi. Suara dia pelankan. Nada dia landaikan. Dia ingin si wanita mengira dia rusa alih-alih macan yang sudah lama puasa. "Lari. Atau tewas barangkali. Bandit-bandit itu suka ndak ada otak kalau lagi lapar, Mbak. Saya benci mereka. Siapa saja mereka bikin mangsa. Hewan, manusia; sama di mata mereka."

Omongan Kopral menyisakan gumpalan yang menyumbat nadi Bu Norma. Detak jantung wanita itu berhenti seketika. Napasnya terjeda.

Tewas?

Mas Abi?

Suaminya?

Belahan jiwanya?


Tidak mungkin! Bohong! Penipu! Orang ini, Pak Pur atau siapalah tadi, pasti salah lihat! Terakhir dia lihat suaminya masih—

Bu Norma ingat. Dia ingat pohon yang memblokir jalan. Dia ingat Dokter Abi turun dari mobil. Lalu letusan. Tembakan. Maut berjatuhan. Firasatnya benar. Mereka dijebak. Dan sekarang... dia disandera.

"Jangan takut, Mbak," kata Kopral, bangkit dari kursinya dan berjalan menghampiri ranjang. "Ndak akan ada yang ganggu kita di sini."

"Kita?" cicit Bu Norma. Fokus wanita itu terbagi-bagi. Mana yang harus lebih dulu dia atasi? Kecemasannya akan nasib Dokter Abi? Atau nasibnya sendiri? "M-maksud Bapak?"

Kopral tersenyum. Celana komprang dia pelorotkan turun. Mengangguk-angguk terpampang selirang pisang tanduk legam yang bertopikan jamur ungu-merah muda. Tampak urat-urat berkelindan meriasinya. Bahkan belum tegang, dia jauh lebih perkasa dari kepunyaan suami Bu Norma. Penis Dokter Abi ibarat penis bocah TK jika disandingkan. Tanpa menunggu aba-aba, si empunya kejantanan naik ke ranjang. Beringsut ke arahnya. Bau tembakau yang dia bawa menusuk mata. Bu Norma dipaksa kian mengerdil pada pertemuan antara ranjang dan dinding kayu. Kian tersudut. Kian tak berdaya.

"Mbake cantik sekali. Manis. Jilbaban lagi. Solekah pasti. Hari-hari ini, langka yang macam Mbak begini. Bikin saya ingat mendiang istri." Kopral belum pernah beristri. "Sudah lama saya ditinggal mati, Mbak."

"B-bapak mau apa?" salak Bu Norma yang lalu menangkis tangan Kopral yang terjulur hendak menyentuh ibu jari kakinya. Sebagaimana dalam mimpinya; dia siap mempertahankan diri. Jiwa dan raganya adalah milik Dokter Abi! Titik. Tidak ada tapi-tapi. "Jangan macem-macem! Saya istri orang, Pak!"

Kopral tersenyum. Dari telinga ke telinga bibirnya membentang. Penolakan Bu Norma membangunkan kontolnya. Menyiramkan bensin pada sosok yang dituntun api birahi. Seperti bocah di depan hadiah mainan barunya, dia pun menerkam. Bagai harimau lapar dia seret Bu Norma dari persembunyian.

"Pak!" rengek Bu Norma putus asa. "Jangan! Ini dosa! Dosa!"

Dalam situasi normal, wanita itu sudah pasti akan kewalahan melawan laki-laki segempal Pak Pur. Kini, kesempatannya praktis nol. Walau begitu, Bu Norma masih berontak. Pantang dia menyerah kepagian. Kakinya menendang-nendang udara. Tangannya menampar, meninju, dan mencakar. Mulutnya terus saja meramalkan mantra yang sama. Berharap dia yang bersangkutan tersadar.

Sayang beribu sayang, Bu Norma akhirnya terpaksa mengakui. Dia akan digauli. Disetubuhi. Perbedan masa dan tenaga di antara mereka sama sekali tak menguntungkannya. Gagal dia mencegah si pria asing menempatkan lutut, lalu perut di sudut paling berharganya. Tangan-tangannya dipiting di atas kepala. Helai rambutnya bermunculan dari tepi jilbab yang acak-acakan. Buah dadanya naik-turun. Darahnya memuncak di ubun-ubun.

"Manut wae, yo, Mbak?" tawar Kopral. Wajahnya tepat berada di atas wajah Bu Norma. Hidung mereka hampir bersentuhan. "Biar sama-sama enjoy kita."

"A-ampun, Pak," rengek Bu Norma. "Jangan apa-apakan saya. Ingat dosa, Pak. Ingat neraka!"

"Mbake ayu tenan malam ini. Saya boleh cium, yo?"

Bu Norma membeku saat bibir Pak Pur menyentuh bibir merahnya. Awalnya, dia katupkan rapat-rapat bibir itu. Agar supaya lelaki yang bukan suaminya batal masuk. Batal menodainya lebih jauh. Namun, apa daya. Kumis tebal si pria begitu menggelitik. Bagai belut kena sengat listrik dia menggelinjang. Kelojotan. Detik berikutnya, mereka telah berpagutan.

Sebelum Bu Norma menyadari, Pak Pur sudah melumat mulutnya. Mereka bertukar liur dengan berisik. Lidahnya terpojok. Dibelit. Dikuasai. Dilemaskan. Diajak berdansa. Rongga mulutnya dijelajahi. Dijajahi.

Belum selesai Pak Pur merangsangnya secara oral, sebelah tangan lelaki itu turun ke paha Bu Norma. Dari paha, tangan itu naik perlahan ke vagina. Kain rok yang menghalangi mudah saja disibak. Jari-jari gemuk kemudian Bu Norma rasakan menelusup ke balik celana dalamnya. Mengelus gundukan kemaluannya. Mencari-cari bibir bawahnya.

Deras air mata membanjiri pelupuk mata Bu Norma. Meski lidahnya sudah berhenti membangkang, hati dan pikiran wanita itu belum. Tembok pertahanannya belum runtuh. Bata-batanya mungkin sudah mulai berguguran, akan tetapi dia masih mengingatkan diri sendiri bahwa dia adalah istri sah Dokter Abi. Di luar sana, suaminya pasti lagi cemas setengah mati.

"Hahhh." Kopral menyudahi french kiss mereka. Menyeringai dia bangga. Kacamata Bu Norma yang sempat melorot dia gigit gagangnya, lalu betulkan. "Anget banget tempikmu, Mbak."

Bu Norma terengah-engah. Dia raup udara sebanyak-banyaknya. Komentar Kopral luput dari pendengarannya.

"Pernah pacaran, Mbak?" tanya Kopral kemudian.

Bu Norma bungkam. Rasa menjijikkan ludah Pak Pur yang dia telan karena terpaksa kini memancing asam lambung dan mengaduk isi perutnya. Ingin dia muntah. Kalau bisa.

"Hm?" Kopral, yang telah menemukan lubang peranakan Bu Norma, mulai menggesek-gesek bibir kemaluan tersebut, lalu lanjut mengorek-ngorek hangat dinding vaginanya. Bahkan pada saat itu dia tahu ada yang berbeda dari vagina Bu Norma. Perawan atau bukan, tak jadi soal. Ada yang lebih langka. Harta yang terjaga. Mahkota yang istimewa. "Atau langsung nikah dulu itu?"

Bu Norma memalingkan muka. Air matanya membanjiri sprei yang sudah terseret dari sisi-sisinya. Dunia mengabur di sekelilingnya. Sentuhan serta jamahan yang dia derita menggodanya. Untuk lupa pada jati dirinya. Pada tanggung jawabnya. Pada kewajibannya. Pada suaminya. Setan berbisik di telinganya untuk berhenti munafik karena ujung-ujungnya akan percuma.

"Kalau Mbak belum pernah pacaran," kata Kopral sambil memelintir biji kelentit Bu Norma hingga yang punya mengerang tertahan, "anggap wae ini gantine. Asik, lho, Mbak, mainan dosa itu."

Bu Norma ingin mendelik. Meludah. Menggigit. Mencakar. Mencabik-cabik pemerkosanya. Mengakhiri riwayat laki-laki yang mengimpitnya. Sayangnya, aksi lancang Pak Pur sudah menguras energinya. Menyandera kewarasannya. Akal wanita itu perlahan menumpul. Sedikit demi sedikit dia ijinkan dirinya semakin terangsang dengan servis yang dia terima dengan paksa.

Bagaimanapun juga, Bu Norma wanita biasa. Kesibukan Dokter Abi, belum lagi urusan-urusannya sendiri, telah merampas banyak jatah waktu bermesraan mereka. Sudah lebih dari dua purnama dia tidak disentuh suaminya. Desah yang dia tahan-tahan pada akhirnya lolos juga. Melalui sela gigi dia perdengarkan persetujuan (sekaligus penolakan) atas nikmat yang dia derita.

"Oohh... ahhh...."

"Enak, to, Mbak?"

Bu Norma menggeleng sambil tetap mendesah. Seksi sekali. Mendebarkan, bagi siapa saja yang menyaksikan. Siapa yang akan menang kira-kira? Akal sehat atau nafsu laknat?

"Sudah. Jangan diempet, Mbak. Ndak elok."

Bodohnya, Bu Norma menurut. Dia ijinkan dirinya lebih banyak menampilkan sisi binalnya. Sisi yang selama ini tersembunyi. Hanya dan hanya dia peruntukkan bagi sang suami. Meski ingin siksaannya berhenti, diam-diam wanita alim itu mulai menikmati.

Oleh karena itu, Bu Norma agak kecewa saat Pak Pur kemudian menjeda aktivitasnya. Dalam kepasrahan dia saksikan lelaki itu mengemuti telunjuk dan jari tengah yang sedetik lalu bersarang di dalam alat kelaminnya. Seumpama madu, cairan kewanitaannya dijilati rakus oleh si pria.

"Manis kayak orange," ujar Kopral, menjilati bibirnya seakan dia enggan lendir surgawi Bu Norma mubazir. Kemudian, dengan penuh kuasa, dia beranjak pada hidangan berikutnya. Gampang saja dia tarik putus kutang si wanita. Pekik kesakitan Bu Norma bagai musik di telinganya. Matanya lekat merekam bulat payudara perempuan berhijab itu. Keringat menjadikannya berkemilau bagai sepasang pusaka sakti mandraguna. Kalau ada gelar bagi mereka yang mendekati sempurna, kedua gunung kembar Bu Norma patut menyandangnya. Mereka ibarat buah mangga matang yang lama bersembunyi di balik lebatnya tirai ranting dan daun tetapi menolak jatuh—atau membusuk—demi menunggu dipetik pada saat yang pas. Oleh orang yang tepat. Oleh tangan-tangan yang ditakdirkan. Dan dalam penantian itu, mereka bertambah ranum. Kian harum. Putingnya yang cokelat muda sungguh mengundang selera.

"Aahh," desah Bu Norma begitu putingnya dicaplok Pak Pur. Di bawah, jemari-jemari berbuku-buku kembali menggelitiki. Pelan tapi pasti, kuncian pada kedua tangannya mengendur. Melonggar. Mengijinkan bahu serta lehernya untuk lebih rileks. Lebih menikmati. Sementara putingnya yang kiri disedoti, yang kanan kini secara kasar diremas-remas. Segera mereka mengeras. Diserang bertubi-tubi, bendungan birahi wanita berkacamata itu pada akhirnya jebol. Bobol. Ambrol. Matanya gelap dibutakan nikmat dunia. Orgasme paling dahsyat dalam hidupnya mencungkil mata hatinya. Membobrokkan kompas moralnya. "Paaaakkkk!"

Refleks, Bu Norma jambak rambut pria yang bertatus hukum haram dia sentuh ataupun dia biarkan menyentuhnya. Kepala yang dalam waktu singkat menjadi akrab itu dia benamkan pada lembah di antara buah dadanya. Demi apapun juga, dia ingin nikmat itu berdiam di sana. Jangan ke mana-mana.
~bersambung
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd