Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Malam Jahannam 1.2

"Apa, Gah?" tanya Kopral saat matanya bertemu dengan mata si raksasa via kaca spion tengah. Usai berpindah ke mobil mereka sendiri tak jauh dari lokasi operasi, Bu Norma dia nikmati untuk dirinya sendiri di kursi belakang Hilux hitam doff yang mengekor Tokek dan Kancil. Wanita itu dia pangku. Resleting rompi serta kancing kemeja batik Bu Norma dia buka. Dari balik bra krem jemari sosisnya mengelusi gunung kembar mangsanya. "Pengen?"

"Santai," ujar Kopral sehabis mereka tinggalkan jalan utama demi menembus belantara. Jalanan yang kian terjal menyajikan pengalaman berkendara yang memualkan. Bahkan Bu Norma yang belum juga bangun dari pingsannya mengeluh lewat desah tertahan. "Nanti aku jatah semua."

"Berapa," kata Gagah dengan suara beratnya, "duit dia kalau kita bawa ke pasar?"

Pasar yang Gagah maksud tentu saja adalah pasar gelap. Di mana, segala hal bisa diperdagangkan. Termasuk budak dan atau pelacur dari berbagai usia, suku, dan jenis kelamin. Tokek dan Kancil awam soal ini. Jika ke pasar, Gagah-lah yang selalu Kopral bawa. Meski demikian, raksasa yang satu itu masih jauh dari status berpengalaman.

"Alah, gampang. Nanti wae." Kopral sedang asik membaui leher jenjang Bu Norma dari balik kerudung si wanita yang mulai acak-acakan. Senada dengan roknya yang juga tersingkap mempertontonkan paha putih yang bermuara pada secarik kain berenda yang Kopral sedang usap-usap. Sudah berbulan-bulan dia belum mencium aroma wanita. Dan hari-hari ini, wanita berjilbab itu langka. Agama lagipula, kehilangan popularitasnya sejak perang melebar ke mana-mana.

Kopral lalu mengingat-ingat. Apa lagi yang langka, ya? Oh, ya. Nasib baiknya! Sejak Kancil ikut kelompoknya, keran peruntungannya mampet. Operasi sering gagalnya. Mangsa banyak kaburnya. Bandit kalau rejekinya sempit, ya, pailit. Malam ini, untungnya, berbeda. Cuaca ada di pihak mereka. Dewi Fortuna ada di pihak mereka.

"Kita pakai dulu mbake," gumam Kopral sambil mengendus-endus gurih ketiak Bu Norma.

"Tapi—"

"Tenang. Jual dulu itu amunisi sama satu atau dua senpi." Selain amunisi dan senjata api, Gagah mengambil lebih dari mayat para korban. Paa saja yang kelihatan berharga ikut dia angkut. Semua barang jarahan itu kini ditumpuk di bagasi mobil yang Tokek dan Kancil bawa. "Dapat dua karung beras haruse. Sama solar 3 jeriken kalau kamu pinter nawar."

Setelah beberapa lama, Gagah mendengus. Sebagai sosok setengah raksasa seperti dirinya, makanan adalah yang utama. Tokek dan Kancil mungkin bisa menahan lapar berhari-hari mencari buruan. Dia sendiri yakin akan mati jika harus terus menerus makan hasil hutan selama lebih dari tiga hari. Terlebih, sebelum 'terjebak' bersama Kopral dulu dia ikut sebuah grup militia yang selalu berkecukupan. Dan sebelumnya lagi, dia adalah anak haram seorang jenderal bintang lima. Apa-apa selalu ada. Meski dari luar dia tampak gagah. Kokoh seperti karang. Tetapi di dalam, ada jiwa bocah yang menolak dewasa. Yang inginnya senang-senang terus.

Setengah jam berikutnya Gagah mengemudikan mobil tanpa melirik-lirik ke belakang lagi. Ketika Tokek berhenti, dia mengikuti.

"Eh? Sudah sampai, to?" keluh Kopral ketika roda-roda kendaraan berhenti pada sebuah bukaan di tengah antah berantah. Kurang dari lima puluh langkah dari tempat mobil-mobil parkir, sebuah gubuk kayu menunggu. Untuk ke sana, orang perlu menyeberangi sebuah sungai kecil berair jernih. Tidak ada jembatan. Harus naik dan turun sedikit. Pondoknya sendiri sederhana. 6×8 m² saja luasnya. Di belakang gubuk, jika orang terus berjalan, maka mereka akan temukan sebuah gua. Oleh Kopral dkk., gua tak berpenerangan itu dijadikan gudang. Barang-barang jarahan biasa ditimbun di sana sebelum diangkut lagi ke pasar.

"Lagi enak-enake padahal," sambung Kopral saat dia berhenti menggerayangi tubuh suci Bu Norma. Sesudah Tokek dan Kancil turun, dia tidurkan si wanita di kursi sebelum lalu ikut turun. Kepada Gagah yang sedang mengangkut barang, dia berpesan, "Ini mbake bawa masuk. Cil, Kek, siapken makan malam. Hati-hati. Jangan dibakar gubuke. Aku mandi dulu."

Kopral pun lalu berjalan ke arah hulu sungai demi privasi.​

Kopral waktu jadi cover majalah Pelerboy
MESM3P2_o.jpg

Hujan sudah reda. Hanya beberapa tetes tersisa yang lolos dari kanopi hutan. Mendung beranjak menyingkir. Langit terbuka. Gemintang menyesaki angkasa. Dengan langkah ringan Kopral turun ke sungai, menelanjangi diri, lalu berendam. Tinggi permukaan air hanya setengah betisnya. Agar semua badan basah, dia pun berbaring telentang.

Sebelum perang pecah, Kopral hidup sendirian di gubuk dekat sungai itu. Letaknya yang strategis di jantung hutan yang konon angker mencukupi kebutuhannya akan privasi. Berbeda dengan Gagah, Tokek, dan Kancil yang baru memegang bedil saat perang pecah; Kopral dulunya mantan polisi. 'Dipecat' dari kesatuan gara-gara dia bersitegang dengan atasannya yang di kemudian hari naik pangkat jadi menteri dalam negeri. Demi keselamatannya sendiri, dia mengasingkan diri. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Hanya sesekali mengunjungi peradaban manusia.

Satu dekade Kopral menikmati kedamaiannya. Sampai akhirnya perang tiba. Masa bodoh dia dengan keterlibatan negaranya. Dia hanya ingin untuk tidak diganggu saja. Dari seorang pertapa, dia lantas menjelma bandit setelah lagi dan lagi pondoknya disatroni kawanan bandit. Dia benci mereka. Karenanya, agar dia bisa tinggal di gubuk hingga tua, tidak boleh ada bandit selain dirinya yang mendekat. Dia harus selalu patroli. Selalu berburu.

Banyak harta jarahan yang Kopral peroleh dalam kurun waktu tiga tahun terakhir dia membandit. Lain dari bandit-bandit umumnya, yang jika memungkinkan menghindari dari membunuh korban-korbannya (agar bisa dijual di pasar budak), dia lebih senang mengeksekusi mangsanya di tempat. Lebih sederhana saja. Tidak bikin pusing. Lagipula, ada hewan liar atau kelompok paling buruk dari para bandit—para kanibal—yang akan sukarela membereskan sampahnya. Obsesi memperdagangkan sesama demi keuntungan pribadi adalah absurd baginya. Oleh karenanya, jika bisa, nanti tawanan paling baru mereka tetap di gubuk saja. Kalau hidup ya, syukur. Kalau mati, ya, dikubur. Repot banget menyeret-nyeret orang ke pasar lalu adu tawar-menawar itu.

"Piye? Belum bangun mbake?" tanya Kopral sekembalinya dia dari sungai. Tokek, yang barusan berlari keluar dari gubuk yang disesaki asap putih, menatapnya nanar sebelum kemudian menggeleng. Berdecak sebal mendapati gubuknya mau dibakar, pria awal lima puluhan itu lantas bertanya, "Sudah ada apine?"

"Belum. Kancil masih—"

Kopral menahan napas lalu masuk ke dalam pondok. Jika bukan dia sendiri yang turun tangan, segalanya niscaya kacau balau. Menyalakan api saja bocah-bocah ini tidak becus. Kalau bukan karena dirinya, itu Gagah, Tokek, dan Kancil sudah pasti jadi bangkai di luar sana. Begitu dia ambil alih kendali gubuk, kurang dari sepuluh menit saja, dapur sudah mengepul. Beras sudah diceburkan ke panci dan menunggu matang.

"Loh, Gah?" Kopral bertanya usai memeriksa seisi ruangan. "Mbake mana?"

"Di gudang."

"Hah?" tanya Kopral dan Tokek bersamaan.

"Kok, di gudang?" tanya Kancil.

"Yo, tadi aku lagi angkut-angkut barang. Disuruh bawa dia. Yo, terus aku taruh sama barang-barang, to."

Tokek terkikik geli. Kopral menepuk dahi. Kancil mendesis dari sela gigi.

"Lha, piye?" Gusar menguasai Gagah. "Bawa ke sini?"

"Ndak, ndak, ndak," jawab Kopral.

"Biar dimakan ular mbake," sahut Tokek.

"Lha, yo, ndak ada yang bilang, lho!" protes Gagah dengan suara yang menggetarkan atap hingga lantai gubuk.

"Wis. Tenang. Kowe duduk wae." Kopral, dengan mata berair menahan geli, berpaling pada Kancil. "Cil, sana. Ambil mbake."

"Aku?"

"Iyo," kata Tokek.

"Sendiri?"

"Kenapa?" tanya Kopral. Sementara pondok diterangi beberapa bohlam remang-remang LED berdaya rendah—yang listriknya bersumber dari instalasi PLTA mini di hilir—gudang yang berupa gua karst sama sekali gelap. Sepuluh meter hutan memisahkan kedua tempat. "Takut?"

Kancil tidak menjawab. Hanya mengeraskan raut wajah.

"Sana, Kek. Bantu adikmu."

"Dia," kata Tokek usai mencemplungkan santan, serih, dan bawang ke dalam kuali nasi, "bukan adikku, Kopral."

"Wis, to. Cerewet. Sana."

Tiga menit berselang, Tokek dan Kancil tergopoh-gopoh membopong Bu Norma ke dalam gubuk. Si mata juling memegangi ketiak si wanita sementara anggota kelompok termuda memegangi kedua betisnya. Tampak tawanan tersebut mengundang iba. Bajunya kotor dan tersingkap di sana-sini. Hijabnya awut-awutan. Seluruh rombongannya jadi santapan anjing hutan. Dan dia sendiri kini sedang menunggu penghakiman. Hukuman macam apa yang harus dia jalani, dia sendiri akan sangat enggan untuk membayangkan.

Itulah kenapa, pikir Kopral, ada bagusnya si wanita masih belum siuman. Soalnya dia akan butuh banyak tenaga melayani empat bandot berandalan.

"Tidur yang nyenyak, yo," bisik Kopral pada Bu Norma usai dia kecup kening si wanita yang oleh Tokek dan Kancil dibaringkan pada satu-satunya ranjang di dalam pondok. Di dalam satu-satunya kamar yang tersedia.


~bersambung​
 
Terakhir diubah:
Mantap Hu @zeerowanwan
Nubie suka dengan cara membangun latar ceritanya dan karakternya. Tidak buru2.
Layak menjadi cerita yg ditunggu updatenya.
Betewe, mulustrasi Bu Normanya mantap Hu. Sangat menggambarkan sosok STW matang dan menggairwhkan buat 4 bujang lapuk dan memudahkan imajinasi saat membaca hohoho
Makasih updatenya Hu
Monggo dilanjut
 
Terakhir diubah:
Mantap Hu @zeerowanwan
Nubie suka dengan cara membangun latar ceritanya dan karakternya. Tidak buru2.
Layak menjadi cerita yg ditunggu updatenya.
Betewe, mulustrasi Bu Normanya mantap Hu. Sangat menggambarkan sosok STW matang dan menggairwhkan buat 4 bujang lapuk dan memudahkan imajinasi saat membaca hohoho
Makasih updatenya Hu
Monggo dilanjut
matur suwun atas tanggapannya, Hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd