Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Pagi Pembawa Petaka 2.2

Jamu dalam kendi Kopral habiskan usai bermain dua ronde lagi pagi itu. Pahit yang kini bercokol di lidah dia syukuri. Tanpa ramuan turun-temurun yang telah dia sempurnakan, bisa-bisa dia tumbang pagi ini. Siapa sangka. Di balik jilbab, penampilan alim serta wajah teduh keibuannya, Bu Norma menyimpan nafsu besar. Yang selama ini dipendam. Disembunyikan. Terlalu lama dikekang aturan dan norma-norma.

Setelah keluar di dalam mulut tadi, Bu Norma kembali Kopral gumuli. Pejuhi. Di pantat dan payudara. Bu Norma bahkan manut saat dia suruh meratakan spermanya.

"Bagus buat kulit, Bu. Bikin kenceng dan awet muda," seloroh Kopral saat itu.

Rokok dalam pipa Kopral nyalakan. Asapnya pekat dan berat. Aroma tembakaunya busuk dan menusuk. Baranya seterang langit di atas pucuk-pucuk pepohonan.

Di dekat kaki meja, Bu Norma berbaring telentang. Kakinya mengangkang. Vaginanya terang terpampang. Selimut membungkus dia punya perut. Hampir tanggal jilbab hitamnya. Penitinya entah ke mana. Kacamatanya terlempar ke kolong ranjang saat dia sekali lagi didoggy. Pakaiannya berserakan di lantai yang lebih licin hari ini.

Di tengah Kopral mengagumi sang bidadari, seseorang mengetuk pintu. Dia tahu siapa. Dia hapal ketukan itu.

"Apa, Gah?"

"Sarapan."

Kopral mengerutkan dahi. Dua alasannya. Satu: bau pandan dalam kamar rupa-rupanya mencegah aroma masakan dari dapur untuk masuk. Yang kedua: tumben sekali Gagah mengabarkan sarapan. Biasanya, bocah-bocah tahu untuk bersantap tanpa dirinya di pagi hari. Lebih-lebih sesudah dia wanti-wanti mereka agar tak mengganggunya.

"Ya," kata Kopral. "Sisaken buat Mba— Bu Norma."

Mendengar namanya disebut, Bu Norma menggeliat. Gunung kembarnya yang mengkilap karena keringat+sperma membusung bangga. Kalau salah, Kopral berani disunat lagi. Tetapi, menurutnya payudara si wanita membengkak, lebih besar dan bulat dari kali pertama dia menatapnya.

"Bu Norma siapa?" tanya Gagah, tidak peka.

Heran, Kopral bangkit dari duduknya. Lantai dia seberangi. Daun pintu dia tuju. Tangan meraih lubang kunci. Di depan kamar, dia dapati Gagah berdiri membelakangi. Sadar dirinya diamati, si raksasa memindahkan 120 kg beban tubuhnya dari kaki ke kaki.

"Ada apa?" tanya Kopral, sadar ajakan sarapan hanya alasan saja.

"Bisa," kata Gagah, memutar badan hingga kini kedua lelaki berhadapan, "kita ke pasar hari ini?"

"Hah?" tanya Kopral setelah terdiam beberapa lama. Paha yang digigiti nyamuk pagi dia garuki. Sosok Gagah dia selidiki. Raksasa itu belum tidur; dari raut mukanya. Baju dan celana safarinya juga belum ganti. Masih yang kemarin dipakai menyergap rombongan Bu Norma. Dari anak buahnya, Kopral lantas menoleh ke dalam kamar. Bu Norma masih belum bangun juga. "Lha, kenapa?"

"Beras mau habis. Rempah—"

"Stok pangan," potong Kopral, kaki maju meninggalkan ambang pintu yang lalu dia tutup pelan, "bukan tanggunganmu."

Dulunya, iya. Sampai terjadi sebuah insiden. Di mana, terlalu banyak makanan ditimbun. Berkarung-karung. Ditumpuk-tumpuk. Busuk mereka jadinya. Sejak saat itu, Gagah diganti posisi. Dari penanggung jawab pangan ke serabutan. Bantu sana-sini. Berburu jika mau. Hari ini, Kancil yang menggantikan. Tujuannya sederhana. Agar dua-duanya tambah dewasa.

"Ngomong wae," ucap Kopral ketika tanggapan Gagah yang upak-upuk membuatnya mangkel. "Ono opo asline."

Gagah mengetuk-ngetuk lantai dengan telapak kaki kanannya sebelum menghela napas dalam lalu berkata, "Aku mau mbake pergi."

Kopral memicingka mata.

"Bu Norma?"

"Mbake namanya Bu Norma?" tanya Gagah seolah baru pertama mendengar nama itu disebut di gubuk.

"Kenapa?" kejar Kopral mengabaikan lamban pikiran teman ngobrolnya.

Di bawah tatapan julid atasannya, Gagah berhenti mengetuki lantai papan dibawah tubuhnya. Kepala dia tundukkan sebagai gantinya. Sedikit lagi dagu menempel dada. Katanya suuuper pelan kemudian, "Dia bikin aku inget guruku. Ustazah Nuzula."

"Eh?" Kopral berkedip bingung. Bukan. Bukan itu yang dia harap Gagah katakan. Siapa pula Ustazah Nuzula? Kenapa dia ikut-ikutan telmi? Jangan-jangan, bodoh itu memang benar menular. "Maksude?"

Gagah melipat kedua lengan kekarnya menyilang di depan dada. Masih dengan suara pelannya, raksasa itu bicara.

"Aku dulu punya guru. Guru ngaji. Privat didatengke mama. Ustazah—"

"—Nuzula namanya," kata Kopral. "Apa sangkut paute? Gurumu sama Bu Norma?"

Gagah mendecakkan lidah. Tabiat yang dia tiru dari Kopral ketika sedang sebal.

"Kita dulu dekat. Aku dan Ustazah Nuzula. Dia kadang nginep juga. Aku suka orangnya. Baik. Lembut. Ngga pernah bentak-bentak," kata Gagah sambil menghindari tatapan Kopral. "Kita... sampai ngentot. Aku dan Ustazah Nuzula. Sampai aku khatam dia sukanya gimana."

"Terus?" pancing Kopral saat Gagah berlama-lama merampungkan cerita. Badan dia sandarkan dinding kayu. Aroma daging bakar mampir di telinganya. Jika bisa, dia ingin tinggalkan Gagah sendiri. Opsi dia dua. Ke dapur lalu makan. Atau kembali ke kamar dan 'makan' daging mentahnya Bu Norma saja. Dia baru ingat soalnya, kalau lidahnya belum menjarah vagina si wanita. Hanya sempat mencicipi saripatinya.

"Terus, ya," kata Gagah dengan nada seolah-olah Kopral sudah harus tahu tanpa dia beri tempe, eh, tahu, "Ustazah Nuzula ditendang mama."

"Maksude di... tendang?" tanya Kopral, memastikan. Bicara dengan Gagah kadang bikin pusing kepala. Mana yang harus dibegini. Mana yang kudu dibegitu. Banyak melesetnya.

"Dipecat. Ngga lagi jadi guru ngajiku. Diganti mbah-mbah peyot yang hobi marah-marah."

"... Sebabe opo?"

Gagah meninju dinding lorong di dekat kepala Kopral. Hampir saja kena kepala si pria tua. Tetapi, kalau pun kena, tidak akan fatal. Pukulan tadi itu lebih ke frustasi daripada benci. Gelondongan kayu dinding juga baik-baik saja. Meski begitu, si empunya pondok marah juga. Hanya dengan sorot murka dia paksa mundur si raksasa.

"Kita kegep, oke?!" Gagah menjambak rambutnya. "Mama tahu kita sering ngewe. Di kamar. Di toilet. Di mobil. Di musala. Di mana-mana."

Mengejutkan Bu Norma yang diam-diam menguping, Gagah menyelesaikan pengakuannya dengan kalimat: "Mana Ustazah Nuzula hamil juga!"

Kopral mengerutkan dahi. Kumis baplangnya dia pilin-pilin. Ada yang menyimpan trauma, ternyata.

###

Bu Norma tahu menguping itu tercela. Hanya saja, dia tidak tahan godaannya. Sebagaimana dia tergoda batang keras nan kokoh yang mampu memuasinya. Diam-diam, Bu Norma simak obrolan di luar kamar. Putingnya terasa mengeras saat namanya disebut-sebut. Apalagi, sesudahnya nama pengajar lain muncul.

Dan dia dikait-kaitkan dengannya.

Ustazah Nuzula, ya? batin Bu Norma. Tanpa sadar wanita itu mulai menyentuh dirinya sendiri. Mulanya cuma satu jari. Lalu dua. Pasti orangnya cantik. Secantik namanya.

Bu Norma terus saja menguping sambil membelai-belai biji klitorisnya. Napasnya mulai memburu. Kerasnya lantai kamar dia abaikan. Bersama setiap kata yang mampir di telinga, dia jadi kian terangsang. Baru saat Gagah meninju dinding, wanita itu membeku. Dia hentikan aktivitasnya. Jemari lentiknya buru-buru menjauhi selakangan. Dia merasa berdosa dua kali. Karena menguping dan masturbasi.​

Karena menguping sambil masturbasi.

Dokter Abi pernah bilang. Bahwa masturbasi, jika dilandasi alasan yang kuat, demi menghindari zina misalnya, adalah mubah hukumnya. Namun demikian, Bu Norma hampir tidak pernah menyentuh alat-alat bantu seks yang dibelikan untuknya. Dia takut kebablasan. Takut alat-alat itu jadi pintu gerbang fitnah dan dosa.

Walhasil, Bu Norma hanya memakai mereka saat bersama sang suami. Biar Dokter Abi lega saja. Di waktu lain, saat sendiri dan dilanda birahi, dia memendamnya sendiri. Tadi itu bisa dibilang pengalaman perdana Bu Norma colmek yang didasari keinginannya sendiri. Mungkin itu kenapa dia gampang saja dijinakkan oleh Pak Pur semalam.

"Mana Ustazah Nuzula hamil juga!"

Bu Norma hentikan lamunan singkatnya. Satu kata dalam kalimat barusan menggelitik telinga. Hamil. Kata yang sama semalam Pak Pur minta darinya. Dan dia berikan izin bagi laki-laki itu untuk mencoba. Baru sekarang Bu Norma sadar konsekuensi utuhnya. Dia sedang dalam masa-masa suburnya. Entah berapa banyak sperma yang kini ditampung rahimnya.

Menghubungkan keduanya, Bu Norma tiba-tiba merasa takut. Ya, dia menginginkannya. Dia ingin hamil. Dia ingin jadi ibu yang sesungguhnya. Bukan cuma dalam panggilan semata. Mengandung, lagipula, adalah keutamaan yang tuhan hanya berikan pada wanita. Mereka yang mengalaminya tak lagi pernah sama. Derajat mereka dinaikkan di atas semua pria.

Kini, Bu Norma sadari, dia punya kesempatan meraih mulia yang sama. Hanya saja, caranya salah. Sangat, sangat salah. Pak Pur bukan pasangan sahnya. Senggama mereka adalah zina. Yang artinya, anak yang akan dia kandung adalah anak har—

Lamunan Bu Norma mendadak macet. Lagi. Kali ini, biang keroknya adalah kembali masuknya Pak Pur ke dalam kamar. Mata lelaki itu memindai badannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia biarkan si pria menikmati hidangan di depan hidungnya.
Ngos-ngosan habis olah jari
b17319b3911e0122e1a8b4ed80e6eb599b85db63-high.webp

"Eh. Bu Norma sudah bangun?"​

~bersambung





Heran, deh. Kopral udah tiga kali aja nyapa Bu Norma pas Bu Norma bangun wkwkwk
 
Terakhir diubah:
Eh eh... jangan2... abis ini Bu Norma diminta... ama Gagah...
"Bu, kasian tu anak. Bantu yo Bu. Bantu agar traumane ilang. Trus biar anake ga rewel lg minta2 Bu Norma pergi. Mau yo, Bu?" kata si kopral penuh pengertian meski hatinya gak rela berbagi wkwkwk
Mantap Hu @zeerowanwan
Ada selingan bermutu diantara acara nanam benih di kebun Bu Norma
Makasih updatenya
Monggo dilanjut
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd