Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG {Triple Updates 30-4-24} Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .
Hanyut 3.4.1

Matahari sudah tergelincir jauh ke barat manakala Tokek kembali ke tempat mereka sedianya akan mandi pagi tadi. Apa yang Kancil sebut air terjun sebenarnya tak lebih dari bendungan kecil yang Kopral bangun demi fasilitas PLTA kecil-kecilannya. Tentu, orang bisa mandi di bawah guyuran airnya. Namun, akan cringey jadinya kalau orang berswafoto di depannya.

Sebagaimana yang dia amanatkan sebelum pergi mencari Bu Norma seorang diri, Kancil menunggunya di sana. Bocah tengik itu bahkan tampak belum bergerak dari bawah gubuk yang terbuat dari ranting dan bambu itu. Mungkin dia terinspirasi kisah bandit yang sangat melegenda. Loka Jaya, seperti yang dikisahkan, bergeming di tempatbga bertapa sampai sang guru kembali. Atau... ada yang salah saja dengan kepala anak muda itu sehabis Bu Norma menggebuknya dengan batu.

"Cil!" panggil Tokek pada Kancil yang tak menyadari kehadirannya. Kalau mau meneladani Loka Jaya, sepertinya bocah itu salah pilih guru. Salah menilai diri juga. Mana ada murid yang terlambat mengetahui kerawuhan sang guru. "Bikin api. Kita nginep di sini malam ini."

"Hah?"

Kancil terbengong-bengong menyaksikan Tokek berjalan menuju dirinya dari arah hulu. Pemuda bertato itu menggendong seorang wanita berjilbab yang setengah tubuhnya telanjang. Tampak mata si wanita terkatup rapat. Takut-takut, Kancil tinggalkan gubuk.

"Itu Bu Norma kenapa?"

"Budek apa piye kowe?"

Tokek berlalu saja meninggalkan Kancil yang termangu di bibir singai yang berpantaikan sedikit pasir dan banyak bebatuan. Dia lurus menuju gubuk. Di atas dipan yang berupa tumpukan daun kelapa kering, dia baringkan Bu Norma.

"Seharian ngapain aja, sih?" tanya Tokek sesudah memeriksa seisi gubuk. Tak dia dapati hewan buruan atau buah-buahan di sana sebagai santapan mereka malam itu. Pula, belum ada kayu bakar yang tersedia. Tahu begitu tadi Kancil dia suruh balik ke pondok saja.

"Ah. Puji tuhan," bisik Kancil yang tanpa permisi memeriksa detak jantung Bu Norma dengan menempelkan telinga pada dada kiri si wanita yang tak tertutup apa-apa. "Aku kira mati Bu Norma-nya."

"Jaga Bu Norma," kata Tokek sebelum kemudian mengeluarkan parang kecil yang Kancil sempag ikut bawa dalam ransel bekas tentara. "Kalau bangun orangnya, beri minum itu air kelapa."

Kancil melirik sekilas kelapa muda di muka gubuk yang dia tadi petik dan buka namun belum banyak dia sentuh isinya. Sejak ditinggalkan sendirian, pemuda itu banyak berpikir. Dia coba membuat masuk akal apa yang sudah dia alami. Dia coba temukan alasan Bu Norma coba membunuhnya selain karena si wanita tidak menyukai penis berkulupnya.

Yang terus-menerus Kancil pikirkan adalah, Bu Norma pasti sangat ingin pulang. Sangat ingin kembali pada sang suami. Andai saja Kopral belum membunuh lelaki— Astagana. Kancil baru sadar. Belum ada yang memberitahu Bu Norma kalau suaminya sudah.... tiada.

Kancil celingukan. Tokek sudah menghilang. Entah ke mana. Sebagaimana sebelumnya, pemuda yang lebih tua itu pergi tanpa membawa radio komunikasi mereka. Gawat. Berarti, kalau Tokek belum kembali, tanggung jawab mengabarkan berita duka itu jatuh pada Bu Norma adalah.... dirinya!

Mencemaskan prospek itu, Kancil biarkan Bu Norma beristirahat seorang diri. Daripada literally menjaga Bu Norma dengan duduk di samping si wanita, dia lebih memilih melempar batu-batu kali menyeberangi bendungan. Asal saja dia memilih batu. Yang pipih. Yang tebal. Yang bulat. Yang kotak. Semua dia pungut. Semua dia lempar ke permukaan sungai. Tentu saja, cuma satu-dua dari mereka yang tidak langsung tenggelam begitu lepas dari ayunan pergelangan tangannya.

Tanpa Kancil sadari, bayang-bayang pepohonan mulai meninggi. Ketika dia tengok ke atas, angakasa sudah mulai menua. Memerah warnanya. Dia pun menoleh ke arah gubuk. Telapak kaki Bu Norma masih menghadap ke arahnya.

Bagus, batin Kancil. Dia belum harus bicara kembali dengan Bu Norma.

Betapa banyak hal telah berubah. Dan betapa, ada saja yang bersikeras tetap sama. Semalam, pemuda berbandana itu masih belum mengira kalau wanita yang lebih tua adalah seleranya. Masa iya dia suka sama orang yang pantas jadi teman seangkatan ibunya? Begitu yang mungkin Kancil-yang-lama akan tanyakan.

Kancil-yang-baru tentu saja akan berbeda pendapat. Bukan hanya dia akan mengakui kesempatan itu terbuka, dia juga telah mengalaminya. Bahkan sekarang sebelum malam kembali datang, dia meyakini dia telah jatuh hati pada Bu Norma. Dan mau dia utarakan atau tidak perasaannya, Bu Norma masih tetap orang yang sama. Cantik dan menggoda, bahkan dalam tidurnya.

Hidup memang suka bercanda.

Gagal menemukan keberaniannya, Kancil berjalan selamban kura-kura kembali ke gubuk. (Aduh, jadi inget dongeng jaman cilik) Memandangi Bu Norma yang pulas, perut pemuda itu mulas. Dia berhasil mencapai tujuannya. Namun, dengan tidak berani masuk, dia sejatinya belum beranjak ke mana-mana. Belum mengatasi keragu-raguan yang memenjarakannya sepanjang hari.

Takut mengganggu, Kancil pun akhirnya berpuas diri dengan duduk mencakung di atas pasir. Lima langkah dari gubuk. Cukup dekat dekat untuk mengawasi naik-turun dada Bu Norma tetapi tidak cukup dekat untuk menyentuh mereka. Memiliki mereka.

Kancil lantas larut dalam lamunan. Yang di dalamnya, dia membayangkan hari-hari bersama Bu Norma. Mereka bahagia, tentu saja. Hidup berdua di pantai yang selalu bermandikan cerah cahaya. Bocah-bocah kecil nan lucu yang adalah copy dari si wanita berjilbab berlarian di antara kaki-kaki mereka.

Awan berarak tanpa menyisakan jejak yang badai bisa lacak. Dia akan melihat pada istrinya. Istrinya akan tersenyum. Mereka akan tertawa. Dan banyak bercinta. Oh, ya. Mana bisa dia tahan tidak bersenggama dengan Bu Norma barang setengah jam saja.

Gelap datang dengan lebih cepat dari yang Kancil kira. Begitu dia tinggalkan Bu Norma di rumah tepi laut mereka, dia jumpai gemintang sudah mulai menunjukkan diri. Indah nan megah nun jauh di langit sana. Bermiliar-miliar kilometer darinya. Panik, dia lalu masuk ke gubuk tanoa mengetuk karena memang tak ada pintu. Berisik dia mencari-cari ke dalam ransel militer.

Setelah seakan selamanya, Kancil temukan yang dia butuhkan. Dengan korek api di tangan, dia pun jadi sedikit tenang. Kurang dari dua menit berselang, api di depan gubuk sudah dia nyalakan. Kobarnya menyala hingga terang sisi lain sungai. Bahan bakarnya dia dapat dari melolosi tiga rusuk gubuk.

Dengan punggung menghadap Bu Norma, dia pun kembali duduk. Menunggu. Menunggu Bu Norma bangun. Menunggu Tokek kembali.

Kancil terperanjat saat tiba-tiba dia dengar suara tokek. Tokek yang binatang. Bukan yang manusia. Jika dipikir-pikir lagi, dia masih belum mengenali semua penghuni rimba. Dia belum bisa membedakan nyanyian malam mereka. Tak mampu melihat wujud mereka, lama-lama dia merinding juga. Angin beku yang mengembus dari pegunungan di utara tak meringankan deritanya.

Entah bagaimana mulanya, tahu-tahu saja Kancil sudah berbaring di samping Bu Norma. Dia pusatkan pendengarannya pada napas si wanita. Ajaib, dia beranjak tenang. Sesuatu berkecipak di air tetapi dia mengabaikannya. Helaan dan hembusan udara dari hidung dan mulut lawan jenisnya bekerja seperti sihir. Api yang mulai kehabisan makanan pun bukan lagi sesuatu yang dia khawatirkan.

Lama Kancil berbaring tanpa suara sebelum lalu dia mulai mengelusi kemaluannya. Dia ingat semasa dia kecil dulu dia sering bingung saat burungnya berdiri. Yang dia bingungkan terutama adalah betapa lama si burung berdiri. Sering dia enggan ditunjuk maju oleh ibu guru karena gundukan di celana. Oleh ibunya, dulu dia sering ditertawakan karena alasan serupa.

Yang tidak membuatnya jadi bahan lelucon kala itu adalah ayahnya. Pria yang tak bisa dia ingat nama maupun rupanya itu mengajarinya untuk bicara pada burungnya. Segila kedengarannya, trik itu mujarab. Dia selalu bisa menidurkan burungnya bahkan saat si burung sedang keras kepala.

Selalu.

Sampai dia berjumpa Bu Norma di meja makan tadi pagi. Kata-kata dalam kepalanya seperti terkena impotensi. Burungnya bersikeras tetap berdiri bahkan setelah dia mengutukinya. Sekarang pun tak berbeda.

Resah, Kancil beringsut duduk. Pandangannya jatuh pada ransel di sampingnya. Mungkin, ada gunanya juga Tokek meminta dia menbawa empat liter arak.

Jika mau jujur, Kancil sebetulnya kurang suka arak racikan Kopral. Terlalu banyak rempah lelaki itu tambahkan pada minuman yang mau bagaimanapun tak akan enak karena dibuat dari bahan-bahan yang jelek. Dari beras yang sudah dimakan kutu. Buah-buahan yang tidak termakan. Bangkai binatang yang kadang diawetkan di dalam bejana penampungan apalagi. Jijik dia melihat ke dalamnya.

Tetapi, apa boleh buat. Dia butuh dorongan itu. Nekat, dia pun buka satu botol kaca. Gluk-gluk-gluk. Kancil tenggak sepertiga botol sekaligus. Pipinya dia rasakan seketika memanas. Kerongkongannya ngancing seperti ada duri yang tersangkut di sana. Melawan nalurinya untuk menyudahi, dia minum lagi. Dan lagi. Dan lagi. Sampai kosong botol di tangannya.

Dengan kepala seenteng kapas, Kancil lalu merangkak kembali ke tempatnya semula. Di sisi wanita yang dia kagumi. Wajahnya mendekat ke wajah Bu Norma. Dekat. Sangat dekat. Dia cuma perlu membuka mulut kalau pipi Bu Norma mau dia jilat.

Kancil berlama-lama mengendus dengan hidungnya. Dia suka aroma keringat Bu Norma. Mengingatkannya pada kecambah di tengah tumpukan kayu busuk. Pada detik-detik pertama hujan membasahi bumi yang kerontang berkepanjangan.

Dengan suara bergetar, Kancil bisikkan nama wanita itu ke telinga yang bersangkutan. Tidak ada tanggapan. Bahkan sesamar gerakan alis pun gagal dia temukan. Dia ulangi hal ini beberapa kali.

Memberanikan diri, Kancil raih sebelah tangan Bu Norma. Dibimbingnya tangan bercincin itu menuju buah zakarnya. Halus. Berlawanan dengan pembungkus bijinya yang berkerut dan keriput.

Ah, enaknya.

Ketagihan, Kancil buat seakan-akan jemari tangan Bu Norma menggenggam penisnya yang sudah keras. Sebelum dia menyadari, dia sudah mengocok kontolnya dengan meminjam tangan orang lain. Orang yang seharusnya dia jaga.

"Aagh, ya, gitu, Bu," racau Kancil tak jelas. Napasnya memburu. Nafsunya menggebu. Detak jantung bertalu-talu. "Kocok terus, Bu. Aaahh-ahh-ahhhh!"

Kancil pun ejakulasi. Sebagian besar sperma jatuh ke celanannya sendiri. Sebagian lagi mengenai perut rata Bu Norma. Membentuk danau kecil di pusarnya.

Tiba-tiba sadar yang dia lakukan konyol dan memalukan, Kancil jatuhkan tangan Bu Norma ke kasur daun kelapa. Panik, dia pun berdiri. Celana dia loloskan dari kaki.

Kancil tengah mengibas-ngibaskan celana itu di atas bara api saat sebuah gagasan melintasi benaknya. Pemberi gagasan itu agaknya dia ketahui. Siapa lagi kalau bukan kontolnya yang masih tegak berdiri.

Kancil menengok ke bawah. Benar saja. Burung tak bersayap itu seakan bicara padanya. Dengan bahasa yang semesta pun bingung menerjemahkan tetapi terdengar gamblang di benaknya.

Nggak ada yang lihat. Tokek nggak balik-balik. Bu Norma masih asik mimpi. Kenapa malu? Malu sama siapa? Orang nggak ada siapa-siapa kok! Cuma kita sama Bu Norma. Ayo, balik sana! Jangan jadi pecundang. Kapan lagi kita bisa ngentot Bu Norma? Kalau ada Tokek, paling-paling kita cuma boleh lihat! Kalau ada Kopral apalagi Gagah, wah, mending nggak usah. Percuma. Nggak akan dikasih jatah!

Kembali ke dalam gubuk tanpa celana yang dia biarkan teronggok di dekat api, Kancil langsung menghampiri wanitanya. Lain dengan tadi, dia tidak mengambil posisi di samping Bu Norma. Dia langsung saja... menungganginya. Sebut saja begitu.

Kancil buka lebar-lebar kedua paha Bu Norma usai dia lepas celana dalam yang mengganggu pandangannya dari hadiah utama. Mengumpulkan tekadnya, dia arahkan penis tak bersunatnya ke gerbang kenikmatan di depannya. Lubang yang dia cari-cari ternyata lebih ke bawah dari yang dia semula kira.

Hah. Siapa sangka.

Sekarang atau tidak selamanya, kata si burung yang sudah ngiler.

Menghela napas, Kancil dorong pinggulnya. Pelan tapi mantap. Tidak bisa langsung masuk, tentu saja. Bibir vagina yang dia coba kunjungi masih mengatup. Belum lagi rongga-rongganya masih kering.

Setidak berpengalaman dirinya, Kancil tahu dia harus melakukan sesuatu. Agar hasratnya tersalurkan. Agar perasaannya pada Bu Norma tersampaikan.

Sebuah ide cemerlang tiba-tiba menyala di dalam tempurung kepala tebal si pemuda. Dengan meludahi kemaluannya, dia pastinya bisa mewujudkan keinginannya. Tanpa berpikir masak, dia pun melakukannya. Lebih sulit dari yang dia duga, meludahi penis sendiri di tengah gelap itu ternyata. Dia harus membidik dengan pas. Kalu tidak, ya, cuma buang-buang pelumas gratisannya saja.

(Diwadahi ke tangan dulu, Ciiiiiil!)

Setelah puas dengan pencapaiannya, Kancil kembali mencoba. Masih sulit. Tetapi tidak sesulit sebelumnya. Mili demi mili dia paksa vagina Bu Norma menelan batang kejantanannya.

Setelah setengahnya amblas, dia menjeda. Dadanya bertalu-talu. Wajah Bu Norma meredup seiring api yang padam. Tampaknya, wanita itu belum akan terbangun.

Ingatan Kancil kembali pada masa-masa sebelum dia berjumpa Kopral. Pada masa-masa yang dia habiskan di antara reruntuhan kota. Ketika dia dipanggil mbeling. Ketika mencopet adalah pekerjaannya. Dari yang tadinya dia tidak tahu apa-apa, sampai dia jadi kondang berkat bakatnya, Kancil selalu berdebar-debar saat menjalankan aksinya.

Menggunakan kenangan itu sebagai batu pijakan, dia kembali coba menyetubuhi Bu Norma. Kali ini Kancil rasakan bedanya. Dia tidak seragu sebelumnya. Betotan yang dia rasa menbungkus kontolnya tidak lagi sakit. Berangsur-angsur dia sukai sensai digigit itu.

Sampai kemudian, amblas seluruh batangnya ke dalam liang kawin Bu Norma. Mendambakan yang lebih, Kancil pun mulai memompa. Bersama setiap pompaan, dia rasakan semakin dalam relung vagina Bu Norma yang dia sambangi.

Aaah, jadi ini, batin Kancil sambil terus menggenjot Bu Norma-nya, ngentot. Pantas orang tergila-gila. Kenapa dia baru coba? Kenapa tidak dari dulu dia booking aja? Kalau begini, kan, dia—

Pikiran-pikiran liar Kancil memudar begitu di bawahnya, dia saksikan Bu Norma membuka mata.

Oh, tidak, tidak, tidak, tidak.

Kenapa?

Kenapa dia harus ketangkap basah begini?

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

"Mass," kata Bu Norma, lirih. Wanita itu tidak berontak. Tidak menyalak. Seingat Kancil, mantan bu guru yang satu ini bisa banget galak. "Yang kenceng."

"E-eh?"

"Nyodoknya," kata Bu Norma, tangan berpegangan pada dinding gubuk yang dibuat dari bambu yang diberdirikan sejajar dan renggang. Nada bicaranya tidak betul-betul mendesak. Meski begitu, jelas dia meminta apa yang dia minta. Tak ada kekeliruan di sana.

"Bu... Norma nggak marah?" tanya Kancil yang belum lagi mulai memompa betinanya.

"Marah? Kenapa?"

Mata sepsang anak manusia itu bertemu.

"Ehm, karena saya nggak ngomong dulu?"

Bu Norma terdengar seperti akan menangis dan tertawa di saat yang sama.

"Saya minta maaf, Bu," kata Kancil, sedikit menarik diri.

"Jangan," kata Bu Norma. Satu tangan wanita itu mencekal tangan Kancil. Dia arahkan pemuda yang beberapa saat lalu masih perjaka itu agar melepaskan pahanya. "Iya, gitu. Remas dada saya."

"B-begini, Bu?"

Kepala berjilbab wanita itu mengangguk. Tanpa diperintah siapa-siapa, Bu Norma mulai menggoyang pinggulnya. Goyangan itu bersambut. Kancil kembali memompa. Mulanya pelan. Takut membuat kesalahan. Begitu partnernya mendesah keenakan, hatinya pun jadi ringan. Didorong oleh alkohol, nafsunya sendiri, serta restu Bu Norma, dia tingkatkan frekuensi dan daya sodoknya.

Kecipak kelamin mereka menjadi satu-satunya yang terdengar selama beberapa waktu. Alam bahkan seakan menahan napas. Takut mengganggu.

Kerasukan apa Bu Norma sampai sebinal itu?

Sampai sebegitu relanya dia disetubuhi bocah kemarin sore?

Ke mana sosoknya yang teguh menjaga kehormatan diri sebagi muslimah sejati?

"Aahh, yahhh, gitu, Masss. Terus, teruusss. Jangan mandekkk. Ahhh, emmmphhh."

Bagai bocah yang tumbuh dengan cuma disusui botol sejak hari ketujuh dia ngontrak di dunia, Kancil menyusu di dada Bu Norma. Dari yang kiri, ke kanan. Dari kanan, ke kiri. Dia tinggalkan banyak cupangan pada melon kembar si wanita berkacamata. Menandakan mereka juga miliknya. Dia punya saham di sana. Pantatnya menekan-menarik-menekan-menarik-dan-menekan seakan hanya untuk itu dia diciptakan. Keringat mengucur dari pori-pori kulit seakan mereka sedang disadap.

"Ahhhh, Maaaaassssss," erang Bu Norma sambil memeluk erat pejantan paling barunya. Bahkan sesudah orgasmenya reda, tangan dan kaki wanita itu belum juga ingin melepaskan apa yang malam itu dia dapatkan. Kancil tidak akan pernab menggantikan anak-anak angkatnya. Tetapi, tanpa dia... Bu Norma akan sangat berbeda. Merana. Setelah semua yang dia alami, terutama.

Ya, suaminya sudah tiada. Ya, tidak ada alasan lagi dia di dunia. Ya, dia akan masuk neraka. Akan tetapi, apa alternatifnya? Sudah bosan dia mencoba yang sebaliknya. Jenuh dia selalu mengikuti setiap aturan mainnya. Sudah saatnya dia merenggut surga dunia sebelum dia petik buah maksiatnya di akherat kelak.

Selama Bu Norma kejang dan menggeliat bagai cacing kepanasan, Kancil tidak harus bagaimana. Penisnya seperti handuk yang lagi diperas. Merem-melek mata pemuda itu mau lepas. Setelah klimaks itu berlalu, dia tahu tugasnya cuma satu. Memompa. Itu saja.

"Mass," kata Bu Norma, "makasih, ya?"

"Buat apa, Bu?"

"Mas nggak marah, kan?"

Kancil menggeleng. Meski bagian belakang kepalanya bengkak, dia tidak mempermasalahkan. Hidup terlunta-lunta di tengah anak-anak yang lebih besar, di tengah orang-orang dewasa; dia telah belajar. Untuk menyerap pukulan, tendangan, dan hantaman yang bisa datang dari siapa saja. Kapan saja. Teman atau lawan, tidak ada besanya.

Julukannya boleh mbeling. Tetapi, jika kau mengenalnya, kau akan tahu. Kancil itu polos-los-losss.

"Mas belum mau keluar?" tanya Bu Norma yang mulai bangkit lagi birahinya. Berkat kulup yang tidak dibuang, kontol pemuda itu terasa lebih tebal dari kontol-kontol lain yang sudah dia coba. Lebih panjang juga rasanya. Entahlah. Fitur unik itu seperti membawanya bertualang ke spot yang dia baru tahu ada. Bisa dia kunjungi pula.

"Keluar?" Kancil membeo sebelum kemudian paham yang Bu Norma maksudkan. "Oh, belum. Tadi, ah, saya udah keluar. Pas Bu Norma masih belum bangun."

Tak sedikit pun mempermasalahkan, Bu Norma justru bertanya, "Mau coba gaya lain, Mas?"

"Eh?"

Kancil menjeda genjotannya.

"Boleh?"

Kancil tak tahu Bu Norma nemu energi dari mana. Tahu-tahu saja wanita itu sudah ada di atasnya. Mendudukinya. Mengangkanginya. Si kuda berbalik menunggangi tuannya. Kelamin mereka masih tetap melekat tanpa sekat. Betapa hatinya kian terpikat. Bu Norma sungguh hebat!
bu-norma-woman-on-top-ready-to.webp


"Mas diem aja."

Bu Norma menumpukan tangan pada lutut yang dia tekuk.

"Gantian saya yang kerja."

Mendengar Bu Norma mengucapkannya dengan penuh kesungguhan, Kancil bertanya-tanya. Amal baik apa yang dia perbuat sampai-sampai dia diganjar nikmat yang begitu hebat. Dari bawah wanita yang lebih tua, Kancil beroleh pemandangan berharga. Yang akan selamanya dia ingat sampai akhir hayat. Perut rata, buah dada yang gondal-gandul, jenjangnya leher serta murni kecantikan Bu Norma membuatnya bertekuk lutut. Mau diapakan saja, sudah, dia manut.

"Remas tetek saya, Mas!" pinta Bu Norma usai dia gugurkan kemeja dan jilbab yang setia membungkus kepala. Rambut sebahunya dia gerai dari ikatan mereka. Helai-helai mereka membingkai wajah ayu-nya.

Dengan berpegangan pada tulangan atap gubuk, Bu Norma bergoyang. Dia goyang pejantannya. Naik-turun. Maju-mundur. Kiri-kanan. Dia ulek kontol berkulup si pemuda bagai seorang pelacur kawakan. Seakan cuma itu yang dia mau lakukan sampai nyawa berhenti dikandung badan.

"Aaahhh. Yeessss. Enak banget kontolmu, Mas. Panjangnya pas. Tebelnya rataaaa. Ahhh. Ahhh. Uuuuhh. Shhhhh."

Kancil ikut-ikutan mendesah.

"Enghh, ahhhh, enak banget, Bu... Terus, Bu..."

"Masshhh... ahhh, suka?"

Cepat Kancil mengiyakan sebelum menambakan, "Bu Norma masih mauhh, ah, jadi bini saya?"

Jika Bu Norma terkejut Kancil masih ingat janji palsunya bahkan sesudah dia bikin gegar kepala, dia tidak menunjukkannya. Mata sendunya menutupi debar dadanya. Tidak setiap hari dia dilamar bocah yang pantas jadi putera sulungnya. Tidak setiap hari pula dia menikmati penis tak bersunat yang rasanya berbeda dari penis pada umumnya. Sebagaimana si mantan jejaka tadi mengangguk, wanita berkacamata itu pun mengangguk. Kontol di dalam vaginanya dia buat semakin mengaduk-aduk.

Kancil pegangi pinggang ramping Bu Norma. Dia rasakan dia ingin kencing. Bukan. Bukan kencing sungguhan. Ini... kencing yang tidak pesing. Kencing yang lebih amazing. Karena takut pasangannya kecewa, dia pun berkata, "Buuu...."

"Iyaaa?"

"Sssaayyya mau keluaar."

"Ahhhhh, ahhh, ahhhhh, sama, Masss. Saya juga."

"Keluarin di mana, Buuu?"

Bu Norma gigit bibir bawahnya lalu berucap, "Di dalem aja."

"Nggak apa-apa?"

Bu Norma mengangguk.

"Kalau Bu Norma hamil gimana?" tanya Kancil seolah dia lupa Kopral pasti sudah berulang kali memejuhi rahim Bu Norma sebelum dia sempat menyentuhnya.

"Nggak apa-apah, Mas. Bagus malahhh."

Kancil pagut bibir merah Bu Norma. Lama. Lembut bibir itu meyakinkannya. Bahwa dia pantas mengantar betinanya ke muara puas. Bibir itu juga yang mengilhaminya guna bertanya, "Barengan?"

Bu Norma mengangguk sebelum ambruk memeluk Kancil yang dengan sigap gantian memompa dengan cepat hingga gemetaran sendi-sendi mereka berdua. Didahului dengan geraman dan erangan, bibir mereka saling melumat. Coba mengabadikan nikmat. Larut dalam maksiat.

Kemudian, Kancil coblos sedalam-dalamnya memek Bu Norma. Seakan dia telah berikan pada wanita itu segala yang dia punya. Baik dan buruknya. Apa adanya.

Tanpa sungkan dan segan, sebagai yang lebih berpengalaman, Bu Norma sambut persembahan itu dengan rahim terbuka. Benih-benih si pemuda dia tampung semua. Hangat yang mereka bawa membuat lelahnya sirna. Membuat dia merasa dua dasawarsa lebih muda.

Dalam kegelapan, posisi sebadan Kancil dan Bu Norma bertahan sampai terdengar tepuk tangan dari sisi lain gubuk.

"Hebat, ya, kowe, Cil." Tokek menghampiri mereka seraya menelanjangi diri. Sepatu, kaos kaki, celana jeans, dan sempak dia singkirkan. Kancing kemeja dia buka. Dari atas ke bawah. "Aku lagi nyari makan, eh, kowe malah kuda-kudaan."

Kehadiran pemuda bermata juling yang entah dari kapan sudah menonton aksi mereka, mengejutkan baik Bu Norma maupun pasangannya. Alih-alih saling menjauhi, mereka justru kian erat berpelukan. Seakan dengan demikian, mereka aman dari apa yang akan terjadi kemudian.

Sejoli itu seperti sepakat untuk menghalau Tokek dari merusak momen berharga mereka.

"Gantian, Cil!"

~bersambung​
 
Terakhir diubah:
Hanyut 3.4.2

Sejoli itu seperti sepakat untuk menghalau Tokek dari merusak momen berharga mereka.

"Gantian, Cil!"

Bu Norma rasakan pantatnya ditampar. Kesakitan, dia coba menoleh ke belakang. Matanya nyalang menantang perang. Akan tetapi, Kancil tak mengijinkan. Bu Norma rasakan kedua payudaranya diremas seperti sapi perah. Jika saja dia sedang menyusui, sudah pasti ASI akan mengotori sekujur badan Kancil yang sedang dia naiki.

Bu Norma menahan desah, dan melupakan Tokek. Untuk sekarang. Dia tatap pemuda lancang yang penisnya masih menancap dalam vaginanya. Mata mereka bertemu. Bertanya. Dan menemukan jawaban. Tidak ada dari mereka yang mau dipisahkan.

"Nggak mau?"

Tokek kini berlutut di belakang Bu Norma. Di antara kaki Kancil yang mengangkang. Lubang pembuangan Bu Norma dia pandang sebelum lantas dia ludahi beberapa kali.

"Yaudah, barengan."

Tubuh Bu Norma menegang. Otot-otot pantatnya belum lupa. Betapa mereka disika. Dibuat mabuk dosa. Kepala kontol bergotri yang kini mengusap-usapi pintu belakangnya ingin dia singkirkan. Terbayang kembali nyeri yang sempat dia rasakan.

Nikmat disodomi memang membuat Bu Norma kepayang tadi siang. Tapi, apa harganya sepadan? Dengan apa yang dia dapatkan? Dan lagi, barengan? Disetubuhi lewat depan dan belakang di waktu yang bersamaan? Apa-apaan?

Binatang saja tahu aturan!

"Bu?" tanya Kancil dalam bisikan. "Apa perintah Bu Norma? Bilang aja. Akan saya kerjakan."

Oh, Kancil. You sweet summer child. Bu Norma yakin Kancil tidak sedang membual. Bocah itu kebelet jadi pria dewasa. Dia mau dianggap pahlawan. Bibit-bibit perpecahan yang Bu Norma semai, kini sudah bisa dia tuai dari pangkal malai.

Bu Norma harus akui, dia tergoda. Ingin dia saksikan kedua pejantan memperebutkan dirinya. Andaikan dulu Dokter Abi seputus asa Kancil sekarang, pasti tidak akan pernah ada mata lelaki yang berani menelanjanginya di tempat umum. Bertanya-tanya harta apa yang dia sembunyikan di balik jilbabnya. Penasaran, apakah buah dadanya 36 atau 38. Pingin tahu, seberapa lama imannya bertahan saat diperkosa bergiliran.

"Nggak," kata Bu Norma, mengusir pikiran kotor dari kepalanya sekaligus menolak tawaran Kancil. "Jangan."

Sadar akan implikasi yang kata-kata Bu Norma timbulkan, Kancil buru-buru berujar, "Tapi, Bu—"

Bu Norma sumpal mulut Kancil dengan puting susunya yang kanan. Sembari memeluk tengkuk si pemuda yang minim jam terbang, dia beralasan, "Saya mau bukti. Siapa yang lebih perkasa. Kamu, atau Tokek."

"Tapi, Bu," sergah Kancil usai dia lolos dari dekapan Bu Norma. Beruntung dia tidak tersedak ludahnya sendiri lalu mati. Akan menyedihkan sekali. Tewas kehabisan napas. Penyebabnya, dipaksa menyusu seorang mantan ibu guru.

"Bu Norma... nggak apa-apa? Dipakai kita berdua?"
bu norma habis dikira ngga kuat main bertiga a.k.a feeling old
bfd28ef0bf491f7c4bcc3ffd37e7c8e1e1d5b8fe-high.webp

Bu Norma menelan ludah. Dahinya mengerut dalam. Tokek sudah memulai penetrasi. Belum lebih dari se-centi. Pinggangnya dikunci dari kanan dan kiri.

"Ahh, ini bo'ol padahal udah jebol," komentar Tokek yang tengah berjuang melepaskan kemeja safari sebelum lalu melanjutkan upanya menyodomi Bu Norma kembali. "Tapi masih rapet gini. Mahal pasti Bu Norma kalau kita jual, Cil."

Abai pada rekan banditnya, Kancil mengelusi pundak dan leher belakang Bu Norma. Rambut si wanita yang jatuh menutupi wajahnya dia singkirkan. Dia selipkan ke belakang telinga, bersama kacamata.

"Kalau Bu Norma nggak kuat, bilang. Oke?"

Entah kerasukan setan mana, Bu Norma mengiyakan. Dengan menerima jadi roti lapis di antara kedua residivis, perempuan itu telah memvonis dirinya sendiri. Bahwa dia benar-benar tak lagi punya tempat kembali. Keluarganya sudah tiada. Suaminya sudah pergi. Ditembak mati. Oleh Kopral yang cintanya ternyata dusta. Yang tak lebih dari pemerkosa dan biang segala dosa.

Kini yang Bu Norma miliki hanya kontol-kontol penggila wanita suci. Merekalah sekarang yang bisa dia panggil rumah. Kepada mereka dia kini berserah. Pasrah.

Tiba-tiba, Bu Norma menengadah. Di belakangnya, Tokek mendesah.

Oohhhk. Jadi begini. Rasanya digauli dua laki-laki.

"Ayo, Cil," bujuk Tokek yang kini memaju-mundurkan penis bergotrinya ke dalam anus Bu Norma. "Masa wis loyo?"

Diiringi anggukan wanita yang dia hormati, Kancil pun mulai memompa. Saat dia menekan, Tokek berjaga-jaga. Giliran kontol Tokek amblas ke dalam pantat Bu Norma, dia mengimbangi. Begitu seterusnya. Gonta-ganti. Syaraf-syaraf Bu Norma dirangsang tanpa henti. Bersama-sama, mereka pacu si kuda betina mendaki tangga-tangga surga dunia.

"Aaaaahhhh.... ahhhhh..... aaahhhkkkkh yesss yesss.... oooooohhh.... gusssstiii.... aduhhh... uhhhh... ahh. emmhhh.... enak bangettt...." ungkap Bu Norma yang belum pernah sekenyang kini.

Nggak akan pernah lagi, dia membatin, aku puas cuma dengan satu lelaki.

Jika saat mendengar kabar kematian Dokter Abi dia serasa ikut mati, kali ini Bu Norma merasa seperti dilahirkan kembali. Nikmat yang para lekakinya beri datang bertubi-tubi. Masuk-keluarnya napas di dada seperti menemukan makna. Keras dan liatnya batang-batang kemaluan Tokek dan Kancil yang menyumpal anus dan vagina, meski sangat berbeda karakter dan rasa, sama-sama menyuguhkan nikmat tiada tara.

"Hahahahaha."

Tokek tertawa. Lepas. Membahana. Sudah benar riwayat Bu Norma tadi tidak dia sudahi. Meski mudah sekali dia bisa kelabui Kopral dan yang lain dengan bilang tawanan mereka mati dimakan macan atau kecemplung kali, dia hentikan dirinya sendiri segera setelah wanita itu hilang kesadaran.

Jelek-jelek begitu, firasatnya kuat. Tokek itu. Dia seperti tahu Bu Norma akan jadi peliharaan yang bukan saja piawai memuaskan namun juga tidak membosankan. Sudah berkali-kali orgasme saja, mantan guru itu masih ingat suaminya. Masih memberontak. Masih belum juga jinak.

Tokek suka yang begitu. Daripada yang langsung menghamba sekali kena pompa. Mereka barang murahan. Cepat lakunya di pasaran. Tidak seperti Bu Norma. Yang pasti akan meninggalkan banyak kesan. Banyak cerita.

"Bangsat, ya, Kek!" Bu Norma sengaja tak menyematkan 'Mas' di depan nama lelaki yang kini olehnya dia sedang disodomi. Karena darinya dia tahu kabar kematian Dokter Abi. Pemuda bertato itu bisa saja, padahal, memelihara dusta yang Kopral sampaikan di awal. Dasar tidak peka. "Udah capek?"

Tokek menyeringai. Hunjaman tongkolnya memang sempat melambat tadi. Salahnya sendiri. Keasikan memuji diri.

"Briiiiik, Gembrik!" maki Tokek sambil menghentak-hentakkan penis saktinya seakan dia ingin membelah Bu Norma jadi dua. "Ngomongmu lho saru! Nggak malu sama murid-muridmu?"

"Auuuhhh... Ahhh... ngapain malu? Haruse emmmhh.... mereka terkesimmma malah!"

"Ter.... kesss... ima?" Tokek mulai memadukan tempo cepat dan lamban dalam menyetubuhi lubang tahi Bu Norma. Sesekali, dia seka peluh dari muka. Bukan apa. Di antara mereka bertiga, dia yang belum beristirahat sejak pagi. Mana semalam dia begadang lagi. "Opo iku, Bu?"

"Wis, ahh." Bu Norma terengah-engah. Di antara desah, dia rasakan lutut dan sikunya melemah. "Eeehntot wae. Rasah cangkeman."

"Lho... lha asu. Katanya situ guru. Guru itu digugu dan ditiru. Bubrah kelasmu, Bu, kalau omonganmu digugu. Kalau polahmu ditiru."

Obrolan Bu Norma dan Tokek mengompori Kancil. Dengan ada di bawah, gerak pinggulnya memang dibatasi. Dia tidak akan bisa menyamai brutal cara Tokek menyodomi. Akan tetapi, bukan berarti dia lantas pantas diabaikan.

Bu Norma mau tahu siapa yang lebih perkasa? Hm. Jangan tanya.

"Aaaggghhkkk, yahh," racau Bu Norma manakala Kancil bermain-main pada bulatan payudaranya. Bibir, gigi, jari, dan lidah semua dipakai. Dan belum cukup sampai di situ, sementara gunung kembarnya diremas kuat-kuat, lidah pemuda itu dia rasakan menjalar. Ke leher dan ketiaknya. Oleh Kancil, dia dipaksa melipat kedua tangannya di belakang kepala. Semakin membusung buah dadanya.

"Eeeehmmmmpppphhh nakal kamu, yaaaah...."

Tokek sambar tangan-tangan Bu Norma. Dia tarik mereka ke belakang. Seraya terus memompa, keduanya dia jadikan kemudi yang erat dia pegangi. Entah sadar atau tidak, pemuda itu banyak menolong Kancil karenanya. Sekarang, bagian depan tubuh Bu Norma dapat dia santap tanpa jeda. Janda tanpa anak itu tak bisa berbuat apa-apa. Selain mendesah, mendesah, dan mendesah.

Belum lima menit dia digarap, Bu Norma kembali klimaks. Kali ini di tangan bukan satu tapi dua pemuda. Oleh lelaki yang menyodomi duburnya, tubuh bagian atasnya ditahan di udara. Di sana, dia menggeliat bagai cacing mau dijadikan umpan ikan. Tumit kakinya menjejak-jejak tikar daun kelapa. Membuat kacau balau.

Menyusul meredanya siraman cairan cinta yang mengguyur penis tak bersunat di dalam liang peranakannya, Bu Norma rasakan tiba-tiba anusnya dipaksa hampa. Tokek juga melepas kedua tangannya. Belum sempat dia beroleh keseimbangan lagi, kontol bergotri si lelaki sudah disodorkan di depan wajahnya.

Dengan penuh pengertian, Kancil topang tubuh Bu Norma. Kaki-kaki pemuda itu kini setengah ditekuk. Bu Norma bukan lagi mendudukinya tetapi dia pangku lebih tepatnya. Selagi Tokek memandikan wanita berkacamata itu dengan pejuh, Kancil tanpa henti mengayuh peluh. Bahkan sesudah kemaluan temannya dikulum-kulum dan dijilat bersih, dia belum menunjukkan tanda-tanda akan lumpuh.

Sementara Tokek ambruk bersimpuh, genderang ronde berikutnya Kancil tabuh.

"Masss," kata Bu Norma saat Kancil coba menggendongnya namun tak kuat dan mengakibatkan lepasnya kelamin mereka. Tanpa kontol-kontol para pejantannya, dia merasa ada yang hilang. Ada yang kurang. "Ini kita mau apa?"

"Udah, percaya saya."

Kancil kecup bibir Bu Norma. Satu kali. Sebelum selanjutnya dia peluk dan pandu si wanita agar berbalik menghadap tenang permukaan air bendungan di luar gubuk. Langit sedang cerah-cerahnya. Bu Norma bisa melihat bintang-bintangnya dari posisinya sekarang yang merangkak di atas pasir.

"Kurang nungging nggak, Mas?" tanya Bu Norma saat Kancil pindah ke belakangnya.

"Nggak, kok. Udah pas, Bu."

Benar saja. Detik berikutnya, lorong vagina Bu Norma kembali dijejali penis berkulup si lelaki. Oleh Kancil, dia kemudian dikendarai ke tepi sungai. Hentakan bertubi-tubi yang dia alami membuatnya tersentak-sentak. Semakin mendekati bibir pantai.

"Aaahhhh.... ahhhh, Masssshhhh."

"Iyaaa?"

"Capekkkk," keluh Bu Norma sebelum ambruk.

Ikut merunduk, Kancil lanjut saja menggenjot Bu Norma yang kini menelungkup di atas pasir kali. Ada barangkali sepuluh menit dia setubuhi janda ditinggal mati itu. Lain dengan yang tadi, kali ini dia jauh lebih santai mengayunkan kejantanannya. Seolah ingin Bu Norma kembali terlelap karenanya.

"Gimana, Bu? Siapa yang menang?"

Dihiasi butiran pasir dan kerikil, bibir Bu Norma mengembang.

"Mas Kancil."

"Jadi, Bu Norma mau saya ambil istri?"

"Mau, Mas."

"Lha, tapi, suami—"

"Udah, Mas. Jangan sebut-sebut dia."

Kancil diamkan penisnya di depan rahim Bu Norma.

"Tapi—"

"Saya udah tahu, kok. Dari Tokek. Kalau Pak Pur yang habisi Mas Abi."

Kancil menoleh ke belakang. Tokek dia dapati sedang membuat api ditemani arak dan daun-daun blarak. Pemuda itu agaknya sedang kelaparan. Daripada menyimak obrolan Bu Norma dengannya, dia lebih memilih menyiapkan makan malam.

"Bu Norma... nggak marah?"

Kancil kini menyetubuhi Bu Norma dalam posisi menyamping. Perlahan-lahan batangnya keluar masuk vagina yang memerah dan agak bengkak. Kentara dia enggan lekas berpisah. Masih ingin mencuri-curi waktu demi kebersamaan mereka. Merayakan penyatuan keduanya.

"Marah, Mas. Tapi mau apa. Yang pergi nggak usah dicari lagi."

Tokek merunduk, coba menawarkan pelipur lara lewat kecupan-kecupan hangat pada pundak Bu Norma, yang kegelian lalu bertanya, "Mas? Masih lama?"

"E-eh?"

"Dari pagi saya belum mandi."

"... Bu Norma mau mandi?"

Wanita berkacamata itu mengangguk. Seolah apa yang dia maksud belum jelas. Padahal, Kancil punya mata. Tidak buta juga. Masa iya, Bu Norma dicegah dari membersihkan diri? Setelah semua yang dia beri?

"Boleh saya temani?" tanya Kancil sebelum kemudian menarik lepas kontolnya dari memek perempuan yang kini dia anggap istri. Lelehan bekas senggama mereka menggumpal di pasir dalam waktu singkat.

"Lha kalau saya bilang nggak boleh," kata Bu Norma, mengulurkan lengan agar dibantu duduk, "Mas mau apa?"

"Mau... saya tonton aja Bu Norma mandi."

"Ih, timbilen nanti, lho, nontonin orang mandi."

"Biar. Kan bini sendiri yang mandi."

Bu Norma tersenyum.

Kancil balas tersenyum.

Bu Norma tiba-tiba meraup segenggam pasir dan melemparkannya ke muka Kancil.

"Eh! Aduh! Bu Norma! Kena mata!"

Seraya berderap ke air, Bu Norma berkata, "Yang terakhir nyebur dimakan ubur-ubur!"

"Ubur-ubur?" gumam Tokek, heran menyaksikan betapa romantisnya Bu Norma dan Kancil. Berkejaran di tepi sungai seperti bocah-bocah tak berdosa. Apalagi si wanita, yang masih memakai kaos kakinya.

Malam itu Bu Norma pura-pura bahagia. Pura-pura lupa mendiang suaminya. Pura-pura kebal duka. Pura-pura sedang tidak berkubang dosa. Namun demikian, dia bukannya tidak lega. Sesudah mandi, mereka bersantap daging tupai dan kelelawar yang dimasak di atas api. Setelahnya mereka minum-minum dan bersenggama hingga mendekati pagi. Tanpa menyadari, sepasang mata yang berkilau kekuningan mengawasi bahkan jauh sesudah nyala api tinggal memori.

~bersambung​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd