Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 6A
AKU RELA




Aku tak menyangka.
Kau hancurkan semua Impian di depan mata.
Kau terus mencoba
Untuk berkuasa.
Tidakkah cukup bagimu,
Semua pengorbananku?

- Aku Rela, Naif



.:: BEBERAPA BULAN YANG LALU



Susunan sendu sebuah kompleks pemakaman di pinggiran kota menjadi ambience abu-abu bagi kehadiran satu rombongan peziarah. Nisan-nisan tegak mematung menjadi saksi bisu hadirnya sepasang suami istri yang datang bersama putra tunggal mereka siang itu. Keduanya mengenakan pakaian serba gelap dan juga memakai kacamata hitam untuk melindungi diri dari sinar matahari, selain itu ada juga payung yang menjadi perisai dari panas yang terik membakar.

Sinar matahari yang kian menyengat dengan membabibuta membuat anak kecil yang duduk di samping makam menjadi tidak nyaman. Peluh mulai membanjir, baju pun jadi basah.

“Kakak keringetnya deres bener. Dia sepertinya kepanasan, sayang, kita balik ke mobil, yuk.” bisik sang suami pada istrinya yang masih duduk termenung di hadapan tiga nisan sejajar. Sang istri tak menjawab dan masih terdiam. Pria itu pun mengeluarkan sapu tangan dari dalam kantong celana dan menghapus keringat dari dahi sang istri, “kamu masih mau di sini? Aku antar Kakak ke mobil dulu ya.”

Sang istri menengok ke arah sang suami dan mengangguk sembari mengelus rambut dan dahi putranya yang sudah berkeringat, “Iya, Mas. Minta tolong antarkan Kakak ke mobil dulu ya. Nyalain AC-nya biar nyaman. Maaf ya. Aku masih pengen ngobrol sama Bapak, Ibu, dan Eno.”

“Iya tidak apa-apa.”

Sang suami pun mengantar sang putra ke mobil yang diparkir di luar pemakaman sementara sang istri tetap bertahan dan merapikan bunga yang ditebarkan di makam dengan tiga nisan yang saling bersebelahan di depannya.

Hari ini rasanya ada yang berbeda dari sang istri, tapi sang suami memahaminya. Hari ini adalah peringatan kepergian keluarga istrinya yang meninggal secara bersamaan karena kasus kecelakaan bertahun-tahun yang lalu. Hari itu menjadi hari paling kelam dalam hidup mereka. Sebenarnya tidak ada yang tahu pasti bagaimana mereka meninggal, tapi ada rumor tidak menyenangkan yang merebak tentang peristiwa itu.

Sang istri duduk terdiam di samping makam, bertahan di sana sendirian. Sosok suami dan kedua anaknya sudah pergi kembali ke mobil.

Ada air mata menetes di pipinya sementara tangannya terus merapikan bunga-bunga yang ditebarkan di ketiga makam yang bersebelahan.

“Ibu, Bapak, Eno…” bisik wanita berparas ayu dengan kerudung dan kacamata hitam itu sambil menunduk, ia memeluk erat gagang payung yang melindunginya dari sengatan sang mentari sembari mengelus-elus makam, “Aku tidak pernah menyangka ini akan terjadi, tapi apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Suamiku ditempatkan di wilayah yang dekat dengan kampung terkutuk itu. Kali ini kami yang akan tinggal di wilayah yang sama dengan tempat tinggal kalian dahulu… kami akan melihat pemandangan Gunung Mandiri yang dulu selalu kalian banggakan setiap hari lewat telepon…”

Sang perempuan jelita meneguk ludahnya yang kelu. Berat rasanya mengucapkan kata demi kata yang tak akan didengarkan oleh siapapun itu.

“Mohon maaf aku sebelumnya sama sekali belum pernah berkunjung ke rumah baru kita, tapi kali ini aku pasti akan tinggal lama di sana,” tiba-tiba saja tangan perempuan cantik itu bergetar, “…aku akan tinggal lama di sana dan aku bersumpah akan menemukan siapa saja pelaku semua kekejian yang telah mengakibatkan ini semua terjadi. Aku akan mencari tahu satu demi satu orang yang bertanggungjawab atas kepergian kalian. Aku akan membalaskan dendam ini. Bapak, Ibu, Eno…, tenanglah kalian di sana, karena aku tak akan tinggal diam,” wanita itu menggemeretakkan giginya, “Apapun akan kulakukan demi membalaskan dendam kita. Para bedebah itu harus merasakan kepedihan ini dan membayarnya lunas. Mereka semua tanpa terkecuali. Semua bedebah itu. Aku pasti akan menemukan orang-orang itu, aku akan menemukan orang-orang yang telah menghancurkan keluarga kita dan aku akan membuat mereka menyesal dilahirkan! Aku akan melakukan apa saja untuk menemukan mereka semua satu persatu dan membuat mereka membayar semua yang telah mereka lakukan pada kita.”

Wanita cantik itu kembali menunduk dan mengelus nisan sang Ibu, “Ijinkan aku melakukannya, Bu. Sebagai wujud permohonan maafku sebagai anak yang tak berbakti. Yang pergi dari rumah dan tak pernah kembali, bahkan ketika kalian pindah rumah pun aku tak pernah datang menjenguk barang sekali. Mungkin aku sudah menjadi anak yang durhaka dan tidak kalian kehendaki, yang mungkin jika kalian masih hidup aku pasti akan diusir saat datang ke rumah dan langsung diminta untuk pergi. Tapi kali ini aku mohon doa restu kalian untuk melaksanaka tugasku membalas budi.”

Wanita cantik itu menghela napas. Kalimatnya berikutnya diucapkan dengan bisikan yang terdengar bagaikan gumaman.

“Aku pasti berhasil meskipun ada tetapi - tetapi jangan biarkan suamiku mengetahui rencana ini. Kumohon lindungi keluargaku dan biarkan mereka tak memahami semua yang akan kujalani. Karena aku tahu takdir ini akan datang dengan pasti, entah sekarang atau nanti. Ini sesuatu yang sudah jadi harga mati, daripada berlama-lama tentu saja lebih baik saat ini. Semua pelaku jahanam itu akan kuburu, semua akan kucari…”

Perempuan itu menatap ke arah langit.

“…dan semua akan mati.”





.::..::..::..::.





.:: SEKARANG
.:: CLUSTER KEMBANG ARUM ASRI




Sejak lepas maghrib satu truk besar berhenti di depan sebuah rumah yang telah lama kosong di cluster Kembang Arum Asri, salah satu rumah yang letaknya di dalam sekali dan jauh dari gerbang depan cluster. Untuk mencapai tempat itu, truk harus melalui jalan utama perumahan dan melewati belokan semua gang terlebih dahulu.

Rumah kosong di ujung cluster memang masih cukup bagus meskipun sudah lama tidak ditinggali. Rumah itu bahkan mungkin telah menjadi rumah kosong sejak pertama kali cluster ini berdiri. Anak-anak tidak segan menyebutnya sebagai rumah hantu karena seperti halnya rumah kosong lain, rumah itu terlihat singup, sepi, dan tak terawat.

Banyak urban legend menyeramkan bermunculan mengenai rumah itu – cerita-cerita ngawur dari mulut ke mulut yang menceritakan sebab kenapa rumah itu tak laku-laku, cerita tak bertanggung jawab yang menyebutkan bahwa rumah itu angker dan terkutuk sehingga tak kunjung didiami oleh penghuninya. Jelas itu adalah hoax ngawur.

Sesungguhnya rumah itu tidak kunjung laku dijual ataupun disewa karena pemiliknya menyematkan harga yang cukup tinggi untuk lokasi yang kurang strategis, jadi bukan karena alasan horror.

Akhirnya kini, rumah itu laku juga. Dibeli oleh pasangan muda satu anak yang nampaknya tidak tahu atau tidak terpengaruh oleh berita miring mengenai rumah kosong yang kini akan mereka tempati.

Perlahan-lahan, tampilan rumah menyeramkan itu pun membaik karena dipermak dengan hati. Rumput-rumput di halaman yang sebelumnya terlihat cukup tinggi, kini sudah dipangkas apik sebelum ditinggali. Tembok yang tadinya kotor dan penuh coretan remaja bandel kini sudah bersih dan dicat ulang dengan rapi. Kaca jendela pecah dan lampu mati pun sudah terganti. Rumah itu kini asri, tak lagi terlihat horor dan medeni.

Sore itu barang-barang di atas truk diturunkan dan dimasukkan ke dalam rumah. Mulai dari kulkas sampai lemari, mulai dari pembaringan sampai pesawat televisi, mulai dari meja makan sampai kardus panci. Semua diturun-turunkan dari truk besar yang berhenti dan dipindahkan ke dalam rumah oleh sekitar empat orang yang naik turun saling berganti.

Truk itu memang baru datang menjelang sore, sehingga proses penurunan barang pun berlangsung sampai malam tiba. Beberapa penghuni lama cluster yang menyaksikan tetangga baru mereka pindahan pun turut membantu untuk mempercepat proses supaya segera selesai.

Senda gurau, tawa, dan saling tolong menyertai kegiatan sore yang mendadak hadir di cluster Kembang Arum Asri itu.

Termasuk di antara para penolong itu adalah Pak Santo - salah seorang tetangga yang rumahnya tak jauh dari rumah kosong yang sekarang mulai ditempati. Kehadiran Pak Santo ini bisa dinilai cukup ajaib, karena pria bernama lengkap Santo Suwendi itu memang tidak dikenal sebagai tetangga yang ringan tangan membantu siapapun.

Pak Santo memiliki wajah serius yang nyaris tanpa senyum dengan alis hampir menyatu bagaikan jembatan Suramadu, perut gemuk membuncit membukit melebar pinggang tidak sedikit, dagu berlipat-lipat mirip tumpukan roti bolu dipotong sejajar, kumis tebal ala Mas Adam atau aktor prindavan, dan kulit gelap keling membuatnya tampil menyeramkan mirip preman terminal yang tidak henti-hentinya malak berkeliling.

Pria tua yang wajahnya burik dengan beberapa bekas jerawat batu besar menyebar di wajah itu turut membantu mengangkat meja, kursi, dan lemari. Badannya yang gemuk, besar, dan legam membuatnya nampak seperti sudah lama bekerja di perusahaan ekspedisi yang memang dulu pernah ia jalani.

“Tumben banget bantuin tetangga baru, Pak San,” sindir Pak Hamzah yang tiba-tiba saja datang di sebelah Pak Santo. Pria itu langsung menyenggol lengan Pak Santo sembari nyengir lebar, “rasa-rasanya sudah lama banget saya tidak ketemu Pak San. Terutama di acara kerja bakti. Jarang lihat rasanya. Hahaha.”

Tetangga depan rumah Pak Santo itu jarang sekali melihat sang pria tua membantu siapapun kecuali keluarga sendiri. Pak Hamzah berwajah sopan dan selalu tersenyum lebar, Ia juga selalu mengenakan peci dan batik mirip pegawai kelurahan. Wajah dan perawakan Pak Hamzah yang gempal dan brewokan mirip seperti seorang penggagas partai dan pemilik stasiun televisi khusus berita.

Haish. Bisa aja Pak Hamzah ini, saya kan tinggal di sini, masa ya tidak membiasakan diri tolong-menolong sesama penghuni cluster? Di sini kan cluster-nya cukup besar, ada beberapa gang lebar. Kalau ada yang membutuhkan ya sudah jadi kewajiban kita untuk membantu. Apalagi ini calon tetangga baru kita, siapa tahu nanti saya yang butuh pertolongan di lain waktu,” ucap Pak Santo memberikan alasan yang sebenarnya tidak perlu diberikan.

“Betul sekali, Pak. Memang wajib hidup kita itu saling tolong menolong.” Pak Hamzah ikut nyengir dan terkekeh. Dia tahu sekali alasan Pak Santo itu adalah alasan klasik karena di keseharian mereka, Pak Santo bukan orang yang gemar menolong.

Dia mendekati Pak Santo dan berbisik, “memang benar alasan tolong menolong itu sangat bijak… tapi kalaupun ada ‘alasan lain’ yang ‘cukup besar’ yang membuat Pak Santo ikut membantu tetangga baru kita ini menurunkan barang dari truk, saya juga paham kok, Pak. Heheheh. Saya juga laki-laki, Pak. Saya tahu apa yang Bapak pikirkan. Hahahaha.”

Wajah Pak Santo pun memerah karena ketahuan belangnya. Ia mendengus kesal pada Pak Hamzah, “Apaan sih Pak Hamzah ini? Itikad baik saya kok dipertanyakan.”

“Heheh, ya sudah ayo kita buktikan saja. Kita ambil minuman yuk, Pak.” Pak Hamzah mendorong tubuh Pak Santo untuk berjalan.

Kedua laki-laki berusia lebih dari separuh baya itu pun berjalan menuju pintu rumah yang terbuka lebar, di sana ada satu keluarga kecil yang sedang menyaksikan barang-barang mereka diturunkan dari truk dan dimasukkan ke dalam rumah.

Selain menyaksikan proses penurunan barang dari truk, keluarga kecil itu juga membagi-bagikan minuman kemasan dingin dan snack ala kadarnya kepada mereka-mereka yang membantu proses pindahan. Sepasang suami istri muda dan putra semata wayang mereka yang sepertinya masih seusia PAUD.

“Terima kasih banyak, Pak. Mau minuman dingin atau biasa saja, Pak?”

Pak Hamzah tersenyum, “Saya yang dingin saja.”

“Saya juga.” Pak Santo ikut-ikutan.

”Silakan minuman dinginnya.”

Pak Santo dan Pak Hamzah sama-sama menerima minuman kemasan itu dari sang istri. Wanita itu terlihat lembut dan santun, ramah pada semua orang, sopan dan fashionable dalam berpakaian, serta mengenakan kerudung senada baju yang rapi dan wangi.

Baju yang dikenakan sang ibu muda cukup longgar dan berhasil membungkus keelokan tubuhnya yang semampai dengan kulit putih sempurna. Wajahnya yang oval amat ayu dihiasi oleh bulu mata lentik, alis lancip, dan mata bulat indah. Suaranya yang terdengar empuk dan merdu juga membuat betah, selain pesona sosoknya yang menciptakan gairah.

Bagaimana tidak bergairah jika buah dada sentosa yang ia miliki mengundang mata pria untuk selalu menatap, termasuk mata kedua laki-laki tua nakal yang kini mendekati pasangan suami istri itu.

“Selamat malam, Pak. Aduh, terima kasih sekali kami sudah dibantu. Mohon maaf malah jadi merepotkan,” ucap sang suami saat istrinya membagikan air minum kemasan dan snack seadanya pada Pak Hamzah dan Pak Santo.

“Ah tidak apa-apa namanya juga tetangga sudah seharusnya saling membantu, betul tidak Pak Santo?”

“Be-betul Pak Hamzah,” Pak Santo seperti grogi dan berulangkali melirik ke arah dada membusung di dada sang ibu muda yang tak jauh darinya. Dari jarak sedekat ini, lekuk tubuh Maya menjadi semakin jelas dan menggiurkan, membuatnya tak tahan ingin meremas atau memeluk si cantik. Memang buah dada Maya itu tidak besar, tapi sudah cukup untuk membuat air liurnya menetes.

Sejak tadi, niatan Pak Santo untuk membantu pasangan ini memang karena ia penasaran dengan cantiknya sang istri.

Pak Hamzah nyengir lebar karena terbukti teorinya benar adanya. Pak Santo ikut membantu keluarga ini karena naksir sama si ibu muda yang memang cukup menggairahkan ini.

Sang suami lantas mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kedua penghuni cluster itu, “Oh iya, salam kenal, Bapak-bapak. Mohon maaf kami belum sempat berkeliling untuk menemui tetangga di lingkungan sekitar. Nama saya Ervan dan ini istri saya Maya.”



“Pak Ervan, Bu Maya.”

Pak Hamzah bersalaman dengan Ervan dan istrinya sambil tersenyum. Pak Santo meneguk ludah saat ia menyusul Pak Hamzah bersalaman dengan Maya yang jelita dan bertubuh indah itu.

“Ah, panggil saya Maya saja, Pak. Saya jauh lebih muda dari Bapak-bapak, rasanya tidak nyaman kalau dipanggil Bu,” ucap Maya dengan ramah sambil tersenyum sangat manis yang bahkan bisa membuat semut terkena diabetes.

Lembut, ayu, harum, dan putih mulus. Seperti bidadari yang baru turun dari awan dan tidak balik-balik ke khayangan. Segalanya dimiliki Maya, paras, tubuh, dan tingkah laku. Entah apa kebaikan yang sudah pernah dilakukan Ervan sampai-sampai dia berhak memiliki tubuh dan hati bidadari semolek Maya.

Edan sih. Bagaimana bisa ada makhluk seindah ini menjejakkan kaki di bumi yang sama dengan Pak Santo? Pria tua itu sebenarnya tak pernah mengira dia bisa sangat beruntung tinggal di komplek perumahan yang penghuninya cantik-cantik. Mana ada tempat lain yang seperti ini?

Pertama ada Nisa yang manis, mungil, dan anggun - seorang ibu muda yang jadi idaman banyak pria karena tipikal karakternya housewife sekali. Lalu kedua ada Amy sang primadona nan rupawan, yang menjadi kembang terindah di kompleks cluster ini karena kecantikannya. Ketiga ada Shinta yang molek, menggairahkan, dan menggemaskan. Masih ada juga si Intan dari dusun sebelah yang keindahannya memabukkan.

Gila bukan? Ada empat mamah muda molek dengan spek bidadari yang sudah hadir sebelumnya dan kini ternyata muncul satu tambahan lagi makhluk jelita yang menjejakkan kaki di cluster Kembang Arum Asri.

Sungguh beruntung mereka-mereka yang tinggal di tempat ini, karena penghuni di cluster ini dapat bertemu dengan lima ibu muda yang kelimanya cantik jelita bukan abal-abal.

Pak Santo terhenti sejenak, eh siapa ya tadi namanya?

Maya? Ya, Maya.

Maya adalah seorang wanita yang tidak hanya cantik, tapi juga mempesona. Tutur katanya lembut, selalu tersenyum manis, dan auranya positif. Meski berpakaian sopan, di balik gamisnya sudah pasti terdapat tubuh indah menawan yang dalam pandangan Pak Santo seakan tercetak samar di pakaian lebarnya yang tak sanggup menutup kemolekannya. Ini sih sebenarnya karena memang pikiran Pak Santo-nya saja yang cabul, bukan karena pakaian Maya.

Bagi Pak Santo yang fetish dengan binor muda, hal yang paling menggairahkan dari seorang Maya adalah karena dia juga seorang istri dan ibu dari seorang anak. Betapa asyiknya seandainya dia bisa meniduri wanita yang kastanya tinggi, anggun, dan alim yang juga seorang ibu dan istri seperti Maya ini. Nikmat sungguh nikmat pasti memek bersih yang ia miliki, target yang sempurna untuk dibayangkan saat coli malam ini.

Tapi Pak Santo bukanlah pemimpi, dia tahu itu semua hanyalah khayalan yang lama kelamaan pasti tergradasi. Mana mungkin hal senista itu terjadi. Mana mungkin Maya mau berbagi malam berdua dengannya di atas ranjang, berpelukan telanjang, menghempaskan rindu rindang.

“Kakak Athar, ayo salam dulu ke Pakdhe-Pakdhe ini,” pinta Maya pada anak manis yang sedang menggelayut di bawahnya. Antara takut-takut dan malu, kedua anak itu melakukannya sesuai perintah sang Mama.

Pak Hamzah dan Pak Santo sama-sama tersenyum saat bocah berparas manis itu mengajak mereka bersalaman. Wajahnya bersih, lucu, dan imut sungguh mirip seperti papa dan mamanya.

“Wah, ganteng sekali. Sepertinya kegantengannya menurun dari Papa dan Mamanya yang tampan dan cantik, betul tidak Pak Santo?” ucap Pak Hamzah memancing rekannya yang sedari tadi tidak melepas pandangannya dari tubuh indah Maya.

“Be-Betul sekali Pak Hamzah.” Pak Santo pun gelagapan, takut ketahuan belangnya, “cakep mirip Mama-nya yang cantik…”

Pipi Maya merah merekah karena malu saat mendengar keluarga kecilnya dipuji, dia memang sangat bangga pada suami dan anaknya, meskipun begitu ia tidak ingin besar kepala dan selalu mencoba merendah serta berpikiran positif. “Ah, bisa saja Bapak berdua ini.”

“Beneran, Mbak,” kata Pak Hamzah sambil menebar senyum lebar, “Ah, akhirnya rumah yang dulunya kosong ini sekarang berasa jadi lebih hangat dengan kehadiran Mas Ervan, Mbak Maya, dan Dek Athar. Kami jadi lega karena sudah sejak lama rumah ini kosong dan membuat anak-anak menyebutnya rumah hantu. Hahahaha.”

Ervan dan Maya saling berpandangan. Rumah hantu? Mereka berdua tersenyum dan geli menanggapi hal-hal semacam itu.

“Hahaha, mudah-mudahan setelah kami bersihkan sudah tidak ada hantu lagi ya, Pak. Duh kok jadi horor ini. Mari kita bicarakan hal lain saja, kalau bapak-bapak tinggal di mana?”

“Ah iya, kalau saya tinggal di sana, Mbak Maya,” Pak Hamzah menunjuk ke arah rumahnya yang terlihat dari posisi mereka berdiri, “Rumah saya yang cat dan temboknya warna hijau tua. Yang di depannya ada pohon rambutan. Nah, kalau Pak Santo rumahnya yang ada di sebelah sana, itu yang warnanya coklat muda. Monggo silakan mampir kalau senggang ya, Mas Ervan dan Mbak Maya. Kebetulan istri saya jago bikin pecak lele. Hehehe. Kapan-kapan silakan mampir saja tidak perlu sungkan. Istri saya paling senang kalau ada tetangga baru yang bisa diajak ngobrol terutama saat saya sedang pergi kerja. Dia biangnya gosip.”

Maya tertawa.

“Baik, Pak.” Ervan nyengir lebar.

Pak Santo yang tadinya ikut mendengarkan celotehan garing Pak Hamzah kembali melirik ke arah sang ibu muda yang kini sibuk menuruti anaknya yang agak rewel. Wajar saja, tempat baru dan suasana yang masih asing tentu saja membuat Athar merasa tidak nyaman apalagi dia juga sudah pasti sangat lelah.

“Kenapa Mas Ervan dan Mbak Maya memutuskan pindah kemari? Ada tuntutan pekerjaan? Atau hal-hal yang lain? Jarang-jarang ada pasangan muda yang mau pindah ke kompleks yang jauh dari kota seperti njenengan berdua, ini kan di lereng gunung, mau turun ke kaki gunung cukup memakan waktu,” Pak Santo mencoba mengorek keterangan.

“Betul, Mas Ervan. Istri saya saja awal-awalnya ngambek waktu saya minta pindah ke sini. Jauh dari peradaban katanya. Boro-boro ada mal, mau ke pasar aja mesti effort dulu. Hahaha,” tambah Pak Hamzah.

“Hahaha. Kalau saya memang benar tuntutan pekerjaan, Pak. Kebetulan mulai minggu depan sudah ditempatkan di dekat sini,” jawab Ervan dengan senyum lebar.

Suami Maya itu adalah seorang pria yang bertubuh tegap dengan paras rupawan, ia berkulit bersih, tutur-katanya sopan, dan selalu menunjukkan rasa hormat pada lawan bicara. Ervan mengenakan kacamata dan rambutnya dipotong rapi dengan model terkini. Sangat ganteng sehingga tak heran Maya kecantol. Tapi yang mengherankan bagi Pak Hamzah adalah orang seperti Ervan seharusnya kerja di tempat yang lebih baik, bukan di negeri atas awan begini.

“Hah!? Mas Ervan kerja di dekat sini? Memangnya ada kantor, Mas? Setahu saya di sini cuma ada gunung dan hutan. Njenengan apakah…?” Pak Hamzah mengerutkan kening, mencoba menyatukan kepingan informasi, “…apakah njenengan akan bertugas di pos pengamatan gunung api di atas? Menurut kabar yang beredar, pengganti salah satu petugas lama yang pensiun memang akan datang dan tinggal di cluster ini di pertengahan tahun.”

“Hahaha, iya benar sekali, Pak. Saya yang akan bertugas di atas.”

“Oalaaaaaah, ya pantes aja milih tinggal di sini. Masnya pejabat ternyata.”

“Ya ampun, Pak. Saya hanya pengamat gunung saja. Bukan pejabat. Hahaha. Hanya dipercaya oleh pemerintah sebagai pengamat, bukan pejabat apapun. Bisa saja nih Pak Hamzah.”

“Hahaha. Saya paham kok, Pak. Njenengan kan pasti bakal lebih sering menempati pos pengamatan di atas daripada tinggal di rumah, jadi cari tempat tinggal ya mencari yang dekat ya.”

“Hahaha. Betul, Pak. Namanya juga PNS, dituntut tugas negara ya saya harus ikut kemana arahan memerintahkan. Gara-gara saya, istri dan anak terkena imbasnya ikut saya ke sini.”

Pak Santo ikut tersenyum, lalu mendengus tak peduli, dan melirik ke arah wanita berparas jelita yang sedang terdiam dan menatap suaminya dengan bangga. Bagi pria tua itu, apapun mengenai sang wanita indah berkerudung ini lebih menarik perhatian daripada celotehan suaminya. Lihat saja pipi mulus itu, betapa ingin Pak Santo menjilat pipi putih bersih milik Maya.

“Kalau njenengan, Mbak? Bekerja atau fokus menjadi ibu rumah tangga?” tanya Pak Santo, “sebelumnya kerja?”

“Oh! Kalau saya sebenarnya guru SMK, Pak. Saya memutuskan untuk resign dari sekolah lama saya demi ikut Mas Ervan ke tempat ini,” Maya tersenyum manis.

Senyum yang manisnya kebangetan bikin jantung Pak Santo dagdigdug seperti tabuhan drum yang berdentum bergantian kiri dan kanan. Pria tua itu berusaha keras fokus pada apa yang diucapkan oleh Maya namun pandangannya selalu luruh ke bagian dada sang ibu muda. Betapa ingin dia maju untuk membentangkan tangan memeluk Maya atau sekedar membuka gamis ibu muda itu dan meremas-remas susunya.

Sejatinya buah dada Maya tidak terlalu besar, tapi entah karena pengaruh baju atau memang badannya yang tegap, sehingga payudaranya terlihat membusung dan teramat ranum. Menggiurkan sekali.

Njenengan mau lanjut kerja lagi? Saya bisa mencarikan, Mbak. Kebetulan saya juga pernah jadi guru honorer di salah satu sekolah swasta di kaki gunung. Sekarang sih saya sudah pensiun.”

“Hahaha. Karena kami sedang menyesuaikan dengan lingkungan, jadi untuk sementara waktu kemungkinan saya fokus untuk jadi ibu rumah tangga saja dulu. Athar butuh pengawasan lebih untuk sementara ini, dia butuh menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.”

“Wah sayang sekali,” Pak Santo kecewa lantaran dia ingin berjasa bagi Maya.

“Kalau sudah fix nanti bagaimana kehidupan kami di sini, bisa mengatur waktu, dan membagi jam untuk Athar, atau mendapatkan pengasuh yang sesuai dengan kebutuhan kami. Mungkin baru saya mempertimbangkan diri untuk mencari pekerjaan juga di sekolah swasta di dekat-dekat sini. Mungkin saya bisa minta tolong ke Pak Santo.”

Pak Santo tersenyum sangat lebar dan bahagia.

Ervan merangkul istrinya dan mengangguk, “Pasti bisa. Kamu sudah tidak sabar mengajar lagi kan?”

Maya tertawa kecil.

Ervan dan Maya saling berpandangan, dari sekilas saja sudah terlihat bahwa mereka berdua saling dukung, saling mencintai, saling menghormati, dan sangat gembira bisa memiliki rumah di Kembang Arum Asri. Wajah excited mereka tak bisa disembunyikan. Walaupun lelah dan letih saat mau pindahan, dan mungkin juga masih akan repot dalam beberapa hari ke depan, tapi sepertinya memang hidup seperti ini yang ingin mereka jalani.

“Oh iya, Mas Ervan jangan lupa kalau sudah settle nantinya dan beres kegiatan benah-benahnya, disempatkan untuk menghubungi Pak RT,” saran Pak Hamzah, “setiap warga baru tentunya harus menghubungi Pak RT.”

“Oh, kebetulan malah sudah, Pak. Kami sekeluarga sudah bertemu dengan Pak RT minggu lalu dan sudah menyerahkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Sudah benar-benar hanya tinggal pindah tidur saja, hahaha,” canda Ervan.

Pak Hamzah dan Pak Santo saling berpandangan.

Sudah ketemu pak RT!?

Kok tumben sekali Pak RT tidak koar-koar ke mereka kalau bakal ada penghuni baru yang cantik jelita dan seksi luar biasa begini?

Meskipun memakai gamis panjang sekalipun, keindahan tubuh Maya sudah bisa dibayangkan dan sudah pasti menggiurkan. Perangkat desa cabul seperti Pak RT sepertinya tidak mungkin melewatkan barang bening begini. Kok bisa-bisanya diam saja ya? Masa sih Pak RT diam saja membiarkan yang beginian nganggur? Atau mungkin dia sedang disibukkan oleh kegiatan lain? Bisa-bisanya Pak RT kelupaan menyampaikan ke bapak-bapak pemain catur di pos ronda kalau ada berlian mengkilap seperti ini.

Sungguh bagai berlian.

Penampilan Maya begitu indah, mulus mempesona dengan wajah cantiknya yang memukau dan tak membosankan, postur tubuh semampai ideal, kulit putih bersih menggiurkan, buah dada yang meskipun sudah berusaha ditutup dengan pakaian lebar tapi tetap tercetak segar dan indah menyembul ranum. Belum lagi kesempurnaan itu didukung pula oleh perangainya yang terlihat kalem, ramah, dan alim.

Ini spek bidadari surga sejati.

Pak Santo saja hanya bisa meneguk ludah ketika dekat dengan wanita seagung Maya. Aura keindahannya benar-benar keluar dan tak kunjung redup. Dalam hatinya, Pak Santo penuh dengan pemikiran cabul dan mesum.

Kalau si Ervan ini ditempatkan di pos pengamatan gunung api, berarti dia bakal sering meninggalkan Maya sendirian dong? Heheheh. Aduh aduh aduh kasian banget. Punya istri semolek dan seindah ini kok malah dibiarkan menganggur saja di sini. Heheheh. Kalau begitu harus sering disempatkan berkunjung ke rumah si Maya. Kali-kali aja bisa mencicip apemnya si ibu muda ini. Heheh. Pasti tempiknya harum mewangi. Heheh.

“Pak Santo.”

“Eh… i-iya, Pak Hamzah?” Pak Santo gelagapan karena malah sibuk melihat buah dada Maya yang tersembul indah di balik gamis. Untung saja ibu muda itu sedang sibuk mengurus sang buah hati dan tak sadar ulah nakal si laki-laki tua.

Pak Hamzah nyengir lebar dan menepuk pundak sang tetangga, “Yuk kita udahan istirahat dulu, biar Mas Ervan dan Mbak Maya menyelesaikan proses pindahan mereka. Barang-barang besar sudah semuanya turun. Tinggal beberapa kardus kecil saja.”

“Ah, benar sekali.”

“Sekali lagi terima kasih atas bantuannya ya, Bapak-bapak. Malam-malam begini masih disempatkan untuk membantu kami,” Maya sekali lagi mencoba ramah dan menyalami Pak Hamzah dan Pak Santo, “Mohon maaf malah jadi merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Mbak Maya. Saya dan Pak Santo sudah biasa seperti ini, namanya tetangga harus tolong menolong kan. Lagipula siapa tahu kelak saya yang butuh bantuan dari Mbak Maya. Heheheh.”

Pak Hamzah nyengir lebar sembari menyalami Maya lebih lama dari seharusnya – mulusnya tangan sang ibu muda membuat Pak Hamzah seakan tak rela melepaskan tangan. Ia juga memamerkan gigi yang kuning dan tidak indah dipandang, belum lagi ada dua ompong bolong menambah keunikan penampilan yang sama sekali tidak nyaman dilihat.

“Euh… i-iya, betul juga, Pak,” Maya mendorong anaknnya dengan lembut, “Ayo Kakak Athar. Bilang apa ke pakdhe-pakdhe ini?”

Anak ganteng Maya menyalami Pak Hamzah dan Pak Santo dengan lucunya sembari mengucapkan terima kasih dengan cadel, membuat kedua pria dewasa itu tergelak. Pak Hamzah dan Pak Santo pun meninggalkan Ervan dan Maya yang kembali sibuk dengan kegiatan mereka.

Pak Hamzah melirik ke samping dan melihat wajah ceria Pak Santo yang terus menerus mengelus-elus tangannya.

Sembari menahan geli, Pak Hamzah menggunakan siku tangannya untuk menyenggol tangan Pak Santo, “Gimana rasanya bersalaman dengan tangan sehalus dan semulus itu? Hahaha. Barangnya bening banget ya, Pak? Bisa bahaya nih kalau tiap pagi lihat barang semulus itu jemur pakaian dalam. Hahaha.”

“Betulan cakep banget, Pak. Beningnya ra karuan. Kok ya ada manusia secantik dan seindah itu ya? Mana masih muda dan kelihatannya alim banget, jadi gemes lihatnya. Tumben Pak RT tidak koar-koar ada barang bagus begini. Biasanya dia yang paling getol promosi selagi anget-angetnya.”

“Iya, Pak. Biasanya Pak RT langsung ribut di pos ronda. Mungkin beliau ada kesibukan lain jadi tidak sok kenal sok dekat sama orang baru seperti biasanya. Akhir-akhir Pak Man memang jarang kelihatan ya?”

“Eh iya juga baru sadar. Malam ini juga tidak kelihatan. Kemana ya, Pak RT?”

“Entahlah. Mungkin sedang ambil gambar cewek entah mana lagi dengan sohibnya. Beliau kan hobinya fotografi, Pak Santo.”

Pak Santo manggut-manggut.

“Kalau menurut Pak Santo, cewek seperti si Maya tadi gimana di ranjang ya, Pak? Binal tidak ya? Saya kok jadi penasaran. Hahaha. Gemes banget lihatnya. Cantik dan seger banget, padahal sedang capek-capeknya ngurusin pindahan tapi masih seger aja. Belum lagi repotnya ngurusin anak yang masih kecil sewaktu pindahan begini. Beneran gak kebayang capeknya.”

“Walah. Kalo Pak Hamzah aja gemes apalagi saya, Pak. Pak Hamzah mah enak, pulang ke rumah ada istri, bisa dilampiaskan gemesnya. Lha saya? Sendirian doang di rumah,” Pak Santo mendengus kesal.

Pak Hamzah tertawa, “Makanya saya buru-buru pulang nih, Pak. Jadi ga sabar pengen nggenjot istri saya habis lihat kecantikan dan kemolekan si Maya tadi. Si otong sudah gak nahan, hahaha,” canda cabul Pak Hamzah yang justru makin membuat Pak Santo bersungut-sungut.

Kedua pria tua itu akhirnya berpisah di ujung jalan.

Kepergian keduanya tak lepas dari pandangan mata Ervan Darmawan yang mengamati kedua sosok tetangga barunya dari kejauhan. Ia melihat ke arah mana sebenarnya Pak Hamzah dan Pak Santo pulang.

“Kenapa, Mas? Kok bengong aja di situ?” tanya Maya Karina sembari memainkan botol susu hangat yang hendak diberikan pada Athar. Anak Ervan dan Maya itu memang sudah bisa lepas dari ASI, tapi tetap harus disuguhkan susu demi pertumbuhannya.

“Tidak apa-apa.”

“Bohong banget. Aku tahu pasti kamu itu sedang tidak suka dengan sesuatu. Aku kan hapal kamu kayak apa, Mas. Kamu tidak akan pernah bisa membohongiku, aku hapal perubahan wajah kamu,” Maya dengan manja menggelendot di pundak sang suami, “Cerita sama aku. Kamu kenapa?”

Hrrh. Bapak-bapak itu tadi lho, Dek. Mereka orang-orang yang agak gimana gitu. Aku jadi takut punya tetangga seperti mereka kalau sering ninggalin kamu di rumah sendirian. Apalagi keduanya sepertinya berminat sama kamu, ngelihatin kamu sampai segitunya banget. Hrrh. Emangnya dipikir aku tidak tahu? Mereka pasti gemes dan ingin menjamah tubuh kamu. Aku jadi geram melihatnya.”

Ish, apaan sih!! Mas. Gak baik tahu menaruh prasangka buruk kayak gitu. Mereka sudah membantu kita malah kamu tuduh macam-macam. Kamu itu seharusnya bersyukur di hari pertama kita di sini ada orang-orang baik yang mau membantu. Bukannya malah curiga yang tidak-tidak,” hardik Maya sembari memeluk Athar yang sudah terlihat lelah.

Ervan menghela napas, “Memang sih, kayaknya aku saja yang curigaan. Tapi jelas-jelas Pak Santo tadi lihat dada kamu kayak gitu amat mukanya. Seperti mau nelen melon kamu bulat-bulat. Benernya aku gak terima istriku digituin, tapi berhubung tetangga baru aku tahan-tahan.”

“Mas! Ngomongnya ih! Masih banyak orang lalu-lalang di sini! Bisa-bisanya lho ngomong asal begitu! Kalau kedengaran orang lain gimana? Kan sudah aku bilang tidak baik berprasangka buruk begitu! Ah Mas ah!” Maya mendesis sambil berbisik, ia menengok ke kiri dan kanan memastikan tidak ada orang melihat, “Pak Santo dan Pak Hamzah sudah berbaik hati membantu kita, Mas. Setidaknya kita harus berterima kasih dan bersyukur kalau di tempat ini kita punya kenalan baru yang baik dan suka menolong. Kamu ini memang dasar suka curiga, bukannya bersyukur malah menuduh yang tidak-tidak.”

Hrmph,” Meski awalnya merengut, tapi bagaimana mungkin Ervan bisa marah pada wanita sebaik dan semenarik sang istri yang selalu memberikan vibes positif? “Iya sih, aku cuma gak rela aja kamu dilihatin segitunya sama bapak-bapak yang sudah tua itu.”

“Yaelah, itu melulu yang dibahas. Mas itu mau lihat perhatian orang ke aku atau perhatian aku ke Mas? Mana yang lebih penting?”

“Lebih penting kamu lah, Dek.”

“Nah! Jadi Mas mau apalagi dari aku? Seluruh hidupku sudah buat Mas, cintaku sudah buat Mas, seumur hidup aku bakal jadi istri Mas, aku juga sudah punya anak dari Mas. Sekarang pindah rumah dan keluar dari kerjaanku yang nyaman juga demi Mas. Kurang apalagi sih aku ini, Mas? Udah ah, tidak usah aneh-aneh. Aku hanya sayang dan cinta ke Mas Ervan. Jangan khawatir, oke?”

Ervan tersenyum dan mengangguk, “Aku yang salah. Aku seharusnya berpikir dengan lebih bijak. Mungkin karena kelelahan aku jadi berpikiran yang tidak-tidak.”

Maya meringis dan menggandeng sang suami ke arah dapur, “Di sana ada teh panas dan pisang goreng. Mas duduk dulu sebentar, istirahat, dan minum dulu. Kita butuh istirahat setelah semua kegiatan melelahkan hari ini. Setuju?”

“Iya, kamu bener sayang.”

“Jangan lupa, sebentar lagi siapkan amplop yang banyak karena pekerjaan sudah hampir selesai. Itu sopir truk juga harus dibayar. Hihihi,” Maya cekikikan sembari membawa kedua buah hatinya masuk ke kamar yang menjadi ruang paling bersih di rumah baru mereka. Pintu kamar pun ditutup.

Ervan hanya bengong dan tertawa melihat kelakuan sang istri, dia mulai menyelipkan lembaran uang di amplop-amplop terpisah sembari menghitung berapa orang yang membantu mereka malam ini.

Tak sampai satu jam kemudian semua orang pulang, Ervan sudah sendiri bersama sang istri dan anak mereka dengan barang-barang yang masih berserakan, ditumpuk asal, dan terbungkus kardus. Akan jadi pekerjaan yang cukup ekstra untuk membongkar dan merapikan rumah. Tapi semua harus dicicil malam ini.

Berhubung Athar terkadang masih suka terbangun malam untuk minta susu, maka Maya memilih masuk ke kamar dan tidur bersama sang buah hati. Ervan lah yang malam itu seorang diri mengatur dan menyusun barang-barang di lokasi seharusnya, meski belum benar-benar membuka kardus, setidaknya ia menempatkan kardus apa di posisi mana. Misalnya kardus bertuliskan piring di dekat dapur, kardus buku di dekat lemari di ruang tamu, dan kardus perangkat mandi di pintu kamar mandi.



Waktu semakin malam, sunyi senyap hanya terdengar suara jangkrik. Maya yang sempat terlelap terbangun dengan ruangan di rumahnya kebanyakan masih menyala.

Apakah suaminya masih bekerja?

Kok tidak ada suara?

Maya yang terbangun membuka pintu kamar perlahan-lahan. Sembari berjingkat ia melangkah ke ruang tamu dan mendapati sang suami tengah terlelap pulas sembari memegang bingkai foto hari pernikahan mereka. Sembari menahan geli Maya mengambil selimut yang kebetulan ada di dekat posisi Ervan berada dan menyelimuti sang suami. Wanita berparas jelita itu lantas mengecup dahi pria yang beberapa tahun belakangan ini telah menjadi pendamping dan pelindungnya yang setia.

“Istirahat dulu, Mas. Biar aku gantikan sebentar,” bisik Maya perlahan sembari tersenyum lembut dan merapikan selimut Ervan.

Sambil berusaha untuk tetap tenang dan tidak menimbulkan suara sedikitpun, wanita berparas ayu itu mulai membuka kardus bertuliskan pakaian dan mulai membawa tumpukan pakaian dari dalam kardus ke dalam lemari yang sudah ada di kamar. Kardus demi kardus diselesaikan oleh ibu muda itu dengan mudahnya.

Maya juga memastikan pintu depan dan belakang rumah sudah tertutup dan terkunci rapat supaya tidak ada gangguan lagi. Ibu muda itu pun melanjutkan membuka kardus dan meletak-letakkan isinya di tempat seharusnya, terutama kardus baju anak dan kardus makanan instan.

Ia bekerja sendiri hingga berjam-jam dengan ikhlas, ia tahu betapa capek suami dan anaknya hari itu, makanya hal yang bisa ia bantu akan ia lakukan, supaya mereka sekeluarga bisa lebih cepat menikmati rumah baru ini.

Saat sedang bekerja merapikan baju di lemari itulah, Maya mendapati layar ponselnya berkedap-kedip. Mamah muda berparas ayu itu memang sudah terbiasa tidak menyalakan nada dering ponselnya, dia hanya membiarkan lampunya berkedap-kedip seandainya ada pesan atau telepon masuk.

Siapa yang menghubunginya malam-malam begini?

Ibu muda jelita itu mengangkat smartphone-nya dan membuka layar. Ia bertanya-tanya apakah pesan singkat itu dari saudara atau teman. Mereka semestinya tahu Maya dan keluarganya tengah pindah rumah.

Maya tertegun menatap ponselnya. Matanya terbelalak.

Ternyata pesan singkat itu dari orang yang paling tidak ia harapkan dengan satu pesan yang paling tidak dia inginkan! Pesan yang mengandung ancaman.

Aku akan telpon sebentar lagi. Tolong angkat telponku. Kalau kamu tidak mau mengangkatnya, aku akan menghubungimu terus setiap jam. Suamimu pasti akan curiga dan bertanya-tanya kalau aku menelponmu terus. Pilih mana? Angkat telponku atau suamimu mengetahui semuanya?

Astaga! Si bajingan ini mau macam-macam lagi?! Berani-beraninya dia menghubungi Maya! Walaupun lewat aplikasi pesan singkat sekalipun, tapi tetap saja berani sekali dia mengganggu ketenangan hidup Maya dan keluarganya! Dengan geram ibu muda itu bangkit dari posisinya, keluar dari kamar, berjingkat melewati suami yang masih terlelap dan melirik ke arah kamar Athar yang juga sudah tertidur.

Maya menuju ke bagian belakang rumahnya yang kebetulan sekali adalah sebuah kebun terbuka. Ada taman kecil di sana yang masih belum berbentuk dan tumpukan barang-barang lain. Nyala lampu redup lima watt menjadi satu-satunya penerang yang ada. Maya menutup pintu dan mengintip ke dalam melalui jendela yang ada di samping pintu, dari sini terlihat suaminya yang masih terlelap.

Smartphone Maya bergetar. Orang sialan itu benar-benar hendak menghubunginya!? Maya menggemeretakkan gigi dengan geram. Dia harus berani menghadapi permasalahan ini tanpa melibatkan Mas Ervan.

Maya menekan tombol terima dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

“Ya.”

Heheh. Syukurlah, akhirnya telponku diterima juga. Apa kabar, Maya cintaku?

Suara itu sama sekali tidak ingin didengar oleh Maya, suara milik orang yang ingin ia lupakan selamanya. Suara yang ingin ia kubur dalam-dalam tanpa pernah ia gali kembali. Suara paling menjijikkan seumur hidupnya.

“Bapak mau apa? Jangan mengganggu saya malam-malam begini! Bapak pikir Bapak bisa bertingkah seenaknya!? Saya sedang bersama keluarga! Bukankah Bapak sudah berjanji untuk tidak mengganggu saya lagi!? Bukankah saya sudah jelaskan tentang hal ini pada hari saya menyerahkan surat pengunduran diri? Jadi mau Bapak apa?”

Ayolah May, kenapa kamu sebenci itu kepadaku!? Kita pernah bekerja bersama di satu sekolah dan saling bercanda tanpa beban sebelumnya, kita pernah jadi sahabat. Kenapa kamu jadi seperti ini, sayang?”

Maya tak menjawab, ia geram sekali. Berani-beraninya pria menjijikkan itu memanggilnya dengan sebutan sayang!

“Maya… kenapa kamu memutuskan pindah? Ke desa pula! Apa kamu tidak kasihan sama aku yang merindukanmu? Seharusnya kamu tetap tinggal di sini saja, bersamaku. Aku akan merawat dan membesarkan anakmu dan anak-anak kita nanti. Bukankah kamu tahu aku sangat mencintaimu? Kamu tidak tahu betapa aku merindukan kecantikan wajahmu di sekolah? Setiap hari ruang guru terasa sepi dan tidak menggairahkan karena kini kamu jauh dariku. Aku hanya bisa membayangkan keindahan tubuhmu, buah dadamu, pantat bulatmu, dan cantiknya wajahmu demi untuk bisa mengocok kontolku. Aku rindu sama kamu, May.

“Menjijikkan! Edan! Bapak sudah gila ya!? Jangan-jangan Bapak sedang mabuk!? Saya tidak akan pernah membiarkan anak saya mendekati Bapak, bahkan dari jarak ratusan kilometer sekalipun tidak akan saya ijinkan! Jangan pernah membicarakan anak saya lagi! Jauhkan pikiran kotor dan cabul Bapak dari saya dan keluarga! Menjijikkan!”

Maya… sedih sekali aku mendengarkan kamu terus menerus memaki-maki aku. Apakah sehina itu aku di matamu? Aku rindu sama kamu.

“Hina!? Lebih dari hina! Apa yang Bapak lakukan pada saya adalah pelecehan seksual yang terkutuk. Saya masih punya buktinya. Kalau Bapak terus mengganggu saya, maka akan saya bawa permasalahan ini ke pihak yang berwajib. Kita tuntaskan saja sekalian semuanya! Kita buang semua hasil percakapan damai yang dulu Bapak minta sampai mengemis-ngemis pada saya.”

Oh!? Jadi kamu pikir dulu aku takut ketahuan sampai mengemis-ngemis padamu? Aku ingin menyelamatkanmu, cinta. Aku tidak ingin orang-orang memandang rendah padamu. Kamu bilang itu pelecehan, tapi bukankah hal itu kita lakukan suka sama suka? Lagipula aku tidak menidurimu, sayang. Aku hanya mencolek pantatmu. Itu saja! Itupun hanya bercanda sesama rekan kerja, sesama kolega, sesama pengajar. Kenapa harus dipermasalahkan?

“Mencolek? Bapak meremas pantat saya dan memeluk saya dari belakang tanpa ijin! Saya sudah menjerit, menolak, mencakar, dan bahkan sampai menampar Bapak. Itukah yang Bapak anggap suka sama suka? Itukah yang dianggap bercanda? Sekali lagi, saya tidak akan pernah takut dengan intimidasi dari Bapak. Rekaman yang saya pegang sudah saya share ke orang lain yang saya percaya dan jauh lebih paham hukum. Begitu Bapak berbuat macam-macam, dia yang akan menyebarkannya ke publik. Saya harap Bapak paham dengan situasi ini, Bapak tentu tahu kasus Bapak bisa saja saya viralkan dan Bapak akan dirajam oleh netizen. Dampaknya bukan hanya ke Bapak, tapi ke keluarga Bapak – ke istri Bapak, ke anak Bapak, bahkan ke orang tua Bapak.”

Hehheh. Maya… Maya… yakin sekali kamu bisa menghancurkan karirku. Kamu lupa kalau keluargaku punya kuasa di sekolah, kamu tak akan pernah bisa menyingkirkan salah satu keluarga pemilik yayasan.” Pria yang sedang menelpon Maya itu pun berdehem, “Kamu memang bisa pergi dari kota ini, tapi kemanapun kamu pergi, kamu tidak akan bisa melarikan diri dariku, sayang. Aku akan tak perlu datang ke sana karena kamulah yang akan kembali padaku. Kamu adalah milikku, tubuhmu itu diciptakan untuk kunikmati. Dada ranum kamu akan kuremas, pentilmu akan kujilat, memekmu akan…

Klik.

Maya memutus sambungan telepon itu. Dia tidak perlu mendengarkan ucapan panjang lebar dari orang yang membuatnya kesal setengah mati. Ia memejamkan mata dan menghela napas panjang, mencoba menahan amarahnya.

Ya.

Entah kenapa di hari pertamanya pindah ke rumah baru, Maya harus kembali ingat pada masa lalu. Masa lalu yang ingin ia lupakan sejak dahulu. Masa lalu yang menjadi aib yang dia tak ingin semua orang tahu, termasuk suami tercinta yang menjadi kunci, yang tak ingin ia buat malu.

Pelecehan yang ia alami membuat Maya seakan-akan hampir diperkosa. Untungnya dia masih bisa selamat.

Maya duduk di kursi taman yang sudah disusun di teras yang ada di depan kebun belakang. Ibu muda cantik itu menatap ke sekeliling, rencananya di sini nanti dia akan membuat semacam tempat makan bernuansa alami, apalagi di tempat yang tertutup pagar tembok tinggi dari tetangga ini, mereka bisa menyaksikan keindahan puncak Gunung Mandiri – salah satu daya tarik utama kenapa Maya bersedia pindah ke cluster Kembang Arum Asri. Menjauhi semua masa lalunya yang pekat oleh kesedihan.

Tapi kenapa… kenapa masa lalunya ini mengikuti?

Geram sekali rasanya. Sedih. Marah. Pusing. Pusing sekali kepalanya.

Maya berulangkali memejamkan mata dan mengucapkan doa saat mencoba meredakan emosinya yang terus meledak-ledak. Dia bukan orang emosional, dia biasanya tenang dan tak pernah mempermasalahkan apapun. Dia juga seorang pemaaf, tapi dia tak akan pernah memaafkan mantan pimpinannya di kantor lama.



Pak Ronggo namanya, Ronggo Sumardi, Ronggo f-ckin Sumardi.

Usianya sudah tua, mungkin tiga kali lipat umur Maya yang masih duapuluhan. Dia bertubuh gempal khas bapak-bapak dengan perut buncit yang selalu bergetar tiap kali tertawa. Rambut pria tua itu sudah putih dengan kumis dan jenggot yang juga telah memutih. Wajahnya khas pria berbadan gemuk dengan bentuk oval dan berlipat-lipat di bawah dagu.

Seorang guru PKN tapi tidak bermoral.

Ketika pertama kali berjumpa, Pak Ronggo berkesan bijak, ramah, baik, dan humoris. Dia sering mengajak keluarganya jalan-jalan bersama jika ada libur sekolah. Sudah beberapa kali Mas Ervan dan juga kedua anak Maya bertemu istri dan anak-anak Pak Ronggo yang sudah besar-besar. Kalau tidak salah, dia juga sudah punya cucu dari salah satu anaknya yang sudah menikah.

Maya bahkan menghadiri resepsi pernikahan anaknya itu.

Maya sama sekali tak mengira. Sama sekali tak menyangka. Pria yang ia anggap ayah sendiri itu, dengan tega memeluk dan meremas tubuhnya dengan paksa. Bukankah itu artinya dia hendak memperkosanya?

Hal itu memang hanya terjadi dua kali, tapi itu sudah lebih dari cukup.

Bajingan.

Maya memejamkan mata dan menepuk dahinya. Sabar. Tenang. Dia sudah melewati masa-masa buruk itu. Sudahlah. Itu sudah peristiwa di masa lalu yang ingin dia lupakan karena selalu membuatnya trauma dan ketakutan. Gara-gara peristiwa itu, Maya bahkan sempat beberapa bulan takut disentuh oleh Ervan meski tak menceritakan apa sebabnya.

Beruntung Maya punya suami yang pengertian. Dia tidak ingin Ervan tahu tubuhnya sudah pernah disentuh oleh laki-laki lain, disentuh yang bukan disentuh. Bagian-bagian tubuhnya sudah pernah digerayangi, diremas, dan dipermainkan oleh tangan Pak Ronggo dan itu tidak hanya sekali saja – untungnya Maya masih bisa selamat berulangkali dari ancaman perkosaan. Tapi tetap saja pengalamannya dengan Pak Ronggo menjadikannya trauma hebat dan penuh amarah.

Namun di depan sang suami, Maya mencoba menahan diri sebisa mungkin. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk Maya, menyimpan semua kekesalan dan kegelisahan di dalam hati tanpa berbagi. Ia menyimpan dan menanggung semua beban itu sendiri.

Maafkan aku, Mas Ervan. Aku sebenarnya tidak sebaik yang kau bayangkan. Keberadaan kita di tempat ini ada sebabnya, ada kenapanya.

Maya tidak menangis meski hatinya teramat lara.

Ada dua alasan kenapa Maya senang pindah ke tempat ini. Salah satunya adalah… trauma.

Trauma yang masih ada dan masih terasa, terutama saat Pak Santo dan Pak Hamzah melihat ke arahnya, melihat tubuhnya, dengan seenak wudel mereka menatap parasnya tanpa berkedip. Kalau boleh jujur, sebenarnya Maya merinding dan ketakutan menghadapi buasnya nafsu laki-laki seperti itu, tapi dia masih coba berpikir positif dan menghadapi traumanya secara face to face. Maya berharap kedua laki-laki tua itu masih punya sopan santun dan ternyata memang terbukti mereka masih di batas koridor kesopanan. Maya masih bisa tenang.

Apalagi Ini bukan yang pertama kalinya ada laki-laki salah tingkah di dekatnya.

Alasan yang kedua… adalah dendam.

Maya menggemeretakkan gigi. Dia harus bertahan. Dia harus memanfaatkan situasi perumahan ini untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Ibu muda itu masuk kembali lagi ke rumah untuk menenangkan diri. Anak dan suaminya masih tidur.

Maya pun tersenyum.

Dkgh. Dkgh.

Maya terdiam. Ia tertegun sejenak. Apakah ada yang mengetuk pintu?

Dkgh. Dkgh.

Lho iya. Ada yang mengetuk pintu. Siapa ya? Maya melirik ke arah suaminya yang masih terlelap dan menghela napas sembari tersenyum, lebih baik tidak mengganggu sang suami yang seharian ini sudah sangat lelah.

Dkgh. Dkgh.

Dengan perlahan-lahan Maya mengambil kerudung mudah pakai dan melangkah menuju ruang depan sembari mengenakannya. Begitu sudah berada di depan, ia pun membuka pintu. Siapa sih yang malam-malam begini bertandang?

Ketika pintu terbuka, Maya tertegun.

“Lho? Pak San… San…” Aduh, Maya mencoba mengingat-ingat, siapa ya namanya tadi? Yang mana ya ini? Takut salah, Maya mencoba menebak sekenanya, “Pak Santo? Betul ya?”

“Iya. Betul sekali, Mbak Maya.” Pak Santo nyengir lebar. Di tangannya ia membawa botol berukuran satu liter. Maya mengerutkan kening, ini kan pria tua yang tadi mengamati buah dadanya terus menurut penuturan Mas Ervan.

Si cabul tua itu ke sini mau apa ya?

Tapi Maya tentu mengutarakannya, Ia harus bersikap sopan sebagai tetangga baru, “Oh, iya… apa ada yang bisa dibantu, Pak?”

“Eh, i-ini… saya bawakan jamu yang saya bikin untuk Mas Ervan dan Mbak Maya. Jamu anti lelah paling manjur. Saya lupa tadi belum saya sebutkan, setelah pensiun saya pernah berpindah-pindah kerja, kalau sekarang saya sedang membuka usaha warung jamu, Mbak. Nah ini tadi jamunya baru saja saya bikinkan. Monggo diminum, sebaiknya sekarang mumpung masih hangat. Kalau terlalu lama takutnya efeknya juga berkurang. Saya ajarkan cara mengolah dan meminumnya supaya efektif efek dan khasiatnya.”

Maya masih mengerutkan kening, “Jamu?”

“Iya betul, Mbak. Mari kita minum bersama mumpung masih hangat. Saya meraciknya dengan hati-hati sekali tadi supaya mendapatkan khasiat terbaiknya. Mas Ervan ada kan…?”

Aduh. Bagaimana ini? Sang suami jelas masih tidur dan Maya merasa sayang untuk membangunkan suaminya yang kelelahan, tapi di sisi lain dia juga tidak enak untuk menolak tawaran seorang tetangga yang bisa membuat keluarganya tidak nyaman di tempat baru.

Tentu saja Maya sebenarnya merasa tidak nyaman jika harus minum sendirian bersama dengan Pak Santo. “Ah, terima kasih banyak, Pak. Mungkin bisa kita minum bersama lain kali? Malam ini kebetulan suami saya sudah tidur dan saya ingin menemani anak-anak…”

“Ah, begitu ya.” Pak Santo menundukkan kepala. Suaranya lemah karena kecewa, ia pun membalikkan badan tanda putus asa. Langkahnya gontai meninggalkan Maya tanpa pamit. Mulutnya bergumam tanda bersungut-sungut, “padahal sudah repot-repot diracik dan enak diminum saat hangat…”

Perasaan bersalah jelas membuncah di dada sang ibu muda. Pikiran positif dan negatif silih berganti mengisi benak.

Ini tetangga baru lho! Masa iya akan meninggalkan kesan pertama yang tidak ramah dan menolak tawarannya? Orang itu kan tadi sudah membantu mereka? Masa iya tidak mau menerima tawaran baiknya? Toh dia hanya menawarkan jamu. Dari warnanya sih mirip beras kencur. Pastinya aman.

Tapi tidak apa-apa bukan menolaknya? Meski sudah berkenalan, Pak Santo masih tetap saja orang asing dan mereka belumlah kenal dekat. Maya jelas tidak nyaman jika tidak ada Mas Ervan di sampingnya.

Duh bagaimana nih?

Tapi… apa ada kemungkinan dia tahu tentang apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu di tempat ini? Bisakah Maya mengorek informasi darinya?


“P-Pak Santo!” Maya tahu dia harus berbuat sesuatu. Sesuatu yang drastis jika ingin memutuskan sesuatu, “Mu-mungkin bisa kita minum bersama di teras depan? Malam ini dingin, sepertinya enak minum jamu yang hangat. Bagaimana kalau kita berdua saja yang minum segelas masing-masing?”

Maya menunjuk ke arah teras rumah. Di sana sudah ada meja dan kursi yang tersedia. Wajah Pak Santo berubah menjadi sumringah, pria tua berwajah aneh itu mengangguk, dan bersemangat kembali.

Ya, kalau hanya segelas sepertinya tidak masalah. Tidak terlalu lama. Apalagi mereka akan minum di teras yang terlihat oleh siapapun karena berada di luar rumah. Maya mencoba mencari jalan tengah yang aman.

“Sebentar saya ambilkan gelasnya,” ujar Maya.

Pak Santo mengangguk.

Tak lama kemudian Maya membawa nampan berisi dua gelas kosong, dua gelas minum air kemasan, dan sepiring pisang goreng yang masih tersisa dari jatah para pengangkut barang.

“Maaf kalau pisangnya sudah dingin ya, Pak. Tapi dicicipin saja. Ini tidak habis tadi.”

“Oh ya ya… terima kasih banyak, Mbak Maya. Malah saya yang jadi ngrepotin,” Pak Santo nyengir lebar.

“Ah, nggak kok, Pak. Ini biasa saja.”

Kesempatan yang didapatkan Pak Santo malam ini sungguh sangat mahal harganya. Kapan lagi bisa berduaan dengan seorang bidadari semolek Maya tanpa suami dan anak-anaknya? Tidak ada orang lain di antara mereka. Dengan bebasnya ia bisa memandang wajah dan tubuh indah itu seenak udelnya. Harapan sang pria tua itu sudah jelas, malam yang indah ini mudah-mudahan menjadi malam yang panjang yang tak akan berakhir.

“Jamu ini memang diramu khusus untuk menyembuhkan badan pegal-pegal, Mbak. Kalau sudah minum, biasanya malamnya akan tertidur nyenyak sampai pagi dan semua pegal sudah hilang lenyap. Selain untuk menyegarkan badan dan menyembuhkan pegal, jamu ini juga berfungsi sebagai detox dan anti capek.”

“Oh begitu…” Maya mengangguk-angguk, “Ini terbuat dari apa, Pak? Rasanya pahit ya?”

Pak Santo menggelengkan kepala, “Tidak pahit kok, meskipun terbuat dari berbagai macam dedaunan obat, sudah saya berikan campuran yang sepadan sesuai takaran sehingga rasanya tidak pahit tapi juga tidak terlampau manis, apalagi untuk gulanya saya memakai gula jawa dan madu.”

Maya tersenyum.

Jamu di depannya ini sepertinya tidak berbahaya, kalau mau meminumnya maka lebih cepat lebih baik. Dia tidak ingin berlama-lama dengan pria yang senyumnya sus seperti Pak Santo. Ibu muda jelita berwajah indah itu menuang minuman ke dalam gelasnya sendiri dan gelas Pak Santo. Pak Santo tersenyum dan menggunakan gulungan kulit kayu manis atau cinnamon untuk mengaduk kedua gelas yang disediakan.

“Kayu manis?”

“Nah betul. Ini juga termasuk rahasianya, Mbak Maya. Tanpa ini, khasiatnya akan berkurang. Ini kayu manis bukan sembarang kayu manis, tapi benar-benar kayu manis spesial yang saya temukan sendiri di hutan Gunung Mandiri. Sangat langka, Mbak.”

Maya mengangguk-angguk, percaya tidak percaya sih. Wanita jelita itu pun mencucup jamu yang ternyata memang masih hangat. Maya mengerutkan kening, eh!? Beneran nih!? Rasanya ternyata di luar dugaan dan melebihi ekspektasi. Ini enak sekali! Ini sih bukan jamu. Mata Maya terbelalak saking terheran-herannya.

Bulat mata indah Maya membuat Pak Santo kian berdebar-debar saat memandangnya. Kok bisa ya ada manusia dengan mata seindah ini? Setiap jengkal tubuhnya sempurna di mata Pak Santo.

“Wih, ini beneran jamu, Pak Santo? Kok enak ya? Segar sekali rasanya.”

Senyum Pak Santo melebar. Wah ada harapan untuk bisa menyenangkan Maya nih! Dia ingin…

“Permisi…”

Pak Santo ingin membanting gelas! Siapa yang mengganggunya bercengkerama dengan Maya malam ini? Apa orang itu tidak tahu kesempatan seperti ini akan sangat susah dia dapatkan kembali!?

“Ya?” Maya berdiri dan mengerutkan kening.

Ada seorang pria di hadapannya. Pria itu bertubuh kurus, berambut panjang sebahu, dengan jaket ojek online warna hijau dan hitam, menggunakan topi trucker bertuliskan Giants. Dia tersenyum lebar saat mendapati Maya berdiri di hadapannya. Maya mengenalinya sebagai salah satu orang yang membantu dia pindahan hari ini. Orang yang dibawa oleh ekspedisi pengiriman.

Ibu muda itu mengerutkan kening.

“Ya, Mas? Ada yang bisa saya bantu? Tadi yang membantu pindahan saya, kan?”

“Iya betul. Ini benar namanya Ibu Maya kan? Tadi ada yang lupa ingin saya sampaikan.”

“Betul. Nama saya Maya.” Maya makin merasa aneh. “Kenapa ya, Mas?”

Pria itu kembali ke arah motornya dan saat kembali ke depan Maya ternyata ia membawa karangan bunga yang cukup besar. Maya jelas terkejut saat menerimanya. Karangan bunga? Dari siapa? Malam-malam begini kok bisa-bisanya ada orang yang mengantarkan karangan bunga? Bunga-bunga itu sangat indah, sayang menjelang layu karena diberikan menjelang malam.

“Ini dari Pak Ronggo, Bu Maya.” Orang itu tersenyum culas. “Saya anak buah Pak Ronggo. Beliau sedang melacak keberadaan Ibu dan saat ini saya sudah melaporkan posisi rumah Ibu ke beliau.”

Wajah Maya langsung berubah ketika mendengar orang itu menyebutkan nama mantan rekan kerjanya itu. Orang itu lagi! Kenapa dia tidak henti-hentinya mengganggu kehidupan Maya dan keluarganya!? Apa tidak cukup apa yang selama ini telah dia lakukan dengan mengacaukan mental dan harga dirinya? Apa tidak cukup dia merongrong Maya dengan ucapan dan pandangan cabulnya?

Jawaban sudah jelas dan tegas.

“Saya tidak mau terima, Mas. Saya tidak akan menerima apapun dari dia. Kembalikan saja pada orang itu. Terima kasih.” Maya menyerahkan kembali karangan bunga itu pada sang pengantar bunga.

Sang pengantar bunga terkekeh, “Beliau juga bilang njenengan akan menolaknya, Bu Maya. Semua persis seperti yang beliau bilang. Mohon diterima, Bu. Saya tidak boleh kembali membawa karangan ini lagi.”

“Tidak. Saya tidak mau menerimanya. Kalau dia sudah tahu saya akan menolak kenapa tetap dilakukan? Sudah ya, Mas. Saya masih sibuk, saya ada tamu. Kembalikan saja padanya. Bilang kalau tidak usah mengganggu saya lagi. Kalau dia tidak mau menerima, buang saja karangan itu ke bak sampah di jalan.”

Maya mundur ke teras untuk duduk di samping Pak Santo, wajahnya kesal.

Pak Ronggo sialan itu! Bisa-bisanya dia mengatur kurir untuk menyelidiki keberadaannya. Orang yang bersembunyi di balik kedok guru yang ramah dan baik sepertinya memang berbahaya.

Bisa-bisanya dia membuat kejutan dengan mengirimkan bunga padanya di hari Maya dan keluarganya pindahan ke tempat baru. Mau sampai kapan dia menjadi stalker? Maya tidak bisa melakukan ini. Dia tidak mau dirongrong terus menerus dan menjadi korban.

Kurir itu mendekat kembali, “Tapi Pak Ronggo bersikeras kalau ibu harus…”

“Maksud kamu apa? Kalau Bu Maya tidak mau ya jangan dipaksa,” Pak Santo berdiri dan mendekat ke arah sang kurir, “Bilang ke Pak Ronggo sialan itu kalau Bu Maya TIDAK MAU MENERIMA APAPUN darinya. Paham!? Saat ini Bu Maya sudah menjadi bagian dari kampung ini, beliau adalah bagian dari keluarga kami. Jangan diganggu lagi!”

Pak Santo berdiri untuk menghalangi sang kurir mendekat ke arah Maya.

Maya bengong melihat keberanian Pak Santo.

Sang kurir tersenyum, “Baiklah. Baiklah.” Ia berbalik, membawa karangan bunga itu kembali, dan mengedipkan mata pada Maya, “Bersiaplah, Mbak Cantik. Pak Ronggo tidak akan semudah itu anda tolak. Saya sudah sangat sering mengantarkan barang dari beliau pada wanita-wanita yang ia sukai. Tingkat kegagalan Pak Ronggo dalam meniduri wanita yang ia sukai? Nol persen. Jadi jangan harap Mbak Cantik adalah kasus spesial. Semua hanya tinggal tunggu waktu saja. Mbak Cantik pasti akan ditiduri oleh Pak Ronggo. Mbak Cantik hanyalah satu dari sekian…”

“Kurang ajar!” Maya hampir berteriak. “Pergi atau saya panggil warga untuk mengusir Mas!”

Saat itulah Pak Santo merasa ia harus ikut campur. Dia berdiri di antara sang kurir dan Maya, melindungi ibu muda itu dari si kurir bangsat.

“Lebih baik sampeyan pergi, Mas. Keluar dari halaman ini, keluar dari jalan ini, dan keluar dari cluster perumahan ini. Sampeyan tidak dikehendaki di sini,” Pak Santo menghardik kurir itu dengan galak, “Silakan, mumpung saya masih bisa sopan. Rumah Pak RT tidak jauh dari sini, saya bisa laporkan sampeyan kapan saja.”

Kurir itu tertawa kecil, ia menarik mengancingkan jaketnya dengan erat, “Ada aki-aki sok jago rupanya, hahahaha. Yo wes lah. Tugas saya hanya untuk mengantarkan barang dan menyampaikan pesan. Saya sedang tidak diberikan tugas untuk menghajar siapapun, walaupun saya juga bersedia – tapi sudah rugi tenaga dan tidak bakal dapat apa-apa. Heheh. Ya sudah. Sampai jumpa lagi, Mbak Cantik. Mungkin kelak kita akan bertemu kembali.”

ia kemudian menganggukkan kepala dan berlalu mengendarai motornya meninggalkan cluster Kembang Arum Asri. Motornya meraung-raung dengan berisik membuat beberapa penghuni keluar dari rumah untuk menghardik saking jengkelnya.

Pak Santo berdiri berkacak pinggang dengan kesal.

“Brengsek! Untunglah dia sudah pergi. Kurir kok berani mengancam sampai sebegitunya, benar-benar tidak tahu adab. Baru kali ini saya lihat ada yang sejahat itu sifatnya, bikin geleng-geleng kepala. Mbak Maya tenang saja, di sini Mbak Maya aman. Kita di sini semua keluarga.”

Maya terdiam.

“Tapi, sebenarnya ada masalah apa sih, Mbak Maya kok sampai diancam oleh…” saat Pak Santo membalikkan badan, ia melihat Maya tengah memandangnya dari jarak sekitar satu meter dengan mata berkaca-kaca, “Eh? Mbak Maya? Mbak tidak apa-apa?”

Saat itu Pak Santo melihat satu senyum paling cantik yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya. Senyum milik seorang bidadari yang menjejakkan kaki di bumi. Senyum yang tidak akan pernah ia lupakan di sisa hidupnya.

Tiba-tiba saja Maya memeluk Pak Santo. Dada indah yang tadi hanya bisa dilihat, kini menempel ke dada sang pria tua. Tidak hanya menempel, tapi juga didesak. Pria tua itu terbelalak kaget sekaligus kegirangan. Ia bisa mencium wangi harum tubuh Maya. Wangi seorang primadona.

“Terima kasih, Pak Santo,” bisik Maya lembut.

Wajah Pak Santo memerah. Ia yang jarang tersenyum menjadi sumringah. Hilang semua lelah. Jiwanya terbang hingga ke negeri antah berantah.

Dunia ternyata indah.

Dia jatuh cinta.



BAGIAN 6A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6B
 
BAGIAN 6B
AKU RELA





.:: SUATU KETIKA
.:: DI SEBUAH RUKO DI KAKI GUNUNG MANDIRI




"Pa-pak Tarun?!"

Aida jelas kaget karena ia terbangun dalam kondisi telanjang dalam pelukan pria tua yang selama ini justru ia percaya.

Jiampuuut! Pak Tarun kaget setengah mati saat melihat Aida sudah terbangun dari pingsannya! Padahal ia belum puas mendesak kemaluannya untuk masuk ke memek dan meremas payudara sang gadis muda! Satpam tua itu sudah kepalang tanggung! Kapan lagi ia akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini!? Ia tak peduli! Terlanjur basah sudah! Tangan pak Tarun yang tadinya meremas buah dada Aida, kini membekap mulut Aida.

"Maaf. Tapi hari ini akan kurenggut perawanmu, Sayang."

Aida meronta tanpa daya. Kepalanya menggeleng hebat. Tubuhnya terlalu lemas dibawah pengaruh obat tidur yang tadi dimasukkan ke air minumnya. Airmatanya mengalir deras, kenapa lagi-lagi ia mengalami hal ini di hari yang sama?

Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya.

Aida berteriak tanpa suara.

"Huehuehue."

Pak Tarun tertawa puas. Sambil memeluknya dari belakang, pinggulnya terus ia dorong agar ujung gundul kemaluannya yang sudah berkeriput itu bisa masuk menembus liang terdalam milik sang dara.

Tapi apa daya, liang Aida terlalu sempit bagi penis raksasa milik sang satpam tua. Mau bagaimana pun satpam tua itu berusaha untuk memasukkan pusaka saktinya. Ujung gundulnya sekalipun belum mampu untuk membuka tempik rapat milik Aida.

Tangan yang membekap Aida pun terlepas.

"Mmmhh paakk. Jangaannn!! Ampunnii akuu!! Tolongg hentikaann!!" Suara keputusasaan terus dilontarkan oleh sang dara agar satpam tua itu berhenti memperkosanya.

"Halah diam kamu. Memekmu aja udah basah gini. Sabar, bentar lagi akan kujebol selaput keperawananmu itu." Ancam pak Tarun yang sudah menggebu-gebu. Tangannya sudah tak lagi membekap mulut Aida, tangannya itu kembali menyerang payudara Aida yang sedari tadi menggodanya dengan teksturnya yang lembut dan kenyal bagai jelly.

"Aaahhhhh. Aaaahhhhh paakkk. Toloonggg. Aaaahhhhh" Aida yang tak kuat lagi mendesah. Remasan tangan yang begitu kuat di payudaranya serta dorongan dari penis pak Tarun yang urung juga menjebol pintu masuk vaginanya pelan-pelan mulai merangsang birahinya.

Selayaknya gadis normal, rangsangan itu benar-benar membangkitkan nafsu birahinya. Namun nalurinya sebagai wanita yang tak ingin dilecehkan, terlebih oleh pria tua yang sebelumnya sudah ia percaya membuatnya terus berontak.

Tubuh polos Aida digoyangkan ke kanan kiri. Tangannya yang terkunci oleh pelukan pria tua yang berbaring dibelakangnya itu juga berusaha ia gerakkan. Aida tak ingin menyerah. Ia ogah menyerahkan tubuh seksinya kepada pria tua yang sedang cengengesan di belakangnya.

"Huehuehue, kenapa gak masuk-masuk sih kontolnyaaaa? Susah emang kalau main sama perawan. Tapi tidak apa-apa, cepat atau lambat yang penting aku bisa menikmati tubuh indahmu!!" Ujar pak Tarun yang kian bernafsu.

Bibir tebalnya lagi-lagi mencaplok punggung mulus Aida. Aida merinding. Apalagi saat jilatan lidah pria tua itu bergerak naik turun membasahi kemulusannya. Tangan pak Tarun tidak berhenti bergerak. Dengan penuh nafsu tangan kirinya meremas payudara kiri Aida dari belakang. Remasannya itu bergerak naik merangsang salah satu gunung kembar indah itu dari bawah. Tangan keriputnya pun ia dorong hingga dada kenyal milik Aida terhimpit oleh tangan satpam tua itu. Lalu jemarinya menjentik berulang puting indah Aida. Aida sampai merem melek dibuatnya. Mulutnya selalu terbuka, mengeluarkan desahan-desahan yang merangsang jiwa.

"Aaaahhh paakkk. Jangaaannnn. Aaaahhhhh. Aaaahhhh bapaakk. Aaaahhhh"

"Huehuehue. Mulai menikmati ya sayang? Gimana? Enakkan remasan saya?"

Aida tak akan mau mengakuinya. Ia tak akan pernah bersedia menjawab pertanyaan cabul yang hanya bertujuan untuk merendahkan harga dirinya itu. Namun meski ia tak menjawabnya. Pak Tarun dapat melihat dengan jelas kalau Aida benar-benar menikmati pelecehannya.

"Siaalaaaaaaanl!! Wedhuuuuuus!! Susah banget sih masukinnya!!!" Meski ia menikmati sentuhan dan elusan yang ia tujukan pada gadis semanis Aida. Tapi, ketika penisnya tak masuk-masuk. Lama kelamaan jadi kesal juga.

Akhirnya ia bangkit lalu menidurkan tubuh Aida dalam posisi terlentang. Pak Tarun menyeringai dengan penuh nafsu. Kedua tangannya membuka paha Aida. Aida pasrah saat mata mesum pria tua itu menatap tajam ke arah kemaluannya.

"Jangan dilihaaaaaat!"

Pipi Aida memerah. Belum pernah ia merasa semalu ini saat kemaluannya ditonton langsung oleh pria tua yang sebelumnya ia percayai itu. Rizal saja belum pernah ia izinkan untuk melihat kemaluannya. Bagaimana bisa pak Tarun menjadi orang pertama yang bahkan tidak hanya melihat serabi lempitnya. Tapi juga keseluruhan tubuhnya yang sudah bertelanjang bulat.

"Siap-siap!!! Akan saya jebol memekmu sebentar lagi. Huehuehue." Tawa pak Tarun bergema di ruangan. Ia nampak jumawa saat memegang penisnya. Satpam tua itu bersiap-siap menjebol rahim Aida.

"Mmpphhh"

Menyadari ada benda tumpul yang terus-menerus menyundul pintu rahimnya. Aida mulai panik. Apalagi saat jemari kotor pak Tarun membantu penisnya dengan membuka pintu rahimnya, melebarkan liang cinta sang dara lebar-lebar.

"Aaahhhh. Aaahhhh. Enaakkknyaaa. Aaahhhh. Sebentar lagi. Hennkgghh!!!"

Pak Tarun terus mendorongnya hingga ujung gundulnya mulai masuk menembus liang cinta Aida yang hangat.

"Paakkk jangaann. Tolonggg jangaann. Aampunni akuu paakk. Aammpunnn!!" Pinta Aida ketakutan. Air matanya mengucur. Ia takut andai dirinya akan kehilangan keperawanannya di malam hari ini.

"Hah? Jangan? Huehuehue. Enaak ajaa!! Orang lagi enak gini kok. Heenkkghh!!!" Pak Tarun kembali mendorongnya. Seperempat penisnya kini sudah masuk menyumpal vagina sempit Aida.

"Aaahhh janngaaannn. Paakkk. Hentikaaannn. Hentikaaannn!!" Jerit Aida sambil mendorong tubuh pak Tarun yang kian menjorok ke arahnya.

"Huehuehue. Mantaappnyaaa. Enaknyaaa jepitan memekmu sayaanggg. Heenkkgghh!!!"

Pak Tarun lagi-lagi mendorongnya. Namun ia kesulitan. Rasanya seperti mentok padahal masih banyak ruang yang ada di dalam rahimnya. Akhirnya ia terpikirkan ide. Ia menarik pinggulnya lalu mendorongnya. Ia menariknya lagi lalu mendorongnya lagi. Penis itu tertarik mundur menggesek dinding rahim Aida. Lalu ia hempaskan sekuat-kuatnya hingga ujung gundulnya masuk menusuk liang kenikmatan Aida dengan penuh kekuatan.

"Aaaahhhh sakiitt paakkk. Aaahhhh sakittt. Aaaahhhhh. Saaaaaaaakit!!" Aida menjerit dan meronta dengan hebat. Perlahan demi perlahan sodokan kontol pak Tarun mulai membuka jalan menuju gerbang perawan Aida.

Pikiran Aida buntu. Ia sangat tidak rela kalau harus merelakan keperawanannya. Lalu ia harus bagaimana agar dirinya bisa lolos dari lubang jarum ini?

Di tengah kepanikannya. Aida membuka mata lebar-lebar untuk melihat sekitar, wajahnya ia tolehkan ke kiri lalu ke kanan. Selagi tangannya berusaha untuk terus menahan tubuh pak Tarun agar tidak semakin dekat, seketika Aida terpikirkan ide saat melihat sebuah foto yang terpasang di dinding dekat kasir milik tantenya itu.

Tante Nisa?

"Huehuehue, sebentar lagi akan kau rasakan keperkasaan satpam handal sepertiku, wahai Aida sayang. Kontolku akan masuk menembus rahim sempitmu dan akan menjadi kontol pertama yang pernah masuk ke memek kamu." Pak Tarun menarik pinggulnya hingga penisnya ikut tertarik mundur menyisakan tepi ujung gundul miliknya. Terlihat penis itu hampir terlepas dari lubang rahim Aida. “Kata orang, yang pertama selalu berkesan sampai akhir masa. Hueheuheu.”

"Heennkkghhhh!!!" Seketika satpam bejat itu langsung menghentakkan pinggulnya tuk menjebol selaput dara milik Aida.

"Jangaann paakkk!! Aku janji akan membuat tante Nisa bersetubuh dengan Bapaakk. Mmppphhh!! Lepaskan akuuu dan akan kubuat Tante Nisa menjadi milik Bapaaaak!!" jerit Aida saat setengah dari penis itu sudah masuk menembus lubang rahimnya.

Beruntung, pak Tarun tak jadi melesatkan keseluruhan penisnya saat mendengar ucapan tak terduga dari dara cantik itu.

"Kamu bilang apa tadi?" Pak Tarun bengong sejenak.

Sambil berkaca-kaca bibir Aida bergetar saat hendak mengulangi ucapannya tadi.

"A-aku janji… akan membuat tante Nisa bersetubuh dengan bapak. Tapi tolong, jangan ambil keperawananku, Pak." Lirih Aida setengah terpaksa. Namun harus bagaimana lagi? Aida jelas tidak ingin keperawanannya diambil oleh bajingan tua ini sehingga terpikirkan ide gila saat teringat kalau pak Tarun sebenarnya sangat tergila-gila pada tante cantiknya.

"Huehuehue. Caranya?" Tanya pak Tarun tertarik. Namun dirinya enggan untuk menarik keluar penisnya dari lubang kenikmatan Aida.

"A-aku akan membujuknya dan aku…. Aaaahhhhhh!!" Aida terkejut saat pak Tarun tiba-tiba mendorong pinggulnya hingga penisnya hampir mengoyak selaput dara Aida.

"Kamu pikir saya bodoh ya? Mana mungkin tantemu yang alim itu mau terbujuk oleh omonganmu? Lebih baik kuperawani saja kamu sekarang." Ujar pak Tarun yang sudah bulat tekad ingin dapat gadis kinyis-kinyis hari ini.

Mata Aida terbelalak saat merasakan dinding rahimnya tergesek oleh penis pak Tarun yang sedang ditariknya mundur. Campuran antara rasa gatal dan rasa nikmat yang dihasilkan nyaris membuatnya terlena. Namun ia segera sadar bahwa selaput daranya sedang dalam bahaya ketika pak Tarun mulai melesatkan penisnya kembali ke dalam rahimnya.

"Rasakaannn. Hennkgghhhh!!!"

"Paaakk jangaaaaaann!! Aakuu akaannn menjebaknyaaa!!!" Teriak Aida sebelum penis itu semakin dalam menusuk liang senggamanya.

"Menjebaknya?" Tanya pak Tarun sambil menyeringai lebar.

"Yaaaaa. Aku akan menjebaknya!! Aku akan menjebak tante Nisa!! Jadi tolong jangan perawani aku pak. Aku janji aku akan menjebaknya agar bapak bisa bersetubuh dengan Tante Nisaaaa! Aku tahu Bapak suka sama Tante Nisaaa." Kata Aida pasrah hingga matanya berkaca-kaca. Bahkan air matanya mulai menetes. Ia betul-betul berharap tawarannya itu bisa mencegah pak Tarun yang hendak memperkosanya. “Tante Nisa sangat cantik dan manis… Bapak suka Tante Nisa kan? Aku akan membantu Bapak meniduri Tante Nisaa…”

Pak Tarun tersenyum lebar. Ia lalu menatap tubuh indah Aida sengan seksama. Mulanya ia menatap wajah ayu itu. Meski sedang berkaca-kaca, wajah Aida masih tetap cantik yang membuat pak Tarun menyeringai mesum.

Betapa beruntungnya ia karena bisa menelanjangi Aida dan mampu memasukkan setengah penisnya ke dalam lubang kenikmatan Aida.

Lalu tatapannya turun menuju dada bulat Aida. Sungguh, di usia yang sangat muda. Payudara Aida sudah begitu menggoda. Kulitnya yang putih, ditambah dengan mulusnya tekstur yang dimiliki. Juga bentuknya yang bulat, kencang serta putingnya yang berwarna pink.

Pak Tarun menenggak ludah karena ia jadi semakin bimbang tuk memutuskan.

Tatapannya kembali turun menuju selangkangan Aida yang sudah terbuka lebar. Kaki Aida yang begitu jenjang sedang mengangkang. Bulu jembutnya yang tipis sudah tercukur rapih. Lalu dibawahnya tersumpal penis raksasa miliknya yang sedang berusaha merobek selaput dara milik gadis ayu ini.

Haruskah ia tetap meneruskan niatnya dengan memerawani keponakan Nisa yang sangat cantik lagi jelita?

Ataukah…

Tak sadar, pandangannya teralihkan pada sebuah foto yang tadi dilihat oleh Aida. Sebuah foto yang sudah dihiasi oleh bingkai yang terpasang didekat tempat kasir. Sebuah foto yang menunjukkan suatu keluarga bahagia. Terlihat Nisa tersenyum manis bersama keluarga kecil yang sedang dibangunnya.



KELUARGA NISA

Seketika pak Tarun terdiam. Ia terpana menatap kecantikan Nisa dikala dirinya sedang bertelanjang bulat didepan keponakan Nisa yang rencananya hendak ia perkosa.

Jelas Aida tidak sebanding dengan Nisa. Saya menginginkanmu, Nisa. Saya ingin meniduri dirimu. Ingin rasanya menggenjot memekmu. Akan saya buat seorang anak yang lucu yang nantinya akan keluar dari rahim kehangatanmu.

Batin pak Tarun penuh nafsu.

"Huehuehue." Seketika pak Tarun tertawa keras. Aida yang sedang pasrah pun kebingungan melihat sikapnya. "Tawaran yang menarik, Aida sayang. Tapi, saat ini aku sudah terangsang berat oleh kemolekanmu. Apa saranmu supaya aku bisa melampiaskan nafsuku sekarang?" Tanya pak Tarun tersenyum sambil mengelusi pipi mulus Aida menggunakan tangan kirinya.

Aida terdiam. Ia kebingungan untuk menjawab pertanyaan itu.

Dalam posisi terbaring lemas. Ia agak bergidik saat menatap wajah tua itu tengah tersenyum mesum kepadanya. Rasanya ia ingin menendangnya agar bisa menjauh dari wajah jeleknya. Tapi apa daya, ia tak bisa melakukannya karena takut tiba-tiba pak Tarun marah lalu melampiaskannya dengan memerawani dirinya.

"Aku akan melakukan apa saja, tolong pak. Aku manut. Bapak bebas melakukan apa saja asal bapak tidak menyentuh keperawananku." Jawab Aida yang membuat senyum Pria tua itu semakin lebar.

"Oh begitu? Apa saja? Kalau gitu ayo bangun." Ucap pak Tarun sambil menarik lepas penisnya lalu mengajaknya berdiri di dalam toko roti milik tante gadis manis itu.

Aida pun menurut. Perasaannya sedikit lega karena setidaknya vaginanya aman dari penis keriput yang berwarna sangat hitam itu.

Kedua insan yang sama-sama sedang bertelanjang bulat itu sudah berdiri tegak dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Wajah Aida memerah padam. Dirinya sangat malu hingga kedua tangannya menutup daerah kewanitaannya sebisanya. Ia juga menunduk. Namun itu malah membuatnya melihat penis pak Tarun yang masih berdiri tegak.

"Huehuehue. Manis, liat sini!" Ucap pak Tarun sambil menyentuh dagu Aida lalu mengangkatnya hingga dapat melihat wajah cantiknya.

"I-iya pak?" Lirih Aida malu-malu.

"Cantiknya. Huehuehue. Kamu tahu sayang? Dari dulu, aku selalu bermimpi ada gadis cantik yang mencumbuku dengan penuh nafsu. Jadi hari ini, aku ingin kamu menciumku dengan bibir manismu itu" pinta pak Tarun sambil meraba bibir Aida menggunakan jemari yang tadi ada di dagu mulusnya.

Gleegggg!!!

Tanpa sadar Aida langsung menenggak ludah. Mencumbunya? Seumur-umur ia belum pernah mencumbu seorang laki-laki. Bahkan tiap kali mas Rizal memintanya pun, ia selalu menolaknya. Kini ia harus mencumbu bibir seorang kakek mesum? Bagaimana bisa? Aida seketika merasa jijik. Tapi dirinya tidak memiliki pilihan lain.

"Bagaimana sayang? Kamu menolak? Kalau gitu aku perawani saja dirimu sekarang. Kenapa harus menunggu hal yang tak pasti seperti jebakanmu pada Nisa?" Ancam pak Tarun yang hendak membalikkan tubuh Aida.

"Jangaann. Baik akan aku lakukan." Jawab Aida pasrah.

"Huehuehue. Kalau gitu, lakukan!" Perintah pak Tarun dengan tegas.

Rasanya Aida ingin menangis lagi. Ia tak sanggup kalau harus mencumbu pria tua itu. Tercium aroma tanah yang membuat Aida merasa mual. Belum lagi dengan bau rokok samsu yang keluar dari mulut tuanya. Tapi ini perintah. Perlahan, Aida pun mendekatkan wajahnya sambil pelan-pelan memejamkan matanya.

Pak Tarun tersenyum puas. Ekspresi wajah Aida yang tengah memejam benar-benar menaikkan hasrat birahinya.

Wajah Aida kian mendekat. Kedua tangannya pun ia taruh pada dada keriput pak Tarun yang berwarna sawo matang. Tak sadar bibirnya sudah menyentuh bibir tua pak Tarun. Bibir Aida membuka. Lalu melumat bibir bawah pak Tarun dengan terpaksa.

Cuupppp!!!

Bibir mereka bertemu. Bibir mereka pun saling dorong dengan penuh nafsu. Di kala bibir Aida mengapit bibir bawah pak Tarun. Pak Tarun pun membalas dengan mengapit bibir atas Aida. Bibir pak Tarun basah terkena jilatan lidah Aida yang menggeliat menjilati bibir bawahnya. Tak hanya itu, gadis cantik itu juga menghisap bibir pecah-pecah satpam tua itu sekuat-kuatnya.

Pak Tarun tersenyum di tengah-tengah lumatan bibir Aida. Ia cukup terkejut karena Aida bisa memenuhi ekspetasinya yang haus akan cumbuan seorang wanita. Ia jadi penasaran darimana Aida mempelajari seluruh teknik bercumbunya ini.

"Sllrrp. Sllrrpp mmpphh. Aku baru tau kalau kamu ternyata jago bercumbu. Kamu sudah sering melakukannya ya, sayang? Ssllrrpp." Tanya pak Tarun sambil mengocok-ngocok penisnya yang sudah bergetar gara-gara dicumbu Aida.

"Ssllrrppp mmpphhh. Sllrrpp mmpphhh. Mmpphhh. Tidak pak. Aku baru pertama kali melakukannya." Jawab Aida mengejutkan Satpam mesum itu.

"Ssllrrpp mpphh oh ya? Lalu darimana kamu mempelajari ini semua?" Tanya pak Tarun penasaran.

"Mmpphhh. Ssllrrpp. Dari drakor pak." Jawab Aida yang terus menerus menghisap bibir pak Tarun.

Ia mengganti-ganti targetnya mulai dari bibir bawah lalu ke bibir atas. Ia lalu menghisap bibir bawah lalu berpindah ke bibir atas lagi. Ia terus menerus melakukannya demi memuaskan nafsu bejat sang satpam. Tangannya yang sedari tadi diam di dada pak Tarun kini mulai bergerak dengan mengelusinya lalu memainkan puting hitam pak Tarun.

Ia terus melakukannya semata-mata demi melindungi kehormatan dirinya sebagai gadis perawan.

Cumbuan demi cumbuan yang diterima oleh pak Tarun membuatnya semakin bernafsu. Jilatan demi jilatan yang ia terima di bibir membuat birahinya semakin naik. Kocokan demi kocokan yang ia lakukan sendiri membuat gairahnya memuncak.

Matanya merem melek, tubuhnya merinding, nafasnya terengah-engah ditengah cumbuan yang ia terima.

"Mmpphhh. Mmpphhh. Aku mau keluaar saaaaayaanggg!! Cepaaaat berlutut! Cepaaaat!! Lakukan sekaraaang!"

Aida terkejut saat mendapat perintah itu. Padahal ia hanya mencumbunya, kenapa pak Tarun tiba-tiba ingin mengeluarkan cairan kentalnya? Padahal, ia dari tadi sama sekali tidak menyentuh penis keriput itu.

Aida berlutut. Barulah ia sadar kalau rupanya pak Tarun sedari tadi terus mengocok-ngocok penis tuanya. "Aaahhh Aidaaa. Aaahhhhh. Aaaahhhhh" desah pak Tarun mengocoknya dengan kuat. Penisnya itu digenggam kuat. Penisnya itu ia maju mundurkan dengan kencang. Warnanya sampai memerah. Aida pun bergidik takut melihatnya.

"Aaahhh sayaanggg. Aaahhhh. Aahhhh. Nikmatnyaaa. Nikmat sekaliii memekmu tadi sayaanggg. Aaaahhhhh"

Aida berulang kali merem melek bukan karena keenakan. Tapi karena takut semburan sperma pak Tarun akan mengenai wajahnya. Maklum, posisi penis pak Tarun berada tepat dihadapan wajah Aida. Gadis cantik itu menenggak ludah. Ia pasrah membiarkan satpam bejat itu melakukan apa saja pada dirinya.

"Sayaanggg. Aaahhhh. Aaahhh. Aaaahhhhh" pak Tarun memajukan pinggulnya hingga ujung gundulnya mengenai pipi mulus Aida. Rasanya jadi semakin nikmat. Satpam tua itu sampai merem melek. Ia pun merasa kalau penisnya mulai berkedut pelan.

"Aaaahhhh. Aaahhhh. Aaahhh sayanggg. Sayaaa . . ." Pak Tarun menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Aida sudah bersiap dengan memejamkan mata.



PAK TARUN



AIDA

"Keluuaaarrrr!!!!" Jerit pak Tarun sekencang-kencangnya saat semburan demi semburan sperma itu mengenai wajah Aida.

Crroottt. Crroottt. Crrootttt.

"Mmppphhhh" Aida melenguh dengan manja. Wajahnya agak tersentak saat merasakan adanya lelehan sperma hangat yang mengenai wajahnya.

Tidak hanya satu. Tapi dua, tiga bahkan empat semprotan keluar menodai wajah ayu Aida. Wajah cantik itu kini dipenuhi oleh sperma. Dahinya, pipinya, hidungnya bahkan mata juga bibirnya terkena belepotan sperma pak Tarun.

Bahkan lelehan sperma itu ada yang jatuh mengenai dada sentosa Aida. Rasanya Aida seperti mandi sperma saja. Tercium aroma kuat di sana. Aida menahannya. Berakhir sudah penderitaannya saat satpam tua itu melampiaskan nafsu seksualnya.

"Mmpphhhh"

Aida menjerit dalam posisi bibir menutup rapat. Ia sadar kalau ia membuka bibirnya pasti akan ada sperma yang masuk ke dalam mulutnya. Ia juga menutup mata rapat-rapat. Pak Tarun yang melihatnya dari atas merasa puas. Ia lekas mengarahkan penisnya ke mulut Aida yang membuat gadis itu terpaksa melahapnya.

"Huehuehue. Puasss!!”

Aida tak menjawab. Pak Tarun menatap gadis itu keji.

“Dengar ya sayang!" ujar pak Tarun dengan arogan sembari memandang Aida dengan mata yang melotot, "Kalau kamu sampai gagal menjalankan janjimu tadi… aku tidak hanya akan memerawanimu…! Tapi aku juga akan mengajak bapak tirimu untuk bersama-sama menjadikan kamu budak seks kami!"

Ancam pak Tarun yang membuat Aida nyaris tersedak.

"Mmpphh. Mmpphh uhhuukkk? Apa pak?" Tanya Aida saking terkejutnya.

"Apa mesti saya ulang? Kamu tahu kan kalau si pemabuk itu sangat bernafsu kepadamu? Mungkin nanti gak cuma memek perawanmu yang akan jebol. Tapi juga lubang anusmu yang sangat sempit itu. Huehuehue," tawa pak Tarun sambil meremas payudara Aida dengan kuat.

"Aaaahhhhh sakiitt paakkkk." Jerit Aida kesakitan.

"Saya tunggu besok!" Ucap pak Tarun sambil bangkit lalu berjalan menjauhi Aida.

"Apa? Besok? Pak! Yang benar saja! Tidak mungkin kalau besok! Tolong pak, beri aku waktu!" Aida memelas meminta keringanan.

"Hah? Lalu kamu butuh waktu berapa lama untuk menjebak tantemu yang alim itu? Aku sudah tidak sabar ingin menyetubuhinya!" Tanya pak Tarun sambil mengenakan pakaiannya kembali.

"Beri aku satu minggu. Aku perlu perencanaan yang matang pak." Ucap Aida beralasan.

Pak Tarun terdiam sejenak, lalu ia pun menyeringai menyeramkan.

"Hmm bener juga. Setelah kupikir-pikir kamu ada benarnya. Oke aku tunggu satu minggu! Kalau sampai gagal…!? Lihat saja, akan bernasib seperti apa memek dan lubang anusmu nanti. Huehuehue." Tawa pak Tarun puas.

Satpam tua itu lekas meninggalkan toko Nisa secepatnya. Ia dengan bangga berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Ia merasa puas. Rasanya sangat puas setelah bisa melampiaskan nafsu seksualnya pada wajah ayu Aida. Apalagi saat membayangkan kalau satu minggu lagi dirinya bisa menzinahi Nisa.



"Nisa oh Nisa. Malangnya nasibmu nanti. Semoga saja memek kamu tidak menjadi longgar gara-gara kupakai habis-habisan. Huehue" tawa pak Tarun dengan puas.

Pak Tarun berhenti melangkah. Ia lalu menoleh ke belakang ke arah toko roti tersebut.

"Kutunggu janjimu, Aida sayang!" Lirih pak Tarun berbisik sambil tersenyum.

Sementara itu di dalam toko roti milik Nisa. Aida jatuh terduduk sambil menangisi nasib yang menimpanya. Niat hati kabur dari sergapan bapak tirinya justru malah hampir diperkosa oleh satpam tua yang sudah dipercayainya. Sperma yang tadi memenuhi wajahnya mulai meleleh jatuh menggenangi lantai. Hawa dingin yang berasal dari luar mulai masuk menyengat tubuhnya yang masih dalam keadaan telanjang.

Air mata turun saat Aida menatap foto Nisa dan keluarganya.

"Maafkan aku, tante. Aku sama sekali tidak bermaksud mengorbankan tante. Aku gak akan rela kalau tante sampai diapa-apakah oleh bajingan itu!" Ratap Aida saking kesalnya.

Aida merasa sudah menjadi pendosa hebat. Dalam posisi duduk melipat, kedua tangannya ia tumpu pada lantai ruangan. Wajahnya menunduk hingga air matanya langsung mengalir jatuh mengenai lantai ruangan.

Ia terus menangis. Ia menyesal. Ia kesal. Beribu macam amarah terkumpul menjadi satu memenuhi hatinya. Ia ingin menguapkan semua rasa kesal itu menjadi tangisan dulu. Ia tersedu-sedu. Tantrum seperti anak kecil. Kedua tangannya mengepal lalu menghantam-hantam lantai ruangan.

"Huaaaaaaaaa!! Maafkan aku, Tanteeeee. Maafkaaan akuuuu!!" Aida terus menangisi dirinya. Ia menangis. Terus menangis hingga air matanya mengalir membersihkan wajah ayunya dari noda sperma pria tua itu.

Drrttt. Drrttt. Drrttt.

Seketika tangisannya terjeda saat mendengar nada getar dari hapenya. Tak cuma itu, ia kemudian juga mendengar nada dering yang bunyinya familiar dengan nada deringnya ketika mendapatkan panggilan dari seseorang.

"Hapeku? Mana hapeku? Mana tasku?" Aida teringat kalau tadi ia menaruh hapenya di dalam tasnya.

Dalam kondisi telanjang. Ia pun bangkit untuk mencari hapenya. Ia bergerak mondar-mandir. Ia berjalan ke kanan juga ke kiri. Ia kemudian menemukan tasnya. Ia lekas membuka resleting tasnya dan segera mengeluarkan hapenya.

Tante Nisa.

Begitulah nama kontak yang tertera di atas layar hapenya. Seketika air mata kembali mengucur. Bukan karena ia melihat nama kontak tantenya di layar hapenya. Tapi ketika ia melihat fofo ayahnya yang sudah tiada muncul di layar hapenya.

"Ayaahhh."

Aida semakin sedih. Pasti ayahnya akan menangis andaikan mengetahui nasibnya terkini. Anak sematawayangnya yang dulu sangat ia sayang. Kini hampir menjadi korban pemerkosaan dari satpam tua yang sudah dipercaya. Tak hanya itu, bahkan bapak tirinya juga memiliki niat yang sama.

Kenapa ia harus mengalami nasib buruk seperti ini? Kenapa? Kenapa?

"Huaaaaaaaa!!!" Aida menjerit sekeras-kerasnya. Luapan emosi dari sang bidadari memuncak. Ia terus menangis. Ia mengisi malam itu dengan tangisan yang memenuhi ruangan.





.:: KEESOKAN HARINYA



Siang hari sekitar pukul satu tepat.

"Aida, kamu kenapa?" Suara lembut itu mengagetkan Aida. Tubuhnya sampai loncat lalu wajahnya yang linglung itu buru-buru menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Eh, Tante Nisa, hehehe."

Senyum canggung itu terpaksa Aida keluarkan. Ia tak mau tantenya yang sangat ia sayang itu mengetahui apa yang sedang dirinya pikirkan sekarang.



Melihat keponakan cantiknya tersenyum canggung. Ibu muda yang memiliki paras jelita itu pun mendekat lalu duduk di bangku kosong yang berada di sebelah Aida. Aida lekas menggeser tempat duduknya sejenak. Kedua bidadari cantik itu pun duduk berjejeran di tempat duduk di toko roti mereka yang aslinya disediakan untuk pelanggan.

"Kamu lagi mikirin apa, Da? Tante boleh tau ga?" Tanya Nisa dengan memasang senyum ramahnya.

Aida menoleh sekilas. Ia tersenyum kecil sebelum menundukkan wajah ayunya kembali.

Melihat keponakannya bersikap seperti itu membuat Nisa merasa khawatir. Ia lekas memeluknya lalu mengelus-ngelus lengannya dengan kasih sayang.

"Aida, apa kamu mau istirahat dulu? Kayaknya masalah kamu lagi berat deh. Gapapa kalau Tante ga boleh tau. Tapi seenggaknya, kamu cerita ya ke orang yang paling kamu percaya. Jangan dipendam semua sendiri. Itu ga baik. Nanti kalau kamu pendam semuanya sendiri, terus kamu ga kuat. Yang ada kamu stress dan itu bisa meledak, jatuhnya tidak baik. Tolong ungkapin masalahmu ya nanti." Nisa lekas memberikan nasehat kepada keponakan kesayangannya. Ia tahu kalau Aida bukan gadis yang suka dipaksa kalau ada apa-apa. Ia lebih suka memberikannya perhatian.

Beruntung, langkahnya berhasil. Tiba-tiba Aida menangis.

"Sayaaaaang." Nisa lekas memeluknya dengan erat. Aida pun membalas pelukan Tantenya. Ia menyandarkan tubuhnya ke arah wanita mungil itu. Ia pun melampiaskan semua emosinya dengan menjatuhkan air mata sebanyak-banyaknya.

Tak banyak kata yang terungkap. Tak banyak kata yang terucap. Tak banyak kata yang keluar dari lisan manisnya yang membuat Nisa urung tahu mengenai masalah yang dialami oleh keponakannya itu.

Aida hanya terisak-isak. Nisa pun terus menenangkannya dengan mengelus-ngelus punggung Aida. "Udah gapapa. Kamu kuat kok, Da. Kamu kuat. Udah tuntasin aja dulu. Luapin semua emosimu itu." Ucap Nisa yang membuat tangisan Aida semakin kencang.

Aida menguatkan pelukannya. Rasanya begitu nyaman ketika dapat melampiaskan rasa kesalnya gara-gara kejadian semalam.

Cukup lama Aida menangis hingga perlahan dirinya mulai tenang kembali.

"Tan-tante. A...ku, min...ta maaf," ucap Aida lirih di sela isak tangisnya.

"Hmm? Minta maaf? Kok minta maaf? Kenapa memangnya?" Nisa bertanya-tanya.

"Gapa...pa, a...ku cuma ma...u, minta ma...af ke tante." Seketika nangisnya mulai kejer lagi. Ia menyesal karena sudah menyeret nama sang Tante yang baik dan bagaikan bidadari itu ke dalam masalah pribadinya.

"Udah-udah gapapa. Iya Tante maafin. Udah kamu tenang dulu ya. Jangan dipikirin lagi." Kata Nisa terus menenangkannya. Ia sebenarnya masih belum paham apa masalah Aida, tapi Nisa berusaha untuk terlebih dahulu meredakan kesedihan Aida.

"I-iya tan...te" Aida mencoba tenang. Ia pun mengusap air matanya di tengah pelukan Tante kesayangannya.

Setelah merasa baikan. Ia melepaskan diri dari pelukan tantenya. Aida masih menyeka air matanya menggunakan kedua tangannya. Sedangkan Nisa hanya tersenyum sambil berharap keponakannya itu mau menceritakan apa yang terjadi kepadanya.

"Gimana, udah baikan?" Tanya Nisa sambil tersenyum ramah.

"Iya, Tante. Makasih." Jawab Aida sambil menunduk ke arah depan tanpa berani menatap wajah tantenya.

"Iya. Sama-sama." Jawab Nisa tersenyum.

"Tante...." kata Aida terhenti.

"Iya, ada apa Aida?" Nisa menjawab. Ia senang, mungkinkah keponakannya ini akan bercerita kepadanya?

"Aku boleh cuti ga hari ini? Aku ga bisa fokus kerja dari tadi, Tante," ucap Aida yang membuat Nisa khawatir.

"Oh. Iya boleh. Ya bolehlah sayang. Gapapa kamu istirahat dulu. Kamu tenangin dulu dirimu ya." Ucap Nisa dengan lembut.

"Iya Tante makasih." Jawab Aida yang lekas bangkit sambil menyeka air mata yang tersisa di wajahnya.

Nisa hanya mengangguk. Ia pun meratapi kepergian Aida yang terlihat buru-buru meninggalkan Nisa Cakes.

Setelah Aida menghilang dari pandangannya. Senyum yang ada di wajah Nisa tadi memudar. Terlihat ekspresi wajah khawatir dari sang ibu beranak dua itu. Tak seperti biasanya Aida bersikap seperti ini. Biasanya, kalau ada apa-apa pasti Aida akan bercerita, termasuk masalah percintaan ataupun keuangan. Tapi, kali ini? Aida sama sekali tidak bercerita. Ada apa?

"Semoga kamu baik-baik aja, Aida." Lirih Nisa menatap kosong ke arah pintu keluar toko rotinya.

Di luar, Aida menunduk. Ia terus melangkahkan kakinya maju. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku. Sebuah tas bermerk terkenal menggantung di bahu. Tanpa menghadap ke depan, ia terus berjalan. Pikirannya melayang-layang. Sebuah rasa penyesalan bergabung dengan rasa kekecewaan.

Tanpa sadar air matanya kembali menetes. Ia buru-buru mengambil tisu dari dalam tasnya. Ia menyekanya. Lalu membuangnya ke tempat sampah yang kebetulan baru saja ia lewati di sebelah.

Ia mengangkat tangannya untuk melihat jam yang melingkar di lengannya. Ia lalu menaikkan pandangannya ke arah langit lepas. Sinar mentari begitu terik. Sampai-sampai Aida harus menutupi pandangannya dengan menggunakan telapak tangannya.

"Apakah ini keputusan yang tepat?"

Aida berhenti melangkah setelah berbicara dengan dirinya sendiri. Ia berfikir sejenak. Ia melenguhkan nafasnya. Entah kenapa ia jadi teringat penggalan lagu Linkin Park yang akhir-akhir ini sering ia dengar.

Holding on, why is everything so heavy?

Berat. Memang hidup di dunia ini berat. Bukannya kehidupan di dunia itu hanyalah ujian? Bukannya kehidupan kita yang sebenarnya ada di akhirat? Seketika ia teringat sebuah nasehat yang pernah tante Nisa berikan kepadanya.

Aida, kalau kita diberikan ujian itu, tandanya kita sanggup untuk menghadapinya. Ingat! Kita itu sebenarnya sanggup. Hanya saja terkadang kita ngerasa gak sanggup.

"Jadi aslinya aku sanggup ya, Tante? Ya, aku pasti sanggup menghadapinya! Bukankah di setiap masalah selalu ada jalan keluar? Yang seharusnya aku lakukan sekarang adalah mencari jalan keluar itu. Bukan seharusnya aku menangisi nasib. Aku harus mencari jalan keluar. Ya, aku harus mencari jalan keluar!"

Aida termotivasi.

Ia lekas bergegas. Menuju tepi jalan untuk mencari kendaraan.

Namun, di belokan pertama saat ia berbelok. Ia dikejutkan oleh seseorang yang rupanya sudah menunggunya sedari tadi.

"Sayang, huehuehue."

"Astaghfirullah, Bapaaaak!" Aida terkejut. Ia bahkan langsung jatuh terduduk ke belakang.

Bagaimana tidak? Mimpi buruk yang nyaris menghilangkan keperawanannya tiba-tiba kembali hadir didepannya. Apalagi pria tua itu hadir dengan senyum mesum seolah ingin menelanjanginya.

Aida ketakutan. Ia ingin kabur tapi tubuhnya kaku hingga membuatnya tak bisa bergerak selama beberapa saat.

"Tenang sayang. Tenang. Ayo berdirilah. Saya hanya ingin bertanya beberapa hal." Kata Pak Tarun yang di luar dugaan malah menenangkannya. Tak hanya itu, satpam tua itu juga mengulurkan tangannya untuk membantu dara muda itu agar bisa berdiri dihadapannya.

Aida pun menurutinya. Ia mengulurkan tangannya hingga dara langsing bertubuh cukup tinggi itu kembali berdiri di hadapan sang satpam bejat.

"A-ada apa? Apa ya...ng bapak mau dariku?" Tanya Aida terbata-bata karena takut.

Seketika senyum mesum pak Tarun kembali. Tak hanya itu, mata kotornya dengan seksama mengecek penampilan Aida dari atas ke bawah.

Wajah Aida tampak imut dengan lilitan hijab berwarna pink yang membungkus wajah mungilnya. Meski nampak ekspresi takut kini menghiasi wajah ayunya. Hal itu tak mengurangi keindahan yang membuat pak Tarun tetap bernafsu kepadanya.

Tubuh ramping Aida terbungkus oleh kemeja berwarna pink berukuran cukup longgar yang tidak mengepress bentuk badannya. Meski demikian, tetap saja tonjolan indah di dada Aida membuat mata pak Tarun seolah tak bisa berpaling. Terlihat jemari pak Tarun bergerak seolah ingin meremasnya kembali. Memori semalam benar-benar ingin dikenang oleh kakek cabul itu.

Lalu, saat pak Tarun menurunkan pandangannya lagi, ia mendapati celana jeans ketat berwarna biru membungkus kaki jenjang sang dara. Kaki langsing Aida pun tercetak mengikuti celana slim fit yang ia kenakan. Mata Pak Tarun pun terbelalak. Meski masih mengenakan pakaian lengkap. Outfit Aida yang catchy benar-benar membuat pak Tarun ingin kembali memperkosanya lagi.



AIDA



PAK TARUN

Seketika, tangan satunya bergerak. Lalu dengan sigap mendekap buah dada Aida yang masih terbungkus kemeja longgarnya.

"Tidak apa-apa, sayang, aku hanya ingin bertanya, sudahkah dirimu menjebak Tantemu yang ayu itu? Huehuehue." Ucap pak Tarun sambil meremas payudara Aida dengan kuat. “Aku sudah tidak sabar ingin membuat tubuhnya yang indah melejit-lejit keenakan saat kontolku keluar masuk di memek wanginya… heuhueheu…”

"Aaahhh paaakk sakitt." Jerit Aida.

Rasa keterkejutan bertambah di kala tangannya yang sedari tadi didekap, tiba-tiba saja ditarik! Hal itu membuat tubuh langsingnya terlempar ke arah tubuh tua pak Tarun. Lalu dengan secepat kilat, pak Tarun mendekatkan wajahnya untuk mencumbu bibir manis itu lagi.

Cuupppp.

"Mmpphhhhh" desah keduanya bersamaan.

Pak Tarun menyeringai senang. Bibirnya dengan barbar melumat bibir Aida hingga keseluruhan bibir gadis manis itu masuk ke dalam mulut satpam tua itu. Aida tak bisa berbicara. Mulutnya tertahan. Ia pun mendorong tubuh tua itu menjauh meski usahanya terlihat percuma.

Pak Tarun tertawa senang. Kini, kedua tangannya berpindah tuk mendekap bokong seksinya. Satpam tua itu kegirangan dikala kedua tangannya dengan bebas mampu meremas-remas bokong montok Aida. Ia juga mendorong bokong Aida ke arahnya hingga menekan penisnya yang sedari tadi sudah bangkit berdiri menantang sang gadis seksi.

"Mmpphh bagaimana Aida sayang? Sudahkah kau lakukan apa yang kau janjikan kepadaku? Mmpphh" desah pak Tarun di sela-sela cumbuannya.

"Mmpphh. Mppphhh. Mmmpphhh" desah Aida yang tak bisa berbicara. Kepalanya hanya bisa ia geleng-gelengkan. Kedua tangannya terus berusaha mendorong agar bisa terlepas dari dekapan pria tua itu.

Panas yang menerjang membuat Aida mampu menghirup aroma tubuh pak Tarun yang tidak disertai parfum. Aroma khas bapak-bapak tua membuat Aida merasa jijik. Belum lagi aroma nafasnya yang berbau rokok samsu benar-benar membuat Aida merasa muak.

"Apa? Ada apa? Kok gak dijawab sih? Huehueue" tawa pak Tarun sambil terus mendorong bokong Aida mendekat sehingga pinggulnya bisa ia gesek-gesekkan yang membuat penisnya semakin berdiri tegak.

Keadaan pasar yang cukup sepi, terutama di belokan tadi membuat pak Tarun bisa cukup bebas untuk melanjutkan aksi cabulnya di siang yang cukup terik ini.

Keadaan yang sudah panas menjadi semakin panas di kala mampu menikmati bibir manis Aida yang memiliki rasa stroberi akibat olesan lipgloss. Rasa gerah kian menguasai tubuh mereka. Pak Tarun yang semakin bernafsu semakin tak kenal waktu.

Seketika tangannya ingin menelanjangi Aida.

Tubuh Aida pun didorongnya hingga terhempas ke dinding terdekat. Kedua tangan pak Tarun dengan penuh nafsu membuka satu demi satu kancing kemeja Aida dari atas.

Jelas Aida menolak. Ia pun bertahan dengan mendekap kedua lengan pak Tarun sebisanya.

"Jangaaannn. Jangaann paakk. Toloo . . . . Mmpphh." Mulut Aida kembali didekap dengan tangan kirinya. Sedangkan 3 kancing teratas kemeja Aida yang sudah terbuka membuat tangan kanan Pak Tarun yang nakal menarik keluar salah satu payudara indah itu dari dalam untuk menyusunya.

"Slurrppp. Slurrppp. Segarnyaaa. Paling enak nyusu di siang-siang yang panas gini. Huehuehue." Tawa pak Tarun puas.

"Mmpphhh. Mmpphhh. Hentikaann. Hentikaannn." Jerit Aida ditengah bekapan tangan pak Tarun. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia tak percaya dirinya kembali mengalami pelecehan lagi di jarak waktu yang cukup dekat.

Kedua tangannya berontak dengan menarik lepas tangan pak Tarun di mulutnya dan juga mendorong kepala pak Tarun agar berhenti menyusunya.

Namun pak Tarun tetaplah pak Tarun. Bibirnya dengan rakus menjepit pentil susu Aida yang berwarna pink. Lidahnya dari dalam bergerak menyentil-nyentil puting yang menonjol milik sang dara jelita. Lalu Pak Tarun pun menghisapnya. Ia menghisap sekuat-kuatnya, membuat pemiliknya merinding hebat.

Aksi cabul itu terus dilakukannya hingga tiba-tiba mereka berdua mendengar suara langkah kaki mendekat yang berasal dari belokan yang hendak Aida lewati.

"Siaalaaann!!!" Maki pak Tarun yang buru-buru melepas Aida lalu berpaling seolah tidak terjadi apa-apa.

Sedangkan Aida yang tak ingin aibnya diketahui oleh orang lain buru-buru memasukkan payudaranya. Ia juga buru-buru mengancingkan kancing kemejanya lagi. Setelah itu ia mengeluarkan tisu untuk mengelap air mata yang tadi nyaris tumpah karena pelecehan tadi.

Aida cukup pintar, saat orang yang memiliki suara langkah kaki tadi mendekat. Aida pun buru-buru lewat untuk bisa kabur dari sergapan sang pria tua nan cabul. Pak Tarun yang berpura-pura berbalik tak menyadari kaburnya Aida. Baru saat ia kembali berbalik, ia menyadari kalau Aida sudah tak lagi ada dihadapannya.

"Huehuehue. Sialan emang. Jadi kentang. Awas aja kau nanti sayang. Akan kunikmati lagi tubuh indahmu nanti!! Akan kutagih janjimu tuk menjebak Nisaku nanti. Huehuehue. Mau Aida ataupun Nisa terserah!! Pokoknya harus kujebol salah satu memek milik kalian sesegera mungkin!!" Kata Pak Tarun sambil mengelus-ngelus tonjolan celananya yang masih mengeras.

Pria tua itu sejenak kemudian menurunkan kepala, Pak Tarun mendesah kecewa.

"Sialan!! Kalau kayak gini kan mesti coli." Ujar pak Tarun yang langsung menuju sudut kompleks pasar. Ia lekas mengeluarkan penisnya. Ia lalu membuka hapenya tuk melihat foto telanjang Aida yang berhasil ia abadikan semalam.

"Aahhh Aidaaa. Aaahhh. Aidaaa sayanggg. Aahhhh. Aaaahhh" desah pak Tarun sambil memaju mundurkan tangannya saat mengocok penis raksasanya.





.:: SEMENTARA ITU



Sementara itu Aida mempercepat langkah kakinya. Sambil berjalan ia segera membuka aplikasi ojol berlogo hijau yang mampu mengantarkannya ke suatu tempat. Sesekali ia menoleh ke belakang karena khawatir, pak Tarun akan mengejarnya.

Sesekali ia juga meludah ke tepi jalan untuk menghilangkan aroma busuk dari cumbuan bibir tua itu. Ia kembali mengeluarkan tisunya untuk mengelap tepi bibirnya. Ia lalu menenggak sebotol air yang ia beli diperjalanan sebelum mengoleskan kembali lipgloss-nya ke tepian bibirnya.

Beruntung, keadaan saat ini mulai ramai. Setidaknya perasaan lega mulai menenangkan dirinya. Ia mulai berjalan santai. Ia kembali menoleh ke belakang untuk memastikan kalau pak Tarun benar-benar tidak mengejarnya.

"Syukurlah dia tak mengejarku lagi." Lirih Aida lega.

Ia kemudian mendekap payudara kirinya yang sakit akibat remasan kuat yang pak Tarun berikan padanya tadi.

"Aduhh sakitt. Kurang ajar bajingan itu!" Ujarnya dengan sangat kesal.

Ia pun terus berjalan hingga dirinya mendapat notifikasi dari aplikasi hijau yang ia hubungi tadi.

"Saya sudah di depan pasar ya, Mbak."

"Akhirnya," Aida mempercepat langkahnya. Ia akhirnya tiba dihadapat sopir ojol yang sudah dipesannya.

"Mau ke rumahnya pak Sarmanto ya, Mbak?" Tanya sopir ojek itu saat menyerahkan helmnya ke Aida.

Mata Aida terbelalak. Ia pun hanya mengangguk lalu mengenakan helmnya sebelum naik ke atas motor.

"Hebat juga ya pak Sarmanto bisa membujuk modelan cewek kayak gini." Lirih sopir ojek itu dengan sangat pelan sebelum menarik gasnya untuk mengantar pelanggannya ke tujuan.





.::..::..::..::.





Beberapa menit kemudian…

"Ini mbak, kita sudah sampai." Ucap sopir Ojol itu saat berhenti di depan sebuah tempat yang terlihat sangat luas.

Aida terdiam sejenak sambil bertanya-tanya dalam hati.

Tempat apa ini?

Menyadari pelanggannya kebingungan dengan tempat yang baru mereka datangi ini. Sopir Ojol itu mulai membuka mulutnya tuk menjelaskan tempat ini.

"Mbak kayaknya baru pertama kali kesini ya? Selamat datang di kolam lele milik pak Sarmanto. Mbak tau sendiri kan, klo pak Sarmanto itu kan juragan lele yang terkenal seantero kompleks perumahan ini. Kira-kira ada sekitar 20 kolam lah yang mana tiap kolamnya ada ratusan Lele yang siap mereka panen sekitar 2-4 bulan sekali. Pak Sarmanto juga punya banyak pekerja yang mengurusi tiap kolamnya. Meski tampang mereka menakutkan seperti preman. Tapi sebenarnya mereka baik kok." Ujar sopir ojol itu sambil tersenyum.

"Oh begitu?" Aida hanya mengangguk-ngangguk saat dijelaskan oleh sopir Ojol itu.

Ia baru tau kalau pak Sarmanto mempunyai kolam lele sebanyak ini. Pantas saja dia berani memesan banyak kue kemarin karena dirinya mempunyai banyak pemasukan hasil dari penjualan ikan lelenya.

"Yasudah saya pergi dulu ya mbak, permisi." Kata sopir Ojol itu lekas pergi.

"Iya pak, eh pak ini uangnya." Sayangnya sopir Ojol itu lebih dulu pergi. Aida pun kebingungan kenapa sopir Ojol itu lebih dulu pergi tanpa menerima pembayaran darinya terlebih dahulu.

Dari kejauhan, sopir Ojol itu tersenyum sambil mengangkat salah satu lengan jaketnya.

Terlihat tato kucing hitam besar terhias disana.



"Hmm yaudah kalau kelupaan. Lebih baik aku bersegera menemuinya. Rumahnya pak Sarmanto sih dimana ya?" Tanya Aida setelah memasuki gerbang.

Sejauh mata memandang, ia hanya melihat kolam-kolam lele berukuran luas yang masing-masing dijaga oleh beberapa laki-laki kekar bertampang seram.

Aida jadi tak berani menatapnya. Ia terus menunduk sambil sesekali melihat sekitar tuk mencari tempat tinggal sang bos pemilik kolam lele ini.

Namun, yang baru disadari olehnya adalah. Rupanya, para pekerja itu, satu persatu mulai menatap dirinya di tengah perjalanannya menemui pak Sarmanto. Aida bergidik ngeri. Paras mereka mengerikan yang mana menyerupai preman ketimbang para karyawan yang mengurusi kolam lele.

Aida memberanikan diri tuk menatap salah satu dari mereka. Terlihat salah satu karyawan itu mengenakan kaus hitam bergambar tengkorak. Terdapat bekas luka diwajahnya seperti coretan celurit. Otot tangannya besar. Nampak tato yang sekilas terlihat di punggung bagian bawahnya.

Bahkan para karyawan lainnya ada yang sambil merokok. Ada juga yang sambil main kartu. Beberapa ada yang tertawa keras. Bahkan ia mendengar samar-samar ada yang melecehkannya secara verbal.

"Astaghfirullah tempat apa sih ini? Ini beneran? Kediaman pak Sarmanto disini?" Tanya Aida ragu.

Kebetulan, akhirnya ia melihat sebuah bangunan yang menyerupai rumah. Entah kenapa Aida merasa yakin kalau bangunan itu adalah rumah milik pak Sarmanto.

"Aku harus kesana. Setidaknya, aku bisa menjauh dari tatapan mesum mereka itu." Lirih Aida sambil mempercepat langkah kakinya.

Mata-mata nakal itu terus menatap Aida. Tatapan-tatapan mereka yang jelalatan memberdirikan bulu kuduk Aida. Aida terus saja menarik nafasnya. Ia menguatkan diri. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan yang tepat yang bisa menjauhkannya dari gangguan satpam tua dan bapak tirinya itu.

Tookkk. Tookkk. Tookkk.

"Assalamu, eh. Permisi pak." Ucap Aida sambil mengetuk pintu rumah tersebut.

Aida menoleh ke sekitar. Pekarangan rumah itu cukup luas. Banyak sekali tanaman-tanaman yang tumbuh di halaman rumah besar itu. Aida menaikkan pandangannya ke atas. Rumah dihadapannya itu terdiri dari dua lantai. Bahkan di lantai dua ada kolam renang yang membuat pemilik rumah itu bisa bersantai sambil melihat pemandangan kolam lele dihadapannya.

Aida kemudian melihat ke belakang. Rupanya para pekerja itu masih menatapnya. Aida merasa risih. Ia kembali mengetuk pintu dengan harapan pemilik rumah segera membukakan pintu untuknya.

Tookkk. Tookkk. Tookkk.

"Permisi pak!!"

Beruntung, tak lama kemudian ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Aida mundur selangkah lalu berdiri tegak menanti sang pemilik rumah datang menyambutnya.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Nampak wajah tak asing yang membuat Aida bergidik ngeri.



PAK SARMANTO

"Whoahahaha!! Loh loh loh!! Aidaku sayang. Ada apa dirimu kemari?" Sambut pak Sarmanto dengan senyum lebar di wajahnya.

"Ada yang ingin saya bicarakan." Jawab Aida singkat tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Whoahahah baiklah, ayo sini masuk." Ajak pak Sarmanto sambil tersenyum mesum.

Aida dengan menunduk berjalan masuk mengikuti perintah si pemilik rumah itu. Ubin-ubin keramik yang ia ijak berukuran besar dengan warna yang cukup bening. Ia bahkan bisa melihat pantulan wajah ayunya dari ubin yang ia pijak itu.

Seketika ia menyadari satu hal. Tak hanya ada dirinya pak Sarmanto di dalam. Tapi, ia juga melihat adanya beberapa laki-laki lain yang berdiri di sekitar jalan masuk rumahnya itu.

Aida bergegas mengangkat wajahnya lalu melihat ke sekitar. Benar saja, para pria-pria kekar berkulit hitam itu berbaris rapih layaknya bodyguard yang menjaga rumah luas ini.

Aida jadi semakin bertanya-tanya. Ini sebenarnya tempat apa? Benarkah ini hanya rumah yang dimiliki oleh seorang juragan lele?

"Tenang sayang. Mereka semua adalah bawahan saya. Ga ada yang perlu kamu takuti." Ujar pak Sarmanto yang lagi-lagi meremas bokong Aida tanpa permisi.

"Bapaaak!!!" Tegur Aida sambil menampar tangan pak Sarmanto.

"Whoahaha ada apa sayang? Masa saya masih gak boleh menyentuh pantatmu itu sih? Kenapa memangnya? Jijik sama saya? Kenapa kok masih jual mahal? Betul tidak semuanya?"

"Hahahaha," seluruh orang yang ada di rumah itu tertawa. Aida menghitung. Kira-kira ada 20 orang selain dirinya dan pak Sarmanto yang tertawa gara-gara ucapan pria berkulit gelap itu.

"Tolong paaaak! Jangan melecehkanku di hadapan mereka!!!" Bisik Aida di telinga pak Sarmanto yang membuat suami dari sosialita itu tertawa.

"Whoahaha. Sini-sini. Kemari." Ajak pak Sarmanto menuju mejanya.

Pria tua berkulit gelap dengan brewok yang menghiasi wajahnya itu tersenyum setelah duduk di mejanya. Aida pun berjalan mendekat. Ia dengan takut berdiri tegak dihadapan pria seram itu.

"Jadi… apa yang bisa aku bantu??" Tanya Pak Sarmanto.

Mulanya Aida terdiam ragu. Namun, saat teringat perbuatan satpam tua itu semalam. Juga ancaman yang bisa-bisa menyeret sang Tante ke dalam masalah pribadinya. Pelan-pelan Aida mulai memberanikan diri. Ia menaikkan pandangannya lalu menatap wajah pak Sarmanto dengan pandangan mata tajam nyaris tanpa berkedip.

Nafasnya ia tarik lalu dihembuskan, sekali, dua kali, tiga kali. Ia belajar menenangkan diri dengan pengaturan napas. Dengan tegas, ia pun mengucapkan sesuatu di hadapan calon penyelamatnya itu.

"Saya butuh bantuan, Pak. Tolong lindungi saya dan tante saya. Ada seseorang yang berniat tidak baik pada keluarga saya." Pinta Aida memohon.

Pak Sarmanto diam, lalu seketika tertawa sambil melihat sekitar. Para bodyguard yang ada di sekitar ikut tertawa. Aida pun kebingungan hingga dirinya merasa tersinggung. Aida yang kesal pun hendak membuka mulutnya.

"Apa maksud . . . . ." Belum sempat Aida menyelesaikan kalimatnya. Ia terhenti gara-gara tepukan tangan yang dilakukan oleh pak Sarmanto.

Prookkk. Prookkk. Prrookkk.

Aida yang tidak tahan lagi akhirnya mulai bersuara di hadapan juaragan lele tersebut.

"Apa maksud semua ini pak?"

Prookk. Prookk. Prrookk.

Pak Sarmanto masih bertepuk tangan, kali ini sambil tertawa. Aida pun semakin kebingungan. Dahinya mengkerut. Matanya pun agak disipitkan. Ia benar-benar kesal melihat tingkah laku pak Sarmanto yang menurutnya aneh.

"Whoahahaha. Whoahahaha. Lindungi? Lindungi ya? Whoahahaha" tawa pak Sarmanto terbahak-bahak.

Aida hanya diam. Lama-lama dirinya semakin kesal bahkan ia sudah berniat ingin pergi akibat muak sudah diberlakukan seperti ini. Aida mendengus kesal dan hendak meninggalkan Pak Sarmanto.

“Aida, tenanglah. Kemarilah.”

Aida mengerutkan kening. Ia kembali menatap wajah sang pria tua itu.

"Kamu tahu cantik? Tidak ada yang gratis di dunia ini! Kamu minta dilindungi? Tentu saja bisa, tapi bolehkan saya minta sesuatu juga sebagai pembayaran atas jasa yang akan kami berikan?" Tanya pak Sarmanto sambil tersenyum.

"Apa? Apa yang bapak inginkan? Uang? Bapak minta berapa? Bapak butuh bera . . ." Lagi-lagi omongan Aida terhenti gara-gara mendengar suara tawa yang pria itu lakukan.

"Whoahahaha uang? Uang katamu, Sayang? Coba liat ke sekitar. Kamu pikir saya ini termasuk orang yang kekurangan uang ya? Sampai-sampai hanya uang yang bisa dijadikan alat pertukaran." Pak Sarmanto tertawa terbahak-bahak. Aida pun lekas bertanya mengenai apa yang diinginkan oleh pria tua itu.

"Lalu, apa yang bapak inginkan dari saya?" Aida lemas berucap.

Sambil tersenyum mesum. Pak Sarmanto mengangkat salah satu jemarinya lalu menunjuk ke arah tubuh Aida, sebelum kemudian ia membuka mulutnya tuk menjawab pertanyaan gadis manis itu.

"Buka bajumu."

Aida terbelalak. Meski sudah tertebak. Ia tak menyangka kalau harus membuka bajunya di hadapan semua orang yang berada di rumah ini. Dengan terbata-bata, Aida kembali bertanya tuk memastikan keinginan pria tua tersebut.

"Di sini? Saat ini? Di hadapan semua orang ini?" Lirih Aida yang malah dijawab tawa oleh pria hitam brewokan itu. “Yang benar saja, Pak! Jangan main-main!”

"Whoahahahah. Kenapa memangnya? Kamu keberatan?" Tanya Pak Sarmanto yang membuat Aida terdiam sejenak.

Aida berfikir. Ia sudah sejauh ini melangkah. Ia juga sudah dilecehkan berkali-kali oleh para bajingan tua tersebut. Lantas apalagi yang harus ia sembunyikan dari mereka. Lagipula, ini bukan hanya untuk dirinya. Tapi juga tantenya. Toh telanjang di hadapan orang bukan lagi kali pertama untuknya, benar bukan?

“Mau mundur saja?” Pak Sarmanto menyeringai, “Mau mundur atau buka baju?”

"Tidak! Saya tidak akan mundur! Akan saya lakukan yang Bapak minta!" Jawab Aida tegas menyambut tantangan tersebut.

Ia lekas membuka satu demi satu kancing kemejanya. Ia melakukannya dengan cuek sambil menolehkan wajahnya ke samping. Lalu, setelah semua kancing itu terbuka. Ia lekas melepas kemejanya menyisakan tanktop ketat berwarna putih yang membentuk dada indahnya.

Semua mata tertuju padanya. Sinyal kuat yang Aida berikan membuat antena-antena mereka berdiri tegak menanti langkah selanjutnya yang gadis cantik itu berikan.

Aida cuek. Meski ia juga agak menguat-nguatkan hatinya untuk terus melanjutkan. Ia mulai menurunkan resleting celana jeansnya lalu menurunkan celananya perlahan demi perlahan.

Bongkahan pantat semok yang sebagian masih tertutupi celana dalam berwarna putih itu terlihat. Saat celana itu semakin turun. Paha mulus Aida terlihat. Beberapa bodyguard yang melihatnya sampai menenggak ludah. Kaki Aida memang sangat indah. Kakinya itu menyerupai kaki seorang model yang tentunya menjadi kebanggaan Aida.

Pak Sarmanto hanya diam tersenyum menantikan aksi selanjutnya. Ia dengan sabar menahan reaksi hingga gadis cantik itu benar-benar melepas keseluruhan pakaiannya dihadapannya.

Namun seketika pak Sarmanto bereaksi saat Aida hendak melakukan sesuatu. "Tunggu dulu, biarkan hijabmu terpasang seperti itu. Jangan kamu lepas ya."

Aida menurut. Ia mendesah lalu membatin di dalam hati.

Semua pria sama aja.

Ia jadi teringat pak Tarun yang juga tidak melepas hijabnya saat hendak memperkosanya semalam.

Lanjut, Aida melepas tanktop putihnya. Payudara sentosa Aida semakin terlihat. Kini hanya ada bra berwarna putih yang menjadi satu-satunya pelindung baginya dari tatapan mesum para lelaki yang ada di dunia ini.

Senyum pak Sarmanto melebar. Meski Aida belum benar-benar telanjang. Tapi keindahannya sudah berada diluar batas wajar. Ia jadi tak sabar. Bagaimana ya keindahan tubuh Aida ketika sudah telanjang?

Membayangkan hal itu membuat pak Sarmanto senyum-senyum sendiri.

Akhirnya, bra putih yang saat ini ia kenakan mulai ia lepas. Kait yang ada di punggungnya ia lepas. Samar-samar terdengar sorakan dari belakang yang sebenarnya cukup mengganggu Aida. Tapi ia cuek. Ia terus melepasnya hingga dada sentosanya itu benar-benar nampak di hadapan pak Sarmanto.

Prookkk. Prokkk. Prookkk.

Pak Sarmanto tersenyum puas. Ia bahkan sampai tak tahan tuk bertepuk tangan setelah diperlihatkan keindahannya.

"Lanjutkan sayang."

Aida tak menjawab. Ia lekas menungging untuk memudahkan tangannya tuk memelorotkan celana dalam yang dikenakan olehnya. Saat menungging itulah, dada sentosa milik Aida tergantung indah yang membuat beberapa bodyguard yang tak tahan di kanan kirinya mulai mengelus-ngelus penisnya bahkan sampai ada yang mengeluarkan penisnya tuk mengocok-ngocoknya.

Jujur, Aida merasa semakin risih. Tapi mengingat apa yang sudah ia lakukan selama ini membuatnya terus bertahan hingga dirinya selesai melepas celana dalamnya.

Kini, ia sudah bertelanjang bulat menyisakan hijab berwarna pinknya saja. Aida merasa malu. Ia merasa semua mata menatap keindahan tubuhnya saat itu. Ia bertahan. Ia menantikan perintah apalagi yang diinginkan oleh juragan lele tersebut agar dirinya bisa mendapatkan perlindungan darinya.

"Indah sekali tubuhmu ini, cantik. Whoahahaha." Tawa pak Sarmanto sambil berdiri dari kursinya.

Aida gemetar. Jujur ia semakin ketakutan tatkala pria brewok itu mulai bangkit dari posisi duduknya.

"Dengar semuanya." Ucap pak Sarmanto yang membuat para bodyguardnya secara reflek menatap ke arahnya. "Sudah lama kita tidak melakukannya. Ayo kita lakukan sekarang." Kata pak Sarmanto sambil melepas kaus yang dikenakannya.

"Ya pak." Jawab mereka semua kompak.

Aida terbelalak. Ia pun melihat ke sekitar dan menyadari satu demi satu para bodyguard itu mulai menanggalkan pakaiannya. Aida panik. Ia bertanya-tanya di dalam hati. Apa yang sedang mereka lakukan saat ini? Apa yang akan terjadi? Bagaimana nasibnya kini?

Aida menoleh ke belakang. Ia mendapati seorang bodyguard kekar yang sudah bertelanjang bulat berjalan mendekat. Saat ia menoleh ke depan. Ia menyadari pak Sarmanto juga sudah bertelanjang bulat menampakkan tubuh tambunnya dihadapannya.

Satu demi satu pria-pria kekar itu mulai menanggalkan seluruh pakaiannya lalu menghampiri dirinya. Kini, Aida yang sudah bertelanjang bulat dikelilingi oleh puluhan pria kekar berkulit hitam dan bertampang seram yang sama-sama sudah bertelanjang bulat. Aida bergidik. Aida merinding.

Di tengah rasa takut itu, tiba-tiba pak Sarmanto mulai membuka mulutnya.

"Ayo kita mulai ritual kita."

"Ya pak."

Ritual? Ritual apa? Apa ini? Apa yang akan mereka lakukan saat ini?

Batin Aida di dalam hati.

Di tengah rasa takut yang semakin menguasai hatinya. Pandangan Aida tiba-tiba teralihkan pada lukisan besar yang ada pada dinding yang berada di belakang posisi pak Sarmanto berdiri. Sebuah lukisan besar bergambar kucing berwarna hitam yang tengah menyorot tajam.

Sebenarnya, tempat macam apa ini?









BAGIAN 6B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7
 
Gak sabar nungguin Maya diekse sama pak Ronggo. Sudah seharusnya pak Ronggo menggenjot Maya dengan barbar karena sudah berani meninggalkannya

Lalu, apakah Aida nantinya akan digangbang oleh pak sarmanto and the gang?

Hmm menarik:baca:
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd