Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Selalu suka kalau suhu @killertomato bikin cerita
Meski pakai banyak tokoh, selalu ada konsistensi di karakter mereka masing-masing dari awal hingga akhir
Dengan jalan cerita yang berbeda-beda, tapi semuanya menarik

Kapan-kapan boleh donk ketika ceritanya tamat, share diagram atau catatan waktu ngerancang alur ceritanya, hee
 
mohon maaf bro chelsea, menurut gw, pak dibyo bukannya memperkosa rima tapi rima sendiri yg terpukau dengan ketulusan & perhatian pak dibyo, jadi dengan sukarela memberikan kehangatan tubuhnya bahkan meninggalkan tunangannya. (1). sedangkan ussy tertarik ke pak kobar karena merasa di ayomi & dilindungi dari udin yg kasar dan akhirnya mau jadi istrinya (2). sedangkan maya akhirnya memilih pak maul karena terperangah dengan kejantanannya yg berbeda dengan mantan suaminya dan akhirnya jatuh ke pelukan pak maul (3). semoga suhu bisa mewujudkannya di episode mendatang 🙏🙏🙏🙏🙏
Lets see untuk perkembangan cerita ini bro yang pasti apapun perkembangan ceritanya kita harus tetap mengapresiasi penulis, karena beliau sudah meluangkan waktunya untuk memuaskan dahaga pembaca, Mari kita support bersama penulis legend yang masih berkenan memberikan goresan tintanya untuk kita semua ini


Selalu suka kalau suhu @killertomato bikin cerita
Meski pakai banyak tokoh, selalu ada konsistensi di karakter mereka masing-masing dari awal hingga akhir
Dengan jalan cerita yang berbeda-beda, tapi semuanya menarik

Kapan-kapan boleh donk ketika ceritanya tamat, share diagram atau catatan waktu ngerancang alur ceritanya, hee
wahhh saya sabagai pembaca hanya berharap akan ada collab nih antara sis @fathimah dan suhu @killertomato , sesuatu yang dulu jamak ditemui antara penulis collab sehingga menghasilkan Karya masterpiece kayak Cast Awal, Dark Simeone dll tapi sekarang kok kayaknya gak pernah ada penulis collab hehehe
 
BAGIAN 5
CURI-CURI PANDANG




Curi, curi-curi pandang.
Curi ke depan, curi ke belakang.
Curi ke kanan, dan curi ke kiri.

Curi pandangmu kepada bidadari yang di sana.
Curi, curi-curi pandang.


- Curi-curi Pandang, Naif





Shinta mendesah sembari menarik napas panjang.

Kenapa juga ia mau melakukan ini ya?

Bukankah ini menyalahi semua yang selama ini ia yakini? Bukankah selama ini dia membenci bahkan jijik pada sang pria tua yang pandangannya cabul itu?

Kadang-kadang ia menyesal karena telah melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak paham kenapa melakukannya. Bukan karena ia teledor, tapi karena ibu muda jelita itu seringkali tergiring oleh emosi berlebih yang justru akan menjerat dan membuatnya terjerembab ke dalam situasi yang tidak menyenangkan. Sudah berkali-kali Shinta terjebak dalam situasi tanpa ia paham kenapanya. Semua karena emosi sesaat. Emosi yang kemudian membuatnya menyesal melakukannya.

Seperti kali ini misalnya. Kenapa dia ada di sini, di tempat ini, dan repot-repot membawa semua barang yang saat ini ia bawa. Kenapa?

Tidak ada alasan yang valid. Satu-satunya alasan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Apa hanya gara-gara ia cemburu buta pada sang suami yang meletakkan perhatian berlebih pada wanita lain? Mungkin saja. Itulah satu-satunya alasan yang memperkuat apa yang ia lakukan di sini saat ini. Tapi kecemburuannya bukan tanpa dasar bukan? Ardian benar-benar memperhatikan si Intan lebih dari teman-temannya yang lain, seakan-akan Intan adalah putri rembulan berpakaian pelaut yang setiap saat harus diselamatkan oleh tuxedo bertopeng. Perhatian Ardian jauh lebih besar untuk Intan daripada perhatian pada Shinta yang jelas-jelas istrinya sendiri.

Cewek sialan.

Kalau ingat Intan, hati Shinta selalu membara.

Yah, mungkin gara-gara kecemburuan itu pula ia keceplosan mengucapkan janji untuk melakukan ini. Padahal ia sebenarnya sangat benci dan jijik pada tingkah laku laki-laki tua yang selalu memandang ke arah tubuhnya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, dari kaki ke kepala, dari kepala ke kaki dengan tatapan mesum dan terasa menjamah tanpa menyentuh.

Hiih… jan nggilani. Membayangkannya saja selalu membuat ibu muda itu bergidik ketakutan. Tapi ya emang dasar bodohnya dia, bilangnya benci dan jijik, tapi sekarang ia berdiri di depan pintu rumah laki-laki tua itu.

Mungkin ini yang namanya menjilat ludah sendiri. Batin Shinta dalam hati.

Sembari menggendong Arga dengan gendongan dada, ibu muda berkerudung berparas jelita itu menenteng kantong plastik berisi bahan makanan dan belanjaan. Ia juga membawa rantang berisi nasi dan sayuran yang sudah terlebih dahulu ia masak sebelumnya. Kalau semuanya ia masak di rumah si pria tua cabul itu, entah kapan selesainya.

Shinta tahu dia bukan seorang istri yang jago memasak seperti Kak Nisa, dia juga tidak secantik Kak Amy, dan tidak seindah Intan. Tapi setidaknya dia ingin dipuji untuk satu keahlian, bisa menghidangkan masakan yang layak makan misalnya. Sudah lama sekali rasanya Ardian tidak memujinya untuk apapun.

Omong-omong soal makanan.

Pernah sekali waktu Intan membawakan makanan untuk rumah dan Ardian memuji-muji keenakan makanan itu setinggi langit. Padahal Shinta tahu sekali, Intan tidak membuat makanan itu sendiri, Intan membelinya di rumah makan chinese food di dekat kantor. Ya jelas saja enak!

Shinta mencibir sendiri kalau ingat kejadian itu. Saat itu ia sudah masak capek-capek tapi makanannya tidak habis, sementara makanan yang dibelikan oleh Intan ludes dihabiskan Ardian. Pengen ngamuk rasanya.

Huh. Lelah Shinta kalau begini terus, emosinya terkuras.

Sekali lagi, mungkin itu salah satu alasan kenapa malam ini ibu muda cantik itu berada di depan pintu rumah Pak Hasbi – orang yang sebenarnya cukup ia benci. Shinta benci pandangan mesum Pak Hasbi saat menatapnya, matanya yang mblolok itu seakan-akan hendak menelan tubuh mungil Shinta bulat-bulat. Tapi entah kenapa juga Shinta seakan-akan ingin menghukum Ardian dengan melakukan ini.

Mungkin itulah yang membawa kaki Shinta ke depan rumah Pak Hasbi. Mungkin untuk membalas perlakuan Ardian kepadanya. Mungkin karena Shinta jengkel terhadap perhatian suaminya pada Intan dan berniat membalasnya meskipun tidak secara langsung. Mungkin, mungkin, dan mungkin.

Tapi, kalau hanya membalas perhatian bisa saja kan ke pria dan orang lain yang lebih muda? Kenapa Pak Hasbi?

Kok jadi malah ia merasa terjebak sendiri ya?

Asem.

Shinta melirik ke kanan dan kiri, suasana di desa Bawukan ini sepi, sunyi, dan gelap. Tetangga-tetangga Pak Hasbi sudah masuk rumah karena memang sudah malam, di kampung begini – jarang orang keluar selepas maghrib, Shinta sendiri sebenarnya tidak berani keluar malam-malam sendirian karena berbeda dibandingkan di cluster, lampu jalanan di sini masih jarang-jarang. Kalaupun ada satu dua, itupun redup.

Di cluster dan kedua kampung yang mengapitnya memang sudah biasa suasana menjadi sepi setelah matahari tenggelam. Sebagian orang sudah jalan menuju ke tempat ibadah dan akan tetap berada di sana sampai sekitar jam delapan malam, sebagian lagi tinggal untuk kegiatan rumah tangga.

Setidaknya, tidak banyak yang menjadi saksi keberadaannya di depan rumah Pak Hasbi. Lumayan tidak malu.

Rumah Pak Hasbi adalah sebuah rumah dengan pagar bambu setinggi bahu orang dewasa yang sudah banyak yang rusak. Sebagian patah sampai bengkok, sebagian lagi malah sudah bolong. Sepertinya tidak ada niat dari sang pemilik rumah untuk merawat kediaman yang sebenarnya cukup bagus dibandingkan rumah-rumah lain di kampung Bawukan. Karena tak terawat jadi terkesan senyap, sepi, dan kotor. Apalagi dengan lampu ber-watt kecil, pohon yang tinggi dan ilalang yang juga cukup rimbun membuat rumah itu bak pos penjaga di tengah-tengah taman Jurassic.

Pak Hasbi sudah jelas tidak sempat, tidak bisa, tidak mau, atau memang malas untuk membersihkan, mungkin dia tidak ada waktu karena selalu pergi pagi pulang petang. Tapi ya memang dasar Pak Hasbi sendiri sepertinya tidak pernah ada niat untuk bebersih rumah. Bertambah lagi alasan bagi Shinta untuk membenci orang tua itu. Shinta tidak pernah menyukai siapapun yang tidak menjaga kebersihan seperti ini.

Prinsip ibu muda itu simpel, what you are is what you do. Siapa kamu tergambar dari apa yang kamu lakukan. Kalau rumahnya seperti tempat penampungan sampah begini, sudah tergambar dengan jelas bagaimana pemiliknya.

Menyesal sekali datang – kenapa Shinta memutuskan kemari yah? Cari masalah saja.

Sembari mendesah penuh penyesalan, Ibu muda itu kembali mengetuk pintu. Arga masih terlelap dalam dekapannya. Setelah sekian kali mengetuk, barulah pintu terbuka.

Pemandangan tak sedap hadir di depan mata Shinta.

Seorang pria tua kerempeng dengan kulit sawo matang yang hanya mengenakan baju singlet dan sarung membuka pintu. Pria tua itu berwajah lemas, rambutnya yang putih berantakan, baik kumisnya yang baplang dan alisnya yang tebal berwarna putih. Ia terkejut melihat pemandangan indah di hadapannya.

Seorang ibu muda berkerudung dan berpakaian putih tersenyum menatapnya. Mimpi apa Pak Hasbi malam ini?

“Bi… bidadari!?”

Ealah, Pak Hasbi. Ini saya.”

“Ah! Eh…! Ma-maaf. Saya pikir tadi ada bidadari khayangan di depan pintu, ternyata Mbak Shinta.”

“Bisa aja, Bapak. Bidadari dari mananya? Saya ini emak-emak satu anak. Sudah keriput dan berat badannya mulai nambah. Yang ada Pak Hasbi seperti melihat kuntilanak ya? Bukan bidadari?”

“Maaf saya tadi terkagum-kagum sama cantiknya Mbak Shinta. Hahahah… hag… hag…” Pak Hasbi tertawa sampai batuk, ia berpegang erat pada tongkat yang dibawanya kemana-mana, sepertinya untuk alat bantu jalan. Wajah pria tua kurus itu perlahan-lahan berubah menjadi keheranan, usianya yang lebih dari enam puluh tahun terlihat melalui wajahnya yang keriput. Mungkin satu dua tahun lagi usianya akan menembus angka tujuh, “Kok datang kemari ada perlu apa ya, Mbak?”

Tuh kan dongo si aki-aki satu ini. Perasaan belum pikun kok udah pelupa. Shinta menggulirkan mata indahnya ke atas, capek meladeni Pak Hasbi.

“Bapak ini gimana sih? Kan saya sudah janji mau masakin Bapak malam ini. Saya kan tahu Bapak sedang sakit, jadi mau saya masakin sayur, nanti saya masakin yang agak banyak, simpan di kulkas, besok pagi bisa di-angetin buat sarapan,” ujar Shinta sedikit ketus Dia benci basa-basi dengan pak Hasbi. Dia hanya mau menepati janji saja, masak, hidangkan, lalu pulang. Bukan hal yang susah dan njelimet bukan?

Shinta ingin melakukan ini semua secepat mungkin.

Saat itu sang ibu muda bertubuh mungil berparas ayu itu mengenakan kerudung warna putih, blus lengan panjang dengan warna senada, dan kulot panjang warna coklat pastel. Sederhana tapi manis. Indah dipandang, tak boleh disentuh, dan seakan magis mampu menghipnotis.

Pak Hasbi sampai berliur melihat kemolekan sang ibu muda yang sungguh bak bidadari turun dari langit itu. Kecantikan Shinta memang tidak main-main.

“Oooh iya-iya. Lupa saya… maklum sudah umur…” Pak Hasbi tertawa terkekeh-kekeh. Shinta tidak nyaman mendengar suara tawa yang seperti itu. Pak Hasbi menggeser posisi berdirinya yang menutup jalur masuk ke dalam untuk membukakan pintu lebih lebar, “Mari-mari masuk. Kasihan si Adek kalau terlalu lama di luar, nanti masuk angin. Aduh saya jadi merasa bersalah gara-gara saya Arga jadi ikut keluar malam ini.”

Shinta mengangguk dan tersenyum, “Makasih, Pak.”

“Mas Ardian belum pulang, Mbak?”

“Belum. Dia masih di kantor. Mungkin baru perjalanan.”

“Begitu? Nggih, nggih.”

Shinta geleng kepala dan menutup hidung saat masuk ke dalam, suasana di dalam rumah tidak kalah kacau dibandingkan dengan halaman luar. Sama saja berantakannya. Pengap, gelap, dan baunya tidak sedap.

Ada kursi ruang tamu yang tempat duduknya bolong, di sudut banyak bertebaran botol kosong, sarang laba-laba menyebar di langit-langit dan di kolong, debu di atas meja dan di lantai bagaikan rumah yang sudah lama kosong melompong. Dinding dan tembok berbau kencing tikus, tidak ingin diakui tapi merajalela bau-bauan prengus, ada pula tumpukan cucian yang kotornya semakin mbladus.

Sebenarnya orang ini menyebalkan dan Shinta membencinya, tapi ibu muda itu perlahan-lahan jadi kasihan melihat kondisi rumah sang pria tua yang saat ini sedang berjalan tertatih dengan tongkatnya. Tidak tega juga lama-lama. Wajar saja rumah ini kotor jika melihat kondisi kesehatan Pak Hasbi yang terus menurun seperti ini.

Arga batuk-batuk kecil. Mungkin karena banyaknya debu.

“Aduh maaf. Saya bukakan sebentar jendelanya, si Adek mungkin tidak tahan karena debu di tempat ini tebal. Maaf saya belum sempat membersihkan karena sudah seminggu ini sakit,” ujar Pak Hasbi yang lantas membuka jendela di samping.

Tidak dibersihkan karena seminggu sakit? Seminggu atau sedasawarsa? Kalau lihat dari kondisi rumah Ini sih sudah tidak pernah disentuh sapu dan kemoceng dari jaman Elvis ketemu Asmuni.

Shinta hanya menyimpan kalimat-kalimat itu dalam hati karena tidak ingin menyinggung perasaan Pak Hasbi. Si cantik berkerudung itu celingukan, “Dapurnya di mana, Pak? Mungkin segera saya mulai saja, takutnya kemalaman nanti kami berdua dicari-cari suami saya.”

“Ah, iya… di belakang ruang makan ini. Mari saya tunjukkan.” Pak Hasbi berjalan tertatih dengan tongkatnya, sepertinya penyakitnya memang cukup mengganggu.

“Tidak usah, Pak. Cukup diberitahu saja dimananya. Bapak istirahat saja di sini.”

Shinta meletakkan rantang di meja makan kosong yang hanya berisi tutup saji tanpa isi. Ada roti semir di sana, mungkin dibelikan oleh tetangga lain. Ada perasaan kasihan yang kemudian terbentuk di hati sang ibu muda. Setelah selama ini dia menyalahkan dan sebal dengan Pak Hasbi, dia tidak mengira kehidupan sang pria tua ini benar-benar kesepian.

Shinta menyiapkan dan meletakkan rantang di meja makan, sekaligus mulai membagi makanan di dalam rantang ke dalam piring yang tadinya terletak di samping meja makan.

“Ah, kenapa jadi repot begini? Biar saya yang…”

“Sudah Bapak duduk dulu saja, biar saya yang menyiapkan semuanya,” kali ini Shinta tersenyum manis, ia mencoba lebih sopan pada pria tua yang kesepian itu. Shinta melirik ke bingkai foto di dinding, Pak Hasbi tidak sendiri di sana. Ada seorang wanita dan dua orang pemuda, “Anak Bapak jarang datang? Saya belum pernah bertemu mereka.”

Shinta sedikit demi sedikit menanyakan latar belakang Pak Hasbi. Sungguh Shinta tidak paham dengan keluarga orang tua itu, setidaknya kalau memang Pak Hasbi punya keluarga dekat, mereka bisa membantu Pak Hasbi bersih-bersih rumah, atau setidaknya membantu mengurus sang ayah yang sakit-sakitan begini. Kalaupun jauh masa ya tidak bisa pulang sesekali untuk merawat sang ayah?

Pak Hasbi menghela napas panjang dan duduk di kursi yang ada di samping meja makan. Shinta pun duduk sembari mempersiapkan makanan yang hendak ia masak, sebenarnya ia sudah menyiapkan semua bahan di rumah supaya tidak terlalu lama masak di rumah Pak Hasbi, tapi setidaknya dia ingin mendengar semua cerita dari sang pria tua.

Perlahan-lahan, entah kenapa Shinta yang awalnya sangat membenci berubah menjadi simpati melihat kondisi Pak Hasbi.

Mungkin memang benar semua manusia punya dua sisi, sisi yang tidak nampak dan sisi yang ditampakkan. Kita tidak pernah bisa benar-benar memperkirakan isi hati orang berdasarkan apa yang keilhatan. Siapa tahu Pak Hasbi ini di depan banyak orang terlihat seperti laki-laki tua yang mesum, padahal di belakang, ya memang mesum beneran.

Shinta jadi tertarik untuk menyelami pribadi Pak Hasbi. Entah kenapa rasa penasarannya bangkit. Kepo dia. Sial, kenapa dia dulu memilih jurusan kuliah yang sampai sekarang membuatnya penasaran sama hidup orang lain ya?

“Anak saya sebenarnya ada dua, Mbak. Yang sulung tinggal di Banjarbaru – Kalimantan Selatan, yang nomor dua tinggal di Metro – Lampung. Mereka berdua merantau dan sudah bertahun-tahun tidak pulang mengunjungi saya. Sibuk dengan dunia mereka sendiri jadi mungkin sudah tidak ingat lagi jalan pulang ke dusun Bawukan ini. Maklum saja namanya juga dusun kecil, siapa yang ingat?” Pak Hasbi mulai menjelaskan, “Salah saya juga. Semenjak cerai dengan Ibu mereka, saya juga jarang menemui keduanya.”

“Lho? Pak Hasbi cerai? Saya pikir ibu sudah…”

Pria tua itu mengangguk, “Sudah lama sekali. Cerai karena beda pendapat. Dulu saya masih kerja amburadul, mungkin saja mantan istri saya capek melihat saya bekerja serabutan, jadi memilih pisah untuk mencari suami yang uangnya lebih kenceng. Mantan istri saya juga sudah meninggal sekarang, dulunya almarhum tinggal di ibukota. Sebelum meninggal dia sudah menikah lagi dengan juragan cendol di sana. Hidupnya enak, jadi sama sekali tidak pernah menengok saya.”

“Anak-anak Bapak dulu ikut Ibu mereka saat bercerai?”

“Betul, Mbak. Itulah kenapa saya jarang sekali ketemu mereka. Mau ke tempat mereka saya tidak mampu. Uang saya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Tidak ada yang tersisa.”

“Akhir-akhir ini Pak Hasbi sudah mencoba menghubungi mereka?”

“Sudah, Mbak. Tapi mereka sedang sangat sibuk jadi tidak bisa pulang.”

Shinta mendengarkan penjelasan itu dan mengangguk-angguk, “Ya sudah. Mulai besok saya sempatkan sesekali membantu Pak Hasbi membersihkan rumah. Hitung-hitung olahraga. Menurut saya, rumah ini butuh sentuhan seorang wanita, Pak. Jadi meskipun kecil dan sederhana, tapi tetap bisa dibuat manis dan indah. Kalau rumahnya bersih, yang tinggal pun jadi lebih sehat, bukan? Mas Ardian juga rasanya mau kok membantu Pak Hasbi. Nanti saya yang sampaikan.”

“Eh, benarkah? Duh, saya jadi tidak enak ini…”

Ibu muda itu lantas berdiri sembari menepuk lembut punggung tangan Pak Hasbi, “Tenang saja, Pak. Nah, bahan-bahan makanannya sudah siap. Saya masak bentar. Bukan masak juga sih jatuhnya, cuma celup-celup sambil angetin makanan saja. Saya pinjam dapurnya sebentar ya, Pak.”

“Silakan saja… hehehe. Hag… hag…” batuk itu tidak nyaman didengar, seperti ada riak yang tak kunjung bisa keluar.

Shinta meletakkan Arga yang masih terlelap di sofa yang nyaman tak jauh dari dapur. Ia membatasi sisi-sisinya agar sang bayi tidak terjatuh. Dari posisinya dia bisa mengawasi seandainya bocah kecil itu terbangun. Shinta mengecup dahi sang buah hati, “Adek bobo dulu ya, Mama mau masak. Jadi anak pinter, oke?”

Dapur Pak Hasbi berbeda dengan ruangan lain, lebih bersih dan tertata. Kemungkinan memang dibersihkan karena Shinta mau datang. Ibu muda itu hanya tersenyum saja. Lumayan lah, setidaknya Pak Hasbi menghormati kedatangannya. Padahal tadinya tidak tahu Shinta akan datang, eh dapurnya dibersihin. Tabung gas kecilnya juga sepertinya baru dibeli.

Seperti rumahnya, dapur ini juga kecil. Untuk bisa bermanuver butuh kerja ekstra bagi Shinta yang biasa memasak di dapur modern-nya.

“Maaf kalau nanti tidak enak ya, Pak. Namanya juga pemula,” kata Shinta sedikit berteriak agar terdengar dari ruang makan, padahal ngomong pelan pun juga terdengar. Toh rumahnya tidak besar.

“Ah, sudah pasti enak kalau yang memasak seorang bidadari seperti Mbak Shinta. Rasanya sudah lama sekali saya tidak menikmati masakan rumahan yang dimasak di kompor sendiri,” ujar Pak Hasbi yang masih tetap duduk di kursi di samping meja makan, “Kalau Mbak Shinta… sudah pasti… enak.”

Pak Hasbi menyeringai saat melihat ke arah dapur. Dari posisinya duduk, ia bisa melihat dengan jelas postur belakang tubuh Shinta yang indahnya bak gelas jam pasir itu sedang melenggak-lenggok untuk memasak. Jakun sang pria tua naik turun melihat pantat bulat istri Ardian itu bergerak naik turun dengan indahnya.

“Mbak Shinta… enak.”

Hhehehe. Luar biasa. Mimpi apa semalam sampai-sampai si dewi khayangan itu bisa masak di sini. Sungguh pucuk dicinta ulam pun tiba. Kini saatnya menjejalkan kesedihan demi kesedihan pada sang ibu muda supaya dia bersimpati. Sejarah mengenai keluarganya ia buat dengan sekenanya, cerita itu dia karang sambil lalu saja. Shinta tidak perlu tahu kalau istrinya masih hidup walaupun sedang bekerja menjadi TKI di negeri orang dan kedua anaknya jualan martabak di ibukota.

Berbohong demi keamanan tidak ada salahnya bukan? Pak Hasbi tersenyum sembari menjilat bibir. Tubuh ibu muda itu jelas lezat dipandang di malam yang dingin begini.

Uuuugh, itu pantat kok bulet banget, pasti kenyal dan enak sekali diremas dan ditampar-tampar. Pasti asyik menikmati keindahan pantat itu di saat kontolnya keluar masuk lubang memek sang dewi khayangan. Dia harus bisa menikmati tubuh Shinta bagaimanapun caranya, tanpa kekerasan.

Pak Hasbi punya rencana, dan untuk itu ia butuh cairan.

“Mbak, boleh minta tolong dimasakin air sekalian? Maaf merepotkan. Saya biasanya minum susu telur madu jahe jam segini.”

“Boleh, Pak? Buat apa memangnya?”

“Sekedar untuk menjaga kesehatan. Kebiasaan saya saja.”

“Siap, Pak. Tenang saja.”

Suara Shinta terdengar riang dan ceria. Tak lagi kasar dan ketus seperti sebelumnya. Mungkin suasana yang mendukung membentuk ibu muda jelita itu untuk merasa lebih simpati pada Pak Hasbi yang sebelumnya sangat ia benci – terlebih setelah melihat kondisi sang pria tua. Keadaannya membuat Shinta jadi lebih memahami Pak Hasbi kenapa tingkahnya menjadi seperti itu.

Padahal itu semua rekayasa sang pria tua yang memang manipulatif.

Tak butuh waktu lama bagi air yang dimasak Shinta untuk mendidih. Ia pun mengantarkan teko air panas, gelas, dan sachet STMJ ke meja makan. Setelah menuang air panas ke dalam gelas, Shinta membuka dan menuangkan sachet serbuk STMJ, lalu mulai mengaduknya.

Shinta menengok ke sana kemari, ia mengenyitkan dahi saat melihat susu kaleng di atas meja makan. Masih enak atau sudah kadaluwarsa ini ya? “Susunya cuma ini saja ya, Pak? Pak Hasbi tidak punya cadangan susu sachet lagi? Kalau susunya ditambah kayaknya lebih enak.”

“Susu? Saya tidak punya. Mbak Shinta punya susu? Saya mau kalau ada,” Pak Hasbi tersenyum dalam hati saat percakapan itu terjadi, pandangan matanya mengarah ke dada sang bidadari. Dia mau susu yang berbeda, yang keluar dari buah dada sang bidadari, yang ada di depannya kini.

Shinta memang naif, tapi tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari apa yang tengah mereka perbincangkan. Dasar bocah tua nakal. Pak Hasbi masih saja mengincar buah dadanya, “Wah, saya ada susu tapi di rumah, Pak.”

“Tidak ada susu yang dibawa? Pasti enak susunya Mbak Shinta.”

“Yah, saya jarang bawa-bawa susu, Pak.”

“Masa sih tidak bawa-bawa susu? Untuk si Arga tidak bawa?”

“Arga kan minumnya ASI, Pak. Dia jarang minum susu formula kecuali benar-benar kepepet. Lagipula susu dia kan susu bayi. Masa iya Pak Hasbi minum susu yang sama. Hahaha. Lebih baik susu sapi, Pak. STMJ enaknya sama susu sapi.”

“Oooh, setuju sih, saya juga lebih suka susu yang segar. Tadinya saya mau saja susunya Mbak Shinta yang sering diminum Arga, tapi kalau Mbak Shinta sudah bawa susu sachet, saya tidak keberatan minum susunya Mbak Shinta,” Pak Hasbi masih terus melirik-lirik ke arah dada Shinta yang sesekali terlihat saat ibu muda itu berbalik atau memutar.

Untuk menghindari sang pria tua, Shinta pun berbalik.

Pria tua itu menyeringai, batinnya sedang berbicara sendiri. Shinta oh shinta, kalau susumu sendiri bagaimana? Susu yang mungil, putih, empuk, kenyal, dan indah itu? Bolehkan aku memegangnya? Ingin aku menjamahnya, meremasnya dengan kuat sampai kamu menangis dan memohon ampun. Heheh.

“Itulah, Pak. Kebetulan saya tidak bawa susu,” jawab Shinta yang lantas melangkah kembali ke dapur untuk melanjutkan memasak. Ia mencoba menghindar karena percakapannya dengan sang pria tua akan mengalihkan fokusnya dari masakan dan membuat pikirannya terbelah-belah.

Shinta yang kini sedang sibuk memasak di dapur bahkan tak sadar kalau Pak Hasbi sudah memelorotkan celananya dan mulai mengocok kemaluannya pelan-pelan.

Ya, pria tua itu mulai onani saat Shinta masak di dapurnya.

Kurang ajar. Kamu menggodaku kan, sayang? Kamu tadi sudah paham apa yang kita bicarakan. Kamu memancingku untuk mengetahui seberapa ingin aku menidurimu. Kamu mau kan aku entotin? Tubuhmu yang mungil dan indah itu diciptakan untuk dientotin ratusan kali perhari, sayang.

Mata pria tua itu bagaikan scanner x-ray yang mampu menembus baju yang dikenakan oleh Shinta dan seakan menampilkan keseluruhan tubuh indahnya. Sekali lagi, buah dada Shinta bukanlah buah dada super massive seperti anggota grup dangdut Trio Harimau. Sama sekali bukan seperti itu, ukuran dadanya mungil tapi tidak sampai rata, pas segenggaman jemari yang menggelantung dengan indahnya tanpa terlihat kendor sedikitpun.

Pak Hasbi suka banget melihat keindahan buah dada sang ibu muda yang meski sudah tidak gadis tapi masih seperti belum tersentuh tangan pria.

Hrrh… hrrhh… hmm… hmmmhh… hmmmhh… Shinta. Susu kamu… indah banget, sangat memabukkan.

Desis lirih Pak Hasbi berbisik perlahan, bisikan yang tak mungkin terdengar oleh sang ibu muda, pandangan matanya mulai blur ditekan oleh nafsu birahi yang kian menderu, napasnya kembang kempis seiring goyangan tangannya yang menaik-turunkan batang kemaluannya sendiri sembari terus melihat dan menikmati goyangan pantat sang ibu muda yang tengah membelakanginya.

Shinta… Shinta… tubuh mungilmu yang indah itu diciptakan khusus untuk memuaskan banyak pria. Jangan kau sia-siakan hanya untuk satu orang yang tak akan bisa memuaskanmu hingga maksimal. Kamu butuh pejantan yang bisa membuatmu merem melek keenakan. Hehehe. Shinta… Shinta… bersiap-siaplah berhadapan dengan sang Jantan.

Pak Hasbi tersenyum saat memperhatikan Shinta fokus pada pekerjaannya di dapur. Ia pun meraih sebuah guci kecil tertutup di atas meja makan, ia memutar tutupnya sedikit, dan mengeluarkan sebuah barang, sebuah botol kecil berisi bubuk. Pria tua itu meraih gelas yang paling bersih di atas meja dan meneteskan bubuk itu sedikit demi sedikit.

Seringai jahat sang pria tua terkembang.

Mmmmh… mmhhhh… mmmmhhh…! Membayangkan lenguhan dan geliat tubuhmu saja sudah membuatku tak tahan, Shinta sayangku, aku berjanji akan memuaskanmu. Heheheh. Suamimu yang bodoh itu tidak mengetahui apa yang dia miliki sampai-sampai disia-siakan untuk si lonte Intan. Hehehe. Mmmmmmhh! Mmmmmmmgggghhhhh!

Pria tua itu lantas mengambil gelas dan menggunakannya untuk menadahi cairan kental yang keluar dari ujung gundul kemaluannya yang hitam dan berurat. Matanya merem melek dan gelasnya tergoyang. Akhirnya semua pejuh yang dikeluarkan masuk ke dalam gelas. Pak Hasbi bahkan sempat mengoles-oleskan ujung kontolnya di pinggiran gelas agar semua cairannya masuk. Setelah benar-benar ia habiskan di dalam gelas, Pak Hasbi mengenakan celana dan sarungnya kembali.

Setelah itu sang pria tua membuka satu sachet STMJ dan menuangkan air hangat sembari mengaduknya. Mendengar suara gelas diaduk, Shinta pun terkejut dan buru-buru menghampiri Pak Hasbi.

“Lho? Kok bikin lagi? Apa yang saya bikinin tadi kurang enak, Pak?”

“Bukan begitu, Mbak. Ini khusus saya buatkan untuk Mbak Shinta. Mumpung airnya hangat tidak panas,” Pak Hasbi tersenyum lembut pada sang bidadari.

Yaela, apaan sih Pak sampai dibikinin segala. Tidak perlu juga sebegininya. Saya malah kasihan sama Pak Hasbi yang repot ini itu dan bersedia membantu, jadi jangan malah saya yang disuguhin apa-apa ya, Pak?”

“Tapi ini sudah saya buatkan…” Pak Hasbi memasang wajah memelas, ia menunduk sembari memegang gelas dengan tangan kurusnya yang bergetar. Mirip seorang pengemis yang memohon recehan.

Shinta pun iba.

“Ya sudah saya minum.”

Gelas itu berpindah tangan. Pak Hasbi menyeringai saat gelas itu mulai mendekat ke bibir seksi sang bidadari. Ketika pinggiran gelas mencapai bibirnya, kemaluan Pak Hasbi serasa mau meledak. Belum juga beberapa menit yang lalu ia oleskan ujung gundul kemaluannya di gelas itu, sekarang ada wanita jelita yang menempelkan bibir indahnya di tempat yang sama.

Apalagi ketika ia tahu apa yang sudah ia campur di dalam minuman hangat itu. Bubuk perangsang dan cairan pejuhnya.

Shinta mengernyitkan dahi saat menenggak minuman hangat itu. Rasanya sih STMJ, padat aroma jahe. Tapi apa yah yang seperti kenyal-kenyal yang ia rasakan? Masa iya minuman begini pakai cincau?

Shinta yang merasa aneh hendak meletakkan gelas itu.

“Kok tidak dihabisin, Mbak?”

Pertanyaan Pak Hasbi membuat Shinta meneguk ludah, “Emm… saya tidak haus, Pak. Saya lebih baik menyelesaikan masakan dan…”

“Kalau tidak dihabiskan nanti dibuang. Sayang sekali, padahal saya repot membuatnya dengan tenaga saya yang tersisa ini.”

“Ya sudah…” Shinta tahu dia terpaksa menghabiskan minuman aneh itu. Ia pun kembali meminumnya di bawah pengawasan tajam sang pria tua yang menyeringai, sedikit membuat Shinta jengah, “Apa sih, Pak? Kok ngelihatinnya begitu banget?”

“Tidak apa-apa. Mbak Shinta itu lho, saking cantiknya, minum STMJ aja terlihat sangat mempesona.”

Halah, apaan sih, Pak. Tubuh saya pendek, badannya kurus, tidak ada cantik-cantiknya,” Shinta meletakkan gelas itu di meja, “Ini ya sudah habis. Saya kembali ke dapur lagi. Daripada gosong.”

“Iya, Mbak.”

Siapa bilang kamu tidak ada cantik-cantiknya? Kamu ayu menawan dan mempesona, Shinta. Wajahmu cantik, tubuhmu indah, pantatmu bulat menggiurkan, dan buah dadamu kenyal mempesona. Lagipula, tahukah kamu? Kamu baru saja menenggak habis air maniku ke dalam tenggorokanmu. Tubuh indahmu sudah mulai berkenalan dengan pejuhku. Hahahaha. Tidak sia-sia tadi ngocok cepet-cepet.

Batin Pak Hasbi bergejolak sebagaimana penisnya yang seakan-akan tak betah dikurung di dalam, ingin segera memberontak keluar dan menerobos liang cinta sang ibu muda yang mungil dan jelita yang sedang memasak di dapurnya.

Ternyata beberapa saat kemudian, Shinta sudah menghidangkan masakan di meja makan Pak Hasbi. Dengan wajah puas dan senang, Shinta meletakkan satu demi satu lauk pauk yang ia kerjakan di depan wajah Pak Hasbi yang melongo.

“I-ini sih pesta. Banyak banget, Mbak Shinta!”

“Hihihi, hitung-hitung saya belajar masak juga nih, Pak. Mudah-mudahan berkenan dengan masakan saya yang rasanya hanya biasa-biasa saja begini,” Shinta berkacak pinggang di hadapan Pak Hasbi – harus diakui kalau dia puas dan bangga dengan hasil masakannya malam ini.

“Lu-luar biasa,” Pak Hasbi terbata-bata.

Dengan hati girang, Shinta menyiapkan piring, nasi, sayur, dan lauknya untuk Pak Hasbi. Tak lupa ia juga menambah minuman Pak Hasbi di atas meja.

“Silakan dinikmati ya, Pak. Mudah-mudahan enak.”

“Pa-pasti enak! Yang masak saja seorang bidadari, berdiam saja cantiknya sudah luar biasa, apalagi masakannya! Harum mewangi! Saya suka sekali.”

“Hihihi, syukurlah. Kalau begitu saya… mmhhh…” Shinta memegang kepalanya. Ia memejamkan mata dan memegang bagian atas kepalanya, “Kenapa kok tiba-tiba sakit sekali ya? Mmmhh…”

Suara lenguhan Shinta bagaikan musik nan merdu di telinga sang pria tua. Inilah saat yang ia tunggu-tunggu sejak tadi, sepertinya buah sudah bisa dipanen setelah tadi diberikan pupuk.

“Kenapa, Mbak? Pusing?”

“I-iya, Pak.” Shinta merasa aneh sekali. Kepalanya nyut-nyutan dan terus berputar, tubuhnya terasa hangat dan panas, seakan-akan ingin rasanya membuka seluruh pakaian dan telanjang untuk merasakan hawa dingin yang berhembus dari luar langsung di tubuhnya, ingin rasanya mandi air dingin yang menyejukkan. Panas sekali, gerah sekali, terutama di… selangkangannya.

Pak Hasbi berdiri dan dengan tertatih menggandeng Shinta yang pasrah untuk duduk.

“Duduklah dahulu, Mbak Shinta. Sepertinya kamu sedang kelelahan.”

“Mmmhh… padahal tadi aku segar sekali. Kenapa tiba-tiba bisa seperti ini ya? Apakah darah rendahku kumat? Eemmhhh… ma-mana ponselku? Aku harus menghubungi Mas Ardian… Arga… mana Arga…?”

“Ssst… tenanglah, tenang, duduk dengan tenang. Jangan panik. Mbak kan ada di rumah saya, saya pastikan Mbak Shinta baik-baik saja, duduklah dengan tenang.” Pak Hasbi mendudukkan Shinta di sebuah kursi plastik sementara ia berdiri di belakang sang ibu muda nan jelita dan bertubuh indah itu.

“Mmmhhhh…” Shinta sudah tidak dapat lagi menahan diri, ia melepaskan kerudungnya, dan meletakkannya di samping dengan terengah-engah. Shinta ternyata mengenakan pakaian yang bagian pundaknya terbuka, memperlihatkan bahu putih mulus tanpa cela miliknya. Mulut sang ibu muda itu dibuka agar udara juga bisa keluar melalui akses mulut. Shinta terus saja bertanya-tanya,“Kenapa ini… kenapa ini… hhhhmm… mmmhh…”

Berulang kali Shinta melenguh sembari membasuh keringat dinginnya. Ia tak habis pikir apa yang terjadi pada dirinya yang tiba-tiba menjadi lemas dan berasa aneh. Saat itulah ia merasakan dua tangan di pundak mulusnya.

“Mmmhh…” Shinta justru melenguh saat kedua tangan itu mendarat, menekan, dan memijat, “A-aku tidak…”

Ibu muda itu merasa ada sesuatu yang aneh saat kedua tangan laki-laki tua kurus pemilik rumah ini menyentuh langsung kulitnya. Shinta pun membenahi rambutnya, merapikannya. Napasnya makin satu dua, selangkangannya kian panas dan berharap.

“Bagaimana, enak, Mbak?”

Shinta tersadar, “P-Pak Hasbi! Ja-jangan… terima kasih tapi…”

“Ssst… saya melihat pundak Mbak Shinta sepertinya tegang dan kaku. Pasti ini karena kelelahan bekerja dan menggendong Arga seharian. Coba saya pegang sebentar saja. Sehar-hari saya bekerja menggulung dan melebarkan adonan martabak, untuk memijat Mbak Shinta saya sudah ahli.”

“Ja-jangan, Pak. Tidak perlu saya… saya… ja… aaahhh!”

Shinta menjerit lirih saat jari jemari kencang itu kembali mendarat di pundaknya, menyentuh, dan menekan-nekan dengan ringan. Seluruh tubuh Shinta bagaikan dialiri listrik yang terus mengalir di seluruh tubuh. Berulang kali tubuh Shinta melejit-lejit saat Pak Hasbi menyentuh bagian tertentu.

“Benar dugaan saya, Mbak. Sepertinya ini memang karena kelelahan,” ucap Pak Hasbi sembari memijit pundak putih sang bidadari, ia meringis berusaha menahan air liurnya agar tidak menetes, bagaimana tidak – hal yang paling ia idam-idamkan terpampang dengan begitu saja di depan matanya, “mulus banget pundak kamu, Mbak Shinta.”

“Ehmmm…” desah Shinta keenakan, ibu muda itu memejamkan mata.

Shinta bisa merasakan jari jemari Pak Hasbi menekan perlahan tapi tegas, berusaha melunakkan uratnya yang mengencang. Pijatannya sungguh terasa bagaikan kenikmatan surgawi di muka bumi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dalam hidup. Bukan karena dia tidak pernah dipijat, tapi karena jari-jemari ajaib Pak Hasbi bagaikan pianis yang tengah memainkan simponi indah yang membuat hatinya yang sedang kalut menjadi sendu.

“Tubuh kamu indah, Mbak Shinta. Kulitmu putih mulus, wajahmu cantik, ayu banget,” bisik Pak Hasbi perlahan, “ijinkan saya membantu membenahi yang pegal-pegal begini. Kalau tidak diluruskan, bisa jadi berkepanjangan.”

Wajah Shinta pun memerah, “Mu-mungkin karena setiap hari menggendong Arga. A-anak itu beratnya makin hari makin… ehmmm…”

“Sst… jangan bicara terlalu banyak dahulu. Mbak Shinta rasakan saja dulu pijatan saya di pundak. Kalau sakit baru bilang. Ini kencang sekali, urat-uratnya semua menegang,” bisik Pak Hasbi di dekat telinga sang ibu muda. Shinta menggerai rambutnya yang indah di satu sisi, membuat Pak Hasbi bisa menikmati sisi indah kepala sang ibu muda – betapa cantik sisi wajahnya dan betapa mulus leher indah wanita jelita itu.

Shinta yang gugup lantas mengangguk. Ibu muda itu tidak sadar dia sudah mulai terbuai ke dalam dunia yang sama sekali tidak dia pahami. Dia bahkan membiarkan tangan sang pembuat martabak mini yang kurus itu menjamah tubuh mulusnya dengan bebas. Gabungan antara rasa kesal terhadap suami, rasa geram terhadap Intan, rasa simpati sekaligus jijik pada Pak Hasbi, dan rasa lelah yang bertubi membuat sang ibu muda itu lengah.

Dia membiarkan seorang laki-laki yang bukan suaminya untuk melihat wajahnya tanpa kerudung dan pundak mulus yang selalu ia sembunyikan secara terang-terangan.

Shinta bahkan tidak sadar ketika baju di pundaknya perlahan-lahan mulai melorot karena didorong halus oleh jari-jemari kerempeng keriput dengan kuku menghitam yang tengah memijat. Bahu Shinta kini benar-benar telah terekspos, tak lagi tertutup oleh kain apapun, memperlihatkan bahu nan indah dengan kulit putih halus mulus bak pualam dengan sepasang tulang selangka yang manis dengan lekukan di pertemuannya. Ada kontradiksi di sana, pertemuan warna yang menarik, bagaikan papan catur.

Kini posisi Pak Hasbi bahkan sudah tidak lagi jauh di belakang Shinta. Dia sudah sangat dekat hampir memeluk tubuh sang ibu muda, kepala Pak Hasbi tak jauh dari pundak Shinta dan hampir menempel di telinga wanita bertubuh mungil tersebut.

“Apakah pijatan saya enak, Mbak?”

“Emmmhhh… he’em, enak…”

“Pernah merasakan yang seperti ini sebelumnya?”

“Mmmh… belum pernah…”

“Enak banget ya?”

“He’em… enak banget… emmmhh… tidak menyangka.”

Tubuh Shinta bergetar setiap kali Pak Hasbi berbisik di telinganya, bagaikan hembusan angin yang menyapa kulitnya. Begitupun tiap sentuhan jemari Pak Hasbi di tubuh mulus sang ibu muda, membuatnya menggelinjang bukan kepalang. Bagaikan terhipnotis, Shinta sama sekali tidak protes maupun melawan, padahal sesujurnya ia masih ada rasa sungkan dengan sang pria tua yang cabul ini.

“Kalau saya telusuri, urat-utranya kencang sampai ke dada. Bagaimana, Bu?” bisik Pak Hasbi mendorong jalur urat di tubuh Shinta mulai dari belikat, bahu, selangka, hingga ke atas dada, tiap dorongan disertai dengan hembusan napas yang cukup kencang. Tangan yang tadinya memijat dengan enak itu berhenti tepat di atas dada Shinta. Pijatan itu berubah menjadi elusan.

“Mmmmmhhh…” jari-jemari Pak Hasbi membuat tubuh Shinta melejit ke belakang.

Untung tubuhnya yang mungil ditahan oleh Pak Hasbi agar tidak terjerembab, tapi itu membuat seakan-akan Shinta menggelinjang di pelukan sang pria tua. Shinta yang merasa enak sekaligus kesakitan sampai tidak tahu harus bagaimana. Tanpa sadar ia merebahkan kepalanya di pundak Pak Hasbi sembari mengatur napas yang terengah-engah, desah suara terdengar dari bibir sang perempuan berwajah molek itu.

“Ha… harus bagaimana, Pak? Tu-tubuh saya entah kenapa jadi seperti ini…”

“Seperti ini bagaimana, Mbak?” Pak Hasbi menyeringai.

“Mmhhh… saya tidak tahu, Pak. Saya tidak tahu… saya harus bagaimana ini…”

“Sst… Mbak Shinta tidak perlu khawatir. Tenang saja. Saya sudah biasa melakukan ini. Selain berjualan martabak, saya juga sering memijat orang. Yang penting kan Mbak Shinta merasa lebih enak dan punggungnya tidak lagi terasa nyeri.”

“Mmmh…” Shinta mengangguk dan melenguh. Jari jemari Pak Hasbi menari di pundaknya yang kencang dan terasa amat pegal.

Mereka sebenarnya tidak bertatapan karena Shinta berada di depan Pak Hasbi dan memunggungi pria tua itu. Tapi kedekatan keduanya kini tak berjarak karena di punggung Shinta kini sudah menempel dada sang pria tua itu tanpa disadarinya. Bahkan pipi Pak Hasbi dengan bebasnya menempel di pipi sang bidadari tanpa ada sedikitpun protes. Shinta ibarat terkena sihir, dia tidak melawan sama sekali, bahkan tidak berusaha melepaskan diri dari situasi yang sebenarnya tidak wajar itu. Dia hanya merasakan rasa nyaman super ekstra yang disebabkan oleh sentuhan jemari magis nan memabukkan.

Apa yang dirasakan sang bidadari mungkin bisa disebut sebagai gabungan dari kenaifan dan rasa nyaman yang dibangun oleh Pak Hasbi, serta kelicikannya dalam membentuk karakter yang simpatik dan tidak menimbulkan kecurigaan pada Shinta yang sebelumnya merasa jijik. Dengan kalimat-kalimat yang diucapkannya Pak Hasbi menenggelamkan Shinta ke dalam suasana yang terbangun, ditambah tentunya dengan sedikit ramuan ajaib.

Pak Hasbi meneguk ludah.

Pundak Shinta yang terbuka menampilkan keindahan bahu sang bidadari mungil. Sesuatu yang membuat jakun sang pria tua naik turun karena nafsunya kian menghentak-hentak. Kedua tangan Pak Hasbi pun beraksi dengan halus, berawal dari memijat pundak, lama kelamaan ia bisa mengelus-elus bagian atas balon kenyal buah dada Shinta. Dari atas, jari-jemari tua Pak Hasbi menekan dan mengelus tulang selangka Shinta, lalu ke tengah, ke lekukan indah di bawah leher, lalu menyebar ke kanan dan kiri. Kedua tangan kurus dan berminyak itu mengelus-elus bagian atas gumpalan kenyal yang membuat tubuh sang bidadari menggelinjang.

“Hhhh… oooohmmm… aaahhh… ahhh… Paaak… sudaaah, Paaaak. Akuuu tidak tahan lagi… aaaahh…”

Shinta mendesah dan mendengus-dengus. Ia sudah tak lagi sadar mana yang kenikmatan karena dipijat dan mana yang menjadikannya hamba nafsu. Otaknya tak berfungsi sempurna sementara tubuhnya menerima kenyamanan yang diberikan oleh sang pria tua. Kenyamanan yang selama ini tidak dilaksanakan sang suami.

Batin Shinta mulai bergejolak.

A-apa yang aku lakukan ini? Tidak… tidak bisa…! Tidak boleh! Aku sudah menikah dengan Ardian. Aku mencintai suamiku. Aku tidak boleh melakukan ini dengan lelaki lain, terlebih kalau orang itu si cabul Hasbi ini…! Jangan…! Aku tidak mau… apa yang aku lakukan ini jelas-jelas salah! Aku tidak boleh kalah oleh tipu daya si tua cabul ini. Aku tidak boleh kalah oleh… oleh… oleh… oleh apa!? Pak Hasbi kan tidak bersalah!? Dia tidak melakukan apa-apa! Kalaupun dia menjadi cabul, itu hanya dalam akal pikiran saja. Semua prasangka itu hanya ada di pikirannya saja.

Tangan-tangan nakal Pak Hasbi mulai menjelajah bagian atas dada Shinta yang kian terbuka. Ibu muda itu sudah benar-benar kehilangan akal karena enaknya pijatan sang pria tua. Shinta tidak menyadari asap dari aromatherapy yang dibakar secara diam-diam oleh Pak Hasbi juga berpengaruh pada psikisnya, membuat ia tenggelam dalam kenikmatan yang tak pantas.

“Akuuu… tidak kuat, Paaak.. aku tidak bisaaaa… tidak maaau… ohhh… enak banget…”

“Tidak kuat kenapa, Mbak?”

“Emmmmhhh…”

Pak Hasbi menyeringai, tangannya menarik tangan Shinta, lalu meletakkan telapak tangan ibu muda itu di selangkangannya, membiarkan jari jemari lembut sang bidadari mungil itu merasakan kencang dan tegangnya batang kejantanannya yang mulai membesar perlahan. Sesuatu yang mengagumkan dan selalu mendapat pujian dari lawan jenis.

Shinta terkejut saat tangannya mulai menyentuh sesuatu.

Haaaaah!? I-ini… ini punya Pak Hasbi!? Kenapa bisa besar sekali? Tidak mungkin! Ini bukan punya manusia! Ini besar sekali! Bahkan punya Ardian pun tidak sebesar ini! Ke-kenapa orang semenjijikkan Pak Hasbi punya sesuatu yang demikian besar dan panjang dan… dan…

Shinta tenggelam dalam khayal. Batinnya bergejolak. “Paaaak… mmmh… jangaaan…”

“Kenapa, Mbak? Apanya yang jangan?” suara parau Pak Hasbi terdengar hingga ke sanubari Shinta. Bisikan lelaki tua itu begitu dekat karena bibir Pak Hasbi menempel di pipi Shinta. Dengan berani Pak Hasbi mulai mengecup dan mencium pipi mulus Shinta berulang-ulang kali. Saat ini sekali lagi Pak Hasbi menempelkan bibirnya di pipi Shinta, lalu menggesernya. Ke atas, ke bawah, ke samping. Ia mengoles-oleskan lidahnya di pipi sang ibu muda.

“Jangaaaaan, mmmmhhh… ke-kenapa be-besar sekali…”

“Apanya yang besar? Mau merasakannya, Mbak? Boleh banget kok. Mau ya? Aku buka sekarang ya?”

“Mmmmhhh… tidak mauuu… tidak bisa…” Shinta menolak dan mencoba meronta, melepaskan diri dari pelukan Pak Hasbi. Meskipun kondisinya seperti orang mabuk, tapi Shinta masih berusaha lepas.

Sayangnya sang lelaki tua itu sudah mengunci posisinya. Shinta tidak bisa kemana-mana. Ibu muda yang tengah dibuat teler itu hanya bisa pasrah dengan nasibnya selanjutnya. Ia kembali dipeluk oleh Pak Hasbi, tapi kali ini dari depan.

“Tubuhmu indah sekali, sayang…”

“Mmmhhh… jangan… jangan… jangan… aku tidak mau… mmmhh…”

Terdengar suara tangisan. Makin lama makin kencang.

Shinta yang sejak tadi tenggelam dan dimabukkan oleh jebakan suasana erotis langsung tersadar saat mendengar suara tangisan itu. Matanya terbuka lebar dan ia pun terbelalak.

Tangisan itu! Itu Arga!! Ia menatap ke depan dan melihat ia tengah memeluk Pak Hasbi yang menyeringai menjijikkan ke arahnya. A-astaga! Apa yang sudah ia lakukan!?

Shinta buru-buru melepaskan diri dari tangan-tangan jahil Pak Hasbi, ia mendorong tubuh si tua itu sampai terjatuh!

Shinta tak peduli lagi dengan apapun. imembenahi pakaiannya yang sudah hampir terbuka sampai ke dada, dan mengambil kerudungnya yang tadi ia lepas. Shinta tak menatap Pak Hasbi sekalipun, ia langsung meloncat dan melejit untuk mencari Arga.

“Mbak… Mbak Shinta?” Pak Hasbi kebingungan, ia mencari-cari tongkatnya untuk berdiri dan mengejar Shinta.

Shinta yang sudah menemukan Arga langsung mengenakan kerudung dengan seadanya, dan berlari ke arah pintu keluar sembari menggendong putranya. Ia meninggalkan rumah Pak Hasbi tanpa pamit panjang lebar. Ia harus pergi dari rumah terkutuk ini.

Sialan! Apa yang terjadi kepadanya? Kenapa ia bisa dilecehkan oleh si bangsat tua itu? Sialan sialan sialan sialaaaaan!

Shinta membuka pintu rumah Pak Hasbi dan keluar dengan terburu-buru. Ia bahkan tak menutup pintu rumah saking kesalnya. Langkah kaki cepat dan napas yang memburu mengiringi kepergian Shinta. Ia tak sempat melihat Pak Hasbi yang saat ini bersandar di pintu sembari melihat kepergian sang ibu muda jelita itu dengan senyum menyeringai nan lebar.

Shinta yang tengah berlari terus saja bersungut-sungut dan memarahi dirinya sendiri dalam hati sembari menggendong Arga.

Apa yang kamu lakukan!? Apa yang kamu pikirkan sewaktu membiarkan Pak Hasbi melakukan itu semua!? Sudah sinting kamu!!? Bodoh bodoh bodoh!! Bodoh sekali kamu Shinta!! Kalau sampai nanti tersebar berita, itu bukan gara-gara Pak Hasbi. Itu gara-gara kebodohanmu sendiri! Bodoh kamu!

Berulang kali Shinta memaki dirinya sendiri saat berjalan pulang dengan cepat, ia merasa kotor dan ingin mandi secepatnya, membersihkan diri dari kotoran, dari sentuhan sang pria tua. Sang putra sudah menggelinjang tak nyaman, mungkin juga merasakan rasa gelisah dari sang bunda.

“Tenang, Nak. Kita pulang sekarang. Maafkan Mama ya. Mama sudah bodoh sekali tadi. Untung ada kamu mengingatkan apa yang Mama lakukan. Kamu penyelamat Mama…” bisik Shinta pada Arga, “Kamu penyelamat Mama, Nak. Anak pintar. Kamu anak yang pintar sedangkan Mama bodoh sekali… Mama…”

Bisikan Shinta terhenti sesaat. Ia mematung di tempat. Saat itu ia berada di dekat warung sayurnya Bi Jum, tempat yang tepat berada di tengah-tengah pertemuan antara Desa Bawukan, Kampung Growol, dan Cluster Kembang Arum.

Shinta mematung karena ia melihat mobil sang suami melintas.

Ia melihat mobil Ardian melintas dari jalan utama, melalui Dusun Bawukan, tapi tidak belok ke rumah, melainkan lurus ke Kampung Growol. Sudah jelas sekali apa yang dilakukannya. Dia pasti sedang mengantarkan Intan pulang ke rumah.

Lama-lama kok beneran jadi kurang ajar yah itu cewek? Darah Shinta mendidih. Apakah sudah waktunya mereka bicara empat mata? Sebelum pelakor sialan itu membuat ulah, Shinta akan menghentikannya!

Shinta harus menelpon suaminya dan…

Shinta merogoh ke kantong, ke sana, ke sini, kemari, dan kemana pun ia bisa mencari. Tidak ketemu. Tidak ada. Perasaan tadi dia bawa dan…

Celaka!

Ponsel Shinta tertinggal di dapur Pak Hasbi!

Di saat yang bersamaan, Pak Hasbi menyaksikan dari kejauhan apa yang terjadi pada Shinta di dekat warung bu Jum. Pria tua itu terkekeh-kekeh. Nah, bagaimana sekarang? Sudah jelas Ardian membawa Intan di dalam mobilnya. Hal itu pasti akan membuat Shinta sakit hati dan cemburu hebat. Dari kejauhan pun terlihat ibu muda itu meluapkan emosinya.

Bagus. Ini bagus sekali.

Dengan begini Pak Hasbi tidak perlu terburu-buru. Shinta pasti akan datang untuk mengambil telepon genggamnya.

Pria tua itu melangkah dengan jumawa kembali ke rumahnya. Sampai di rumah, ia membuka ponsel Shinta yang tidak terkunci, membuka galeri, dan tertawa-tawa senang sembari menikmati ribuan gambar sang ibu muda itu dalam berbagai pose selfie cantik. Ia mengeluarkan kemaluannya dan mulai menikmati gambar-gambar Shinta sembari bermasturbasi.

“Kutunggu kedatanganmu, bidadariku… heheh.”





.::..::..::..::.





Ancaman Pak RT Sukirman memang mengerikan dan Amy tidak bisa mengelak lebih jauh lagi. Dia telah melakukan kecerobohan yang fatal yang bisa membuat kehidupannya kacau. Ini tidak bisa dihindari dan harus dihadapi, apapun konsekuensinya.

Hancurnya kehidupannya, atau hancurnya rumah tangganya bersama Mas Ge? Pilihan ada di tangan Amy, dan dia sudah mengambil keputusan. Keputusan yang sangat berat dan tak mudah. Dengan berat hati Amy harus melakukannya.

Ia duduk dengan kaku dan takut-takut menghadapi apa yang akan terjadi. Sesekali Amy memejamkan mata, meski di saat-saat lain ia membukanya – Amy tak ingin terkejut dan berusaha tegar menghadapi ancaman.

Ia bisa merasakan kapan Pak Man mulai mendekat, tubuh sang pria tua itu terasa begitu dekat dan semakin dekat. Pak RT mulai mendekati Amy, dengus napasnya tidak hanya terdengar tapi juga terasa.

Hidup Amy bagaikan dalam penjara yang tak bisa ia tembus. Ia melakukan kesalahan yang tak bisa ia perbaiki. Atau sebenarnya… masih bisa?

Pak RT terkekeh menjijikkan, ia tahu wanita berparas indah bak bidadari itu tengah kebingungan. Kalau ia terlalu lambat, Amy akan mengambil keputusan yang tidak ia inginkan. Ia harus cepat dan menekan dengan pressure yang lebih tinggi. Ia mendekat ke arah Amy, lalu merangkulnya. Tanpa peduli tubuh bidadari itu bergetar ketakutan, Pak RT pun mengecup pipi mulus sang bidadari.

Cpph.

Pipi Amy akhirnya tersentuh bibir pak Sukirman. Pipi mulus halus lembut dan terawat yang hanya pernah dikecup oleh orang-orang yang dekat dan disayangi oleh Amy itu kini dicium dengan nyamannya oleh Pak RT yang beringas, bernafsu, dan cabul.

Amy mimbik-mimbik hendak menangis, tubuhnya bergetar dengan hebatnya. Siapa yang menyangka hari ini dia harus menerima dilecehkan seperti ini oleh seorang laki-laki tua buruk rupa dan mesum? Dia tidak mau! Dia tidak ingin ini terjadi! Dia tidak menyukainya! Bukan ini yang ingin dia lakukan!

Tapi bisa apa Amy menolaknya? Apa yang harus dilakukannya?

Pak RT sendiri bersikap hati-hati, dia tidak lantas gegabah buru-buru menyerang sang bidadari. Meski sudah melakukan kecupan cepat di pipi untuk menekan mental Amy, dia tidak ingin ibu muda itu lantas lepas dari jeratannya. Sukirman adalah hakim, juri, dan eksekutor. Dia adalah dewa sekaligus raja di tempat ini. Dia adalah sang predator, sang penjebak, core of the core, dan ibu Amira Nursyifah yang cantiknya kelas khayangan ini adalah mangsanya yang paling ia inginkan seumur hidup. Wanita semenawan Amy harus bisa ia tundukkan.

Tapi dengan satu syarat, Amy harus bersedia ditaklukkan.

Oh ya, Sukirman ingin menaklukkan Amy, tapi dengan caranya sendiri, dalam temponya sendiri, dalam universe-nya, dalam metaverse-nya. Tidak perlu terburu-buru untuk melakukan apapun. Kesabaran adalah koentji. Wanita seindah Amy butuh tarik ulur supaya tidak gegabah dan tak lepas.

Mari test ombak dulu, mari kita coba cara pertama dari Plan A, apa yang akan dilakukan sang target jika Pak Sukirman sudah melakukan hal yang ia benci? Apakah marah atau malah mau? Apakah dia akan mengutuk Pak RT selamanya?

Pak RT lantas berbisik ke telinga sang ibu muda, “Sekarang lepaskan behamu…”

Tentu saja Amy terkejut.

A-apa!?

Tidak. Jelas tidak! Dia tidak mau! enak saja! Memangnya dia wanita apaan? Tidak semudah itu! Amy meloncat dari sisi Pak Sukirman.

Dia mulai berpikir jernih, tidak semudah itu dia akan menyerah pada keadaan, tidak semudah itu dia akan menurut pada apapun yang dipaksa oleh si bandot kurang ajar. Amy pun mencoba lepas dari dekapan sang pria tua. Dia harus melawan! Orang-orang seperti Sukirman ini harus dilawan!

Tangan Pak Sukirman berusaha meraih tangan Amy, tapi karena dia memang tidak ingin memaksa sang ibu muda, dengan mudahnya Amy lepas dari cengkramannya.

Amy meraih surat perjanjian yang masih berada di atas meja dan langsung merobek-robeknya tepat di hadapan Pak Man. Dengan galak ia menatap ke arah sang RT yang cabul itu, “Ma-maaf, Pak! Tapi saya sudah menikah! Saya punya keluarga, saya punya anak, saya punya suami! Bapak juga tahu itu! Bapak juga kenal suami saya! Saya tidak akan mau mengkhianati suami saya dengan bersama laki-laki lain! Mo-mohon setidaknya Bapak juga menghormati atau setidaknya bersimpati pada keadaan saya. Saya punya uang – ta-tabungan saya tidak banyak, tapi mudah-mudahan itu lebih dari cukup untuk melupakan masalah yang terjadi saat ini… setidaknya kalau masalah biaya, akan saya coba carikan.”

Sukirman menghela napas dan manggut-manggut, oh begitu.

Rupanya dia menolak menyerah begitu saja pada semua permintaannya bahkan menyobek surat perjanjian itu. Bagus. Justru sangat bagus, dengan begini kan ada tantangannya. Mana demen Sukirman dengan cewek-cewek yang dengan sekali paksa bisa mudah buka paha. Gak ada seru-serunya lah. Yang begini ini justru yang membuatnya jadi bersemangat.

Tahu kondisi sang korban, Sukirman hanya menyeringai. “Siapa bilang aku butuh duit? Ehehehehe, bodo amat dengan segala tabungan njenengan, Mbak Cantik. Lupakah njenengan dengan perjanjian kita tadi? Yakin akan melawan saya? Serius ini? Hooh tenan? Njenengan bener-bener kepengen fotonya dikirim ke banyak orang? Yakin seyakin-yakinnya ini? Berani melawan saya?”

Amy berusaha menahan tangis dan menekan kekhawatirannya, wajahnya memerah dipenuh amarah, bagaimana jika ancaman itu benar-benar dilaksanakan si tua bangka brengsek ini?

“Apakah itu yang Bapak inginkan? Apakah Bapak benar-benar ingin mempermalukan saya? Bisa-bisanya orang terhormat seperti Bapak melakukan hal yang sedemikian hina dan nistanya. Saya tidak pernah berbuat salah ke Bapak, saya selalu menghormati Bapak sebagai pimpinan dan sesepuh di tempat ini… tapi seperti inikah ternyata keasliannya! Ada sifat busuk di balik wajah sok baik yang Bapak tunjukkan ke semua orang! Menjijikkan! Kalau memang Bapak mau melakukan itu, silakan saja! Saya tidak takut! Saya akan membalas dengan melaporkan Bapak ke pihak berwajib! Saya sudah tidak peduli lagi!”

“Kekekekeke. Wahahahha,” Sukirman tertawa terbahak-bahak.

Amy jadi semakin kebingungan. Kenapa lagi orang ini? Kenapa tertawa, kenapa tidak takut? Apakah dia telah merencanakan sesuatu yang busuk? Amy sudah merobek perjanjian mereka yang itu berarti perjanjian hitam di atas putih telah batal. Amy tahu nasibnya sedang di ujung tanduk saat ini. Apa yang akan dilakukan Sukirman? Akankah dia melaksanakan ancamannya?

“Heheheheh. Coba pikir ulang. Mbak Cantik pikir melaporkan ke polisi akan membuat Mbak Cantik aman? Yakin?”

“Aku yakin sekali! Ancaman busukmu tidak membuatku gentar! Pergi dari sini!”

“Tut tut. Lha kok malah balik ngancem!? Gimana toh? Bukankah Mbak Cantik yang pertama kali mengirimkan gambar ke saya? Alibi saya kuat lho ini, ada bukti percakapan yang sudah saya screenshot. Bukankah ini yang namanya menghancurkan diri sendiri? Dari bukti chat saja sudah jelas kalau Mbak Cantik yang terang-terangan menggoda saya. Semuanya lengkap dan tak direkayasa. Hooh tenan.” Pak RT berkilah dengan kenyataan yang ada benarnya.

“Ku-kurang ajar! Itu tidak sengaja!!”

“Sengaja atau tidak sengaja tidak akan dipedulikan oleh polisi, jadi semua kerugian akan ditanggung Mbak Cantik sendiri. Sudah paham kan kenapanya?”

Amy terdiam. Dia benci menjadi pihak yang teledor.

Sukirman melanjutkan, “Jadi kalau tetap mau ke pihak yang berwajib ya silakan saja, monggo saja… mau bayar pengacara mahal-mahal? Silakan saja. Tapi jangan anggap saya akan diam, saya jelas akan melawan. Perkara siapa yang memiliki teman pengacara dan polisi yang lebih kuat, kita berdua bisa bandingkan nanti ya. Hehehehe. Mbak Cantik pikir saya takut?”

Tubuh Amy bergetar hebat, ancaman Pak Man membuat sang ibu muda tambah panik.

Ya, ini semua karena kecerobohannya. Jika dia tidak gegabah saat mengirim foto itu, tidak akan ada masalah yang terjadi. Sekarang semuanya terlambat, dia berada dalam kondisi yang amat sangat pelik. Bagai makan buah simalakama, mau melakukan apapun tetap saja salah.

Amy menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Ya Tuhan, harus bagaimana dia sekarang? Harus melakukan apa untuk selamat dari situasi ini? Tidak ada jalan keluar yang bisa melegakan. Tidak ada cahaya terang di ujung kegelapan yang menerpanya secara tiba-tiba.

Air mata mengalir di pipi Amy, dia benar-benar bingung dan kalut. Dia tahu dia akan mengecewakan Mas Ge dan keluarganya jika rahasia di tangan Pak RT tersebar ke umum. Belum lagi keluarganya sendiri, papa dan mamanya, adiknya, dan teman-temannya. Bagaimana kalau mereka semua tahu?

“…dan satu lagi.”

Suara tenang tapi mengancam dari Sukirman membuat batin Amy mencekam. Apalagi yang mau dia sampaikan? Apakah masih kurang dia mengancam Amy dengan segala macam jebakan pemikirannya? Pak RT satu ini memang licik, cabul, dan kurang ajar.

“Sa-saya tidak tahu lagi apa yang bisa saya…”

“Ssh. Diam dulu. Tenang dulu. Suara njenengan bergetar, Mbak Cantik. Kenapa? Bingung? Takut? Tegang? Salah sendiri jadi orang kok plinplan, sudah tandatangan malah dirobek,” Pak RT tersenyum menjijikkan, seringainya membuat Amy ketakutan setengah mati, “Karena tadi sudah menolak permintaan saya untuk membuka pakaian dalam dan juga telah merobek surat perjanjian yang terang-terangan kita sepakati bersama, maka saya anggap Mbak Cantik sudah menolak tawaran baik dari saya untuk menyimpan rahasia kita berdua ini hanya untuk berdua saja. Saya tadi wes baik hati dan tidak sombong, lho. Asli. Beneran. Hooh tenan. Saya wes berbaik-baik sama njenengan, sudah simpati. Lha malah njenengan jan ora sopan.”

“Saya tidak bermaksud seperti itu!” Suara Amy lebih kencang dan keras sekarang. Dia jelas sedang frustasi menghadapi sang ketua RT. “Saya tidak ingin melakukan apa yang Bapak minta! Saya tidak sudi! Saya masih punya harga diri!”

“Lha karep-nya Mbak Cantik itu gimana sih? Maunya apa!? Saya nggak suka lho dipermainkan begini! Saya nggak suka lho, dibentak-bentak kayak debt collector kalah awu. Mau ke polisi? Ha mbok ayo! Boleh!! Kita ke polisi! Asem ik! Dikirain saya ini kelas teri apa? Dikira saya takut? Dikira saya pasrah? Wegah! Tidak mau! Njenengan ngajak dolanan hukum? Wokeh! Saya layani, Mbak! Dikira saya RT bohongan?” Sukirman pura-pura menggerutu dan marah pada Amy.

Ibu muda itu makin ketakutan melihat sikap Pak RT yang biasanya ramah berubah menjadi penuh amarah, “Tu-tunggu Pak. Apa tidak ada yang bisa kita bicarakan? Ini kan masalah kehidupan saya. Foto saya yang jadi penyebabnya. Ini masalah saya, masalah keluarga saya. Bapak tidak akan terganggu jika ada yang tahu mengenai foto itu, tapi kalau saya? Kehidupan saya bisa hancur pak. Tolong saya… sekali ini saya mohon…”

Ha rumangsamu aku peduli po piye? Bodo amat! Saya tidak peduli! Saya pamit! Fotonya akan saya sebar! Terserah! Biar mampus sekalian! Dasar perempuan nggak bener! Main-main sama Pak RT! Enak saja! Dikira amatiran?” Sukirman pura-pura berdiri dan melangkah pergi. Dari sudut matanya ia memperhatikan hati Amy yang kian hancur saat melihat pergerakan sang lawan bicara.

Amy kebingungan, mulutnya terbata-bata tanpa bisa banyak bicara, matanya melirik ke semua arah mencari solusi yang tidak ada ujungnya. Tangannya dibentangkan ke arah manapun, dia stress. Jari jemari sang ibu muda meremas-remas kerudungnya sendiri. Bagaimana? Bisakah ia memutuskan dengan cepat?

Rumah, tanah, pekerjaan, impian, keluarga. Semua yang telah dibangun oleh dirinya dengan Mas Ge, semua akan hancur begitu foto itu menyebar ke semua orang. Bisakah Mas Ge memaafkannya jika foto itu jatuh ke banyak orang?

Ge pernah cemburu buta dan mengamuk hanya gara-gara mendengar kabar kalau Amy pulang dari kampus diantar oleh seorang teman yang bernama Andri. Dia meminta untuk langsung putus saat itu juga. Ge bahkan tidak mau mendengar penjelasan apapun termasuk saat Amy mengajak Andri yang sebenarnya nama seorang cewek.

Ketika Ge merasa bahwa hubungan mereka sudah ternodai, dia akan pergi. Dia posesif terhadap Amy-nya yang cantik dan sempurna. Amy tahu pasti itu. Kalau sampai Mas Ge tahu foto telanjang Amy disebar, dia akan dihajar habis-habisan, setelah itu meninggalkan Amy seorang diri untuk mengurus si kecil Kevin.

Hari ini cukup parah, tidak saja Amy sudah membagikan foto tidak senonohnya, dia juga dikecup oleh Pak Sukirman. Jika Ge sampai tahu…

Aduh gimana ini?

Waktu yang sedemikian singkat tidak memungkinkan bagi Amy untuk berpikir jernih, apalagi saat kalut, takut, dan panik melanda. Jebakan mental Pak Sukirman dengan cerdasnya dibentangkan, bagai jaring laba-laba yang tidak memungkinkan korban yang sudah terjerat untuk bisa lari. Yang sudah terikat kian kencang tanpa ada kemungkinan lari.

“Ba-baiklah.”

Amy menyerah. Ia memejamkan mata menahan diri untuk bisa berucap dengan tegar. Kata-katanya getar, “Baiklah saya bersedia melakukan apa yang…”

Sukirman menyeringai tanpa berhenti berjalan. Dia sengaja melakukannya untuk melihat apa reaksi dari sang ibu muda nan cantik jelita itu. Benar saja, ternyata Amy hancur saat diulur. Dia suka yang seperti ini. Hehehe, salah sendiri plin plan. Akhirnya jadi mainan.

“PAK!” Amy setengah berteriak, tapi sang RT cabul tetap berjalan tanpa niat berhenti. Dia dengan santainya melangkah menuju pintu. Seolah-olah tak menghiraukan apapun yang diucapkan oleh sang ibu muda.

Jantung Amy berdetak makin kencang, setiap langkah Pak Sukirman seolah menjadi paku di hati Amy, setiap hentakan kaki menjadi cengkraman menyakitkan yang makin jauh menyebar ke seluruh tubuh, makin menghancurkan, makin meremukkan.

“PAAAK!” Amy berlari menuju Sukirman dan meraih ujung bajunya, “Paaak! Saya mohon dengarkan saya. Saya… saya mohon untuk tidak menyebarkan foto itu, Pak… saya… keluarga saya… saya tidak akan bisa hidup kalau Mas Ge tahu dan…”

“Apa sih, Mbak? Dari tadi kok begini terus? Awalnya mau, terus menolak, lalu mau, terus tidak. Yang mana yang bener? Saya jadi bingung. Mbak pikir saya tidak mempertaruhkan reputasi saya? Jangan punya pikiran kacau, Mbak! Jangan ngelantur! Begini-begini saya punya reputasi yang harus dijaga! Saya orang terhormat di tempat ini!”

“Saya tidak… saya tidak tahu harus bagaimana…” Amy menangis, “Saya bingung… saya mohon jangan paksa saya untuk… untuk melakukan hal-hal bejat yang… saya punya keluarga, Pak… saya sudah menikah… kenapa Bapak mau menghancurkan keluarga saya? Saya mohon, Pak… saya mohon… kasihani saya, Pak…”

Pak Sukirman menyeringai, “Kenapa saya harus mengasihani njenengan? Njenengan yang ngirim foto mesum ke saya! Begitu saya tanggapi, malah hendak melaporkan saya ke polisi! Siapa yang memaksa siapa? Kurang ajar!”

“Saya tidak sengaja, Pak… saya tidak sengaja… saya mohon…” Amy tidak ingin menyerah begitu saja. Dia harus berusaha sampai Sukirman mau mendengarkan ucapannya.

”Saya membayangkan seandainya saya menyebarkan foto Mbak Cantik ke seluruh penghuni RT kita. Bagaimana jadinya hubungan njenengan dengan para tetangga ke depannya? Ibu-ibu akan menganggap Mbak Cantik sebagai lonte dan Bapak-bapak akan berebut pengen ngewe. Begitu yang Mbak mau? Atau pilih saya sebarkan ke seluruh kontak saya di hape? Begitu saja? lebih banyak orang yang akan tahu. Termasuk Pak Lurah, Pak Camat, dan…”

Amy memejamkan mata. Brengsek! Brengsek! Airmatanya turun tanpa bisa dihentikan. Amy menggeleng, dia harus tetap melawan, “Tu-tunggu dulu, Pak. Kenapa ini tidak bisa dibicarakan? Kenapa Bapak terus memaksa saya? Sudah saya bilang saya punya keluarga yang harus saya jaga martabatnya, apakah sama sekali Bapak tidak memiliki rasa belas kasihan untuk saya? Saya tidak mau melakukan hal yang…”

“Memangnya saya peduli? Haish embuhlah! Kunjungan saya kemari sudah terlalu lama dan tidak ada hasilnya. Saya akan hitung sampai lima, Mbak Cantik. Kalau tidak juga ada perbedaan dan ketersediaan dari Mbak untuk menyelesaikan masalah ini… Mbak sudah tahu apa resikonya!”

“Apa yang… apa yang Bapak inginkan… dari saya…? Saya hanya punya uang dan…”

“Satu.”

“Pak… saya mohon… saya mohon dengan sangat untuk mempertimbangkan…”

“Dua.”

“Pak… saya hanya keluarga… saya hanya punya Kevin dan Mas Ge. Bapa tega menghancurkan keluarga kecil saya hanya gara-gara ketidaksengajaan yang tidak ada artinya? Pak… saya mohon untuk…”

“Tiga.”

“Pak… Pak… saya harus bagaimana? Saya harus…” Amy makin panik. Perempuan jelita yang biasanya tenang dan kalem itu berubah ketika sadar kebahagian hidupnya sedang dalam ancaman.

“Empat.”

Amy buru-buru merogoh ke dalam bajunya melalui sisi bawah, ia bergerak dengan cepat. Kebetulan sekali ia memakai pakaian yang longgar sehingga bisa dengan cepat dan lincah melakukan hal yang sangat ia benci.

Amy melemparkan sesuatu.

“Lima.”

Beha hitam Amy sudah teronggok di kaki Sukirman. Sang bandot tua itu pun menyeringai sementara Amy menangis tersedu-sedu dengan tangan menangkup wajahnya. Rasa takut dan khawatir menjadi satu. Kenapa… kenapa semua ini terjadi kepadanya? Kenapa hari ini dia harus melakukan ini di depan Pak RT yang cabul dan bejat ini?

Pak RT mengangkat beha itu dan mengendus-endus bagian dalam yang lembut, tercium wangi tubuh Amy. Sedikit basah. Mungkin karena keringat. Bukannya bikin jijik, tapi malah membuat Pak RT kian terangsang hebat. Ia mengelus-elus batang kemaluannya yang masih berada di sebalik celana.

“Nah, apa susahnya sih melakukan ini, sayang? Kenapa kita harus melalui prosedur birokrasi yang merepotkan dan melelahkan?” Sukirman menyeringai, “Sudah aku minta dari tadi malah ditolak melulu. Toh ujung-ujungnya njenengan berikan juga, kan? Heheheh.”

“Apa yang Bapak inginkan dari saya? Apakah ada yang bisa saya lakukan?”

“Seperti yang sejak awal saya sampaikan, Mbak Cantik… saya ini penggemar fotografi. Saya akan mengatur sesuatu dan saya harap Mbak Cantik ikut serta dalam acara Fogmi – Fotografi Gunung Mandiri malam ini. Jangan khawatir, saya tidak akan melecehkan Mbak Cantik jika itu yang njenengan khawatirkan.”

Amy mengerutkan kening. Tidak akan melecehkan?

“Yakin tidak ada tindakan ke arah sana?” tanya Amy penuh curiga.

“Yakin sekali. Hooh tenan. Gini lho, saya akan berikan petunjuk. Silakan njenengan panggil Mbah Tri kemari untuk menjaga putra njenengan si Kevin untuk sementara waktu malam ini. Hanya untuk beberapa jam saja. Selama ini njenengan juga mempercayakan Kevin pada beliau kan?”

Amy mengangguk, memang benar. Dia sering memanggil Mbah Tri untuk menjaga rumah sekaligus Kevin. Perempuan tua itu meskipun sudah berumur sangat kuat dan sangat menyayangi buah hati Amy dan Ge, ia pernah bekerja di rumah Amy namun harus berhenti demi merawat cucunya sendiri yang sering ditinggal kerja orangtuanya ketika pagi. Dua hari sekali dia akan datang untuk membantu Amy setrika pakaian dan bersih-bersih rumah. Kevin sangat betah dengan Mbah Tri.

“Kalau si simbah sudah datang, tidak perlu banyak bercerita pada Mbah Tri kemana njenengan akan pergi malam ini. Datanglah ke warung sayur Bi Jum, lalu lewat sampingnya. Di sana kan ada gang kecil? Ikuti saja gang itu, nanti akan ada garasi mobil. Masuk ke garasi mobil itu. Saya dan Pak Barsono sudah akan menunggu njenengan. Heheh.”

Tubuh Amy gemetar. Apa yang akan terjadi malam ini? Dia sangat ketakutan, tapi akhirnya ibu muda itu mengangguk. “Aku bersedia, asal tidak ada pelecehan.”

“Tidak ada.”

“Ba-baiklah.”

Pak RT menyeringai, ia menghunjukkan tangan ke depan, mengelus pipi Amy, dan menghapus air mata yang turun dengan jempolnya, “Cup… cup… kenapa menangis terus? Aku akan merawatmu dengan baik, Dek Amy. Boleh aku panggil dengan sebutan Dek saja? Sepertinya lebih sesuai dengan widodari seperti njenengan.”

Tubuh Amy masih terus gemetar, dia tidak menjawab. ia memejamkan mata, dan mengangguk. Demi apa dia mau dipanggil dengan sebutan mesra oleh orang tua bejat ini.

“Sekarang gantian lah. Panggil namaku…”

“Pa-Pak RT.”

“Nama, bukan jabatan.”

“Pak… Pak Sukirman.”

“Jangan panggil Pak. Mas saja. Aku memang sudah tua, tapi kalau dipanggil Pak jadi terkesan ketuaan. Panggil Mas aja ya? Aku yakin kalau njenengan yang manggil, akan menimbulkan efek awet muda dan paten didengarkan.”

Amy meneguk ludah. Lidahnya kelu. Bagaimana mungkin ia memanggil orang tua bejat ini dengan sebutan Mas? Pertama itu tidak nyaman didengar terkait usia mereka yang cukup jauh, kedua itu tidak nyaman diucapkan baik ketika sendiri apalagi ketika bersama orang lain, ketiga itu terasa memalukan.

Tapi Amy tahu ia terpaksa melakukannya.

“Mas… Mas Sukirman.”

“Naaaah gitu. Tapi kok rasa-rasanya kurang enak ya? Njenengan terdengar kurang pasrah, Dek Amy. Panggil saja… Mas Man. Hanya njenengan yang boleh memanggil saya Mas Man. Gimana? Seneng kan?”

“Ma-Mas Man…”

“Nah gitu. Setelah ini apa yang harus njenengan lakukan, Dek?”

“Saya harus memanggil Mbah Tri untuk menitipkan rumah dan Kevin, lalu pergi ke garasi di belakang warungnya Bi Jum.”

“Seratus. Wes pinter jan, hooh tenan njenengan ini, Dek. Paket lengkap. Pinter, ayu, tur seksi,” Pak Sukirman menyeringai. Ia melangkah menuju pintu dan meninggalkan Amy yang sedang tertunduk sendirian, suara pria tua itu tiba-tiba berubah menjadi lebih tegas dan galak, intonasinya keras, “Gunakan pakaian yang lebih ketat. Jangan pernah pakai beha lagi mulai sekarang, terutama selama terikat pekerjaan bersamaku atau selama aku minta. Gunakan celana yang memperlihatkan kemolekan kakimu, pakai jeans boleh atau celana apapun asal yang ketat. Celana dalam boleh digunakan. Gunakan make-up supaya wajah cantikmu tambah menawan. Tidak perlu menor, pakai make-up seperti biasanya saja.”

Napas Amy kembang kempis mendengar arus perintah dari sang RT, dia berasa seperti seorang budak yang sedang menerima rangkaian perintah dari tuannya.

“Apakah ada pertanyaan?”

Amy menggeleng.

“Selambat-lambatnya dua jam. Kami tunggu di garasi,” Pak RT lenyap di balik pintu.

Amy pun terjatuh ke dalam nelangsa dan seandainya diijinkan dia akan menangis sejadi-jadinya. Dia terjebak dan tak tahu harus bagaimana. Semua gara-gara kecerobohannya. Dia harus mengikuti semua perintah dari sang pria tua bejat yang tak tahu diri itu.

Tapi…

Wajah Amy berubah, dagunya mengeras. Pandangannya menjadi tajam. Apa yang sebelumnya kesedihan berubah menjadi keinginan untuk membalikkan keadaan.

Ia menatap ke arah pintu. Mas Man… Mas Man… dasar bandot tua kurang otak, kamu pikir kamu di atas angin? Enak saja.

Ini bukan akhir dunia bukan? Amy tidak akan menangis seperti orang cengeng. Dia masih bisa melawan. Dia bukan cewek lemah yang bisa ditundukkan semudah itu. Si Bandot tua sialan itu mau menaklukkannya? Tunggu saja! Amy mulai mencari-cari cara untuk mengamankan dan mempertahankan diri seandainya dibutuhkan.

Dia masih punya beberapa semprotan bubuk merica dan juga sudah merancang beberapa rencana lain. Kalau dia berhasil memanfaatkan semua itu, dia akan bisa membalikkan keadaan. Amy jadi teringat kalau Mas Ge pernah memberikan beberapa senjata padanya seandainya dibutuhkan.

Tidak ada momen yang jauh lebih gawat daripada sekarang.

Amy menghapus tangisannya dengan punggung tangan. Ia menatap ke arah pintu dengan dengusan kencang. Pak RT bangsat itu harus diberi pelajaran!

Buru-buru Amy menyusun rencana, semua yang saat itu berlangsung di kepalanya, langsung ia persiapkan. Termasuk apapun yang diminta oleh sang durjana tua, seperti mendatangkan Mbah Tri dan mengenakan pakaian seperti yang dikehendaki oleh sang bajingan. Semua benar-benar diperhitungkan oleh Amy karena tak ingin membuat Pak Sukirman curiga.

Mas Man sayangcuh. Dasar bandot tua cabul menjijikkan. Kamu mau mendapatkanku? Aku berikan diriku, dengan banyak kelebihan yang tak terbayangkan untukmu. Kelebihan yang kamu minta dan tidak kamu minta, bandot tua! Kamu minta perang? Kuberikan perang.

Amy mempersiapkan diri dan semua perlengkapannya dalam dua jam sebelum berangkat. Mbah Tri jelas kebingungan melihat Amy yang biasanya tidak pernah keluar malam kini hendak pergi meninggalkan Kevin dalam pengawasannya.

“Tidak ada apa-apa to, Mbak? Kok saya jadi khawatir lihat Mbak Amy mau jalan malam-malam begini. Ini sudah malam lho, Mbak. Di luar sudah sepi sekali. Paling-paling ada bapak-bapak nongkrong di angkringan atau pos ronda. Mau kemana njenengan, Mbak? Saya takut kalau kenapa-kenapa,” Mbah Tri menyampaikan kekhawatirannya.

Sembari berdiri di luar pintu rumahnya Amy tersenyum dan menggeleng, “Mbotensah khawatir, Mbah. Saya tidak apa-apa, tidak bakal kenapa-kenapa. Tidak perlu khawatir. Ini saya pergi dengan teman kok. Mereka sedang menunggu saya.”

“Begitu nggih…”

“Saya nitip Kevin dan rumah ya, Mbah. Belum tahu jam berapa saya pulang.” Amy mengerutkan tubuh di balik jaket tebalnya. Malam ini sangat dingin.

Nggih, Mbak. Ngatos-atos. Hati-hati di jalan.”

Amy mengangguk dan melambaikan tangan. Ia pun melangkah perlahan menuju gerbang keluar dari cluster Kembang Arum Asri. Dengan sengaja ia menghindar dari tatapan beberapa orang pemuda dan bapak-bapak yang memperhatikannya.

“Lho kok malam-malam, Bu Amy? Mau kemana?”

“Sendirian aja, Mbak Amy? Mau dianter? Kemanapun Mbak Amy pergi, saya siap. Apalagi kalau perginya ke pelaminan apalagi. Hahahah.”

Ayu-ayu kok sendirian aja. Yuk saya bonceng, Mbak. Boleh peluk dari belakang kok. Nempelin dada juga boleh. Hahahaha.”

Tapi Amy hanya diam tanpa menatap para pria yang menegur dan menyapanya, dia tahu tujuan mereka apa. Dasar laki-laki semuanya sama saja.

Amy pun mengencangkan jaket tebalnya supaya tidak terlihat oleh siapapun bahwa ia sama sekali tidak mengenakan beha di sebaliknya – walaupun memang malam ini sangat dingin sehingga ia butuh berlindung di balik jaket. Kecantikan dan keindahan tubuh Amy memang sudah populer di kalangan warga, sehingga tidak sedikit yang menggodanya malam ini. Amy jengah melayani mereka, dia memutuskan untuk melangkah dengan langkah kaki yang cepat.

“Bu Amy mau kemana? Kok sendirian aja?” salah seorang tetangga berjalan mensejajari sang ibu muda. Langkah kakinya disamakan dengan langkah kaki Amy.

Pria tua itu namanya Pak Kasno.

Pak Kasno dan keluarganya tinggal tak jauh dari rumah Amy dan Ge. Entah berapa usianya tapi yang jelas anaknya yang bungsu seumuran dengan Amy. Pak Kasno hobi ribut dengan istrinya sampai pernah harus diselesaikan oleh campur tangan pak Sukirman. Berdasarkan kabar gosip yang beredar di warung sayur Bi Jum, orang tua ini hobinya ‘jajan’ dan gaple di kota, kerjaannya hanya menghabiskan uang yang susah payah dikumpulkan sang istri. Sudah bukan rahasia lagi kalau usaha Pak Kasno bangkrut dan dia lebih sering di rumah ketimbang kerja.

“Saya agak khawatir malam-malam begini kok Bu Amy jalan sendiri, apa tidak sebaiknya ditemani? Setahu saya Pak Ge juga sedang keluar kota kan? Saya siap menemani, Bu Amy.”

Di belakang mereka, terdengar siulan dan teriakan-teriakan bapak-bapak di pos ronda yang sedang berkumpul untuk main domino. Mereka mendukung Pak Kasno yang tengah berusaha memepet Amy. Ibu muda itu semakin tegang. Bagaimana caranya melepaskan diri dari Pak Kasno?

“Ti-tidak perlu, Pak. Terima kasih. Saya sudah ada janji.” Amy mempercepat jalannya, tapi demikian juga Pak Kasno yang tak kenal menyerah.

“Ya sudah, saya kawal sampai bertemu dengan orangnya. Bagaimana? Sudah lama saya ingin ngobrol berdua dengan Bu Amy. Tentang ini lho… acara hajatan di kampung kita besok. Sesuai perintah dari Pak RT, saya menjabat sebagai salah satu panitia.”

Sudah jelas itu alasan yang dibuat-buat.

“Maaf, Pak. Apakah bisa lain kali saja?”

“Mumpung ketemu, Bu. Kapan lagi sih kita bisa ketemu?”

“Waktunya tidak tepat, Pak Kasno.”

“Oh begitu,” Pak Kasno makin nekat, “Eh, omomg-omong kalau dari dekat begini, Bu Amy kok terlihat tambah cantik ya? Maksud saya, biasanya memang Ibu sudah cantik, modis, dan mempesona. Tapi malam ini Ibu jadi terlihat keluar auranya. Lebih menawan begitu. Saya sampai terbengong-bengong melihat pesona kecantikan Bu Amy.”

Edan. Langsung nembak aja ini aki-aki.

Amy hanya tersenyum tanpa menanggapi, dia berusaha berjalan lebih cepat tapi Pak Kasno selalu bisa menyusulnya.

Hawa dingin menyusup masuk ke jaket, membuat puting payudaranya menegak. Tanpa mengenakan beha, sungguh Amy merasa tidak ada nyaman-nyamannya. Dia merasa seluruh mata menatap ke arahnya. Ingin menangis rasanya sang ibu muda itu.

“Atau, bagaimana kalau besok kita ngobrol saja berdua di kafe terdekat? Saya traktir deh. Karena pembicaraan mengenai hajatan kampung kita ini cukup penting dan butuh detail, setidaknya supaya jelas rundown acara yang akan berlangsung dan bisa saya jelaskan dengan lebih terperinci.”

Edan. Tambah ngawur.

Jantung Amy berdegup sangat kencang. Hanya ada satu cara untuk melepaskan Pak Kasno yang mulai mengganggunya ini, “Maaf, Pak. Saya sudah ditunggu oleh Pak RT. Apakah bisa ngobrolnya kapan-kapan saja? Lagipula pembicaraan itu seharusnya dengan suami saya, bukan dengan saya.”

“Pa-Pak RT?” Pak Kasno tertegun.

Mau ngapain Pak RT malam-malam memanggil Bu Amy? Apapun urusannya, Pak Kasno tidak berani menyeberang wilayah Pak RT lebih jauh lagi. Ia berhenti menyamai langkah kaki Amy.

“Ka-kalau begitu saya tidak ingin mengganggu, Bu. Sampaikan salam saya untuk Pak RT, err… atau mungkin nama saya tidak perlu disebutkan juga tidak apa-apa. Untuk keperluan hajatan, akan saya bicarakan dengan tim saya dulu nanti.”

Amy mendengus, siapa juga yang peduli. Pak Kasno diteriakin oleh kawan-kawannya saat dia akhirnya mundur kembali ke pos ronda.

Setelah kepergian Pak Kasno, Amy mempercepat langkahnya. Dia mencoba menghindari kumpulan pemuda atau bapak-bapak yang berkumpul.

Ia melewati beberapa rumah, menyusuri pinggir yang gelap di jalan utama cluster, sampai di gerbang depan, lalu menyeberang ke warung sayur Bi Jum. Seperti yang dibilang Pak RT, di samping warung ada jalan kecil. Amy menyusuri jalan setapak kecil itu untuk akhirnya sampai di sebuah garasi. Ini pertama kalinya Amy datang di tempat ini.

Sebuah garasi yang hanya satu-satunya di tengah kebun kosong, tidak ada orang lain di sana. Hanya garasi itu saja.

Amy bergidik ketakutan saat mendekat ke arah garasi, bukan ke yang tak nampak, tapi lebih ke yang nampak.

Di sana benar-benar sudah ada Pak Sukirman dan Pak Barsono menunggu. Keduanya tersenyum dan saling cekikikan saat melihat kedatangan Amy. Sungguh ibu muda itu merasa terhina sejadi-jadinya, diketawakan oleh kedua orang busuk ini.

“Bagus sekali… bagus sekali…” Pak Man mengedipkan mata pada Pak Barsono, “Bagaimana Masbro? Paten kan yang satu ini?”

Pak Barsono tergelak dan memukul pundak Pak Man dengan bercanda, “Buset yang ini sih jaminan mutu. Spek bidadari ini sih. Dapat yang beginian satu, auto tidak pernah pakai celana di rumah, Pak Bos. Ahahhahaha.”

Amy benci becandaan kedua laki-laki itu.

Pak Man mendekat ke arah Amy dan berbisik perlahan, “Buka jaketmu. Buktikan kamu benar-benar tidak menggunakan beha.”

Hmph.”

Amy membuka jaket dan memalingkan wajahnya. Dia benar-benar benci kepada sang ketua RT yang cabulnya tidak kira-kira itu. Sang ibu muda memejamkan mata saat tangan Pak Man lantas benar-benar memeriksa buah dadanya. Tangan Pak Man menangkup payudara Amy dan meremas-remasnya.

“Heheheh. Beneran sih. Kamu benar-benar tidak pakai beha.” Tangan kurang ajar sang ketua RT nan mesum itu pun tidak membuang kesempatan yang didapat, dengan penuh tenaga, Pak RT meremas dan memilin buah dada Amy sampai-sampai sang bidadari itu mengernyit kesakitan.

Hesssst,” Amy mendesis sembari memejamkan mata, ia masih memalingkan wajah dan tidak ingin melihat ke arah Pak Sukirman sekalipun.

Pak Barsono mendekat, “Tidak pakai ya, Pak?”

Hooh tenan. Benar-benar tidak pakai sesuai instruksi saya. Hehehehe,” Pak Man melirik ke arah Amy yang jijik melihat mereka berdua dan tersenyum girang, “Miringkan kepalamu ke kiri, Dek Amy. Buka lehermu yang mulus dan putih itu.”

Amy menurut. Dia tidak ingin memulai malam ini dengan menambah perkara dengan sang ketua RT. Ia membuka kain kerudung yang menutup leher dan sedikit membukanya, memang tidak penuh memperlihatkan lehernya yang mulus.

Amy memejamkan mata saat Pak Barsono lantas menempelkan bibirnya di leher Amy. Wanita jelita itu hanya bisa melenguh, “Mmmmmhhhh…! Nggghh!!”

Pak Barsono mencium dan menggigit leher sang ibu muda, meninggalkan cupang memerah di sana. Laki-laki tua itu mengedipkan mata pada Pak Man yang masih saja meremas-remas buah dada Amy. Keduanya benar-benar melecehkan sang bidadari malam itu.

Tangan Pak Man ditarik.

Amy terengah-engah. Ia menutup jaketnya kembali dan memandang penuh kebencian pada Pak Man. Tatapan matanya tajam seakan ingin mengiris sang laki-laki tua itu hingga potongan-potongan kecil.

“Sudah cukup. Cukup segitu dulu. Ayo kita berangkat,” ucap Pak Man pada Pak Barsono. Ia hanya nyengir lebar saat menatap balik mata Amy.

Mereka bertiga akhirnya pergi dengan kendaraan yang disetir oleh Pak Barsono. Pak Man dan Amy duduk di belakang. Di sepanjang perjalanan tidak ada yang bercakap-cakap, tapi tangan Amy erat digenggam oleh sang laki-laki tua. Mobil Pak Barsono naik ke lereng Gunung Mandiri, melewati pos pertama dan terus menanjak ke atas.

“Heheheh, kita sudah hampir sampai, Pak.” ujar Pak Barsono senang, “Kita sudah hampir sampai, Mbak Amy.”

Bodo amat, pikir Amy dalam hati. Memang dasar setan alas kalian semua. Mau dibawa kemana dia sekarang? Bukankah ini track untuk pendakian?

“Mbak Amy, kalau saya boleh bertanya – seberapa sering ngeseks dengan suaminya dalam seminggu? Hihihih,” sungguh pertanyaan yang tidak sopan yang diutarakan oleh Pak Barsono, sebuah pertanyaan cabul.

“Bukan urusan Bapak,” jawab Amy ketus.

Hpph! Amy melotot! Tiba-tiba saja tangan Pak Man menangkup buah dadanya dan meremasnya dengan sangat kencang.

“Bukan begitu cara menjawabnya, Dek Amy.”

“I-iya, Mas…” Amy mengernyit kesakitan, “Ini… sakit. Aaaah!!”

“Ajukan pertanyaan lain, Pak Barsono. Saya juga penasaran dengan bidadari kita ini,” kata Pak Man mencoba memancing emosi sang ibu muda. Tangannya masih terus meremas buah dada Amy dengan sekuat tenaga.

“Ngggggghhhh!” Amy kesakitan.

Pak Barsono terkekeh, “Hehehhe. Siap, Bos! Mbak Amy, saya nanya dong. Kira-kira Mbak Amy suka dientotin tidak? Suka tidak hayooo!?”

“Tidak!” Amy menjawab dengan galak, “Aaaaaaaaaaaahhh!”

Remasan di payudaranya kian kencang.

“Suka! Suka! Auuuughhhhh!”

“Oh suka ya?” Pak Barsono kembali terkekeh, “suka sama tua-tua seperti kami atau memilih yang masih muda?”

“Yang masih mu… aaaaaaaaaaaaahhhh!” satu garis air mata leleh di pipi Amy, “Saya suka yang tua. Saya suka yang tua-tua seperti bapak-bapak sekalian.”

Mobil itu berhenti tepat setelah Amy mengucapkan kalimat yang bakal ia sesali seumur hidup itu. Mereka berhenti di depan pos penjagaan di lereng Gunung Mandiri, cukup jauh dari Bawukan, Growol, dan cluster Kembang Arum Asri.

Pak Barsono dan Pak Man turun terlebih dahulu, disusul oleh Amy. Seorang laki-laki tua berpakaian lusuh yang menggunakan jaket tebal bulukan dan topi abu-abu dari SMA entah mana keluar dari pos itu. Wajahnya berkerut dengan kumis dan rambut yang mulai memutih.

“Mbak Amy! Mbak Amy sudah kenal bukan? Bapak hebat satu ini namanya Pak Karjo.” Pak Man merangkul dan menepuk pundak sang penjaga pos. “Kehidupan seorang penjaga pos di Gunung Mandiri sangat sepi dan sunyi. Hari-hari diisi dengan hawa dingin dan hiburannya hanyalah suara penghuni hutan. Pak Karjo sudah bekerja selama puluhan tahun menjadi penjaga pos meskipun jabatan itu non-formal dan tidak diakui pemerintah. Pemasukan hanya mengandalkan dari pelancong yang mau hiking atau naik gunung. Sebagai porter beliau adalah seorang pria yang sangat handal. Rasa-rasanya sangat pantas beliau masuk sebagai bintang foto bagi kelab fotografi Fogmi,” Pak Sukirman menyeringai sembari menatap sang ibu muda yang ketakutan saat melihat sosok Pak Karjo yang jauh dari kata muda, bersih, ganteng, dan putih, “Malam ini kami akan mengambil foto Pak Karjo berbarengan dengan model foto utama kami, ibu Amira Nursyifah.”

“Ma-maksudnya apa ini ya, Pak?” Pak Karjo kebingungan. Pria tua itu tidak paham kenapa ketiga orang di hadapannya tiba-tiba saja datang malam-malam.

Amy mengumpat dalam hati. Si bandot tua ini memang benar-benar… kenapa dia membawa-bawa Pak Karjo dalam urusan ini? Amy tidak kenal dekat dengan Pak Karjo, tapi tahu siapa dia. Beberapa kali pria tua itu membantu Mang Juki saat membenahi rumah demi rumah di cluster Kembang Arum Asri. Sepengetahuan Amy, Pak Karjo ini memang sebenarnya homeless dan memanfaatkan salah satu pos pendakian untuk menarik biaya pendakian dan memperoleh pendapatan – suatu aktivitas yang sebenarnya ilegal namun dibiarkan oleh warga dan pemerintah setempat karena Pak Karjo baik dan sering membantu.

“B-Bu Amira… se-selamat datang di pos s-saya.” Pak Karjo tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi yang mulai habis dan ompong, meskipun kata deretan agak kurang pas karena sepengamatan Amy hanya ada satu gigi besar di depan dan berwarna kuning. Kegagapan Pak Karjo sendiri bukanlah ketidaksengajaan, melainkan karena dia memang punya masalah stuttering alias memang sudah dari sono-nya gagap begitu.

“Terima kasih Pak, maaf mengganggu malam-malam,” Amy mencoba tersenyum.

“Ya wes, kita siapkan saja, Bar. Di sini saja. Nanti background-nya pos-nya Pak Karjo biar lebih kelihatan natural. Jangan lupa lampu-lampu disiapkan juga,” Pak Man memerintah Barsono.

“Siap, Bos.”

Pak Man dan Pak Barsono mulai mempersiapkan perangkat sementara Pak Karjo berdiri dengan bingung tidak tahu harus ngapain, dan Amy sang ibu muda diam-diam bergerak menuju ke tas jinijingnya yang tadi diletakkan di kursi depan mobil oleh Pak Man. Ia harus mengambil peralatannya dan semua persenjataannya di sana.

Amy pun mengendap-endap.

“Apa yang njenengan cari, Dek Amy?” tanya Pak Man dari kejauhan.

Jantung Amy hampir copot saat mendengarnya.

Ia bisa mendeteksi kemana langkah Amy tanpa perlu melihat langsung ke arah sang ibu muda nan jelita itu.

“Saya mau cari lipstick di tas,” Amy menatap Sukirman dengan takut-takut.

Pak Man terkekeh, “baiklah. Ambil saja. Tasmu ada di kursi depan di bawah jok.”

Amy menghela napas lega. Ia pun melangkah menuju mobil. Dia akan segera mendapatkan senjatanya untuk melawan…

“Tunggu dulu, Dek Amy!”

Sial! Apa lagi sekarang?

Amy berhenti dan menghela napas panjang. Apalagi yang diinginkan si bandot tua itu? Amy menengok ke arah Pak Man yang menyeringai lebar, wajah Pak Barsono yang berada di sebelah sang bandot pun tidak jauh berbeda. Amy baru sempat memperhatikannya sekarang. Pak Barsono adalah seorang pria gemuk yang bisa disebut overweight dengan kecenderungan obesitas. Ia memakai kacamata kecil bulat, dengan sepasang mata yang tengah menatap sang ibu muda dengan pandangan cabul.

“Y-ya, Pak?”

“Kok bagus ya? Baik pose dan posisinya. Udah, berhenti di situ dan jangan kemana-mana. Pemandangannya background-nya bagus sekali. Lebih baik di situ saja posisinya, Pak Bar. Coba arahkan cahaya ke arah Dek Amy.”

“Siap, Bos.”

“Pak Karjo?”

“Ng-nggih?”

“Berdiri di belakang Dek Amy, peluk dia dari belakang, letakkan dagu sampeyan di bahu kanan Dek Amy. Buat semesra mungkin seakan-akan kalian adalah sepasang kekasih.” Pak Man menyeringai terhadap Amy yang langsung melotot terkejut. Amy tak bisa protes sama sekali.

Tidak hanya Amy yang kaget mendengarnya.

“Hah!? Ke-kekasih? Eh? Sa-saestu be-begitu fotonya? Be-beneran ha-harus begitu? Mb-mbak Amy ini kan kagungan garwo, pu-punya suami?” Pak Karjo menatap Pak Man, Pak Barsono, dan Amy secara bergantian. Pak Man menyeringai sambil mengangguk. Pak Barsono cengengesan sembari menyiapkan peralatan, sementara Amy menunduk malu tak berani menatap wajah Pak Karjo.

“Lha iya beneran. Wes to, ikutin saja apa yang saya bilang. Nanti aku bayar.”

Sa-saestu? Be-beneran? DIbayar” tanya Pak Karjo sekali lagi dengan takut-takut.

Hooh, tenan.” Pak Man mengangguk sembari menyeringai dan mengedipkan mata pada Amy yang harus memendam emosinya. “Lepas jaketmu.”

Amy mengumpat, tapi dia memanfaatkan waktu untuk beringsut sedikit demi sedikit ke arah mobil meski tadi sudah diminta diam oleh Pak Man, sembari melepaskan jaket yang sedari tadi ia kenakan. Udara dingin merasuk ke tubuh Amy, apalagi kaos putih ketat yang ia kenakan hanyalah satu-satunya pelindung.

Pak Karjo berlari menuju ke belakang Amy. Pucuk dicinta ulam pun tiba! Siapa yang akan menolak memeluk wanita sejelita dan seindah Amy? Dulu Pak Karjo hanya bisa mengagumi ibu muda yang paling cantik sekampung itu dari kejauhan, kini dia bisa memeluknya! Sungguh surga di dunia! Mimpi apa dia semalam? Mungkin tidak semalam, karena semalam dia melek jaga hutan, mungkin mimpi tadi siang. Mimpi apa tadi siang?

“I-ini pura-pura sa-saja kan meluknya? Tangannya ti-tidak nem-nempel?” tanya Pak Karjo lagi untuk memastikan, dia tidak ingin salah langkah.

“Ya peluk biasa dong. Meluk itu gimana? Hehehehe.” Pak Man memancing Pak Karjo, “Masa harus diajarin meluk sih?”

Pak Karjo menatap Pak Man dengan tatapan terheran-heran tak percaya. Pria tua itu pun menelan ludah. Tubuh indah bu Amy berada tepat di depan matanya. Tubuh indah bu Amy! Istri seorang dosen! Istri paling jelita sekampung! Wanita paling molek di Kembang Arum! Istri yang paling diinginkan oleh semua pemuda dan bapak-bapak di kawasan ini.

“Ma-maaf ya, Mbak.”

Amy memejamkan mata. Dia muak pada seringai Pak Man dan Pak Barsono yang menatapnya cabul dari jarak sekitar tiga meter, sekaligus takut pada kedekatan tubuhnya dengan Pak Karjo. Orang ini apa pernah mandi? Baunya seperti kambing, amis dan prengus banget. Sial, dia jadi tidak bisa mendekat ke arah mobil dan mengambil semprotannya.

“Iya. Tidak apa-apa, Pak.”

Tangan Pak Karjo menangkup tubuh Amy. Satu lengan dari atas bahu, satu lengan dari sisi pinggang. Ia meletakkan dagunya di pundak Amy, menjadikan wajah mereka saling berdekatan. Malam yang dingin membuat napas mereka membentuk uap berembun.

“Pak Karjo…” Pak Man mulai menyeringai, “Tangannya menangkup ke dada.”

“Tu-tunggu dulu! Bukan begitu perjan… Ahhhhh!”

Protes Amy tak ada artinya.

Tangan Pak Karjo meremas dada Amy. Pria tua itu terkejut bukan kepalang, “Mb-Mbak A-Amy tidak pa-pa-pakai…?”

“Tidak,” Pak Man tersenyum jahat, “Pak Karjo. Tangannya masuk dari bawah baju Dek Amy. Pastikan jari jemari Bapak memilin pentil Mbak Amy.”

“A-apa!?” Pak Karjo kaget.

“Dek Amy…”

Suara parau Pak Man mulai membuat Amy ketakutan. Ia menatap ke arah ketua RT-nya itu dengan pandangan penuh kebencian. Apalagi maunya sekarang?

“Dek Amy, cium bibir Pak Karjo dengan penuh nafsu.”

Amy melotot.





BAGIAN 5 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6
 
Terakhir diubah:
Kalau di Bagian 3.2 vibes yang muncul adalah adegan yang kemungkinan besar membuat sebagian besar pembaca merasa terkena plot twist dari suhu @killertomato di Bagian 3.3 ini vibes yang saya rasakan seperti perkenalan para tokoh pria yang akan jadi superhero

1. Ada Unfinished Bussiness yang belum terselesaikan dalam cerita Novia, oh iya btw Novia ternyata pernah sekantor dengan Bening dan Anya di cerita XTC hehehe, kembali ke Novia, tokoh ini punya banyak sekali calon beast dari Om Genjik, kasiman dan terakhir Bayu, nama terakhir adalah orang yang dulu pernah akan memperkosa Novia, entah berhasil atau tidak tapi asumsi saya sepertinya tidak berhasil dan karena peristiwa tersebut persahabatan mereka rusak dan si Bayu dikeluarkan dari kantornya, Via masih merasa kehilangan sahabatnya Bayu bahkan hingga saat ini itu opsi yang pertama, untuk opsi kedua yang juga setelah dipikir-pikir masuk akal Novia berhasil diperkosa Bayu dan hal tersebut diketahui tunangannya yang akhirnya membatalkan pernikahannya yang membuat Bayu dijebloskan dalam penjara hal itu juga yang membuat Novia iri kepada Esty seperti terlihat di Bagian 1 selain juga karena Esty dapat suami darah biru dan memiliki anak saat ini, dan ada 1 lagi yang perlu dibahas, Bayu ternyata adalah ponakan dari om Genjik yang selama ini sepertinya sangat ahli dalam menaklukkan wanita baik dengan tipu daya atau dengan black magic tapi tunggu dulu ada si Kasiman yang kayaknya bakal jadi super hero di kisah Novia ini hehhee, kita nantikan saja hehehe

2. Kisah cinta antara Pak Bram dan Nayla ternyata kandas, nayla mungkin sudah berdamai dengan Arul atau Nayla mencoba melepaskan ke-2 orang yang dicintainya yaitu pak Bram dan Arul, Ais akhirnya juga tergoda dengan wibawa pak Bram, kalau di cerita Novia vibes super heronya adalah pak Kasiman maka di alur kisah cerita Ais ini diprediksi superheronya pak Bram, potensi beachnya masih sama dengan prediksi sebelumnya yaitu pak Santoso yang sudah muncul di bagian 2 atau Kris tunangan sang kakak yang sudah menunjukkan niatnya di Bagian 3.1, karena universe Tujuh ini berbeda dengan Jalak Universe namun sama dengan RYT dan XTC universe sepertinya bakal ada banyak tokoh kampus yang muncul dannn bisa jadi Imron bakal muncul di cerita Ais ini hehehe

Sebenarnya yang menarik dalam cerita ini adalah bagaimana nantinya suhu @killertomato meracik 7 tokoh beauty yang akan dimanfaatkan oleh tokoh beast yang potensi jumlahnya lebih banyak dari 7 tokoh beauty tersebut, kalau di cerita RYT 1 beauty memiliki 1 beastnya sendiri bahkan pak Bejo dapat 2 beauty, di cerita ini sepertinya akan berbeda bisa jadi 1 beauty lebih dari 1 beast seperti Nisa dengan Pak Sony dan Pakde Jum atau Esty dengan Wardiman dan Pak Jo, atau bahkan Maya dengan mbah wo dan Pak Maul-nya, belum lagi Novia dengan Pak Kasiman, Om Genjik dan Bayu, dari hal tersebut sudah menunjukkan bagaimana perkembangan skill menulis SUHU BESAR @killertomato berkembang setelah lebih dari satu dasawarsa hiatus hehehe, sumpah gak sabar untuk menanti akhir dari cerita ini

Sukses selalu suhu, jaga kesehatan, Real Live lebih utama ya suhu, Matursembahnuwun
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd