Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN EMPAT
BUTA HATI




Buta hatiku oleh keindahanmu.
Hanya ada dirimu di dalam hatiku.
Di dalam hidupku.
Apakah kau tahu ku sangat mencintaimu.
Namun kau tak pernah merasa seperti yang kurasakan kepadamu.

Selama ini aku salah mengartikan,
maksud di balik hatimu.
Selama ini aku anggap engkau benar-benar cinta kepadaku,
dan akhirnya kutahu kau tak mencintaiku.


- Buta Hati, Naif





Rapat baru saja usai, Intan pun membereskan semua berkas-berkas yang tadi digunakan oleh para bos yang ternyata melakukan rapat dengan beberapa orang shareholders dari perusahaan klien. Pembicaraan cukup seru dan tempat kerja Intan memperoleh satu klien baru dengan nilai project yang cukup bagus dan profitable. Ibu muda itu senang dapat membantu perusahaan menjadi seorang notulen atau pencatat log rapat yang langsung dicatatkan ke sebuah aplikasi buatan mereka sendiri, pekerjaan yang sepertinya akan menjadi jembatannya menjadi sekretaris karena pak Wing yang menjadi atasan langsung Intan berulangkali memperkenalkan ibu muda jelita itu sebagai karyawan yang akan berhubungan langsung dengan para klien di kemudian hari.

Saat ini Intan dan beberapa karyawan lain masih berada di ruang meeting, membersihkan sisa-sisa pertemuan yang telah berlalu beberapa jam sebelumnya. Beberapa di antara mereka berbincang dan bercanda, tapi tak ada satupun yang mengajak Intan berbincang, meski tak sedikit di antara para pria yang melirik kecantikannya. Reputasinya sebagai cewek dingin dengan segala rumor sebagai seorang pelakor di kantor memang cukup kejam.

Intan hanya berteman hening sampai akhirnya ada satu suara yang mengajaknya berbincang.

“Bagaimana menurutmu rapat tadi, Intan?”

Intan menengok ke samping – ternyata Pak Wing tengah membereskan laptop dan proyektor yang tadi digunakan untuk presentasi. Bersamanya datang juga beberapa orang anggota tim IT kantor. Pak Wing langsung memerintahkan para anggota tim IT untuk bekerja dengan cekatan.

Rafael Wing Raharjo adalah seorang pria tinggi kurus yang berkacamata tebal, mengenakan jas dan dasi bermerk, berpakaian rapi jali, bersepatu kulit mahal, punya wangi parfum berkelas, berkumis tebal keperakan, memiliki rambut klimis, berwajah intelek cerdas, serta memiliki aura seorang pimpinan yang berkharisma. Sekali lihat langsung paham kalau dia bukan orang biasa-biasa saja.

Intan tersenyum dan mengangguk, “Cukup baik sepertinya, Pak Wing. Perusahaan kita akan mendapatkan banyak keuntungan dan pengalaman melalui perjanjian seperti tadi.”

“Hehehe. Jadi sukses ya?”

“Sukses dong, Pak.” Intan menghunjukkan jempolnya.

Entah kenapa saat melihat ibu muda itu tersenyum ceria, beberapa anggota tim IT yang tengah membantu Pak Wing justru menjadi yang deg-degan karena melihat senyum seindah itu. Indahnya ibarat cerah matahari pagi di atas sawah terbentang dengan dua gunung menjulang, yang di tengahnya ada jalan berkelok, burung gagak berterbangan, dan rumah pak Tani di sisi bawah kiri.

Ehem.”

Pak Wing berdehem untuk menyadarkan tiga orang tim IT yang masih bengong menatap indahnya senyum sang bidadari. Menyadari sang pimpinan menegur, mereka pun gelagapan dan buru-buru mengangkat semua perlengkapan presentasi kembali ke tempatnya masing-masing.

“Dasar cowok…” Pak Wing geleng-geleng kepala.

Intan hanya tertawa kecil. Dia tidak berusaha sombong, tapi memang bidadari itu sudah terbiasa diperlakukan istimewa oleh banyak pria bahkan sejak masa sekolah. Ini bukan pertama kalinya dan sepertinya tidak akan menjadi yang terakhir. Yang penting Intan sudah tahu hati dan tubuhnya menjadi milik siapa.

“Omong-omong soal cowok, tahu tidak, Intan? Kalau kamu punya sesuatu yang bisa membuat semua orang gelagapan dan kamu tidak memanfaatkannya untuk hasil yang maksimal? Padahal kamu bisa membuat seluruh dunia tunduk kepadamu.”

“Hah!? Apa itu, Pak?”

“Apa itu? Ya jelas senyum manismu,” Pak Wing tersenyum sembari menyelipkan berkas-berkasnya ke dalam binder, “bagi sebagian di kantor kita, senyum manismu adalah weapon of mass destruction. Senjata pemusnah massal. Masa kamu tidak tahu? Setiap kali lewat cubicle kamu, sebagian karyawan cowok di kantor kita selalu menyempatkan diri untuk mampir kan? Walaupun mereka tidak menyapamu langsung.”

Wajah Intan memerah, “Ah… Pak Wing bisa saja. Senyum saya biasa-biasa saja, Pak. Kadang saya justru kebingungan menyembunyikannya. Mau sedih ataupun senang, saya malah selalu senyum. Saya takut salah diinterpresikan. Saya hanya berusaha menjadi ramah bagi semua orang.”

“Nah, itu kan hal yang bagus. Kenapa harus disembunyikan?” Pak Wing menyerahkan binder-bindernya pada Intan, “tolong ini dibawa ke mejaku, letakkan di tempat biasa.”

“Baik, Pak.”

Sambil tersenyum cerah, Intan mengikuti semua petunjuk dari Pak Wing dan membawa berkas-berkas sang bos ke mejanya. Di kantor ini, Pak Wing adalah orang selain mas Ardian yang menurut sang bidadari cantik itu sebagai orang yang masih mengakui keberadaannya sebagai manusia yang mampu berjuang, belajar, dan bekerja. Bukan sebagai obyek pengamatan julid ataupun bullying yang selama ini ia hadapi. Bukannya Intan tidak kesal, tapi ia malas berkonfrontasi karena membutuhkan uang demi suami dan anak-anaknya.

Intan meletakkan semua berkas di tempat seharusnya di ruangan Pak Wing.

“Bagaimana menurutmu klien-klien kita yang tadi?” tanya Pak Wing yang juga menyusul Intan masuk ke ruangannya. Ia membantu meletakkan berkas ke posisi semula, “terutama yang dari Bharat Authorities. Tahu kan? Mereka-mereka yang duduk di deretan sebelah kananku?”

“Sebelah kanan Bapak?” Intan mencoba mengingat-ingat. Kalau tidak salah saat itu ada dua sampai tiga orang yang datang untuk mewakili Bharat Authorities, sebuah perusahaan yang berasal dari India dan melakukan investasi di Indonesia, “Yang dari India ya, Pak? Ada Pak Said Warsito sebagai Kepala Bagian di kota kita, Pak Hanung selaku CEO di Indonesia, dan Mr. Raj Govinda selaku perwakilan dari kantor pusat Bharat Authorities. Mereka cukup responsif dan kooperatif, mereka juga yang pertama kali menyetujui proposal yang kita ajukan sebelum shareholder lain berminat melakukan investasi. Mereka cukup mendukung kita.”

“Benar sekali. Selain cantik dan cerdas, kamu juga cermat dan cekatan. Ingatanmu luar biasa tajam, Intan.” Pak Wing tersenyum kembali, ia menunjuk ke arah kursi di depan meja kerjanya, “Duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Intan sedikit terkejut. A-apakah ini jadinya? Apakah dia akan ditunjuk menjadi sekretaris Pak Wing secara resmi? Apakah ini tandanya karirnya akan menanjak? Intan pun duduk di depan Pak Wing dengan grogi. Jantungnya berdegup dengan kencang.

Intan meneguk ludah. Dia akan menjadi sekretaris, mudah-mudahan. Amin.

“Seperti yang sudah aku sampaikan sebelumnya, kamu tidak memanfaatkan kemampuanmu dengan maksimal padahal kamu punya modal yang sangat kuat. Kamu cantik, cerdas, dan berbakat. Lupakan semua pandangan dan tudingan orang kepadamu, kamu bekerja dengan sangat baik dan berhak mendapatkan kenaikan jabatan.”

Jantung Intan bagaikan berlari marathon, makin lama semakin kencang.

Kenaikan jabatan. Ini dia.

Wanita berparas menarik itupun menunggu dengan penuh pengharapan. Apakah hari ini dia akan merubah hidup dan penghasilan keluarganya? Apakah kondisinya akan membaik? Semoga saja.

“Bagaimana pendapatmu jika kami menawarkan pekerjaan sebagai lady escort untuk para klien?”

Intan melotot.

Senyum di wajahnya langsung memudar begitu kata-kata itu terucap. La-lady escort? Wajah Pak Wing sendiri tidak ada perubahan, masih tetap seperti semula, seperti sedia kala, menatap Intan seperti tanpa ada masalah.

“Maaf, Pak… apa yang Bapak maksud? Saya tidak paham.”

Jantung Intan masih berdegup dengan kencang, tapi kali ini bukan menuju pengharapan, melainkan kehancuran. Dia tidak mengira penawaran seperti ini akan dilontarkan oleh Pak Wing yang sangat ia hormati.

Pak Wing tersenyum, “Kita tidak perlu basa-basi ya, Intan. Kita sudah sama-sama dewasa dan sudah paham seperti apa dinamika perusahaan akhir-akhir ini di dunia. Saya yakin kamu juga sudah paham bahwa untuk mendapatkan sesuatu, dibutuhkan penukar yang sepadan. Itu prinsip penjualan. Itu prinsip trading. Dengan adanya kompetitor yang makin hari makin beragam dan makin kompetitif, kita harus berani melakukan gebrakan. Salah satunya dengan cara seperti ini. Perusahaan kita cukup besar dan penuh resources, itu sebabnya kita manfaatkan SDM untuk melakukan pendekatan persuasif secara perorangan kepada klien.”

Kalimat Pak Wing berputar-putar dan tidak jelas. Intinya sih satu, dia ingin Intan menjadi seorang escargot – seorang escort girl atau lady escort, yang sudah pasti memiliki konotasi kurang baik.

“Maaf, bisakah saya diberikan pengertian yang pasti, Pak? Apa yang Bapak maksud dengan pendekatan persuasif?”

“Sesuai dengan kontrak yang akan berlaku, seorang lady escort akan menemani klien pilihan kita untuk keliling kota selama beberapa hari, tinggal di hotel selama beberapa malam, atau menemani liburan asalkan semua tujuan perusahaan dan tuntutannya terpenuhi. Ini bukan kali yang pertama kami melakukan penawaran pada karyawan, Intan. Sudah banyak yang memenuhi pekerjaan ini sebelum kamu. Kami memberikan penawaran ini kepadamu karena Pak Said Warsito dan Mr. Raj Govinda dari Bharat Authorities meminta secara langsung pada kami untuk melepaskanmu sebagai lady escort dan menemani mereka selama berada di kota ini.”

Intan terguncang, dia terkejut Pak Wing bahkan mempertimbangkan penawaran seperti itu untuknya. Dia pikir siapa Intan? Pelacur murahan? Emosi Intan menggelegak, dia tidak akan semudah itu tunduk pada keinginan para durjana.

“Maaf, Pak. Tapi saya rasa saya tidak paham apa yang…”

“Mungkin ini bisa membuatmu paham, Intan. Pak Said Warsito ingin memberikan ini langsung kepadamu, tapi dia menitipkannya padaku. Dia ingin kamu mengenakannya saat kalian bertemu kembali di hotel malam ini.”

Pak Wing kembali tersenyum, ia mengeluarkan satu kotak dari bawah meja kerjanya. Dari bungkusnya, kotak itu terlihat berisikan lingerie warna hitam yang vulgar dan memamerkan aurat dada, selangkangan, dan pantat penggunanya. Sesuatu yang jelas-jelas tak mungkin dikenakan oleh Intan kapanpun dan dalam kondisi bagaimanapun, kecuali untuk sang suami.

“PAK WING! INI…!?”

“Jangan munafik. Kamu butuh uang kan? Ini kesempatan besar. Perusahaan tidak menawarkan ini kepada sembarang orang, hanya ke orang-orang terpilih yang memiliki potensi. Kamu adalah salah satunya. Potensimu besar dengan tubuh indah dan wajah cantik, jangan disia-siakan. Bayarannya cukup untukmu dan keluarga.”

Intan bingung harus menjawab apa. Ya, dia butuh uang. Dia sangat membutuhkannya, tapi apakah yang ditawarkan padanya itu akan sepadan? Apakah memang harus seperti itu? Apakah tidak ada jalan lain lagi baginya? Apakah dia harus berkorban sejauh itu hanya untuk mendapatkan uang? Apakah dia harus… amit-amit… menjual diri?

Pak Wing tersenyum saat melihat ibu muda itu tengah bimbang. Pancingannya sepertinya masuk ke sasaran, sekarang tinggal menarik kaitnya, masih jadi pertanyaaan apakah ikan itu akan dapat dimasukkan ke keranjang atau tidak. Tapi lebih baik dilihat saja beberapa saat ke depan. Pak Wing menepuk berdiri, memutar di belakang Intan, dan mengelus pundak sang ibu muda dengan perlahan. Ia menurunkan badannya dan berbisik sangat dekat di telinga Intan.

“Kamu butuh uang, kan? Aku tahu kamu bekerja di sini karena suamimu tak lagi sanggup mencukupi kebutuhan keluarga kalian. Aku dengar suamimu lumpuh akibat kecelakaan dan sedang menjalani terapi untuk memulihkan mental dan fisiknya. Belum lagi anak-anak dan mertuamu yang juga butuh sokongan dana. Singkat cerita, kamu sangat membutuhkan pemasukan berlebih, gajimu di sini masih tak cukup banyak membantu.”

Darimana Pak Wing mengetahui semua hal itu? Intan bertanya-tanya dalam hati.

Pak Wing lantas mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi perbankan dan menekan beberapa button untuk kemudian menunjukkan fungsi transfer. Ia mengetikkan sejumlah nominal lalu menggeser ponsel itu supaya Intan dapat melihatnya.

“Lihat. Ini jumlah yang akan kamu terima jika dan hanya jika kamu menyetujui kontrak yang kami tawarkan kepadamu.”

Intan melotot saat melihat angka yang tertera.

Jumlahnya sangat besar untuk ukurannya dan pasti akan memastikan keamanan finansial keluarganya, tapi sekali lagi, batin ibu muda itu bergejolak. Haruskah ia menerima tawaran Pak Wing dan membuang semua nuraninya? Haruskah dia menerima angka sebesar itu demi keluarganya dengan mengorbankan diri? Menjadikan dirinya sebagai tumbal?

“I-ini…”

“Ini jumlah yang akan kamu terima…” ulang Pak Wing, “setiap bulannya.”

Lutut Intan serasa lemas. Perbulan? Jumlahnya ternyata jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Tubuhnya lunglai. Dia mengira angka itu permanen dan hanya akan diterima sekali saja. Ketika pak Wing mengutarakan bahwa angka itu ternyata justru lebih besar lagi, Intan tentu saja langsung kebingungan, jauh lebih bingung dari sebelumnya. Nominal sebanyak itu jelas tak pernah terbayangkan olehnya.

“Kamu berhak mendapatkan angka sebanyak ini. Selain cantik, tubuhmu juga indah. Jadi rasanya harga ini tidak salah. Bagaimana, Intan? Keputusan ada di tanganmu.”

“I-ini benar-benar uang yang akan saya terima setiap bulan?” Suara Intan hampir tercekat, jumlah ini tidak saja bisa membantu pengobatan suaminya, juga memastikan keamanan biaya sekolah anak-anak hingga mereka lulus, tentu saja memberikan jaminan makan sehari-hari, bahkan untuk memperbaiki rumah dan kebun sang mertua. Nominalnya sangat menggiurkan.

“Betul sekali. Angka ini adalah jumlah yang akan kamu terima setiap bulan. Kamu hanya harus menandatangani kontrak sebagai lady escort perusahaan kita dan bekerja sesuai ketentuan yang ada. Kamu punya penampilan dan tubuh yang sesuai dengan kriteria, tinggal bagaimana kamu memanfaatkan kemampuan kamu untuk menjaring klien saja. Bagaimana?”

Tubuh Intan bergetar, dia ingin memastikan sekali lagi. “Sebagai lady escort, a-apakah saya harus melayani klien untuk…”

“Untuk apa?” Pak Wing memiringkan kepalanya menatap Intan dengan tatapan yang tajam seperti seekor elang menatap mangsa, “terus terang saja, ungkapkan apa yang ada di dalam kepalamu. Aku akan menjawab dengan jujur, Intan.”

“Ma-maksud saya… apakah itu artinya saya… saya harus tidur dengan…”

“Sudah pasti. Kamu harus melayani mereka apapun permintaannya. Kalau mereka mau disepong kontolnya, maka kamu harus berlutut, membuka celana mereka, dan menghisap kontol mereka sampai mereka merem-melek keenakan. Kalau mereka ingin menidurimu, maka kamu harus membuka rok kamu, melucuti semua dalaman, dan merentangkan lebar-lebar kaki jenjangmu untuk memberikan akses bebas bagi mereka seandainya ingin melakukan apapun dengan memek kamu.”

Intan melotot dengan penjelasan vulgar Pak Wing, belum pernah ia mendengar bos-nya itu mengucapkan kalimat demi kalimat yang sedemikian joroknya. Selain mengagetkan, Intan juga merasa terekspos oleh keadaan. Dia benar-benar harus menjual diri.

Tidak. Jelas tidak. Tidak mungkin.

Batin Intan bergejolak. Dia tidak akan mau melakukan hal serendah itu hanya demi uang. Membuang harga diri dan janji suci pernikahan hanya untuk nominal yang kelak akan ia sesali. Ibu muda itu menggeleng. Tubuhnya bergetar karena ketakutan dia akan mengambil keputusan yang keliru. Tapi dia akan mengambil jalan yang menurutnya paling lurus dan tepat.

Tidak. Jelas tidak. Tidak mungkin.

“Bisakah saya mempertimbangkannya, Pak? Hal semacam ini jelas sangat besar dan cukup berat buat saya. Ada banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Bapak memaksa saya untuk mengorbankan keutuhan keluarga dan hubungan saya dengan suami demi hal yang memang saya butuhkan dan menjadi kelemahan saya,” Intan mencoba duduk dengan tegap dan menatap sang atasan dengan bulat mata indahnya, “tapi untuk itu saya harus mengorbankan kehormatan saya sebagai seorang istri, ibu, dan wanita. Saya mohon waktu, Pak.”

“Kalau saya minta jawaban sekarang bagaimana? Nominal ini bisa saja berubah di lain waktu,” Pak Wing menatap Intan dengan pandangan mata tajam, ia mencoba menekan sang bawahan, “perusahaan ini sangat membutuhkan bantuanmu. Ada beberapa klien alot yang pasti akan mudah dilunakkan oleh wanita seindah dirimu.”

Intan menatap balik pandangan mata pak Wing dengan tatapan yang juga tajam menghunjam. Kalau Pak Wing mengejar saat ini harus ada jawaban, maka Intan tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan jawaban akan pertanyaannya.

“Kalau harus dijawab sekarang, maka jawabannya jelas tidak, Pak. Saya bukannya tidak ingin membantu perusahaan, saya ingin bekerja dengan baik dan membantu perusahaan ini maju, tapi di posisi saya yang sekarang, bukan sebagai lady escort atau apapun istilahnya. Maaf, Pak. Tapi saya seorang ibu dan seorang istri, saya berjuang demi keluarga karena ingin mereka menikmati uang yang saya dapatkan dengan perjuangan yang jujur, bukan hasil merendahkan diri. Jadi jawabannya adalah… maaf.”

Intan menggeser ponsel itu kembali pada pak Wing, angka fantastis di hp itu pun tidak ia pedulikan.

“Saya tidak akan pernah bisa menerima tawaran semacam itu. Selain merendahkan harkat dan martabat saya, tawaran itu juga menjijikkan. Saya pikir perusahaan kita lebih berkelas daripada menjual tubuh karyawan seperti ini.”

Pak Wing sedikit tercekat karena keberanian dan kenekatan Intan, tapi ia memahami siapa yang ia hadapi. Intan memang berbeda. Sejak awal dia selalu berbeda.

Pak Wing memasukkan ponsel di atas meja ke dalam kantong bajunya, pria itu tersenyum, “Begitu rupanya. Sungguh istri yang setia luar biasa. Akan saya simpan ponsel ini sampai kamu benar-benar membutuhkannya. Jika kamu memang membutuhkan dana yang lebih, pekerjaan ini menantimu. Kami tidak akan pernah menutup peluang bagimu untuk bergabung.”

Tanpa menunggu apapun, Intan langsung berdiri dan membungkuk memberi hormat, “Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya sebagai notulen rapat antar pimpinan, saya lebih menghargai kesempatan kerja yang seperti itu, Pak.” Intan berdiri tegak dan menatap Pak Wing dengan berani, “Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, saya pamit. Sekali lagi mohon maaf, jemputan saya sudah menunggu.”

Intan berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Pak Wing yang menyilangkan kaki dan bersidekap di kursinya. Pria tua itu tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia menyaksikan kepergian ibu muda berparas cantik itu dengan seringai lebar.

“Hanya tinggal tunggu waktu saja, Intan. Kamu yang akan merangkak kembali kemari dan memohon-mohon padaku. Heheh.”

Tapi saat itu Intan sama sekali tak menengok ke belakang. Ia melangkah dengan langkah yakin ke arah lift untuk turun ke lobi kantor, ia tak menunjukkan wajah ketakutan, khawatir, atau sedih. Ia bangga pada dirinya sendiri yang tak luruh oleh tawaran maut yang menyesatkan. Ia masih selamat berkat kekuatannya sendiri.

Di halaman parkir, sudah ada mobil yang menunggunya. Intan tahu mobil itu akan berada di sana, ia sudah mengetahuinya sejak Ardian mengabarkan melalui pesan singkat Whatsapp kalau dia sudah berada di parkiran. Pesan singkat itu yang menyadarkannya, yang meyakinkannya untuk menolak tawaran gila dari sang pimpinan.

Intan tersenyum saat membuka pintu depan, “Makasih banget, Mas. Aku kan benernya bisa pulang sendiri. Kenapa harus dijemput sih?”

“Aku yang khawatir. Malam-malam begini ke gunung naik taksi online? Sendirian? Nggak boleh ah,” Ardian menawarkan senyum lebar di wajah tampannya. “Aku akan menyalahkan diriku sendiri kalau ada apa-apa terjadi sama kamu. Lebih baik aku jemput saja.”

“Beneran gak apa-apa nih? Nanti Mbak Shinta marah, dia sudah cemburu kan?”

Haish. Kenapa harus marah? Yuk ah, keburu malam. Anak-anakmu sudah makan belum? Kita mampir bentar di nasi goreng deket alun-alun kecamatan ya. Aku yang traktir.”

“Ih, Mas Ardian ih,” Intan mencibir manja, “masa ditraktir terus begini, aku jadi tidak enak. Aku aja yang bayar. Mas mau juga?”

“Sudah ah, aku baru saja dapat rejeki tadi. Ada kejadian di rumah yang juga membuatku senang, jadi pengen berbagi kebahagiaan. Tidak apa-apa aku saja yang belikan. Yuk.”

Intan masuk ke dalam mobil yang lantas melaju dengan cekatan. Tidak banyak percakapan terjadi malam itu antara keduanya, bahkan ketika mereka kemudian membeli nasi goreng untuk keluarga Intan. Hanya basa-basi ringan yang mereka lakukan saat melihat suatu kejadian di jalan, atau membahas penyanyi yang sama-sama mereka sukai. Intan lebih banyak diam dan tenggelam dalam lamunan. Sesuatu yang membuat Ardian enggan untuk mengganggu walaupun hanya sepenggalan.

Tak terasa waktu berlalu, mobil Ardian pun berhenti di dekat rumah Intan.

Kedua insan yang berada di dalam mobil terdiam seribu bahasa. Ardian menepuk-nepuk setir mobil, ia menengok ke arah ibu muda yang ada di sampingnya. Entah kenapa Intan hanya terdiam meski lock pintu sudah dibuka. Apakah ia tenggelam dalam lamunan? Intan hanya terdiam lama.

“Sudah sampai,” ucap Ardian lembut.

“He’em,” Intan mengangguk, ia tersenyum manis menatap Ardian. “Boleh tidak duduk di sini sebentar saja? Aku mau menghabiskan lagunya.”

Saat itu sedang melantun lagu jazz lembut yang dinyanyikan oleh Frank Sinatra, Fly Me To The Moon. Lagu favorit Ardian sekaligus Intan. Keduanya kebetulan pertama kali menjadi akrab saat bertemu pada acara pernikahan seorang rekan kerja, mereka berdua minum minuman soda di sudut ruang pesta dan mengikuti irama musik yang didendangkan grup jazz yang disewa. Perkenalan yang berlanjut ke persahabatan.

Bahkan mungkin lebih daripada itu.

“Apa ada yang terjadi tadi?” tanya Ardian yang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada diri Intan. Mereka sudah kenal lama untuk bisa mengetahui ada yang tidak beres pada sang rekan kerja, “wajahmu kusut begitu, neng.”

Intan hanya mengangkat bahunya, wajahnya mendadak berubah seperti hendak menangis. Ardian mengerutkan kening karena ia menyadari ada yang benar-benar tidak beres pada diri ibu muda yang sering ia antar jemput itu.

Neng?”

Tiba-tiba saja Intan bergerak ke samping dan memeluk Ardian dengan erat.

“Intan?” Ardian terkejut, kenapa Intan jadi seperti ini?

Intan hanya berbisik, “Peluk aku sebentar saja, Mas. Aku capek banget menghadapi semua ini. Boleh aku memelukmu sebentar saja? Aku butuh bersandar sebentar pada seseorang yang mengerti apa yang sedang aku hadapi, yang memberikan saran dan dukungan, bukan orang yang tidak paham yang hanya bisa menghakimi.”

Ardian sebenarnya sudah terbayang-bayang wajah sang istri yang saat ini pasti sedang mengunjungi rumah Pak Hasbi. Tapi pelukan Intan membuyarkan semuanya. Ia terdiam, lalu menepuk punggung wanita yang kemudian sesunggukan di dalam pelukannya itu.

Intan membutuhkan seseorang untuk menumpahkan keluh kesah, saat ini orang itu adalah Ardian.

Ardian membalas pelukan sang ibu muda nan jelita itu. Bukan sebagai seorang kekasih, tetapi sebagai seorang rekan yang mengerti, sebagai seorang teman yang perhatian, dan mungkin sebagai seorang kakak yang memahami perasaan. Ardian tahu tidak banyak orang yang bisa menjadi tempat Intan mencurahkan rasa, tidak bisa semua orang mampu menghadapi apa yang saat ini menjadi dilema. Dia hanya berusaha menjadi orang baik.

Intan memanfaatkan itu karena memang hanya Ardian yang memberinya ketenangan dan kenyamanan. Hubungan mereka cukup dalam dan dekat, tapi bukan cinta. Dia tetap mencintai suaminya, bukan Ardian. Intan tahu, jika di dunia ini jarang seorang pria bisa bersahabat dengan seorang wanita tanpa membawa rasa cinta. Tapi jika ada contoh terbaik di dalam hidupnya, maka Ardian adalah satu di antara sejuta.

Sayangnya Intan gegabah, karena adegan itu bisa disaksikan oleh seorang pria yang menyaksikan pelukannya dengan Ardian dan memutuskan untuk memotretnya. Tidak hanya gambar, orang itu juga merekam adegan pelukan yang terlihat dari kaca jendela mobil itu. Posisi pelukan Intan dan Ardian memang cukup unik, sehingga seakan-akan keduanya tengah berciuman. Posisi yang tepat untuk diabadikan.

Orang itu pun terkekeh-kekeh karena menemukan bukti kuat untuk menjerat sang bidadari.

Akhirnya kena juga kamu, sayang.

Bisiknya dalam hati. Orang yang sebenarnya adalah ayah mertua Intan itu pun menunggu sang bidadari di teras rumah.

Intan turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah Ardian. Ia lantas masuk ke halaman rumah dengan langkah yang anggun. Rasanya sudah letih dan lelah sekali malam ini, banyak sekali masalah datang menghampiri. Seandainya saja Intan tahu kalau masalahnya justru akan dimulai, dia tidak tahu.

Saat itu baru beberapa langkah Intan masuk ke halaman rumah, mobil Ardian juga baru saja berlalu pergi. Wanita berparas jelita itu dikagetkan oleh seseorang.

“Nah nah nah!”

Sosok pria tua yang sangat ia benci hadir di depannya, wajah menyeringai menjijikkan dan menjilat-jilat bibir saat melihat kemolekan Intan di hadapannya. Intan bukan hanya tidak menyukainya, tapi juga sangat membencinya.

“Kenapa lagi sekarang?” Intan mendengus kesal. Dia benar-benar sedang lelah dan tidak ingin meladeni sang mertua.

“Kamu ketahuan dan tidak akan bisa mengelak lagi, Nduk cah ayu. Nasib pernikahanmu ada di tanganku. Hahahaha. Mau kamu yang bilang atau aku yang akan cerita ke suamimu? Wakakakaa. Dua-duanya buah simalakama, pahit kan kenyataan hidupmu? Wakakakakakaka.”

Intan mendesah. Capek sekali rasanya. “Maksudnya apa?”

Jelas bukan ini yang ia cari setelah seharian lelah, ditambah depresi, dan stress. Bukan ini yang ingin ia hadapi. Bukan ini yang ingin ia temui saat pulang ke rumah dan berharap bisa beristirahat dari kejamya dunia. Ia hanya ingin bertemu suami dan anak-anaknya, duduk bersama menonton rangkaian acara di TV, memberikan komentar tentang segala hal, dan ngobrol santai tentang entah apalagi. Bukan ini yang dia harapkan akan dia temui saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah, ancaman seorang mertua bejat yang isi otaknya cuma selangkangan.

“Aku punya bukti otentik perselingkuhanmu dengan pria dari kluster sebelah itu. Dasar wanita jalang licik. Anakku Hendro jadi cacat karenamu dan sekarang kamu menduakan dia setelah dia tak lagi mampu menafkahimu. Pelacur hina!”

Intan geleng kepala, “Apa lagi sih yang Bapak mau? Kalau mau menghujat lakukan sendiri saja. Aku capek sekali, aku mau istirahat,” Intan melangkah melewati Pak Sukirno, seakan tidak mempedulikan ancamannya.

Tapi sebelum Intan bisa melangkah lebih jauh, pergelangan tangannya dicengkeram oleh sang pria tua.

“Pelacur jalang! Kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu jawab pertanyaanku, atau kusebar video ini ke semua orang yang kamu kenal, termasuk anakku yang cacat karena ulahmu itu,” Wajah Pak No terlihat beringas sekaligus buas oleh birahi. Ia bahkan sampai menjilat bibirnya sendiri karena tak tahan menyaksikan kemolekan sang bidadari yang ada di hadapannya. Bidadari yang sesungguhnya adalah menantunya sendiri.

Intan jelas kesal melihatnya, ia sungguh sangat lelah. “Pak! Lepaskan! Lepaskan atau aku akan teriak.”

“Boleh saja teriak, malah akan kubeberkan tindakan zinamu pada semua orang.”

“Zina!? Zina apalagi sih? Aku tadi hanya curhat sama Mas Ardian! Aku tidak berbuat yang…”

“Kamu pikir akan ada orang yang percaya dengan penjelasanmu setelah mereka melihat video ini? Heheh. Ayo, silakan saja berteriak sekencang-kencangnya. Tidak akan ada yang akan membela wanita jalang sepertimu! Dasar pelacur! Suami sendiri tengah tergolek lemah tak berdaya, di luar malah main gila dengan suami orang! Dasar wanita jalang tak tahu diri! Sudah selingkuh, tak tahu caranya mengurus anak! Bukannya membantu malah merepotkan! Bisa-bisanya menyerahkan urusan perawatan anak pada mertua?! Istri dan ibu macam apa kamu ini!? Kamu mau teriak? TERIAK!”

Wajah Intan menjadi pucat, gabungan antara kelelahan yang sudah teramat sangat, ledakan amarah dan rasa ketakutan yang makin menjadi. Mertuanya ini memang benar-benar sudah sinting rupanya!

“Aku sudah sangat lelah, Pak. Lepaskan tanganku. Aku mau mandi dan makan dulu.”

Pak No terdiam sembari menatap sang menantu.

Intan memang sudah terlihat sangat kecapekan, wanita berparas cantik itu pun mendesah panjang, seperti seseorang yang sudah mencapai garis terujung di tebing paling terjal yang jika selangkah saja meleset akan jatuh ke jurang terdalam.

“Wanita jalang! Berani-beraninya kamu bicara seperti itu ke mertua kamu! Hendro benar-benar salah telah memilih kamu sebagai istri! Tidak becus mengurus suami dan anak!”

Intan menundukkan kepala dan bersidekap, ia membuang muka, tak ingin menatap sang mertua, ia menjawab dengan suaranya yang terdengar parau. Intan tahu mertuanya yang seperti orang gila itu tak akan berhenti sampai mencapai niatnya.

“Baiklah.”

Pak No mendengus, menahan diri. Baiklah apa ini? Apa maksud si Intan?

“Baiklah.” Intan menoleh dan menatap Pak No dengan pandangan mata setajam silet, telunjuknya diangkat di depan mata sang mertua, “Sekali saja. Akan saya layani Bapak sekali saja. Setelah itu kita sudahi semua omong kosong ini. Saya lelah menghadapi rongrongan Bapak. Saya lelah tinggal di tempat ini dengan semua masalah yang ada ditambah dengan gangguan dari Bapak. Setelah saya layani Bapak, ijinkan saya merawat suami dan anak-anak saya dengan tenang. Kalau Bapak berulah lagi, saya akan pergi dari tempat ini untuk selamanya.”

“Sekali saja? Heheheh.” Senyum tersungging lebar di bibir sang mertua, “Bagus! Sekali juga sudah cukup. Itu yang aku mau. Itu yang aku inginkan. Kamu tahu kan apa itu artinya? Artinya dalam sekali kesempatan itu akan ku obrak-abrik memekmu sampai kamu tidak bisa berjalan dengan normal. Kamu akan merasakan kenikmatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hahahaha.”

Intan hanya menatap tajam sang mertua tanpa menjawab. Ia menghentakkan tangannya untuk melepaskan diri dari cengkraman sang mertua. Pak Sukirno melepaskan tangan Intan. Menantunya itupun melangkah masuk ke dalam rumah.

“Kapan?” tanya Pak No penuh harap.

“Yang jelas bukan sekarang. Aku lelah sekali.”

Intan melenggang tanpa menoleh ke belakang.





.::..::..::..::.





Hamad Hartono alias Om Pong adalah seorang pemabuk, penjudi, tukang maksiat, residivis, preman pasar, sopir angkot, tukang parkir, tukang serabutan, dan masih banyak lagi kegiatan lain yang dilakukan hanya sekedar untuk mengisi waktu dan mencari uang demi membeli tuak atau dibakar di meja judi. Tidak semua orang suka padanya, sedikit yang percaya, dan lebih sedikit lagi yang menjadi temannya.

Semua orang tahu kalau Pong bukanlah seorang pemenang, dalam segala hal.

Satu-satunya hal yang membuat Pong bisa dianggap sebagai pria beruntung adalah ketika ia menikah dengan seorang janda yang berjualan jajanan di pasar. Janda dua anak yang masih cukup cantik meski telah lebih dari setengah baya. Menikah dengan sang janda yang ditinggal mati suaminya itu membuat Pong hidup dengan tenang dan nyaman karena sang janda ternyata cukup punya tabungan hasil peninggalan sang suami.

Sayangnya, janda ini ternyata kemudian sakit-sakitan sehingga uang simpanan mereka habis untuk biaya rumah sakit dan tentunya untuk judi.

Kehidupan mapan dan tentram Pong pun jadi bye bye. Tanah dan kendaraan dijual, warung di pasar pun berpindah dari lokasi strategis ke tempat yang lebih kecil dan jarang dikunjungi orang. Pong hanya bisa berharap mendapatkan uang dari mengoperasikan angkot yang perawatan dan cicilannya dibiayai oleh sang janda.

Kini semuanya sirna. Pong sering mengamuk tak jelas, tidak hanya di rumah, tapi juga di depan umum, sesuatu yang membuatnya sering keluar masuk penjara karena menganiaya orang. Pikirannya tak lagi bisa dibilang waras.

Orang seperti itu yang membuat Aida ketar-ketir saat bertemu. Karena dia sering menatapnya tak berkedip mulai dari kaki ke kepala, dari kepala ke kaki. Aida juga sering mendapati Om Pong mengambil celana dalam yang baru saja ia pakai dari dalam mesin cuci dan menciuminya tanpa jijik. Orang ini benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Orang yang seharusnya bisa dengan nyaman ia sebut dengan panggilan Ayah.

“Ja-jangan, Om. Jangan…”

Napas menderu, hati berpacu.

Aida menggamit apapun yang ada di dekatnya, ia berusaha berontak meskipun susah sekali. Jari jemari Om Pong sudah masuk ke dalam liang cintanya meski tidak terlalu dalam akibat rapatnya celana yang dikenakannya, entah itu beruntung atau tidak. Om Pong masih terus menggerakkan jemari, mengobel dan mengobrak-abrik sisi-sisi dalam vaginanya. Memang brengsek betul ayah tirinya itu.

Pong sebenarnya tidak sepenuhnya mabuk saat jari-jemarinya menjelajah di liang cinta sang anak tiri, dia menikmatinya. Sudah sejak lama dia mengincar Aida yang molek, cantik, dan seksi itu. Akhirnya hari ini bisa juga terealisasi. Apalagi ternyata memeknya masih begitu sempit dan rapat seperti layaknya seorang perawan.

“Heheh. Kok sudah basah begini? Kamu pengen dientotin ya?”

“Jangaaaaaan! Jangaaaaaaaaaaan! Nggak mauuuuu! Nggaaaak mauuuu!”

Aida memberontak sejadi-jadinya. Ia memukul, menendang, mendorong, melakukan apapun yang ia bisa untuk menghindarkan diri dari ancaman pemerkosaan yang sepertinya akan terjadi. Tapi apapun yang ia lakukan, ia tidak cukup kuat untuk menghindar dari serangan sang ayah tiri. Tangisannya berderai, air matanya membanjir. Apa yang harus Aida lakukan untuk bisa lepas dari pelukan sang pria tua yang sudah gelap mata?

“Lepaskaaaaaaaaan! Lepaskaaaaaaaaaaaaan!!”

Teriakan sang dara hanya jadi bias semu di telinga pria tua bersifat durjana yang sudah menghamba iblis di sanubarinya. Terlanjur nyaman, kapan lagi ia bisa menikmati tubuh indah sang anak tiri yang sudah sejak lama ia dambakan? Istrinya sudah tak lagi bisa melayaninya, giliran sang putri yang seharusnya menggantikan. Om Pong pun meneruskan niatnya, satu tangannya kokoh mengunci dan memeluk tubuh ranum Aida sementara tangan lainnya menelusup ke dalam celana sang dara dan mengobel kemaluannya.

Aida menggelinjang dan memejamkan mata, ia mencoba meronta meski sia-sia. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana.

Sampai kemudian tangannya menyentuh sesuatu di atas meja. Tumbler kaleng yang cukup keras, berat, dan kokoh.

“Jangaaaaaaaaaaaaaaaan!”

Dengan panik Aida mengambil tumbler itu dan menyabetkannya ke arah kepala Om Pong!

Bletaaaaaakgh!

“Adooooooooh!” Om Pong melepas tangannya dari Aida. Tubuhnya terjengkang ke samping dan seketika pria tua itu memegang kepalanya karena kesakitan, benda yang dipukulkan itu berhasil mengenai pelipis kepala dan sebagian matanya. Tidak hanya sakit dan pusing, pandangan pria tua itu menjadi berkunang-kunang. Ia pun mengernyit kesakitan dan mendesis marah.

“Anak lonteeee! Ibumu sudah tak berguna! Sekarang kamu juga berani melawanku!”

“Jangan pernah menghina ibukuuuu!”

Bletaaaaaakgh! Bletaaaaaakgh! Bletaaaaaakgh!

Tiga kali benda keras itu diayunkan, tiga kali pula Aida berhasil mengenai sasaran dengan serangannya. Om Pong tersungkur ke bawah sembari mencoba melindungi kepalanya yang tiga kali kena hantam. Saat pria tua itu terjatuh, Aida memanfaatkan momentum untuk segera beranjak dan lari ke depan. Ia berlari meski pakaian dan celananya tak karuan, apalagi kerudungnya yang sudah terlepas.

Om Pong berusaha menggamit kaki Aida dengan tangannya. Ia hanya berusaha menggapai sebisanya karena pandangannya berkunang-kunang.

Aida pun jatuh terjerembab ke depan.

Dagunya terantuk lantai.

Bruuuuuuuuuukgh!

Aida mengaduh kencang. Om Pong girang karena sang mangsa belum bisa kabur darinya. Ia mencoba bangkit dengan tertatih, tubuh gempalnya menubruk Aida yang masih belum beranjak dari lantai. Pria tua itu gemas sekali melihat pantat sang anak tiri yang kencang dan bulat, ingin rasanya ia membenamkan batang kejantanannya di antara belah pantat Aida itu. Pasti nikmat sekali rasanya jepitan sang perawan!

Bruuuuuuuuuukgh!

Om Pong hanya menubruk lantai.

Aida berhasil bergulir ke samping di saat-saat terakhir.

Gadis itu dengan sigap berdiri dan melarikan diri. Tiba-tiba saja ada tenaga muncul di saat-saat genting. Bukankah seperti itu biasanya? Tenaga ekstra yang muncul ketika adrenaline terpacu. Aida segera menuju ke pintu depan dan membuka kunci.

Om Pong berteriak kencang, mengucapkan sejuta makian kebun binatang.

Tapi sang pria tua yang berjalan saja sempoyongan itu sudah tak bisa lagi mengejar Aida. Gadis itu sudah berhasil keluar dari ruko dengan cepat karena ketakutan. Ia juga mencari satpam dan meminta pertolongan. Jajaran ruko pasar modern memang memiliki satpam-satpam yang siaga di setiap bloknya. Kebetulan saat itu sedang ada beberapa satpam yang berkumpul sehingga ketika Aida berlari ke arah mereka, para satpam langsung siaga.

“Neng? Neng Aida? Ada apa, Neng?” tanya salah seorang satpam yang bernama Pak Tarun, salah satu yang bisa dipercaya oleh Aida. Kebetulan sekali Pak Tarun yang wajahnya mirip aktor Piet Pagau itu adalah salah satu satpam kepercayaan Nisa dan sering membantu toko kalau ada yang harus dijaga atau diantar.

“Tolong saya, Pak! Tolong saya! Ayah tiri saya sedang kumat! Dia mabuk! Dia menyerang saya! Tolong, Pak! Tolong!” Aida berteriak dan menjerit, membuat orang-orang sekitar memperhatikan dan menjadi keributan.

“Astaga! Siap, Neng!” Pak Tarun sang satpam senior pun segera mengomando rekan-rekannya, “Cepat! Ringkus orang itu! Berani-beraninya menyerang Aida! Ayo semuanya!”

Begitu Pak Tarun memberikan perintah, tidak hanya satpam, para penyewa ruko lain yang juga mengenal Aida pun segera bergerak menuju toko, mereka berniat mengamankan Om Pong yang memang sudah kelimpungan karena mabuk. Beramai-ramai mereka bergerak bersamaan.

Om Pong jelas melawan, tapi bisa apa dia menghadapi para satpam yang perkasa dan dibantu oleh orang-orang pasar modern lain yang tidak terima tempat lindungan mereka diobrak-abrik oleh seorang pria pemabuk.

Bogem mentah beberapa kali meluncur sehingga wajah Om Pong menjadi bengkak biru dan berdarah.

Aida terengah-engah. Dia hanya melelehkan air mata saat melihat sang ayah tiri yang mukanya sudah bengkak digelandang oleh satpam pasar modern seperti sapi kurban. Gadis itu merunduk, ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa kejadian seperti ini terjadi? Ibu akan marah besar padanya kalau tahu ia mengadukan om Pong ke satpam, menggiringnya ke pihak yang berwajib, dan telah mempermalukannya di depan umum. Meskipun bersalah, om Pong adalah keluarga. Kalau ia bertindak seperti ini, penyakit ibunya bisa-bisa bertambah parah. Dia tidak ingin membuat ibunya menjadi sedih, sakit, dan khawatir.

Tapi…

Harus bagaimana ini?

Om Pong menyeringai saat melewati Aida yang tengah menangis, meskipun wajahnya biru dan bengkak, pria tua itu tetap tersenyum dengan tenang dan menyeringai, menampilkan wajah menyebalkan yang tidak nyaman dilihat.

“Kali ini kamu selamat, cah ayu. Tapi lain kali siapkan saja memekmu untukku. Jangan diberikan ke siapa-siapa, aku yang akan menjebol keperawananmu. Heheh,” ujar Om Pong dengan berani sembari menjilat jari yang tadi ia masukkan ke vagina sang dara.

Aida bergidik ketakutan.

“Ngomong apalagi sih kamu! Sudah ketangkap masih juga bikin ulah!” Pak Tarun mendorong kepala Om Pong ke bawah, “Amankan dia!”

Para satpam dengan marah menggiringnya.

Aida sesunggukan. Pak Tarun pun menemuinya dan mencoba menenangkan gadis yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu, Ia mengajak Aida duduk dan menyiapkan segelas air minum. “Sepertinya sudah aman, Neng. Dia sudah kami amankan. Silakan kembali ke toko. Kalau ingin sementara tutup dulu juga tidak apa-apa, hubungi pemilik kalau Neng ingin istirahat dan pulang dulu. Kami yang akan menyelesaikan perkara ini. Dia akan kami bawa ke kantor polisi dengan alasan perbuatan tidak menyenangkan.”

Aida meminum air putih yang disediakan oleh Pak Tarun, “Te-terima kasih banyak, Pak.”

“Tenang saja. Kita semua memang sudah sepatutnya saling tolong menolong,” ujar Pak Tarun dengan pandangan gamang, sepertinya ada sesuatu yang hendak ia utarakan. “Aku cuma takut…”

“Takut apa, Pak?”

Pak Tarun melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang ada di dekat mereka. Pria tua itu pun mendekat ke arah Aida. Ia sedikit berbisik, “Aku tidak bisa memastikan orang itu akan masuk ke penjara atau berapa lama dia akan dibui. Saranku, cari tempat tinggal baru yang tidak diketahui oleh siapapun. Pindah kontrakan lain. Bapak tirimu itu penjahat kambuhan, dia pasti akan mencari kamu. Kalau di sini kamu akan aman karena kami selalu berjaga, yang aku takutkan kalau di rumah nanti kamu sendirian.”

“Te-terus bagaimana dong, Pak?” Aida gemetar ketakutan.

“Tentu saja kami tidak bisa menjagamu kalau tidak di tempat ini, Neng. Kami tidak mungkin menjagamu selalu. Untuk saat ini, satu-satunya jalan adalah pindah tempat tinggal, ke tempat yang tidak ia ketahui sama sekali. Walaupun itu juga tidak efektif karena orang brengsek itu pasti akan selalu menemukanmu, tapi setidaknya kita bisa membuatnya kerepotan.”

Percakapan dengan Pak Tarun membuat Aida berpikir keras. Apa yang dia ucapkan ada benarnya. Para satpam ini sudah pasti tidak akan bersama dengannya selama 24/7, keselamatannya bisa jadi ada di ujung tanduk. Dia harus mencari cara agar Om Pong tidak mendekatinya lagi.

“Baik, Pak. Saya pertimbangkan. Saya balik ke toko dulu.”

“Iya. Tenangkan diri. Kalau memang perlu, tutup saja tokonya untuk sementara. Minta ijin pada Bu Nisa dan beristirahat. Aku yakin beliau pasti memahami.” Pak Tarun bijak memberikan masukan, “Jangan khawatirkan si pemabuk. Kami akan membawanya ke kantor polisi.”

“Terima kasih banyak, Pak.”

“Ya ya ya… sudah sana.”

Usai berterima kasih kepada satpam yang lain, Aida pun berbalik kembali ke ruko milik Nisa.

Saat masuk kembali ke dalam ruko. seperti ada awan hitam menaungi keruhnya pikiran sang dara. Ia bingung harus berbuat apa. Sampai pada suatu ketika, Aida melirik ke satu arah.

Perhatian Aida tertuju ke tempat sampah.

Ada satu kartu nama di sana.

Kartu nama saya. Kalau kamu butuh bantuan untuk apapun. APAPUN itu, baik uang, keamanan, atau bahkan butuh bantuan mukulin orang. Hahahaha. Silakan hubungi saya. Saya akan melindungi kamu dengan segenap jiwa raga saya, cantik..

Terngiang-ngiang ucapan seorang pria yang tidak kalah menjijikkannya dibandingkan om Pong. Tapi setidaknya dia berhenti saat Aida mengatakan tidak. Ada nilai positif di sana. Dua-duanya tidak menyenangkan, tapi Aida bisa memilih the lesser of two evils. Di antara dua iblis, pilih yang sedikit lebih mendingan dibandingkan iblis yang lain.

Dengan gamang dara jelita itu berjalan menuju ke tempat sampah dan memungut kartu nama yang tadi dia buang dengan jijik. Aida memejamkan mata. Dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa dan bagaimana. Apapun yang dilakukan akan ditimpakan kepadanya, menjadi kesalahannya. Dia tidak ingin merepotkan Tante Nisa lebih jauh lagi.

Dia akan menyelesaikan ini sendiri.

Dia akan…

Tiba-tiba saja pandangannya berkunang-kunang, apa yang tadinya jelas menjadi kabur. Apa yang tadinya jernih menjadi blur. Apa yang tadinya tegas menjadi lentur. Aida memegang kepalanya yang tetiba pusing luar biasa. Kenapa ini? Apakah ini karena stress yang berlebihan? Apakah ini karena perlakuan Om Pong tadi? Kenapa tiba-tiba ia tidak bisa menguasai tubuhnya sendiri?

Aida berjalan dengan tertatih menyusuri ruangan. Ia harus berpegangan pada sisi-sisi etalase supaya tidak luruh ke bawah. Dia berusaha keras supaya tidak pingsan meski pandangannya sudah mulai kabur.

Tapi akhirnya tubuhnya tak lagi mampu menopang, langkahnya sudah tak mungkin dikendalikan. Gadis itu ambruk, pingsan. Ia tak sadarkan diri. Gadis itu terjerembab ke bawah tepat di belakang counter kasir, jauh dari pandangan orang yang lalu lalang di depan.

Ia tak akan sadar saat ada seseorang masuk ke dalam secara diam-diam.

Ia tidak sadar ketika orang yang diam-diam masuk itu lantas mengunci pintu.

Aida tidak sadar ketika orang itu mengendap-endap masuk ke dalam toko dan mematikan lampu, seolah-olah toko kue itu sudah tutup. Ia menyalakan lampu handphone untuk masuk ke dalam. Aida bahkan tidak sadar ketika sosok itu berdiri sangat dekat dengannya, tersenyum meringis melihat sang dara berkerudung itu tak sadarkan diri.

Kumisnya yang berwarna abu-abu bergerak-gerak ke kanan dan kiri seiring bibirnya yang komat-kamit, kebiasaan refleknya kala nafsu birahi sudah di ujung ubun-ubun. Orang itu membuka resleting celananya sendiri, menurunkan celana dalam, dan mengeluarkan belalai yang besar, hitam, dan berurat dengan bulu jembut yang berwarna kehitaman.

Oalah Neng… Neng… akhirnya kudapatkan juga kamu. Sudah lama sekali aku mengincarmu. Yah sebenarnya aku mengincar Nisa, tapi ya sudah terima saja apa adanya, toh dia jarang jaga ruko lagi, adanya kamu. Tidak dapat si molek Nisa, dapetnya Neng Aida. Tidak apa-apa, kelak pasti akan kudapatkan juga Nisa. Sekarang keponakannya saja dulu. Anggap saja baru dapat piala Euro, pemanasan menjelang piala Champions. Hueheheheh.”

Orang yang diam-diam masuk ke dalam ruko itu, tidak disangka tidak dinyana ternyata adalah Pak Tarun – sang satpam yang sebenarnya justru merupakan orang kepercayaan Nisa dan Aida. Siapa yang menyangka bahwa di balik senyumnya yang tulus, sang satpam ternyata mengincar kemolekan Nisa dan Aida?

Pak Tarun mengeluarkan satu sachet obat tidur yang tadi sudah dituang sampai habis ke dalam air yang diminum oleh Aida.

Tidak menyangka obat ini bisa manjur. Hueheheheheheh. Tidak percuma aku ngentotin pegawai apotek demi dapetin obat semacam ini,” Pak Tarun menjilat bibirnya dengan buas, pria tua itu lantas jongkok ke bawah, makin mendekatkan dirinya ke celana yang dikenakan oleh Aida. Batinnya kembali berbicara, “Aku sebenarnya lebih ingin meniduri Nisa yang membuat kontolku selalu menggeliat, tapi keponakan seseksi ini masa iya aku lewatkan. Huehuehuheeh...

Tangan Pak Tarun dengan ganas mulai mengelus-elus paha Aida yang masih terbungkus celana. Gadis itu hanya mengerang tanpa terasa. Perlahan-lahan Pak Tarun membuka kancing celana Aida, menurunkan resletingnya, dan menarik celananya ke bawah.

“Mmmmhhh…” Aida melenguh tanpa sadar.

Pak Tarun manggut-manggut melihat putih mulusnya kulit sang bidadari. Tangannya mulai bergerak menggerayangi paha menakjubkan milik Aida yang masih saja tak sadarkan diri. Gadis manis itu hanya menggeliat dan mengerang, tapi tak membuka mata. Pria tua itu meneguk ludah melihat kemolekan wanita berparas jelita di hadapannya. Siapa yang mengira kalau Aida ternyata punya tubuh semulus dan seindah ini?

Pak Tarun tersenyum, ia menurunkan wajahnya dan mulai mengecup paha sang bidadari, sembari tangannya terus menerus mengelus paha mulus Aida. Birahinya sudah semakin tak tertahankan, tapi ia masih terus berusaha bertahan.

Ahhh! Dia tidak tahan!

Pak Tarun mengangkat baju yang dikenakan Aida, membuka bagian atas badan yang masih terlindungi oleh beha berwarna peach, pakaian dalam yang senada dengan celana dalam yang dikenakan oleh sang dara. Tangannya menelusup ke sebalik beha Aida.

“Ugh! Gila!”

Tangan Pak Tarun berhasil menjumpai buah dada kenyal menggumpal binal yang mulus total.

Ia meremasnya sekali.

Jelas tidak puas.

Lalu sekali lagi, lalu sekali lagi, lalu lagi, lagi, lagi, lagi, lagi, dan lagi. Dalam setiap remasan ia seakan ingin mencabut payudara itu dari dada Aida saking gemasnya. Belum lagi puting susu mungil yang menceruat naik karena dihempas oleh rangsangan maut sang satpam tua. Wah, tak habis pikir.

“Mmmhhh…”

Pak Tarun berhenti sejenak, mengamati sang bidadari yang sepertinya mengerang. Apakah dia tersadar? Apakah obatnya sudah tidak manjur lagi? Keringat pun membanjiri dahi sang satpam tua. Dia takut kejadian ini akan ketahuan keluarganya dan keluarga Nisa. Bisa-bisa dia dihukum masuk bui gara-gara menelanjangi Aida kalau sampai ada yang tahu.

Untung bagi Pak Tarun, Aida masih terlelap.

Dasar bodoh! Maki Pak Tarun pada dirinya sendiri.

Hanya gara-gara menelanjangi Aida masa iya takut masuk bui?! Kenapa harus takut? Sudah kepalang tanggung! Sebaiknya sekalian saja gadis itu ia nikmati luar dalam. Pak Tarun pun tersenyum. Rencananya toh berjalan dengan lancar seiring masih pingsannya Aida. Jadi kenapa harus takut? Dilanjutkan saja! Kalau berani jangan takut-takut kalau takut jangan berani-berani! Kalau memang mau ya ayo!

Napas Pak Tarun makin menderu.

Satu persatu baju Aida ia lucuti tanpa peduli. Dengan sengaja Pak Tarun menelanjangi sang bidadari dengan tak lupa tetap membiarkan kerudung yang dikenakannya. Entah kenapa Pak Tarun justru lebih bernafsu kalau menyetubuhi seorang wanita yang tetap mengenakan kerudung.

Setelah melepaskan semua pakaian yang dikenakan Aida, Pak Tarun pun berdiri dan memotret pose seksi sang dara yang pingsan itu dengan menggunakan kamera handphone. Foto-foto ini akan ia simpan untuk koleksi pribadi dan bisa digunakan nanti untuk coli. Hueheheheh. Coba lihat ini, tubuh Aida ternyata begitu seksi dan moleknya. Buah dada sentosa di atas tubuh mungil dengan pentil susu menjulang mengundang menantang. Belum lagi kemaluan yang belum terkuasai oleh pria manapun terbukti dari formatnya yang masih segaris, tipis, dan manis. Pak Tarun geleng-geleng kepala melihat keindahan sang bidadari yang ia perkirakan masih perawan itu, ia harus berusaha keras menahan air liurnya.

Begitu selesai memotret keindahan tubuh Aida, Pak Tarun melucuti bajunya sendiri dan mulai berbaring di samping Aida, di lantai, di dekat meja kasir. Dua tubuh telanjang beda usia terbaring menyamping. Aida di hadapan Pak Tarun. Pria tua itu pun memeluk sang dara tanpa takut dari belakang, dan mengelus-elus bagian tubuh manapun dari Aida. Mulai dari pundak, lengan, pinggul, perut, hingga ke pinggang. Satu tangan menelusup untuk memeluk bagian perut sementara tangan lain meremas-remas dada sang dara muda.

Tubuh indah Aida menjadi santapan lezat bagi sang satpam tua yang sudah sejak lama ingin menjamah tubuh sang bidadari. Dengan memeluk Aida, keinginan Pak Tarun akhirnya terwujud, siapa sih yang tidak pengen memeluk Aida?

“Aku suka wangimu, sayang.” Pak Tarun menempelkan bibirnya ke pundak Aida, lalu mengolesnya dengan perlahan-lahan seiring lekuk tubuh sang dara. Jari telunjuk dan jempol Pak Tarun memilin pentil susu Aida, membuat sang pria tua kegirangan, “mmmhh… susumu ini lho, sayang. Mungil dan imut seperti kamu.”

“Mmhh…” Aida kembali mengerang, tubuh indahnya menggelinjang.

Pak Tarun makin girang, “Apa yang kamu rasakan sayang? Enak dipilin-pilin pentilnya?”

Kaki sang pria tua melilit kaki jenjang Aida sementara tangannya tetap memeluk sang gadis muda. Pak Tarun mengeluarkan lidah super panjang yang mungkin menyamai panjangnya lidah Mick Jagger atau Gene Simmons. Lidah itu kemudian menempel di pipi Aida, dan mulai bergerak naik turun dengan ganasnya, merasakan setiap jengkal pipi mulus sang dara.

Lidah sang satpam mengusap dan mengelus wajah Aida, mulai dari pipinya, ke atas, ke kelopak, ke dahi, ke hidung, ke sisi kanan, ke sisi kiri, dan akhirnya bibirnya mengatup imut mulut sang gadis jelita. Buas bibir sang pria tua berkumis abu saat mencium bibir Aida. Mencium barangkali bukan istilah yang tepat. Bibir Aida benar-benar dilumat dengan brutal, bagaikan seekor singa memangsa pelanduk. Bibir Aida seakan-akan dimakan oleh Pak Tarun.

“Mmhh…” Aida sekali lagi mengerang.

“Mmmh, sayang… kamu bener-bener wangi dan seksi banget,” tangan Pak Tarun tak berhenti meremas-remas dada Aida sementara bibirnya terus menerus bekerja, sesekali mencium bibir sang dara dan kali lain mencium pipi yang mulai basah oleh ludah sang pria tua, “aku tidak tahan lagi.”

Tangan Pak Tarun menggeliat masuk ke dalam selangkangan sang dara, memisahkan paha mulusnya satu sama lain, membuka lebar akses menuju liang cinta yang kian basah oleh siksaan birahi sang pria tua. Jari jemari sang satpam bejat itu mulai bekerja, ia menusukkan telunjuknya ke dalam liang cinta milik Aida.

“Hnnnghhh…” Di bawah sadar, Aida merasakan adanya benda asing masuk ke dalam liang cintanya. Ia melenguh lembut dan manja, membuat Pak Tarun kian belingsatan.

“Tenang saja, sayang. Aku akan membuatmu keenakan hari ini.” Pak Tarun membalik tubuh Aida, membuatnya berada di bawah pelukan sang pria tua. Ia pun menempelkan ujung gundul kemaluannya di bibir surgawi liang cinta sang gadis muda, perlahan-lahan ia melesakkannya ke dalam, “Akan kubuat tubuhmu yang indah ini merasakan nikmat yang tak pernah kau rasakan sebelumnya, sayang…”

Sedikit demi sedikit ujung batang kemaluan Pak Tarun membuka bibir surgawi milik Aida. Melesak dan membuka jalur yang belum pernah terjajah sebelumnya. Pria tua itu memejamkan mata keenakan. Ia merasakan bagaimana ujung gundul kemaluannya mulai ditelan oleh bibir bawah yang baru kali ini merasakan desakan benda asing.

“Enakggghh, sayaaaaaaaaang… sedikit lagi… sedikit la…”

“Mmmhhh… apa yang…”

Sebelum Pak Tarun bisa melesakkan kemaluannya lebih dalam, tiba-tiba saja Aida membuka mata. Pak Tarun jelas langsung terkejut, Aida apalagi. Gadis itu membuka mulut

“Pa-Pak Tarun?!”

Aida jelas kaget karena ia terbangun dalam kondisi telanjang dalam pelukan seorang pria tua yang selama ini justru ia percaya!

Jiampuuut! Pak Tarun kaget setengah mati saat melihat Aida sudah terbangun dari pingsannya! Padahal ia belum puas mendesak kemaluannya untuk masuk ke memek dan meremas payudara sang gadis muda! Satpam tua itu sudah kepalang tanggung! Kapan lagi akan mendapatkan kesempatan emas seperti ini!? Ia tak peduli! Terlanjur basah sudah! Tangan Pak Tarun yang tadinya meremas buah dada Aida, kini membekap mulut Aida.

“Maaf. Tapi hari ini akan kurenggut perawanmu, sayang.”

Aida meronta tanpa daya, kepalanya menggeleng hebat. Tubuhnya terlalu lemas di bawah pengaruh obat tidur yang tadi dimasukkan ke air minumnya. Airmatanya mengalir deras, kenapa lagi-lagi ia harus mengalami hal ini di hari yang sama?

Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya.

Aida berteriak tanpa suara.





.::..::..::..::.





Pager Jurang adalah salah satu kawasan wisata yang ada di lereng Gunung Mandiri.

Seperti namanya, Pager Jurang atau pagar jurang adalah kawasan tebing yang berbatasan langsung dengan jurang yang dalam. Tempat ini sebenarnya cukup angker karena jauh dari kawasan pemukiman baik di lereng ataupun di kaki gunung, tapi setiap malam minggu ramai ditongkrongi oleh kaum muda untuk menyaksikan pemandangan kota yang indah yang terlihat dari lokasi.

Salah satu daya tarik di Pager Jurang yang ramai dan selalu diandalkan adalah garis Gardu Pandang yang menyediakan sasana bangku-bangku di beberapa titik yang dapat digunakan untuk menikmati keindahan Gunung Mandiri. Menyaksikan kemegahan sang perkasa dengan jajaran hidangan khas yang disajikan oleh penjual jajanan. Mulai dari tempe mendoan dan sambel kecap, jagung bakar karamel atau pedas nano-nano, wedang secang, susu jahe, atau hanya sekedar makan sego luwih khas lereng Gunung Mandiri.

Di posisi Gardu Pandang wetan, ada satu lahan yang cukup landai yang sering digunakan oleh anak-anak lereng untuk nongkrong beramai-ramai, penjaja makanan pun berjajar di sana. Malam itu, hal yang sama pun tengah dilakukan oleh banyak anak muda yang mengajak pasangannya. Selain untuk berpacaran, juga untuk jajan dan bersenang-senang. Bahkan ada yang mengadakan pesta kembang api yang sangat ramai seperti yang saat ini dihadiri oleh Sukirlan sang playboy. Ia mengajak banyak kawan untuk datang ke pestanya.

Termasuk di antara tamu Sukirlan, terdapat pasangan Prima dan Reva – yang sebenarnya agak terintimidasi untuk datang ke tempat itu. Mereka bukan ingin datang, mereka terpaksa datang untuk menghormati Sukirlan.

“Serius, Mas. Kita mau ikut acaranya Mas Lan sampai selesai? Apa tidak bisa dipercepat saja dan pulang lebih dulu? Orangnya agak gimana gitu. Aku tidak suka,” ujar Reva saat tiba di lokasi. Ia dan sang tunangan baru saja memarkir motor dan menyusuri jalan setapak di Pager Jurang.

“Dia memang unik, tapi yah mudah-mudahan orangnya beneran baik karena Bapak dan Ibuk sepertinya sangat berhutang budi sama Si Lan. Yang tinggal di Bawukan kan mereka, di wilayah yang dinaungi dan dilindungi keluarganya Mas Lan. Bapak dan Ibuk adalah orang yang setiap harinya bertemu dengan Si Sukirlan, jadi tidak mungkin aku melawan keinginan orang itu karena bagaimanapun juga aku tidak bisa membahayakan keselamatan Bapak dan Ibuk di tangan keluarga Sukirlan yang terkenal preman.”

“Iya sih… hanya saja…”

“Apalagi membantah kedua orangtuaku tidak baik bukan?”

Reva mengangguk sembari semakin erat menggandeng Prima. Malam ini, dia tidak akan meninggalkan sang tunangan apapun alasannya!

Seperti biasa, apa yang dihindari justru datang, apa yang ditakutkan justru hadir. Yang jelek-jelek selalu datang duluan.

“Nah-nah, sudah datang rupanya, bintang tamu utama kita malam ini!” Pria yang saat ini paling dibenci Reva datang menghampiri sepasang calon pengantin itu. Pria bertubuh tinggi tegap dengan wajah ganjil yang tidak bisa dibilang tampan. Rambutnya yang klimis dibelah tengah sementara dagunya yang kotak dan tulang pipinya yang tinggi tidak menambah manis penampilannya yang garang dan keras.

Sukirlan merangsek di tengah-tengah Prima dan Reva, merangkul keduanya dari belakang, bau minuman keras merebak dari mulutnya, membuat Reva harus membuang muka karena risih. Hal itu justru membuat Sukirlan makin erat memeluk pundak pasangan yang baru datang.

“Bagaimana kabar kalian berdua? Sudah aku tunggu-tunggu lho! Hahahaha! Yuk gabung dengan yang lain.”

Reva jelas merasa jengah dan tak nyaman, tapi apa daya ia tak mampu menolak kehadiran Sukirlan di antara dirinya dan calon suami.

“SEMUANYAAA!!” teriak Sukirlan yang langsung menghentikan pesta untuk sesaat, “Kita kedatangan tamu agung dari kota nih, yang cowok seharusnya sudah tidak perlu lagi diperkenalkan… ini temen lama kita, Prima!”

Teman-teman lama Prima di kampung yang masih mengenalnya pun bersorak-sorai dan bertepuk-tangan, surprise atas kehadiran sosok pemuda itu. Mereka mengira dengan mencari kesuksesannya di kota, Prima tak akan pulang ke desa kembali. Ternyata kini ia kembali pulang dengan membawa seorang tunangan yang cantik jelita dan bertubuh indah. Satu persatu teman Prima menghampiri dan menyalaminya, begitu juga dengan Reva yang ikut bersalaman.

Sedikit demi sedikit Sukirlan tersenyum dan menjauh, ia memberikan waktu dan tempat pada Prima dan Reva yang menjadi bintang baru malam itu. Sukirlan memilih duduk di salah satu sudut yang sepi sembari mengamati bagaimana kedua orang yang baru datang bersosialisasi. Tentu saja pandangannya tak lepas dari sang dara jelita berkerudung yang selalu bergandengan dengan Prima.

“Biar kutebak, kamu menyukai gadis itu, kan?” seorang dara berkulit putih yang rambutnya dicat warna coklat duduk di samping Sukirlan. Dara yang tidak mempedulikan hawa dingin karena pakaiannya cukup terbuka. Ia mengenakan baju kutung tanpa lengan dan memperlihatkan pusar. Perlindungan terakhirnya hanyalah jaket jeans yang dikenakan seadanya hingga memperlihatkan pundaknya yang mulus, “Kamu pasti mau memasukkan monstermu ke memek mungil cewek itu kan? Aku tahu kebiasaanmu, Lan. Kamu pasti sudah tidak tahan melihat cewek itu melenggang seksi di depan kamu.”

Sukirlan menyeringai. Ia memeluk pinggul gadis berambut coklat itu dengan satu tangan, “Kenapa kamu? Cemburu? Jangan khawatir. Malam ini hanya kamu yang akan merasakan kontolku, sayang. Aku tahu suamimu tak akan pernah bisa memuaskan nafsu birahimu.”

Gadis itu tertawa dengan suaranya yang serak-serak basah, ia mencibir sembari mencoba melepaskan tangan Sukirlan yang memeluk pinggulnya. “Jangan sembarangan. Banyak orang yang melihat kita di tempat ini. Kalau ada yang lihat mas Huda bakal ngamuk. Begini-begini aku tetap mencintai suamiku. Kamu tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Mas Huda selalu bertanggung jawab dan…”

“Oh ya? Istri macam apa yang datang ke pesta kembang api Sukirlan malam-malam sendirian? Suamimu di kota jualan nasi goreng, sedangkan kamu malah ke tempat ini buka-buka pusar. Dasar jalang. Teman-temanku sudah menggosipkanmu sejak lama, mereka pengen masukin kontol juga ke memek kamu, tapi selalu aku larang karena aku masih belum puas menikmatimu. Jadi sekarang… bagaimana kalau kita ke belakang kedai dan kamu ngangkang lebar-lebar supaya kontolku bisa dengan mudah masuk ke memek kamu?”

Wanita muda yang ternyata istri salah satu penghuni kampung itu meneguk ludah. Ini jelas bukan pertama kali dia digoda oleh Sukirlan. Matanya bergerak ke sana sini, tak berani menatap sang pemuda playboy kampung. “A-aku tidak mau…”

“Enny… Enny… kamu ini maunya apa? Tadi godain, sekarang malah takut,” Sukirlan dengan berani kembali memeluk pinggul sang wanita muda. Ia mengelus dan meremas pantat wanita yang disebut dengan nama Enny itu, sang wanita muda bergerak dengan jengah dan gelisah, tapi Sukirlan tidak peduli, ia justru menggoda Enny. “masih ingat ketika pertama kali aku memperkosamu? Kamu berteriak-teriak kesetanan dan ketakutan, kamu meneriakkan nama Huda. Meminta tolong padanya, tapi dia tidak pernah datang kan?”

Enny menunduk, “Kamu memang bajingan, Mas Lan. Aku baru datang ke kampung kita sebagai pengantin baru. Tega-teganya kamu memperkosaku. Aku sampai trauma keluar rumah dan bertemu dengan orang lain. Aku bahkan tidak melayani suamiku lebih dari dua bulan.”

“Heheh. Itu kan dulu. Tapi sekarang kamu suka kan? Sekarang kamu malah cemburu aku bawa cewek lain. Gimana sih cari binor?”

Enny menjulurkan lidah dengan sengit.

Sukirlan tersenyum, ia berdiri dan menggandeng Enny menuju ke tempat tersembunyi di belakang sebuah kedai. Di sana ada kamar kosong yang sering digunakan oleh Sukirlan untuk beristirahat. Enny hanya menunduk dan terdiam mengikuti Sukirlan, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat orang-orang menyaksikan keduanya berjalan bergandengan. Teman-teman si Lan terkekeh-kekeh melihat sekali lagi sang playboy kampung berhasil menaklukkan mangsa yang merupakan istri orang.

Padahal dulu Enny adalah gadis yang lugu dan alim, tapi sekarang berubah sejak jatuh ke pelukan Sukirlan. Dia memang playboy pemaksa yang sangat jago.

Sukirlan melewati dua temannya yang paling dekat, Kohar si Kribo dan Gandos si Gundul. Sukirlan mengedipkan mata pada keduanya, yang langsung ditanggapi dengan anggukan kepala. Mereka berdua berjalan di belakang Sukirlan dan Enny. Keduanya paham kalau mereka berdua harus bertugas menjaga pintu menuju kamar di belakang kedai.

Biasanya, setelah bosan dengan mangsanya, Sukirlan akan memberikan korbannya pada si Kribo dan si Gundul, sehingga mereka juga ikut menikmati apa yang dilakukan Sukirlan. Melihat Enny yang sedemikian molek, kedua anak buah Sukirlan itu pun meneguk ludah. Sejak awal kedatangannya di kampung, keduanya sudah mengincar Enny.

Akhirnya Si Lan dan Enny menghilang di balik kedai sementara Kribo dan Gundul berjaga di depan jalan masuk. Tidak ada yang bisa masuk tanpa sepengetahuan mereka.

Kepergian Sukirlan dan Enny membuat pasangan Prima dan Reva bebas menikmati gardu pandang dan keindahan di tebing Pager Jurang. Keduanya berjalan-jalan di sekitar tempat wisata itu dengan tenang dan penuh kedamaian.

“Ternyata tempat ini indah banget ya, Mas.” Reva menggandeng Prima dengan mesra. Semua ketakutan dan rasa jijiknya hilang saat melihat keindahan lokasi yang ternyata memang sangat menakjubkan, ditambah pula Sukirlan ternyata tidak ada di dekat mereka.

“Banget. Sebenarnya sudah sejak lama aku ingin mengajakmu ke sini, tapi seperti yang kamu tahu – Sukirlan menjadi salah satu orang yang mengelola tempat ini jadi aku tidak berani membawamu kemari karena alasan yang kamu tahu sendiri,” ujar Prima sembari memeluk tubuh sang tunangan dengan hangatnya, “kamu suka pemandangannya?”

“Banget, Mas. Aku seneng banget akhirnya bisa datang ke desa ini, ketemu orang tua kamu, melihat pemandangan ini… Ugh! Ga sabar rasanya pengen segera ambil foto buat prewedding nanti.”

“Hehehe, sama sayang. Aku juga sudah gak sabar rasanya,” Prima mempererat pelukannya. Reva menggeliat manja. Pemuda itu pun mengecup ujung kerudung sang kekasih.

Keduanya berhenti di salah satu sudut untuk menikmati pemandangan.

Mungkin karena banyak angin yang kencang menerpa, Prima tiba-tiba saja berubah wajah. Pemuda itu mengelus-elus perutnya dan menunjukkan wajah yang tidak nyaman, “Duuuh, perut aku tiba-tiba saja bermasalah nih, sayang. Melilit rasanya. Mesti buru-buru ke belakang.”

“Yaaaah. Gimana sih?”

“Di mana yah ada toilet?”

“Ada di sebelah sana tadi, tempat awal kita jalan. Agak jauh dari sini.” Reva menunjuk ke satu arah, untung saja tadi dia mengamati lokasi demi lokasi supaya tidak tersesat. Gadis cerdas itu juga paham lokasi tempat-tempat yang penting diketahui seperti toilet.

Prima mengangguk sambil berlari, “oh iya bener. Ya udah aku kesana dulu yaaaaa. Kamu tunggu di sini jangan kemana-manaaaa! Duh aduh aduh.”

Prima pun meninggalkan Reva sendirian tanpa terkawal. Gadis itu hanya bisa melongo saat Prima meninggalkannya dengan tergopoh-gopoh.

Reva mendesah, untuk beberapa saat lamanya, ia hanya bersandar di pagar kayu yang tepat berada di tepian tebing, menatap kerlip bintang yang menyembul dari balik awan sebagai penanda malam yang cerah, menerangi gelaran pemandangan kota yang begitu indah. Sayang ia hanya bisa menikmati ini semua sendirian karena Prima tak segera kembali dari kamar kecil. Cukup lama Prima meninggalkannya, jangan-jangan sakit perutnya lumayan parah? Sudah lebih dari setengah jam Prima meninggalkannya.

Apa lebih baik Reva menyusul saja ya?

“Bagaimana menurutmu? Indah bukan?”

Reva menengok ke belakang, itu bukan suara Prima.

Ternyata yang datang adalah Sukirlan yang membawa dua gelas minuman. Ia menyeruput salah satu gelas dengan tenang. Ia tidak memandang ke arah Reva, ia memandang jauh ke ufuk, ke horizon. Ke arah pemandangan indah lampu-lampu kota yang hanya dimungkinkan terlihat dari tebing tempat mereka kini berdiri. Kerlap-kerlip lampu kendaraan yang mengular dan rumah-rumah yang berjajar, nampak begitu senyap, mistis, tapi sekaligus penuh kehidupan.

“Aku suka sekali datang ke tempat ini, tenang, syahdu, dan tanpa gangguan siapapun. Tempat yang tepat untuk merenung, mendalami arti kehidupan, atau hanya menghabiskan malam untuk mencari ketenangan.”

Untuk pertamakalinya, suara Sukirlan terdengar… manusiawi. Tidak ada nada menghina, mem-bully, ataupun melecehkan seperti biasanya. Dia berbicara dengan normal dan biasa-biasa saja, bahkan wajahnya terlihat lebih tenang dan jauh lebih santai dari sebelumnya yang pernah Reva lihat. Sukirlan terlihat… ramah.

“Iya, tempat ini memang indah. Aku menyukainya, aku suka hawanya, pemandangannya,” Reva mengangguk setuju pada pendapat Sukirlan. Dia tidak berbohong, dia memang menyukai tempat ini. Dia juga tetap menjaga jarak untuk tidak berdekatan dengan Sukirlan karena tahu kedekatan akan membahayakan. Senormal apapun gaya bicaranya, Sukirlan adalah Sukirlan. Reva bukan gadis bodoh.

“Mana si Pe?” tanya si Lan dengan santai, ia duduk di kursi kayu yang ada di belakang mereka.

“Sedang ke toilet. Sebentar lagi juga datang.”

Reva meneguk ludah, dia tidak ingin berduaan terlalu lama dengan Sukirlan yang sudah ketahuan superbejat ini. Mudah-mudahan Prima tidak lama lagi akan datang. Reva merasa jengah berada di tempat yang sama dengan orang menjijikkan yang membuatnya muak. Tidak ada orangtua Prima dan Prima sendiri saat ini, jadi Reva tidak perlu berpura-pura sopan pada si Lan. Dia sudah tidak suka sejak kali pertama mereka bertemu.

“Begitu ya? Hahaha, dasar si Pe. Baru sebentar saja di sini sudah masuk angin. Kebiasaan memang si Pe, orangnya lemah.” Sukirlan menyodorkan gelas yang ia pegang pada Reva, “minum?”

Reva tersenyum dan menggeleng. Dengan ketus ia menjawab, “lebih baik tidak. Aku tidak tahu apa isi minuman itu dan kamu bukan orang yang dapat aku percaya.”

Sukirlan tentunya terkejut dengan ucapan Reva itu, mulutnya menganga. Tapi kemudian dia paham dan terkekeh geli. Pria itu tidak marah ataupun kecewa. Sukirlan paham betul, gadis satu ini memang unik, meski polos tapi dia sangat jujur walaupun kejujuran itu bisa saja menyakitkan. Sukirlan meletakkan gelas yang baru saja ia tawarkan di salah satu meja kosong di dekat kursinya.

“Isinya hanya es buah biasa dicampur dengan air soda. Tapi kalau kamu tidak mau ya tidak usah diminum. Kamu benar sih, aku bukan orang yang mudah dipercaya dan berangasan. Itu sepertinya yang membuatmu benci sekali denganku,” ucap Sukirlan dengan tenang, dia berkata dengan sopan. Sesuatu yang sangat tak terbayangkan oleh Reva, bagaimana mungkin orang seperti si Lan bisa berbincang sesopan ini?

“Kalau sudah tahu aku tidak percaya dan tidak suka padamu ya silakan sadar diri dan tinggalkan aku sekarang juga. Aku sama sekali tidak ingin, tidak berminat, dan sama sekali tidak berniat untuk berduaan denganmu di tempat ini. Lagipula aku tahu kamu sudah punya kekasih, kok ya masih saja menggoda milik orang lain. Bukannya lebih baik luangkan waktu untuk kekasihmu saja? Susah lho mendapatkan kekasih yang dengan sadar mau menjadikanmu orang brengsek sepertimu sebagai pacar. Jangan-jangan dia punya kelainan mental?” Reva me-roasting Sukirlan dengan sengitnya.

“Kenapa malah jadi ngomongin soal pacarku? Hahaha. Kamu tidak kenal dan tidak perlu mengkhawatirkan dia. Pacarku orang yang terbuka, dia sudah tahu orang seperti apa aku ini jadi dia tidak pernah mempermasalahkan. Aku mau ngentotin siapapun juga dia tidak akan peduli, asal dapat jatah ngewe setiap hari. Hehehe.”

Reva mencibir.

”Orang kota seperti kamu memang sok suci dan sok benar ya? Padahal tidak tahu apa-apa, tapi merasa yang paling segalanya. Huahahahaha,” Sukirlan mengedipkan satu matanya, “Bagaimana rasanya ngentot sama si Pe? Jago tidak dia? Aku lihat kamu dingin begini pasti jarang diberi kehangatan. Huauahahaha. Begini-begini aku jago ngewe, heheh. Cewek yang sudah kena patuk sekali pasti minta lagi. Kalau kamu bagaimana? Masa iya belum pernah dientotin si Pe? Heheh, enak tidak kontol dia?”

Reva melotot dengan emosi, alisnya menyatu, dan menunjukkan wajah penuh amarah. Awalnya sih Sukirlan memang sopan, tapi tetap saja lama-lama ngomongnya cabul, dasar watak bejat tidak bisa diubah! “Kurang ajar! Kamu pikir kamu ini siapa kalau ngomong tidak dijaga? Kalau kamu tidak pergi aku saja yang pergi!”

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba saja ada beberapa kelelawar yang terbang dari balik pepohonan rindang yang mengukung tempat terlindung itu, terbang mengitari lokasi mencari tempat berlindung yang baru atau mencari makan. Kelelawar-kelelawar itu terbang rendah dengan berputar-putar, terkesan panik walaupun sebenarnya hanya sekedar mencari jalan.

Reva yang terkejut mundur ketakutan karena kaget, ia tidak melihat jalan, hasilnya ia pun tersandung pembatas jalan. Untung saja ada Sukirlan yang menahan dan menerima tubuh Reva sehingga gadis itu kini dipangku oleh sang pria. Karena takut, kaget, dan panik, Reva tidak memberontak dan terus memandangi kelelawar yang terus saja berputar-putar di atas mereka. Ia bahkan tidak sadar ketika satu tangan Sukirlan memeluknya dengan erat dari belakang dan tangan yang satu lagi menangkup buah dada ranum sang gadis jelita.

Sukirlan beruntung dia datang di waktu yang tepat. Ia dan rombongannya sebenarnya sudah tahu pada jam-jam ini kelelawar akan menguasai area pandang yang ditempati oleh Reva dan Prima, sehingga mereka tidak datang ke sini meskipun pemandangannya sangat indah.

Sukirlan tersenyum karena kini ia benar-benar bisa memeluk tubuh indah sang dara jelita yang sebentar lagi akan menikah dengan Prima itu. Tubuh mungil Reva, kecantikannya, putih mulus kulitnya, harum wanginya, gairah tersimpan di dalam keindahan tubuhnya, semuanya dapat ia rasakan malam ini. Dengan bebas Si Lan mulai meremas-remas buah dada kanan Reva yang masih tak sadar apa yang dilakukan oleh sang preman kampung yang juga penjual buah itu.

Si Lan meneguk ludah. Ahhh, buah dada kenyal ini memang seindah yang terlihat.

Reva menyembunyikannya dengan baik, tapi Sukirlan tahu Reva sebenarnya punya payudara yang yang cukup montok. Besar, kenyal, menggairahkan. Kenapa barang semenarik ini disembunyikan oleh gadis berkerudung itu? Sayang sekali rasanya kalau buah dada seindah ini tidak dapat dinikmati banyak orang.

“Mmhh…” Reva mendesah tanpa sebab. Gadis itu terkaget sendiri sehingga dia menutup mulutnya.

Apa-apaan ini!?

Saat itulah barulah Reva sadar kalau dia tengah duduk dalam pangkuan Sukirlan dan buah dadanya tengah diremas-remas! Tubuhnya menyelami kenikmatan tanpa ia sadari, dan ia terjatuh ke dalam jebakan sang preman kampung dengan sukarela.

“KURANG AJAR!” Reva nyaris melompat tapi ketika hampir berdiri, lagi-lagi ada kelelawar mengitari bagian atas mereka sehingga ia kembali duduk di pangkuan Sukirlan.

“Lho kok balik lagi? Suka ya dipangku begini? Heheh.”

“DIAM!”

Tangan Sukirlan kembali memeluk Reva, tentu saja gadis itu buru-buru membongkar pelukan sang pria bejat sekuat tenaga. Hal yang tidak mudah karena Si Lan sangat kuat dan pelukannya kencang. Bagaimanapun Reva mencoba memberontak, ia tak mampu melepas tangan Sukirlan. Gadis itu mulai panik, takut Sukirlan akan berlaku lebih jauh lagi.

“Lepaskan atau aku akan teriak!!” ucap Reva galak.

“Teriak saja. Tempat ini jauh dari kedai. Apalagi banyak kelelawar menutup pandangan di jalan setapak yang licin. Heheheh. Tidak akan ada yang datang kemari.”

“Lepaskan!” Reva makin berontak, ia sudah tidak sabar lagi, “TOLOOOONG!!”

Sukirlan menyeringai.

Ketika Reva berteriak, justru semakin banyak kelelawar yang terbang mengitari, mereka menjadi panik dan tidak tentu arah. Saling tabrak sehingga ada yang terjatuh ke bawah. Reva pun makin ketakutan melihat binatang-binatang malam itu. Ia tak sadar kalau lagi-lagi tangan Sukirlan meremas-remas dadanya yang ranum.

“Mmmhhh… kumohon… lepaskan aku… lepaskan… mmmhh…” Reva mulai menggigit bibir, menahan rasa ingin menangis, sekaligus menahan rasa tak karuan karena dadanya terus menerus dirangsang oleh Sukirlan, “Aku tidak akan cerita ke siapa-siapa, tidak akan bilang ke siapa-siapa. Kumohon lepaskan aku… mmhh… mmmh…”

Dada Reva terus menerus jadi tumpuan sasaran remasan tangan jahil sang penjual buah.

Sukirlan mendekatkan kepalanya ke sisi kerudung Reva di mana telinganya berada, nafas busuk berbau rokok merk abal-abal bercampur minuman keras dan entah apalagi tercium oleh Reva yang langsung jijik. Pria ini… apakah tidak pernah gosok gigi?

“Aku akan berhenti, kalau kamu mau melakukan satu hal untukku,” bisik si Lan.

Reva tahu ini pasti pertanda buruk, “Apa itu?”

“Cium aku.”

Reva memutar matanya. Dasar brengsek! Benar saja kan!? Permintaannya yang tidak-tidak! Mana mau Reva mencium orang seperti Sukirlan!

“Mmmmhhh… ti-tidak bisa.” dada Reva masih terus diobrak-abrik oleh Sukirlan, ia harus bertindak cepat sebelum perasaannya semakin kemana-mana. Reva bahkan sudah bisa mendengar deru napas sang penjual buah karena ia sendiri perlahan terpacu oleh nafsu, Sukirlan dengan lihai memainkan tangannya di dada Reva yang ternyata sangat sensitif saat buah dadanya dimainkan, “Aku tidak bisa…”

“Yakin tidak bisa?” bisik Sukirlan lagi, “aku bisa memberikan kenikmatan lebih dari yang kau bayangkan. Sekarang ataupun kelak saat kamu membutuhkan.”

Sukirlan mengecup lembut pipi Reva.

Reva langsung memiringkan kepala untuk menghindar dan menggeleng. Dia tidak ingin berlama-lama lagi. Ia menengok ke arah penjual buah itu. Wajah mereka sangat dekat saat ini, hampir-hampir tak ada jarak. Kalau hendak menciumnya, maka ini adalah saat yang tepat.

Sialan! Orang ini benar-benar kurang ajar!

Reva memajukan wajahnya, bibirnya mengecup bibir Sukirlan. Kecupan yang hanya sepersekian detik saja.

Sang penjual buah tahu Reva hanya berniat mengecupnya, itu sebabnya ia kemudian memegang kepala Reva dan menguncinya. Dengan cekatan Si Lan beraksi, bibirnya pun memagut tanpa henti. Bibir tebal sang penjual buah kampung menangkup bibir seksi sang dara jelita dari kota. Reva memejamkan mata, tidak ingin melihat siapa yang tengah ia cium, tapi mau tidak mau ia merasakan betapa berbedanya ciuman Prima dan Sukirlan. Hanya dua orang pria itu yang pernah ia cium seumur hidupnya.

Sukirlan… sangat berbeda.

Ciumannya bagaikan mesin penyedot yang super, mampu melambungkan Reva ke alam yang lain hanya dengan hisapan-hisapan dan usapan bibir yang berpadu. Jelajah bibir Sukirlan sangat liar tapi juga lembut meski menuntut. Sapuan bibir tipis-tipis secara tegas di setiap sudut bibir Reva membuat tubuh sang dara menggelinjang terangsang.

“Mmmmh…” Reva mendesah secara reflek.

Gadis itu pun terkejut dengan desahannya sendiri dan menarik kepalanya dengan paksa. Ia memandang sekeliling, kelelawar-kelelawar itu sudah menghilang seiring ciumannya dengan Sukirlan. Reva pun memalingkan wajah, meludah dan menghapus jejak-jejak si Lan dibibirnya dengan punggung tangan.

Reva mendengus, dia buru-buru bangkit dari pangkuan Sukirlan dan mendorong tubuh sang pria mesum, “Jangan pernah menyentuhku lagi! Jangan pernah dekat-dekat denganku, dan jangan pernah berurusan denganku! Ini pelecehan namanya, aku bisa lapor ke polisi!”

“Heheheh, kenapa jadi pelecehan? Bukannya kamu yang menciumku duluan? Memangnya ada bukti pelecehan apa? Kalaupun mau dibawa ke yang berwajib silakan saja, aku bisa mendapatkan alibi dengan mudah dari warga kampung,” ucap Sukirlan sambil mengedipkan mata ke arah Reva yang langsung beringsut menjauh.

“Kenapa kamu datang ke sini?”

Sukirlan hanya tersenyum, “Kenapa aku datang ke sini? Aku itu orangnya simpel. Aku menghargai keindahan, jadi aku ingin menyaksikan pemandangan yang indah dari sini.”

“Kalau begitu selamat menikmati, aku pindah ke lain tempat saja.”

“Mana bisa begitu, kamulah pemandangan indah yang ingin aku nikmati. Kamu beruntung sekali bisa melihat keindahan itu di cermin setiap hari. Wajah indah itu, mata yang bulat merona itu…”

Reva tak ingin percakapan menjadi lebih panjang, dia pun beranjak pergi, “Ada-ada saja. Aku juga suka melihat pemandangan yang indah, tapi kalau ada kamu, pemandangan indahnya jadi rusak dan memuakkan. Jadi lebih baik aku mencari pemandangan indahnya di lain tempat. Selamat malam.”

Sukirlan tetap berucap, “…tubuh indah itu, bibir manis yang rasanya memang manis itu, dan pastinya…”

Reva tak ingin mendengar dan mempercepat dirinya untuk segera beralih dari tempat itu. Ia sedikit mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa menemukan sendal yang sempat terlepas dari kakinya. Untung ia kemudian menemukannya agak sedikit terselip di bawah kolong kursi.

“…dan pastinya buah dada ranum yang indah itu. Kalau yang tidak terlihat saja seindah ini, apalagi yang aslinya. Pasti putih mulus dan seksi.”

Reva melotot dan marah, tapi ia tak ingin berada di tempat yang sama dengan Sukirlan lebih lama lagi. Dia tidak ingin menunjukkan kemarahannya pada pria paling menyebalkan yang pernah ia temui sepanjang hidupnya itu. Dia tidak ingin memberikan apa yang Sukirlan mau, dia tidak ingin melayani percakapannya.

Tangan Sukirlan meraih pergelangan tangan Reva. Kali ini, mau tidak mau Reva menjadi berang.

“Lepaskan, brengsek!” ucap gadis itu dengan ketus, “lepaskan atau aku akan teriak.”

“Silakan saja berteriak. Orang-orang di sini semua tunduk padaku. Mereka tidak ada yang berani macam-macam denganku. Kalau aku mau aku bisa saja memperkosamu saat ini, sekarang, di tempat ini, dan tidak akan ada yang mengganggu kita, termasuk tunanganmu itu. Kamu pikir bisa apa dia kalau kuancam rumah orangtuanya akan kubakar?”

Reva melotot! Dia mulai ketakutan dan meronta mendengar kata perkosa. “Jangan macam-macam kamu!”

“Jangan takut, tenang saja. Aku tidak akan melakukan apa-apa kepadamu, setidaknya untuk saat ini. Aku tidak akan memperkosamu walaupun aku benar-benar ingin melakukannya. Oh ya, aku tidak bohong kalau aku sangat ingin menjejalkan kontolku ke dalam memek sempit kamu, tapi jelas tidak sekarang. Jadi tenang saja. Aku hanya ingin meramalkan sesuatu untukmu.”

Reva terdiam.

“Kamu tidak akan menikah dengan Prima dua bulan lagi. Kamu akan menikah denganku.”

“Ku-kurang ajar! Berani-beraninya…”

“Memang. Aku memang kurang ajar, tidak berpendidikan, tidak punya ijazah, bocah kampung. Aku hanyalah tukang buah yang tak punya uang, tapi begini-begini aku masih tetap bisa memberikanmu kebahagiaan. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.”

“Tidak usah sok-sokan pakai puisi. Aku tidak akan terpengaruh kalau yang ngucapin puisi orangnya seperti preman kampung yang mandi saja jarang! Sudah jangan aneh-aneh! Tinggalkan aku, Mas Prima, dan keluarganya sendiri! Jangan ganggu kami!” Reva melangkah pergi.

“Hahaha. Sekarang kamu tidak peduli, tapi kelak kamu akan mencari. Aku berani bertaruh alih-alih menikah dengan Prima, kelak kamu mendamba kehadiranku. Kaki indahmu itu justru akan merenggang terbuka, pahamu akan melebar, dan memekmu yang wangi hanya akan tersedia untuk kontol seorang Sukirlan. Heheheh. Bagaimana menurutmu? Berani bertaruh? Hari ini saja bibir atasmu sudah kucicipi, sebentar lagi bibir bawahmu. Akan kuhamili kamu supaya cepat-cepat menikah denganku.”

Reva menganga mendengarkan ucapan vulgar Sukirlan yang diucapkan dengan ketenangan seorang bajingan. Bisa-bisanya dia…! Reva berbalik dan melangkah cepat ke arah sang penjual buah.

Plaaaaaak!

“Kurang ajar! Kamu memang benar-benar bajingan! Tidak pantas diajak bicara!”

Reva menampar Sukirlan dengan kencang. Ia lantas berbalik dan berlalu pergi dengan terburu-buru. Emosinya sudah terlanjur meledak tanpa bisa ditahan.

Si Lan memegang pipinya yang panas dan tertawa cekakakan sembari berteriak, “Revaaaaa! Kamu akan segera menjadi milikkuuuu! Hahahahaha.”

Reva tidak ingin bertahan lebih lama lagi di tempat ini!

Dia mau pulang!

Sukirlan menyeringai menatap indahnya pantat bulat Reva saat ia meninggalkan lokasi. Gadis yang sungguh-sungguh indah. Cantik, manis, seksi, dan menawan. Akan jadi penaklukan yang menyenangkan bagi sang penjual buah kalau ia berhasil mendapatkannya.

Dia harus mendapatkannya.

Sukirlan duduk di kursi dengan santai, ia mengambil ponsel merk lokal di dalam kantong celananya dan mulai menekan tombol cari di daftar nomor yang ia simpan. Tak perlu waktu lama untuk menemukan yang ia cari.

“Ndul, sudah selesai durung?” tanya Sukirlan yang ternyata sedang menelpon Gandos Gundul.

Terdengar suara napas terengah-engah dan suara seorang wanita yang mengembik mendesah-desah, wanita itu terdengar seperti menangis sekaligus keenakan, tidak ingin melakukan tapi terlanjur menikmati. Sukirlan tersenyum saja mendengarnya. Gundul menjawab dengan suara yang tenang, “Baru giliran Kohar, Bos. Ini cewek enak banget. Boleh kan ambil beberapa ronde? Sekalian kita bikin hamil biar suaminya bahagia.”

“Hehehe. Terserah kalian saja. Jangan lupa direkam adegannya supaya dia tidak bisa berkelit dan kita bisa memakai tubuhnya kapan saja kita mau. Aku berencana menjual dia di warung remang-remang pinggir jalan lintas biar bisa dinikmati sopir-sopir truk yang lewat,” Sukirlan secara biadab menyetujui apapun yang diinginkan oleh kedua anak buahnya.

“Mantap, Bos.”

“Aku hanya mau minta tolong saja.”

“Oh? Apa itu, Bos?”

“Ada rumah yang harus kalian kunjungi diam-diam, cari waktu yang tepat kapannya. Bakar rumah itu sampai rata dengan tanah tanpa boleh ketahuan siapapun. Bikin seakan-akan ada kecelakaan di dapur. Kalau sampai ketahuan, aku tidak mau tanggung akibatnya.”

“Heheh. Siap laksanakan, Bos.”

Sukirlan menyeringai.





BAGIAN 4 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 5
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd