Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 3
JIKALAU




Jikalau telah datang, waktu yang dinanti.
Ku pasti bahagiakan dirimu seorang.
Kuharap dikau sabar menunggu.

Berilah daku waktu, tuk wujudkan semua.
Janji ini untukmu, ku tak akan lupa.
Kuharap dikau sabar menunggu.
Ku pasti akan datang untukmu.

Untaian kata-kata yang kuucapkan untukmu
Tak seindah kata cinta yang dia berikan padamu
Namun kau selalu ada di hatiku.


- Jikalau, Naif





Mendung menggantung di atas langit.

Sinar mentari yang sepanjang siang bersinar terik kini mulai terkatup rapat oleh gelap yang memangsa. Cuaca yang semenjana sejak pagi ternyata merupakan preambul bagi hadirnya arakan awan gelap yang membawa angin basah.

Nisa memarkirkan motor Vespa matic-nya di depan garasi yang masih tertutup rapat. Tadinya ia hendak parkir saja di situ, tapi kondisi cuaca sepertinya memaksanya untuk berubah pikiran. Kalau dibiarkan di luar, motornya bisa terkena hujan meskipun ada kanopi melindungi.

Apa harus membuka garasi?

Perubahan pikiran itu sah-sah saja bukan? Itu hal yang wajar. Jangankan pikiran, perubahan perasaan pun sering terjadi. Tadinya suka, lalu jadi benci. Yang awalnya benci, berubah jadi sayang. Tidak ada yang pasti, karena memang yang konstan dalam kehidupan adalah perubahan. Manusia kadang sudah siap untuk melakukan sesuatu hingga melakukan perencanaan sampai ke level yang sedetil-detilnya setelah memahami forecast, sampai kemudian tiba-tiba saja berubah haluan dan melakukan hal lain hanya dalam sejentikan jari. Itu yang dinamakan dinamika kehidupan, manusia memang makhluk yang dinamis.

Seperti sesuatu yang sudah berjalan namun tiba-tiba di-reset karena alasan yang sebelumnya tak terpikirkan. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Saat ini Nisa mengalami hal semacam itu.

Hmm, sepertinya harus dimasukkan. Sepertinya bakal hujan deras.

Tadinya mau memarkirkan motornya di luar garasi, sekarang malah harus dimasukkan ke dalam. Ya sudah tidak apa-apa. Tidak butuh waktu lama ini.

Ibu muda itu sempat melirik ke langit, saat ini mendung sudah menggantung tinggi, suasana yang tadinya terik perlahan mulai menepi, digantikan oleh angin semilir yang dinginnya sampai ke sendi. Pantas saja panas banget hari ini, ternyata memang mau hujan di siang hari, wajar sekali.

Ibu muda itu melirik ke arah teras, sendal milik Yuna masih ada di sana, itu artinya dia masih bermain-main dengan anaknya, juga dengan Ceny dan Abay. Untunglah ada Yuna yang masih bisa diandalkan. Istri Mas Agung itu memang sudah sangat sering diminta menjaga Ceny dan Abay kalau Nisa turun ke bawah untuk menengok toko kuenya.

Tapi ada satu lagi barang yang membuat Nisa mendesah malas. Ada juga sendal jepit buluk merk Indoapril yang belinya mungkin di masa-masa pemerintahan Hindia Belanda saking usangnya. Sudah bisa ditebak milik siapa itu.

Nisa mencibir, dia benci berurusan dengan orang satu itu kalau hanya sendirian di rumah. Untung saja ada Yuna yang bisa dia ajak ngobrol dan mengalihkan perhatian dari si kunyuk. Lebih baik berpikiran positif saja. Mang Juki kalau kerja cepat, sebentar juga selesai. mengganti otomatis tandon air tidak butuh waktu lama kata mas Haris suaminya.

Apalagi…

Brkrkgh.

Nisa mengerutkan kening. Emhkok susah?

Ibu muda itu mencoba mengangkat pintu garasinya yang model rolling door gulung atas setelah memutar kunci. Tapi ketika ia angkat ternyata pintu itu tak bergerak sama sekali. Hanya bergoyang-goyang saja tanpa beringsut sedikitpun.

Coba sekali lagi. Kali ini pakai tenaga yang lebih besar.

Hmmmh.

Hrrrghhh.

Tidak bisa. Tidak beranjak naik, terbuka pun tidak. Nisa mencoba memutar kunci sekali lagi. Jelas-jelas sudah terbuka. Kenapa ya? Sewaktu berangkat tadi perasaan baik-baik saja. Nisa menggoyang-goyang pintunya. Benar-benar tidak berubah posisi.

“Kenapa pintunya, Neng?”

Suara seorang laki-laki sepuh yang bertanya terdengar. Nisa menengok ke belakang dan menjumpai seorang pria yang mengenakan peci butut, kaos bola warna biru, celana olahraga, dan sarung yang warnanya sudah memudar dislempangkan ke pundak. Pria itu memang sudah sepuh, kulit wajahnya sudah keriput sehingga garis-garis wajahnya terlihat jelas, rambut dan kumisnya yang putih menjelaskan usianya yang sudah tak lagi muda, matanya terpicing setiap saat sehingga dari jauh hanya terlihat segaris saja. Tapi jangan salah menilai eksteriornya, karena tubuh sang pria tua itu ternyata masih gagah dan tegap. Sesiang ini saja dia baru selesai olahraga jogging keliling cluster, kampung Bawukan, dan kampung Growol.

“Eh, Uwak Sobri.”

Uwak Sobri Sodiqin atau Eyang Sobri adalah salah satu tokoh yang dituakan di kawasan Kembang Arum selain keluarga Pak Sukirman ketua RT, Pak Hasbi, dan beberapa sesepuh lain. Sang Uwak sebenarnya keturunan Jawa asli, tapi sering dipanggil Uwak sebagai pengganti kata pakdhe oleh pasangan muda keturunan Melayu yang pernah tinggal Kembang Arum Asri sehingga semua warga keterusan sampai sekarang, pasangan itu sendiri sudah pindah entah kemana.

Uwak Sobri tinggal di rumah contoh di rumah paling depan di cluster Kembang Arum Asri, bertugas sebagai penjaga seandainya ada yang ingin membeli rumah di cluster tersebut. Kebetulan memang masih ada beberapa lahan kosong di dalam perumahan dan beberapa rumah standar yang belum dihuni. Ada juga beberapa warga yang tadinya tinggal di situ kemudian pindah dan menitipkan rumahnya pada Uwak seandainya ada yang berminat untuk membeli.

“Ini nih… pintu garasi saya kok tidak bisa dibuka ya?” Nisa tersenyum ramah, “Padahal sebentar lagi hujan. Itu udah mendung banget langitnya.”

“Ah, tidak dimasukkan kan tidak apa-apa, Neng.” Uwak menunjuk ke arah kanopi, “ini kan ada penutupnya. Masa iya tampias? Yang bikin Mang Juki kan? Masa iya bikinin si Juki ga bagus?”

“Hanya sekedar biar aman saja kok, Uwak. Motornya baru kemarin sore dicuci, kan sayang kalau sekarang sudah kotor lagi.” Nisa sebenarnya agak sebal kenapa si Uwak jadi nyebut-nyebut nama tukang yang brengsek itu? Ibu muda itu pun jadi cemberut.

“Ya sudah, coba saya lihat, siapa tahu bisa bantu. Tadi waktu ngeluarin motor, kamu juga yang nutup?”

“I-iya. Hihihi.” Nisa malu karena bisa menutup, tidak bisa membuka.

“Hahahaha. Ya sudah. Kamu tadi nutupnya gimana, Neng?”

“Begini, Uwak…” Nisa pun memperagakan saat ia berdiri di dekat pintu garasi, memutar kunci, dan membuka lalu menutup, kunci itu bisa berputar meski pintunya masih tetap tidak bergeming sedikit pun.

Uwak Sobri mendekati Nisa. Pria tua itu langsung menghirup wangi harum sang ibu muda jelita yang ia dekati. Tanpa Nisa sadari, pria tua itu sebenarnya mengamati keindahan tubuh bidadari itu sejak sebelum Nisa kerepotan membuka pintu. Dari kejauhan, Uwak Sobri sudah ngiler melihat wajah cantik Nisa dan tubuh mungilnya yang menggemaskan. Banyak yang tidak tahu, kalau sebenarnya pria tua ini adalah seorang laki-laki bejat yang sering mencuri beha dan celana dalam para warga Kembang Arum, termasuk suatu ketika celana dalam milik Nisa.

Saat Nisa berdiri membelakanginya, Uwak Sobri mendekat. “Tadi dari mana emangnya?”

“Biasa, Uwak. Dari nengokin kios makanan saya di bawah. Kebetulan sedang ada pesenan.”

“Oh gitu. Si Aida gimana kabarnya? Dia kan ya yang jagain?”

“Iya, masih ada kok. Tadi juga saya ngerjain pesanannya sama Aida.”

“Hahahah. Ya ya. Ya sudah.”

Uwak Sobri mendekat ke arah Nisa, begitu dekatnya sampai-sampai tubuh mereka hampir bersenggolan dengan menyisakan jeda hanya ukuran sentimeter. Dengan sengaja Uwak Sobri seperti hendak memeluk Nisa dari belakang, tapi masih menjaga jarak sehingga ibu muda itu tak bisa protes.

“E-eh? Uwak? Kok dekat sekali?”

“Tidak apa-apa. ini biar kamu juga bisa belajar,” nafas Uwak Sobri bahkan terasa di pipi sang bidadari yang mulai jengah dan resah. Dia tidak nyaman berdiri sedekat ini dengan sang pria tua.

Dengan nakal Uwak Sobri memegang tangan Nisa dan membimbingnya memutar kunci.

“Jadi kuncinya diputar?”

“I-iya, diputar seperti ini…”

Nisa berusaha fokus meski dia bingung kenapa Uwak Sobri tiba-tiba saja berdiri sedekat ini dengannya. Sebagai wanita normal yang harus menjaga diri, tentu saja ia merasa risih. Tapi Nisa berusaha bersikap tenang agar pria yang dihormati di Kembang Arum itu tidak tersinggung. Perlahan-lahan Nisa beringsut maju agar jarak mereka makin melebar. Itu artinya tubuh Nisa kian mendekat ke pintu garasi, sedangkan Uwak Sobri di belakangnya.

Uwak Sobri sendiri berlagak tidak paham dan terus berusaha mengangkat dan mendorong rolling door dengan sepenuh tenaga. Sampai akhirnya, Uwak Sobri mengeluarkan tenaga sekuat mungkin.

“Hnnnghhhh!”

Klntghgg!

Terdengar bunyi berdentang jatuh di dalam garasi. Seketika itu juga pintu garasi bisa dibuka. Tapi tubuh Uwak Sobri yang baru saja mengeluarkan tenaga besar membuatnya terjerembab ke depan. Otomatis, ia pun terjerembab ke arah Nisa yang berada di depannya!

Kesempatan itu digunakan oleh Uwak Sobri untuk memeluk tubuh mungil Nisa!

Hppp!

Uwak Sobri yang tubuhnya hampir dua kali lipat Nisa tentu saja dengan mudah menangkap tubuh ibu muda ramping nan mungil itu.

Tentu saja Nisa terbelalak dipeluk tiba-tiba seperti itu! Belum sempat ia protes, ia sudah merasakan sensasi lain. Benda apa ini yang mengganjal di belahan pantatnya? Sebenarnya itu pertanyaan retoris. Nisa tahu benda apa itu, tapi dia justru jadi takut karena dia tahu benda apa itu.

Nisa pun panik.

Sudah jelas itu penis Uwak Sobri.

Apakah dia tidak mengenakan celana dalam? Penis itu keras dan menyelip tepat di tengah-tengah belahan pantat Nisa. Karena Nisa mengenakan celana kain, tentu saja benda kencang itu amat terasa. Aduh… bagaimana ini? Mana tangan Uwak Sobri memeluk Nisa dengan merangkul bahunya sangat erat. Uwak Sobri memejamkan mata sembari menikmati harum wanginya tubuh sang ibu muda. Hmm, jadi begini rasanya memeluk Nisa ya… sungguh nikmat rasanya.

“Neng Nisa…” Sang Uwak mengeluarkan suara yang seolah-olah lemah.

Tanpa sepenglihatan Nisa, Uwak Sobri tersenyum culas. Enak banget ini kontol diselipin ke bokong si Nisa. Jepitannya mantap. Memang mungil banget tubuh sang ibu muda yang parasnya lembut bagaikan bidadari ini, tapi justru yang mungil-mungil begini yang tubuhnya enak dipeluk. Sang Uwak menggoyangkan kemaluannya, hal yang jelas-jelas membuat Nisa makin tak nyaman.

“Eeehh! Eeeh! Uwaaak!”

Nisa berusaha keras menahan agar tubuh mereka tidak sampai jatuh. Ternyata usahanya berhasil, ia berhasil berkelit dari pelukan sang pria tua yang mesum itu. Nisa pun buru-buru beringsut melepaskan diri dari Uwak Sobri dan membalikkan badan, mencoba memastikan pria tua itu tidak apa-apa.

“U-Uwak tidak apa-apa?” tanya Nisa khawatir.

“Tidak apa-apa… hahaahaa. Maaf, tadi jatuh ke depan. Maklum sudah tua, kaki sudah tidak kokoh lagi menopang badan.”

“I-iya…” Nisa menggoyangkan pintu garasi yang akhirnya terbebas dan bisa terbuka kembali.

“Tadi sepertinya ada barang yang terjatuh dan mengganjal, sehingga tidak bisa dibuka. Tapi sekarang seharusnya sudah beres. Gimana? Tidak ada masalah lagi kan?”

“Insyaallah semua sudah aman, Uwak. Terima kasih banyak atas bantuannya,” Nisa pun tersenyum lembut. Dalam hati ibu muda itu sebenarnya masih deg-degan karena baru saja dipeluk oleh laki-laki yang bukan suaminya.

“Ya sudah, aku pulang dulu, Neng, ini sudah gerimis. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam. Terima kasih banyak, Uwak. Hati-hati di jalan. Beneran tidak apa-apa kan?”

“Tidak apa-apa,” pria tua itu melambaikan tangan sembari tersenyum puas.

Lumayan banget. Mimpi apa dia semalam sampai-sampai hari ini dia bisa memeluk Nisa sang bidadari? Pria tua itu pun melangkah dengan santai dan hati berbunga-bunga. Kalau sekarang bisa memeluk, entah bisa apa lagi suatu saat nanti? Heheh. Dia tak akan terburu-buru, tapi kalau ada kesempatan, dia harus bisa memanfaatkan. Istri Haris itu terlalu molek dan menawan, bahkan celana dalam Nisa pun masih ia simpan. Malam nanti sepertinya Uwak Sobri tau harus coli pakai celdam yang mana.

Setelah Uwak Sobri pergi, Nisa pun buru-buru.

Vespa dimasukkan ke dalam garasi supaya tidak kehujanan. Sembari menarik napas lega, Nisa membereskan barang-barang yang ia bawa dari kios Nisa Cakes masuk ke dalam rumah. Terdengar teriakan dan tawa di belakang, anak-anak sepertinya masih bermain. Dengan santai ibu muda itu pun meletakkan kunci motor dan mulai ke dapur untuk meletakkan barang-barang bawaannya.

“Sudah pulang, Mbak? Mau hujan nih.”

“Ah iya ya, Yun,” tanpa menengok pun, Nisa sudah paham kalau suara itu adalah suara sang tetangga depan rumahnya yang bernama Yuna, seorang ibu muda yang manis. Nisa berbalik sembari menenteng beberapa roti dan cakes untuk oleh-oleh, “Anak-anak udah laper belum, Yun? Ini aku bawain cemilan kue buat mereka.”

“Mereka kan selalu laper, Mbak. Hihihi. Gimana tadi di Nisa Cakes?” tanya Yuna sambil membantu Nisa menyiapkan piring dan meletakkan roti untuk anak-anak. Mereka berdua sudah biasa seperti ini sehingga tidak canggung dan malu-malu lagi. Nisa biasa membantu Yuna, begitu juga sebaliknya.

“Kebetulan ponakan aku orangnya cekatan, Yun. Dia sudah bisa menyelesaikan semuanya walaupun cuma seorang diri. Ya emang sih, pesanannya gak banyak-banyak amat. Tapi effort-nya kan tidak sedikit. Alhamdulillah semua beres tepat waktu.”

“Wih, syukurlah. Keren juga ya keponakannya, Mbak. Semuanya sendirian?”

“He’em, makanya. Eh tapi anak-anak sudah makan nasi belum ya?”

“Udah, Mbak. Sudah agak tadi sih, pas Mbak Nisa turun, aku bikinin mereka nasi sama telur dadar. Pada seneng. Hehehe, padahal udah jelas-jelas masakan Mama Yuna kalah jauh kalau dibandingkan Bunda Nisa yang jebolan masterchef.” Yuna mengedipkan mata pada Nisa yang langsung merah padam karena malu.

“Yaelah, Yun. Boro-boro jebolan masterchef, masuk 15 besar aja nggak.”

“Yang penting tampang cantik kamu pernah masuk TV, Nis. Meski kena eliminasi agak cepet, tapi setidaknya pernah tercatat sebagai anggota masterchef. Pasti banyak peserta cowok yang naksir ke Mbak Nisa ya? Sewaktu karantina katanya ada yang pernah nembak Mbak Nisa?”

“Hihihi… iya. Padahal ibu-ibu anak dua begini, apa bagusnya ya, Yun? Tampang biasa-biasa aja, badan pendek, dan dada rata. Gak ada bagus-bagusnya aku ini. Kok ya ada aja yang nembak. Tapi ya sudah, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sekarang sudah tidak bisa memasak kayak dulu lagi, sekarang sibuk ngurusin anak dua.”

“Merendah untuk meninggikan nih. Jelas-jelas Mbak Nisa itu lembut, tidak suka deket-deket masalah. Wajahnya? Cantik kaya bidadari. Perangai? Sikapnya manis dan ramah ke siapapun. Body? Tubuhnya semampai, kulit putih mulus, dan lekukan tubuh indah sangat feminin. Begitu kok jelek. Kalo Mbak Nisa jelek, aku apa dong? Nggak, Mbak. Mbak Nisa itu cantik luar dalam. Makanya banyak yang naksir sampai sekarang. Pak Dulah yang punya warung di Growol aja sampai ngiler-ngiler kalau Mbak Nisa lewat depan rumahnya, belum lagi Bapak-bapak yang hobi volley. Tiap lewat depan sini selalu ngelirik.” Yuna menggoda Nisa yang kembali merah padam karena malu, Nisa memukul pundak Yuna perlahan sambil tertawa renyah. Yuna mengingat-ingat sesuatu, “Eh, tapi sewaktu jadi peserta masterchef dulu Mbak Nisa udah nikah sama Mas Haris kan?”

“Ya sudah. Ceny aja udah lahir kok itu. Kasihan banget, kecil-kecil aku tinggal. Jadi sekarang rasanya pengen bales semua yang sudah aku lakukan dulu, Yun. Pengen lebih berbagi quality time dengannya sekarang.”

“Begitu ya? Eh, udah mulai hujan.” Yuna dan Nisa melirik ke luar, benar saja, hujan turun deras, “Anak-anak aku suruh masuk dulu ya, Mbak. Mbak Nisa ada handuk?”

“Ada… aku ambilin dulu ke atas bentar ya…”

“Oke.”

Kedua wanita itupun bergegas ke arah yang berbeda. Yuna memanggil dan mengajak masuk anak-anak, Nisa ke kamarnya untuk mengambil handuk di lemari pakaian. Saat sampai di depan pintu kamar, ibu muda itu tertegun.

Kok pintunya tidak dikunci?

Pintu kamar Nisa dan Haris terbuka sedikit. Ini sesuatu yang aneh bagi seorang wanita perfeksionis seperti Nisa yang hapal penempatan barangnya. Ia lalu membuka pintu dan masuk ke dalam. Nisa kembali mengerutkan kening saat masuk ke kamarnya. Ia melirik ke kanan, lalu ke kiri. Lalu ke tengah. Pandangannya mengerucut ke satu sudut.

Kok…

Nisa adalah seorang penggila kebersihan, barang-barang di rumah harus selalu rapi, estetik, berkonsep, dan memiliki warna soft atau warna bumi. Dia paling risih jika ada barang yang tidak dikembalikan ke tempatnya atau tidak berada di posisi sebelumnya. Dia hapal betul setiap sudut rumahnya. Nisa melangkah perlahan ke salah satu sudut yang dicurigainya. Ada sisi pembaringan yang sepreinya tidak diselip dan dikembalikan sempurna.

Mas Haris belum pulang dan Nisa tidak mungkin melakukan itu.

Jadi siapa yang…?

Hal seteledor itu tidak mungkin terjadi karena Nisa selalu membenahi semuanya dengan rapi. Pembaringannya juga sedikit tergeser karena tidak pas di posisi semula. Nisa menepuk-nepuk sepreinya, entah kenapa seperti ada bercak basah di sana. Benar. Bercak sedikit basah di selimutnya yang berwarna coklat. Tidak terlalu nampak oleh mata telanjang. Orang yang tidak awas tidak akan melihatnya, tapi Nisa mampu mengamatinya.

Apa yang terjadi? Apa anak-anak main-main di sini? Tidak mungkin kan?

Hmm? Nisa menunduk.

Cairan apa ini yang ada di dekat kaki pembaringannya? Rasa-rasanya dia tidak menumpahkan apa-apa. Bukan parfum dan bukan pembersih kan? Nisa jongkok, lalu mengoleskan telunjuknya ke cairan itu. Putih, kental, seperti cairan pembersih. Ia mencium baunya.

Baunya kok seperti…

Ehh! Ini kan mirip

Matanya terbelalak. Apa jangan-jangan…?

Ihhhhh!

Nisa bergegas untuk mencuci tangan di kamar mandi, lalu buru-buru kembali ke kamar untuk mengambil handuk buat anak-anak. Pandangan mata Nisa sempat mengarah ke CCTV tersembunyi yang terpasang di ujung ruangan. Ada sesuatu yang mesti dia lihat nanti, sesuatu yang mesti dia amati. Entah kenapa jantungnya jadi berdebar-debar saat melihat pembaringannya tidak serapi yang ia biasa benahi, lalu ada basah di selimut, dan terlebih lagi ada cairan kental di bawah pembaringan. Tiga bukti kuat bahwa ada sesuatu terjadi di tempat ini! Di kamar ini! Di kamarnya dan Mas Haris! Di ranjang tempat ia biasa melayani sang suami!

Nisa tidak ingin berpikiran yang tidak-tidak, dia tidak ingin menuduh siapapun. Tapi terlebih dahulu dia harus memeriksa komputer di meja kerja Mas Haris.

Pikirannya melayang kemana-mana. Semua karena cairan itu.

Cairan kental itu… baunya seperti bau cairan cinta pria. Padahal di rumah ini hanya ada Yuna dan anak-anak dan…

Astaga! Mang Juki!

Mang Juki jangan-jangan masih di atas? Ini kan sedang hujan deras!?

Tiba-tiba terdengar geledek yang menyambar sangat keras. Angin bertiup dengan kencang dan hujan deras turun tiba-tiba. Nisa berlari ke arah balkon atas yang merupakan lokasi paling dekat dengan tandon air dan merupakan lokasi di mana Mang Juki bisa naik ke atas.

Di sana, Mang Juki berdiri dengan tenang sembari basah kuyup. Ia tersenyum menatap sang nyonya rumah yang selayaknya bidadari. Kondisi Juki benar-benar payah dan parah. Sekujur tubuhnya basah, ia bahkan tak bisa melihat ke depan dengan jelas karena rambutnya juga basah.

“Hai,” sapa pria tua itu dengan tenang.

“Ya ampuuuuun, Mang! Kok malah hujan-hujanan itu gimana!?” Nisa buru-buru menggamit tangan Mang Juki dan menariknya ke kamar mandi, “Aku tidak mau nanti kalau Mang Juki sakit selama mengerjakan tugas Mas Haris. Yuk bersihkan diri dulu, Mang. Saya ambilkan kaus dan celana Mas Haris untuk dipakai. Takutnya nanti masuk angin kalau basah kuyup begini.”

“Heheh. Terserah ibu saja.”

Nisa menyerahkan handuk yang tadinya akan dia berikan untuk anak-anak. “Ini pakai dulu.”

“Oke.”

Mang Juki pun masuk ke kamar mandi untuk bebersih, sementara Nisa kembali ke kamar, mengambil handuk untuk anak-anak dan mencari kaos untuk dipakai Mang Juki. Kebetulan ada beberapa pakaian pantas pakai yang memang selalu disisihkan oleh Haris. Setiap beberapa minggu sekali Mas Haris mampir ke panti asuhan dan panti jompo untuk membagikan apa yang bisa dia bagikan.

Nisa lantas ke lantai bawah, memberikan handuk untuk Yuna, dan bergegas kembali ke atas tanpa banyak kata. Ia terengah-engah saat sampai di depan pintu kamar mandi dengan membawa beberapa helai pakaian bekas pantas pakai milik Mas Haris.

“Hh.. hhh… hh…” Nisa berusaha mengatur napas dan mengetuk pintu kamar mandi.

“Masuk saja, tidak dikunci,” terdengar suara dari dalam.

Nisa pun membukanya.

Mang Juki berdiri telanjang di hadapan Nisa.

Nisa jelas terkejut!

“Hai,” Mang Juki tersenyum. Ia dengan sengaja berdiri di tengah ruangan menghadap ke pintu sehingga batang kejantanannya yang menegang bisa dilihat secara utuh oleh sang ibu muda. Nisa terbelalak menatap benda besar yang menegak kencang di selangkangan sang tukang.

Nisa tergagap-gagap dengan mulut menganga, “A-aa… mmh… be-besar…”

“Besar?” Mang Juki menyeringai.

“Eh! Maksudnya baju Mas Haris ini besar-besar, Mang. Barangkali bisa dipakai…” Nisa langsung tersadar akan apa yang tengah ia lakukan. Ia merasa bodoh karena terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan ini, buru-buru ia memalingkan muka sambil menunjukkan apa yang dibawa, “sa-saya tidak tahu ukurannya Mang Juki apa, jadi mudah-mudahan cukup kalau dipakai. Saya carikan yang paling besar dari lemari Mas Haris.”

“Ukuran saya besar, seperti yang ibu lihat. Kebetulan memang saya lebih besar dari Pak Haris,” Mang Juki melangkah mendekat ke arah Nisa sembari tersenyum meringis. Batang kejantanannya yang menegak seakan tidak ingin turun, ukurannya besar dan bentuknya menantang. Begitu besarnya seakan-akan tidak normal. “Karena saya besar, saya suka yang ketat-ketat. Apalagi yang… basah… sempit… dan… wangi. Apakah Bu Nisa punya sesuatu yang basah, sempit, dan wangi? Saya ingin menciumnya.”

Nisa menelan ludah, ia terus berusaha bertahan memalingkan wajah sembari menghunjukkan pakaian ke depan, ke arah Mang Juki yang lama-lama kian dekat. Nisa pun mundur teratur. “Ma-Mang Juki! Kalau ngomong saya mohon jangan ngelantur. Ini malah ngomongin apaan ya!? Jadi Mang Juki mau baju ini atau tidak?”

Juki cengengesan sementara wajah Nisa merah padam.

“Sebelum saya terima baju ini… saya ingin memastikan sesuatu dulu…” Dengan nekat Mang Juki memegang tangan Nisa saat mau memegang baju yang disiapkan untuknya, pria itu mendekat dan semakin dekat ke arah Nisa, sang bidadari pun kalut tapi bingung harus berbuat apa. Suara Juki seakan menghipnotisnya.

“Me-memastikan apa?”

“Memastikan apakah kira-kira Bu Nisa mau pegang yang besar atau tidak? Mumpung saya ada nih. Saya ingin Bu Nisa memegangnya. ”

Tidak mungkin pertanyaan itu tentang besarnya badan. Karena batang kejantanan Juki kini tegak menantang sang ibu muda. Dia menurunkan tangan Nisa ke bawah, hanya beberapa sentimeter saja dari penis sang tukang. Tangan Nisa gemetar.

“Sudah pernah pegang yang besar?”

Blsshh.

Wajah Nisa seperti teko panas disiram air es. Panas dingin tak menentu seperti orang meriang. Ia menatap wajah Mang Juki, begitu juga sebaliknya. Wajah mereka begitu dekat… sangat dekat malah. Mata saling bertatapan. Tangan erat berpegangan. Punggung tangan Nisa hanya beberapa sentimeter dari batang kejantanan milik Mang Juki. Nisa hanya terdiam dan termangu, tak tahu harus berbuat apa, batinnya bergejolak maju mundur. Tangan Nisa masih ditangkup oleh tangan Mang Juki.

Nisa menatap sang tukang dengan tubuh yang bergetar. Antara takut dan bingung. Ada apa sih dengan hari ini? Tadi dengan Uwak Sobri, sekarang dengan Mang Juki, kenapa kedua laki-laki itu seperti menginginkan tubuhnya? Dia kan sudah menikah dengan Mas Haris! Kenapa mereka masih juga menginginkannya? Anaknya sudah dua! Dia sudah emak-emak! Dia sudah bukan wanita muda lagi! Dia tidak cantik, dia bahkan tidak punya tubuh yang seksi. Dia…

“Be… belum…”

Aduuuuh Nisa! Kamu kenapa sih!? Kenapa malah dijawab!? Lepaskan…! Lepaskan tangannya!!

Tapi Mang Juki tidak kunjung melepaskan tangan Nisa. Malah terus erat memegangnya, bagaikan memberikan kepastian seorang kekasih bahwa ia benar-benar menyukai sang bidadari pujaannya. Mang Juki jauh dari kata tampan, tidak nampak seperti artis Korea, bukan kloning Reza Rahardian, bukan pula idola warga sekitar. Hanya seorang tukang serabutan yang sering dipanggil untuk membenahi rumah, hanyalah seorang tukang yang sehat dan perkasa. Hebatnya, saat ini, ia mampu menghipnotis Nisa sehingga diam tak dapat bicara.

Nisa terhipnotis.

Perkasa… dan besar… dan… dan besar… besar…

Nisa terkesiap!

Aku ini ibu Ceny dan Abay! Ibu macam apa aku ini!? Aku ini istri dari Haris! Aku harus setia! Apa yang aku pikirkan?! Kenapa aku mau-maunya dipegang tangannya oleh seorang pria yang tidak berhak? Bodoh kamu, Nisa! Bodoh! Berikan saja baju itu dan tinggalkan kamar mandi!

Batin Nisa bergejolak antara mau dan tidak mau, dia tetap berusaha sopan karena tidak ingin Mang Juki tersinggung, “Si-silakan dipakai. Nanti masuk angin.”

Nisa mengangkat tangannya dan melepaskan baju di tangan Mang Juki. Buru-buru ibu muda jelita yang lembut itu menarik tangannya dan kabur dari hadapan Mang Juki.

Sang pria tua pun diam termangu sembari memegang baju yang dipilihkan oleh Nisa. Dia hanya tersenyum meringis melihat arah kepergian sang ibu muda jelita. Pantat indah Nisa menjadi perhatian utamanya. Juki terkekeh sembari mengenakan pakaian yang diberikan oleh sang nyonya rumah, yang tentu saja tanpa celana dalam. Juki menatap ke arah cermin, memperhatikan dirinya sendiri yang tidak tampan.

Batin pria itu melunak.

Aku jelek dan buruk rupa, tapi kamu sangat cantik dan menarik, Bu Nisa. Aku tahu kita tidak akan pernah bisa bersama. Hanya sebatas inilah aku bisa mendekati dan menikmati indahnya paras rupawanmu. Tapi tahukah Bu Nisa kalau kita menghirup udara yang sama? Seharusnya tidak ada batas di antara kita. Di bawah langit, kasta kita sama. Kita berdiri sejajar tanpa jenjang, seharusnya pula di antara kita tidak ada jurang.

Rasa-rasanya seorang Mang Juki tidak akan pernah bisa mendapatkan seorang Nisa yang bak bidadari. Mau jungkir balik pun tak akan pernah bisa. Mas Haris suami Nisa terlalu sempurna dan lebih cocok untuk sang bidadari. Mana mungkin Mang Juki bisa menggoyang pernikahan sang bidadari dengan pria yang buruk rupa sepertinya?

Kecuali tiba-tiba ada kejadian ajaib yang menimpa.

Seandainya saja


Jikalau.

Mang Juki melirik ke arah jendela, ada sekilas cahaya melintas di langit kelam yang tengah hujan, menimbulkan jejak lurus membelah awan di angkasa nan gelap. Apa itu? Kilat? Sebuah pertandakah?

Entahlah. Mungkin hanya fenomena alam saja.

Tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan jejak awan lurus di angkasa.

Mang Juki pun tidak tahu, seandainya dalam waktu dekat, kehidupan banyak orang akan jungkir balik di wilayah Kembang Arum. Pria yang paling tidak beruntung akan menjadi beruntung dan para bidadari tidak akan menjalani kehidupan yang sama lagi.

Semuanya akan berubah.

Semua dimulai dari hari ini.





.::..::..::..::.





“Yakin ini rumahnya? Kok kayak kandang ayam? Ih, mana bau banget lagi!”

Erik Maulana menjepit hidung dengan jempol dan telunjuknya, dia tak terbiasa berdekatan dengan bau-bauan yang pekat dan kuat seperti ini. Orang seperti dia terbiasa dengan kursi gamer, PC mentereng dengan efek cahaya, laptop mumpuni puluhan juta, kamar gelap kedap suara, empat monitor berjajar dengan segala macam kebutuhannya, lampu-lampu elektrik menyala dengan efek neon, headset mewah, poster cewek dari anime, dan dandanan serba berkelas dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Erik tidak pernah sedekat ini dengan kandang ayam. Melihat pun paling banter dari game Hay Day.

“Hush! Apaan sih, Beb! Ga boleh ngomong seperti itu, ah.”

Ayu mencibir. Mahasiswi cantik itu celingak-celinguk ke sana sini. Mencari nomor rumah dan alamat yang tak kunjung mereka temui. Gadis yang mengenakan kaos putih, celana jeans, dan jaket almamater itu sedang pusing tujuh keliling. “Ini emang akunya yang bloon atau pemerintahan desa sini kacau soal penempatan nomor rumah ya? Bisa-bisanya alamat rumah di jalur ini belang-belang. Yang di depan kita ini nomor sembilan, di seberang jalan rumah nomor tiga belas, lalu di sebelahnya malah nomer dua delapan. Darimana coba tiba-tiba bisa dua lapan? Gak make sense.”

See. Bukan hanya aku kan yang mempertanyakan logika orang-orang sini. Beneran sih, Ay. Kita mepet ke tempat lain aja deh. Di sini ga banget baunya!” Erik masih terus mempermasalahkan bau yang harus diakui kalau sekali ini dia benars. Memang ada sedikit kontaminasi udara dengan bau-bauan di wilayah yang mereka jelajahi saat ini.

“Kalian cari siapa ya, Mas? Mbak?” Seorang warga yang kebetulan lewat melihat Ayu dan kekasihnya kebingungan. Dia membawa tas plastik berisi singkong.

“A-aanu… kalau dalemipun Pak Sukirman di mana ya, Bu?” tanya Ayu dengan sopan.

“Oalah cari rumahnya Pak RT toh? Yang di belakang sana itu, Mbak. Yang cat hijau sama oranye itu. Kalian berdua pasti salah jalan tadi, jadi malah muter lewat pekarangan belakang. Kan jadi jauh banget muterin kebun salak,” warga itu tertawa, “kalau yang di depan kalian itu kandang ayam, Mbake.”

Ayu menginjak kaki sang kekasih yang mencoba menahan tawa. Dia tadi sudah mempertanyakan jalan yang ditempuh mobil Erik saat masuk ke kampung ini. Sekarang terbukti kan? Dibilangin juga apa! Nyebelin! Sekarang malu jadinya. Nyari alamat rumah dapetnya kandang ayam!

Ayu berbisik galak, “Gimana sih, Beb! Siapa yang tadi nyuruh muter ke sini?”

Erik tertawa geli, “Lah mana aku tahu. Emang jalannya kan yang muter-muter ga jelas. Lagian siapa suruh bikin kandang ayam semewah itu ya, Ay?”

“Sebodo!” Ayu mendengus, “Yah, tetep aja dari sisi manapun itu keliatan kandang ayam! Sudah kubilang kan tadi kalau ini bukan bagian depan rumahnyaaaaa. Kamu sih ngeyel terus.”

“Mari Mas, Mbak…” Sang ibu yang memberikan informasi tertawa melihat pasangan itu saling menyalahkan. Ah, masa muda yang bahagia.

“Eh iya… mari, Bu. Terima kasih banyak.” Ayu mengangguk dan tersenyum sangat manis. Manisnya ngalah-ngalahin es krim stroberi Mixwe.

Tanpa menggubris sang kekasih, Ayu pun berjalan mendahului Erik untuk menuju rumah yang dicat hijau dan oranye. Erik hanya tertawa melihat Ayu ngambek karena malu akibat salah rumah.

Setelah melihat rumah milik Pak RT, barulah Erik dan Ayu menyadari perbedaan kasta di desa Bawukan. Dari semua rumah di kampung ini, halaman rumah Pak RT adalah yang paling besar di antara yang lain. Dia memiliki luas tanah di depan rumah yang mungkin cukup luas untuk digunakan sebagai lahan lomba acara 17an, acara pemilihan umum, acara sunat, acara pernikahan, dan berbagai kegiatan masyarakat lain.

Erik berlari mendahului Ayu untuk menunjuk ke satu plang yang ada di dekat pagar rumah. Di sana tertulis ‘Rumah Ketua RT’. Wajah sumringah Erik pun muncul. “Tadaaaaa! Akhirnya ketemu, Ay! Yakin deh kalau yang satu ini tidak bakal salah lagi. Ini pasti bukan kandang ayam!”

Ayu yang tadinya ngambek mau tak mau cekikikan melihat ulah sang kekasih. “Oalah, mbuh, Beb.”

Seorang wanita muncul dari dalam rumah sembari membawa sapu ijuk. Sejak tadi ia sebenarnya sudah mengamati keanehan sepasang pemuda pemudi yang baru pertama kali ia lihat masuk ke kampung Bawukan ini. Wanita itu adalah seorang ibu-ibu sepuh yang usianya mungkin lebih dari tujuh atau delapan puluh. Usianya terlihat dari badannya kurus, kulit gelap keriput, rambut sudah memutih rata, terlihat lemah tapi sesungguhnya bugar dan kuat.

Nggih? Madosi sinten, nggih? Mencari siapa?”

“Oh permisi, Ibu. Assalamualaikum.” Ayu bergegas menghampiri sang penghuni.

Walaikumsalam. Iyaaa? Wonten nopo nggih? Ada perlu apa?” Suara wanita tua itu melengking tinggi khas penduduk lereng Gunung Mandiri.

“Anu, mohon maaf mengganggu waktunya, Ibu. Apakah benar ini rumahnya Bapak Sukirman? Ketua RT di wilayah sini?”

Nggih, leres. Benar, Mbak.” Ibu-ibu berumur pembawa sapu ijuk itu mendekat ke arah Ayu dan Erik. “Gimana, mbake? Apa ada yang bisa dibantu?”

“Saya sedang mencari Pak RT, Ibu. Saya dari Universitas Langit Biru. Rencananya saya dan beberapa rekan saya akan mengadakan penelitian di kampung ini terkait Kuliah Kerja Praktek kami. Nah, untuk itu kami ingin minta ijin terlebih dahulu pada Pak RT sekaligus meminta arahan untuk lokasi penempatan kami. Saya sudah bawa surat dari Kelurahan,” Ayu mengeluarkan surat yang didapatkannya dari Pak Rahmat tadi pagi.

“Oalaaaah yo yo. Wah lha saya nggak mudeng blas urusan begituan, Mbake. Saya sama sekali tidak paham. Ini Pak RT-nya sedang mengunjungi warga di kompleks perumahan di sebelah. Kira-kira bagaimana, apakah mau ditunggu atau ditinggal saja suratnya?”

Ayu menatap Erik untuk minta pendapatnya.

Pemuda itu tersenyum, “Nanggung, Ay. Sudah nyampe sini. Lagipula lebih cepat lebih baik kalau surat itu sampai di tangan Pak RT. Agak tidak sopan kalau kamu cuma ninggal surat aja, lebih baik temuin langsung dan pastikan lokasi yang akan kalian jadikan headquarters. Jadi teman-temanmu KKP tahu beres.”

“Iya juga ya.”

Ayu pun beralih ke sang Ibu pembawa ijuk, “Kalau saya tunggu kira-kira apa boleh, Ibu?”

“Ya boleh saja, Mbake. Tapi saya tidak janji ya, Pak RT-nya pergi berapa lama. Soalnya sering tidak pasti. Saya bilang sebentar takutnya lama, saya bilang lama, eh ternyata ndilalah sebentar. Tapi kalau mau menunggu ya monggo saja. Yuk duduk di sana saja, di teras ada kursi.”

“Baik, terima kasih, Ibu.” Ayu mengikuti sang Ibu.

“Ay, aku ambil mobil dulu ya. Aku bawa ke sini supaya lebih mudah nanti,” Erik memisahkan diri.

Ayu pun mengangguk.

Ia mengikuti sang ibu pembawa ijuk dengan sopan dan berhati-hati, tidak ingin menimbulkan banyak pertanyaan sekaligus memalukan. Dia sadar sedang mengemban nama kampus di pundaknya, atau setidaknya atas nama kawan-kawan sekelompok KKP. Begitu ada preseden buruk tentang kelompok atau kampus mereka, KKP Ayu dan kawan-kawan bisa bubar jalan. Saking takutnya ia bahkan tidak berani bertanya siapakah sebenarnya ibu pembawa ijuk itu. Apakah istri, ibu, atau saudara dari pak Sukirman sang ketua RT.

Mbake duduk di sini saja ya.”

Sang ibu pembawa ijuk tersenyum. Ia mempersilahkan Ayu untuk duduk di salah satu kursi rotan yang memang disiapkan untuk tamu sang Ketua RT. Ayu mulai mengamati, teras itu tepat berada di depan pintu masuk rumah, ada kursi-kursi anyaman rotan dan meja yang desainnya sepertinya berasal dari masa yang telah lampau. Teras ini sendiri bentuknya mengingatkan akan sebuah pendopo. Di bawah teras ada taman, lalu di sampingnya terdapat beberapa anak tangga memanjang yang terdiri dari lima tingkatan, setelah itu teras rumah dan pintu masuk. Desainnya mirip rumah Belanda di kawasan Lembang atau dataran tinggi lain.

“Oh baik, Ibu. Terima kasih.” Ayu duduk di salah satu kursi dengan sopan.

“Saya tinggal ke dalam sebentar ya, Mbake.”

Setelah Ayu duduk, sang ibu pun meletakkan sapu ijuknya di samping pintu, dan masuk ke dalam. Meninggalkan sang dara jelita sendirian saja di teras itu. Ayu terdiam sembari menunggu dengan mati gaya. Dia mengambil ponselnya untuk melihat-lihat WhatsApp, Instagram dan Tiktok, sesekali menunggu sang kekasih yang tidak kunjung datang.

Sekilas ia melihat ke grup WhatsApp KKP-nya. Ada Eva, Vina, dan Dedi di sana. Masing-masing rekan KKP-nya itu mengirimkan pesan di grup.

Semangat Ayuuuu! Taklukkan Pak RT dengan pesonamu! Ganbatte-ne!” Pesan dari Eva. “Pokoknya dicoba segenit mungkin sampai berhasil ya. Kamu kan biasanya paling gak bisa genit, nah sekarang saatnya mencoba langsung. Hihihi.

Pokoknya percaya banget sama Ayu. Jangan sampai gagal ya, Bestie.” Yang ini dari Vina. “Love Ayu selalu.”

Goyang-goyang pantat atau dada, Yu. Pasti pak RT termlongoh-mlongoh melihat seksinya body kamu. Ihihihihi.”

Ayu hampir tertawa ngakak melihat komentar-komentar itu, terutama dari Dedi. Dedi memang berbeda. Dasar kurang ajar si bencong kampret satu ini.

Ayu pun membalas dengan satu ketikan cepat, “Awaaaas ya kaliaaaan!”

Persahabatan antara mereka berempat memang luar biasa. Saling melengkapi, saling mengisi, saling bully dalam koridor bercanda tentunya. Mereka berempat masuk bersama dan siap untuk lulus bersama. Setelah KKP dan KKN, tentunya mereka harus berjuang di skripsi masing-masing. Tapi itu tidak menjadi masalah karena mereka akan saling dukung sampai titik darah penghabisan. Ayu beruntung dia bersahabat dengan Vina, Eva, dan Dedi – The Clover Gang, kelompok semanggi.

“Anda mencari siapa, Mbak?”

Tiba-tiba saja terdengar suara berat yang mengejutkan Ayu. Gadis itu pun buru-buru menutup ponselnya dan berdiri. Dua orang pria yang sepertinya baru saja dari sawah mengejutkan sang bidadari. Pakaian kedua orang itu sederhana, hanya mengenakan kaos, caping, celana pendek hitam, dan semuanya memiliki bercak tanah. Yang di depan sudah terlihat sepuh, ia membawa-bawa cangkul di pundak, sedangkan yang satu lagi masih cukup muda tengah mendorong troli berisikan karung pupuk.

Pria tua pembawa cangkul yang di depan meskipun sudah sangat berumur terlihat teramat sehat dan kuat. Rambutnya yang keperakan terlihat kontras dengan kulitnya yang keling terbakar matahari. Saat melepas caping terlihat kepalanya yang sudah separuh botak, dengan sisa rambut hanya ada di bagian belakang kepala. Kumis tipis dan jenggot yang seadanya juga terlihat berwarna keperakan. Ada bercak-bercak hitam permanen di kepala dan wajahnya seperti layaknya seorang sepuh.

Di belakang sang kakek, adalah pemuda yang capingnya tidak dilepas, wajahnya terlihat gelap dan aneh. Secara gerak-gerik, dia juga aneh dan kaku.

“Lho kok sudah pada pulang?” sang ibu ijuk keluar dari dalam rumah dengan membawa nampan berisikan secangkir teh panas dan satu toples berisikan kue kering kembang mayang. Ibu itu tersenyum pada Ayu, “Diunjuk ya, Mbak. Maaf seadanya saja. Maklum di kampung begini tidak banyak jajanan. Saya tidak bisa menyuguhkan apa-apa.”

“Lho, kok jadi ngrepotin begini, Bu?” Ayu merasa tidak nyaman karena malah disuguhi. “Duh saya jadi tidak enak ini. Saya hanya sebentar saja kok, Bu.”

“Halah, ndak apa-apa. Sembari menunggu Pak RT pulang. Monggo lho diunjuk.”

“Iya, Ibu. Terima kasih.”

Pria tua pembawa cangkul meletakkan cangkulnya di dekat ijuk. Dia mensejajari sang Ibu, dan bertanya kepadanya sambil melirik ke arah Ayu. Pandangannya menyelidik, seakan-akan menelusuri keindahan tubuh Ayu dari ujung kaki ke ujung rambut dan kembali turun ke kaki. Tentu saja jarang sekali desa Bawukan ini dikunjungi oleh wanita yang semenarik dan sebening Ayu, tentunya dengan keindahan khas seorang wanita muda yang berasal dari kota, beda sama cluster sebelah yang memang penghuninya muda-muda dan cantik-cantik.

Pria tua itu bertanya, suaranya berat dan mengintimidasi, “Siapa ini, Bune?”

“Ini Mbaknya nyariin Pak RT. Tadi katanya mau nyerahin surat dari kampus atau bagaimana gitu. Benar begitu kan ya, Mbak? Maaf sudah tua, mudah lupa. Ihihihihik.” Suara tawa sang Ibu ternyata tidak nyaman didengar. “Eh iya, Mbak siapa ya tadi namanya? Ihihihihihik…”

Ayu yang mendengarkan tawa aneh itu pun dengan canggung menjawab, “Sa-saya Ayu, Bu.”

“Memang kamu ayu…” tiba-tiba saja pemuda yang tadinya terdiam ikut memberikan komentar. Dia melepaskan capingnya dan tersenyum lebar dengan mimik yang aneh, “Ihihihihik. Ayu… ayu banget… ihhihihihik… Ayu yang ayu… ihihik…”

Pemuda yang kepalanya berbentuk seperti telur itu memiliki hidung yang bulat dan bibir teramat tebal, rambutnya gondrong tapi pitak-pitak besar di beberapa tempat dan panjang rambutnya tidak rata seperti dicukur dengan asal. Matanya menyorot dengan tajam tapi terkesan kosong. Kulitnya gelap terbakar matahari, dengan punggung agak sedikit bungkuk tapi cukup kekar dan berotot. Ia tertawa-tawa terus dengan mulut terbuka nan berliur.

Tubuh, wajah, dan peringai yang aneh. Ayu sedikit bergidik ketakutan ketika melihatnya. Gadis itu tidak perlu menebak dua kali untuk paham orang ini seperti apa. Tidak bisa tidak, Ayu pun bertindak ramah seperti kepada seorang anak-anak.

“Ha-hai! Halo.”

Sang kakek tersenyum. Ia terkesan dengan kebaikan Ayu pada pemuda itu dan duduk di depan sang dara jelita. “Mbak Ayu ya? Nungguin Pak RT?”

“Be-betul Bapak.”

“Oh ya sudah ditunggu saja dulu. Kenalkan nama saya Prawiro Dirjo. Kerap dipanggil Mbah Jo. Saya bapaknya Pak RT. Yang ini tadi Mbok Giyem, ibunya Pak RT alias mantan pacar saya,” Mbah Jo terkekeh sembari mengulurkan tangan pada Ayu yang mau tak mau menerima uluran tangannya untuk bersalaman, Mbah Jo memegang erat tangan Ayu tanpa lepas. Agak menggelisahkan bagi sang mahasiswi jelita yang jengah tangannya dipegang oleh sang kakek.

Mbah Jo tahu pandangan Ayu sekilas sempat melirik ke arah sang pemuda yang berkelainan di samping mereka, “Maaf kalau keponakan saya yang satu ini mengganggu njenengan ya, Mbak. Tahu sendiri dia agak… kurang. Dulunya sehat tapi kena kecelakaan sewaktu SD jadi begini. Anaknya adik saya, orangtuanya sudah meninggal semua, jadi saya rawat seperti anak sendiri.”

“Ah iya, tidak apa-apa kok, Pak. Tidak apa-apa…” Ayu tersenyum anggun. Dia tidak ingin membuat keributan di hari pertamanya di dusun Bawukan ini. Dia bahkan tidak protes kalau tangannya dipegang lebih lama oleh Mbah Jo tanpa lepas.

“Namanya Ganep,” Mbah Jo melambaikan tangan kiri untuk memanggil sang keponakan tanpa melepaskan tangan halus mulus milik Ayu di tangan kanan. “Nep! Le! Sini, kenalan sama Mbak-nya. Sini!”

Ganep tertawa-tawa. Ia mendekat lalu mengulurkan tangannya. Saat itulah Mbah Jo baru melepaskan tangan Ayu. Ketika sang pemuda dan Ayu sama-sama salah tingkah, Mbah Jo pun mencengkeram pergelangan tangan Ayu dan menghunjukkannya ke arah Ganep. Mereka bertiga berdiri berdekatan.

Ayu tentu saja terkejut, “Eh? Pak?”

“Tidak apa-apa… ini supaya dia tidak takut…” bisik Mbah Jo sembari meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Ayu yang mulai merasa tidak nyaman sedikit ketakutan ketika kemudian tangan mulusnya dijabat dengan erat oleh Ganep yang mungkin kurang satu ons sewaktu pembagian kewarasan.

Ayu takut-takut saat bersalaman dengan Ganep. Mbah Jo melirik Ayu dan tersenyum puas, saat melihat mahasiswi jelita itu kurang nyaman, Mbah Jo mengunci tangan Ayu dan ditangkupkan ke tangan Ganep. Pria tua itu pun berbisik pada Ayu, “Nah iya… bener, begitu… jangan takut. Kalau dia ngamuk justru akan berbahaya, pokoknya jangan sampai dia kaget, Mbak.”

Mendengar ancaman itu jelas Ayu pun jadi waswas, takut berbuat kesalahan. Ia pun membalas bisikan sang pria tua. “Ber-berbahaya? Berbahaya gimana, Pak?”

“Mbak Ayu mungkin sudah tahu atau pernah lihat, orang seperti dia kalau ngamuk kayak apa. Tidak bisa ditahan karena memang otaknya tidak jalan. Dia hanya menuruti apa maunya. Jadi turuti saja dulu ya,” bisik Mbah Jo, ia mendekat dan berdiri di samping Ayu persis.

Ayu merinding ketika Mbah Jo lantas merangkulnya. Ia mencoba melirik ke arah Mbok Giyem, tapi perempuan tua itu hanya tersenyum saja. Keluarga ini terlihat agak aneh dan mengerikan.

Mbah Jo berbisik lagi, “Pokoknya Mbak Ayu ikuti saja apa maunya.”

Hidung Ayu mengkerut, ia mencium bau rokok yang tidak enak diendus. Ayu sering ngamuk-ngamuk ke Erik kalau mendapati kekasihnya itu menggunakan vape-nya sembarangan. Meski baunya manis dan sedap, tapi Ayu tahu itu pun tidak sehat. Saat ini ia justru teramat dekat dengan Mbah Jo yang rokoknya sehari bisa empat bungkus. Ayu pun sedikit beringsut menghindari Mbah Jo.

Saat melakukan itu, secara tidak sengaja, tangannya terlepas dari tangan Ganep.

“Hrrrrrh! Hoaaaaaaaaahhh!!” Ganep berteriak kencang, matanya melotot ke arah Ayu yang langsung kebingungan, “Kenapa dilepas? Kenapa dilepas? KENAPAAA DILEPAAAASS!!”

Pemuda dengan gangguan mental itu tiba-tiba saja murka. Ayu pun terkejut. Demikian juga dengan Mbah Jo dan Mbok Giyem. Mereka berdua secepat kilat mencoba memegang erat Ganep yang sudah bersiap mengamuk.

Mbah Jo menatap Ayu, “Salami dia lagi, Mbak! Salami dia lagi! Cepat Mbak! Cepaaaat!”

“Eh… eh…” Ayu kebingungan, duh mana si Erik lama banget lagi. Aduuh. Mesti gimana ini? Karena tidak mungkin meninggalkan kedua orang sepuh itu berusaha sendirian, Ayu pun langsung menarik tangan Ganep dan menyalaminya lagi.

Ganep mendengus-dengus, Mbah Jo dan Mbok Giyem berkeringat deras karena tenaga Ganep memang tidak main-main.

“Ma-maaf ya, Mbak. Memang seperti ini kelakuan keponakan saya. Kalau tidak dituruti apa maunya, suka ngamuk tidak jelas. Maaf sekali…” Mbok Giyem berulang kali meminta maaf pada Ayu. Gadis muda itu jelas tidak mungkin marah ataupun menolak, situasinya sedang tidak memungkinkan, dan dia pun butuh orang-orang ini untuk mendukung KKP kelompoknya.

“Ti-tidak apa-apa, Bu.” Ayu hampir menangis karena Erik tak juga muncul batang hidungnya. Suaranya mulai parau karena takut dan putus asa. Kenapa lama banget sih kekasihnya itu? Duuuh. “Tenang ya, Mas Ganep. Kenalkan saya Ayu…”

Ganep senyum-senyum lagi, “Ihihihihik. Ayu… ayu banget… ihhihihihik… Ayu yang ayu… ihihik…”

Ayu tersenyum pasrah, “Iya… nama saya Ayu.”

Saat itu tiba-tiba Ganep menarik Ayu ke depan, semakin mendekat ke arahnya. Mbah Jo dan istrinya sudah melepaskan tubuh Ganep dari tadi, sehingga Ayu pun terkunci karena jabatan tangan mereka teramat kencang dan erat, gadis itu diam saja karena takut Ganep akan ngamuk seperti tadi.

Apa yang dilakukan selanjutnya membuat Ayu terkejut setengah mati!

Tangan kiri Ganep maju ke depan dan meremas-remas dada Ayu!!

“Aaaaaaaaah!!” Ayu jelas menjerit karena kaget.

Ia tidak menduga sama sekali akan ada adegan seperti itu. Ganep meremas-remas buah dada kenyal milik Ayu yang tersembunyi di balik kaos yang ia kenakan. Tangan pemuda dengan keterbelakangan mental itu tiba-tiba saja menyelinap ke sebalik jaket almamater yang ia kenakan. Meremasnya pun tidak lembut, melainkan sangat kasar dan menyakitkan.

Ayu menjerit, “Aaaaaah! Jangaaan! Jangaaaaan!! Jangan diremaaas!”

Ganep terkekeh-kekeh mendapatkan mainan baru, ia tidak peduli dengan apa yang diteriakkan oleh sang dara jelita. Ia menyeringai dan senang sekali. Kalau mengesampingkan kesehatan mental sang pemuda, siapa sih yang tidak akan senang bisa meremas-remas payudara sentosa milik dara semolek Ayu? Mungkin bagi Ayu, seumur hidupnya, baru Ganep-lah yang beruntung bisa melakukan hal itu.

“Jangaaaan! Jangaaan! Bapak… Ibu… bisa tolong sayaaaa? Ahhhhh!”

Tapi Mbah Jo dan Mbok Giyem menggelengkan kepala, mereka tidak bisa berbuat apa-apa kalau Ganep sudah menghendaki.

“Su… sudah ya? Sudah? Sudah?” Ayu berusaha mengakhiri kejadian paling tidak menyenangkan dalam hidupnya itu. Untuk pertama kalinya ia tidak berdaya, takut, panik, dan bingung setengah mati hendak melakukan apa.

“Maaf ya, Mbak… maaf sekali…” Mbok Giyem memohon ampun berkali-kali tapi tak kunjung menghentikan ulah si Ganep. Begitupula Mbah Jo yang terkesan membiarkan apapun yang dilakukan sang pemuda pada Ayu. Gadis itu sudah siap menangis.

“Kikikikik… Pakdhe! Susu Ayu! Pakdhe!! Susu Ayu!” Dengan nakalnya si Ganep menarik tangan Mbah Jo, dan ikut menempelkannya di buah dada Ayu. “Remas-remas, Pakdhe!! Remas-remaaaas!! Ikikikikikik…”

Ganep tertawa-tawa.

“Ma-maaf, Mbak. Maaf sekali. Maaf sekali. Ini permintaan Ganep. Kalau tidak dituruti, takutnya dia akan ngamuk seperti tadi. Mohon sabar ya, Mbak… anggap saja ini pengobatan. Maaf sekali, Mbak.”

Ayu makin panik karena kini ada dua orang yang terang-terangan meremas-remas buah dadanya. Kali ini Mbah Jo terlihat bingung, namun bingungnya seperti senang. Bagaimana tidak senang kalau tiba-tiba saja di tengah hari bolong seperti ini, dia bisa meremas-remas payudara seorang dara yang tidak hanya jelita, tapi juga memiliki buah dada ranum yang ternyata sangat menggemaskan. Ukuran dada Ayu memang cukup sentosa.

“Ahhhhmmm… ahhh…” Ayu menggigit bibir bawahnya.

Dia sebenarnya ingin sekali berontak dan menolak pelecehan seperti ini. Pada normalnya dia akan mengamuk jika diperlakukan seperti ini oleh orang yang bahkan tidak dia kenal. Tapi pertama sekali, dia butuh melakukan KKP di tempat ini dan tidak ingin membuat masalah, kedua… Ganep bukanlah pemuda normal. Setiap saat dia bisa kambuh dan mengamuk tiba-tiba. Kalau dia sudah mengamuk, siapa yang akan bisa menghentikannya?

Aduh… bagaimana ini? Dada kiri diremas Ganep dengan kasar, dada kanan diremas Mbah Jo yang cengengesan. Ayu mulai meneteskan air mata.

Bagaimana ini? Tidak ada yang menolongnya.

Mana sih Mas Erik?





.::..::..::..::.





“Hallooooooo? Mbak Amy!? Ada orang di rumah?”

Amy memejamkan mata sejenak, mengatur napas dan hatinya sebelum membuka pintu. Memang dasar sudah jatuh tertimpa tangga. Yang diharap datang itu yang semacam pemain drakor, yang datang bungkusan nasi basi. Sebenarnya Amy takut setengah mati, tapi dia tidak mungkin menghindar dari seseorang sepenting Pak RT di kawasan Kembang Arum. Apa yang akan dilakukan Pak RT sekarang setelah mendapatkan foto tak senonoh Amy?

Menutup pintu dan bersembunyi bukanlah opsi, dia takut Pak RT akan melakukan hal-hal yang tidak baik dengan fotonya itu.

Amy melirik dirinya sendiri di cermin. Sudahkan dia presentable? Sudah. Pakaiannya rapi, hijabnya apik, sopan, dan menarik. Tidak ada kesan seksi kan? Amy tidak pernah merasa dirinya cantik, manis, atau mempesona. Dia hanya merasa biasa-biasa saja dan orang terlalu berlebihan menilai kecantikannya. Tapi sejak SMA, sudah banyak sekali pria yang antri untuk mendapatkan hatinya. Sungguh beruntung bagi Ge yang akhirnya mendapatkan hati sang bidadari.

Selain cantik, Amy juga semampai dengan tubuh proporsional yang indah, dan menawan. Dilahirkan di keluarga berada, Amy memiliki kulit putih mulus tanpa bercak yang turun temurun dari orang tuanya yang berasal dari dataran tinggi Jawa Barat. Hanya setelah menikah dengan Ge-lah, Amy tinggal di kota ini dan bersahabat dengan Nisa dan Shinta.

Dia jelas tidak bersahabat dengan Pak Sukirman sang RT. Dia agak sungkan, kalau tidak ingin dibilang jijik. Pandangan Pak RT sering terkesan mesum dan seakan-akan menelanjangi dirinya tiap kali mereka berdua bertemu. Masa ketemuan sama orang diamati dari ujung kaki ke ujung kepala? Mana dengan detail pula. Amy jelas risih dan tidak suka.

Sekarang pun sebenarnya ia tidak suka dan tidak ingin membuka pintu depan rumahnya, tapi mau tak mau ia harus melakukannya. Sebelum membuka pintu depan, Amy memastikan putra tunggalnya tertidur lelap supaya tidak terganggu oleh kehadiran Pak Sukirman.

Amy menarik napas panjang, tangannya berada di handle pintu.

Persiapkan hatimu, batin Amy pada dirinya sendiri.

Pintu dibuka.

“Naaaah. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Assalamualaikum,” Pak RT menyampaikan salam sembari tersenyum lebar.

Waalaikumsalam,” lirih Amy menjawab.

Menyaksikan sang nyonya rumah tampil mempesona, Pak RT pun jadi girang, “Wuaaalaaah, ayu banget memang Mbak Amy ini. Nggak ada duanya di Kampung Kembang Arum. Dari pucuk Gunung Mandiri sampai ke kota di bawah sana, rasanya hanya Mbak Amy yang paling cantik.”

Gombalan demi gombalan receh Pak RT membuat Amy merasa jengah. Begini amat ya nasibnya? Harus menerima ocehan tidak bermutu Pak Sukirman. Seandainya saja dia tidak ceroboh, seharusnya bisa menghindar dari pria tua yang satu ini.

“Terima kasih, Pak RT. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Amy menatap wajah Pak RT dengan grogi karena malu. Jelas dia malu berat karena mengirimkan gambar tak senonoh pada Pak Sukirman. Dia benci dirinya sendiri karena sering lupa memeriksa sesuatu dengan teliti. Itu sebabnya saat ini bidadari itu tengah berusaha pura-pura tidak tahu, kura-kura masuk ke besek tahu.

“Hehehe. Boleh saya masuk dulu? TIdak enak dilihat tetangga kalau ngobrol di luar begini…”

Huh, dasar orang mesum. Alasan saja mengajak ke dalam.

Amy jelas tidak ingin terjebak di dalam rumah bersama dengan pria tua yang selalu cengengesan itu, tidak, dia tidak mau. Ibu muda itu pun mencoba mencari-cari alasan, “Aduh, maaf sekali, Pak. Rumah saya belum dibersihkan, masih berantakan sekali. Biasalah itu si Kevin suka lempar barang kemana-mana. Apa sebaiknya tidak di luar saja? Di teras mungkin lebih sejuk dan…”

“Saya ingin membicarakan foto setengah telanjang Mbak Amy. Tahu kan apa yang saya maksud?” ucap Sukirman dengan lantang. Dia tidak ingin basa-basi. Dia langsung menembak Amy dengan masalah terberatnya. Jelas tidak mungkin menghindar bukan? Sukirman membuka ponselnya untuk memperlihatkan foto sang bidadari dalam keadaan paling vulgar, “Foto yang ini. Foto yang menampilkan tubuh indah Mbak cantik dengan susu yang hampir kelihatan pentilnya dan bagian selangkangan yang hampir kelihatan memeknya. Yakin mau ngobrol tentang hal itu di luar? Tidak takut ada tetangga yang mendengar?”

“Pa-Pak RT!”

“Apa njenengan tidak malu, Mbak cantik? Saya sih tidak masalah mau bicara di mana saja tentang itu,” Sukirman menyeringai licik.

Amy memejamkan mata, menahan emosi, menghela napas, dan terpaksa mengangguk sembari melebarkan pintu. “Baik. Silakan masuk”

Bidadari berkerudung itu membukakan pintu rumah dan mempersilakan Pak Sukirman masuk, pria itu bahkan tidak melepas sendalnya yang kotor. Dia nekat saja masuk ke ubin licin rumah Amy dengan seenaknya. Pak RT tahu pasti hari ini Ghema sang suami tidak pulang, sehingga dia bisa nyaman di sini tanpa mempedulikan apapun.

Amy mempersilakan Pak RT duduk. Nada suaranya tidak seramah tadi. Saat ini Amy cukup ketus, “Silakan duduk, Pak.”

“Baik.” Sukirman pun duduk santai sambil menyilangkan kakinya, kaki kanan dinaikkan ke lutut kaki kiri dengan pongahnya. Dia menatap sang ibu muda tanpa berkedip, “Mana si bocil? Sudah tidur? Tidak dikelonin? Atau mau kelon sama saya saja? Hehheh.”

“Kevin sedang tidur. Mohon jangan berbicara terlalu keras, nanti dia bangun,” Amy memilih untuk berdiri dan tidak dekat-dekat dengan Pak Sukirman.

“Bagus sekali. Sudah terkondisikan sepertinya. Oke, kita pangkas basa-basinya ya, Mbak. Males saya kalau harus basa-basi lagi. Jadi sekarang tolong dengarkan saya baik-baik… saya telah memiliki foto setengah telanjang Mbak cantik yang sangat seksi. Kalau tidak mau foto itu disebarkan ke orang lain, ikuti semua permintaan saya. Bagaimana?”

Amy bergetar hebat, perasaannya campur aduk. “Ja-jangan, Pak! Saya mohon untuk menghapus foto… a-apa seperti ini tindakan seorang ketua RT? Saya mohon kebijakannya, Pak. Saya tidak sengaja mengirimkan foto itu pada bapak. Itu total karena kecerobohan saya dan tidak akan saya ulangi lagi. Saya mohon maaf jika foto saya telah menimbulkan prasangka buruk dan miskomunikasi di antara kita, tapi saya mohon hapus foto itu, Pak. Sebelum semuanya terlambat. Saya tidak ingin membuat suami dan keluarga saya khawatir jadi…”

“Dengar tidak sih apa yang baru saja saya sampaikan, Mbak cantik? Saya tidak akan menyebarkan foto itu. Saya justru akan menghapusnya sekarang juga di hadapan njenengan. Tidak percaya amat sih sama saya.”

“Syukurlah…” Amy pun menarik napas lega.

“Tapi ya njenengan tetap harus menuruti semua permintaan saya kalau mau foto itu dihapus. ”

Amy mulai gelisah. “Apa yang Bapak inginkan?”

“Tenang saja, Mbak cantik. Saya tidak akan minta macam-macam. Saya hanya minta satu macam saja, njenengan tidak perlu curiga begitu. Saya bukan orang jahat. Kan tahu sendiri saya selama ini tidak pernah menyakiti siapapun,” Pak RT menyeringai mencurigakan. Sedikitpun Amy tidak mempercayai pria tua itu. Akal bulus apa yang sedang dia mainkan? Apa yang dia inginkan? Pak RT menepuk sofa yang ia duduki, “Kenapa kita jauh-jauhan sih? Silakan duduk dulu, Mbak cantik. Kita bicara baik-baik.”

Amy pun duduk di sofa yang sama tapi tidak dekat dengan Pak RT. Ia menjaga jarak dengan laki-laki tua yang sudah mulai aneh-aneh permintaannya itu. Ibu muda itu tetap diam seribu bahasa dengan wajah cemberut.

“Lho kenapa jauh-jauh begitu? Kita harus lebih mengenal satu sama lain. Apalagi saya sudah mulai mengenal seluk beluk tubuh Mbak Amy, kan?”

Amy melengos ketus.

Sukirman mendekat ke arah Amy. Ibu muda itu beranjak menjauh, menggeser duduknya supaya tetap ada jarak antara dirinya dan sang pria tua. Tapi Pak RT tak menyerah, ia geser duduknya kembali. Amy kembali beringsut. Tapi ibu muda yang cantiknya bak bidadari itu sudah tak ada lagi tempat untuk pergi. Dia hanya bisa berpindah kursi.

Amy pun memilih opsi kedua, dia berdiri dan siap untuk berpindah kursi. Itu lebih baik daripada dipepet oleh bandot tua yang…

“Mau kemana? Njenengan mau fotonya dihapus, kan? Duduk di sini dulu, Mbak. Duuuh, marah aja manis banget lho. Nggemesin banget ih.”

Amy menoleh ke samping dan menatap Pak RT yang tersenyum mengerikan.

Ibu muda itu memejamkan mata, menghela napas dan akhirnya duduk dengan terpaksa di samping sang Ketua RT. Sukirman pun terkekeh-kekeh karena akhirnya ia benar-benar bisa duduk mepet dengan sang ibu muda jelita idola kampung itu. Pak RT tahu sekali kalau kecantikan Amy telah mempesona banyak pria penduduk Kembang Arum, termasuk Growol, Bawukan, dan cluster Kembang Arum Asri. Bagaimana dia bisa tahu? Biasanya kalau bapak-bapak berkumpul untuk main badminton di Growol, mereka akan memperbincangkan kembang-kembang di ketiga lokasi itu.

Nama Nisa, Amy, Shinta, dan Intan adalah yang paling sering mencuat dibicarakan. Bagi Pak RT sendiri keempatnya sangat menggairahkan, tapi perhatiannya kini tercurah pada sang bidadari yang ada di hadapannya.

“Rumah ini bagus sekali ya. Pasti njenengan berdua mengeluarkan modal yang cukup besar untuk membenahi rumah ini,” Pak Sukirman mengedipkan mata, “Tadi katanya rumahnya berantakan, tapi semuanya rapi begini. Mananya yang berantakan, Mbak cantik?”

“Tidak perlu basa-basi, Pak. Berapa yang Bapak minta? Saya tidak punya banyak uang,” Amy bertanya dengan ketus sambil mencoba mengambil tas jinjing berisi dompet yang ada di kursi yang satu lagi. Ia berusaha menggapainya, “Apa yang saya punya akan saya berikan. Saya ingin foto itu dihapus. Titik.”

“Lho… lho… sabar sebentar…” Pak RT menyeringai sembari menahan tangan Amy, “kenapa buru-buru?”

Amy mendengus kesal, “Saya sibuk, Pak. Tidak ada waktu untuk mengurus hal yang remeh. Ada pesanan baju online yang harus saya kirim dan pilah-pilah. Bapak mau apa bilang saja. Berapa nominal yang bapak minta? Asal masih masuk akal akan saya berikan dari tabungan saya pribadi. Saya tidak ingin suami saya tahu tentang hal ini.”

“Weladalah, ini yang namanya mishom, mishominkesyen. Njenengan salah besar kalau mengira saya butuh uang. Tidak-tidak…! Tolong jangan meremehkan saya, Mbak cantik. Saya tidak butuh uang njenengan. Jelek-jelek begini saya juga punya harga diri,” Pak RT dengan santainya meletakkan kaki di atas meja ruang tamu, Amy mau protes dan marah besar, tapi tentu saja dia tidak bisa. Dengan geram ibu muda itu hanya bisa menggemeretakkan giginya. Pak RT yang memang menguji emosi Amy pun melanjutkan dengan satu penawaran, “Saya melihat Mbak Amy ini punya potensi. Tubuhnya indah, semampai, kulit putih mulus, wajah gak usah ditanya lagi, cantiknya nggak kaleng-kaleng. Nah, saya ingin menjadikan Mbak Amy sebagai model foto saya.”

Amy terdiam tidak menanggapi. Dia mengerutkan kening. Model foto?

Pak RT paham kalau Amy kurang paham, ia pun melanjutkan, “Kebetulan sekali saya ini sebenarnya punya hobi fotografi, Mbak. Tapi akhir-akhir ini agak kesulitan mencari model untuk saya ambil gambarnya. Kalau ada model cakep dikit langsung dihamili Sukirlan, parah banget memang adik saya itu. Tapi jangan khawatir, kali ini saya akan melindungi model saya mati-matian. Jadi, saya ingin menggunakan Mbak Amy sebagai model foto-foto saya selanjutnya. Seperti saya bilang tadi, Mbak Amy sungguh cantiknya luar biasa, tubuhnya juga sangat indah bahkan jika tampil tanpa pakaian seperti yang sudah saya lihat. Huahahahaha.”

“Mo-model foto?”

“Betul. Selain cantik mempesona, Mbak Amy ini saya lihat juga sangat fotogenik. Saya jadi tertarik membayangkan, bagaimana kalau Mbak Amy menjadi model foto saya? Pasti akan sangat asyik sekali memotret keindahan alam sekaligus keindahan Mbak Amy.”

“Tapi… model foto? Saya tidak pernah…”

“Betul sekali, sebagai model foto. Jangan khawatir kalau tidak ada pengalaman, kami akan membantu. Kebetulan saya dan Pak Barsono… eh, tahu Pak Barsono kan ya?”

Amy menggeleng.

“Yang tinggal di dekat rumahnya Sukirno kakak saya di Growol? Tidak kenal? Ya sudah tidak apa-apa. Pak Barsono ini kawan karib saya, beliau punya studio foto di kota, biasanya sih melayani foto wedding dan prewedding. Nah, kami sering jalan-jalan untuk mengambil gambar di hutan, sawah, ladang, gunung, di manapun itu, kami selalu jepret sana jepret sini. Kami berdua bahkan sudah bikin kelompok Fogmi atau Fotografer Gunung Mandiri, yang tentu anggotanya baru kami berdua. Saya ingin Bu Amy menjadi anggota ketiga.”

Kesialan macam apalagi ini? Amy ingin menjedotkan kepalanya ke tembok. Diminta jadi model klub fotografi yang anggotanya cuma dua bapak-bapak mesum. Kalau diijinkan mengumpat, Amy ingin meneriakkan seluruh anggota kebun binatang sekarang juga. Dia benci pada dirinya sendiri yang ceroboh sehingga dapat dimanfaatkan seperti ini.

Bagaimana mungkin dia menolak?

“Kalau saya bersedia, apakah foto saya yang tadi akan dihapus?”

“Heheheh, yo nanti dulu toh. Belum apa-apa kok sudah dihapus… fotonya aja bagus banget. Njenengan nampak cantik dan seksi.” Pak RT dengan berani menangkup tangan Amy, “Saya sudah sejak lama naksir njenengan lho, Mbak. Ayu banget tenan gak bohong. Tubuhnya indah, kulitnya putih mulus, penampilannya alim, wajahnya? Kayak bidadari khayangan turun dari langit. Lengkap komplit seperti nasi uduk pake telur pake sayur pake teh tawar anget. Heheheh.”

“Sudah gombalnya, tidak perlu mengulang-ulang kalimat yang sama,” Amy menarik tangannya dari tangkupan tangan Pak RT. Dengan ketus ia menatap sang pria tua, “Kalau foto itu dihapus, saya baru mau bergabung ke klub fotografinya pak RT. Kalau tidak dihapus, saya tidak mau.”

“Loh loh loh, kok beraninya maen ancaman lho. Piye iki. Kebalik dong, Mbak.” Sukirman mendekatkan kepalanya ke arah Amy. Wajah mereka sangat dekat, “Justru saya yang seharusnya mengancam njenengan. Apa yang terjadi kalau foto njenengan saya kirim ke pihak yang tidak berhak? Mau saya kirim ke siapa? Mang Juki? Pak Barsono? Atau saudara-saudara saya? Mas Sukirno? Si Sukirlan? Mbah Jo? Atau malah ke… Ganep?”

“Eh jangan dong! Enak saja! Saya minta dihapus kok malah dikirim ke orang!”

“Makanyaaaa jangan ngeyel jangan ngancem. Mau tidak jadi model foto saya?” Pak RT mengeluarkan berkas dari tas yang sejak tadi ia bawa-bawa. Ia meletakkan sebuah form di meja berikut dengan bolpennya. “Silakan diisi formnya untuk kesediaan Mbak Amy menjadi anggota ketiga kelompok Fogmi. Ini adalah kontrak resmi, bahkan sudah ada meterai sepuluh ribu yang sudah saya sediakan.”

Amy menghela napas panjang, “Tapi fotonya dihapus kan?”

“Tenang saja, hari ini juga saya hapus.”

Mencoba positive thinking dan mengabaikan semua kesesatan yang berkecamuk di kepalanya, Amy pun akhirnya mengisi biodata pada form. Form itu normal-normal saja sebenarnya, hanya kontrak sebagai karyawan untuk Fogmi. Jadi sepertinya tidak ada masalah. Amy menyelesaikan pengisian form dengan menandatanganinya.

“Sudah. Saya sudah tanda-tangani. Tolong hapus foto saya sekarang juga.” Amy menghentakkan bolpen di atas form.

Kiss kiss.” Pak RT tersenyum sembari membentuk mulutnya seperti kerucut.

“HAH!? Apaan sih, Pak? Jangan mimpi yah! Saya tidak akan mau yang seperti itu!” Amy marah. Dia berdiri dan menjauh dari Pak RT. Dia menyentakkan tangan Pak RT yang sejak tadi menangkup punggung tangannya.

Pak RT tersenyum, ia menyilangkan tangan di belakang kepala, lalu kembali meletakkan kaki di atas meja. Kaki yang masih mengenakan sendal. Pria tua itu tekekeh, “Njenengan belum paham sepertinya, Mbak cantik. Silakan duduk di sebelah saya sekarang dan ikuti semua petunjuk yang saya perintahkan, atau yang seperti ini akan terjadi…”

Sukirman mengeluarkan ponsel dari kantongnya, lalu menunjukkan salah satu percakapan WhatsApp. Foto setengah telanjang Amy sudah siap dikirimkan ke seseorang. Pria tua itu tentunya sudah mempersiapkan ancaman itu sejak tadi. Ia sudah siap menekan tombol kirim. Siapa yang akan dikirim?

Ada nama di sana, di bagian penerima pesan.

Abdul Bawukan.

Amy terbelalak. Ibu muda jelita itu jelas mengenal nama itu. Abdul Masturi alias Pak Dul, orang yang sering diminta tolong sebagai sopir sewaan Mas Ge kalau capek menyetir mobil mereka keluar kota. Hubungan Pak Dul dengan keluarga Amy jelas sangat dekat.

Dia tidak mungkin bisa hidup tenang kalau Sukirman mengirimkan fotonya pada Pak Dul.

“Ku-kurang ajar!” Amy akhirnya kehilangan kesabaran.

“Duduk di sebelah saya dengan tenang.”

Amy pun melakukannya. Ia duduk dengan kaku dan takut-takut menghadapi apa yang akan terjadi. Pak RT terkekeh. Ia mendekat ke arah Amy, lalu merangkulnya. Tanpa peduli tubuh bidadari itu bergetar ketakutan, Pak RT pun mengecup pipi mulus sang bidadari.

Cpph.

Pipi Amy akhirnya tersentuh bibir pak Sukirman.

Amy mimbik-mimbik hendak menangis. Siapa yang menyangka hari ini dia harus menerima dilecehkan seperti ini oleh seorang laki-laki tua buruk rupa dan mesum? Pak RT sendiri bersikap hati-hati, dia tidak lantas gegabah buru-buru menyerang sang bidadari.

Dia ingin menaklukkan Amy, tapi dengan caranya sendiri, dan dalam temponya sendiri. Tidak perlu terburu-buru untuk melakukan apapun. Kesabaran adalah kunci.

Pak RT lantas berbisik ke telinga sang ibu muda.

“Sekarang lepaskan behamu…”





.::..::..::..::.





Ardian melirik ke mobil yang ia parkir di pinggir jalan, sengaja kali ini ia letakkan di sana mobilnya.

Kenapa? Karena malam nanti ia berniat menjemput Intan tanpa sepengetahuan Shinta. Kasihan ibu muda itu jika harus naik taksi online malam-malam pulang ke dusun Growol sendirian, jalanan yang sepi dan suasana yang kurang bersahabat sepertinya akan menakutkan bagi Intan. Entah kenapa Ardian merasa ingin selalu melindungi dan men-support Intan.

Kenapa? Apakah karena Intan cantik? Apakah karena dia menarik? Entahlah. Ardian juga masih belum tahu sampai sekarang apa alasannya dia memperlakukan Intan dengan istimewa, semua terjadi begitu saja.

Ardian masuk ke rumah dan meletakkan tasnya di dekat pintu. Ia berjalan ke dalam dan menjumpai Arga yang sedang bermain-main di dalam box-nya. Pria itu pun menyempatkan diri untuk menggendong sang anak yang sedang lucu-lucunya setelah membersihkan tangan. Ia berulang kali mencium pipi Arga dengan gemas.

“Bagaimana kabar Arga hari ini? Sehat kan? Sudah diberi vitamin? Eh, gimana tadi? Seru nggak jalan-jalannya ke puskesmas?” Pria itu bersenda gurau dengan sang bocah dan meletakkannya lembut di pembaringan yang ada di dalam box begitu ia masuk ke dalam rumah.

Ardian mengerutkan kening. Kok sepi ya? Kemana istrinya? Kenapa tidak menyambutnya? Biasanya dia akan langsung ke depan saat Ardian memarkir mobil. Apakah karena dia tidak meletakkan mobilnya di garasi sehingga Shinta tidak sadar Ardian sudah datang?

Kalau begitu, apa yang sedang dilakukan Shinta?

Jangan-jangan sedang ketiduran karena lelah seperti tempo hari? Aduh kasihan sekali dong Arga ditinggal sendirian sama sang bunda? Ardian pun menutup pintu dan berjingkat-jingkat masuk ke dalam. Ia mengucapkan salam dengan lirih, “Assalamualaikum. Mama?”

Tidak ada jawaban.

Kemana Shinta?

Ardian melirik dapur dan kamar tidur. Semua sepi. Di kamar mandi juga tidak ada. Masa iya dia membiarkan Arga sendirian saja di ruang depan? Tak berapa lama kemudian, Ardian mendengar sayup-sayup suara di taman kecil yang ada di belakang rumah. Apakah Shinta berada di sana?

Ardian mengendap-endap tanpa suara. Ah benar, ada percakapan dan salah satunya adalah Shinta. Pria itu pun memilih untuk bersembunyi di balik pintu dan mendengarkan percakapan sang istri. Pasti ada sesuatu yang penting yang membuat Shinta hampir-hampir melupakan Arga.

Terus bagaimana?”

“Ya begitu. Aku terpaksa mengikuti kemauan Abang, Mbak. Aku mengajak si orang tua brengsek itu pulang ke kampung naik taksi online.”

Brengsek? Emang kenapa si orang tua ini? Kamu ada masalah sama dia?

“Sumpah, Mbak! Aku jijik banget sama dia! Sejak awal ketemu dulu di acara kampung aku sudah tidak suka karena sepertinya dia ngebet banget sama aku. Pandangannya itu lho, seakan-akan mau menelanjangi. Aki-aki gak tahu diri. Habis itu deket-deketin aku terus, padahal sudah jelas-jelas aku datang ke acara itu sama suami. Pokoknya serem.” Shinta nyerocos tanpa berhenti, “Aku jadi benci banget sama dia setelah kejadian tadi. Bisa-bisanya dia memperlakukan aku seperti itu! Ih, mandi keramas juga tetap berasa kotor banget rasanya! Duh, asli rasanya risih banget, Mbak.”

Sabar… sabar… aku perlu dengar lebih jelas dulu dari kamu, Shin. Kamu itu sebenarnya diapain sih? Sampai sekarang aku masih bingung kamu ceritanya ngalor-ngidul.

Jantung Ardian hampir copot karena terkejut mendengar pertanyaan dari orang yang dihubungi Shinta. Dia segera menggeser tubuhnya supaya rata dengan tembok dan bersembunyi di balik pintu. Dia tidak ingin Shinta tahu ia sedang menguping percakapannya.

Shinta… diapa-apain? Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang melakukan hal yang membuat Shinta gusar?

Pantas saja sang istri tidak menyambutnya, rupanya Shinta sedang asyik melakukan panggilan video-call dengan seseorang dan terlibat pembicaraan serius. Entah siapa dia, dari suaranya sih seperti Nisa atau Amy. Tapi Ardian tidak yakin, terlalu jauh untuk mengenali. Apakah benar wanita yang dihubungi Shinta adalah Amy atau Nisa? Atau mungkin wanita lain yang dia kenal? Atau wanita yang bahkan dia belum kenal? Amy dan Nisa sih sepertinya tidak memanggil Shinta dengan sebutan Shin.

Sekali lagi, entahlah. Sulit mengetahui dari jarak sejauh ini. Bisa jadi dia tidak mengenal wanita yang ada di panggilan telepon itu. Shinta memang punya banyak teman dan sialnya Ardian tidak hapal satu demi satu kawannya.

Tapi yang membuat Ardian excited sebenarnya bukan itu, dia sangat terkejut setelah sempat mendengar percakapan yang dilakukan oleh Shinta dan sang teman sebelumnya.

Memperlakukan Shinta seperti itu.

Itu. Pernyataan itu. Siapa yang telah memperlakukan Shinta seperti itu? Itu itu apa? Apa yang terjadi? Tidak jelas dan membuat Ardian sungguh penasaran. Dia geregetan dan penisnya mulai menggeliat mendengar ada sesuatu menimpa Shinta. Sungguh seorang suami yang brengsek dia, bukannya khawatir malah terangsang.

Siapa yang dimaksud oleh Shinta? Memperlakukan seperti apa? Apakah pak Hasbi? Apakah pak Hasbi melakukan hal yang tidak menyenangkan pada istrinya? Hal apa itu? Apakah pak Hasbi… melecehkan Shinta?

Ardian jadi super penasaran, ia mendekat dan mengendap, memastikan dirinya tidak terlihat dari teras belakang. Shinta sepertinya sedang sangat serius ngobrolnya sehingga dia tidak memperhatikan apa-apa kecuali ponsel yang sedang dia pegang.

Memangnya tadi gimana sih, Shin? Cerita dong sama aku. Apa yang dia lakukan sama kamu?

Suara itu tidak jelas dan seperti jauh, Ardian tidak bisa mengenali siapa yang diajak bicara oleh Shinta. Tapi itu tidak penting. Apa yang mereka bicarakan jauh lebih penting. Ya… dia setuju dengan siapapun lawan bicara Shinta. Apa yang telah terjadi?

“Aku… duh, gimana ya ngomongnya, Mbak? Aku bingung asli. Kalau aku jujur takutnya aku… aku merasa bersalah sama Abang.”

Hah? Merasa bersalah? Ardian meneguk ludah. Apa yang orang ini lakukan pada Shinta? Siapa dia sebenarnya? Pak Hasbi? Orang lain? Ayolah, Ardian ingin mendengar ceritanya.

“A-aku malu ngomongin ini, Mbak…”

Coba pelan-pelan. Aku tidak akan bisa memberikan nasehat kalau kamu tidak jujur. Jadi apa yang terjadi, dan kenapa bisa terjadi? Tenangkan dirimu dulu… tidak apa-apa, untuk sementara ini, biarkan Ardian tidak tahu apa-apa dulu. Kita bicarakan sendiri dulu. Kalau ini akan menyakiti Ardian, bisa jadi sebaiknya tidak perlu dibicarakan sama dia, kecuali kamu memang pengen jujur dengan suamimu.

Jantung Ardian serasa berhenti. Mereka berdua bersekongkol untuk menyembunyikan kejadian ini darinya? Oho… ini jadi semakin menarik. Tangan Ardian bersiap-siap memegang penisnya sendiri. Entah kenapa dia jadi sangat bergairah mendengarkan percakapan antara Shinta dan temannya.

“Iya, Mbak. Aku tidak mungkin memberitahu dia… kalau… kalau…”

Kalau apa, Shin?

“Kalau aku… aku… sudah memegang penis Pak Hasbi.”

Haaaaaaah!?

APA!?

Ardian bergetar hebat. Sedih, senang, kaget, marah, cemburu, tapi juga sangat bergairah. Banyak perasaan bergabung dan berkecamuk di dalam perasaan dan hatinya. Dia mendekat ke arah pintu karena ingin mendengar dengan lebih jelas lagi. Ia bisa mendengar suara Shinta yang bergetar karena takut dan khawatir.

“A-aku… merasa bersalah sekali, Mbak. Aku merasa bersalah sama Abang. Selama ini aku menuduh dia melakukan yang tidak-tidak dengan Intan, tapi kenyataannya hari ini aku malah melakukan suatu hal yang di luar nalar. Aku sungguh merasa bersalah…”

Sebentar-sebentar… ini bagaimana ceritanya kok kamu bisa jadi pegang kontol punya itu om-om?

“Ih, Mbak… bahasanya.”

Ya kan bener…? Namanya kontol kan? Duh, lagian kenapa sih Shin? Aneh-aneh banget sih kamu?! Kok bisa pegang barang punya om-om itu gimana? Nekat! Takutnya dia ketagihan lho.

“Eh… aku juga tidak sengaja, Mbak. Itu bukan karena keinginanku.”

Terus? Gimana ceritanya?

“Jadi waktu itu akhirnya kami bertiga selesai melakukan semua yang harus dilakukan di Puskesmas. Nah, sewaktu perjalanan pulang dari Puskesmas ke cluster Kembang Arum Asri, ternyata ada beberapa kejadian yang menjadikan perjalanan pulang itu menjadi perjalanan pulang paling lama dalam hidupku, Mbak. Bukan karena jarak tempuh ataupun macetnya jalanan karena memang tidak ada hal semacam itu. Yang menjadi masalah adalah teman seperjalanan-nya.

“Sepanjang perjalanan aku menggerutu karena tidak habis pikir dengan perintah Abang yang memintaku membawa serta dan mengantarkan pulang Pak Hasbi. Si tukang martabak mini itu kan orangnya ya begitulah, Mbak. Lagian seharusnya Abang tahu kalau bawa satu bayik yang masih netek aja sudah repot banget, ini malah disuruh ngemong abg tua mesum. Pokoknya males banget deh. Nah gilanya di sepanjang perjalanan dia dengan keukeuh-nya tidak mau duduk di depan dan memaksa duduk berdua bersamaku dan Arga di kursi belakang. Aku tahu dia cuma mau ngintip aja pas aku netekin Arga.”

Idih, niat banget mau deketin kamu, Shin. Makanya jangan cakep-cakep napa? Jadi inceran om-om kan kamu… itu juga dada disimpen, jangan diumbar kemana-mana.

“Lah, dadaku kan kecil, Mbak. Mau diumbar gimana? Lagipula aku juga gak nyangka aja ini orang ternyata tipe yang nekat begitu. Tapi ya sudah, aku iyain aja pas dia keukeuh mau duduk di belakang. Pokoknya aku mau konsentrasi ke si Arga sepanjang perjalanan.”

Beneran kamu diintip?

“Ya sudah pasti, lirik-lirik gitu dia. Tapi aman kok, aku pakai kainnya yang ngebungkus semua. Mana bisa dia lihat susuku.”

Terus?

“Setelah usaha ngintipnya gagal, Pak Hasbi mengajak ngobrol sang sopir taksi online.”

Lama ngobrolnya?

“Lumayan. Sampai kemudian dia kecapekan sendiri dan sukses ngorok dengan mulut terbuka dan mengeluarkan air liur. Wes itu adegan njijiki tenan, Mbak. Sumpah bikin aku gak doyan makan.”

“Duuuh duhhh.”

“Waktu itu aku kesel banget sama Abang, Mbak. Sementara dia enak-enakan dengan si Intan, eh istrinya malah disuruh ngemong bocah tua nakal semacam Pak Hasbi. Kan bete ya? Jadi heran aku, Mbak. Abang itu tahu atau nggak sih kalau orang tua satu ini sebenarnya ada rasa sama aku? kok ya tega-teganya diminta berduaan begini sih? Apa dia gak ada rasa khawatirnya? Maunya apa coba suamiku itu? Syebel ga sih?!

Oke, lanjut, Shin. Aku bener-bener jadi penasaran selanjutnya gimana.

Ardian yang bersembunyi di balik pintu setuju dengan kawan Shinta itu. Dia juga jadi penasaran. Apa yang selanjutnya terjadi di perjalanan?

“Dari puskesmas sampai sepertiga jalan dari Puskesmas, tiba-tiba saja Arga terbangun lagi, ternyata anakku haus, Mbak. Jadi ya aku konsen ke dia lagi, lucu banget deh, bangun-bangun dia senyum-senyum lucu gitu sembari pegang-pegang tetek, kayak tahu banget dispensernya di mana. Ya udahlah, aku jadi ga tega. Terpaksa sekali lagi aku pasang kain buat nutupin, kali ini aku lebih santai pakai kainnya. Untungnya selama kejadian ini berlangsung, si botuna itu masih ngorok.”

Kamu yakin Pak Hasbi masih tidur? Jangan-jangan dia ngintip? Kenapa juga sih kamu ngendorin pertahanan? Punya kain penutup kok tidak dipakai secara aman?

“Waktu itu aku juga mulai ngantuk, Mbak. Jadi agak asal. Kayaknya sih si botuna tidur. Dia gak ngelihat ke arah aku sama sekali. Matanya merem, tubuhnya meringkuk ga jelas, mulutnya terbuka, dan nggilani-nya air liurnya itu lho, Mbak. Kemana-mana! Nempel-nempel di baju, ke jok mobil, hiiy. Fix aku benci banget sama orang satu ini.

“Nah, suatu ketika aku lagi ngajakin Arga ngobrol pelan-pelan tuh, aku memastikan pak sopir melihat ke depan dan tidak melirik melalui kaca spion. Kacamatanya sih tebal si pak Sopir, jadi sepertinya dia harus fokus banget. Apalagi jalan yang berkelak-kelok bisa berbahaya kalau tidak serius mengendarai mobil menyusuri Pager Jurang. Nah, aku yang merasa aman pun mulai santai lihat-lihat pemandangan sembari netekin Arga…” Shinta meneguk ludah seakan-akan mencoba mengingat kejadian yang membuatnya trauma, “Lalu…”

Lalu?

“Arga tiba-tiba saja menggeliat-geliat waktu itu, agak rewel dia. Aku jadi agak kerepotan ngatur kainnya. Mungkin dia kecapekan perjalanan jauh kali ya? Otomatis tangan kiriku kupakai buat nutup kain ke wajahnya Arga. Nah tiba-tiba… saat itu… kepala Pak Hasbi jatuh ke pundakku, Mbak!”

Walah.”

“Ga tau gimana-gimananya, tahu-tahu kepala dia rebah di pundakku. Duuuuh baunya itu lho. Campuran bau jigong, iler, sama minyak angin. Pokoknya ga ada sedap-sedapnya. Mau aku dorong kepalanya, kok kesannya ga sopan sama orang tua. Kalo aku biarin, duh si aki-aki ini enak bener.”

Terus? Kamu dorong dia?

“Tadinya begitu, Mbak. Aku dorong bahunya supaya dia kembali ke sisinya, jangan jatuh ke posisiku. Eh, bukannya nurut malah tangan kananku ditarik Pak Hasbi, Mbak!”

Hah? Dia sudah bangun?

“Belum!”

Lho!? Gimana sih? Jadi dia masih tidur tapi dengan tak bersalahnya megang tangan kamu, gitu?

“Iyaaaa! Aku nggak tahu tuh aki-aki masih tidur atau pura-pura tidur. Eh, tahu-tahu aja tanganku ditarik, terus jari-jariku diremas-remas gitu sembari ditaruh di dada dia. Aku kan jelas panik, Mbak. Pertama karena tanganku dia pegang-pegang, dua karena kain yang nutupin dadaku jadi melorot. Sopir memang gak bakal bisa lihat, tapi Pak Hasbi pasti bisa lihat dengan jelas buah dada aku yang dikenyot Arga. Aku marah, tapi tidak mungkin kan bikin keributan? Aku takut ganggu konsentrasinya si sopir. Sudah gitu, Arga juga masih netek. Duh, bingung banget itu.”

Lama gak dia seperti itu? Emang buset juga ya si aki-aki.

“Lama, Mbak! Bukannya cepetan selesai, dia malah menjadi-jadi. Dia ngigau ga jelas manggil-manggil istrinya. Mmmhhh… Mah… Mamah… gitu. Aduuuh, asli aku pengen nendang orang itu, Mbak. Tapi ya tidak mungkin kan.”

Walah… terus?

Ardian meneguk ludah mendengar cerita yang dituturkan olen sang istri. Dia hanya bisa membayangkan situasi tidak menyenangkan yang dialami istrinya yang jelita dan sang pria tua. Sungguh Ardian menjadi sangat bergairah! Dia sendiri heran kenapa dia bisa seperti ini, tapi itulah kondisi yang dia alami. Dia justru makin menjadi-jadi saat mendengar Shinta terjebak dalam situasi yang tidak dia inginkan. Gairahnya terbang tinggi.

“Akhirnya aku pakai tangan kiri untuk pegang kain buat nutupin si Arga, sementara tangan kanan masih terus diremas-remas aki-aki brengsek. Bingung aku harus bagaimana. Mana perjalanannya masih jauh pula. Aku berusaha melepaskan tangan kanan, Mbak… tapi gilanya…”

Gilanya?

“Gilanya Pak Hasbi malah nangkupin tangan aku di gundukan batangnya!!!”

Apaaa!?

“Sumpah, Mbak! Aku malu banget! Gimana coba kalau dilihat sama si sopir? Akhirnya aku coba menyentakkan tanganku!”

Berhasil?”

“Berhasil kali ini.”

Fiuuuuuh, syukurlah.”

“Iya, Mbak. Meskipun dipaksa menangkupkan tanganku di gundukan kemaluannya, aku tetap merasa bersalah sama Abang, Mbak. Aku… malu banget udah pegang batang punya si aki-aki tua mesum itu. Sumpah malu banget.”

Kenapa merasa bersalah? Bukannya tangan kamu sudah bebas dari si aki-aki tua itu? Cuma nyentuh sebentar aja, kan?

“Iya sih… hanya saja…”

Hanya saja? Apalagi yang kamu pikirkan? Jangan mikir yang kejauhan kamu, Shin. Itu aki-aki harusnya digongso, bukan dilayanin apa maunya. Jangan bermain api kalau tidak ingin gosong. Suamimu emang kebangetan.

“Yeee… bukan begitu juga kali, Mbak. Aku cuma pengen bilang kalau… kalau rasanya tuh aneh. Aku baru pertama kali ini pegang punya laki-laki lain yang bukan punya suamiku, dan punya Pak Hasbi itu… punya Pak Hasbi itu…”

Kenapa punya dia?

”…ternyata gede banget, Mbak! Aku sampai kaget sendiri. Edan gedenya. Padahal itu belum tegang sempurna.”

Ardian semakin tak tahan, ia menggerakkan tangannya di kemaluan dengan lebih cepat. Ia merem-melek saking membayangkan saat Shinta menyentuh milik Pak Hasbi. Ia berusaha keras tidak mengeluarkan suara, walaupun desahan sudah sangat di ujung bibir.

Hihihi, pengen yaaa?” pancing sang penelpon.

“Enak aja. Nggilani, Mbak.” Shinta mencibir, “kaget aja ada barang yang segede itu. Lebih gede dari punya Abang.”

Dari benci jadi cinta. Hahahaha. Awas lho nanti malah kepengen.”

“Ish. No way.” Shinta seperti ragu-ragu, “Tapi…”

Hah? Tapi!? Kok tapi!? Ada lagi? Ada lanjutannya?

“A-aku bingung harus ngapain setelah menyentakkan tangan Pak Hasbi… karena kemudian si aki-aki itu bangun, Mbak. Katanya dia merasa aneh kenapa tiba-tiba disentak. Aku bilang saja tadi ada nyamuk, habis aku bingung cari alasan apa.”

Dia terima alasan itu?

“Terima sih, cuman mukanya jadi asem gitu. Karena merasa bersalah sama dia aku janji…”

Buseeeeet. Kamu janjian sama dia sekarang?

“Habis aku tidak enak, Mbak. Takutnya dia jadi tersinggung atau apa. Di sekitar rumah kan Pak Hasbi termasuk salah satu yang dituakan sementara aku kan pendatang, takutnya kenapa-kenapa,” Shinta merundukkan kepala. Rambut indahnya yang tergerai menutup wajah. Suaranya setelah itu terdengar sangat pelan, seakan-akan tidak ingin ada yang mendengarnya, “Aku… aku janji mau datang buat masakin dia sesuatu.”

Haaaaaaah!? Bisa-bisanya kamu janji seperti itu?

“Iya… habisnya aku kan nanya, Mbak. Pak Hasbi kalau sedang kondisi sakit begini siapa yang mengurus, karena setahuku dia tidak ada istri, saudara, ataupun pembantu. Dia bilang ga ada siapa-siapa gitu sambil cengengesan. Ya karena aku jadi kasihan… aku tawarin. Nanti aku masakin saja, Pak… gitu…”

Yaelaaaaah, Shin! Kamu ini kok malah mengumpankan diri sih? Kesenengan dong itu aki-aki! Malah cari penyakit aja kamu, Shin!

“Yaaah? Gitu ya, Mbak? Tapi udah terlanjur. Gimana dong? Asli waktu itu aku nggak bisa mikir apa-apa, Mbak. Bingung banget, jadi asal ngomong aja. Tapi ya sudah kalau gitu, nanti malam aku kesana buat masakin atau bawain dia sesuatu. Namanya juga udah janji. Mungkin masak di rumah aja kali ya? Duuuuh, gimana ya ngomongnya sama Abang?”

Yah bilang aja jujur, sudah janji sama Pak Hasbi mau bawain atau masakin sesuatu. Kasihan sudah tua, sakit pula. Jangan cerita yang macem-macem ke Ardian. Paham? Bikin perang dunia kalau sampai ketahuan kamu aneh-aneh. Selesai nganterin langsung pulang! Jangan mau diajak ngobrol!

“Ya udah iya, Mbak. Eh, jam berapa ya ini? Katanya Abang mau pulang cepet. Aku siap-siap dulu ya.”

Ya wes, gitu dulu ya. Nanti kapan-kapan kita sambung lagi. Aku juga mau masak dulu buat Mas.”

“Oke deh, makasih banyak ya, Mbak Sabrina.”

Iyaaaa. Sama-sama makasih juga, cah Ayu.”

Ardian buru-buru balik ke depan setelah mendengarkan usainya percakapan antara Shinta dan Sabrina. Ternyata orang yang amat dipercaya oleh Shinta adalah Sabrina, mantan kakak iparnya, alias mantan istri dari kakak Shinta. Dia tidak menyangka Shinta bisa bercerita sebebas dan senyaman itu dengan Sabrina yang juga cukup cantik.

Setahu Ardian sendiri, Sabrina kini telah menikah dengan pria lain. Sabrina sebenarnya bekerja di perusahaan yang sama dengan Ardian, tapi memiliki jabatan yang berbeda dan berada di kota lain.

Tapi itu cerita untuk lain waktu, saat ini Ardian justru tengah sumringah dan tersenyum puas mendengar rencana sang istri. Jadi Shinta mau ke tempat Pak Hasbi malam ini?

Saatnya menginjak gas.

Hati-hati Shinta, jangan bermain api jika tidak ingin terbakar.

Ardian tersenyum dengan penuh gairah.





BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd