Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TUJUH (Kolaborasi Enam Penulis)

Tujuh bidadari, tujuh cerita. Yang mana favorit anda?

  • Nisa

  • Amy

  • Shinta

  • Intan

  • Aida

  • Ayu

  • Reva

  • Maya


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 2
PAGI




“Bila malam lewat jelang, bunga tidurpun hilang.
Saat yang kunantikan pun datang.
Cahaya sang mentari sinari alam ini.
Buat cerahnya hari berseri.

Alangkah indahnya, oh pagi.
Hadirmu slalu kunanti
Janjiku takkan tinggalkanmu, oh pagi.
Mungkinkah, oh semua ini akan terus kualami.
Pabila dia tinggalkan daku sendiri.

Tetes embun basahi, daun bunga bersemi.
Kumbang, lebah, kupu-kupu, menari.
Cahaya sang mentari sinari alam ini.
Buat cerahnya hati berseri.”

- Pagi, Naif.






Matahari pagi bersinar dengan terik, dengan angkuh mengangkasa di atas makhluk-makhluk di bumi yang sibuk menyeka peluh nan mengucur, jalur demi jalur dijajah, memaksa merenggangkan bayangan di bawah telapak kaki. Panasnya kering, seakan membakar kulit sampai garing. Teriknya seakan tidak ada bargaining, kalau sudah begini enaknya bekerja atau malah berbaring?

Masih pagi, tapi sudah mulai panas.

Tiga orang dara dan seorang pemuda yang masing-masing mengenakan jaket almamater kampus berwarna biru muda melangkah masuk ruangan yang didapuk sebagai kantor kerja kelurahan. Seorang pria berpakaian dinas serba coklat duduk di depan sebuah mesin ketik yang barangkali adalah peninggalan jaman perang dunia ke-2 saking tuanya. Entah kenapa tidak ada modernisasi, setidaknya PC dengan Windows 7 pun sudah mumpuni.

“Silakan duduk.” Pria itu menunjuk ke kursi kayu yang ada di depannya. “Apakah ada yang bisa saya bantu, Mbak…? Siapa tadi namanya?”

“Ayu, Pak.”

Seorang dara berhijab mewakili teman-temannya untuk menjawab pertanyaan sang pegawai kelurahan.

Ketiga dara yang baru saja masuk ke kantor itu saling berpandangan, mereka mengangguk satu sama lain dan duduk di hadapan pria berseragam coklat dengan sopan. Kebetulan memang ada tiga kursi kayu berjajar di depan meja sang tukang ketik.

Ketika ketiga gadis itu akhirnya duduk, sang pria tua mulai memindai tamunya satu persatu. Karena kursinya hanya tiga, sang pemuda terpaksa berdiri. Dia sepertinya adem ayem saja berdiri, mukanya lempeng dan tak banyak ekspresi.

“Nama?” Pria tua yang sedang mengetik menurunkan kacamata tebalnya ke separuh hidung, sehingga matanya bisa melihat langsung para gadis yang sedang menghadap. Kebetulan wajah mereka bersih dan berparas cantik, jadi pagi ini pun terasa indah bagi sang pria tua, “Sebutkan nama lengkap dan panggilan kalian.”

“Vina. Nama panjangnya Ervina Pramesti.”

“Er-vi-na. Pra-mes-ti,” pria tua itu mengetik sambil mengeja. Ia mengetik perlahan supaya tidak ada kesalahan. Pria tua itu melirik penampilan sang dara. Vina adalah seorang gadis yang terlihat tegas dan berwibawa, dengan alis tebal dan wajah hampir kotak. Dia memiliki bahu yang bidang khas seorang perenang. Rambutnya yang panjang diikat kuncir kuda dengan rapi dan tubuhnya yang paling tegap di antara ketiga dara. Dia pasti seorang atlet, mungkin atlet kampus. “Sudah, yang berikutnya siapa njenengan?”

“Yulita Eva Anjani. Biasa dipanggil Eva.”

“Agak panjang ya. Yu-li-ta. E-va. A-..?”

“Anjani.”

“An-ja-ni.” Suara ketikan kembali terdengar. Eva adalah seorang dara muda yang cantik jelita dengan tubuh indah yang ternyata bisa membuat hasrat kelaki-lakian sang tukang ketik bergejolak. Dengan wajah cantiknya yang eksotis dan berkulit sawo matang, Eva seringkali disamakan dengan penyanyi Marion Jola. Eva adalah seorang playa, hobi bergonta-ganti pasangan dan kerap merebut pacar orang. Eva terkenal sebagai seorang penggoda, tapi juga seorang kawan yang setia bagi Vina dan Ayu.

Bapak tukang ketik agak gugup saat berhadapan dengan Eva, apalagi ketika ia melihat rambut panjang Eva gagal menyembunyikan payudara sentosa yang menggantung ranum di dadanya. Jakun sang tukang ketik pun naik turun. Dia terpaksa harus menyilangkan kaki karena adik-nya pun turut bereaksi dan medadak tegang di hadapan sang wanita seksi satu ini.

Gleg. Wes jan sumuk dino iki. Panas banget hari ini. Berikutnya? Eh, kamu yang tadi ya? Siapa tadi?” Sang Bapak sumringah ketika berhadapan dengan dara yang sepertinya paling jelita diantara ketiganya.

“Ayu, Pak. Nama lengkap saya Mutia Ayu.”

Kali ini Bapak tukang ketik lebih senang. Ia cengengesan. Ayu seperti namanya memiliki paras yang jelita, tubuhnya juga proporsional. Ayu terlihat yang paling alim di antara ketiga dara dengan kerudung yang dikenakan. Tubuh Ayu tidak terlampau tinggi, tapi ia memiliki potongan badan yang semampai, lengkap dengan kulit putih mulus tanpa cela dan wajah yang menandakan sosok innocent. Menggemaskan. Gemoy banget kalau orang bilang.

“Mu-ti-a. A-yu. Wah, nama yang sesuai. Namanya Ayu, orangnya juga Ayu.” Pria tua itu kembali mengetik dengan hati-hati sambil senyum-senyum. Ia mencuri-curi pandang ke arah Ayu.

“Bapak bisa aja,” Ayu tersipu. Eva dan Vina cekikikan.

“Saya Dedi Bagaskoro, Pak.”

Sang tukang ketik melanjutkan tanpa minat. Dia hanya mengetik empat huruf dan menyelesaikan tugasnya sembari menghela napas panjang. “Dedi.”

Dedi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bener-bener salah dia datang ke sini bersama dengan ketiga kawannya yang jelita ini. Jadi dicuekin deh sama aparat kelurahan. Kirain bisa sedikit banyak mengundang perhatian karena dia satu-satunya pembawa batang berurat di sini.

“Vina, Eva, dan… Ayu ya yang tengah tadi,” pria itu tersenyum sekenanya. Ia lagi-lagi mencuri pandang ke arah Ayu. Beneran, yang satu ini nyata bedanya dibandingkan tiga yang lain, meskipun terkesan anteng dan adem ayem, tapi terlihat mencolok dan menarik perhatian – apalagi jika dibandingkan si Dedi yang asyem.

“Betul, Pak.” Ayu yang merasa diberi pertanyaan pun mengangguk. “Ini Eva dan yang sebelah kiri ini ketua kelompok kami, Vina.”

“Begitu ya.” Sang pria tua manggut-manggut.

“Saya Dedi, Pak.”

“Gak nanya.” Pria tua itu pun menatap ketiga dara yang duduk rapi didepannya. “Jadi, ada keperluan apa kalian kemari? Apa keperluan kalian datang ke Kelurahan Kembang Arum?”

Vina yang menjadi pemimpin mereka mulai menjelaskan tujuan kedatangan. “Jadi begini, Pak… maaf dengan Bapak siapa ini?”

“Rahmat.”

“Pak Rahmat, baik. Jadi kami bertiga adalah mahasiswa jurusan teknologi informasi dari Universitas Langit Biru. Nah, kedatangan kami ke kelurahan ini terkait dengan tugas dari kampus yaitu kewajiban untuk KKP atau Kuliah Kerja Praktek yang harus kami laksanakan selama beberapa bulan ke depan dalam semester ini, Pak. Pembimbing kami yang kebetulan rumahnya ada di lingkungan kelurahan sini menyarankan supaya kami menangani kasus kurangnya pemanfaatan teknologi di kawasan ini. Terkait dengan hal tersebut, kami ingin mengajukan ijin penelitian di kampung Bawukan, Pak. Khususnya untuk pembuatan aplikasi pengaduan masyarakat ataupun jika ada aplikasi lain yang bisa kami bantu buatkan untuk kelurahan.”

“Pelan-pelan ngomongnya. Saya ngetiknya keteteran ini.”

“Ba-baik, Pak.”

“Intinya ijin terkait kegiatan perkuliahan, nggih?”

“Betul, Pak.”

“Nanti surat terusan seandainya diijinkan ditujukan ke siapa?”

“Eh ke siapa ya?” tanya Vina ke Eva yang lebih sering berhubungan dengan pihak administrasi kampus. “Ke pembimbing atau ke…?”

“Ke Fakultas aja, Vin.” Eva mengeluarkan satu surat yang memiliki nama dan alamat tujuan yang sama, “Ditujukan ke Dekan kami saja, Pak. Mungkin nama dan alamat bisa mengikuti ini panduan ini.”

Pak Rahmat pun mengikuti permintaan mereka sembari mengikuti nama dan alamat di berkas yang disodorkan Eva. Sejenak kemudian pria tua terdiam dan kembali bertanya, “Mau berapa minggu?”

“Mungkin dua bulan, Pak? Jadi sekitar delapan minggu, atau tiga bulan tergantung kebutuhan nantinya. Sudah termasuk riset di lapangan dan pembuatan aplikasi. Kemungkinan kami akan meminta ke kampus dicarikan tempat pembuatan aplikasi yang dekat dengan lokasi riset. Entah di kelurahan ini atau di kampung Bawukan.”

Pak Rahmat kembali mengetik dengan cepat. Setelah selesai, ia mengambil kertas yang sejak tadi diketik, dibawanya ke sebuah ruangan, lalu kembali lagi dengan beberapa lembar kertas yang sudah lengkap dengan tanda tangan dari Pak Lurah dan dicap khusus kelurahan.

“Ini ijinnya sudah jadi. Ada tiga kopi, satu diserahkan ke kampus, satu lagi silakan dibawa ke perangkat desa terkait, satu lagi ditinggal di sini saja.”

Eva menerima surat ijin itu dengan hati-hati. Vina sebagai pemimpin mencoba menimpali, “Untuk biayanya… berapa ya, Pak?”

“Untuk biayanya seikhlasnya saja,” Pak Rahmat menggeser kotak bertutup ke depan ketiga dara. “Seikhlasnya membelikan saya kopi.”

“Baik, Pak.” Vina mengangguk, ia mengeluarkan amplop.

“Kopi sama roti. Kopi sama roti sama nasi goreng.”

“Baik.” Amplop kedua keluar.

“Kopi, roti, nasi goreng, dan ubi cilembu. Kopi, roti, nasi goreng, dan ubi cilembu untuk empat porsi. Tapi ya seikhlasnya saja, asal cukup.”

Vina meringis. Ia pun mengangguk, mengeluarkan sisa amplop yang memang sudah disiapkan sejak dari kampus dan memasukkannya ke dalam kotak itu. “Lalu untuk selanjutnya saya menemui siapa ya, Pak?”

“Ya tadi yang saya bilang, silakan ke perangkat desa terkait.”

“Ka-kami belum kenal, Pak.”

“Ya makanya kenalan.”

“Dengan siapa ya, Pak?”

“Ya langsung saja dengan ketua RT-nya. Kalau yang di Kampung Bawukan namanya Pak Sukirman. Bilang saja kalian disuruh pak Rahmat dari Kelurahan.”

“Pak Sukirman. Ketua RT.” Ayu mencatat nama itu ke dalam aplikasi Google Note-nya. Aplikasi yang digunakannya untuk menyimpan catatan apapun.

“Ya. Betul dengan Pak Sukirman. Tapi Mbak Ayu kalau ada kesempatan silakan mampir ke sini ya, Mbak. Kadang-kadang suka sepi di kantor kelurahan, pak Lurah jarang datang. Datang pun tak membawa tentengan, padahal saya berharap ada rantang. Jadi silakan aja Mbak Ayu dan kawan-kawan untuk sekedar bertegur sapa dengan saya. Barangkali saja Mbak Ayu dan kawan-kawan butuh bantuan administrasi atau apa, saya selalu ada,” ucap Pak Rahmat sembari beringsut untuk lebih mendekati Ayu. Ia mengangkat alisnya berulang kali seakan-akan memberi kode.

Dedi, Vina dan Eva saling berpandangan, mereka pun cekikikan sementara Ayu salah tingkah.

“Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu. Terima kasih atas bantuannya.” Ayu dan kawan-kawan pun berlalu.

“Yah? Kok udahan, Mbak Ayu? Mbak?”

Keempat mahasiswa itu akhirnya melangkah meninggalkan kelurahan sambil bersenda gurau. Vina berkacak pinggang, “Berhubung Ayu yang berhasil merebut perhatian Pak Rahmat sang petugas kelurahan, maka nanti sore Ayu-lah yang harus berangkat ke Kampung Bawukan untuk menemui Pak RT Sukirman sendirian. Gimana teman-teman? Kita harus memanfaatkan sebaik-baiknya pesona Ayu nih. Ayu adalah dewi Venus kita.”

Eva bertepuk tangan, “Setujuuuuu!”

Dedi juga manggut-manggut dengan gemulai. “Ish, cucooook. Setujooooh!”

Pemuda itu memang agak beda. Bahkan cara jalannya juga lebih goyang daripada ketiga teman wanitanya. Sudah dapat diduga dari spesies macam apa cowok satu ini.

“Yaaaaah, masa sendiri sih?” Ayu pun protes tapi tidak digubris teman-temannya.

“Ga apa-apa laaaah, say. Minta dianterin Mamas Erik kan bisa. Duh punya doi kok ya ganteng banget sih, ay jadi iri. Iri dengki burung pipit bernyanyi sukma wijayanti pokoknya.” Dedi menggoda Ayu dengan menyenggol lengannya secara genit. Sekali lagi, Dedi memang agak beda. “Kita bangga punya teman yang cantiknya bak idola ya, gaes.”

Eva pun menggoda Ayu, “Idola bapak-bapak kelurahan mah menghadapi bapak-bapak RT pasti bisa banget, Yu. Gak level, cuy. Kelurahan aja sampai termehek-mehek, apalagi yang kelasnya cuma RT. Beda level beda level. Hihihihi.”

“Ya sudah. Kita ketok palu. Nanti sore Ayu yang berangkat menemui Pak RT. Suratnya diserahkan ya, Yu. Nasib kelompok KKP kita ada di tanganmu, tidak boleh ada kata gagal.” Vina pun merangkul sang teman dengan meringis lebar.

“Yaaaaah, kok gitu sih?” Ayu cemberut.

Teman-temannya tertawa.




.::..::..::..::.



Shinta mengirimkan pesan singkat melalui ponsel yang ia bawa.

“Mbak Dena, tolong dong difotoin pas makan siang nanti. Mas Ardian ngapain aja sama si Intan. Aku kok lama-lama jadi curiga ya, Mbak. Bukannya mau berburuk sangka, tapi ada yang ga enak aja gitu di hati. Namanya juga wanita, Mbak. Intuisinya kenceng kalau ada yang tidak-tidak.”

Dena adalah nama rekan sekantor Ardian dan Intan yang sudah teramat dekat dengan Shinta, begitu dekatnya mereka sehingga kalau ada berita apapun di kantor pasti Dena akan cerita pada sang ibu muda itu. Di satu sisi Shinta jadi tenang karena ada yang bisa mengawasi suaminya, di sisi lain, Dena juga terlampiaskan hasrat lambe turahnya.

Shinta yang sedang dalam perjalanan menuju puskesmas menggunakan taksi online merasa gamang. Sesungguhnya ia sangat ingin mempercayai sang suami, tapi dia amat insecure dengan kecantikan dan kemolekan Intan yang memang terlalu mempesona. Sembari menunggu balasan dari Dena, Shinta yang tengah memeluk Arga yang tertidur memperhatikan pemandangan di luar.

Jarak antara perumahannya dengan puskesmas agak lumayan, tidak sejauh harus ke kota tapi tidak juga terlalu dekat sehingga tidak bisa disambangi hanya dengan berjalan kaki atau sepeda. Untuk mencapai puskesmas harus melewati jalan berkelak-kelok dan beberapa bentangan area persawahan dan susunan tebing terjal untuk mencapainya.

Ding. Balasan dari Dena masuk.

Siap, Shin. Serahkan semua padaku. Kalau si sok cantik itu macam-macam, apa perlu aku hajar sekalian? Biar kusiram jus mangga yang biasa dia beli di kantin ke mukanya, biar jadi pelajaran supaya tidak seenak wudelnya gangguin suami orang.

“Eh! Ga usah, Mbak! Jangan terlalu barbar kalau tidak ada bukti. Aku mau tahu yang sebenar-benarnya dari mulut mereka sendiri. Kalau memang tidak ada apa-apa ya syukurlah. Tapi kalau dugaanku benar, aku mau mas Ardian jujur sama aku. Apa benar dia sudah main gila,” ada getir nada di suara Shinta. Dia seperti menahan amarah dan tangis pada saat yang bersamaan.

Ya sudah iya, tenang aja. Selama ini si sok cantik itu juga ga deket sama siapa-siapa kok, Shin. Makanya kalau makan siang ya maunya sama Mas Ardian terus. Kami kami yang di sini semua benernya sudah curiga kenapa mereka berduaan melulu. Tapi Ardian pernah ditanya katanya tidak ada apa-apa antara dia dan cewek itu. Si sok cantik itu sendiri bebal banget kalo dikasih tau jangan deket-deket Mas Ardian.”

“Mas Ardian memang selalu jawab begitu, Mbak. Tapi ga tau kenapa hati ini rasanya ga tenang. Minta tolong ya, Mbak…”

Tenang aja, Shin.”

Untuk sampai di kaki Gunung Mandiri di mana puskesmas berada, pertama-tama Shinta harus melalui area persawahan terlebih dahulu. Mata pencaharian utama penduduk lereng Gunung Mandiri adalah bertani, berkebun, dan berternak. Sehingga tidak mengherankan jika di sisi kanan dan kiri jalan terdapat banyak sawah ladang menghampar, hijau bagai permadani yang dibentangkan dari ujung ke ujung cakrawala. Sangat indah dan mengagumkan. Pemandangan pagi di sekitar sini sungguh segar dan adem, menimbulkan perasaan tenang setiap kali melihatnya.

Setelah area persawahan, berikutnya adalah area yang disebut Pager Jurang oleh warga sekitar. Area ini merupakan khawasan yang paling rawan longsor dan tidak ramah kendaraan karena jalannya berkelak-kelok, naik turun, dan banyak jalan berbelok yang patahnya tajam. Hanya sedikit saja warung yang memberanikan diri untuk buka di pinggir jalan kawasan Pager Jurang ini karena memang tidak ramah huni, kanan kiri kalau tidak tebing ya jurang. Kalaupun ada warung, pemiliknya pasti warga dari lereng atau kaki Gunung Mandiri yang menyempatkan berjualan di lokasi itu dengan target para traveler. Tentu saja warung paling laris di tempat ini adalah bengkel.

Satu-satunya kawasan di Pager Jurang yang cukup ramai dan bisa diandalkan adalah tempat wisata Gardu Pandang yang menyediakan sasana untuk menikmati keindahan Gunung Mandiri. Menyaksikan kemegahan sang perkasa dengan jajanan khas tempe mendoan dan sambel kecap, jagung bakar karamel atau pedas nano-nano, atau hanya sekedar makan sego luwih khas lereng Gunung Mandiri.

Setelah area tebing Pager Jurang, berikutnya adalah kawasan yang mulai landai dan dipenuhi dengan penjual serabi dan krupuk pasir. Kalau sudah mencapai tempat ini, perjalanan sudah nyaman. Puskesmas terbesar yang menjadi tujuan Shinta berada di tempat ini.

Kenapa jauh sekali?

Sebenarnya di Kembang Arum ada puskesmas juga, namun sejak gedungnya hancur ditimpa pohon akibat angin kencang, beberapa pasien dan pemeriksaan rutin dialihkan ke puskesmas di kaki gunung. Agak sedikit merepotkan bagi yang harus secara berkala memeriksakan bayinya seperti Shinta.

Akhirnya perjalanan Shinta dan Arga berujung di puskesmas.

Shinta turun dari taksi online yang sudah dibayar secara cashless dan mengucapkan terima kasih. Beruntung sekali masih banyak taksi online yang mau naik ke lereng Gunung Mandiri untuk menjemput tumpangan. Ibu muda mungil itu pun membawa Arga dan tas bayinya dengan sedikit kerepotan karena selendang gendongnya melorot.

Seorang pria tua tergopoh-gopoh menyambangi Shinta.

“Mari saya bantu, Bu.”

Shinta menatap siapa yang datang… hatinya sudah bergejolak, dan benar saja… orang yang hendak membantunya adalah Pak Hasbi. Duuuh, kenapa juga sih mas Ardian membiarkan orang satu ini pulang bareng dia? Orangnya sudah jelas-jelas menjijikkan dan punya otak mesum.

“Tidak usah, Pak. Saya bisa kok.”

“Tidak apa-apa, Bu. Punggung saya sudah lebih baik karena diberi obat suntik tadi sama bu Dokter. Saya bantu ya.”

Dengan cekatan pak Hasbi pun mengambil tas yang ditenteng oleh Shinta. Secara tak sengaja tangan mereka berdua bersentuhan. Mungkin kesannya tak sengaja, tapi pak Hasbi jelas-jelas mengelus mulusnya jari-jemari lentik Shinta dan punggung tangannya yang halusnya seperti ubin masjid.

“Eh!” Shinta yang merasa tersentuh jelas kaget.

“Ma-maaf, Bu. Tidak sengaja.” Pak Hasbi cengengesan.

Hrmph. Tidak sengaja kok begini, maki Shinta dalam hati, Ia pun membalas dengan ketus. “Tidak apa-apa, Pak. Saya juga tidak sengaja.”

Tapi masa hanya begini saja sih, Shin? Kamu tidak mau mempermainkan orang tua ini dulu? Dasar cabul, pasti pikirannya dipenuhi otak mesum. Coba saja dipancing, batin Shinta sengit.

“Memangnya kalau sengaja mau, Pak?”

“Hehehe, tidak berani saya, Bu. Pengen sih, tapi tidak berani.”

Tuh kan. Shinta hanya mencibir dalam hati. Dia melengos dan berdua mereka pun masuk ke dalam puskesmas untuk melakukan pemeriksaan rutin bagi Arga.

Ding. Ponsel Shinta berbunyi.

Perasaannya jadi tidak enak.

Shinta pun diam-diam membuka dan melirik ke ponselnya, ia mencoba menyembunyikan apa yang dia lihat dari pandangan nakal Pak Hasbi yang makin tua makin njelehi. Benar kan, ini kiriman dari Dena. Shinta melirik dan melihat apa yang dikirimkan sang telik sandi.

Foto suaminya dan Intan yang tengah bercanda dan tertawa bersama di lorong kantor. Mereka terlihat serasi dengan motif dan warna pakaian yang sama. Padahal ini bukan saatnya berseragam. Pandangan Shinta pun berkunang-kunang, dia seperti ingin menangis karena cemburu. Jantungnya berdebar lebih kencang dari seharusnya.

“Kenapa, Bu? Wajah ibu kok jadi pucat?” tanya Pak Has perhatian.

“Ti-tidak apa-apa. Kita masuk saja yuk, Pak. Takut antriannya banyak.”

“Hmm… baiklah, Bu.”

Pak Hasbi sengaja mengikuti Shinta dari belakang, uh asyik sekali menikmati pantat sekal sang ibu muda itu bergantian terangkat dan bergoyang. Pasti asyik banget diremas-remas itu bokong. Pria tua itu menyeringai penuh harap.

Aduuuuhai, Shinta... kamu jadi milikku saja. Setiap hari akan kupeluk dan kusayang, kucium dan kupangku, menuju surga dengan menggabungkan diri, batang kejantananku dan liang cintamu. Akan kujadikan kau permaisuri yang paling bahagia di muka bumi.

MEIN8QF_t.png



.::..::..::..::..::.



MEIA7YZ_t.png


“Sudah beres semua ya, Da?”

Aida Denisa mengangguk dan memastikan semua pesanan sudah masuk ke dalam kardus masing-masing. Dia menghitung ulang kardus yang menumpuk per dua kardus.

“…dua delapan, dua sembilan… tiga puluh. Oke pas, Tante.”

Nisa mengedipkan mata kepada sang keponakan dan membersihkan peluh di dahinya dengan punggung tangan. Ibu muda itu tersenyum sumringah. “Mantap jiwaaaa. Akhirnya selesai juga pesanan hari ini. Jumlahnya sih cuma enam puluh, tapi variannya banyak bangeeeet. Alhamdulillah semua terselesaikan tepat waktu.”

“Iyaaaa, rasanya memang capek seharian kemarin memasak, tapi puas banget, Tante,” Aida ikut lega, ia tersenyum teramat manis, “Alhamdulillah.”

Gadis muda yang baru saja masuk kuliah itu sangat antusias membantu Nisa, selain ikut memasak, dia juga menjaga toko Nisa yang terletak di Pasar Modern di kaki Gunung Mandiri. Karena kue dan jajanan yang dijual oleh Nisa enak dan terjangkau, maka Nisa Cakes cukup laris manis. Tentu saja, Nisa kemudian kerepotan kalau harus menjaga sendiri tokonya, jadi dia pun mempercayakannya pada Aida dan beberapa karyawan muda lain.

Ndilalahnya, hari ini di saat ada beberapa set pesanan, karyawan-karyawan Nisa mendadak tidak bisa masuk. Ada yang karena sakit, ada yang tiba-tiba jadi panitia nikahan saudara, ada yang tiba-tiba ada keperluan dan lain hal. Sehingga hanya Aida dan dia sendiri yang harus menangani pesanan.

“Anak-anak tumben gak ikut ke sini, Tante?”

“Mereka main sama anak tetangga depan rumah, jadi sementara aku titipkan dulu. Lagipula kasihan kamu kalau harus ngerjain ini semua sendiri, Da. Sudah kerja dari kemarin pasti capek banget,” Nisa memasuk-masukkan kardus demi kardus ke dalam kantong-kantong plastik berukuran jumbo supaya lebih mudah dan aman dibawa. “Tapi sebentar lagi aku mesti pulang, Da. Kayaknya sebentar lagi ada tukang mau datang benerin tandon air di rumah. Ga apa-apa kan aku tinggal sendiri?”

“Aman, Tante. Semua sudah beres ini. Untungnya juga si Mira sempet datang sebentar tadi pagi buat bantuin, sebelum berangkat keluar kota untuk nikahan adiknya.” Dengan cekatan Aida membantu sang Tante membereskan semua kardus ke dalam kantong plastik. “Bener-bener deh dua hari ini, untung saja semua selesai tepat waktu. Jam sepuluh nanti semuanya diambil ibu-ibu yang pesen.”

“Bu Sarmanto.”

“Iya, Bu Sarmanto. Kenalannya Tante ya?”

“Suaminya dulu rekan kerjanya si Om. Sekarang kurang paham Pak Sarmanto kerja di mana, kalau tidak salah di bisnis keamanan gitu lah, kenalannya preman-preman. Hihihi. Nanti jangan kaget kalau Pak Sarmanto-nya datang ya. Orangnya suka cablak dan ngomongnya ceplas-ceplos. Dia juga sering godain Tante dulu, tapi sebatas becanda saja. Beda banget sama bu Sarmanto yang lembut dan baik banget orangnya,” Nisa menjelaskan dan mengikat kantong plastik terakhir. “Nah, udah beres.”

Alhamdulillah.”

Alhamdulillah. Ya udah, aku tinggal lagi ya, Da. Aman kan ya? Pokoknya jangan takut kalau nanti pak Sarmanto datang. Perawakannya memang mirip preman, tapi dia orangnya jujur dan pada dasarnya baik. Abaikan saja dia ngomong apa.”

“Siap. Aman kok, Tante. Kalau ada apa-apa nanti aku telpon.”

“Memang paling keren ponakan Tante yang satu ini. Mudah-mudahan enteng jodoh.”

“Hihihi… Tante bisa aja.”

“Eh iya, kuliah kamu bagaimana? Tidak ada masalah kan? Takutnya pesanan banyak begini bakal ganggu kelas kamu.”

“Tidak ada masalah, Tante. Kebetulan kemarin libur, jadi bisa ngerjain semua pesanan. Tapi nanti sore tetap masuk seperti biasa. Namanya juga kelas karyawan, pagi kerja, sore kuliah. Yang penting semua dijalani, lama-lama juga beres.”

“Asli, Da. Kamu keponakan Tante yang paling keren.”

Aida tersipu, “Hihihi… Tante, ah…”

Nisa pun mengambil helm dan melambaikan tangannya. “Aku pulang dulu ya, Da. Kabarin aja kalau ada apa-apa.”

Aida membalas melambaikan tangannya.

Gemerincing bunyi bel kecil di atas pintu terdengar. Pintu ditutup, Nisa pun berlalu. Pulang kembali ke Kembang Arum Asri dengan menggunakan vespa matic-nya.

Aida duduk termangu dan mendesah di samping kaca depan, Ia duduk dengan santai sembari menatap ke luar.

Dengan banyaknya pesanan yang masuk, badan Aida sebenarnya sudah mulai terkikis rasa lelah, tapi kalau bukan dia yang menjaga toko kue ini, siapa lagi? Karyawan yang lain sedang berhalangan, hanya dia yang tersisa. Tante Nisa sedang sibuk jadi tidak bisa menemaninya. Aida yakin kalau Tante Nisa tidak sibuk, beliau pasti menyanggupi menemaninya.

Aida tidak ingin mengeluh, Tante Nisa dan om Haris yang baik. Selain memberikan uang saku melalui pekerjaan di tempat ini, mereka juga telah membantu biaya kuliahnya. Masa iya dia akan menyia-nyiakan semua yang telah mereka berdua berikan dengan mengeluh? Berkat kebaikan Tante Nisa dan om Haris, Aida bahkan bisa menyisihkan uang untuk membantu orangtuanya membiayai sekolah sang adik.

Aida memainkan ponselnya. Foto di halaman depan membuatnya langsung bernostalgia, di sana ada foto mendiang ayahandanya, tersenyum sembari memeluk Aida kecil. Berjuta kenangan menghampiri memorinya, seakan baru kemarin terjadi padahal sudah belasan tahun lalu. Begitu sulit rasanya mempertahankan image sang ayah, yang dulu selalu menyayangi dan memanjakannya. Itu sebabnya Aida ingin selalu ingat dengan memajang foto sang ayah sebagai wallpaper utamanya.

Drrrt. Drrrt.

Ponsel yang dipegang Aida bergetar, ada yang menelponnya. Wajah gadis itu pun langsung sumringah saat tahu ada yang hendak melakukan video-call dengannya. Ia memperhatikan sekilas wajahnya di cermin untuk memastikan penampilannya masih presentable dan kerudungnya tidak kemana-mana. Gadis itu pun menekan tombol terima.



Assalamualaikum.” Suara lembut menyapa Aida.

Walaikumsalam.” Aida membalasnya.

Hai kamu…”

“Hai juga, Mas Rizal.”

Bagaimana pekerjaan hari ini? Semua lancar kan?

Alhamdulillah semuanya lancar. Semua beres meski sekarang badan capai-capai luar biasa.”

Tidak apa-apa pegal sedikit nanti pijat saja sama Mamak, yang penting semua pekerjaan sudah beres, Adek bisa beristirahat dan santai sejenak. Kamu memang keren luar biasa, Dek. Handal menangani apapun juga. Dari urusan dapur sampai menghadapi tamu, semua bisa.”

“Biasa aja kali, Mas. Hihihi.”

Duh, senyum kamu itu lho. Manis banget tahu. Aku kangen sama kamu.”

“Aku juga kangen sama kamu, Mas…” Aida mendesah sedih. Wajah sang kekasih yang berada jauh di luar kota membuatnya sangat kesepian, “Mas kapan pulang ke sini?”

Belum ada rencana, Dek. Tahu sendiri kuliahku di sini kayak apa. Tugas-tugasnya seabrek, belum lagi tugas BEM. Aku harus mengurus beberapa kegiatan mahasiswa sebagai sekretaris BEM.” Rizal mendesah panjang, “Yang penting Adek tetap setia, Mas selalu akan pulang ke Adek. Adek adalah rumah Mas. Mas akan selalu pulang menemui Adek yang Mas rindu. Mudah-mudahan minggu depan bisa pulang sebentar pas long weekend. Adek bisa libur kan kerjanya di long weekend?

“Diusahakan, Mas. Tante Nisa pengertian kok orangnya.”

Syukurlah kalau begitu.” Tiba-tiba saja Rizal melirik ke kanan dan kiri, seakan-akan memastikan kalau semua aman-aman saja, “Dek… kalau kira-kira Mas minta sesuatu yang agak… ehm… gimana ya… agak nackal… kira-kira Adek bersedia tidak?

“Aduuuuh, lagi!?” Aida mengerutkan kening dengan jengkel, ia memandang Rizal dengan marah, “Nggak mau ah, Mas! Yang tempo hari aja aku malu banget. Kenapa sih Mas sekarang selalu minta yang begituan? Nggak mau!”

Kita jauh banget sekarang, Dek. Mas kangen berat. Masa iya Adek tega Mas kangen tanpa bisa melampiaskan?

“Ya aku tahu, Mas. Tapi ya nggak begini juga kali. Melampiaskan buat apa? Ditahan kali, Mas.”

Sekali ini aja, Dek…”

“Enak aja! Kemarin juga bilangnya sekali aja, tapi nyatanya sekarang minta lagi. Aku nggak mau ah, Mas. Ini sudah keterlaluan.”

Kan jarak jauh.”

“Mas… nggak bisa… tolonglah… aku mau melakukan apa saja, tapi tolong jangan yang…”

Ya udah deh. Segitu dulu ya. Aku ada urusan.”

Pftt. Layar pun menghitam.

“Lho? Mas!? Maaass!?”

Aida mendesah kecewa. Ia menutup mata, masa iya sih Mas Rizal ngambek gara-gara hal ini? Aduuuh, dia kan malu banget kalau harus melakukan hal seperti yang tempo hari diminta oleh kekasihnya itu. Jauh sih jauh, tapi masa iya dia harus…

Aida menarik napas panjang, dia pun menghubungi kembali Mas Rizal. Mas Rizal sungguh meresahkan memang. Aida mengunci pintu terlebih dahulu sebelum melangkah menuju kamar belakang. Dia mengubah tanda Open di pintu menjadi Closed.

Rizal masih belum mengangkat ponselnya. Beneran nih marah sama Aida?

Begitu sampai di kamar belakang, Aida pun menatap cermin besar yang ada di sana. Ada tulisan ‘Sudahkah anda rapi hari ini?’ di bagian atas. Cermin ini memang secara khusus diperuntukkan bagi karyawan yang bersiap-siap untuk berjaga di depan. Dengan sengaja Aida mematikan lampu agar ruangan jauh lebih gelap.

Aida memejamkan mata. Ya sudah.

Gadis itu pun mulai melepaskan ikatan kerudungnya. Ia juga melepaskan ciput yang dikenakan sehingga rambut indahnya yang dicepol bisa digerai dengan indah. Aida melihat dirinya sendiri dalam cermin, ia memastikan keringatnya terhapus dan make-up sederhananya tidak luntur. Ia mengambil tripod untuk meletakkan ponsel dari tas ransel yang biasa ia bawa kemana-mana dan meletakkannya di depan cermin.

Rizal menerima video call dari Aida.

“Ya? Apa sih, Dek? Kan Mas sudah bilang kalau Mas…” Rizal tertegun saat menatap ke arah kamera. Dia melihat Aida sudah melepaskan kerudungnya. Ia nampak cantik dalam redupnya cahaya ruangan. “De… Dek?”

Aida tidak membuka mulut. Ia hanya memandang ke arah Rizal dengan tatapan dingin.

Aida membuka satu persatu kancing baju yang dikenakan, melepaskannya, dan meletakkannya di samping dengan rapi. Ia masih mengenakan kaos di balik kemeja. Kaos itu diangkat sampai ke dagu untuk memperlihatkan bongkahan buah dada sentosa yang membuat gadis itu terlihat begitu seksi.

Aida memalingkan wajah ke samping, wajahnya memerah. Ia benar-benar malu luar biasa. Ia berbisik, “Ya-yang mana, Mas?”

Rizal kebingungan… yang mana? Yang mana? Duh kekasihnya ini memang luar biasa, seksi dan hot sekali! Buah dadanya yang cukup sentosa itu begitu putih dan mulus tanpa cela. Lihat perut si Aida, seksi banget, ingin rasanya melingkarkan tangan di perut mungil itu dari belakang. Rizal meneguk ludah melihat keindahan di depan matanya. “Ya-yang mana saja…”

Aida menggigit bibir bawahnya. Ia mengangkat bagian bra sisi kanan, mempertontonkan keindahan sejati buah dada keponakan Nisa itu kepada sang kekasih. Buah dada yang bulatnya masih sempurna, tidak menggantung dan masih kencang. Dengan puting susu mungil di ujungnya.

“Su-sudah cukup kan?”

Diremas-remas, Dek…” Rizal meneguk ludah kembali. Tanpa terlihat oleh Aida, ia meloloskan celana pendeknya dan mulai memijat batang kejantanannya yang menegak. Dia benar-benar sudah dimakan badai birahi. Dia tidak mempedulikan apapun, termasuk kehormatan gadis yang saat ini dia paksa untuk membuka baju.

Aida memalingkan wajahnya sementara ia meremas-remas buah dadanya yang terbuka, beberapa kali ia memilin payudaranya sembari mendesah. Ia juga menutup mulut agar tidak kencang berteriak.

“Mmh… Su-sudah ya, Mas. Aku malu…”

Sebentar lagi, Dek… duh kenapa kamu mesti malu sih…? Buah dada kamu… apik banget… oooh… oooh… oooh…

Eh, ngapain Mas Rizal kok sampai mendesah-desah begitu? Jangan-jangan dia… coli? Mengocok kemaluannya sendiri? Aduuuh, kenapa harus seperti ini sih? Memang benar mereka berdua harus terlibat cinta jarak jauh. Long distance relationship atau apalah itu namanya, tapi masa iya mesti dilayani nafsu birahinya secara langsung begini?

“Udaaaah ah!” Aida menutup kembali pakaiannya yang ia singkap, “cukup!”

Yaaaaah! Yaaaah! Masa udahan, Dek? Mas kan belum…”

“Belum apa? Belum apa!? Mas lagi ngapain emang?”

La-lagi ini…”

“Jelek! Nggak mau ah! Udah cukup! Ditahan makanya, Mas! Kalau kita berdua sudah lulus kuliah, sama-sama sudah dapat pekerjaan yang mapan, buruan lamar aku! Bukan dilampiaskan seperti ini!”

Kali ini giliran Aida yang dengan semena-mena menutup video call dari Rizal tanpa peduli protes sang kekasih. Gadis itu pun menggerutu sembari membenahi pakaiannya, ia agak menyesal melakukan apa yang baru saja ia lakukan. Ia juga kembali mengenakan kerudungnya dengan rapi supaya…

Tkkk. Tkk. Tkkk. Tkkk.

Eh? Bukankah itu suara pintu diketuk? Siapa tamu yang…

Tak butuh waktu lama bagi Aida untuk tersadar. Astaga! Bu Sarmanto!! Aida buru-buru merapikan penampilannya dan berlari ke depan.

Assalamualaikum. Haloooo? Ada orang di dalam? Assalamualaikuuuum.

Walaikumsalam.” Aida membalasnya dan buru-buru membuka pintu depan yang tadinya ia kunci.

Bu Sarmanto menatapnya dengan pandangan mata kesal karena tidak sejak tadi dibuka, tapi rasa kesal itu kemudian diubah menjadi senyum yang terpaksa. “Kok baru dibukakan, Mbak? Kemana aja tadi?”

“Ma-maaf, Ibu… saya baru dari belakang. Merapikan dapur sebentar. Mohon maaf…”

“Seharusnya sudah tahu dong saya akan mengambil pesanan, kok malah dikunci begini. Pelayanannya biasanya bagus lho, hari ini kok mengecewakan.”

“Ma-maaf Ibu, hari ini memang kebetulan saja. Lain kali tidak akan terjadi lagi.”

“Mudah-mudahan seperti itu ya, duuuuh. Nduk… Nduk… ayu-ayu kok lelet.” Bu Sarmanto kembali ke versi ramahnya meski tetap menyindir Aida.

“Sekali lagi maaf, Ibu. Tidak akan saya ulangi lagi kesalahan saya.”

“Kardusnya sudah siap semua?”

Insyaallah siap.”

Ya wes, aku ambil ya barangnya. Pelunasan pembayarannya sudah aku transfer ke si Nisa tadi pagi. Kontak saja dia kalau tidak percaya.”

“Su-sudah, Ibu. Tadi Tante Nisa sudah menyampaikan hal tersebut.”

“Syukurlah kalau begitu.” Untuk pertama kalinya bu Sarmanto tersenyum ramah, sejenak kemudian ia berteriak, “Jem! Lep! Tolong diangkat barang-barangnya, masukin ke mobil,” Bu Sarmanto memanggil dua orang pembantunya untuk mengangkat barang-barang yang sudah disiapkan oleh Nisa dan Aida. Bu Sarmanto lantas celingukan dan menemukan suaminya sedang nge-vape di ujung depan kios.

“Ayaaaaaah! Kamu itu malah ngerokok melulu. Cepet ini dibantuin.”

“Iyaaa… iyaaa…” Pak Sarmanto menggerutu.

Ia menyimpan vape-nya ke dalam kantong dan menebarkan asap wangi berbau bubble gum. Pria itu berkulit hitam, berperut tambun dengan bulu yg hampir tumbuh disekitar tubuhnya, bulu-bulu terlihat menyeruak dari dada dan juga tangannya. Sosok yang mengingatkan Aida pada tipikal sosok pengguna motor besar, terutama dengan brewok yang memenuhi wajah. Ia terlihat sangar, galak, bermata lesu, dan bau mulutnya busuk. Di lehernya melingkar rantai berujung gembok dan anting panjang khas Indian Amerika menghias telinga kiri.

Penampilannya jauh berbeda dengan Bu Sarmanto yang rapi, dengan seragam batik yang sopan, dan terkesan intelek. Dari atas sampai bawah bu Sarmanto mengenakan pakaian yang bermerk, plus rambut tinggi disasak, make up tebal, dan kacamata mahal.

Pak Sarmanto mengenakan kaos kutung lambang tengkorak, celana pendek jeans, dan sendal.

Pria tua itu tersenyum saat menatap Aida, “Nah… nah… ini siapa?”

“Ini Aida, keponakannya Nisa. Sudah jangan digodain, itu barangnya dibawa dulu ke mobil,” Bu Sarmanto mencibir. Dia hapal kebiasaan suaminya kalau bertemu dengan cewek berparas bening. “Aida, nanti bisa kamu sampaikan juga ke Nisa kalau untuk minggu depan, aku bakal pesan lagi?”

“Bi-bisa, Ibu. Minggu depan ya? Jumlahnya sama dengan item yang sama?”

“Tiga kali lipat. Ada rapat besar dengan pengurus besar DPP Partai di kota. Kalian siap kan?”

“Insyaallah siap.” Aida tersenyum senang, karena lagi-lagi Nisa Cakes akan dilarisi, “Nanti akan saya sampaikan ke Tante Nisa.”

“Ah yaaa… Nisa… si molek itu. Cantik, mungil, menggairahkan, menggemaskan. Andai saja dia belum menikah pasti sudah aku bawa pulang untuk jadi istri keduaku…”

Ono-ono wae to Yaaah Yaaaah. Mbok ya eling itu batok kepala wes kayak endog. Opo ya njaluk tak kroak?” Bu Sarmanto geleng-geleng melihat kelakuan sang suami. Tapi dia tidak menghentikan suaminya berbuat lebih jauh lagi. Bu Sarmanto bahkan terkesan cuek untuk beberapa saat kemudian, sibuk dengan urusan partai.

Ibu-ibu sosialita itu pun tak peduli banyak dengan Aida, para karyawannya yang sibuk, atau bahkan dengan suaminya sendiri. Ia hanya sepintas lalu mengawasi Jemi dan Lepi memasuk-masukkan kardus ke dalam mobil sembari menuding-nuding untuk memastikan kardus tidak penyok karena terlalu didempet-dempet di bagasi belakang mobil. Perhatian bu Sarmanto tercurah seutuhnya pada ponsel yang ia pegang. Sesekali ia bermain WhatsApp, kali lain ia melakukan panggilan telepon yang sepertinya cukup serius dan seru.

Bu Sarmanto tak peduli saat diam-diam Pak Sarmanto mendekat, mendekat, dan semakin dekat ke Aida. Aida yang polos sebenarnya tidak terlalu banyak curiga pada pria tua itu sampai akhirnya sang gadis jelita itu pun tersentak ketika sesuatu terjadi pada dirinya. Ada tangan yang tidak seharusnya berada di tempat yang tidak pantas.

Aida pun gelisah dan berbisik, “Tolong lepaskan tangan Bapak.”

“Hmm?”

“Tolong lepaskan tangan Bapak dari pantat saya, atau saya teriak.”

“Heheh. Jual mahal betul kamu, Aida. Masa iya mau teriak. Tidak kasihan sama saya? Kamu tidak suka diginiin? Suka kan? Duh, bulet banget sih bokong kamu ini.”

“Bapak yang tidak kasihan sama saya. Ini namanya pelecehan, saya bisa laporkan Bapak ke Ibu atau ke pihak yang berwajib kalau…”

“Kamu seksi.”

“Pak Sarmanto! Saya tidak main-main! Saya teriak sekarang juga!”

Halah. Repot banget sih kamu,” Pak Sar melepaskan remasannya dari pantat bulat kencang milik sang dara. Aida mendengus kesal dan menjauh dari sang pria tua yang tangannya nackal dan matanya jelalatan itu.

Pak Sarmanto hanya cengegesan, Ia melemparkan satu kartu nama ke atas etalase. “Kartu nama saya. Kalau kamu butuh bantuan untuk apapun. APAPUN itu, baik uang, keamanan, atau bahkan butuh bantuan mukulin orang. Hahahaha. Silakan hubungi saya. Saya akan melindungi kamu dengan segenap jiwa raga saya, cantik.”

“Saya tidak akan membutuhkannya,” jawab Aida ketus.

“Jangan begitu. Kita hanya berandai-andai. Kalau kalau. Kita tidak akan pernah tahu, kan?” Pak Sarmanto mengedipkan mata. “Demi kamu, aku akan melakukan apapun. Asalkan kamu mau tidur seranjang denganku semalam saja, sayang…”

Menjijikkan!

Aida benar-benar marah. Dia sudah bersiap untuk menampar pria tua itu, tapi lalu diurungkan. Aida tahu siapa dia, siapa si tua brengsek ini, dan siapa istrinya. Menamparnya berarti menghancurkan apa yang telah dibangun oleh Tante Nisa.

“Ibu sudah menunggu, Pak.” Aida menggertak ketus sembari menunjuk ke depan.

“Hahahaha.” Pak Sarmanto berlalu dengan tertawa terbahak-bahak.

“Aidaaaaa.” Tiba-tiba saja Bu Sarmanto masuk ke dalam seiring dengan keluarnya Pak Sarmanto. Yang satu keluar, yang satu lagi masuk.

“I-iya, Bu?”

Aida pun langsung bersiap, ia merasa kaku, dan awkward. Suami bu Sarmanto baru saja meremas-remas pantatnya. Apa iya dia harus bersikap biasa-biasa saja? Apakah dia harus melapor pada Bu Sarmanto kalau suaminya telah… atau bahkan pada keamanan atau…

“Kami balik dulu ya. Terima kasih banyak untuk semuanya. Sampaikan salamku pada Nisa. Jangan lupa sampaikan pesanku tadi. Kami pesan varian yang sama dengan jumlah tiga kali lipat.” Bu Sarmanto tersenyum manis, berbeda sekali dengan tadi saat datang. Ia bahkan menggeser beberapa lembar ratusan ribu ke tangan Aida, “ini buat kamu, cantik. Buat jajan. Maaf tadi aku agak keterlaluan, maklum saja ada beberapa deadline yang membuatku jadi agak cranky.”

“Te-terima kasih, Bu.”

“Sama-sama, cantik.” Bu Sarmanto dan rombongan pun akhirnya meninggalkan Nisa Cakes. Aida bersyukur Pak Sarmanto tidak masuk lagi ke toko setelah insiden awal tadi. Ada-ada saja rasanya hari ini. Belum usai lelahnya, ditambah masalah dengan Mas Rizal, lalu ada gangguan dari Pak Sarmanto yang mesum.

Aaaah. Pokoknya Ia benar-benar lega sekali.

Aida sama sekali tidak mengira kalau suami Bu Sarmanto itu akan nekat melecehkan dirinya di dekat istrinya sendiri! Gila! Luar biasa bejatnya! Aida pun buru-buru mengambil kartu nama Pak Sarmanto dan membuangnya ke tempat sampah.

“Hiiy. Amit-amit.”

Aida memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu dilepaskan. Lalu sekali lagi, dan sekali lagi.

Setelah ini… semuanya akan baik-baik saja. Tubuh gadis itu bergetar karena ketakutan. Ya, sesungguhnya tadi dia sangat ketakutan saat berhadapan dengan Pak Sarmanto. Dia tidak tahu harus bagaimana. Dia benar-benar bingung, kalau dia teriak, bu Sarmanto pasti akan menyalahkan dirinya, bukan sang suami. Lalu Tante Nisa akan kehilangan klien penting dan…

Duh serba salah rasanya. Tubuh Aida bergetar, ingin nangis rasanya. Untung dia bertahan. Terdengar suara lonceng pintu berbunyi. Ada tamu yang masuk. Aida buru-buru membersihkan wajahnya, dia tidak mau terlihat seperti berusaha menahan tangis meskipun memang itu yang terjadi.

Tapi sebelum Aida sempat ke depan, sudah ada suara yang sangat ia kenal berkata dengan sangat kencang, “Tamu yang barusan sepertinya tajir. Kamu dapet duit banyak kan? Bagi ke aku!”

Suara itu! Aida terkesiap saat melihat seseorang berdiri di pintu masuk, “Om Pong? Mau apa kemari?”

Hamad ‘Pong’ Hartomo.

Orang yang sangat dibenci oleh Aida.

Gadis itu sangat terkejut melihat kehadiran sang pria tua gemuk yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek yang kini berdiri di hadapannya. Dengan handuk yang menggantung di leher khas seorang sopir angkot, ia menggunakannya untuk membersihkan peluh yang menetes deras di wajah. Pria tua gemuk yang keseluruhan rambutnya sudah perak itu terlihat acak-acakan, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mungkin belum mandi sedari pagi, bangun tidur pun tidak terus mandi, apalagi menggosok gigi, karena langsung narik angkot.

Berdiri membelakangi pintu toko, napas Hamad Hartomo yang akrab dipanggil Pong karena giginya sebagian besar sudah ompong itu makin menderu. Aida mulai panik saat melihat om Pong mengunci pintu di belakangnya.

Klkh. Klkh.

Ma-mau apa dia? Khawatir dengan keselamatannya, Aida mulai berjalan mundur. “Om? Om Pong mau apa datang kemari? Ibu butuh apa? Apa yang bisa aku belikan buat Ibu?”

Pria tua itu tak menggubris pertanyaan Aida. Ia berjalan perlahan-lahan ke depan, ke arah Aida. Mata dan wajahnya merah, napasnya bau busuk.

“Aku mau duit.”

Tidak perlu waktu lama bagi Aida untuk menyadari kalau pria tua itu tengah mabuk. Bau minuman keras yang bercampur dengan rokok menyebar kemana-mana. Pria gembrot dengan wajah buruk rupa, pipi menggelambir, bibir tebal, mata menggelayut, rambut awut-awut, dan hidung bulat bertotol itu menatap Aida bagaikan seekor babi hutan menatap mangsa.

Aida tidak pernah menyukai Om Pong.

Sejak pertama kali sang Ibu memperkenalkan suami barunya, Aida selalu melihat mata pria tua itu jelalatan melihatnya, seakan-akan dia bernafsu melihat kemolekan Aida – yang tentunya tidak sehat bagi hubungan mereka. Itu sebabnya Aida lebih memilih bekerja di sini daripada menetap di rumah. Bahkan ketika Aida mengetahui ibunya mulai sakit-sakitan, ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan ayah tirinya. Itu sebabnya Aida tidak pernah memanggil sang ayah tiri dengan sebutan bapak atau ayah, ia memilih memanggilnya Om.

“Ibumu yang bodoh itu sakit lagi, dia tidak jualan lagi ke pasar hari ini. Kalau dia tidak jualan, aku tidak punya modal untuk judi! Itu menyebalkan! Aku mau duit!” Om Pong meracau. Sah sudah kalau dia sedang mabuk, pria gendut itu mendekati sang dara, “Mana duitnya?”

“Duit apa? Aku tidak punya uang, Om. Ini uangnya Tante Nisa. Tolong jangan diambil.”

“Ya sudah! Kalau tidak ada duit, layani aku saja! Aku kepengen ngewe. Lonte tua itu tidak bisa diandalkan lagi sekarang! Sakit-sakitan…!! Tidak bisa melayaniku…!! Menyebalkan sekali! Ngentot beberapa menit, masuk anginnya seminggu. Setan!” Om Pong berjalan sempoyongan ke arah Aida, gadis itu makin panik. “Kamu mulus banget, sayang… ayolah layani aku…”

Aida harus bagaimana ini? Dia bingung, tegang, dan panik. Kemana tadi ponselnya?

Celaka.

Setelah selesai bercakap-cakap dengan Mas Rizal, ponsel itu ia letakkan di dekat mesin kasir, jauh dari posisinya sekarang berada. Om Pong berlari mendekat ke arah Aida. Gadis itu menjerit dan mencoba menjauh.

“O-Om! Sadar, Om! Om sedang mabuk!?”

Aida harus lari kemana ini? Dia khawatir Om Pong akan melakukan hal-hal yang di luar pikiran sehat karena mabuk, dan itu sangat membahayakan bagi sang gadis, “A-aku tadi dapat uang tip lumayan besar, aku bagi ke om Pong dan Ibu ya. Gunakan baik-baik…”

Aida menghunjukkan uang yang tadi diberikan oleh Bu Sarmanto, om Pong menarik uang itu secara paksa dari tangan sang dara jelita.

“Duit sudah…” Om Pong mendorong tubuh Aida ke tembok. “Selanjutnya…”

Aida melotot! Dia hendak menjerit, tapi suaranya diredam oleh tangan sang pemabuk. Dengan kasarnya ia mengunci tubuh Aida yang meronta-ronta. Aida pun mulai menangis. Ia menggelengkan kepala berulang-ulang kali, mencoba menyadarkan sang ayah tiri.

Tapi om Pong justru mendekat dan berbisik, “selanjutnya… memek kamu...”

Tangan kiri Om Pong membekap mulut Aida sementara tangan kanannya mulai melucuti pakaian sang dara. Baju yang dikenakan sang dara dengan mudah terbuka dalam sekali tarik. Buah dadanya yang sentosa terpampang jelas di depan sang ayah tiri, meskipun masih terkungkung di balik bra.

Om Pong menjilat bibirnya sendiri, “Wah aku kenapa tidak pernah memperhatikan ya. Aku pikir kecil, tapi kelihatannya enak juga susu kamu, Aida. Ranum, putih, dan segar. Jauh lebih lezat dari punya ibu kamu yang sudah kendor. Kenapa tidak sejak dulu aku icipin ya?”

Aida berusaha menjerit tapi teriakannya tak bisa keluar. Tangisannya makin deras. Tangan sang ayah tiri membekapnya teramat kuat. Ia berusaha meronta dan meronta, tapi tak kunjung bisa berkutik, Om Pong terlalu kuat untuknya. Aida menggeliat dan berusaha lepas, tapi ia tak kuasa. Jemari Om Pong menelusup masuk ke celana jeans yang dikenakan oleh Aida.

Gadis itu pun terbelalak!

Dua jemari menembus sesuatu yang tabu untuk ditembus.

Jangaaaaaaaaaaan!

Saat itu, tidak ada yang bisa menghentikan ayah tirinya yang sudah gelap mata.





.::..::..::..::.





“Pak? Buk?”

Prima Wicaksono mengetuk pintu depan rumahnya. Sejauh ini tidak ada jawaban. Hanya ada hening tanpa suara.

Pemuda itu terlihat bahagia karena akhirnya bisa juga pulang kampung setelah sekian lama merantau di ibu kota. Kembali ke kampung membuat sang pemuda kembali terisi jiwa dan semangatnya. Rasanya segar dan fresh sekali kembali ke tempat ini setelah bertahun-tahun dikepung pohon beton dan bangunan kokoh yang bahkan tak tertembus sinar mentari.

“Jangan-jangan keluar semua, Mas?” Reva Dwi Adinda bertanya-tanya.

“Seharusnya sih nggak. Jam segini mereka berdua seharusnya ada di rumah, adikku juga seharusnya sudah pulang sekolah,” jawab Prima sembari memeriksa jam tangannya yang cukup modern. Pemuda gagah dan tampan itu tersenyum sambil berkedip pada kekasihnya, “Mereka pasti surprise banget aku pulang hari ini.”

“Hihihi, pastinya. Aku juga sudah tidak sabar bertemu dengan mereka, Mas. Sudah sejak kita bertunangan, aku tidak bertemu Bapak sama Ibuk.” Senyum manis Reva yang membuat leleh banyak pria itu ditebarkan. Pesonanya memang ga ada lawan, selalu bikin pria paling Rambo menjadi Pocoyo.

Pasangan Prima dan Reva sempat dijuluki sebagai pasangan paling couple goals sekampus. Yang cowok ganteng, yang cewek cakep parah. Dua-duanya juga dikenal cerdas dan lulus pun cum laude. Saat ini keduanya tengah merintis karir masing-masing di ibukota sembari berencana membangun masa depan bersama. Keduanya telah resmi bertunangan hampir sepuluh bulan yang lalu. Saat itu pesta pertunangan diadakan di kota Reva, bukan di kampung Prima.

“Lho… lho… lho…”

Terdengar suara di belakang mereka, suara yang membahana penuh ceria.

Weladalaaaaaaah! Si Prima balik, Buuuuk! Ini si Primaaaaa!” teriak satu orang pria yang datang tanpa sepatu, mengenakan caping, dan membawa pacul kemana-mana. “Buuuuuk!”

Woalaaaaaaaaahh!! Iyo yaaaa? Leee! Aduh leeee! Iyaaaaaaaaa…! Woalaaaah, Nggeeeer anak lanaaaang! Masih ingat jalan pulang kamu rupanyaaaa!

Pak Yusdi dan Bu Ruminten, sepasang suami istri sederhana dari desa Bawukan. Tidak punya sawah sendiri sehingga mengerjakan proyek kebun punya orang. Tapi mereka tidak pernah mengeluh dan bersedih, mereka bekerja tekun, dan mendapatkan upah yang meskipun sedikit tapi ternyata mampu membawa Prima menjadi kebanggaan turun menurun.

Kedua orang tua Prima itu pun langsung memeluk anak mereka, Bu Rum bahkan sampai menangis.

“Eh, kamu juga datang, Nduk cah ayu…” Bu Rum memeluk sang calon menantu.

“Iya, Ibuuu. Kangen banget.” Reva tersenyum cerah sembari memeluk calon mertuanya. Meski berasal dari keluarga yang mampu, Reva tidak malu memiliki mertua seperti Pak Yus dan Bu Rum. Dia memang gadis yang baik dan menyenangkan yang tak pernah membeda-bedakan orang. “Saya bawain oleh-oleh lho buat, Ibu. Hihihi…”

Reva menyerahkan satu tas penuh berisi barang pada Bu Rum.

“Ealaaaaah, jan anak wedhok ayu siji iki. Prima ki pancen pinter pilih bojo…! Yuk Nduk cah ayu, yuk masuk yuk. Wes jan, lha Ibuk belum siap-siap. Nggak masak apa-apa ini, tadi cuma ada jangan bening sama perkedel jagung aja. Lha wong Ibuk sama sekali tidak mengira kalian bakal datang.”

“Ah, seadanya saja nggak apa-apa, Buk. Prima kan ya wes gede. Tidak butuh dimanja. Butuhnya cuma nyicipin masakannya Ibuk sekali lagi,” Prima tersenyum meringis.

Sang Bapak langsung merangkul putra kesayangannya, “Yuk mlebu yuk. Adikmu si Dena belum pulang. Barangkali belajar di tempat temannya. Di sana ada itu lho… apa itu… kompiter itu… mau ngerjain tugas sekolah katanya.”

“Komputer?”

“Nah ya itu.”

Prima dan Reva pun masuk ke rumah Pak Yusdi dan Bu Rum yang sederhana. Prima sudah sangat sering mengirimkan uang untuk tambahan hidup kedua orang tuanya. Ketika ada rejeki cukup banyak, dia pun mengirimkan dana untuk membenahi rumah mereka. Hasilnya sudah mulai kelihatan sekarang, meski masih sederhana, setidaknya rumah yang ditinggali orang tuanya sudah jauh lebih layak.

Sesuai kebiasaan, Pak Yus dan istrinya langsung menggelar nasi dan lauk-pauk untuk makan bersama. Seperti yang tadi sudah disampaikan Bu Rum, lauk pauk hanya ada seadanya. Jangan bening atau sayur bayam dengan perkedel jagung, lalu ditambah telur dadar yang baru saja dimasak, sambal terasi, dan ikan teri.

Sederhana tapi bahagia.

Keempat orang itu pun menggelar tikar, duduk lesehan, dan mulai menikmati hidangan sambil makan dengan berbincang senang.

MEIN8QB_t.png


“Ini lagi liburan atau gimana, Le?” tanya Pak Yusdi. “Kok ujug-ujug pulang tanpa kabar begini?”

“Iya, Pak. Saya ambil cuti. Seminggu lah di sini, persiapan pernikahan yang sudah tinggal menghitung bulan, mau foto-foto juga untuk prewedding di sini. Kalau si Reva memang sudah resign – sudah keluar kerjaan. Dia rencana baru akan mencari pekerjaan lagi setelah pernikahan nanti,” jawab Prima sambil menatap calon istrinya dengan bangga.

“Lho, kenapa kok keluar dari pekerjaan, Nduk cah ayu? Nggak eman-eman po? Tidak sayang pekerjaannya? Gajinya kan lumayan, sekarang-sekarang ini kan banyak orang susah cari kerja,” kali ini Bu Rum yang bertanya pada Reva.

Reva menggeleng, “Tidak apa-apa kok, Bu. Kebetulan Reva sudah ada beberapa tawaran kerja lain. Mungkin karena bidang pekerjaan yang Reva kuasai agak jarang sehingga ketika Reva mohon ijin mempertimbangkan tawaran-tawaran itu terlebih dahulu, mereka paham dan mau menunggu sampai kapanpun.”

Woalah jan elok kamu, Nduk… sampai-sampai…”

“WAAAAAAAAAH! ADA PESTAAAA!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari pintu depan yang memang dibiarkan terbuka sejak tadi. Tanpa diundang tanpa dipersilakan, seorang pria masuk ke dalam rumah. Dia bertubuh tinggi tegap dengan wajah ganjil yang tidak bisa dibilang tampan. Rambutnya yang klimis dibelah tengah sementara dagunya yang kotak dan tulang pipinya yang tinggi tidak menambah manis penampilannya.

“Eeeeh, Mas Lan!” Pak Yus dan istrinya saling berpandangan. Mereka tidak mungkin menolak kedatangan orang satu ini. “Mari, Mas. Kita makan bersama. kebetulan si Prima sama calonnya pulang ini. Mari mari…”

Sukirlan.

Adik dari Sukirno dan Sukirman. Seorang pedagang buah yang masih jomblo, tapi terkenal sebagai seorang playboy maksa – ceweknya banyak tapi mereka semua dipacari dengan terpaksa. Ganteng juga nggak, tapi soknya ampun-ampunan. Karena keluarganya adalah keluarga yang berpengaruh di sekitar wilayah sini, tidak ada yang berani pada mereka.

Termasuk keluarga Pak Yusdi yang sederhana.

Siapalah mereka yang akan menolak kehadiran Sukirlan?

Lan pun duduk dengan santainya di depan lauk pauk yang disajikan. “Walaaaah, kok cuma ada ini saja to, Buk? Kurang po piye duite? Kalau ga ada uang bilang aja sama saya, nanti saya cariin daging-dagingan, ayam, opo lele. Iwak juga sak ember-ember di tempatnya Ngadiman itu lho. Mau pilih ikan yang mana tinggal tunjuk.”

Dengan santainya Lan duduk tanpa mengenal sopan. Ia hanya mengenakan celana hitam dan dengan santainya ia mengangkat satu kaki. Entah sengaja atau tidak, ia melakukannya di depan Reva yang langsung mengalihkan pandangan dengan wajah memerah.

Karena Lan tidak mengenakan celana dalam.

“Weeeeh, ini calonmu toh, Pe?” Lan sering memanggil Prima dengan sebutan Pepe. Mereka sebenarnya sepantaran, bahkan Prima sering di-bully oleh Sukirlan semasa kecil dulu, tapi ketika beranjak dewasa hubungan mereka perlahan-lahan melunak. Sukirlan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Prima, “Ueedyaaan, pinter kamu milih, Pe. Uaaaaayu, Pe!”

“Hahahaha, bisa aja, Lan.” Prima menyalami sang ‘teman’ lama, “kenalkan ini Reva.”

Lan buru-buru melepaskan tangan Prima untuk bersalaman dengan Reva, tangan kasar sang tukang buah menggenggam tangan putih lembut mulus milik Reva. Pandangan tajam kurang ajar dan gigi jorok jarang disikat dengan sisa-sisa makanan yang tidak dibersihkan membuat Reva merasa tidak nyaman.

“Reva. Nama yang aneh dan unik. Di sini rata-rata namanya Rumini, Juminten, Darmini, dan lain-lain. Selamat datang di Kampung Bawukan, Mbak Reva. Mudah-mudahan betah di sini.” Sukirlan tersenyum lebar. Ia tak buru-buru melepaskan tangan Reva, bahkan dengan berani mengelus-elus punggung tangan sang dara dengan jempolnya. “Calonnya si Prima ya? Cantik banget sih, Mbak Reva.”

“Te-terima kasih…”

“Sudah dientotin belum sama Prima? Hahahaha… kalau beli barang baru kan sebaiknya diujicoba dulu. Takutnya ternyata sudah bolong gitu. Kan namanya zonk. Hahahahaha. Orang secantik Mbak Reva masa iya belum pernah ngentot, hhahahaha. Pasti kan banyak yang mau ya? Banyak yang pengen ngentotin? Hahahaha.”

Jantung Reva hampir copot!

Pertanyaaan macam apa itu!? Kalaupun bercanda itu sama sekali tidak lucu! Apalagi diucapkan di depan calon mertua dan calon suaminya! Reva menyentakkan tangan dan menatap galak Sukirlan, siap menyemprotkan sumpah serapah yang bagi gadis selembut Reva sekalipun tidak pernah ia ucapkan sebelumnya.

Demikian juga Prima yang melihat calon istrinya dilecehkan sudah bersiap untuk berdiri.

Melihat perkembangan kejadian, buru-buru Bu Rum menengahi sementara Pak Yus merangkul bahu Prima dan menahannya supaya tidak berdiri.

“Ayoooo, diambil makannya, Mas Lan. Yuuuk, keburu dingin,” Bu Rum menyodorkan piring dan sendok pada Sukirlan.

“Hahahaahahahaha, siap siap! Ayo, Pe, Mbak, Pak.”

“Mari-mari…”

Sukirlan pun menyendok nasi dengan centong yang sudah disediakan. Tidak kira-kira dia mengambil nasi dari wakulnya, hampir separuh untuk dia sendiri. Begitu juga dengan lauk pauk, Sukirlan mengambil hampir semua lauk untuk dirinya sendiri, menyisakan hanya sangat sedikit bahkan hampir tidak ada untuk Pak Yus dan Bu Rum yang belum makan.

Percakapan yang semula hangat pun berubah menjadi awkward dan lebih banyak diam. Sementara Pak Yus dan keluarganya sudah menghabiskan makanan mereka, Sukirlan bahkan terus nambah. Makan pun tidak ada sopan-sopannya, mengambil dengan tangan yang kotor, bahkan untuk makanan berkuah seperti sayur bayam pun diambil dengan tangan telanjang.

“Waaaah, perkedelnya abis. Saya ambil ya, Mbak. Kayaknya tidak dimakan.”

Reva yang memang makannya perlahan tiba-tiba saja dicomot perkedelnya. Dia pun terbelalak, tapi tak bisa protes. Dia tahu Pak Yus dan Bu Rum pasti tidak nyaman nantinya. Reva pun hanya bisa menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa. Dengan pasrah dia hanya meletakkan piringnya. Nafsu makannya langsung hilang.

Untunglah kejadian tak nyaman itu segera berakhir. Sukirlan menyelesaikan makannya. Teko minum pun ia habiskan seorang diri. Prima menatap Reva untuk meminta maaf, tapi sang kekasih paham. Dia hanya mengangguk dan tersenyum manis.

“Aaaaaaaaaah waareeeeeeeg! Kenyang! Bar mangan? Mulih! Hahahaha! Abis makan, kenyang, ya pulang. Hahahahah.” Sukirlan tertawa-tawa tanpa merasa bersalah, ia berdiri dan mengedipkan mata pada Reva yang langsung membuang muka. “Mari Pak, Bu.” Sukirlan pamit pada kedua orang tua Prima.

Mereka berdua pun mengangguk dan tersenyum. “Ma-mari, Mas Lan. Kapan-kapan main lagi. Masih banyak kok lauk pauk, nasi, dan…”

Ha mesthi toh. Mesthi saya mampir kalau ada hidangan yang enak. Betul tidak, Mbak?” Sukirlan mengedipkan mata pada Reva yang tentu saja harus bersikap ramah dan ikut mengangguk dan tersenyum meski ia sama sekali tidak suka dengan sikap pria itu pada orang tua Prima. Kok seenaknya sendiri ya di rumah orang? Memangnya orang ini siapa? Berani-beraninya...

Sekali lagi Sukirlan menyodorkan tangannya yang belepotan kuah sayur pada Revaa, “Mbak siapa tadi namanya?”

“Re-Reva.” Reva terpaksa menerima jabat tangan itu karena merasa sungkan. Gadis itu langsung mengernyit jijik ketika tangannya basah oleh kuah. Tapi Sukirlan tak serta merta melepaskan tangan Reva setelah bersalaman. Ia terus menggenggam tangan gadis itu dengan sangat erat.

“Mbak Reva. Tolong jagain teman masa kecil saya ya. Si Prima itu orangnya suka lemas tiba-tiba, tapi hatinya baik. Berbanding terbalik sama saya, kuat terus tapi wataknya kacau. Hakakakakakakak,” Sukirlan menggoyang-goyangkan jemari halus tangan Reva tanpa ingin melepaskannya. Jabat tangannya begitu erat dan hangat, tapi tak kunjung usai. “Namanya juga saya preman, dia jagoan. Dia dapet bidadari, saya dapet ikan berduri. Hakahakahkahahah…”

Kedua orang tua Prima tertawa meski sebenarnya itu bukan lelucon yang lucu.

“Kalau nama saya tadi siapa hayo? Masih inget tidak, Mbak?”

Tangan Reva masih juga belum dilepaskan, bahkan semakin erat digenggam. Reva sungguh merasa tidak nyaman. Dia berusaha menarik tangannya tapi selalu gagal.

“Su-Sukirlan?” Reva mulai jengah dengan basa-basi ngotot pria yang tidak nyaman dipandang ini. Sudah ngomongnya kenceng, tidak ada sopan-sopannya, terkesan memaksa pula.

“Nah beneeeer. Pinter sih. Cantik, pinter, ayu, alim, komplit. Jadi pengen…”

Reva menarik tangannya. Kali ini berhasil. Dia tidak ingin memancing keributan. Sukirlan tersenyum tanpa peduli, “Woy! Pe! Nanti malem aku ada pesta kembang api di Pager Jurang. Ajaklah tunanganmu ini kesana. Kita makan jagung bakar, kacang rebus, sama minum wedang bajigur. Gimana? Bisa kan ya? Masa iya kamu menolak ajakanku? Kita kan akhirnya kumpul kembali ini?”

“Eh… ehmm… bagaimana ya?”

Reva menggelengkan kepala dan merengut. Ia tidak mau. Sama sekali tidak mau berurusan sekecil apapun dengan pria bernama Sukirlan ini. Ia tidak ingin, ia tidak suka, dan ia tidak sudi.

“Tidak apa-apa, Nduk… Le… Mas Lan orangnya baik. Dia sering membantu kami berdua sewaktu Prima merantau,” Mbok Rum berucap.

Pak Yusdi mengangguk, “Bener itu, Le. Wes ikut saja. Pestanya Mas Lan wes pasti seru.”

Prima kebingungan, orangtuanya memaksa, Reva menolak mentah-mentah, sementara si pria kurang ajar itu kini masih terus menempel di dekat tunangannya. Apa yang harus dia lakukan?

Reva menatap ngeri ketika Prima kemudian menganggukkan kepalanya.

Ia memejamkan mata mengutuk keadaan.

Aduh.





.::..::..::..::.





“Masa ya kamu mau seperti ini terus?”

Intan Aryanti menunduk. Gadis manis berkerudung itu mencoba menahan rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Di hadapan Ardian suami Shinta, dia memang tidak pernah bisa berbohong atau berbasa-basi, Ardian selalu bisa membuat Intan berkata jujur.

“Hutangmu ke koperasi bakal semakin membengkak.”

Kali ini pun, Ardian berhasil memojokkan ibu muda itu di posisi yang tidak dia inginkan. Bukan untuk membuat Intan tersudut, tapi lebih ke memberikan nasehat.

“Aku tahu, Mas. Sejujurnya aku juga tidak mau seperti ini. Tapi keadaan yang memaksa. Aku harus bagaimana lagi? Bisa apa aku ini? Mas Ardian sendiri tahu kalau sejak kecelakaan, Mas Hendro dipecat dari perusahaannya, dia sudah mencoba mencari pekerjaan online tapi selalu terkendala perangkat yang sudah tidak mampu mendukung. Aku harus sekuat tenaga membangkitkan semangatnya sekaligus memberikan mas Hendro cara dan kesempatan untuk membuktikan bahwa dia masih bisa mencari penghasilan, kami butuh banyak dana untuk hidup sehari-hari dan sekolah anak-anak.” Intan yang tampil cantik dengan pakaian yang kasual duduk di hadapan Ardian. Seperti biasa, Intan memesan jus mangga dan nasi katsu. Kakinya yang jenjang dan mengenakan kulot santai disilangkan dengan sopan.

“Bapak ibunya Hendro bagaimana? Bukannya mereka punya kebun dan tambak?”

“Ya hanya untuk menanam apa adanya. Biasanya cuma singkong atau sayur-sayuran saja untuk dijual di pasar, Mas. Kebunnya tidak begitu besar dan akhir-akhir ini Bapak malah lebih sering main ke Bawukan buat judi ayam daripada berkebun. Tambak juga dibiarin terbengkalai begitu aja. Ujung-ujungnya Ibu sering minta uang belanja tambahan ke aku.”

“Jadinya semua beban kamu yang menanggung ya. Adiknya Hendro bagaimana? Tidak pernah pulang ke rumah?”

“Sama aja, Mas. Dia kerja di luar kota, di pabrik. Jarang bisa pulang kecuali lebaran. Semua ini berat banget, Mas… nggak sanggup rasanya kalau aku yang mikirin semuanya…”

Air mata Intan sempat meleleh. Karena merasa kasihan dan simpati, secara reflek Ardian pun menggenggam tangan Intan. Suami Shinta itu mencoba menenangkan, “Tuhan tidak akan pernah memberikan cobaan pada umatnya melebihi kemampuannya. Bersabar ya, Intan. Aku yakin akan ada ujung bahagia nantinya buat kamu sekeluarga.”

“Cieee cieee… ada perkembangan nih akhirnya.”

“Ciuit. Witing tresno jalaran seko kulino.”

“Pengen banget jadi orang ganteng aku, cuy.”

Serombongan rekan kerja lain divisi melewati Ardian dan Intan yang duduk agak di tengah kantin. Keduanya yang tengah menikmati makan siang pun menjadi agak terganggu. Rombongan rekan kerja lain divisi itu tidak mereka kenal, wajahnya pun tidak hapal, tapi agak menjadi masalah kalau kemudian menyindir Intan dan Ardian. Karena kecantikannya, nama Intan cukup populer di kalangan karyawan lain. Sayang Ardian menjadi benteng yang tidak bisa ditembus.

Mendengar celotehan itu, Ardian pun hendak berdiri. Tapi genggaman tangan Intan mencegahnya. Ardian menengok ke arah sang bidadari. Intan menggeleng, “Jangan, Mas. Tidak ada untungnya. Malah kita yang akan rugi sendiri. Yang seperti itu tidak perlu ditanggapi.”

Ardian mendesah. “Kamu bener. Cuma sebel aja dengernya. Mereka tidak tahu-apa.”

“Itu dia, Mas. Mereka tidak tahu apa-apa. Cukup kita saja yang tahu.”

Setelah Ardian duduk kembali, Intan melepas genggamannya, “Tadi pagi aku ketemu Mbak Shinta di warung sayur Bi Jum…”

“Oh ya?” Ardian tersenyum. “Terus?”

Intan ikut tersenyum, “Kalau boleh aku nanya nih, Mas… kira-kira Mbak Shinta… dia…”

Intan terlihat ragu-ragu mengucapkan kalimat selanjutnya sehingga membuat Ardian penasaran, “Dia kenapa?”

“Aku tidak enak bilang begini, Mas…”

“Bilang aja.”

“Mbak Shinta… dia benci banget sama aku ya? Maaf ya, Mas. Selama ini aku bikin repot, aku jadi takut kalau hubungan kamu sama Mbak Shinta jadi terganggu gara-gara aku. Tadi pagi, dia kelihatan banget sengitnya. Aku jadi tidak enak.”

“Oh, sudahlah tidak usah dipikirkan. Tidak apa-apa. Shinta itu pada dasarnya baik kok. Dia mungkin belum paham aja kondisi sebenarnya. Kalau dia sudah mengerti, pasti kalian akan bisa lebih akrab,” Ardian memberikan alasan tentang istrinya, “Soal Shinta biar aku saja yang mengatur. Nanti aku ajak dia menengok Mas Hendro supaya paham.”

Intan mengangguk, “Terserah Mas saja kalau itu. Mudah-mudahan hati Mbak Shinta bisa sedikit melunak. Aku tidak ingin dibenci banyak orang hanya karena salah paham. Oh iya… nanti sore ada rapat dewan direksi, pak Wing meminta aku ikut hadir sebagai notulen. Kira-kira gimana ya, Mas?”

“Ya tidak apa-apa. Kalau pak Wing yang meminta artinya beliau sudah percaya sama kamu. Dandan yang rapi, lalu catat semua yang boleh di-record. Tidak perlu terlalu mencolok ataupun memberikan komentar. Cukup diam dan mencatat saja.”

Intan paham, “Oh gitu. Oke deh, Mas. Kalau begitu, nanti sore aku pulang sendiri aja. Mas Ardian tidak perlu menunggu aku. Takutnya kemalaman. Tahu sendiri kan kalau dewan direksi rapat bisa sampai malam.”

“Yakin?”

Intan mengangguk. “Aku pesan taksi online saja. Tidak apa-apa. Belajar mandiri.”

Ardian tersenyum, dia mengambil sesuatu dari kantong bajunya. Sebuah amplop berisi tebal.

Pria itu meletakkan amplop itu di atas meja dan menggesernya ke arah sang bidadari. “Ini tidak seberapa, mudah-mudahan bisa membantu membeli obat untuk Hendro, nambahin buat beli laptop, atau bisa saja buat beli mainan baru untuk anak-anak. Yang penting mereka bahagia.”

Intan terkejut. “Eh!? Tidak usah, Mas! Nggak ah! Aku tidak mau terima.”

Amplop itu kembali pada Ardian.

“Aku cerita karena ingin cerita aja, Mas. Aku tidak ingin dikasihani begini, toh aku juga kerja dan punya penghasilan. Kalau tentang hidup yang aku jalani, pahit manis ya harus dirasakan. Kalau Mas beri bantuan seperti ini, aku takut terlena dan keterusan. Tidak Mas, tidak usah. Terima kasih, tapi tidak usah. Berangkat, pulang, sama makan siang bareng sama Mas Ardian aja aku sudah merasa bersalah sama Mbak Shinta.”

Ardian tersenyum, ia menarik tangan Intan dan meletakkan amplop itu kembali di bawah tangannya. Jari jemari mereka bertaut, “Siapa bilang ini buat kamu? Ini buat anak-anak. Tahu sendiri kan? Rezeki tidak boleh ditolak.”

Intan menunduk dia ingin menangis, tapi ditahan sebisanya.

Hanya lirih kata-kata terucap dari bibir mungil sang bidadari, “Makasih, Mas. Makasih banyak buat semuanya. Aku ga tahu balesnya gimana…”

“Sst. Sudah, aku ikhlas kok. Tidak perlu kalian balas apa-apa.”

Tangan Intan bergetar, sehingga Ardian pun mengambil inisiatif untuk menenangkannya. Ia mengelus-elus punggung tangan ibu muda itu.

“Mas…” suara Intan bergetar, “boleh tidak nanya satu hal lagi?”

“Apa itu?”

“Kalau ada orang yang menggangguku, bagaimana sebaiknya aku bertindak?”

“Mengganggumu? Maksudnya? Ada yang bully kamu gitu? Di kantor ini? Siapa orangnya? Biar aku yang laporin dia ke pihak HRD. Supaya diproses.”

“Nggak! Nggak!” Intan menggeleng, “Bukan begitu, Mas.”

“Terus? Siapa sih yang berani gangguin kamu?” Ardian terlihat gusar, “Kalau ada yang berani macam-macam sama kamu, bilang aja ke aku, ya. Jangan takut. Begini-begini aku punya jabatan yang bisa diandalkan di kantor ini. Kalau masalah seperti ini, aku sudah beberapa kali menangani.”

Intan memerah wajahnya ketika tahu Ardian terlihat begitu melindungi, tapi dia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, “Nggak, Mas. Nggak apa-apa, kok. Lain kali aja aku cerita. Memang ada gangguan tapi kecil aja. Tidak penting dibahas sekarang.”

“Yakin?”

“He’em. Yakin.” Intan mendongak dan tersenyum sangat manis.

Tapi Ardian merasakan senyum itu sangat dibuat-buat.

Ada sesuatu di balik senyuman Intan.

Sesuatu yang menyakitkan.

MEIA7YX_t.png




BAGIAN 2 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3
 
Terakhir diubah:

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd